etika pelayanan publik (hasil penelitian)

advertisement
Disiapkan oleh
Warjio
Pascasarjana MAP-UMA

Dwiyanto (2002), dalam penelitiannya tentang pelayanan publik, salah
satunya menukik pada aspek etika pelayanan publik dengan
menyimpulkan hasil penelitiannya sebagai berikut: bahwa dalam
penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang berhadapan
dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat sebagai pemberi layanan
yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan,
antara keduanya seringkali terdapat perbedaan kepentingan-kepentingan
yang mencolok. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan
dengan mengambil sampel beberapa daerah di Indonesia yaitu : Sumatra
Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan.

Menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang mencolok dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Dalam kontek etika pelayanan,
masyarakat pengguna jasa mengharapkan adanya etika birokrasi sebagai
bentuk adanya sikap tanggap dari aparat birokrasi terhadap kepentingan
masyarakat pengguna jasa. Kepentingan pengguna jasa harus
ditempatkan sebagai tujuan utama, melalui prinsip pelayanan tersebut
diharapkan tidak terjadi diskriminasi . Jika kondisi demikian dapat
diciptakan, etika pelayanan publik sesuai dengan misi aparat birokrasi
dan tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa.


Hasil kajian tentang etika pelayanan publik di Instansi teknis di
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Denpasar dalam hal
pengurusan KTP yang dilakukan oleh Sudana (2003) disimpulkan
etika pelayanan belum optimal diterapkan dalam pelayanan
publik. Hal ini dapat dilihat: pertama, lemahnya penerapan kode
etik aparat dalam pelayanan, yang terindikasi dari adanya
tindakan-tindakan yang menyimpang dalam memberikan
pelayanan. Beberapa oknum aparat kadang-kadang menawarkan
diri sebagai biro jasa atau calo yang mengarah kepada tindakan
terjadinya korupsi; kedua, rendahnya kesadaran aparat birokrasi
akan tanggung jawab dan disiplin dalam proses pelayanan, dan
masih adanya tindakan diskriminasi pelayanan yang mengarah
pada unsur nepotisme; ketiga, etika birokrasi dalam pelayanan
publik masih sangat jauh dari yang diharapkan.
Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat. Seperti tindakan
aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan
wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran
terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi
dalam pelayanan. Dengan demikian, masyarakat pengguna jasa
dirugikan dalam pelayanan secara komprehensif.


Adanya perubahan paradigma yang berpusat pada rakyat
dan sejalan dengan perubahan paradigma dari UU No. 5
tahun 1974 yang menggunakan “The structural efficiency
model”, menuju UU No. 22 Tahun 1999 dan selanjutnya
diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang lebih
cenderung menggunakan “The local democracy
model”. Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota
diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam
pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di daerah.
Semangat otonomi daerah pada dasarnya merupakan upaya
memandirikan Pemerintah Daerah dalam menjalankan dan
menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat di daerah. Untuk itu
Pemerintah Daerah haruslah selalu tanggap dalam
merespon serta menyikapi kebutuhan dan keinginan
masyarakatnya. Dengan pelaksanaan otonomi daerah
diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan
secara cepat, tepat, dan lebih murah.

Menurut Tjokrowinoto (2001:11), relevansi pemuasan
masyarakat atas pelayanan yang disediakan, perilaku
birokrasi perlu diperhitungkan kompetensinya dengan
mengacu pada dua hal yaitu: pertama, birokrasi
harus memberikan pelayanan publik dengan adil,
menuntut kemampuan untuk memahami keadaan
masyarakat, mengartikulasikan aspirasi dari
kebutuhan masyarakat, lalu merumuskan dalam suatu
kebijakan kemudian diimplementasikan;

kedua, birokrasi harus mempunyai kompetensi untuk
memberdayakan masyarakat sipil dengan
menciptakan enabling social setting,
dari pendekatan top down yang menguasai dinamika
interaksi antara birokrasi dengan masyarakat dapat
mengalami perubahan menjadi hubungan horisontal.
Etika
publik VS
Mal Praktik
Pelayanan Publik
ETIKA PUBLIK


Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik
dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilainilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah
laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7).
Putra Fadillah (2001:27), etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara
dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan
yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang
mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik”.

Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto
(2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan
norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan
pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan
publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya.
Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benarbenar mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.
Menurut
Widodo (2001:259),
mal-administrasi merupakan
suatu praktek yang
menyimpang dari etika
administrasi yang
menjauhkannya dari
pencapaian tujuan
administrasi

Nigro dan Nigro dalam (Widodo, 2001:259-262), mengemukakan terdapat
delapan bentuk mal-praktek (mal-administrasi) yaitu :

1.Ketidak-jujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang
tidak jujur. Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk
kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan (client),
menarik pungutan liar, dan sebagainya. Dikatakan ketidak-jujuran karena
tindakan ini berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (dis-trust),
dan merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat.

2. Perilaku yang buruk (unethical behaviour), pegawai (administrator
publik) mungkin saja melakukan tindakan dalam batas-batas yang
diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan
sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya,
kecendrungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam
tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya
familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis
karena mengabaikan objektivitas penilaian.

3. Mengabaikan hukum (disregard of the law), pegawai (administrator
publik) dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang
menguntungkan kepentingannya. Misalnya pegawai menggunakan mobil
dinas untuk keluarga, padahal ia tahu fasilitas kantor yang secara hukum





4.Favoritisme dalam menafsirkan hukum. Pejabat atau pegawai
di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi
hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan
tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di
wilayahnya harus bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai
kader partai A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut.
5.Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai. Pegawai
diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos menghambat
pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi.
6.Inefisiensi bruto (gross inefficiency). Betapapun bagus
maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugas
secara memadai, para administrator disitu dinilai gagal, misalnya
pemborosan dana secara berlebihan.
7.Menutup-nutupi kesalahan. Pimpinan atau pegawai menutupi
kesalahannya sendiri atau bawahannya, atau menolak diperiksa
atau dikontrol oleh legislatif, atau melarang pers meliput
kesalahan instansinya.
8. Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat
keputusan yang positif atau menggunakan diskresi
(keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya.

Faktor-faktor pendukung proses pelayanan yang semestinya
selalu mendapatkan perhatian seksama, diantaranya adalah :
faktor kesadaran para pejabat serta petugas
yang berkecimpung dalam pelayanan;
 faktor aturan yang menjadi landasan kerja
pelayanan;
 faktor organisasi yang merupakan alat serta
sistem yang memungkinkan berjalannya
mekanisme kegiatan pelayanan;
 faktor pendapatan yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup minimum;
 faktor ketrampilan petugas; dan
 faktor sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan
(Moenir, 1992:88).

Efek faktor pendukung
Efek faktor
pendukung
kemudahan
dalam
pengurusan
kepentingan;
mendapatkan
pelayanan
yang wajar;
mendapatkan
perlakuan
yang sama
tanpa pilih
kasih;
mendapatkan
perlakuan
yang jujur
dan terus
terang
(Moenir,
1992:47).
Efek faktor
pendukung
masyarakat
menghargai
korps pegawai;
masyarakat
patuh terhadap
aturan-aturan
pelayanan;
masyarakat
bangga terhadap
korps pegawai;
ada kegairahan
usaha dalam
masyarakat;
ada peningkatan
dan
pengembangan
dalam
masyarakat
menuju segera
tercapainya
masyarakat adil
dan makmur
(Moenir,
1992:47).
Download