Disorders of Sex Development

advertisement
Disorders of Sex Development
Yuri Feharsal, Farani Harida Putri, Kanadi Sumapradja*
*Divisi Immunoendokrinologi Reproduksi
Departemen Obstetri dan Ginekologi
FKUI / RSCM
Pendahuluan
Mungkin kita masih ingat seorang atlit pelari
perempuan dari India yang memecahkan rekor
saat berlangsung Asian Games tahun 2006 di
Doha. Pelari tersebut mendapatkan medali perak.
Namun beberapa minggu kemudian, medali itu
dicabut dan ditarik kembali karena atlit tersebut
ternyata tidak lolos tes gender. Tes gender
menyatakan bahwa atlit tersebut secara genotip
tidak memenuhi syarat sebagai seorang
perempuan. Hal serupa baru-baru ini juga diisukan
pada seorang atlit pelari perempuan dari Afrika
Selatan yang memenangkan medali emas pada
World Championship in Athletics tahun 2009.
Ternyata keadaan ini tidak hanya terjadi di
kalangan para atlet, akan tetapi berdasarkan
pengamatan melalui rekam medis di poli
endokrinologi ginekologi salah satu RS umum
pusat nasional di Jakarta mencatat bahwa
sedikitnya terdapat 7 kasus serupa dalam kurun
waktu Januari sampai Oktober 2009. Kasus-kasus
tersebut termasuk dalam Disorders of Sex
Development (DSD). DSD adalah suatu istilah
medis yang digunakan untuk menggambarkan
adanya suatu kondisi bawaan di mana terdapat
perkembangan yang tidak lazim pada kromosom,
gonad dan anatomi alat kelamin.
Perkembangan Normal Organ Reproduksi
Secara normal, terdapat 3 fase yang terlibat dalam
pembentukkan
dan
perkembangan
organ
reproduksi manusia, yaitu: perkembangan gonad
(kelenjar reproduksi), perkembangan duktus
(organ reproduksi dalam) dan perkembangan
organ
reproduksi
luar
(alat
kelamin).
Perkembangan normal dari ketiga fase ini sangat
penting untuk menentukan identitas gender
seorang manusia. Fase-fase ini sangat dipengaruhi
oleh ekspresi gen dari kromosom seks dan
paparan hormon-hormon seks pada masa embrio.
Gambar 1. Perkembangan gonad dan organ reproduksi bagian dalam.
(Sperrof L, et al. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 7th edition)
Perkembangan gonad (kelenjar reproduksi)
Pada masa embrio, perkembangan gonad terjadi
pada minggu ke-5 kehamilan. Awalnya, gonad
hanya berupa tonjolan dari saluran mesonefrik.
Pengaruh dari sel-sel germinal primordial yang
bermigrasi kedalam saluran ini akan menyebabkan
berlanjutnya perkembangan gonad. Gonad
memiliki kemampuan bipotensial, yang berarti
dapat berkembang ke arah testis atau ovarium.
Pada awalnya gonad berada dalam tingkat yang
belum dapat ditentukan (indifferent). Saat minggu
ke-6 kehamilan, gonad dapat berkembang menjadi
testis (kelenjar reproduksi laki-laki) atau ovarium
(kelenjar reproduksi perempuan).
Pengaruh ekspresi gen pada kromosom Y
Apabila pada proses pembuahan (fertilisasi),
terjadi peleburan sel sperma yang membawa
kromosom Y dengan sel ovum yang yang
membawa kromosom X, maka akan terjadi
ekspresi dari gen SRY dari kromosom Y. Ekspresi
dari gen SRY akan mengarahkan perkembangan
gonad menjadi testis (Testis Determining Factor).
Namun sebaliknya jika pada proses pembuahan
terjadi peleburan sel sperma yang membawa
kromosom X dengan sel ovum yang mambawa
kromosom X, maka tidak akan terjadi ekspresi gen
SRY yang menyebabkan perkembangan gonad
selanjutnya akan diarahkan menjadi ovarium.
Perkembangan organ reproduksi bagian dalam
Pada masa embrio, terdapat dua bakal saluran
embrional yang dapat berkembang menjadi organ
reproduksi bagian dalam. Kedua saluran itu
disebut: duktus mesonefrik (Wolf) dan duktus
paramesonefrik (Müller). Pada perkembangannya,
duktus Wolf akan menjadi organ reproduksi
bagian dalam pada laki-laki, sedangkan duktus
Müller akan menjadi organ reproduksi bagian
dalam pada perempuan. Adanya hormon
testosteron dan hormon penghambat duktus
Müller
(Anti-Müllerian
Hormone)
yang
diproduksi oleh testis akan menstabilkan
perkembangan duktus Wolf dan sebaliknya akan
memicu regresi dari duktus Müller. Apabila tidak
terdapat testosteron dan AMH, maka yang
berkembang adalah duktus Müller dan duktus
Wolf akan mengalami regresi.
Perkembangan
organ
reproduksi
bagian
luar(genitalia eksterna)
Perkembangan genitalia eksterna dimulai dari
bakal embriologis yang berasal dari tuberkulus
genitalia, sinus urogenital dan lipatan-lipatan
labioskrotum. Bakal embriologis ini bersifat
bipotensial, dalam arti dapat berkembang menjadi
genitalia eksterna laki-laki ataupun perempuan.
Paparan hormon dihidrotestosteron (DHT), yang
dikonversi dari testosteron oleh enzim 5-α
reduktase, akan menyebabkan bakal embrio ini
berkembang menjadi genitalia eksterna laki-laki.
Pada
perkembangannya,
tuberkulus
genitalia akan membentuk penis, sinus urogenital
akan menjadi uretra dan lipatan labioskrotum akan
menutup membentuk skrotum. Jika tidak ada
paparan dihidrotestosteron maka bakal embriologi
akan berkembang menjadi genitalia eksterna
perempuan, dimana tuberkulus genitalia akan
berkembang menjadi klitoris, sinus urogenital
akan menjadi sepertiga bawah liang vagina dan
uretra, kemudian lipatan labioskrotum akan tetap
terbuka membentuk labia mayora.
Gambar 2. Perkembangan organ reproduksi bagian luar.
(Sperrof L, et al. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 7th edition)
Disorders of Sex Development (DSD)
Segala gangguan perkembangan seks dimulai dari
tingkat kromosom, gonad maupun anatomi
disebut disorders of sex development (DSD).
Dahulu gangguan ini disebut sebagai kelamin
ganda, interseks, genitalia ambiguous atau
pseudohermafrodit. Namun istilah ini sudah
dianjurkan untuk tidak digunakan lagi dan
digantikan dengan istilah DSD, karena istilahistilah tersebut sering menimbulkan masalah
sosial pada pasien
Nomenklatur Baru DSD
Sebelumnya interseks mengelompokkan beberapa
kelainan gangguan perkembangan seks ini
menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Masculinized
females
(female
pseudohermaphroditism),
Incompletely
masculinized
male
(male
pseudohermaphroditism), dan true hermaphrodite.
Sejak tahun 2006, European Society for
Paediatric Endocrinology (ESPE) dan Lawson
Wilkins Pediatrics Endocrine Society (LWPES)
telah
mengeluarkan
konsensus
mengenai
nomenklatur baru dalam diagnosis DSD. Dalam
konsensus ini, terdapat perubahan-perubahan
dalam penyebutan kelainan-kelainan DSD
maupun klasifikasi dari DSD. Konsensus ini
telah
mengganti
istilah
Female
pseudohermaphroditism menjadi 46 XX DSD,
male pseudohermaphroditism menjadi 46 XY
DSD, sedangkan true hermaphrodite menjadi
Ovotesticular DSD. Selengkapnya dapat dilihat
pada tabel.
Tabel. Klasifikasi DSD
(Sumber: Hughes IA, Nihoul-Fekete C, Thomas B, Cohen-Kettenis PT. Best practices & research in clinical endocrinology & metabolism.
2007;21(3):351-65.)
Manifestasi Klinik DSD
Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa
neonatus atau tidak terlihat sampai menginjak usia
pubertas. Pada masa neonatus, umumnya petugas
medis mendapatkan masalah untuk menentukan
jenis kelamin pada bayi yang baru saja dilahirkan
akibat
klitoromegali, pembengkakan daerah
inguinal pada neonatus “perempuan”, tidak
terabanya testis pada neonatus “laki-laki”, ataupun
hipospadia. Sedangkan pada masa pubertas,
umumnya manifestasi dapat berupa terhambatnya
pertumbuhan seks sekunder, amenore primer,
adanya virilisasi pada perempuan, gynecomastia
dan infertilitas.
Penatalaksanaan DSD
Penatalaksanaan yang optimal untuk DSD
membutuhkan peran dari tim multidisiplin yang
berpengalaman yang meliputi lingkup psikososial,
medis dan pembedahan serta disiplin ilmu
subspesialis lainnya seperti ahli neonatalogi,
pediatrik endokrinologi, pediatrik urologi,
endokrinologi ginekologi, ahli genetik, konselor,
psikiater atau ahli psikologi, perawat dan pekerja
sosial.
Lingkup penanganan psikososial
Manajemen psikososial pada DSD diantaranya
adalah dengan melakukan gender assignment &
reassignment. Gender assignment (menentukan
identitas kelamin) sebaiknya telah mampu
dilakukan pada masa neonatus. Semakin lama
menunda penentuan jenis kelamin oleh ahli yang
berpengalaman, dapat menimbulkan risiko
terjadinya penolakan terhadap eksistensi anak
penderita DSD oleh kedua orangtua yang
diperkirakan dapat mengganggu aspek tumbuh
kembang anak terutama pada perkembangan
organ reproduksi selanjutnya.
Semakin lama penentuan jenis kelamin
akan berpengaruh pula pada prognosis dan
pemilihan terapi yang akan menentukan kapan
dimulainya pemberian terapi hormonal, jenis
terapi hormonal yang dipilih serta lama
pemberiannya, pemilihan waktu yang tepat untuk
pembedahan, hingga potensi seksualitas dan
fertilitas pada DSD di usia dewasa yang
mempengaruhi kualitas hidupnya. Jika penentuan
jenis kelamin masih sulit ditentukan, sebaiknya
para ahli yang menangani rutin memberikan
penjelasan dan konseling terhadap pihak orangtua
sehingga dapat memulai adaptasi terhadap kondisi
yang dihadapi.
Tidak memutup kemungkinan dalam
penatalaksanaan
DSD
dilakukan
gender
reassignment (menentukan kembali identitas
kelamin). Saat ini, usia 18 bulan dianggap sebagai
batas atas dalam melakukan gender reassignment.
Jika gender reassignment baru dilakukan pada
usia balita atau usia anak-anak, evaluasi
psikososial sangat penting, karena sudah terjadi
perkembangan perilaku berdasarkan jenis kelamin
sebelumnya. Upaya untuk mengubah prilaku
berdasarkan jenis kelamin yang baru, sulit
dilakukan bila pemberian informasi dan konseling
tidak dilakukan secara mendalam dan rutin
terhadap pihak orangtua ataupun terhadap anak
penderita DSD sendiri.
Manajemen informasi kepada anak
penderita DSD oleh konselor yang terlatih,adalah
termasuk dalam hal yang penting untuk dipahami.
Seorang konselor harus mampu menceritakan
secara jujur tentang kondisi atau riwayat
perjalanan penyakit DSD kepada penyandang
DSD bila ia sudah mampu memahami kondisi
kesehatan dirinya (umumnya dilakukan pada usia
tamat sekolah menengah pertama). Dengan
melakukan manajemen informasi yang baik,
diharapkan penyandang DSD dapat menerima
kondisinya saat ini, mampu menjalankan terapi
yang berkesinambungan, serta mendapat edukasi
mengenai perkembangan pubertas, seksualitas,
dan kemungkinan potensi fertilitas di masa
mendatang. Manajemen informasi juga diberikan
kepada pihak orangtua terkait dengan kondisi,
prognosis, dan pengetahuan orangtua tentang
DSD.
Metode lain dalam lingkup psikososial
yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk
support groups. Terbukti dalam beberapa waktu
belakangan ini, seiring dengan perkembangan
teknologi informasi, perkembangan support
groups
DSD
sangat
membantu
dalam
penatalaksanaan DSD. Adanya support groups
membantu menimbulkan rasa kepercayaan diri,
saling membantu antar sesama dan meningkatkan
kualitas hidup, serta mampu menimbulkan rasa
dukungan dari pihak keluarga.
Lingkup penanganan medis
Penatalaksaan medis umumnya adalah meliputi
pemberian terapi hormonal. Pemberian terapi
hormonal ini juga termasuk dalam upaya
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis DSD
sesuai dengan klasifikasinya.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
melakukan pemeriksaan analisa kromosom
dengan
cara
yang
konvensional
atau
menggunakan
teknik
fluorescence
in-situ
hybridization (FISH) dengan tujuan untuk
melakukan analisis keberadaan kromosom X dan
Y. Pemeriksaan lain seperti
ultrasonografi
abdomen dan pelvis, pengukuran hormon 17-OHprogesteron, testosteron, gonadotropin, AMH,
elektrolit dan urinalisis juga sering dibutuhkan
untuk dapat menentukan jenis DSD.
Selain itu terdapat pula suatu uji dinamik
yang bertujuan untuk menguji fungsi testis untuk
memproduksi hormon androgen. Pemeriksaan
tersebut disebut sebagai uji hCG. Namun protokol
pemeriksaan dosis, frekuensi dan kapan saat yang
tepat dimulai pemeriksan masih diperdebatkan.
Protokol yang sering digunakan yaitu, dengan
menggunakan hCG 1500 unit selama 3 hari dan
sampel pasca injeksi diambil setelah 24 jam dari
suntikan terakhir, serta saat yang tepat dilakukan
adalah setelah melewati masa neonatus (usia lebih
dari 4 minggu karena terkait dengan peningkatan
aktivitas sel Leydig).
Bentuk uji dinamik lainnya adalah dengan
melakukan uji stimulasi adrenocorticotropic
hormone (ACTH) untuk mengetahui ada tidaknya
defek di kelenjar gonad. Selain itu untuk
memastikan adanya kelainan pada kelenjar
adrenal pemeriksaan analisis steroid pada urin
juga dapat dilakukan.
Pemberian terapi hormon pada
DSD didasari atas kebutuhan hormon seks untuk
menginisiasi maturasi pubertas. Terapi hormonal
ini dapat dilakukan saat usia penyandang DSD
memasuki usia pubertas dimana lingkungan
pergaulannya juga memasuki masa tersebut. Jika
terlalu lama menunda pemberian terapi hormon
dapat menimbulkan keterlambatan perkembangan
genitalia, fungsi reproduksi dan fungsi seksual
serta mempengaruhi kualitas hidupnya di masa
mendatang.
Lingkup penanganan pembedahan
Berdasarkan guidelines American Academy of
Pediatrics, lingkup pembedahan sudah termsuk
dalam pemilihan terapi DSD. Terapi pembedahan
berupa genitoplasty dapat dilakukan jika diagnosis
DSD sudah ditegakkan dengan pasti dan hasil
keluaran pasca operasi bermanfaat dalam
penentuan jenis kelamin di usia dewasa.
Genitoplasty adalah merupakan jenis terapi yang
bersifat irreversibel seperti dilakukannya kastrasi
dan reduksi phallus pada DSD yang akan menjadi
wanita dan reseksi utero-vagina pada DSD yang
akan menjadi pria. Terkadang DSD yang tidak
terdiagnosis pada masa infan dan baru diketahui
saat memasuki masa pubertas, seperti pada kasus
anak perempuan dengan CAH dan dibesarkan
sebagai anak lelaki atau pada kasus anak lelaki
dengan
defisiensi
17β-hydroxysteroid
dehydrogenase dan 5α-reductase dibesarkan
sebagai anak perempuan. Kondisi tersebut
menimbulkan tekanan mental pada orangtua dan
penyandang DSD, namun pemilihan terapi
pembedahan tidak boleh langsung dilakukan
sebelum dilakukan pemeriksaan endokrin dan
pendekatan terapi psikososial. Seluruh jenis
tindakan pembedahan yang akan dilakukan harus
dipertimbangkan secara hati-hati, dengan selalu
mengutamakan kepentingan pasien di atas segalagalanya.
Hingga saat ini penentuan usia yang tepat
untuk menentukan kapan sebaiknya tindakan
operasi
dilakukan
masih
diperdebatkan.
Berdasarkan aspek psikososial, tindakan operasi
yang dilakukan pada masa infan lebih disukai,
karena lebih mudah dilakukan dan riwayat trauma
operasi dapat dihilangkan jika dibandingkan
dengan melakukan tindakan pembedahan pada
anak saat mulai memasuki usia dewasa. Namun
pendapat lain menyatakan bahwa tindakan operasi
DSD sebaiknya menunggu sampai usia yang
cukup untuk menerima informasi dan selanjutnya
dilakukan informed consent langsung kepada
penyandang DSD, mengingat yang dilakukan
berhubungan dengan fungsi seksualitas.
Sebelum dilakukan tindakan pembedahan
penting diketahui bagi pihak orangtua dan
penyandang DSD mengenai untung-ruginya
tindakan pembedahan serta hasil akhir yang akan
didapat.
Tujuan utama tindakan pembedahan
adalah mengembalikan fungsi organ genitalia
dibandingkan fungsi estetiknya. Tujuan lainnya
adalah menentukan jenis kelamin yang tepat,
membantu pembentukan image tubuh sesuai
dengan jenis kelaminnya, menghindari stigma
sosial, dan terakhir berkaitan dengan fungsi
seksualiats dalam berhubungan seksual.
Jika tindakan pembedahan sudah
ditetapkan,
setelah
menjalankan
operasi
penatalaksaan lainnya yaitu aspek psikososial dan
medis harus tetap dijalankan secara teratur.
Karena rangkaian
penatalaksanaan
antara
ketiganya saling mendukung satu sama lain.
Terapi pembedahan gonad saat ini juga dinilai
penting, terutama pada kasus 46XY DSD, di mana
umumnya testis masih tetap berada di dalam
rongga
abdomen.
Kemungkinan
adanya
diferensiasi gonad ke arah keganasan membuat
terapi
pengangkatan
gonad
dibutuhkan.
Pemeriksaan biopsi gonad kadang juga diperlukan
untuk membuktikan adanya kelainan disgenesis
gonad atau adanya kondisi ovotestis.
Referensi

Speroff L, Fritz MA. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 7th edition.
California: Lippincott Williams & Wilkins; 2005.

Hughes IA. Disorders of sex development: a new definition and classification. Best
Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism. 2008;22(1):119-34.

Hughes IA, Nihoul-Fekete C, Thomas B, Cohen-Kettenis PT. Consequences of the
ESPE/LWPES guidelines for the diagnosis and treatment of disorders of sex
development. Best Practice & Research Clinical Endocrinology & Metabolism.
2007;21(3):351-65.

Meyer-Bahlburg HFL. Treatment guidelines for children with disorders of sex
development. Neuropsychiatrie de l’enfance et de l’adolescence. 2008;56:345-49.
Download