fiqh rasional abu hanifah

advertisement
FIQH RASIONAL ABU HANIFAH
A. Biografi
Adalah Muhammad bin Ahmad bin Musthafa bin Muhammad bin
Abdillah, yang lebih di kenal dengan nama Abu Zahra, seorang intelektual
Mesir, yang banyak menulis tentang biografi ulama pendiri mazhab. Ia juga
aktif di Majma al-Buhuts al-islamiyah. Salah satu pendiri mazhab yang
dikupas adalah biografi Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafiyah. Abu
Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H. Menurut riwayat terkuat dari ahli
sejarah, Ia lahir di Kufah, dari seorang ayah bernama Tsabit bin Zauti alFarisi. Ia bernasab Farisi (Persia) dan berarti Abu Hanifah adalah seorang
mawali (sebutan bagi orang selain Arab), tapi hal itu tidak mengurangi
kesempurnaan dan kepandaian beliau, faktanya banyak sahabat dan ulama
yang lahir bukan dari bangsa Arab seperti Hasan bin Abi Hasan, Muhammad
bin Sirrin. Ahli Fiqh di Bashrah, Atho’ bin Abi Robah, Mujahid, Said bin
Jabir, Salman bin Yassar dan masih banyak lagi.
B. Jenjang Study
Kota Kufah adalah salah satu kota yang berperadaban di Iraq. Di Iraq
sendiri pada waktu itu terdapat beragam sekte teologi dan pemikiran.
Sebelum Islam datang, di kota Kufah sudah terdapat sekolah-sekolah yang
mengajarkan tentang Filsafat Yunani dan Persia, juga terdapat beberapa sekte
dari Nasrani yang seringkali beradu argumen tentang masalah-masalah
aqidah. Setelah Islam masuk, di Kufah terdapat mazhab-mazhab dan sekte
1
yang sangat variatif, maka terjadilah perpecahan dalam politik dan aqidah,
antara Syi’ah, Khawarij dan sekte Mu’tazilah. Keadaan tersebut memancing
geliat Abu Hanifah muda untuk meluruskan semua itu. Abu Hanifah
melakukan dialog untuk memberi pencerahan kepada mereka. Sayangnya
interaksi yang dilakukan Abu Hanifah hanya sebentar karna kemudian Abu
Hanifah berbelok hatinya, dan memutuskan untuk berdagang di pasar.
Walaupun terkadang ia mendatangi majlis, tetapi itu jarang sekali ia lakukan.
Ia lebih sering menyibukkan dirinya dalam berdagang, hingga pada suatu hari
petunjuk Allah datang melalui seseorang bernama Syu’ba yang menyarankan
kepada Abu Hanifah untuk belajar kepada ulama, karena Syu’ba melihat
adanya kecerdasan dan semangat untuk melakukan perubahan dan
pencerahan pada sosok Abu Hanifah. Dan akhirnya Abu Hanifah pun
menuruti nasehat yang diberikan Syu’ba kepadanya.
Pada masa-masa awal pengembaraan intelektual Abu Hanifah, menurut
analisa pakar sejarah, ada 3 varian halaqah yang di datangi Abu Hanifah,
yaitu:
1.
Halaqah mengenai dasar-dasar aqidah dan tempat ini di hadiri oleh
beberapa sekte dan golongan.
2.
Abu Hanifah sering mendatangi halaqah yang membahas tentang Hadisthadist baik dirayah maupun riwayah.
3.
Sedangkan halaqah yang terakhir yang sering didatangi Abu Hanifah
adalah Halaqah tentang Fiqh dan fatwa-fatwa yang menyikapi tentang
2
permasalahan hukum agama yang terjadi pada saat itu (al-masa’il alwaqi’iyah).
Bukan hanya sekedar itu, Abu Hanifah juga menyelami seluruh
khazanah intelektual Islam pada masanya. Belajar ilmu kalam dan mengambil
intisari darinya, yaitu ilmu tentang berdebat, menghafal al-Qur’an menurut
bacaan Imam ‘Ashim, dan menghafal beberapa Hadist serta mempelajari
Gramatika Arab beserta sastranya. Tetapi pada akhirnya Abu Hanifah
memusatkan pengembaraan intelektual dan mencurahkan pikirannya pada
kajian seputar Fiqh.
Abu Hanifah mengambil ilmu dari para pakar pada bidangnya masingmasing. Belajar ilmu Fiqh dari seorang pakar bernama Hammad Ibn Abi
Sulaiman. Hammad sendiri mengambil intisari dari fiqh Ibrahim an-Nakha’i.
Ia adalah ulama yang paling paham tentang fiqh Ibrahim an-Nakha’i di
Kufah, oleh karena itu Fiqh Hanafi sangat kental dengan corak pemikiran
Ibrahim an-Nakhai. Abu Hanifah menemani Hammad selama kurang lebih 20
tahun sampai Hammad wafat pada tahun 120 H.
Ketika itu umur Abu
Hanifah genap 40 tahun, pada saat kematangan psikologis dan kesempurnaan
rasionalis seseorang.
Pada saat melakukan perjalanan ke Mekkah, Abu Hanifah juga
menyempatkan belajar kepada Atho’ Ibn Abi Ribah. Selama berada di
Makkah,
Abu
Hanifah
selalu
belajar
kepadanya.
Sebuah
riwayat
menyebutkan Abu Hanifah melakukan ibadah Haji sebanyak 55 kali dalam
hidupnya. Terlepas apakah riwayat itu benar atau tidak, yang jelas Abu
3
Hanifah sering melakukan perjalanan Ke Mekkah untuk menuntut ilmu dan
berdakwah.
Sedangkan di Iraq sendiri, Abu Hanifah banyak belajar kepada para
Ulama Syi’ah dari beberapa sekte, seperti sekte Kaisaniyah, sekte Zaidiyah,
Isma’iliyah dan Syi’ah Istna Asyarah. Masing-masing dari mereka
memberikan pengaruh tersendiri bagi perkembangan pemikiran Abu Hanifah.
Oleh karena itu, bisa kita ambil benang merah, bahwa Fiqh Hanafi adalah
Fiqh Islam dengan beragam corak, tetapi yang paling dominan pada corak
Fiqh Abu Hanifah adalah Fiqh rasionalis, bahkan Ia sendiri adalah gurunya
para ulama fiqh rasionalis.
Abu Hanifah lahir pada Tahun 80 H, pada masa Dinasti Umayyah
berkuasa dibawah kepemimpinan Abdul Malik bin Marwan. Abu Hanifah
menyaksikan masa-masa perkembangan Dinasti Umayah hingga akhirnya
tumbang. Abu Hanifah hidup sampai tahun 150 H, artinya ia juga hidup pada
masa pertumbuhan Dinasti Abbasiyah. Abu Hanifah menemui masa Dinasti
Umayah lebih banyak disbanding persinggungannya dengan Dinasti
Abbasiyah. Ia hidup pada masa Dinasti Umayyah berkuasa selama 52 tahun.
Pada masa itulah kondisi intelektual berkembang, akan tetapi iklim
intelektual memang bukan muncul dari pemerintah, melainkan dihembuskan
oleh komunitas masyarakat yang merupakan pewaris ilmu para sahabat. Abu
Hanifah menemui masa Dinasti Abbasiyah hanya 18 tahun. Pada masa
pertengahan Dinasti Abbasiyah dan akhir Daulah Umayyah, yaitu pada masa
dimana Abu Hanifah hidup, kondisi intelektual bisa dibilang kurang
4
mendapatkan apresiasi dari pemerintah. Karena pada masa Daulah
Abbasiyah, pemerintah lebih mengkonsentrasikan diri untuk membangun
kembali peninggalan yang ditinggalkan Dinasti Umayyah dan kurang
memperhatikan segi intelektual pada saat itu.
C. Kondisi Sosial dan Politik
Abu Hanifah hidup pada dua orde yang berkuasa, yaitu Dinasti
Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, maka kemudian Abu Zahra merasa perlu
untuk menilik keadaan sosial dan politik pada masa dua orde tersebut.
Daulah Umayyah berdiri setelah kekuasaan Khulafa’u ar-Rosyidin
lengser. Pada masa Khulafa’u Rosyidin, khalifah diangkat dari orang-orang
pilihan dan tentunya atas rekomendasi Khalifah sebelumnya, atau tanpa
rekomendasi khalifah sebelumnya, seperti pada masa kepemimpinan Umar
bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa Dinasti Umayyah, sistem
pemerintahan berubah dari demokrasi menjadi monarkhi. Mu’awiyah sebagai
khalifah pertama Dinasti Umayah, mengambil kekuasaan dengan cara
Abitrasi (tahkim). Terjadilah konflik dan permusuhan pengiringi perjalanan
Dinasti Umayyah. Kita bisa melihat pada masa itu terjadi penghinaan
terhadap Ali bin Abi Thalib, bahkan penghinaan dan caci makian tehadap ahli
bait hampir terjadi di setiap mimbar sholat Jum’at. Hal itu hampir menjadi
tradisi yang berkelanjutan, yang di pelopori oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
sampai pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz.
Terjadi fanatisme terhadap Arab dikalangan para penguasa Dinasti
Umayyah. Mereka terlalu membanggakan warisan Arab pra-Islam. Meskipun
5
benar untuk hal itu kita pantas mengacungkan jempol, akan tetapi fanatisme
ini sudah berlebihan, karena sudah sampai pada tingkat memarginalkan
golongan non-Arab (mawalli). Hak-hak golongan non-Arab diabaikan,
misalnya dalam hal hasil rampasan perang yang tidak dibagikan secara adil,
padahal bukankah semua manusia adalah sama disisi Allah, yang
membedakan kita adalah ketakwaan kita kepada Allah, bukan nasab, jabatan,
dan harta.
Adapun kondisi masa Dinasti Abbasiyah diibaratkan turunnya hujan
setelah musim kemarau, yaitu adanya ketentraman. Pada masa ini, para
fuqaha lebih leluasa untuk memberikan keritik terhadap pemerintah, kecuali
pada masa pemerintahan Abi Ja’far, yang banyak terjadi penindasan dan
diskriminasi.
Abu Hanifah menetap di Iraq. Iraq adalah tempat lahirnya, tempat
dimana Ia tumbuh dan berkembang, dan disana pula Ia melakukan
pengembaraan intelektual. Di Iraq, hidup beragam komunitas, mulai dari
Persia, Romawi, India dan Arab. Di Iraq juga terdapat sekte-sekte yang
bermacam-macam.
Semua komunitas itu melakukan interaksi sosial dan
mempunyai adat istiadat yang berbeda. Semua mempunyai pengaruh terhadap
perkembangan Fiqh, sehingga lahan garapan para Fuqaha menjadi lebih luas,
karena masalah yang timbul dari komunitas masyarakat yang plural, lebih
rumit dan kompleks. Iraq, selain mempunyai kelebihan dari segi kondisi
sosial, juga mempunyai iklim intelektual yang kondusif, karena disana
terdapat berbagai sekte teologi, seperti Syi’ah, baik yang moderat sampai
6
Syi’ah ekstrim, dan juga terdapat sekte Mu’tazilah, Qadariyah dan juga
Murji’ah.
Dengan kondisi seperti ini, Iraq adalah tempat tumbuh dan
perkembangnya mazhab pemikiran, seperti terekam pada pernyataan Ibnu Abi
Hadid dalam sebuah bukunya, Syarhu Nahju al- Balaghah, yang menjadi
perbedaan mencolok antara Rawafid dan orang-orang yang hidup disekeliling
Rasulullah SAW adalah bahwa Rawafid hidup di Iraq dan tinggal di Kufah,
tempat di mana sekte pemikiran dan teologis berkumpul, sehingga komunitas
ini mempunyai insting pemikiran dan rasionalitas yang mendalam tentang
teologi. Berbeda dengan mereka yang hidup di Hijaz, kondisi sosial dan
kultural orang-orang yang hidup di sana tidak sama dengan mereka yang
hidup di Iraq. Oleh sebab itu, Iraq sangat di kenal telah melahirkan para
intelektual dibidang teologi dan pemikiran.
D. Pandangan Teologi Abu Hanifah
Sebagaimana telah diungkapkan pada awal pembahasan, Abu Hanifah
sering berinteraksi dan berdebat dengan tokoh-tokoh sekte teologis pada
masanya. Awal pengembaraan intelektual Abu Hanifah adalah masalah
teologis, kemudian beliau berpaling dan mengkonsentrasikan diri pada kajian
sekitar masalah Fiqh, sampai Ia masyhur dengan Fiqh Rasionalitas-nya.
Namun demikian, beliau tidak memutuskan hubungan dengan para Teolog.
Abu Hanifah masih berdebat dan berdialog dengan mereka jika Abu Hanifah
merasa ada permasalahan Teologis yang di anggap urgen untuk diselesaikan.
7
Abu Hanifah sering beradu argumen dengan para dedengkot sekte
pemikiran, mulai dari masalah eksistensi iman, sampai pada masalah pelaku
dosa besar (al-murtakib kabir). Hal ini bisa kita lacak dari dua hal:
1. Dari riwayat-riwayat, baik yang valid maupun tidak.
2. Dari kitab yang ditulis Abu Hanifah tentang masalah teologi, yaitu:
a. Kitab Fiqh al- Akbar
b. Kitab Alim wa al-Muta’allim
c. Kitab Risalah ila Ustman bin Muslim al-Batha
d.
Kitab ar-Roddu ‘ala Qadariyyah.
Semua kitab diatas membahas masalah Teologi, meskipun para ulama
masih meragukan penisbatan Fiqh al-Akbar kepada Abu Hanifah. Kitab Fiqh
al-Akbar sendiri memiliki beberapa jalur periwayatan, diantaranya riwayat
Hammad bin Abi Hanifah, riwayat Abi Mu’thi al-Bulkho, dan yang terakhir
adalah riwayat dari Abu Mansyur al-Maturidi. Adapun penisbatan Kitab Fiqh
al-Akbar kepada Abu Hanifah dilakukan oleh sekelompok ulama, bukan
pendapat mayoritas ulama. Berarti penisbatan Kitab Fiqh al-Akbar masih
diragukan karna adanya pengingkaran dari sebagian ulama.
Abu Hanifah mendefisikan Iman sebagai sebuah pengakuan dan
pembenaran,
sedangkan Islam adalah pasrah dan melaksanakan segala
perintah Allah SWT. Meskipun dari segi bahasa mempunyai pengertian yang
berbeda, akan tetapi Abu Hanifah menganggap tidak ada Islam kalau tidak
ada iman, begitu juga sebaliknya.
8
Dalam permasalahan qadar, Abu Hanifah sangat berhati-hati, bahkan
melarang muridnya untuk membicarakan masalah tersebut secara mendalam
dan mendetail. Abu Hanifah memisahkan antara qadha dan qadar. Qadha
adalah ketetapan Allah yang datang dari wahyu illahi, sedangkan qadar
adalah manifestasi dari sifat qudrah Allah.
Suatu saat Abu Hanifah ditanya tentang qadar, sebuah ketaatan dan
maksiat apakah atas kehendak Tuhan atau manusia, dan adakah batas
pemisah antara iradah Tuhan dan perintahnya? Ia menjawab dengan arif
“tidak ada pemaksaan dan pembebanan. Allah tidak akan pembebani
umatnya suatu perkara yang Ia tidak sanggup, tidak ada siksaan pada suatu
perkara yang belum diketahui dan tidak menghukum hambanya atas perkara
yang ia tidak tahu”.
Abu Hanifah berpendapat bahwa iman seseorang tidak bisa kurang dan
tidak bisa bertambah. Orang yang berbuat dosa besar tetap mempunyai iman
dan tidak dikategorikan sebagai golongan kafir.
E. Pemikiran Fiqh Abu Hanifah
Ini adalah pembahasan inti dari tela’ah histori terhadap tokoh besar Abu
Hanifah. akan tetapi sama seperti halnya Malik bin Anas, Abu Hanifah tidak
memiliki tulisan atau buku tentang Fiqh. Adapun kitab yang ditulis Abu
Hanifah mayoritas pembahasan tentang teologi, seperti telah di ungkap
sebelumnya. Meskipun Abu Hanifah tidak menulis kitab tentang Fiqh, akan
tetapi murid-muridnyalah yang mengumpulkan pendapat-pendapatnya dan
menuliskannya. Salah satu murid yang mengumpulkan dan menulis pendapat-
9
pendapat Abu Hanifah, meskipun tidak merekam pendapat secara global,
adalah Imam Muhammad al-Hakiyah. Pendapat-pendapat Abu Hanifah tidak
dapat terekam semuanya karena pertemuannya dengan Abu Hanifah hanya
berlangsung sebentar. Abu Hanifah wafat ketika umur Imam Muhammad alHakiyah baru mencapai 18 tahun. Sebuah usia yang cukup muda untuk dapat
merekam semua ilmu dari seorang intelektual sekaliber Abu Hanifah.
Fiqh Abu Hanifah bercorak fiqh spekulatif (Fiqh at-Taqdiry). Abu
Zahra mendifinisikan Fiqh Taqdiri adalah fatwa dalam sebuah masalah fiqh
yang belum terjadi dengan cara menganalogikan dengan permasalahan yang
sudah terjadi. Corak fiqh seperti ini banyak dipakai oleh ulama ahli qiyas dan
rasionalis. Awalnya, corak fiqh pada periode Rasulullah SAW hanya
menjawab problematika umat yang sudah terjadi. Pada masa Sahabat dan
Tabi’in berkembang dengan metode menjelaskan hukum yang ada dan
menjaga hukum-hukum Fiqh yang sudah ada. Pada masa Abu Hanifah
berkembang menjadi fiqh spekulatif, yaitu mengqiyaskan suatu perkara yang
belum terjadi dengan hukum yang ada. Fiqh taqdiri sebenarnya telah muncul
sebelum Abu Hanifah. Syu’ba sering menjumpai Fuqaha yang menggunakan
kata “ law kana kadza” dan itu termasuk Fiqh at-Taqdiri.
Dalam Kitab Muwafaqat karangan as-Syatibi, ada sebuah riwayat
tentang nasehat Syu’ba kepada anak didiknya, “Jagalah tiga perkara.
Pertama, apabila ditanya sesuatu masalah, jangan teruskan dengan masalah
lainnya. Kedua, apabila ditanya suatu masalah, jangan mengqiyaskan
10
dengan hukum yang ada. Ketiga, apabila ditanya tentang suatu masalah, dan
tidak tahu pemecahannya, maka katakan, saya tidak tahu.”
Ada perselisihan diantara sebagian fuqaha tentang boleh tidaknya
menggunakan metode Fiqh Taqdiri. Pada periode ke- 3 H. Banyak fuqaha
yang menggunakan metode tersebut, bahkan merinci suatu permasalahan
sampai pada hal yang irasional, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, seperti
dalam permasalahan Khunsta Musykil.
Adapun masadir al-ahkam yang dipakai Abu Hanifah dalam malakukan
penggalian hukum (istinbat) adalah al-Qur’an dan Hadis Nabi. Abu Hanifah
juga mengakui Ijma’ dan Qiyas yang merupakan ciri dari fiqh taqdiri. Bahkan
ada yang beranggapan bahwa Abu Hanifah lebih mengutamakan qiyas
ketimbang hadis, akan tetapi Abu Hanifah meruntuhkan anggapan itu, dan
berkata “apakah perlu qiyas setelah adanya nash yang shorih”. Abu Hanifah
menggunakan qiyas dalam istinbat setelah menemukan kesulitan dalam nash.
Pada Tahun 150 H, Imam Abu Hanifah dipanggil oleh Yang Maha
Kuasa di Baghdad dan dimakamkan disana. Beliau telah berhasil
menyuguhkan sebuah fiqh yang luhur. Mazhab beliau tersebar mulai dari
Kufah, dan setelah ulama melakukan kajian terhadap fiqh dan pendapatpendapatnya, mazhab Hanafi meluas ke Mesir, Syam hingga Romawi dan
Iraq, termasuk daratan India dan China.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hasan, Ijma’-Qiyas-Madzhab-Taqlid, Bangil: LP3B, 1984
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984
Arif Munandar Riswanto, Buku Pintar Islam, Bandung: Mizan Pustaka, 2010
Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Islam: Analisis Pertumbuhan
Sosio-Ekonomi, Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 1999
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 2, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997
Dr. Asmawi, M.Ag., Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH, 2011
Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam , Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006
Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’: Sejarah Legislasi Hukum Islam,
Jakarta: AMZAH, 2009
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007
Muhammad Abed Al Jabir, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKis, 2000
Neal Robinson, Ph.D., Pengantar Islam Komprehensif, Yogyakarta: Fajar Pustaka
Baru,1999
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA., Pengantar Perbandingan Mazhab,
Jakarta: Gaung Persada Press, 2011
12
Download