buletin-sikda-generi.. - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

advertisement
Latar Belakang
Aplikasi SIKDA Generik adalah aplikasi sistem informasi
kesehatan daerah yang berlaku secara nasional yang
menghubungkan secara online dan terintegrasi seluruh
puskesmas, rumah sakit, dan sarana kesehatan lainnya,
baik itu milik pemerintah maupun swasta, dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan provinsi, dan
Kementerian Kesehatan. Aplikasi SIKDA Generik
dikembangkan dalam rangka meningkatkan pelayanan
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan serta
meningkatkan ketersediaan dan kualitas data dan
informasi manajemen kesehatan melalui pemanfaatan
teknologi informasi komunikasi.
Pemanfaatan teknologi informasi komunikasi di lingkungan
Kementerian Kesehatan sudah dimulai sejak dekade
delapan puluhan. Pada masa itu Departemen Kesehatan
RI melalui Pusat Data Kesehatan (PUSDAKES)
memanfaatkan teknologi informasi dengan sistem
Electronic Data Processing (EDP) namun hal ini baru
diterapkan di tingkat pusat. komitmen bersama antar
pemimpin
birokrasi
bidang
kesehatan
untuk
mendayagunakan teknologi informasi dan komunikasi
dalam pengambilan keputusan dan kebijakan, baik di
kabupaten/kota, provinsi, dan pusat, namun karena
berbagai kendala dan hambatan termasuk kurangnya dana
dan tidak adanya payung hukum (PP) membuat SIK
kurang optimal dan belum berdayaguna.
Pada era sembilan puluhan Departemen Kesehatan telah
mengembangkan Sistem Informasi Puskesmas (SP2TP),
Sistem Informasi Rumah Sakit, Sistem Surveilans Penyakit
bahkan Sistem Informasi Penelitian & Pengembangan
Kesehatan. Namun masing-masing sistem tersebut belum
terintegrasi dengan baik dan sempurna.
Pada tahun 2002 Menteri Kesehatan mengeluarkan
Keputusan Menteri Kesehatan No.511 tentang “Kebijakan
& Strategi Sistem Informasi Kesehatan Nasional
(SIKNAS)” dan Kepmenkes No.932 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengembangan Sistem Informasi Daerah
(SIKDA)”. Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) di
Kabupaten/kota adalah sebagai bagian sub sistem SIKDA
yang ada di provinsi, sedangkan SIKDA yang ada di
provinsi adalah bagian sub sistem Informasi Kesehatan
Nasional (SIKNAS).
SIKDA seharusnya bertujuan untuk mendukung SIKNAS,
namun dengan terjadinya desentralisasi sektor kesehatan
ternyata mempunyai dampak negatif. Terjadi kemunduran
dalam pelaksanaan sistem informasi kesehatan secara
nasional, seperti menurunnya kelengkapan dan ketepatan
waktu penyampaian data SP2TP/SIMPUS, SP2RS dan
profil kesehatan. Dengan desentralisasi, pengembangan
sistem informasi kesehatan daerah merupakan tanggung
jawab pemerintah daerah. Namun belum adanya kebijakan
tentang standar pelayanan bidang kesehatan (termasuk
mengenai data dan informasi) mengakibatkan persepsi
masing-masing pemerintah daerah berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan sistem informasi kesehatan yang dibangun
tidak standar juga. Variabel maupun format input/output
yang berbeda, sistem dan aplikasi yang dibangun tidak
dapat saling berkomunikasi.
Selain di daerah, di lingkungan Kementerian Kesehatan
pun belum tersusun satu sistem informasi yang standar
sehingga masing-masing program membangun sistem
informasinya masing-masing dengan sumber data dari
kabupaten/kota/provinsi.
Akibat keadaan di atas, data yang dihasilkan dari masingmasing daerah tidak seragam, ada yang tidak lengkap dan
ada data variabel yang sama dalam sistem informasi satu
program kesehatan berbeda dengan di sistem informasi
program kesehatan lainnya. Maka validitas dan akurasi
data diragukan, apalagi jika verifikasi data tidak
terlaksana. Ditambah dengan lambatnya pengiriman data,
baik ke Dinas Kesehatan maupun ke Kementerian
Kesehatan, mengakibatkan informasi yang diterima sudah
tidak up to date lagi dan proses pengolahan dan analisis
data terhambat. Pada akhirnya para pengambil keputusan/
pemangku kepentingan mengambil keputusan dan
kebijakan kesehatan tidak berdasarkan data yang akurat.
1
Melihat berbagai kondisi di atas maka dibutuhkan suatu
aplikasi sistem informasi kesehatan yang “berstandar
nasional” dengan format input maupun output data yang
diharapkan dapat mengakomodir kebutuhan dari tingkat
pelayanan kesehatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga
pusat.
Untuk itu awal tahun 2012, Kementerian Kesehatan
melalui Pusat data dan Informasi akan meluncurkan
aplikasi ”SIKDA Generik”. Seluruh unit pelayanan
kesehatan yang meliputi puskesmas dan rumah sakit, baik
pemerintah maupun swasta, dapat terhubung jejaring
kerjasamanya melalui aplikasi SIKDA Generik.
Selain itu aplikasi “SIKDA Generik” dirancang dan dibuat
untuk memudahkan petugas puskesmas saat melakukan
pelaporan ke berbagai program di lingkungan Kementerian
Kesehatan. Dengan demikian diharapkan aliran data dari
level paling bawah sampai ke tingkat pusat dapat berjalan
lancar, terstandar, tepat waktu, dan akurat sesuai dengan
yang diharapkan.
Diharapkan aplikasi tersebut dapat berguna secara efektif
sebagai alat komunikasi pengelola data/informasi di
daerah, dapat saling tukar menukar data dan informasi,
serta membantu pengelola data/informasi agar selalu siap
memberikan data atau gambaran kondisi kesehatan
secara utuh dan berdasarkan bukti.
Aplikasi “SIKDA Generik” merupakan penerapan
standarisasi Sistem Informasi Kesehatan, sehingga
diharapkan dapat tersedia data dan informasi kesehatan
yang cepat, tepat dan akurat dengan mendayagunakan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pengambilan
keputusan/kebijakan dalam bidang kesehatan.
Sistem Informasi Kesehatan Daerah
Sistem kesehatan di Indonesia dapat dikelompokkan
dalam beberapa tingkat sebagai berikut:
 Tingkat Kabupaten/Kota, dimana terdapat puskesmas
dan pelayanan kesehatan dasar lainnya, dinas
kesehatan kabupaten/kota, instalasi farmasi kabupaten/
kota, rumah sakit kabupaten/kota, serta pelayanan
kesehatan rujukan primer lainnya.
 Tingkat Provinsi, dimana terdapat dinas kesehatan
provinsi, rumah sakit provinsi, dan pelayanan
kesehatan rujukan sekunder lainnya.
 Tingkat Pusat, dimana terdapat Departemen
Kesehatan, Rumah Sakit Pusat, dan Pelayanan
kesehatan rujukan tersier lainnya.
Pada saat ini di Indonesia terdapat 3 (tiga) model
pengelolaan SIK, yaitu :
a. Pengelolaan SIK manual, dimana pengelolaan
informasi di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan
secara manual atau paper based melalui proses
pencatatan pada buku register, kartu, formulir-formulir
khusus, mulai dari proses pendaftaran sampai dengan
2
pembuatan laporan. Hal ini terjadi oleh karena adanya
keterbatasan infrastruktur, dana, dan lokasi tempat
pelayanan kesehatan itu berada. Pengelolaan secara
manual selain tidak efisien juga menghambat dalam
proses pengambilan keputusan manajemen dan
proses pelaporan.
b. Pengelolaan SIK komputerisasi offline, pada jenis ini
pengelolaan informasi di pelayanan kesehatan
sebagian besar/seluruhnya sudah dilakukan dengan
menggunakan perangkat komputer, baik itu dengan
menggunakan aplikasi Sistem Informasi Manajemen
(SIM) maupun dengan aplikasi perkantoran elektronik
biasa, namun masih belum didukung oleh jaringan
internet online ke dinas kesehatan kabupaten/kota dan
provinsi/bank data kesehatan nasional.
c. Pengelolaan SIK komputerisasi online, pada jenis ini
pengelolaan informasi di pelayanan kesehatan
sebagian besar/seluruhnya sudah dilakukan dengan
menggunakan perangkat komputer, dengan
menggunakan aplikasi Sistem Informasi Manajemen
dan sudah terhubung secara online melalui jaringan
internet ke dinas kesehatan kabupaten/kota dan
provinsi/bank data kesehatan nasional untuk
memudahkan dalam komunikasi dan sinkronisasi data.
Dalam proses pengelolaan data/informasi kesehatan di
Indonesia, standar-standar yang dibutuhkan, baik standar
proses pengelolaan informasi kesehatan maupun teknologi
yang digunakan, belum memadai. Akses dan sumber daya
kesehatan juga tidak merata, lebih banyak dimiliki oleh
daerah-daerah tertentu, terutama di pulau Jawa.
Akibatnya setiap institusi kesehatan mulai dari puskesmas,
rumah sakit, hingga ke dinas kesehatan kabupaten/kota
dan provinsi menerapkan sistem informasi menurut
kebutuhan masing-masing. Hal ini menjadikan sistem yang
digunakan berbeda-beda dan sulit untuk disatukan. Selain
itu, kepemilikan dan keamanan data yang dipertukarkan
menjadi penghalang untuk menyediakan data yang bisa
diakses oleh pihak yang membutuhkan. Penyebab sulitnya
mewujudkan pertukaran data kesehatan di Indonesia yaitu:
 Penggunaan platform perangkat keras dan perangkat
lunak yang berbeda-beda di setiap daerah.
 Arsitektur dan bentuk penyimpanan data yang berbeda
-beda
 Kultur kepemilikan data yang kuat dan possessive
 Kekhawatiran akan masalah keamanan data
Konsep SIKDA Generik
Ketersediaan informasi kesehatan sangat diperlukan
dalam penyelenggaraan upaya kesehatan yang efektif dan
efisien. Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, dijelaskan mengenai tanggung jawab
pemerintah dalam ketersediaan akses terhadap informasi,
edukasi & fasilitas pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Informasi kesehatan ini dapat diperoleh melalui
Sistem Informasi Kesehatan atau SIK.
Dengan berlakunya sistem otonomi daerah, maka pengelolaan SIK merupakan tanggung jawab dan wewenang masing-masing
pemerintah daerah.
 Pemerintah pusat/Kementerian Kesehatan, bertanggung jawab dalam pengembangan sistem informasi kesehatan skala
nasional dan fasilitasi pengembangan sistem informasi kesehatan daerah.
 Pemerintah daerah provinsi/dinas kesehatan provinsi, bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem informasi kesehatan
skala provinsi.
 Pemerintah daerah kabupaten/kota / dinas kesehatan kab/kota, bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem informasi
kesehatan skala kabupaten/kota.
Dampak dari otonomi daerah tersebut, setiap pemerintah daerah melakukan pengelolaan dan pengembangan SIK berbasis
teknologi informasi yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing. Sehingga saat ini terdapat berbagai jenis
SIK yang berbeda-beda di tiap daerah, baik itu berbeda dari sisi sistem operasi, bahasa pemrograman maupun data basenya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa :
 SIK di Indonesia belum terintegrasi satu dengan lainnya. Informasi kesehatan masih terfragmentasi dan belum mampu
mendukung penetapan kebijakan serta kebutuhan pemangku kebijakan.
 Menindaklanjuti permasalahan tersebut maka Pemerintah wajib mengembangkan sistem informasi kesehatan yang dapat
mengintegrasikan dan memfasilitasi proses pengumpulan dan pengolahan data, serta komunikasi data antar pelaksana
pelayanan kesehatan mulai dari fasilitas pelayanan kesehatan sampai dengan tingkat pusat, sehingga dapat meningkatkan
kualitas informasi yang diperoleh. Pada saat bersamaan juga memperbaiki proses pengolahan informasi yang terjadi di
daerah, yang pada akhirnya dapat mendukung pemerintah dalam penguatan sistem kesehatan di Indonesia.
SIKDA Generik merupakan Sistem Informasi Kesehatan Daerah yang dirancang untuk dapat memenuhi berbagai persyaratan
minimum yang dibutuhkan dalam pengelolaan informasi kesehatan daerah, dari proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan,
sampai dengan diseminasi informasi kesehatan. SIKDA Generik dirancang untuk menjadi standar bagi pemerintah daerah
dalam pengelolaan informasi kesehatan di wilayahnya. SIKDA Generik hadir melalui proses inventarisasi berbagai SIKDA
elektronik yang saat ini berjalan dan digunakan di daerah, memilih yang terbaik, kemudian dianalisis sehingga dihasilkan satu
set deskripsi kebutuhan SIKDA Generik, yang mewakili kebutuhan seluruh komponen dalam sistem kesehatan Indonesia dan
disesuaikan dengan standar yang diatur dalam Pedoman Nasional SIK.
Langkah selanjutnya dari pengembangan SIKDA Generik ini adalah mendistribusikan aplikasi SIKDA Generik kepada
pemerintah daerah yang belum memiliki/menggunakan. Untuk pemerintah daerah yang telah memiliki/menggunakan SIKDA
elektronik dapat tetap menggunakannya dengan beberapa penyesuaian terhadap Pedoman Nasional SIK atau beralih ke
SIKDA Generik.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup dan interaksi dari berbagai komponen dalam SIKDA Generik dapat dilihat dalam bagan berikut :
BPS (Survey dan Sensus Kependudukan) Gambar 1. Ruang Lingkup SIKDA Generik
3
Model SIKDA Generik dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2. Model SIKDA Generik
Keterangan :
1. Fasilitas/institusi kesehatan yang masih manual/paper based, data dientri di computer entry station SIKDA Generik yang ada
di kantor dinas kesehatan kab/kota. Data yang dientri bisa berbentuk data individual maupun agregat. Khusus untuk data
puskesmas, data dientri melalui Sub Sistem SIM Puskesmas pada SIKDA Generik sehingga data yang diinput adalah data
pasien secara individual.
2. Puskesmas yang telah memiliki perangkat komputer tetapi belum menggunakan aplikasi SIMPUS dapat menggunakan
aplikasi SIKDA Generik, yang terhubung ke data base lokal di puskesmas tersebut atau langsung terhubung ke data base
SIKDA Generik di Server SIKDA Generik yang ditempatkan di Kantor Dinkes kab/Kota melalui jaringan internet online.
3. Puskesmas, rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya yang sudah menggunakan komputer ataupun aplikasi
sistem informasi manajemen lainnya, dapat melakukan eksport/sinkronisasi/migrasi file data base secara online melalui
internet melalui Sub Sistem Komunikasi Data pada SIKDA Generik.
4. Setiap pemangku kepentingan dapat mengakses informasi kesehatan pada SIKDA Generik melalui Sub Sistem Executive
Information Dashboard, yang berisi indikator-indikator kesehatan kab/kota yang merupakan rangkuman dari data-data
puskesmas, rumah sakit, dan instalasi farmasi kab/kota. Laporan/informasi disajikan secara ringkas dalam bentuk grafik,
tabel, maupun statistik, dengan berbagai kriteria yang dapat ditentukan sesuai keinginan pengguna.
Komunikasi data
Sesuai dengan tujuan dikembangkannya SIKDA Generik, yaitu untuk membangun suatu data base kesehatan Indonesia yang
komprehensif, SIKDA Generik harus mampu menghimpun, mengolah dan mendistribusikan semua data kesehatan dari
berbagai pelaksana kesehatan di Indonesia, baik pelaksana kesehatan yang telah memiliki sistem informasi elektronik maupun
masih paper based. Dengan berbagai sistem pengelolaan informasi yang berbeda-beda, maka SIKDA Generik dituntut untuk
dapat berkomunikasi secara interaktif, memiliki kemampuan interoperabilitas yang tinggi, sehingga dapat berkomunikasi dan
melakukan pertukaran data kesehatan dengan sistem lainnya yang sudah berjalan.
Kemampuan interoperabilitas adalah kemampuan sistem untuk saling tukar menukar data atau informasi dan saling dapat
mempergunakan data atau informasi tersebut. Interoperabilitas bukan berarti penentuan atau penyamaan penggunaan platform
perangkat keras, atau perangkat lunak semisal operating system tertentu, bukan pula berarti penentuan atau penyeragaman
data base. Namun berupa penyamaan format pertukaran data yang digunakan, misalnya dengan menggunakan format data
dalam bentuk data base SQL, Access, Excell, maupun dalam format XML.
4
Format Data
Ada beberapa bentuk format standar yang dapat
digunakan untuk melakukan pertukaran data, yang umum
digunakan adalah XML. XML atau eXtensible Markup
Language merupakan format data yang sering digunakan
dalam dunia world wide web. XML terdiri atas sekumpulan
tag yang terdiri dari data. Satu set data dalam XML dimulai
dengan tag pembuka dan diakhiri dengan tag penutup.
XML adalah sebuah format dokumen yang mampu
menjelaskan struktur dan semantik (makna) dari data yang
dikandung oleh dokumen tersebut. Berbeda dengan HTML
yang lebih berorientasi pada tampilan (appearance), XML
lebih fokus pada substansi data, sehingga lebih cocok
digunakan sebagai media pertukaran data. Kelebihan XML
dibandingkan format teks biasa adalah struktur data yang
ditransfer tidak “hilang”, demikian juga deskripsi tentang
semantik datanya. Dengan karakteristik demikian XML
telah menjadi standar de-facto bagi pertukaran data antar
aplikasi komputer. Spesifikasi format telah distandarkan
untuk menjadi referensi yang sama bagi tiap aplikasi
komputer yang memerlukan.
Konten Data
Selain format data, konten data yang dipertukarkan juga
harus seragam, misalnya dalam penulisan kode dan
penamaan variabel data dan definisi operasionalnya,
sehingga pada saat proses import dan eksport data,
semua data dapat tersinkronisasi dengan baik dan lengkap
serta sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya dalam
proses sinkronisasi data individu pasien puskesmas, mulai
dari penomoran rekam medik pasien, kode jenis
kunjungan, nama poliklinik, kode dan penamaan penyakit,
kode obat dan atributnya, sampai dengan jenis tenaga
kesehatan yang menangani pasien tersebut, harus
mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Contoh variabel
data dan aturan penomoran/penulisan seperti yang
ditunjukan pada tabel berikut:
Tabel 1. Variabel Data dan Aturan Penomoran/Penulisan
Desain Sistem
Berdasarkan ruang lingkup Sistem Kesehatan Daerah,
maka SIKDA Generik dirancang mengikuti komponen
pelaksana kesehatan yang ada didalamnya yaitu
Puskesmas, Dinas Kesehatan Kab/Kota dan Provinsi.
Sehingga SIKDA Generik terbagi menjadi beberapa sub
sistem sebagai berikut :
1. Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIM
Puskesmas)
2. Sistem Informasi Manajemen Dinas Kesehatan (SIM
Dinkes)
3. Sistem Informasi Eksekutif
4. Sistem Komunikasi Data
1. Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIM
Puskesmas)
Aplikasi SIM Puskesmas digunakan di puskesmas
dalam kegiatan pencatatan berbagai kegiatan
pelayanan, baik itu kegiatan dalam gedung maupun
kegiatan luar gedung, dan dapat dilakukan koneksi
data base secara oline melalui jaringan internet ke
Server SIKDA Generik di dinas kesehatan, maupun ke
data base lokal yang ada di puskesmas.
Kegiatan puskesmas yang mampu ditangani oleh SIM
Puskesmas adalah :
1. Pengelolaan informasi riwayat medis pasien per
individu
2. Pengelolaan informasi kunjungan pasien ke
puskesmas.
3. Pengelolaan informasi kegiatan pelayanan
kesehatan dalam gedung, meliputi:
a. Pelayanan rawat jalan (poliklinik umum, gigi,
KIA, imunisasi, dll)
b. Pelayanan UGD
c. Pelayanan rawat inap
4. Pengelolaan informasi pemakaian dan permintaan
obat/farmasi di puskesmas, pos obat desa, pos
UKK.
5. Pengelolaan informasi tenaga kesehatan
puskesmas
6. Pengelolaan informasi sarana dan peralatan
(inventaris) puskesmas
7. Pengelolaan informasi kegiatan luar gedung yang
meliputi
a. Kegiatan puskesmas pembantu, puskesmas
keliling, bidan desa, posyandu, polindes,
poskesdes, poskestren.
b. Pengelolaan informasi pembiayaan kesehatan
masyarakat dan keuangan puskesmas
c. Pengelolaan informasi gizi masyarakat
d. Pengelolaan informasi surveilans (pengendalian
penyakit)
e. Pengelolaan informasi promosi kesehatan
f. Pengelolaan informasi kesehatan lingkungan
8. Pengelolaan pelaporan internal dan ekternal
puskesmas
5
2. Sistem Informasi Manajemen Dinas Kesehatan (SIM
Dinkes)
Aplikasi ini berfungsi untuk menangani pencatatan dan
pengelolaan data yang berasal dari:
1. Pengelolaan data puskesmas, berfungsi untuk
mencatat dan mengelola data manual dari
puskesmas yang ada dalam wilayah kerja dinkes
kabupaten/kota, yang bersifat agregat.
2. Pengelolaan data rumah sakit tingkat kabupaten/
kota, berfungsi untuk mengentri data manual yang
berasal dari rumah sakit, baik pemerintah maupun
swasta, yang berada dalam wilayah kerja dinkes
kabupaten/kota yang bersifat agregat.
3. Pengelolaan data rumah sakit tingkat provinsi,
berfungsi untuk mengentri data manual yang berasal
dari rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta,
yang berada dalam wilayah kerja dinkes provinsi
yang bersifat agregat.
4. Pengelolaan data apotek/instalasi farmasi, berfungsi
untuk mencatat dan mengelola data manual yang
berasal dari apotek/instalasi farmasi baik pemerintah
maupun swasta, yang berada dalam wilayah kerja
dinkes kabupaten/kota, yang bersifat agregat.
5. Pengelolaan data penunjang, berfungsi untuk
mencatat dan mengelola data manual, yang bersifat
agregat, yang berasal dari laboratorium/ radiologi/
fasilitas penunjang lainnya, baik itu milik pemerintah
maupun swasta yang berada dalam wilayah kerja
dinkes kabupaten/kota.
6. Pengelolaan data kesehatan lainnya, yang berfungsi
untuk mencatat dan mengelola data kesehatan yang
berasal dari fasilitas kesehatan selain puskesmas,
rumah sakit, apotek/instalasi farmasi, dan
laboratorium penunjang, yang berada dalam wilayah
kerja dinas kesehatan, misalnya dari lembaga lintas
sektor (institusi non kesehatan), praktik dokter dan
klinik, lembaga survei, dan organisasi kesehatan
lainnya, yang berada dalam wilayah kerja dinas
kesehatan.
7. Pengelolaan data SDM, yang berfungsi untuk
mencatat dan mengelola data SDM kesehatan di
kabupaten/kota/provinsi.
8. Pengelolaan data aset, berfungsi untuk mencatat
dan mengelola data aset pada dinkes kabupaten/
kota dan dinkes Provinsi.
Pada SIM Dinkes, data yang dientri bersifat agregat.
3. Sistem Informasi Eksekutif
Sistem Informasi Eksekutif, berfungsi untuk
menampilkan profil kesehatan daerah, yang di
dalamnya berisi indikator kesehatan daerah yang
merupakan rangkuman dari data-data puskesmas,
rumah sakit, dan gudang farmasi kabupaten/kota.
Informasi disajikan secara ringkas dalam bentuk grafik,
6
tabel, maupun statistik, yang dapat diakses oleh jajaran
pimpinan misalnya bupati, gubernur, kepala dinas
kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya.
4. Sistem Komunikasi Data Kesehatan
Sistem Komunikasi Data Kesehatan, berfungsi untuk
menangani proses sinkronisasi/ migrasi data yang
berbentuk soft copy yang berasal dari dinas kesehatan
kabupaten/kota, puskesmas, rumah sakit, laboratorium,
apotek/farmasi, dan institusi kesehatan lainnya yang
telah menggunakan perangkat komputer, aplikasi
sistem informasi manajemen dan telah terhubung
secara online melalui jaringan internet ke data base
SIKDA Generik dalam proses pengelolaan data.
Jenis data yang dikomunikasikan adalah sebagai
berikut :
1. Data umum fasilitas pelayanan kesehatan
2. Data pasien baru
3. Data kunjungan pasien di fasilitas pelayanan
kesehatan
4. Data morbiditas
5. Data pengelolaan obat dan alat kesehatan
6. Data pengelolaan sarana dan prasarana fasilitas
pelayanan kesehatan
7. Data pengelolaan tenaga kesehatan dan non
kesehatan
8. Data statistik daerah
Tahap pelaksanaan SIKDA Generik
SIKDA Generik mulai dipikirkan pengembangannya pada
saat dirasakan adanya kebutuhan suatu sistem yang
memenuhi kebutuhan pengelolaan data dan informasi yang
standar, dapat terintegrasi secara nasional dan dapat
diterapkan di wilayah dengan sumber daya yang terbatas.
Hal ini terealisasi dengan adanya bantuan teknis dari GIZ
(The Deutsche Gesellschaft für Internationale
Zusammenarbeit) untuk Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan.
Pengembangan SIKDA Generik mulai terlihat hasilnya
dengan selesainya modul SIM Puskesmas berupa
prototype testing di Pusdatin dan prototype testing untuk
puskesmas per tanggal 31 Agustus 2011. Sesuai dengan
rencana, per 30 September 2011 akan selesai. Modul
Bank Data dan SIM Dinkes (uji coba). Bank data di
Pusdatin (uji coba), di Dinkes dengan menjalankan
prototype puskesmas) dan per 30 oktober 2011 diharapkan
Modul Konektivitas (Sistem Komunikasi Data) selesai. dan
membuat “Connectathon”, dimulai dengan 3 – 5 sistem
yang sudah jadi. (Connectathon untuk menguji dan memilih
vendor).
Integrasi dengan aplikasi-aplikasi di rumah sakit, instalasi
farmasi/apotek dan fasilitas penunjang lain akan mulai
dilaksanakan tahun 2012
Dalam penerapan SIKDA Generik ada beberapa hal yang
harus ada dan dipersiapkan yaitu pelatihan, pendampingan,
dan perubahan budaya kerja.
Dari ketiga hal tersebut, dua yang pertama yaitu pelatihan
dan pendampingan sudah diakomodir oleh Pusdatin
Kemenkes dan sudah disiapkan anggarannya. Sedangkan
yang nomor tiga yaitu kesiapan dan kemauan para
pengguna sendiri, merupakan tantangan tersendiri bagi
terlaksananya penerapan SIKDA Generik, akan tetapi ini
pun pasti bisa diintervensi mungkin dengan berbagai cara
seperti pelatihan, workshop dan pendampingan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan data, publikasi pemanfaatan
data, pemberian penghargaan dan publikasi bagi daerah
dengan pengelolaan SIKDA terbaik.
Tantangan dalam penerapan SIKDA Generik
Di Indonesia terdapat 138 kabupaten/kota (kondisi tahun
2009/2010) yang termasuk daerah bermasalah kesehatan
(DBK) dan/atau daerah terpencil, perbatasan dan
kepulauan (DTPK) yang pada umumnya merupakan daerah
yang masih kurang dalam ketersediaan infrastrukur dan
SDM. Hal ini menjadi suatu tantangan dan perlu persiapan
dan perencanaan khusus dalam penerapan SIKDA Generik
di daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu untuk
penerapan SIKDA Generik dan pengembangan SIK secara
umum, telah diupayakan penyediaan sebagian kebutuhan
dana dari Global Fund. Persiapan dan perencanaan
tersebut digunakan untuk:
1. Pengadaan hardware, pengiriman dan instalasi (USD
952,531 – 1.10 dana GF)
2. Sub-contract penerapan di lapangan (USD 2,331,000 –
1.09 dana GF)
 1 vendor 1 wilayah atau 1 vendor untuk semua
 Vendor harus mempunyai:
 1 tim di setiap kabupaten
 Training classroom (ruang pelatihan)
 Rotasi Pendampingan rutin (1 hari kunjungan ke
puskesmas setiap minggu)
3. Manajemen proyek SIKDA (oleh Pusdatin)
 Vendor Performance
 Contract Manajemen
jasa pihak ketiga (vendor), Mengingat SIK dikembangkan
menuju ke sistem komputerisasi online, perlu adanya
jaminan interoperabilitas dan konektivitas dari aplikasi yang
dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan
semacam connectathon. Connectathon adalah kegiatan
untuk menguji interoperabilitas dan konektivitas dari suatu
sistem teknologi informasi, mengikuti spesifikasi yang telah
ditentukan oleh IHE (Integrating the Healthcare Enterprise,
inisiatif bersama dari profesional kesehatan dan industri
untuk meningkatkan metode sistem komputer dalam
berbagi informasi kesehatan) a joint initiative of
healthcare professionals and industry to improve the
way computer systems in healthcare share information.
SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH (SIKDA)
ELEKTRONIK
Perlu dipikirkan pula adanya kabupaten/kota atau
puskesmas yang sudah menerapkan SIK komputerisasi
online dan telah memiliki bank data yang telah terisi data.
Untuk daerah tersebut harus terus diberikan dorongan dan
monitoring, serta disediakan koneksi agar data yang ada
dapat masuk ke bank data nasional.
Untuk program kesehatan yang selama ini telah memiliki
sistem informasi yang terpisah-pisah, perlu dilakukan
advokasi agar sejalan dengan penerapan SIKDA Generik,
sistem informasi program-program yang terpisah mulai
diakhiri. Dengan demikian akan mengurangi fragmentasi.
Dalam pengembangan aplikasi biasanya menggunakan
7
Kesimpulan
1. Saat ini sedang dikembangkan SIKDA Generik, yaitu aplikasi sistem informasi kesehatan daerah yang berlaku secara
nasional yang menghubungkan secara online dan terintegrasi seluruh puskesmas, rumah sakit, dan sarana kesehatan
lainnya, baik itu milik pemerintah maupun swasta, dinas kesehatan kabupaten/kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan
Kementerian Kesehatan.
2. Aplikasi SIKDA Generik dikembangkan untuk menindaklanjuti permasalahan SIK di Indonesia yang belum terintegrasi,
informasi kesehatan masih terfragmentasi dan belum mampu mendukung penetapan kebijakan serta kebutuhan pemangku
kebijakan.
3. Aplikasi SIKDA Generik dikembangkan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
serta meningkatkan ketersediaan dan kualitas data dan informasi manajemen kesehatan melalui pemanfaatan teknologi
informasi komunikasi.
4. Aplikasi SIKDA Generik dirancang untuk dapat memenuhi berbagai persyaratan minimum yang dibutuhkan dalam
pengelolaan informasi kesehatan daerah, dari proses pengumpulan, pencatatan, pengolahan, sampai dengan diseminasi
informasi kesehatan.
5. SIKDA Generik dirancang untuk menjadi standar bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan informasi kesehatan di
wilayahnya.
6. SIKDA Generik terbagi menjadi beberapa sub sistem sebagai berikut :
a. Sistem Informasi Manajemen Puskesmas
b. Sistem Informasi Manajemen Dinas Kesehatan
c. Sistem Informasi Eksekutif
d. Sistem Komunikasi Data
7. Tahapan pengembangan dan pelaksanaan SIKDA Generik:
a. Modul SIM Puskesmas berupa prototype testing di Pusdatin dan prototype testing untuk puskesmas selesai per tanggal
31 Agustus 2011.
b. Modul Bank Data dan SIM Dinkes (uji coba), Bank data di Pusdatin (uji coba), di Dinkes (dengan menjalankan prototype
puskesmas) akan selesai per 30 September 2011.
c. Modul Konektivitas (Sistem Komunikasi Data) diharapkan selesai per 30 oktober 2011.
d. “Connectathon”, dimulai dengan 3 – 5 sistem yang sudah jadi.
e. Pendistribusian, pelatihan, pendampingan, dan perubahan budaya kerja.
8. Untuk pemerintah daerah yang telah memiliki/menggunakan SIKDA elektronik dapat tetap menggunakannya dengan
beberapa penyesuaian terhadap Pedoman Nasional SIK atau beralih ke SIKDA Generik.
9. Tantangan penerapan SIKDA Generik:
a. Penerapan untuk daerah dengan keterbatasan infrastruktur dan SDM seperti di 138 kabupaten/kota DBK/DTPK.
b. Penyediaan koneksi agar data yang ada di kabupaten/kota atau puskesmas yang sudah menerapkan SIK komputerisasi
online dan telah memiliki bank data yang telah terisi data dapat masuk ke bank data nasional.
c. Advokasi untuk program kesehatan yang selama ini telah memiliki sistem informasi yang terpisah-pisah, agar mulai
diakhiri sejalan dengan penerapan SIKDA Generik, untuk mengurangi fragmentasi.
d. Connecthathon untuk menguji interoperabilitas dan konektivitas dari aplikasi yang dikembangkan.
Ia yang mempunyai kesehatan, mempunyai harapan; dan ia yang mempunyai
harapan, mempunyai segalanya
8
PENDAHULUAN
Sistem Informasi Manajemen (SIM) merupakan komponen
penting dalam berbagai bentuk organisasi, baik pada skala
kecil maupun organisasi besar dengan berbagai kompleksitasnya. Melalui pengelolaan SIM secara baik, mulai dari
perencanaan, implementasi hingga evaluasi, maka organisasi dapat melihat status kelembagaannya dari sudut
pandang internal maupun eksternal dengan segala permasalahannya. SIM yang baik akan sangat membantu setiap
tingkatan pengambilan keputusan untuk menentukan kebijakan terbaik yang berdasar kepada data dan informasi
yang dibangun secara tepat, akurat, benar, dan lengkap.
Meskipun SIM tidak identik dengan komputerisasi, namun
perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi dewasa ini memberi konstribusi yang signifikan bagi implementasi SIM secara lebih profesional. Karena itu implementasi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam SIM menjadi salah satu solusi paling bijak yang dapat diambil. Ada
beberapa isu penting yang mendorong penggunaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam SIKDA, antara
lain :
1. Pengambilan keputusan yang tidak dilandasi dengan
informasi,
2. Informasi yang tersedia tidak relevan,
3. Informasi yang ada tidak dimanfaatkan oleh manajemen,
4. Informasi yang tidak tepat waktu,
5. Terlalu banyak informasi,
6. Informasi yang tersedia tidak akurat,
7. Adanya duplikasi data,
8. Pemanfaatan data yang tidak fleksibel
Dengan implementasi SIKDA berbasis Teknologi Informasi,
maka informasi menjadi aset organisasi yang sangat berharga karena melalui SIKDA organisasi dapat menguasai
informasi internal dan eksternal sebagai salah satu keunggulan kompetitif. Informasi yang dihasilkan akan menentukan kelancaran dan kualitas kerja serta dapat digunakan
sebagai ukuran kinerja organisasi.
SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH
Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) sebenarnya
sudah mulai dikembangkan sejak dekade 80-an di be-
berapa institusi kesehatan seperti Puskesmas di Indonesia,
termasuk Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo, melalui
pendekatan manajemen dan perkantoran. Mengingat
Teknologi yang berkembang pada waktu itu, maka
pendekatan yang digunakan adalah manual administrative
sampai tahun 1990. Kemudian mulai tahun 1990 - 2000
dengan mengikuti perkembangan teknologi informasi
SIKDA, Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo ikut
berkembang dengan excel data base.
Pada tahun 2000 dikembangkan aplikasi untuk menunjang
manajemen kesehatan dengan sistem single user di dinas
kesehatan kabupaten dan Puskesmas. Setelah sistem single user diterapkan, muncul masalah yaitu beban entri data
tertumpu pada 1 orang petugas, yang terjadi pada tahun
2000 sampai dengan 2001. Hal ini karena SDM yang
menangani SIKDA belum cukup mempunyai pengetahuan
dan keterampilan yang memadai untuk menjalankannya.
Setelah dilakukan evaluasi keseluruhan langkah
selanjutnya adalah melakukan perbaikan-perbaikan agar
informasi yang dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan,
dengan dilakukan komitmen bersama guna mengatasi
permasalahan yang muncul, maka pada tahun 2002
dikembangkan aplikasi multi user berbasis web di dinas
kesehatan dan setiap Puskesmas dengan dilengkapi
sarana Local Area Network (LAN). Untuk akses pengiriman
data dari Puskesmas ke dinas kesehatan dengan
memanfaatkan fasilitas telepon yaitu setelah entri data
selesai data dikirim dengan dial-up, namun muncul masalah
baru dimana ada 10 Puskesmas tidak mempunyai fasilitas
jaringan telepon sehingga untuk pelaporan menggunakan
disket. Hal ini menyebabkan munculnya masalah data tidak
lengkap dan tidak tepat waktu.
Guna mengatasi permasalahan baru tersebut sejak tahun
2004 sampai 2010 dikembangkan jaringan intranet jajaran
kesehatan dengan memanfaatkan teknologi wireless LAN,
sedangkan sekarang sebagian memanfaatkan teknologi
speedy (internet). Sedangkan untuk mengatasi
permasalahan SDM dilakukan pelatihan dan bimbingan
teknis.
9
SPESIFIKASI SISTEM
Sistem Informasi Kesehatan Daerah (SIKDA) dibagi dalam
3 sub sistem, dan beberapa modul dibawah sub sistem.
Beberapa sub sistem mempengaruhi sub sistem lainnya,
sehingga proses yang berjalan tergantung dari entri dan
pengolahan data dari sub sistem sebelumnya. Namun
demikian dimungkinkan diambil kebijakan by pass system
untuk kondisi tertentu guna menjamin SIKDA tetap berjalan
meskipun terjadi gangguan yang tidak diinginkan pada
salah satu sub sistem.
Sistem pengelolaan user dilakukan secara bertingkat dengan pembagian group user sesuai dengan person dalam
sistem, sehingga dapat diantisipasi overlapping fungsi
setiap user. Sistem manajemen user secara bertingkat akan
menentukan tanggung jawab terhadap suatu entri data dan
distribusinya, sehingga hanya user yang benar-benar
memiliki hak yang mampu mengakses data dan informasi
secara proporsional. Interaksi user secara langsung terhadap data juga dibatasi, sehingga end user tidak akan bisa
memanipulasi data base.
Adapun secara lengkap rancang bangun Sistem Informasi
Kesehatan Daerah di Dinas Kesehatan Kabupaten Purworejo seperti diagram dibawah ini :
DIAGRAM SISTEM INFORMASI KESEHATAN DAERAH DINAS
KESEHATAN KABUPATEN PURWOREJO
Pengembangan SIKDA saat ini akan difokuskan pada intergrasi Sistem Informasi Manajemen Pasien (SIM-Pasien),
Sistem Informasi Manajemen Program (SPTP), Sistem Informasi Manajemen Obat (SIMO) dan Sistem Informasi
Manajemen Kepegawaian (SIMKA).
a. SIMPUS untuk manajemen pasien :
1. Master file yang terdiri dari sub menu file Puskesmas,
file tujuan, file penyakit, file tindakan UGD, file
tindakan keperawatan, file pemeriksaan penunjang,
file tarif kelas dan file tarif visit.
2. Menu Utama, yang terdiri dari sub menu transaksi
untuk pelayanan pasien yang terdiri dari pelayanan:
loket, rawat jalan, rawat inap, ruang obat, laporan dan
menu utama untuk kembali.
a. Sub menu loket merupakan tampilan untuk
10
petugas loket mendaftar pasien yang berkunjung,
terdiri dari :
 Tambah untuk mendaftar pasien baru pertama
kali terdaftar di salah satu puskesmas.
 Cari data untuk mencari pasien lama atau
pasien yang pernah terdaftar di Puskesmas.
b. Sub menu rawat jalan digunakan untuk mencatat
dan mengolah data tindakan yang dilakukan
terhadap pasien di unit-unit pelayanan, antara lain
poli umum, poli KIA, poli gigi, dan poli lainnya,
terdiri dari :
 Daftar tunggu merupakan fasilitas untuk melihat
pasien yang menunggu diobati oleh poli-poli
tersebut.
 Cari data merupakan fasilitas untuk mencari
data pasien yang telah selesai diobati,
berdasarkan nomor dan tanggal transaksi serta
nama pasien.
c. Sub menu rawat inap merupakan fasilatas untuk
mencatat dan mengolah tindakan yang dilakukan
terhadap pasien rawat inap. Termasuk pemakaian
obat saat perawatan, konsultasi dokter yang
dilakukan. Di menu ini juga ada fasilitas untuk
perpindahan ruang/kelas. Fasilitas rawat inap ini
terdiri dari daftar tunggu dan cari data yang
fungsinya sama seperti pada sub menu rawat
jalan.
d. Sub menu rawat jalan maupun rawat inap
mempunyai sub sistem layanan penunjang
seperti :
 Laboratorium digunakan untuk mencatat dan
mengolah data tindakan laboratorium yang
dilakukan terhadap pasien dan mencatat biaya
tindakan laboratorium tersebut.
 Tindakan UGD digunakan untuk mencatat dan
mengolah data tindakan terhadap pasien yang
masuk ke Puskesmas melalui Unit Gawat
Darurat.
 Tindakan Keperawatan digunakan untuk
mencatat dan mengolah data tindakan
keperawatan terhadap pasien dan mencatat
biaya tindakan yang dilakukan tersebut.
 Pemeriksaan Penunjang untuk mencatat dan
mengolah data hasil pemeriksaan penunjang
seperti EKG, rontgen atau fisioterapi untuk
keperluan perawatan/pengobatan dan mencatat
biaya pemeriksaan tersebut.
3. Sub menu laporan merupakan memperoleh laporan
dari hasil entri data, terdiri dari laporan :
Kunjungan rawat jalan merupakan laporan jumlah
kunjungan pasien rawat jalan per poli (BPU, BPG, KIA
dll), per status pasien (Askes, JPS, bayar)
berdasarkan wilayah tempat tinggal (desa/kelurahan
dan dalam serta luar wilayah kerja puskesmas)
Tindakan UGD digunakan untuk mencatat dan
mengolah data tindakan terhadap pasien yang masuk
ke Puskesmas melalui Unit Gawat Darurat.
 Tindakan Keperawatan digunakan untuk mencatat
dan mengolah data tindakan keperawatan terhadap
pasien dan mencatat biaya tindakan yang dilakukan
tersebut.
 Pemeriksaan Penunjang untuk mencatat dan
mengolah data hasil pemeriksaan penunjang seperti
EKG, rontgen atau fisioterapi untuk keperluan
perawatan/pengobatan dan mencatat biaya
pemeriksaan tersebut.
3. Sub menu laporan merupakan memperoleh laporan
dari hasil entri data, terdiri dari laporan :
 Kunjungan rawat jalan merupakan laporan jumlah
kunjungan pasien rawat jalan per poli (BPU, BPG,
KIA dll), per status pasien (Askes, JPS, bayar)
berdasarkan wilayah tempat tinggal (desa/kelurahan
dan dalam serta luar wilayah kerja puskesmas)
dengan rentang waktu tanggal.
 Kunjungan rawat inap sama seperti kunjungan rawat
jalan.
 Kesakitan rawat jalan merupakan laporan data
kesakitan LB1 untuk rawat jalan dengan rentang
waktu tanggal.
 Kesakitan rawat inap merupakan laporan data
kesakitan LB1 untuk rawat inap dengan rentang
waktu tanggal.
 Rincian rawat jalan merupakan laporan pendapatan
retribusi dan tindakan berdasarkan perda yang
berlaku dengan rentang waktu tanggal.
 Rincian rawat inap sama seperti rincian rawat jalan
namun untuk kunjungan rawat inap.
 Penyebaran penyakit rawat jalan merupakan
pemetaan untuk mengetahui penyebaran penyakit
per kecamatan sampai dengan desa/kelurahan
dengan rentang waktu tanggal.
 Penyebaran penyakit rawat inap merupakan
pemetaan untuk mengetahui penyebaran penyakit
per kecamatan sampai dengan desa/kelurahan
dengan rentang waktu tanggal.
 10 besar penyakit rawat jalan merupakan fasilatas
laporan untuk mengetahui 10 besar penyakit rawat
jalan dengan rentang waktu tanggal.
 10 besar penyakit rawat jalan merupakan fasilatas
laporan untuk mengetahui 10 besar penyakit rawat
jalan dengan rentang waktu tanggal.
 Laporan mingguan wabah (W2).
4. Menu utama.
b. SIMPUS untuk manajemen program :
Merupakan fasilitas untuk mencatat dan mengolah data
hasil kegiatan program Puskesmas yang terdiri dari :
1. Menu Utama, yang terdiri dari sub menu data gizi,
P2M, imunisasi, KIA, reproduksi, promkes, data dasar,
identitas puskesmas dan data kematian.
2. Sub menu laporan merupakan tampilan untuk
menampilkan laporan bulanan masing-masing
program dan Profil kesehatan.
c. SIMO untuk manajemen obat :
 Menu Utama, yang terdiri dari sub menu transaksi
yang terdiri dari: input obat baru, transaksi obat
masuk, transaksi obat keluar serta transaksi obat
rusak.  Sub menu pelaporan yang terdiri dari: LPLPO
Puskesmas, Pengeluaran Obat Harian, Daftar Obat
Masuk, Daftar Obat Keluar dan Daftar Obat Rusak. d. SIMKA untuk manajemen kepegawaian :
Merupakan fasilitas untuk mencatat dan mengolah data
pegawai Puskesmas yang terintegrasi dengan SIM
pelayanan pasien, yaitu : Menu Utama, yang terdiri dari
sub menu input data pegawai dan daftar data pegawai.
SPESIFIKASI TEKNIS
SIMPUS merupakan aplikasi yang tidak berdiri sendiri,
melainkan aplikasi terintegrasi. Aplikasi tersebut dapat
beroperasi dalam jaringan online/offline dengan sistem
intranet maupun internet (web based aplication), dengan
platform dasar web base system (berbasis web), dengan
spesifikasi teknis :
 Perangkat lunak ini dapat dioperasikan pada sistem
operasi MS Windows 95, 98, 2000 sampai versi terakhir.
 Merupakan aplikasi perangkat lunak berbasis web yang
dibangun dengan menggunakan bahasa pemrograman
Active Server Page (ASP) atau PHP.
 Dengan data base MY SQL atau SQL Server.
 Client Server: penggolongan aplikasi kedalam sisi client
(user interface) dan sisi server (business process) secara
terpisah, untuk memudahkan manajemen aplikasi dan
pemeliharaan aplikasi.
 Multi User: dapat dijalankan secara bersama-sama
secara simultan sehingga lebih mempercepat proses
transaksi.
 Untuk menjamin keamanan sistem akan dilakukan
metode dalam menggunakan perangkat keras dan
perangkat lunak, yaitu setiap user memilki identitas dan
kata kunci.
PENUTUP
Dalam pembangunan sebuah aplikasi, yang perlu diperhatikan bukan hanya sistem serta bisnis proses (prosedur) saja
yang dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, namun proses komunikasi dan koordinasi dalam sistem juga
perlu diperhatikan sehingga terjadi sinkronisasi antara ketentuan yang berlaku, kebijakan yang diterapkan serta aktifitas
yang dijalankan sehingga perlu kepemimpinan dan komitmen
yang kuat disemua jenjang. Melalui pembangunan SIKDA
yang handal, pimpinan mampu memantau pekerjaan bawahan secara lebih cepat dan detail, sehingga setiap keputusan
yang diambil melalui proses yang tepat dan data yang benar
akurat dan lengkap.
11
SIKDA Generik akan mengubah SIK
B agaimana
Nasional
WHO mengklasifikasikan Sistem Informasi Kesehatan (SIK)
sebagai salah satu dari 6 “building blocks” Sistem
Kesehatan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran
SIK di dalam suatu sistem kesehatan. Namun untuk SIK di
Indonesia, sering terdengar masih belum memadai
sehingga tidak bisa memberikan data yang akurat.
Akibatnya adalah pemangku kepentingan dan pembuat
kebijakan – para kepala Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas
Kesehatan dan petugas di Kementerian Kesehatan,
menjadi sulit untuk mendapatkan data yang akurat dalam
waktu yang tepat untuk membantu dalam melakukan tugas
harian.
Kelemahan SIK Indonesia sebenarnya mempunyai 3 faktor
utama:
1. Fragmentasi & sistem paralel terlalu membebankan
Yang paling fundamental adalah permasalahan fragmentasi. Hal ini disebabkan SIK Indonesia mempunyai
banyak “sub-sistem” yang berjalan secara paralel sesuai kebutuhan pemangku kepentingan yang berbeda,
yang akhirnya membuat petugas di lapangan kewalahan dalam mengkompilasi dan melaporkan data yang
diperlukan. Salah satu contohnya, di suatu analisis yang
dilakukan di Nusa Tenggara Barat, dalam satu tahun
laporan yang harus diserahkan kepada petugas kesehatan dalam provinsi melebihi 300 lebih tipe laporan
dengan memakai 8 tipe software yang berbeda. Laporan tersebut masih belum termasuk permintaan laporan
dari sumber non-kesehatan (kementerian lain seperti
Kementerian Keuangan). Dari data yang harus dilaporkan, sebagian besar datanya adalah terdiri dari variabel yang sama, tetapi harus diisi dengan data yang
sama ke dalam formulir/software yang berbeda dan
berulang kali. Dengan beban laporan yang begitu berat
dalam pelayanan kesehatan, menimbulkan resiko petugas fasilitas kesehatan untuk membuat kesalahan
dalam pencatatan/rekapitulasi menjadi sangat tinggi dan
juga laporan menjadi sering terlambat dikirim. Yang
paling buruk adalah data yang berbeda dilaporkan untuk
variabel yang sama dalam fasilitas yang sama. Jadi
timbul pertanyaan, data manakah yang benar ?
12
2. Pemerintah/Governance
Sejak desentralisasi tahun 2000, peran Kementerian
Kesehatan dalam mengelola SIK semakin penting.
Tanpa pengelolaan dan kebijakan yang kuat, setiap
pemerintah daerah akan mengadopsi sistem masing
masing yang berbeda dan tidak “interoperable” – yakni,
tidak bisa saling komunikasi antara satu sistem dengan
yang lain. Itulah masalah yang terjadi di Indonesia
sekarang. Walaupun ada banyak daerah yang sudah
mempunyai SIK yang bagus dan terkomputerisasi, namun data bank ini tidak bisa diintegrasikan ke dalam
bank data nasional. Isu pemerintah termasuk juga kebijakan keputusan berbasis data atau “evidence based”
yang masih lemah dalam implementasinya.
3. Pemanfaatan Teknologi Informasi & Komunikasi (TIK)
masih kurang
Dalam laporan Health Systems Financing: The path to
universal coverage (WHO, 2010), Dr. Margaret Chan,
Director-General WHO menyatakan bahwa hampir 2040% dana Kesehatan menjadi sia-sia atau tidak
terserap dengan baik. Hal ini dikarenakan sistem tidak
efisien. Antara lain diakibatkan sistem manual yang
masih terlalu lambat dan memerlukan banyak sumber
dan tidak adanya Informasi tepat. Sistem Kesehatan
Indonesia masih belum memanfaatkan TIK secara
menyeluruh dan jauh ketinggalan dengan sektor lainnya
contohnya sektor Bank yang telah memanfaatkan TIK
secara maksimal.
ROADMAP PENGUATAN SIK
Dalam tahun 2010, Pusat Data dan Informasi giat
menyusun Roadmap untuk penguatan SIK nasional. Inisiatiinisiatif yang diidentifikasikan di dalam Roadmap 5 tahun ini
adalah khusus untuk menangani tiga permasalahan besar
SIK di atas. Informasi lengkap mengenai inisiatif yang
disusun di dalam Roadmap ini bisa dilihat bila Roadmap ini
diterbitkan.
Salah satu inisiatif yang disusun dalam Roadmap ini adalah
SIKDA Generik. Yang jelas, untuk memperkuatkan SIK
nasional, adopsi TIK harus ditingkatkan agar semua dapat
berbasis elektronik dan data bisa dikirim dan diakses
dengan cepat dan tepat.
Namun untuk memodernisasikan SIK dengan adopsi TIK
memerlukan investasi yang sangat tinggi karena melibatkan
banyak dana untuk perangkat keras, lunak, implementasi
dan operasional. Ini menjadi hambatan utama (selain faktor
lain seperti kekurangan dalam infrastruktur seperti listrik).
Hal tersebut merupakan sebab mengapa implementasi TIK
di sektor Kesehatan masih belum menyeluruh.
Dengan alasan ini, Pusdatin mengambil inisiatif untuk
membangun perangkat lunak SIK yang bisa dipakai di
Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kabupaten/
Kota dan Provinsi, dan di tingkat nasional sebagai Bank
Data Kesehatan Nasional yang gratis (berbasis open
source) untuk semua. Untuk fase pertama tahun 2011,
SIKDA Generik akan konsentrasi dalam semua modul
kecuali modul Rumah Sakit yang akan dibangun pada fase
kedua tahun 2012.
SIKDA Generik
Perangkat lunak ini dibangun dengan tujuan:
 Menampung semua kebutuhan data program,
akademisi, pembuat keputusan dan lainnya dengan
mencatat data individu (disaggregate) termasuk dari
sektor swasta agar SIK yang berjalan secara paralel
sekarang bisa diintegrasikan menjadi satu sistem pada
masa depan.
 Mengirim data individu dan disimpan di dalam Bank
Data Kesehatan yang membolehkan adanya *“data
query” yaitu melakukan manipulasi pada data base
untuk memberikan Informasi yang diperlukan dalam
format yang sesuai kapan saja tanpa permintaan
variabel baru kepada field.
 Mengkomputerisasikan proses kerja di fasilitas
kesehatan agar pekerjaan lebih efisien dan transparan
sehingga biaya untuk sistem kesehatan bisa
diminimalkan.
Fungsi-fungsi yang ditampung dalam SIKDA Generik
adalah seperti berikut:
 Modul Puskesmas – semua fungsi utama puskesmas
seperti pendaftaran dan manajemen pasien, poliklinik
(medical record elektronik), apotek, inventori, laboratorium/radiologi, kasir dan pelaporan.
 Modul Rumah Sakit – semua fungsi utama rumah sakit
seperti pendaftaran dan manajemen pasien, poliklinik
(medical record elektronik), apotek, inventori, laboratorium/radiologi dan kasir dan pelaporan.
 Modul Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota –
fungsi pelaporan dan data query termasuk untuk yang
dari sektor swasta.
 Modul Bank Data Nasional – Koneksi dan integrasi
kepada bank data lokal (di dinas kesehatan provinsi/
kabupaten/kota) dan perangkat lunak lainnya yang dipakai oleh sektor swasta, penyimpanan dan query data
termasuk *dashboard. Distribusi data adalah lewat
internet (login ke www.depkes.go.id).
Pembangunan SIKDA Generik adalah dengan konsep open
source, dimana source kode akan menjadi domain umum.
Perangkat lunak ini tidak akan terkait dengan investasi
lisensi yang akan membuatnya lebih murah dalam jangka
waktu panjang sehingga komunitas “programmer” di
Indonesia yang bergerak dalam bidang aplikasi SIK bisa
bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan SIKDA
Generik.
Perangkat lunak gratis SIKDA Generik akan diberikan
kepada semua daerah untuk diadopsi dan diimplementasi.
Sekiranya daerah terkait sudah mempunyai SIKDA
elektronik sendiri, tidak perlu memakai SIKDA Generik dan
bisa memakai SIKDA mereka sendiri. Yang penting adalah
SIKDA mereka mengikuti konfigurasi yang ditunjukkan di
dalam PEDOMAN SIK agar dapat “Interoperate” (saling
bertukar data) dengan Bank Data Nasional. Untuk daerah
yang belum memiliki, SIKDA Generik bisa dipakai secara
gratis dan diimplementasikan dengan dana APBD, APBN
atau sumber lainnya. Khusus untuk tahapan pertama,
Pusdatin akan menerima bantuan dana dari The Global
Fund untuk implementasi di 138 Daerah Perbatasan dan
Terpencil. Untuk daerah yang lainnya, Pusdatin akan
mengkordinasikan dana implementasi dari sumber lain
termasuk donatur.
Apabila semua fasilitas kesehatan dikomputerisasikan di
masa yang akan datang, maka semua fasilitas pelayanan
(rumah sakit dan puskesmas, baik umum atau swasta)
akan mulai mencatat data individu pasien secara elektronik.
Data individu ini kemudian akan dikirim secara elektronik ke
bank data di tingkat lokal (dinas kesehatan kabupaten/kota/
provinsi) dan bank data nasional. Dengan adanya data
individu di bank data nasional yang bisa diakses lewat
internet, semua keperluan data oleh pihak yang berbeda
bisa dilakukan dengan “query” sehingga petugas kesehatan
lapangan tidak lagi terbeban dengan banyaknya laporan.
Entri hanya perlu satu kali secara elektronik dan hemat
waktu sehingga waktu yang ada bisa dikonsentrasikan
kepada pelayanan pasien. Dengan adanya data individu secara elektronik dan online,
perhatian harus diberikan kepada privasi dan kerahasiaan
pasien. Pusdatin akan mengadopsi kebijakan yang akan
menjaga privasi ini termasuk antara lain enkripsi data
sewaktu komunikasi dan tidak mengirim data nama pasien.
Inisiatif SIKDA Generik ini adalah sesuatu hal yang
berpotensi mengubah pola kerja dalam sektor kesehatan.
Hal ini memerlukan dukungan dari semua pihak untuk
mencapai kesuksesan.
Untuk Informasi lebih detail, kontak:
[email protected]
13
Pendahuluan
Di Indonesia, pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) untuk mendukung tatakelola sistem
informasi kesehatan sudah semakin luas. Ini dibuktikan
dari banyaknya organisasi sektor publik seperti dinas
kesehatan dan rumah sakit daerah, yang sudah
menggunakan TIK untuk mendukung proses kerja di
organisasinya. Di dinas kesehatan, kita mengenal sistem
informasi puskesmas (SIMPUS), sistem informasi dinas
kesehatan (SIM Dinkes), sistem informasi KIA, inventori dan
gudang obat, surveilans, SIG dan lain sebagainya. Begitu
juga di rumah sakit, beberapa sudah mulai memanfaatkan
TIK walaupun baru sebatas pada fungsi administrasi
pasien, pelaporan rutin, inventori farmasi, tagihan, case-mix
dan terakhir transformasi rekam medis elektronik. Dua
komponen penting disini adalah sistem informasi kesehatan
dan teknologi informasi dan komunikasi pendukungnya.
Sementara investasi infrastruktur sistem informasi, aplikasi
(software) dan jaringan sudah sedemikian banyaknya,
kesiapan sumber daya manusia (SDM), baik pengguna
maupun yang mengelola sistem informasi belum
dipersiapkan dengan baik. Padahal banyak tenaga
kesehatan yang belum memiliki kompetensi yang cukup,
harus mengoperasikan teknologi informasi di organisasinya.
Akibatnya, investasi teknologi informasi tidak dimanfaatkan
secara optimal. Belum lagi permasalahan pemilihan aplikasi
atau software yang tepat guna bagi institusi serta kerjasama
dengan pihak lain sebagai penyedia jasa pengembangan
software, akan sangat berpotensi merugikan institusi jika
tidak dilakukan secara benar. Tanpa adanya strategi adopsi
teknologi informasi yang baik, mengelola proyek sistem
informasi dan mengadaptasikan perubahan-perubahan
proses bisnis dalam institusi kesehatan, implementasi
teknologi informasi cendrung berakhir dengan kegagalan
akibat resistensi dari penggunanya sendiri. Salah satu
strategi dalam memperkuat sistem informasi kesehatan
(SIK) adalah memperkuat tenaga SIK di semua level
organisasi.
Memperkuat kompetensi SDM sistem informasi kesehatan
menjadi penting melalui pendidikan dan pelatihan yang
relevan. Sejauh ini pendidikan formal sistem informasi
kesehatan masih sangat terbatas dan harus ditempuh
14
setidaknya 2 tahun untuk pendidikan S2 dan 4 tahun untuk
pendidikan S1. Untuk tenaga kesehatan yang sudah
bekerja dalam pengelolaan SIK secara rutin, masa 2 tahun
pendidikan menjadi kendala utama. Belum lagi institusi
yang ditinggalkan akan kekurangan tenaga. Padahal sistem
informasi di institusi kesehatan harus tetap berjalan.
Merekrut staf baru dengan latar belakang sistem informasi
atau informatika kesehatan juga bukanlah proses yang
gampang. Staf baru jelas harus beradaptasi dengan pola
kerja dan bisnis proses di bidang kesehatan. Sebagian
besar pendidikan informatika tidak berfokus pada bidang
kesehatan yang notabene memiliki proses bisnis yang
khusus. Di lain pihak, sudah banyak tenaga kesehatan yang
pada akhirnya mengelola sistem informasi dan informatika
kesehatan di institusinya. Kementerian kesehatan melalui
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) sudah memberikan
surat keputusan (SK) khusus kepada lebih dari 900 tenaga
kesehatan untuk bekerja sebagai tenaga SIK (Sistem
Informasi Kesehatan) di level provinsi maupun kabupaten/
kota. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kesuksesan
implementasi sistem informasi dan informatika kesehatan
secara nasional akan sangat tergantung juga pada tenaga
kesehatan yang ditugasi tersebut.
Pertanyaan
pentingnya
adalah
bagaimana
menyelenggarakan suatu peningkatan kapasitas SDM yang
komprehensif dengan tujuan memperkuat tenaga SIK yang
sudah ditunjuk tersebut, sehingga dapat berkontribusi
dalam memperkuat SIK di semua level organisasi,
sekaligus memperkuat jejaring SIK secara nasional, Sistem
Informasi Manajemen Kesehatan (SIMKES), Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada, bekerjasama dengan
Pusdatin dan didukung oleh GIZ (German-based
International Cooperation), menyusun suatu program
pelatihan tenaga SIK yang komprehensif bagi tenaga SIK di
Indonesia. Program ini didesain sedemikian rupa untuk
mengakomodasi kebutuhan tenaga SIK yang mayoritas
berlatar belakang kesehatan.
Strategi penyusunan program pelatihan
Program pelatihan yang komprehensif untuk tenaga SIK
dikembangkan dengan mempertimbangkan berbagai
macam latar belakang pendidikan, kemampuan dan level
institusi dimana tenaga tersebut berada. Menyusun program
pelatihan dengan subyektifitas yang bervariasi bukanlah hal
yang mudah. Menurut Staggers, Gassert, & Skiba (2000),
terdapat 9 kompetensi utama yang perlu dicapai dalam
pendidikan informatika kesehatan. Hal ini termasuk
pemahaman terhadap penggunaan software, prinsip-prinsip
tampilan antar muka, prinsip keamanan dan kerahasiaan
data, metode evaluasi sistem informasi, pengembangan
software, standar dan terminologi kesehatan. Namun,
kompetensi tersebut lebih menekankan pada aspek
informatika (teknis) dibandingkan dengan aspek lainnya
seperti pengelolaan data, manajemen proyek dan juga
keorganisasi SIK. Di Amerika, Carroll (2002) menjabarkan 3
kompetensi utama informatika kesehatan masyarakat yang
harus dipenuhi, mulai dari aspek sistem informasinya sendiri,
aspek teknis dan aspek manajemen proyek SIK. Standar
kompetensi ini menjadi salah satu acuan penyusunan
program pelatihan tenaga SIK khususnya di Indonesia.
Beberapa pertemuan di level pusat kemudian difasilitasi oleh
Pusdatin dan SIMKES UGM. Pertemuan ini mengundang
berbagai stakeholder lain baik di lingkungan Kemenkes
seperti perwakilan dari BUK, P2, Litbangkes, BPSDMK dan
KIA, maupun dari luar Kemenkes seperti Detiknas, FKM UI,
ITB dan FK UI. Dari pertemuan tersebut, munculah suatu
wacana untuk melakukan analisa kompetensi dan
pengembangan kurikulum program pelatihan yang sesuai.
Sebuah survei yang dilakukan di Provinsi DI Yogyakarta oleh
SIMKES awal tahun 2011 terhadap tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan sistem informasi di
dinas kesehatan kabupaten/kota, perwakilan puskesmas dan
juga staf SIK rumah sakit umum daerah kabupaten/kota,
menunjukkan perlunya penguatan kompetensi tenaga SIK
melalui program yang komprehensif. Secara statistik,
mayoritas (90%) penanggung jawab SIK memiliki latar
belakang kesehatan, seperti kesehatan masyarakat,
perawat, bidan dan rekam medis (Gambar 1). Hanya 10%
dari total 20 tenaga pengelola SIK di berbagai institusi
tersebut yang memiliki latar belakang teknis (ilmu komputer).
Dalam survei ini juga menunjukkan aktivitas SIK di masingmasing unit/program terdiri dari kegiatan yang bersifat teknis,
pengelolaan data dan informasi serta manajemen program
dan pengelolaan proyek terkait SIK. Gambar 2
menggambarkan proporsi ketiga kegiatan tersebut di masing
-masing unit.
Gambar 1. Latar belakang pendidikan pengelola SIK di Provinsi DIY thun 2011 (n=20) Selain latar belakang pendidikan, jenis kegiatan terkait SIK
juga diidentifikasi berdasarkan unit/program dimana
narasumber berada. Gambar 2 menunjukkan bahwa aktivitas
SIK di unit/program berbeda antara unit satu dengan lainnya.
Di unit pelayanan teknis (UPT) umpamanya, yaitu Rumah
Sakit dan Puskesmas, mayoritas kegiatan SIK terkait
masalah teknis dibandingkan kegiatan pengelolaan data dan
informasi. Bahkan di UPT tenaga SIK-nya kurang terlibat
dalam pengelolaan proyek atau program terkait SIK.
Berbeda dengan unit SIK di dinas kesehatan, yang hampir
ketiga aktivitas baik aspek teknis, manajemen data maupun
pengelolaan program SIK dilakukan oleh unit ini.
Gambar 2. Kegiatan SIK yang dilakukan di unit SIK Dinkes, Unit/Program di Dinkes serta Rumah Sakit dan Puskesmas di Provinsi DI Yogyakarta tahun 2011 15
Penetapan kompetensi dan kurikulum pelatihan
kompetensi dan kurikulum pelatihan tenaga SIK.
Berdasarkan survei yang dilakukan di DI Yogyakarta
tersebut, serta mengacu pada kompetensi informatika
kesehatan masyarakat oleh Carrol (2002), program
pelatihan ini menetapkan 3 kompetensi utama yang akan
dicapai antara lain:
1. Kompetensi dalam mengelola data dan informasi
kesehatan.
2. Kompetensi dalam pemanfaatan teknologi informasi
untuk mengelola data menjadi informasi kesehatan.
3. Kompetensi dalam melakukan manajemen dan
tatakelola program atau proyek sistem informasi/
teknologi informasi.
Setelah ke-10 modul diberikan, peserta pelatihan akan
mengikuti program magang yang diselenggarakan di
berbagai fasilitas kesehatan pengguna teknologi informasi.
Peserta akan mengikuti program magang sesuai dengan
bidang kerja dan kepeminatan masing-masing. Untuk
pelatihan ini magang dilakukan di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Puskesmas dan juga rumah sakit. Pada
prinsipnya, program magang ini adalah mengaplikasikan
ketiga kompetensi yang semestinya sudah didapat selama
pelatihan dalam kelas. Aktivitas selama program magang ini
antara lain bekerja sebagai praktisi sistem informasi dan
informatika kesehatan di tempat magang, dimana peserta
mengaplikasikan kompetensi yang sudah didapat dalam
membantu institusi tempat magang dalam memperkuat
sistem informasi yang sedang dijalankan. Selain itu melalui
program magang ini, peserta diwajibkan menyusun
proposal pengembangan sistem informasi untuk institusi
tempat bekerja sekembalinya dari pelatihan.
Dari ketiga kompetensi tersebut, dibuatlah modul yang
komprehensif yang diberikan secara sistematis selama
pelatihan, dengan mengikuti siklus pengembangan sistem
informasi kesehatan mulai dari perencanaan, pemilihan
atau pengembangan sistem, implementasi sistem dan
evaluasi (Hebda & Czar, 2009). Pada aspek perencanaan,
terdapat 3 modul yang diberikan yaitu 1) Rencana Strategis
Sistem Informasi Kesehatan, 2) Manajemen Proyek Sistem
Informasi Kesehatan dan 3) Modul Rekam Medis dan
Sistem Informasi Klinis, yang merupakan sarana sumber
data yang harus diolah dengan menggunakan teknologi
informasi. Aspek perencanaan ini termasuk dalam
kompetensi ke-3 menurut Carrol (2002).
Pada aspek pemilihan atau pengembangan sistem terdapat
3 modul yang diberikan antara lain 1) Infrastruktur Sistem
Informasi Kesehatan, 2) Pemrograman Dasar, dimana
peserta akan dipaparkan instrumen atau tools
pengembangan software yang bertujuan untuk
memperkenalkan peserta terhadap logika dalam
pengembangan sistem, dan 3) Data base dan Data
warehouse, yang masih terkait dengan modul
pemrograman dasar dimana peserta akan memahami
pengelolaan data kesehatan dengan lebih baik. Pada aspek
implementasi sistem, terdapat 1 modul utama yang terkait
dengan aspek sebelumnya yaitu Permasalahan Teknis dan
Pemeliharaan Infrastruktur SIK. Baik aspek pemilihan atau
pengembangan sistem dan aspek implementasi sistem
mengacu pada kompetensi ke-2 menurut Carrol (2002)
yaitu kompetensi teknis dalam mengelola data dan
informasi kesehatan.
Dalam aspek evaluasi sistem, terdapat 3 modul yang
diberikan antara lain 1) Analisa data, presentasi dan
diseminasi informasi kesehatan, yang bertujuan untuk
menyediakan informasi yang bermutu dalam membantu
pengambilan keputusan, 2) Sistem informasi geografis
untuk kesehatan, dan 3) Evaluasi sistem informasi
kesehatan, yang bertujuan baik untuk monitoring kegiatan
maupun mengevaluasi capaian sistem informasi yang
dilakukan. Gambar 3 menunjukkan secara komprehensif
16
Gambar 3. Susunan kompetensi dan modul pelatihan tenaga SIK Sasaran Program Pelatihan SIK
Sesuai dengan tujuan, latar belakang dari penyusunan
program pelatihan tenaga SIK serta kompetensi dan
kurikulum yang telah disusun, program pelatihan ini akan
sesuai pada:
 Jajaran Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan
Provinsi, maupun Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dan Staf Puskesmas yang terlibat langsung dalam
pengembangan dan pelaksanaan sistem informasi
kesehatan di institusinya.
 Staf Sistem Informasi Rumah Sakit, khususnya yang
terlibat dalam mengelola data dan informasi di rumah
sakit.
 Para pengelola data dan informasi di fasilitas
pelayanan kesehatan yang berupaya
mendayagunakan sistem informasi untuk mendukung
peningkatan kinerja organisasi.
Penyelenggaraan Pelatihan SIK kerjasama Pusdatin
-GIZ-SIMKES UGM
Pilot project pelaksanaan program pelatihan tenaga SIK
dilakukan di Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada
(UGM), dimana minat SIMKES Program Studi S2 IKM,
sebagai penyelenggara pelatihan. Bekerjasama dengan
Pusdatin dan BPSDM, program pelatihan ini diajukan untuk
dapat diakreditasi oleh BPSDM. Program pelatihan
dilaksanakan dalam waktu 3 bulan. Dua (2) bulan pertama
peserta diberikan materi dalam kelas sesuai dengan
kompetensi yang harus diraih dengan modul-modul
pelatihan. Dalam pembelajaran, modul-modul diberikan
melalui praktik laboratorium, praktik lapangan, kuliah dan
diskusi, tugas menulis dan tugas presentasi. Aspek
peningkatan kapasitas skill (keterampilan) peserta lebih
ditekankan selama 2 bulan pertama ini. Tidak kurang dari 32
narasumber ikut terlibat dalam pelaksanaan program
pelatihan, yang melibatkan Kementerian Kesehatan
(Pusdatin), Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di wilayah DIY seperti Sleman, Bantul, Kota
Yogyakarta, Gunung Kidul dan Kulonprogo, narasumber dari
tempat lain seperti Dinkes Purworejo, RS Sardjito, RS
Ghrasia, Puskesmas, Rano Center Semarang dan tentunya
UGM yang berasal dari berbagai unit yang ada seperti
Fakultas MIPA, PPTIK, Fakultas Geografi dan Fakultas
Kedokteran. Diantara perkuliahan, secara rutin dilakukan
kuliah lapangan atau site visit ke berbagai institusi
kesehatan, mulai dari fasilitas TIK di Fakultas Kedokteran
UGM, Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan
Rumah Sakit. Selain itu kegiatan sosial berupa outbond
dilakukan di sela-sela waktu pelatihan agar tidak terlalu
monoton.
Program magang dilakukan setelah menyelesaikan materi
dalam kelas. Selama 1 bulan penuh, peserta ditempatkan di
beberapa institusi kesehatan di sekitar Yogyakarta seperti
Dinas Kesehatan Sleman, Kota Yogyakarta, Bantul dan
Rumah Sakit Akademik UGM. Selama magang, peserta
akan mengaplikasikan keterampilan yang sudah diperoleh
dalam membantu mengembangkan sistem informasi di
tempat magang.
Peserta Pelatihan
Pada pilot project ini, GIZ memberikan beasiswa kepada 30
peserta pelatihan melalui proses seleksi yang ketat. Secara
umum peserta yang dipilih adalah peserta bekerja sebagai
tenaga SIK di institusi kesehatan, seperti Dinas Kesehatan,
Puskesmas dan Rumah Sakit. Ke-30 peserta terdiri dari 13
peserta angkatan pertama dan 17 peserta angkatan ke dua.
Pelatihan ini diikuti peserta berbagai latar belakang
pendidikan dan daerah asal.
Foto bersama peserta pelatihan tenaga SIK angkatan pertama pada acara
evaluasi dan penutupan
Sebagian peserta yang mengikuti pelatihan ini berpendidikan
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) sejumlah 16 peserta
(53,3%), diikuti dengan tujuh peserta (23,3%) berlatar
belakang pendidikan komputer, satu peserta belatar
belakang Sarjana Ekonomi, dan sisanya adalah belatar
belakang rekam medis.
Gambar 4. Diagram Latar belakang pendidikan peserta
Pelatihan Tenaga SIM
Kunjungan peserta pelatihan di Puskesmas Mlati Kabupaten Sleman, DIY
17
Pelatihan ini diikuti oleh sebagian besar tenaga SIK dari
dinas kesehatan kabupaten/kota (20 peserta). Selebihnya,
pelatihan ini diikuti oleh tenaga SIK yang berasal dari
Pusdatin, Dinkes Provinsi dan Rumah sakit masing-masing
sebanyak 2 orang, serta 4 peserta berasal dari Puskesmas.
Secara geografis, peserta berasal dari berbagai wilayah di
Indonesia. Gambar 5 menunjukkan distribusi peserta
pelatihan tenaga SIK dengan skema beasiswa dari GIZ.
Jika dilihat angka kumulatifnya, peserta dari luar pulau
Jawa cukup banyak. Diantaranya berasal dari Bireun, Kota
Langsa, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Belitung, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Lombok Tengah, Lombok Timur, Nias, NTB, Sulawesi
Tengah dan Jayapura. Seluruh peserta pelatihan ini adalah
pengelola SIK di institsuinya.
Gambar 5. Distribusi peserta program beasiswa pelatihan tenaga SIK tahun 2011 merekomendasikan
beberapa
perbaikan
dalam
pelaksanaan pelatihan ini. Pertama dari segi kurikulum.
Perlu dipertimbangkan untuk membagi modul-modul di atas
menjadi core subject dan elective subject sehingga dapat
disesuaikan dengan posisi dan latar belakang peserta.
Selain itu, aspek komunikasi dan leadership perlu ditambah
pada manajemen proyek sehingga tenaga SIK mampu
melakukan fungsi advokasi sekaligus mampu mengatasi
permasalahaan non-teknis dalam implementasi SIK di
lapangan.
Kedua, dari segi knowledge management diantara tenaga
SIK baik yang sudah mengikuti pelatihan maupun yang
belum. Perlu dilakukan diseminasi update informasi
pengembangan SIK yang sudah ada, sehinga dapat
memperkuat networking tenaga SIK di semua level
organisasi. Diseminasi informasi pelatihan sangat penting
bagi tenaga SIK lain yang belum mendapatkan kesempatan
mengikuti pelatihan ini. Terdapat lebih dari 900 tenaga SIK
sudah ditunjuk dan membutuhkan informasi aspek apa saja
dari SDM yang harus diperkuat. Media social network
seperti Facebook Pusdatin yang beranggotakan lebih dari
400 orang merupakan salah satu alternatif media yang baik.
Rencana Jangka Panjang
Evaluasi Sementara Program Pelatihan
Evaluasi sementara yang dilakukan menunjukkan perlu
adanya penyesuaian kembali terkait dengan pemberian ke10 modul yang ada. Sistem blok, dengan memperpanjang
waktu pemberian materi yang bersifat teknis merupakan
salah satu masukan penting dalam menyempurnakan program pelatihan ini. Gambar 6 menunjukkan daya absorbsi
materi-materi pelatihan dengan membandingkan pengetahuan peserta sebelum dan sesudah pelatihan (pre dan post
test) degan menggunakan metode Kirkpatrick.
Tabel 1. Gambaran level pengetahuan peserta pelatihan SIK angkatan pertama sebelum dan sesudah pelatihan Nilai rata-rata test (Skala 0-100)
Sebelum
Sesudah
47.96
62.50
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa ada peningkatan rata-rata pengetahuan peserta sebelum dan sesudah dilaksanakan pelatihan. Walaupun tidak terlalu tinggi,
dari hasil ini dapat dilihat adanya absorbsi keilmuan dan
keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Round table
discussion
pasca
pelatihan
angkatan
pertama
18
Tantangan kedepan adalah bagaimana tindak lanjut dari
kelangsungan model pelatihan ini agar dapat menjadi
percontohan bagi pelatihan-pelatihan terkait SIK lainnya
dalam upaya penguatan sistem informasi kesehatan.
Pusdatin sudah merencanakan untuk memperkuat 5 center
of excellence lainnya (selain UGM) dalam menyediakan
program pelatihan tenaga SIK di Indonesia. Diharapkan,
pilot project program pelatihan yang dimulai oleh UGM ini
dapat disempurnakan lagi oleh center of excellence lainnya,
termasuk UGM untuk menjadikan suatu program pelatihan
yang terstandardisasi. Melalui program jangka panjang,
masih terdapat 138 Kabupaten/Kota yang termasuk dalam
kategori DTPS yang perlu diperkuat komptensi tenaga SIKnya. Kerjasama dengan berbagai pihak seperti universitas,
dinas kesehatan baik provinsi maupun kabupaten/kota,
puskesmas dan rumah sakit, merupakan langkah inovatif
dalam penyelenggaraan program pelatihan yang
komprehensif. Selain itu jejaring tenaga SIK juga secara
tidak langsung diperkuat dengan adanya komunikasi yang
baik antar stakeholder tersebut.
Kontributor: Purwadi Sujalmo, Annisa Ristya, Guardian Y.
Sanjaya, Pusdatin* (Farida Sibuea), GIZ* (Kelvin Hui)
Referensi:
Carroll, P. W. O. (2002). Informatics Competencies for Public Health Professionals. Public Health. Seattle,
Washington.
Hebda, T., & Czar, P. (2009). Handbook of Informatics for Nurses & Health Care Professionals (4th ed., p. 576 pp). Upper Saddle
River, N.J: Upper Saddle River, N.J.
Staggers, N., Gassert, C. A., & Skiba, D. J. (2000). Health Professionals’ Views of Informatics Education. Journal of the American
Medical Informatics Association, 7(6), 550-558. doi:10.1136/jamia.2000.0070550
Ada resiko dan biaya yang harus dikeluarkan untuk suatu program aksi. Namun,
semua itu jauh lebih sedikit daripada resiko dan biaya jangka panjang yang timbul
apabila kita tidak beraksi
John F. Kennedy
19
Download