Kebijakan dan Perlindungan Sosial

advertisement
Edisi 30 Mei 2009
Bahan Ajar
Mata Kuliah
Perencanaan
Sosial
(GEL2703)
Tukiran, , Drs., M.A.
Sukamdi, H., , Drs., M.Sc.
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009
No Modul
: 1
Pertemuan
: Minggu 1
Pokok Bahasan
: Pendahuluan
A. Kata Kunci :
1. Perencanaan Sosial
2. Kebijakan Sosial
B. Pertanyaan / perintah diskusi
1. Review PSDM
C. Materi
Menjelaskan silabus perkuliahan selama satu semester.
I
Pendahuluan
II
Konsep, Definisi, Lingkup Perencanaan Sosial
III
Kebijaksanaan Sosial, Perencanaan Sosial dan Pembaharuan Sosial
IV
Kebijakan Sosial
V
Perlindungan Sosial di ASEAN
VI
Basic Need Approach
VII
Indikator Keberhasilan Perencanaan Sosial
VIII
Perencanaan Kontingensi/Perencanaan Penanganan Bencana
IX
MID Semester
X
Case Study
XI
Case Study
XII
Case Study
XIII
Presentasi Kelompok
XIV
Presentasi Kelompok
XV
Presentasi Kelompok
XVI
Review Mata Kuliah
D. Latihan
1. Summary bab 1 “Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga“ Diana Conyers.
2
No. Modul
: 2
Pertemuan
: Minggu 2
Pokok Bahasan
: Konsep, Definisi, Lingkup Perencanaan Sosial
A. Kata Kunci :
1. Kualitas Hidup
2. Human Development Index
3. Perencanaan sosial
4. Wellbeing
5. Jenis perencanaan sosial
6. Dasar perencanaan sosial
7. Teori pembangunan
8. Kemiskinan
9. Proses perencanaan sosial
B. Pertanyaan / perintah diskusi
1. Apa tujuan social planning?
2. Apa yang di maksud dengan wellbeing?
C. Materi
PENGERTIAN PERENCANAAN SOSIAL
(SOCIAL PLANNING)

Perencanaan sosial adalah perencanaan untuk meningkatkan kualitas hidup
di suatu masyarakat.

Social planning guidelines for QLD LG 1996 mendefinisikan perencanaan
sosial sebagai “an organised process for investigating and responding to
the needs and aspirations of people and communities. In practice, it’s
based on a set of values, techniques, and skills that contribute to better
communities and quality of life”.

The NSW Local Government Guidelines mendefinisikan perencanaan
sosial sebagai "the process of investigating and responding to the social
3
needs and aspirations of all the people who live or work in a local
government area. It is a process of collaborative planning on social and
community issues at the local level and incorporates all types of activities
that have an impact on community well-being."

Social planning plays in a pivotal role in creating liveable communities,
vibrant economies, sustainable places, diverse cultural expression and
social cohesiaon.

Social planning involves planning for the needs and aspirations of people
and communities through strategic policy and action, integrated with
urban, regional, and other planning activities.

Social planning is founded on the principles of social justice (equity,
access, participation, and right) and aims to enchance community well
being and effectiveness.

Social planning embraces a planned approach to enhancing the quality of
life of community by identifying needs: facilitating the timely, coordinated
and accessible provision of human services, and comunnity facilities, and
involving the community in the planning and development of the area.

Social Planning is people focussed while physical or environmental
planning is placefocussed, but clearly the two interact. A vital input into
environmental and physical planning, particularly in examining the social
impacts of changes to the built environment.

Perencanaan Sosial meliputi :
a. Health
b. Transport and access
c. Community participation and inclusion
d. Crime prevention
e. Community safety
f. Education
g. Employment
h. Housing
i. Community services
4

Perencanaan sosial timbul karena didorong oleh adanya aspirasi, tujuan
sosial,
dan perlu dipertimbangkannya
faktor-faktor sosial
dalam
perencanaan program dan proyek pembangunan.
Batasan dan Pengertian
Perencanaan
1. Waterston, 1965
Perencanaan adalah suatu usaha yang sadar, teroganisasi, dan terus
menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah
alternatif untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Schaffer, 1970
Adapun yang terlintas dibenak kita manakala kita membicarakan
perencanaan kiranya tidak terlepas dari kaitan persoalan pengambilan
keputusan. Implikasinya adalah bahwa pasti ada cara yang lebih baik
dalam hal pengambilan keputusan tersebut, mungkin dengan cara lebih
memperhatikan lebih banyak data yang ada, ataupun hasil-hasil yang
mungkin dicapai dimasa yang akan datang.
3. J. Nehru dalam Waterston, 1965
Perencanaan adalah suatu bentuk latihan intelegensia guna mengolah fakta
serta situasi sebagaimana adanya dan juga mencari jalan keluar guna
memecahkan masalah
4. Beenhakker, 1980
Perencanaan adalah seni untuk melakukan sesuatu yang akan datang dapat
terlaksanakan.
5. Sociedad Interamericana de Planification, dikutip Waterston, 1965
Perencanaan merupakan penerapan yang rasional dari pengetahuan
manusia terhadap proses pencapaian keputusan yang bertindak sebagai
dasar perilaku manusia.
Perencanaan melibatkan hal-hal yang menyangkut pengambilan
keputusan atau pilihan bagaimana memanfaatkan sumberdaya yang ada
semaksimal mungkin guna mencapai tujuan-tujuan tertentu. Perencanaan
5
sosial harus merupakan bentuk arahan bagi seluruh rangkaian kegiatan
perencanaan itu sendiri. Perencanaan pembangunan merupakan salah satu
bagian dari perencanaan sosial. Perkembangan perencanaan sosial merupakan
perubahan-perubahan dalam perencanaan pembangunan. Perubahan tersebut
dibagi menjadi 2 kategori yaitu :
a. Perubahan dalam ruang lingkup dan isi perencanaan pembangunan,
sebagai perubahan konsep perencanaan pembangunan.
b. Perubahan metodologi pada perencanaan pembangunan.
Perencanaan merupakan suatu proses pembangunan yang kompleks
dan melibatkan beberapa kegiatan berikut seperti misalnya :
a. Identifikasi tujuan umum serta kenyataan yang ada.
b. Formulasi strategi pembangunan yang luas guna mengatasi kenyataan
yang ada.
c. Penterjemahan strategi yang ada ke dalam bentuk rencana dan proyek.
d. Implementasi program dan proyek.
e. Pemantauan terhadap implementasi dan hambatan yang timbul untuk
pencapaian tujuan dan kenyataan.
Sosial
1. Pengertian sosial dihubungkan dengan pengertian hiburan atau sesuatu
yang menyenangkan.
2. Kata sosial mempunyai kecenderungan ke arah pengertian kelompok
orang, yang berkonotasi “masyarakat” (society) dan “warga” (community).
3. Sosial adalah sesuatu mengenai yang melibatkan manusia sebagai lawan
dari kata benda.
4. Pengertian soaial sebagai lawan kata ekonomi. Kata sosial menyarankan
sesuatu yang sifatnya nonmoneter.
5. Kata sosial berkaitan dengan asasi atau semacam hak asasi dari sementara
orang ataupun hak mereka sebagai anggota masyarakat.
6. Sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau
sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam
6
konteks masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini
mencakup antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik,
hukum, budaya, atau pertanian (Kartasasmita, 1996).
Munculnya Perencanaan Sosial
Perencanaan sosial menggambarkan adanya peran yang cukup penting
bagi negara dalam pengadaan pelayanan masyarakat. Perencanaan bukanlah
hanya sekedar urusan mengenai hal-hal yang dapat diselesaikan sedikit demi
sedikit yang terjadi secara kebetulan ataupun urusan yang karenanya hampir
tak ada usaha untuk mengkoordinir kegiatan perencanaan dalam berbagai
sektor atau bidang kegiatan untuk dibentuk menjadi suatu ‘’rencana” secara
keseluruhan.
Perencanaan sosial di dunia ketiga meliputi bentuk perencanaan untuk
kelengkapan pelayanan kesejahteraan sosial secara konvensional walaupun
pada kenyataannya hanya sebagian kecil saja yang terlaksana. Timbulnya
perencanaan sosial di dunia ketiga menyangkut pada pergeseran ruang lingkup
yang lebih luas dari perencanaan pembangunan dengan lebih memberi tekanan
pada perubahan sosial.
Bidang-bidang Perencanaan Sosial
1. Perencanaan Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial merupakan jenis pelayanan yang memberikan
sumbangan terhadap kesejahteraan sosial (social well-being) penduduk
dari pada perkembangan ekonomi itu sendiri. Pelayanan sosial meliputi :
pelayanan
dalam
bidang
pendidikan
dan
kesehatan,
perumahan,
penyediaan air bersih,penyediaan sarana rekreasi, dsb. Di sebagaian negara
berkembang
perencanaan
kesejahteraan
dianggap
kurang
penting
dibandingkan dengan bentuk pelayanan lainnya seperti pendidikan dan
kesehatan. Di dalam pelayanan sosial terdapat dua jenis komponen utama
yaitu komponen ekonomi dan sosial.
7
2. Memperhitungkan Prioritas dan Pertimbangan-pertimbangan Sosial
Di dalam setiap program pembangunan faktor-faktor sosial harus
diperhitungkan dan pembangunan sosial mempunyai tujuan penting
tersendiri. Bentuk perencanaan sosial semacam ini dilaksanakan pada dua
tahapan yang agak berbeda yaitu sebagian dari proses memformulasikan
keseluruhan rencana dan kebijaksanaan pada skala nasional dan sebagai
bagian perencanaan proyek individu terutama proyek pembangunan
ekonomi yang penting
Ada sejumlah isu-isu umum yang timbul baik pada perencanaan di
tingkat nasional maupun proyek. Isu terpenting adalah biasanya dibebani
oleh hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekonomi dan sosial.
Dengan adanya hubungan timbal balik tersebut maka akan timbul masalah
bagaimana mengukur tujuan dan keuntungan sosial yang ada. Lalu akan
muncul persoalan dengan kriteria apa mengukur perubahan dan
keuntungan sosial serta timbulkesulitan dalam mengukur aspek-aspek
sosial secara nyata.
3. Menjamin Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan
Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor sosial yang sangat
mempengaruhi proses perencanaan akan menimbulkan berbagai masalah
karena kurangnya perhatian terhadap faktor tersebut. Pertama, adanya
dorongan untuk mendayagunakan perencanaan sosial yang khususnya
bertanggungjawab meneliti aspek-aspek sosial pada setiap rencana atau
proyek. Kedua, timbulnya pengaruh kearah partisipasi masyarakat dalam
hal perencanaan.
Perencanaan Sosial Sebagai Disiplin Ilmu
Telah diasumsikan bahwa ada keterkaitan antara berbagai jenis
kegiatan ini yang memperkuat pengertian mengenai makna tujuan utama
perencanaan sosial dan memperjelas pula eksistensi perencanaan sosial pada
berbagai
kementrian
atau
departemen,
pengangkatan
tenaga-tenaga
profesional yang resminya dikenal sebagai perencanaan sosial, ditawarkannya
8
mata kuliah perencanaan sosial di berbagai universitas dan institute, dan
terbitnya buku-buku mengenai perencanaan sosial.
Dunia Ketiga
Penggunaan istilah dunia ketiga adalah bahwa semua konsep,
pengertian, dan metoda yang dibahas diharapkan dapat diterapkan di sebagian
besar negara yang umum disebut “Dunia Ketiga”, yang menerapkan setiap
bentuk perencanaan pembangunan. Istilah dunia ketiga menunjuk pada
“negara berkembang”, “negara kurang maju”, “negara berpenghasilan
rendah”, dan akhir-akhir ini dikenal istilah “negara-negara selatan”.
Proses Perencanaan Sosial
Proses perencanaan sosial dikarakteristikan sebagai :
a. strategic
b. consultative
c. participatory
d. negotiated
e. developmental
Key Principles that are central to social planning :
a. equity
b. access
c. choice
d. advocacy
e. communication and consultation
f. participation
g. timeliness
h. adaptability and flexibility
i. collaboration and cooperation
9
Role of Social Planner
a. Local Goverment strategic planning process
b. Social impact assessment
c. Developing local area or regional social plans
d. Population planning eg youth, aged
e. Evoluating programs
f. Green field human service planning
g. Planning and facilitating a community forum
D. Latihan
1. Membuat summary bab 2 buku “ Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga “
tulisan Diana Conyers.
2. Pilih topik yang menurut anda menarik dalam studi perencanaan sosial.
10
No. Modul
:
3
Pertemuan
:
Minggu 3
Pokok Bahasan
:
Kebijaksanaan
Sosial,
Perencanaan
Sosial
dan
Pembaharuan Sosial
A. Kata Kunci
1. Pemerataan sosial (social equity).
2. Keadilan sosial (social justic).
3. Dampak terhadap perkembangan sosial.
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
1. Sebutkan beberapa contoh permasalahan sosial yang dihadapi Indonesia
saat ini.
2. Kebijakan apa saja yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah.
C. Materi
Perencanaan sosial pada tiga dasa warsa terakhir menjadi isu
kontroversial yang mengundang perdebatan dalam pengambilan keputusan.
Perencanaan sosial merupakan fenomena global yang dihadapi negara-negara
yang sedang berkembang. Walaupun ini merupakan fenomena global, namun
implikasinya dirasakan oleh masyarakat sampai di tingkat keluarga terutama
keluarga miskin yang merasakannya.
Pokok bahasan lebih difokuskan pada pemerataan sosial (social equity)
atau keadilan sosial (social justice) dan dampaknya terhadap perkembangan
sosial. Istilah sosial dalam hubungannya dengan hak-hak asasi atau hak
individu dalam masyarakat. Berbagai kesulitan dalam membedakan faktorfaktor sosial, ekonomi, budaya, dan politik serta interaksi faktor tersebut
dalam proses pembangunan. Kebijakan sosial dan perencanaan sosial garis
batasnya sangat tipis.
Kebijakan sosial dan perencanaan sosial semestinya tidak dianggap suatu
kegiatan
yang
terpisah.
Melalui
tahapan-tahapan
tujian
kebijakan
diimplementasikan ke dalam perencanaan, program, dan proyek. Perencanaan
harus memahami tentang keputusan kebijakan yang akan dilakukan dalam
11
kurun waktu yang berbeda. Pembuat kebijakan yakni keputusan perubahan
yang dibutuhkan. Contoh pendidikan SD dan bukan SLP dalam kaitannya
dengan anggaran. Pengambilan kebijakan lebih banyak diambil oleh politisi
daripada perencanaan. Setiap perencana harus terlibat dalam penentuan
kebijakan.
Ketimpangan,
ketergantungan,
dan
keadilan
sosial
diperlukan
perencanaan EGOP (economy growth oriented planning) mengalami
kegagalan yang kemudian diganti dengan SLOP (standar living oriented
planning). Dominasi EGOP perlu diubah ke SLOP, seperti apa atau mengapa
terjadi kemiskinan, kelaparan, pengangguran, dan ketimpangan. Ketimpangan
diantara kelompok sosial, isolasi geografis, negara maju, dan sedang
berkembang.
Pendekatan kebutuhan dasar masih diperdebatkan hingga saat ini.
Kebutuhan dasar mencakup tiga hal yaitu (1) konsumsi bahan pokok tertentu,
(2) pelayanan pokok, dan (3) hak untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
program. Dalam kebijakan dan perubahan sosial ketimpangan dapat didekati
dengan model eksistensi struktur sosial dan pendekatan alternatif. Sebagai
contoh kriminalitas di kota sebagai pelanggaran individu atau ketimpangan
desa-kota dalam upah atau pengangguran.
Peranan perencanaan sosial di definisikan sebagai perencanaan untuk
melakukan perubahan struktur masyarakat. Perencanaan sosial selalu
dihubungkan dengan pencapaian keadilan sosial dalam hubungannya dengan
masalah sosial, kebijakan sosial, dan perubahan struktur sosial.
Bentuk kebijakan sosial berupa pelayanan sosial. Pelayanan sosial
sendiri adalah tindakan atau aksi untuk mengatasi masalah sosial. Masalah
sosial yang harus diatasi adalah masalah-masalah kepandudukan yang telah
dirumuskan oleh ILO dan world bank. Contoh masalah sosial yang ada
meliputi masalah kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan kelaparan
(Era Baru Kemiskinan di Indonesia).
12
Dalam konteks well countries, negara memberikan jaminan pada orang
yang kurang beruntung (fakir miskin). Tipe-tipe negara dalam penilaian well
countries adalah :
a. Negara pelit : alokasi untuk jaminan kepada orang yang kurang beruntung
kurang dari 15% APBN. Mempunyai ciri pertumbuhan ekonomis yang
tinggi namun jaminan sosialnya sangat rendah.
b. Negara lemah : pertumbuhan sosial ekonomi sangat lemah dengan jaminan
sosial kurang dari 5 % APBN dan sangat fluktuatif.
c. Negara baik hati : meski pertumbuhan ekonomi rendah, tapi alokasi untuk
sosial tinggi. Alokasinya 15%-20% dari APBN.
d. Negara sejahtera : pertumbuhan ekonomi tinggi dan pembangunan sosial
lebih dari 30% APBN. Pendapatan per kapita per orang per tahun sebesar
$ 24.000.
Berbagai literatur kebijakan sosial menyatakan bahwa pelayanan
merupakan berbagai upaya yang dilakukan secara komprehensif yang
ditijukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Pelayanan sosial dilakukan
sejak peradaban manusia ini muncul ke permukaan bumi. Dalam bentuk yang
paling sederhana, masyarakat tradisional sudah mempraktikan hidup saling
tolong menolong untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka sehingga mereka
merasa sejahtera.
Secara formal, pelayanan sosial mulai berkembang ketika konsep
welfare state dikembangkan Eropa. Ketika itu beberapa ahli ilmu sosial seperti
William Beverage, Richard Titmus, dan John Maynard Keynes secara eksplisit
menyatakan perlunya keterlibatan negara secara intensif untuk menciptakan
kesejahteraan sosial. Mereka menyatakan bahwa negara perlu mengalokasikan
dananya dalam jumlah besar untuk menyeleseikan masalah (1) pendidikan, (2)
kesehatan, (3) perumahan, (4) jaminan sosial, dan (5) pelayanan pekerja
sosial.
Bermula dari konsep welfare state tersebut maka berkembanglah kajian
mengenai pelayanan sosial yang dilakukan secara formal/institusional. Dalam
13
pelayanan sosial yang dilakukan secara formal, peranan negara memegang
peranan sangat penting. Peranan tersebut meliputi : peranan (1) menyusun
perencanaan pelayanan sosial, (2) peranan memberikan pelayanan sosial, dan
(3) peranan mengatur praktik pemberian pelayanan sosial.
Pelayanan sosial di Indonesia :
1. Jaminan sosial : tunjangan untuk orang-orang yang berprestasi.
2. Perumahan : rusunawa, rumah sederhana, KPR, rumah dinas.
3. Kesehatan : kesehatan ditanggung negara (WHO).
4. Pendidikan : memberikan pendidikan yang layak bagi semua warga,
masalah buku ajar, masalah guru tidak tetap.
5. Personal : SDM, perawatan anak berkebutuhan khusus, persepsi kriminal.
Pelayanan sosial memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan keadilan
sosial. Ketimpangan distribusi pendapatan antara Jakarta dan Yogyakarta
misalnya merupakan representasi kondisi yang kurang adil. Masyarakat
Yogyakarta memiliki hak yang sama dengan masyarakat Jakarta untuk
mendapatkan hasil kegiatan pembangunan. Namun demikian, faktanya
membuktikan bahwa mereka memiliki akses yang berbeda.
Banyak ahli ilmu sosial percaya bahwa pelayanan sosial merupakan
instrumen yang kontekstual untuk membantu menciptakan keadilan sosial.
Wujud nyata yang paling mudah untuk dilihat adalah mengenai jaminan
sosial. Jaminan sosial merupakan wujud intervensi pemerintah yang diberikan
dalam bentuk uang atau barang yang diberikan kepada masyarakat untuk
membantu memenuhi kebutuhannya. Jaminan sosial untuk pelayanan
kesehatan misalnya, diberikan pada masyarakat miskin karena penghasilan
mereka dianggap tidak cukup untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Ini
menunjukkan bahwa jaminan sosial berusaha meningkatkan akses masyarakat
pada pelayanan sosial sehingga bagian dari suatu masyarakat yang
sebelumnya tidak memiliki akses tersebut mampu untuk mendapatkannya.
Dengan demikian jaminan sosial berusaha membantu mereka yang memiliki
14
berbagai keterbatasan untuk mendapatkan kesetaraan akses dengan bagian dari
masyarakat lainnya.
D. Latihan
1. Kasus Model Perencanaan
Dalam proses penyusunan perencanaan sosial yang dilakukan oleh pemerintah
indonesia selalui diawali dengan analisis kebutuhan. Ini dibuktikan dengan
kegiatan
penilaian
kebutuhan
yang
diwujudkan
dalam
musyawarah
perencanaan dan pembangunan yang dimulai dari tingkat pedukuhan,
kelurahan, dan kecamatan. Hal ini dilakukan dari regim pemerintahan yang
sentralistik pada masa Orba dan juga pada regim dengan sistem
terdesentralisasi. Namun uniknya adalah bahwa baik pengambilan keputusan
secara sentralistik di Jakarta maupun terdesentralisasi di tingkat pemerintah
kabupaten/kota, data menunjukkan bahwa hasil keputusan terakhir dalam
proses perencanaan multisektiral menghasilkan keputusan politik yang belum
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sebagai konstituenya.
Pertanyaan
1. Mengapa hasil akhir proses perencanaan tersebut bias?
2. Kasus ini menunjukkan proses perencanaan yang bagaimana?
2. Tulis essay mengenai topik yang anda anggap menarik dalam
perencanaan sosial beserta rencana pustaka yang akan digunakan dalam
topik tersebut.
15
No. Modul
: 4
Pertemuan
: 4
Pokok Bahasan
: Kebijakan Sosial
A. Kata Kunci
1. Kebijakan sosial
2. Kesejahteraan
3. Dimensi kebijakan sosial
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Bagaimana pendapat anda mengenai kebijakan sosial di Indonesia?
Sudah cukup baik atau belum? Bagaimana seharusnya keebijakan sosial yang
tepat bagi Indonesia?
C. Materi
Dalam suatu negara, ada yang biasa disebut dengan kebijakan sosial.
Kebijakan sosial ini menyangkut pada segala sisi dan aspek dari pemerintahan.
Baik itu di bidang ekonomi, politik, hukum, pembangunan, dan lain-lain.
Adanya kebijakan sosial ini tak lain adalah agar dapat memajukan tingkat
kesejahteraan masyarakat di suatu negara.
Pengertian kebijakan sosial
Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari
yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu)
(Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai
prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang
mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto,
1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan
16
yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang
dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat
diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas
kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau
sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks
masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup
antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya,
atau pertanian.
Definisi kebijakan social (social policy) menurut Oxford English
Dictionary, adalah suatu cara pengambilan tindakan dalam melanjutkan proses
pemerintahan, ke-partaian, kekuasaan, kepemimpinan Negara, dan lain-lain ;
arah dalam pengambilan suatu tindakan itu haruslah menguntungkan atau
sesuai.
Schorr dan Baumheir, menggunakan definisi kebijakan sosial yaitu
suatu prinsip dan cara melakukan suatu tindakan kesepakatan di suatu tataran
dengan individu dan juga menjalin hubungan dengan masyarakat. Hal ini
menjadikan suatu pemikiran dalam melakukan intervensi (keterlibatan) dari
peraturan yang berbeda dengan sistem sosial. Menetapkan suatu kebijakan
sosial haruslah menunjukkan tata cara bagaimana proses penerapannya dalam
menghadapi suatu fenomena sosial, hubungan sosial pemerintah dalam
mendistribusikan penghasilan dalam suatu masyarakat.
Definisi lain dari kebijakan sosial adalah suatu kondisi di atas level
pengembangan dalam suatu kelompok, baik itu tradisi, kebudayaan, orientasi
ideology, dan kapasitas teknologi. Bruce. S Jansson mendefinisikan kebijakan
sosial adalah mengendalikan sasaran pemecahan masalah yang menyangkut
keuntungan orang banyak. Hal ini menekankan bahwa kebijakan sosial
bertujuan untuk mengurangi masalah sosial seperti kelaparan, kemiskinan, dan
guncangan jiwa. Atau kebijakan sosial dapat pula di definisikan sebagai
kumpulan strategi untuk memusatkan perhatian pada problem sosial.
17
Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan
yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang
menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti
ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan
perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali
muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian
perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat
berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat
dengan perencanaan kesejahteraan sosial. (Conyers 1992).
Garis besar aspek kebijakan sosial
Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan objek kajian yang memiliki
ruang lingkup luas dan global. Peran pekerja sosial dalam menghadapi
fenomena perkembangan suatu Negara sangat diperlukan dan peran serta aktif
pula dalam bekerjasama dengan instansi kepemerintahan yang memang
memiliki otoritas dan peranan dalam melakukan suatu kebijakan.
Seperti yang terdapat dalam definisi diatas, kebijakan sosial sangat
berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi penduduk di suatu
Negara. Pekerja sosial sebagai tenaga yang sangat dibutuhkan kontribusinya
dapat pula berfungsi dengan berperan serta aktif ikut menentukan dan
membuat perancangan kebijakan sosial strategis tidak hanya dalam lingkup
lokal melainkan dalam matra global. Pekerja sosial haruslah aktif dalam
merespon situasi perubahan dan perkembangan kondisi global, sehingga dapat
bersama dengan pemerintah melakukan rancangan yang efektif dalam
mensejahterakan masyarakat.
Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan
suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan tanggungjawab ini
kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada pula negara yang
memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial.
Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan
maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah
18
untuk membuat generalisasi lembaga mana yang paling berkompeten dalam
masalah ini. (Suharto, 1997).
Dalam perjalanan, penyusunan, perancangan, dan penerapannya,
kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi :
1. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu
kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undangundang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan
yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang
administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini
dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah.
2. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang
suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam
suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang
di tingkatan legislatif pada suatu Negara demokrasi.
3. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan
informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilkukan
oleh para pekerja sosial.
4. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu
kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini
merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya misalkan
LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain.
Sehingga kesimpulan ringkas yang dapat kita ambil dari adanya
pembagian aktivitas yang secara tidak langsung dapat bekerjasama
mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan sosial, disini pihak
pemerintah dapat dengan mudah menentukannya hal ini disebabkan karena
masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat pemerintah
dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Sehingga tingkat pelanggaran
yang nantinya akan terjadi dapat terdeteksi dan transparan.
Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya
masing-masing, kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi,
19
yang tak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas. Penjelasan ini menurut
pembagian Bruce. S Jansson, di dalam Social Policy,from theory to practice
diantaranya:
1. Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para
pelaksana kebijakan.
2. Community organization, yang membicarakan pada pengerahan
kemampuan seperti menghimpun koalisi
3. Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan.
Suatu kebijakan yang telah disusun, dirancang, dan disepakati
sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, diantaranya
ialah :
1. Mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk
kesejahteraan masyarakat.
2. Menyingkap
dan
memperlihatkan
lapangan
akademis
dalam
penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi
terhadap suatu kebijakan.
Adanya aspek yang tertera diatas dimaksudkan agar masyarakat
sebagai objek sasaran kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya
dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dan semua perangkatnya
haruslah memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung. Sehingga
kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik.
Lantas
bagaimana
nantinya
pemerintah
dapat
mempengaruhi
kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang telah disuun dan diterapkan?
Jawabannya adalah dapat ditempuh dengan 3 (langkah) yang bila hal tersebut
berjalan secara efektif maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah
tersebut anatara lain seperti yang terdapat dalam The Handbook of Social
Policy adalah :
1. Mereka (pemerintah) membuat kebijakan yang bersifat spesifik dengan
maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh :
pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi
20
sosial penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan
yang baru.
2. Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial
dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau kebijakan
lainnya, walaupun begitu mereka memiliki perhatian terhadap suatu
kondisi sosial. Contoh : kebijakan sosial dengan menambah hubungan
relasi perdagangan atau mengundang investor dari Negara lain lalu
menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan
yang akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan melihat
tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan lain-lain.
3. Kebijakan
sosial
pemerintah
yang mempengaruhi
kesejahteraan
masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu kebijakan
terfokus pada salah satu grup tetapi pada kenyataanya justru
mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain.
Kemiskinan sebagai objek sasaran kebijakan sosial
Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang seringkali
ditemukan dibeberapa Negara yang sedang proses berkembang atau bahkan
terkadang dapat pula ditemukan di Negara maju, biasanya permasalahan di
Negara maju kemiskinan lebih sering terjadi pada para imigran.
Sebagai masalah yang menjadi isu global disetiap Negara
berkembang. Wacana kemiskinan dan pemberantasannya haruslah menjadi
agenda wajib bagi para pemerintah dan pemimpin Negara. Peran serta
pekerja
sosial
dalam
menangani
permasalahan
kemiskinan
sangat
diperlukan, terlebih dalam memberikan masukkan (input) dan melakukan
perencanaan strategis (strategic planning) tentang apa yang akan menjadi
suatu kebijakan dari pemerintah.
Sebelum mengetahuinya lebih dalam, perlu diketahui penyebab
kemiskinan yang secara tidak langsung menjadi standar global :
1. Kemiskinan kebudayaan, hal ini biasanya terjadi disebabkan karena
adanya kesalahan pada subyeknya. Misalnya : malas, tidak percaya diri,
21
gengsi, tak memiliki jiwa wirausaha yang kompatibel, tidak mempunyai
kemampuan dan keahlian, dan sebagainya.
2. Kemiskinan structural, hal ini biasanya terjadi karena disebabkan oleh
factor eksternal yang melatarbelakangi kemiskinan. Faktor eksternal itu
biasanya disebabkan kinerja dari pemerintah diantaranya : pemerintah
yang tidak adil, korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit, dan
sebagainya.
Isbandi Rukminto Adi, Phd menegaskan pula tentang akar kemiskinan
berdasarkan level permasalahan dan membaginya menjadi beberapa dimensi,
diantaranya:
1. Dimensi Mikro : mentalitas materialistic dan ingin serba cepat ( instan ).
2. Dimensi Mezzo : melemahnya social trust ( kepercayaan social ) dalam
suatu komunitas dan organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh
terhadap si subyek itu sendiri.
3. Dimensi Makro : kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang
minus (desa) dengan daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan
yang kurang tepat (tidak sesuai dengan kondisi sosio-demografis)
masyarakat Indonesia.
4. Dimensi Global : adanya ketidakseimbangan relasi antara Negara yang
sudah berkembang dengan Negara yang sedang berkembang.
Departemen Sosial sebagai instansi yang membawahi sacara langsung
masalah kemiskinan tidak pernah absent dalam mengkajinya termasuk
melaksanakan program-program kesejahteraan sosial yang dikenal dengan
PROKESOS- yang dilaksanakan baik secara intra-departemen maupun antardepartemen bekerjasama dengan departemen-departemen lain secara lintas
sektoral. Dalam garis besar, pendekatan Depsos dalam menelaah dan
menangani kemiskinan sangat dipengaruhi oleh persepektif pekerjaan sosial
(social work). Pekerjaan sosial dimaksud, bukanlah kegiatan-kegiatan sukarela
atau pekerjaan-pekerjaan amal begitu saja, melainkan merupakan profesi
pertolongan kemanusiaan yang memiliki dasar-dasar keilmuan (body of
22
knowledge), nilai-nilai (body of value) dan keterampilan (body of skills)
professional yang umumnya diperoleh melalui pendidikan tinggi pekerjaan
sosial ( S1, S2,dan S3 ).
Startegi penanggulangan kemiskinan
Sesuai dengan konsepsi mengenai keberfungsian sosial, strategi
penanganan kemiskinan pekerjaan social terfokus pada peningkatan
kemampuan orang miskin dalam menjalankan tugas-tugas kehidupan sesuai
dengan statusnya. Karena tugas-tugas kehidupan dan status merupakan
konsepsi yang dinamis dan multi-wajah, maka intervensi pekerjaan sosial
senantiasa melihat sasaran perubahan (orang miskin) tidak terpisah dari
lingkungan dan situasi yang dihadapinya. Prinsip in dikenal dengan
pendekatan “person in environment dan person in situation”.
Seperti yang telah dijelaskan diatas Depsos sebagai suatu instansi
memiliki pula beberapa agenda yang memang merupakan disiapkan untuk
menekan angka kemiskinan, diantara program kerja Depsos yang telah
terealisasi yang menurut Edi Suharto, Phd adalah strategi pendekatan pertama
yaitu pekerja sosial melihat penyebab kemiskinan dan sumber-sumber
penyelesaian kemiskinan dalam kaitannya dengan lingkungan dimana si
miskin tinggal, baik dalam konteks keluarga, kelompok pertemanan (peer
group),
maupun
masyarakat.
Penanganan
kemiskinan
yang
bersifat
kelembagaan (institutional) biasanya didasari oleh pertimbangan ini. Beberapa
bentuk PROKESOS yang telah dan sedang dikembangkan oleh Depsos dapat
disederhanakan menjadi :
1. Pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan oleh
panti-panti sosial.
2. Program jaminan, perlindungan dan asuransi kesejahteraan sosial.
3. Bekerjasama dengan instansi lain dalam melakukan swadaya dan
pemberdayaan usaha mikro, dan pendistribusian bantuan kemanusiaan,
dan lain-lain
23
Pendekatan kedua, yang melihat si miskin dalam konteks situasinya,
strategi pekerjaan sosial berpijak pada prinsip-prinsip individualisation dan
self-determinism yang melihat si miskin secara individual yang memiliki
masalah dan kemampuan unik. Program anti kemiskinan dalam kacamata ini
disesuaikan dengan kejadian-kejadian dan/atau masalah-masalah yang
dihadapinya. PROKESOS penanganan kemiskinan dapat dikategorikan ke
dalam beberapa strategi, diantaranya :
1. Strategi kedaruratan. Misalnya, bantuan uang, barang dan tenaga bagi
korban bencana alam.
2. Strategi kesementaraan atau residual. Misalnya, bantuan stimulant untuk
usaha-usaha ekonomis produktif.
3. Strategi pemberdayaan. Misalnya, program pelatihan dan pembinaan
keluarga muda mandiri, pembinaan partisipasi sosial masyarakat,
pembinaan anak dan remaja.
4. Strategi “penanganan bagian yang hilang”. Strategi yang oleh Caroline
Moser disebut sebagai “the missing piece strategy” ini meliputi programprogram yang dianggap dapat memutuskan rantai kemiskinan melalui
penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau “disentuh” akan
membawa dampak pada aspek-aspek lainnya. Misalnya, pemberian kredit,
program KUBE (kelompok usaha bersama).
Masalah
kebijakan
sosial
adalah
suatu
permasalahan
yang
membutuhkan penanganan khusus, terpadu dan dilakukan secara kontinu dan
konsekuen. Sebagian besar Negara berkembang selalu memperhatikan aspek
kebijakan sosial sebagai program andalan yang dapat menjadi perencanaan
untuk melakukan kesejahteraan sosial.
Telebih lagi adanya kebijakan sosial tak bisa lepas dari pihak-pihak
yang memiliki kaitan dengan lembaga pembuat kebijakan. Peranan yang harus
menjadi tanggungjawab berbagai pihak dalam menyusun dan melakukan
perencanaan se-strategis mungkin demi tercapainya kesejahteraan sosial, dan
aspek-aspek yang menjadi hambatannya.
24
D. Latihan
1. Apa maksud atau fungsi sebuah kebijakan?
2. Bagaimana kebijakan itu akan mempengaruhi agenda pemerintah secara
keseluruhan, departemen-departemen pemerintahan, kelompok-kelompok
klien, kelompok-kelompok kepentingan, dan masyarakat banyak?
25
No. Modul
: 5
Pertemuan
: 5
Pokok Bahasan
: Perlindungan Sosial di ASEAN
A. Kata Kunci
1. Negara kesejahteraan
2. Jaminan sosial
3. Marjinalisasi
4. Perlindungan dan kebijakan social
5. Perlindungan sosial
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Seberapa besar peran pemerintah dalam memberikan jaminan sosial?
C. Materi
Melihat kelompok rentan dan kurang beruntung di Indonesia bisa
dilakukan dengan memotret populasi miskin yang terus meningkat di negeri
ini. Sebagai contoh, tahun 1984 jumlah orang miskin di Indonesia adalah 35
juta jiwa. Pada tahun 2002, hamper sepuluh tahun kemudian, Badan Pusat
Statistik (BPS) menemukan bahwa 35,7 juta penduduk Indonesia masih
tergolong miskin. Sebanyak 15,5 juta di antaranya tergolong fakir miskin yang
secara ekonomi bisa disebut sebagai kelompok termiskin dari yang miskin dan
terlemah dari yang lemah (destitute). Angka terakhir pada September 2006,
jumlah orang miskin mencapai 39,05 juta jiwa atau sekitar 17,75 persen dari
keseluruhan penduduk Indonesia (Hasbullah, 2006). Meski kadang tumpang
tindih, jumlah kelompok kurang beruntung ini pastilah akan lebih besar lagi
jika dimasukkan para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) atau
yang oleh Depsos diberi label Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) yang di dalamnya berbaris jutaan gelandangan, pengemis, Wanita
Tuna Susila, Orang Dengan Kecacatan, Orang Dengan HIV/AIDS, Komunitas
Adat Terpencil, anak jalanan, pekerja anak, jompo telantar dan seterusnya.
Melihat tingginya jumlah kelompok rentan di atas, pertanyaannya
adalah: apakah ini berarti bahwa sejak kemerdekaannya lebih dari 60 tahun
26
lalu pembangunan Indonesia tidak mengalami kemajuan? Jawaban yang tepat
adalah: Tidak. Karena ada beberapa indikator sosial, politik dan ekonomi
Indonesia yang menunjukkan kemajuan. Hanya masalahnya, negara lain maju
lebih cepat.
Dalam satu dekade terakhir ini, liberalisasi ekonomi dan demokratisasi
politik di Indonesia mencatat kemajuan yang mengesankan (lihat Husodo,
2006: 12). Dalam sistem ekonomi, kini tengah terjadi pergeseran dari ekonomi
serba pengaturan (overregulated) ke ekonomi pasar; sistem politik juga tengah
berubah dari sentralistik ke desentralistik. Bank Indonesia yang semakin
independen, perijinan usaha yang semakin transparan, penerapan sistem
Bikameral, pemilihan Presiden langsung oleh rakyat, DPR/DPRD yang
semakin kuat, pengelolaan pemerintahan yang semakin akuntabel, otonomi
daerah yang semakin meningkat (sampai ada daerah yang memiliki sistem
berbeda dari sistem nasional) adalah beberapa contoh adanya kemajuan ini.
Namun demikian, di tengah capaian kemajuan yang sedang
berlangsung, tingkat kemajuan negara lain ternyata lebih pesat daripada
Indonesia (Suharto, 2005a; Suharto, 2006a; Husodo, 2006). Ekonom AS
penasihat Sekjen PBB Koffi Anand, Professor Jeffry Sach memberikan
perbandingan indikator ekonomi yang menarik. Pada tahun 1984, angka
ekspor Indonesia adalah 4 miliar dollar AS, sementara ekspor China baru
mencapai 3 miliar dollar AS. Tetapi, 20 tahun kemudian di tahun 2004, ekspor
China telah mencapai 700 miliar dollar AS, sedangkan ekspor Indonesia baru
mencapai sekitar 70 miliar dollar AS. World Investment Report 2006
memperlihatkan bahwa Foreign Direct Investment ke China tahun 2004
mencapai 60,6 miliar dollar AS. Sedangkan yang masuk Indonesia
menunjukkan angka negatif 597 juta dollar AS. Artinya, investasi asing lebih
banyak yang ditarik keluar daripada yang masuk ke Indonesia. Beberapa
investor pindah ke beberapa negara yang dipandang lebih menarik. Bahkan
investor Indonesia sendiri sepanjang tahun 2004 menanamkan dananya di luar
negeri sebesar 107 juta dollar AS. Ketidakpastian hukum, rawannya
27
keamanan, kebijakan fiskal yang tidak kondusif membuat Indonesia
dipandang tidak menarik untuk investasi.
Buramnya indikator sosial di Indonesia juga memperkuat analisis ini.
Peringkat Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2004 yang
berada di urutan 111 dari 175 negara menunjukkan bahwa standar hidup orang
Indonesia bukan saja masih rendah, melainkan semakin tertinggal oleh
negaranegara ASEAN lainnya, seperti Singapura (peringkat 25), Brunei
Darussalam (33), Malaysia (59), Thailand (76), dan Filipina (83) (Suharto,
2005a). Total penganggur di Indonesia adalah 40,1 juta orang atau sekitar 37
persen dari 106,9 juta angkatan kerja dengan pengangguran terbuka sekitar
11,6 juta orang (10,84%). Angka pengangguran terbuka di atas 10 persen ini
teramat tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia lain, seperti
Vietnam (6,1%), Singapura (4,8%), Korea Selatan (3,7%), Malaysia (3,4%)
dan Thailand (1,5%).
Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam luar biasa dan
keunggulan komparatif lainnya yang begitu potensial, ketertinggalan
Indonesia dibandingkan dengan negaranegara lain di kawasan ASEAN
seharusnya menyadarkan kita bahwa pastilah ada sesuatu yang salah dalam
pendekatan pembangunan dan pengelolaan negara ini.
Buku Globalization and its Disontents karya pemenang Nobel
Ekonomi, Joseph E. Stiglitz (2003) dan Confessions of an Economic Hit Man
tulisan John Perkins (2004) sangat jelas memberi bukti tentang gagalnya
pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, utang luar negeri
dan ideologi neoliberalisme. Setelah dipraktekkan selama 30 tahun lebih di
Tanah Air, pendekatan ini tidak mampu mengatasi kemiskinan. Cara ini
ternyata hanya efektif menggelembungkan “ekonomi balon permen karet”
(bubble gum economic) sambil menyuburkan konglomerasi rapuh, Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN), ketimpangan dan ketidakadilan sosial maha
hebat yang menghasilkan sekitar 25 persen orang kaya Indonesia yang
melebihi ratarata orang kaya Malaysia, bahkan diantaranya melahirkan
orangorang kaya kaliber jetset dunia dengan kekayaan triliunan rupiah.
28
Melihat wajah Indonesia seperti digambarkan di atas, sudah
semestinya jika para pemimpin, pembuat kebijakan, dan siapa saja yang
tergerak membangun Indonesia untuk menengok kembali dan memperkuat
konsepsi manajemen pemerintahan berdasarkan tujuan bernegara yang digagas
oleh para pendiri bangsa, yaitu sistem Negara Kesejahteraan (Suharto, 2006a;
Husodo, 2006).
Meskipun Negara Kesejahteraan lahir dalam tradisi pemikiran dan
masyarakat Barat, seperti Jeremy Bentham (17481832), Otto von Bismarck
(1850), Sir William beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963), ide dasar
sistem ini sesungguhnya telah bersemi dan dikembangkan oleh para pejuang
dan pendiri yang sudah sejak muda berjuang melawan penjajahan dan
penderitaan bangsa Indonesia. Dalam siding-sidang PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia), mereka memilih bentuk Negara Kesejahteraan
sebagai jawaban terhadap kondisi bangsa di masa itu yang dililit kemiskinan,
keterbelakangan, dan kebodohan yang sangat mengenaskan (Husodo, 2006).
Menurut Husodo (2006:3), Pembukaan UUD 1945 menunjukkan niat
dan tujuan membentuk Negara Kesejahteraan yang berbunyi “…Pemerintah
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.” Juga tercermin
dalam Pasal 27 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pasal 31 yang
menjamin hak tiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Pasal 33
dengan tegas mengamanatkan pengelolaan alam untuk sebesar besar
kemakmuran rakyat. Pasal 34 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh negara dan negara wajib mengembangkan sistem
jaminan sosial yang bersifat nasional.
Dalam garis besar, Negara Kesejahteraan menunjuk pada sebuah
model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan
melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan
pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker
(1995:82), misalnya, menyatakan bahwa Negara Kesejahteraan “…stands for
29
a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to
the best possible standards.” Negara Kesejahteraan mengacu pada peran
pemerintah yang responsif dalam mengelola dan mengorganisasikan
perekonomian sehingga mampu menjalankan tanggungjawabnya untuk
menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu
bagi warganya (EspingAndersen, 1990; Triwibowo dan Bahagijo, 2006).
Konsep ini dipandang sebagai bentuk keterlibatan negara dalam
memajukan kesejahteraan rakyat setelah mencuatnya bukti-bukti empirik
mengenai kegagalan pasar (market failure) pada masyarakat kapitalis dan
kegagalan negara (state failure) pada masyarakat sosialis (lihat Husodo,
2006). Di Inggris, konsep welfare state difahami sebagai alternatif terhadap
the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma, karena hanya ditujukan untuk
memberi bantuan bagi orang-orang miskin (Suharto, 1997; Spicker, 2002).
Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, Negara Kesejahteraan
difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan social yang melembaga
bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan (right of
citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di pihak
lain. Negara Kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayananpelayanan sosial bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak, pria dan
wanita, kaya dan miskin, sebaik dan sedapat mungkin. Ia berupaya untuk
mengintegrasikan sistem sumber dan menyelenggarakan jaringan pelayanan
yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (wellbeing) warga
negara secara adil dan berkelanjutan.
Negara Kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial
(social policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upayaupaya
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui
perlindungan sosial (social protection). Perlindungan sosial di sini mencakup
jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial), maupun
jaring pengaman sosial (social safety nets). Dalam konteks ini, negara
memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak
30
sosial” (the granting of social rights) kepada warganya (Trwibowo dan
Bahagijo, 2006).
Semua perlindungan sosial yang dibangun dan didukung negara
tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas
ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi,
serta investasi sumber daya manusia (human investment) yang terencana dan
melembaga. Negara Kesejahteraan adalah fondasi utama kebijakan sosial.
Namun demikian, Negara Kesejahteraan bukanlah sekadar kumpulan
kebijakan sosial (Triwibowo dan Bahagijo, 2006; Husodo, 2006). Artinya,
meskipun Negara Kesejahteraan selalu membutuhkan kebijakan sosial untuk
mewujudkannya, suatu negara dapat menerapkan beberapa kebijakan sosial
tanpa harus menganut Negara Kesejahteraan.
Secara sosiopolitik, Indonesia sudah memiliki syaratsyarat minimal
untuk membangun Negara Kesejahteraan. Yang masih perlu diperbaiki adalah
kemauan dan komitmen politik yang lebih tegas untuk mewujudkannya;
perbaikan tata pemerintahan
yang
transparan dan akuntabel
(good
governance); serta penetapan standarstandar kebijakan perlindungan sosial
dan model kelembagaannya. Sambil menyusun sistem yang lebih kuat untuk
menghadirkan Negara Kesejahteraan itu, fokus utama kita saat ini bisa
diletakan pada pembangunan kebijakan perlindungan sosial yang kuat dan
melembaga yang terintegrasi dengan kebijakan makro ekonomi yang
berkembang, berkemerataan dan dan berkelanjutan.
Perlindungan Sosial
Mempunyai pengertian sebagai tindakan (pihak pemerintah/swasta) dalam:
a. Memenuhi kebutuhan (utamanya kelompok miskin)
b. Melindungi kelompok rentan (vulnerable)
c. Meningkatkan status sosial
The term “social security” is mainly now related to financial
assistance, but the general sense of the term is much wider, and it is still
used in many countries to refer to provisions for health care as well as
31
income. Although the benefits of security are not themselves material, they
do have monetary value; people in Britain, where there is a National Health
Service, are receiving support which people in the US have to pay for
through private insurance or a Health Maintenance Organisation (Spicker,
1995:60).
Social security systems mean the systems to enable every citizen to
lead a worthy life as a member of cultured society. Social security systems
provide countermeasures against the causes for needy circumstances
including illness, injury, childbirth, disablement, death, old age,
unemployment and having a lot of children by implementing economic
security measures through insurance or by direct public spending (MHLW,
1999:2).
Dasar filosofi jaminan perlindungan sosial berangkat dari pemikiran
filsuf John Rawls (1921-2002)
tingkat
pemerataan
sosial
“bahwa suatu negara akan mencapai
ekonomi
(social
equity)
tertinggi
jika
memaksimalkan kesejahteraan kelompok masyarakat yang berada pada
posisi paling rendah pendapatannya”
Sumber utama pembiayan perlindungan sosial berasal
dari
pajak yang dipungut dari rakyat
Negara wajib memenuhi hak-hak
dasar warga negara
Perlindungan sosial tidak diberikan begitu saja, melainkan
didukung oleh perangkat kebijakan sosial (social policy) yang mengikat
dan strategi pemberdayaan masyarakat dalam arti luas. Inggris, Australia
dan Selandia Baru, pemberian perlindungan sosial, khususnya kepada
32
kalangan miskin dan penganggur, dibarengi dengan welfare-to-work
programmes.
Perlindungan
sosial
perlu
diberikan
pada
masyarakat
yang
membutuhkan karena mereka tidak punya akses untuk memperoleh
kesempatan. Kaum inilah yang terkena proses marjinalisasi dari kaum
kapitalis. Fungsi pemerintah dalam mengatur sistem untuk meminimalisir
marginalisasi menurut Giddens,2000:54 adalah :
1. Mengatur pasar menurut kepentingan publik dengan cara menjaga
keseimbangan supply dan demand.
2. Menciptakan dan melindungi ruang publik untuk mendiskusikan
kebijakan sosial.
3. Menyediakan sarana bagi perwakilan kepentingan yang beragam.
4. Menyelenggarakan pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan warga
dan kesejahteraan kolektif.
5. Mendukung perkembangan SDM dan mengambil peran penting dalam
penetapan kebijakan sosial.
Perlindungan sosial merupakan bagian penting dari kebijakan sosial
tujuan dari perlindungan sosial adalah menanggulangi kemiskinan dan
menurunkan
deprivasi
perlindungan sosial
(ketidaklengkapan/ketidakcacatan).
Pengertian
sendiri adalah tindakan pemerintah maupun swasta
untuk melakukan transfer pendapatan dan konsumsi untuk :
1. Memenuhi kebutuhan, terutama kebutuhan bagi orang miskin.
2. Melindungi kelompok rentan.
3. Meningkatkan status dan hak sosial bagi kelompok yang termarjinalkan.
33
Tabel 5.1. Jenis perlindungan sosial
Skema Perlindungan Target Utama: Kelompok Rentan dan
Sosial
Kurang Beruntung
1. Asuransi Sosial
Orang sakit, lanjut usia, janda, orang dengan
kecacatan, penganggur, pekerja informal, buruh
tani, pedagang kaki lima.
2. Bantuan Sosial
Orang dengan kecacatan fisik dan/atau mental,
etnik minoritas, KAT, korban penyalahgunaan
Narkoba, yatim piatu, orang tua tunggal,
pengungsi, korban bencana alam/sosial, janda,
lanjut usia telantar.
3. Skema
Komunitas perkotaan atau perdesaan yang
Kesejahteraan sosial
tidak
memiliki
skema/sistem
yang dapat
Berbasis Masyarakat melindungi mereka dari berbagai resiko.
Sumber: Suharto, (2006: 6)
Social Insurance
a.
Indonesia → Sejak 1977 berupa Asuransi Tenaga Kerja (ASTEK),1993
berganti nama menjadi Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) →
Sektor formal, sedangkan sektor informal?
b.
Filipina → Social Security System (SSS) untuk sektor swasta dan
Government
Service
Insurance
System
(GSIS)
bagi
pekerja
pemerintahan
c.
Singapura → Sistem asuransi lebih maju,antara lain: Supplementary
Retirement Scheme (SRS) dan Central Provident Fund (CPF) yang
mencakup bidang kesehatan, perumahan dan masa pensiun.
d.
Vietnam → Vietnam Social Insurance (VSI) pada tahun 1995 dengan
tujuan untuk menyesuaikan kebutuhan sistem ekonomi yang berorientasi
pasar.
34
Social Assistance
a. Indonesia → tunjangan uang, barang atau pelayanan kesejahteraan untuk
populasi paling rentan. Bentuk: Bantuan Langsung Tunai (BLT), raskin,
kupon makanan, tunjangan perumahan.
b. Vietnam → skema bantuan sosial dikelola perusahaan milik negara,
bukan pemerintah. Tujuan: Menyelesaikan masalah kemiskinan dan
pengangguran
c. Singapura
→ Bantuan sosial
dikelola
Ministry of
Community
Development and Support (MCDS) yang bekerjasama dengan Citizen’s
Consultative Committee (CCC).
d. Filipina → dikelola National Anti-Proverty Commission (NAPC), dengan
program:
 Pembangunan pertanian bagi petani/buruh tani tanpa lahan
 Konservasi perikanan dan sumberdaya air
 Menghormati, melindungi keberadaan kelompok etnis
 Perlindungan serta kesejahteraan pekerja informal
 Pemberian bantuan perumahan bagi kelompok miskin perkotaan
 Dibentuknya Comprehensive and Integrated Delivery of Social
Service (CIDSS) bagi kelompok rentan
Community-based Social Welfare Security
a. Indonesia → jamkesos, askesos dan inisiatif lokal seperti: kelompok
arisan, raksa desa, siskamling, kelompok pengajian.
b. Filipina → dana sosial yang melibatkan koperasi simpan pinjam dan
penanggulangan persiapan bencana yang terorganisir.
c. Vietnam → penghapusan biaya sekolah, biaya kesehatan dan pajak
lokal.
35
Perlindungan sosial di beberapa negara lainya:
a. Jepang, meliputi “kebijakan sosial” atau “pelayanan sosial”. Mencakup:
jaminan pendapatan, prawatan medis, pelayanan sosial personal,
kebijakan-kebijakan perumahan, pendidikan dan pekerjaan.
b. Amerika Serikat, perlindungan sosial juga diartikan sebagai jaminan
pendapatan. UU jaminan sosial AS merupakan dasar hukum yang
komprehensif yang memberikan jaminan bagi penganggur, pelayanan
kesehatan bagi keluarga tanpa ayah, pelayanan kemanusiaan bagi para
penyandang cacat, pelayanan medis bagi orang lanjut usia serta tunjangan
medis yang disatukan dengan asuransi pensiun.
c. Perancis, perlindungan sosial atau “securite sociale” menunjuk pada
asuransi sosial. Negara ini juga punya “Protection Social” yang meliputi
bantuan sosial (tunjangan pendapatan dan pelayanan bagi orang sakit,
penyandang cacat, orang lanjut usia berdasarkan kriteria pendapatan
rendah), pelayanan sosial (pelayanan kesejahteraan sosial yang diberikan
tanpa melihat kriteria pendapatan), serta sistem “jaminan tingkat
pendapatan minimum” guna menunjang kemandirian.
d. Jerman, perlindungan sosial atau “soziale sicherheit” mencakup asuransi
sosial, kompensasi sosial (bagi korban perang, dll.) dan tunjangan sosial
(bantuan sosial atau tunjangan bagi pelajar). Perlindungan sosial di Jerman
dikembangkan oleh Kanselir Bismarck
Sistem asuransi sosial yang kemudian dikenal dengan nama
“Bismarckian Model” ini memiliki karakteristik sebagai berikut (Thomas,
1995:89-90):
1. Memberikan program-program yang terpisah untuk resiko-resiko yang
berbeda (pekerjaan, pensiun, perawatan kesehatan).
2. Mencakup terutama tenaga kerja yang memiliki pendapatan tetap
(khususnya pekerja di perkotaan).
3. Melibatkan kontribusi-kontribusi dari yang diasuransikan (pekerja),
majikan dan negara.
36
4. Memberikan tunjangan-tunjangan yang terkait dengan kontribusi.
Tabel 5.2. Perbandingan Sistem Jaminan Sosial Kesehatan di Beberapa Negara
Jepang
AS
Inggris
Jerman
Tipe/Metode
Asuransi
Asuransi Sosial
Sistem
Asuransi
Sosial
Pelayanan
Sosial
kesehatan
Bentuk dan
Medicare:
Pelayanan
Asuransi
Asuransi
Target Utama kesehatan
-Orang berusia Kesehatan
kesehatan
65 th atau
Nasional
umum:
dibawah
lebih;
(NHS):
-Pekerja
pengawasan
pemerintah:
penyandang
-Semua
dengan
- Pekerja
cacat;
penduduk
pendapatan
perusahaan
penerima
tahunan
swasta
pension, dll.
dibawah
-Partisipasi
standar
Asosiasidalam bagian
tertentu,
asosiasi
mutual aid:
A untuk pasien
penerima
- pegawai
rawat inap
pension
negeri
bersifat wajib
pelajar,dll.
-Partisipasi
(untuk orang
Asuransi
dalam bagian B
dengan
kesehatan
nasional:
untuk pasien
pendapatan
-Selfrawat jalan
lebih dari
employed,
berdifat
standar,
petani,
sukarela
partisipasi
penganggur
bersifat
sukarela)
Jenis
In-kind
In-kind
In-kind
In-kind
Pemberian
Jaminan
Sosial
Pembayaran
premi:
Pekerja
Ya
Ya
Tidak
Ya
Majikan
Ya
Ya
Tidak
Ya
Pemerintah
Ya
Ya
Ya
Tidak
Keterangan
Pelayanan
Pelayanan
Bantuan
bantuan medis bantuan medis keuangan
tersdia
bagi orang
diberikan dari
berpendapatan sumberrendah, semua sumber
biaya
keuangan
ditanggung
system
pemerintah
asuransi
nasional
Sumber: MHLW, 1999:7
37
Isu yang muncul dari pertemuan Unicef 2009 di Singapura tentang
jaminan perlindungan sosial:
1. Program jaminan proteksi sosial yang mendukung pemerataan sosial
ekonomi akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
2. Seberapa jauh program itu meningkatkan pendapatan keluarga miskin
secara konsisten dan berkesinambungan
3. Seberapa jauh program itu mampu melindungi masyarakat partisipan
program saat muncul dampak krisis global.
Faktor tidak efektifnya kebijakan dan program perlindungan di negara
berkembang:
1. Terbatasnya cakupan → Hanya mencakup sebagian kecil.
2. Terbatasnya dana dan distribusi kedalam program perlindungan sosial
3. Lemahnya instrumen dan mekanisme implementasi
4. Hambatan birokrasi
Perlindungan sosial dapat memberikan kontribusi yang penting
dalam
penanggulangan
kemiskinan.
Sebagai
bagian
integral
dari
pembangunan kesejahteraan sosial, perlindungan sosial dapat membantu
masyarakat dalam mematahkan lingkaran kemiskinan, karena mampu
meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi, investasi modal manusia,
produktivitas, dan mengurangi kerentanan anggota masyarakat terhadap
berbagai resiko. Namun demikian, perlindungan sosial bukanlah satusatunya
piranti kebijakan sosial dalam memerangi kemiskinan. Agar efektif ia harus
menjadi bagian integral dari sistem Negara Kesejahteraan dan kebijakan
makro ekonomi yang kondusif.
Pengelolaan perlindungan sosial di negaranegara berkembang
seringkali bersifat parsial, residual, terkotak-kotak (fragmented) dan tidak
terkoordinasi dengan baik. Ini menimbulkan kesulitan dalam menentukan
priotitasprioritas dan peranperan yang tepat bagi perumusan kebijakan
publik. Seringkali, departemen atau kementerian yang berurusan secara
38
khusus dengan masalah perlindungan sosial (misalnya Depsos) memiliki
anggaran yang kecil dan dipinggirkan oleh departemen-departemen lain
yang memiliki anggaran besar. Sehingga, Depsos seringkali hanya mampu
menyelenggarakan program-program kesejahteraan yang bersifat belas
kasihan bergaya sinterklas atau Robinhood yang tidak berkelanjutan
(Norton, Conway, Foster, 2001; Husodo, 2006; Suharto, 2006b). Depsos
harus berani mengambil inisiatif untuk mengembangkan skemaskema
perlindungan sosial yang tepat bagi berbagai kelompok sasarannya dengan
melakukan kajian-kajian yang tidak lagi bermatra pengembangan ekonomi
kecil, perkreditan atau inisiatif lokal saja yang sebagian telah jenuh dan
sebagian lagi merupakan domain departemen lain. Depsos perlu melakukan
penelitian-penelitian kebijakan publik makro yang berwawasan Negara
Kesejahteraan. Praktek-praktek
“Negara Kesejahteraan” yang selama ini telah dikembangkan di
beberapa kabupaten, seperti Jembrana, Solok, Kutai Kerta Negara, Musi
Banyuasin; survei tentang persepsi masyarakat mengenai peran negara
dalam
perlindungan
sosial;
penelitian
mengenai
index
persepsi
kesejahteraan; pengarusutamaan model asuransi kesejahteraan sosial;
misalnya, bisa dijadikan tematema penelitian Depsos saat ini.
Jika disimpulkan, ada tiga roadmap yang dapat ditempuh dalam
mewujudkan kebijakan perlindungan sosial (lihat Eko, 2006; Husodo, 2006;
Suharto, 2006b):
1.
Pelembagaan sistem Negara Kesejahteraan pada tingkat nasional
Kebijakan perlindungan sosial akan berdiri tegak jika ditopang oleh
sistem Negara Kesejahteraan.
2.
Pelembagaan sistem Negara Kesejahteraan pada tingkat Pemerintah
Daerah melalui desentralisasi dan otonomi daerah Membangun ide
Negara Kesejahteraan bisa dilakukan pada tingkat provinsi dengan
melembagakan sistem “Propinsi Kesejahteraan”.
3.
Promosi perlindungan sosial dari bawah melalui inisiatif masyarakat
lokal.
39
D. Latihan
Jelaskan pengertian dari kata kunci perlindungan sosial :
1. Welfare state
2. Pro poor government
3. Mengakomodasi inisiatif lokal
4. Memperkuat lokal wisdom
40
No. Modul
: 6
Pertemuan
: 6
Pokok Bahasan
: Basic Need Approach
B. Kata Kunci
1. Basic need
2. Human basic need
3. Pengukuran basic need
4. Pendekatan basic need
C. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Apa sajakah parameter kesejahteraan yang terdapat dalam Susenas?
D. Materi
Secara umum basic need mempunyai pengertian sebagai kebutuhan
dasar, sedangkan human basic need merupakan kebutuhan dasar manusia.
Cakupan atau unsur untuk pemenuhan kebutuhan dasar sangat berbeda antara
negara maju dengan negara berkembang. Di negara berkembang sendiri
didapatkan perbedaan unsur-unsur yang dimasukkan dalam kebutuhan dasar.
Diantara perbedaan tersebut terdapat kesamaan unsur-unsur kebutuhan
dasar terutama dari world bank, ILO, UNDP maupun badan-badan
internasional lainnya. Unsur-unsur pokok untuk mengukur keidakmampuan
wilayah, rumah tangga, dan individu. Kebutuhan dasar minimal antara lain :
pangan, papan, pakaian, kesehatan, air bersih, pendidikan, pekerjaan, dan
lingkungan tempat tinggal yang aman dan bersih.
Bappenas
menggunakan
4
pendekatan
dalam
menguku
ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimal yaitu : basic
need approach, income approach, human capability approach, serta objective
dan subjective approach. Utamanya pemenuhan hak-hak dasar. Pendekatan
Bappenas tersebut menghasilkan 3 pendekatan yang tidak selalu sama tetapi
saling melengkapi seperti :
41
a.
Kebutuhan dasar (basic need approach) sangat diperlukan dalam
pengukuran kemiskinan dan keduanya akan diperlukan dalam mengukur
kemampuan dasar minimal.
b.
Pendekatan objective atau welfare approach lebih menekankan pada
ukuran normatif yang harus dipenuhi kebutuhan dasar minimal. Di
indonesia ada KFM, KHM, KHL, UMR, UMP, UMS, dan sejenisnya
yang memuat jenis dan satuan komoditas kebutuhan minimal.
c.
Pendekatan subjective menilai ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan
dasar berdasarkan persepsi sendiri. Dalam susenas modul kesejahteraan
ada 21 variabel penentu yang ditanyakan. Dari 21 variabel tersebut dapat
dikelompokkan
ke
dalam
pangan,
papan,
pakaian,
kesehatan,
pendidikan, rasa aman, dan pekerjaan.
Ketidakmampuan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimal identik
dengan penduduk atau rumah tangga miskin. Cukup banyak badan, kantor,
maupun departemen yang mengukur kemiskinan sebagai bentuk tidak
terpenuhi kebutuhan dasar minimal antara lain :
a. BPS menggunakan 52 jenis komoditas pangan dan 36 non pangan.
b. BKKBN menggunakan 22 variabel kesejahteraan keluarga. Kelompok pra
KS dan KS 1 adalah kelompok rentan dan KS III dan KS III plus adalah
kelompok mapan.
c. BPS (2000) menggunakan 8 variabel dan BPS (2005) menggunakan 14
variabel calon penerima BLT.
d. Bank Dunia (2007/2008) meluncurkan PKH bagi rumah tangga dan ada
ibu hamil, ibu punya balita, punya anak sekolah (di luar BOS) sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan dasar.
Pemerintah telah melaksanakan berbagai
program pemenuhan
kebutuhan dasar antara lain : JPS, raskin, BLT/SLT, PKH, kompor gas, BOS,
jamkesman, dan bentuk-bentuk perlindungan atau jaminan lain agar penduduk
tidak menjadi miskin. Kondisi kemiskinan di Indonesia ditandai dengan jumlah
42
penduduk miskin pada tahun 2002 sekitar 38,4 juta jiwa (18,20%) dari jumlah
penduduk Penanggulangan kemiskinan berdasarkan Propernas 2000-2004
diarahkan untuk menurunkan jumlah penduduk miskin dari 19% (tahun 2001)
menjadi 14% ( tahun 2004). Upaya tersebut ditempuh melalui jalur mengurangi
beban pengeluaran rakyat miskin dan meningkatkan produktivitas untuk
menambah pendapatan rakyat miskin. Untuk mewujudkan upaya tersebut salah
satu langkah yang ditempuh adalah mendorong prakarsa daerah dalam
penanggulangan kemiskinan melalui Rakernas Penaggulangan Kemiskinan.
E. Latihan
Jelaskan mengenai indikator kesejahteraan modul susenas. Apakah model
tersebut tepat atau tidak.
43
No. Modul
: 7
Pertemuan
: 7
Pokok Bahasan
: Indikator Keberhasilan Perencanaan Sosial
A. Kata Kunci
1. Analisis kebijakan sosial.
2. Kesejahteraan sosial
3. Perumusam perencanaan dan kebijakan sosial.
4. Mekanisme perencanaan dan kebijakan sosial
5. Model analisis perencanaan dan kebijakan sosial
6. Teknik perumusan perencanaan dan kebijakan sosial.
7. What Does a Social Planner do?
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Apa indikator keberhasilan perencanaan sosial? Siapakah yang harus
bertanggung jawab?
C. Materi
History of Social Planning in the Hastings Local Government Area
Historically, local governments in regional areas have concentrated
their priorities in the areas of road construction and maintenance, rate
collection and service provision such as rubbish collection and libraries.
However, through available funding in the early 90s through the Department
of Urban Affairs and Planning's Area Assistance Scheme, and Department of
Community Services Home and Community Care Program, Hastings Council
started to take some steps in addressing community service issues.
In October 1995, a Community Services Workshop was conducted for
the Councillors. This workshop, and the subsequent resolutions of Council,
set the direction for Council's future involvement in the community services
area. The primary commitments made by Council at this time were:
1. Acknowledgement of its role and responsibility in the co-ordination and
development of community service for the Hastings.
44
2. The development of a staff team to undertake this role.
3. The undertaking of a community services audit and needs analysis.
4. The development of a Community Services Plan based on information
collected from the audit and needs analysis.
5. The development of a Social Impact Assessment Policy and a Section 94
Contributions Plan for Community Facilities.
6. The development of an Action Plan addressing issues raised by the
Disabilities Discrimination Act.
Since 1995, two Community Plans have been prepared for the
Hastings Region, the 1997 - 2000 Hastings Community Services Plan and the
1999-2004 Hastings Community Plan.
The 2005-2010 Social Plan has built on these previous social planning
documents and been developed in compliance with the Local Government
(General) Amendment (Community and Social Plans) Regulation 1998.
Pengertian Kebijakan Sosial dan Analisis Kebijakan Sosial
Keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial selain ditentukan oleh
kualitas pelayanan langsung yang bersifat mikro juga dipengaruhi oleh sistem
dan arah kebijakan sosial yang bersifat makro. Kebijakan sosial tersebut
sangat menentukan tipe, jenis, sistem dan pendekatan pemberian pelayanan
sosial kepada kelompok sasaran. Pengetahuan mengenai analisis kebijakan
sosial sangat penting untuk menentukan apakah suatu kebijakan tersebut
memiliki dampak positif atau negatif terhadap masyarakat, apakah kebijakan
tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan apakah kebijakan
tersebut mampu merespon masalah-masalah sosial yang dirasakan oleh
masyarakat.
Pengertian Kebijakan Sosial
Istilah ‘kebijakan’ yang dimaksud dalam materi ini disepadankan
dengan kata bahasa Inggris ‘policy’ yang dibedakan dari kata ‘wisdom’ yang
berarti ‘kebijaksanaan’ atau ‘kearifan’. Kebijakan sosial terdiri dari dua kata
45
yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’
(social). Untuk menghindari ambiguitas istilah tersebut, ada baiknya kita
diskusikan terlebih dahulu mengenai pengertian keduanya.
Menurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang
berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari
yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu)
(Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai
prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan
keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang
mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto,
1997). Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah
(problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan
yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang
dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Seperti halnya kata ‘kebijakan’, kata ‘sosial’ pun memiliki beragam
pengertian. Conyers (1992: 10-14) mengelompokkan kata sosial ke dalam 5
pengertian:
1. Kata sosial mengandung pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari
yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu
yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, arisan sering
disebut sebagai kegiatan sosial.
2. Kata sosial diartikan sebagai lawan kata individual. Dalam hal ini kata
sosial memiliki pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau suatu
kolektifitas,
seperti
masyarakat
(society)
warga
atau
komunitas
(community).
3. Kata sosial sebagai istilah yang melibatkan manusia sebagai lawan dari
pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial berkaitan dengan
pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik
atau infrastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
46
4. Kata sosial sebagai lawan kata ekonomi. Dalam pengertian ini kata sosial
berkonotasi dengan aktifitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang
bersifat volunter, swakarsa, swadaya, yang tidak berorientasi mencari
keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK
adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yang tidak
mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi
ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang
tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan
ekonomi.
5. Kata sosial berkaitan dengan hak azasi manusia baik sebagai individu
maupun anggota masyarakat. Misalnya, setiap orang memiliki hak azasi
(human right) dan hak sosial (social right), seperti kesamaan hak dalam
memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan, kebebasan dalam
menyatakan pendapat, atau berpartisipasi dalam pembangunan.
Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat
diartikan baik secara luas maupun sempit (Kartasasmita, 1996). Secara luas
kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau
sektor-sektor pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks
masyarakat atau kolektifitas. Istilah sosial dalam pengertian ini mencakup
antara lain bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya,
atau pertanian.
Dalam arti sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial
sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan
rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia,
terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung
(disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial di
sini menyangkut program-program dan atau pelayanan-pelayanan sosial untuk
mengatasi
masalah-masalah
sosial,
seperti
kemiskinan,
ketelantaran,
ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan
remaja, anak dan jompo terlantar.
47
Dengan demikian, kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan
yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian sempit, yakni yang
menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti
ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagai perencanaan
perundang-undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali
muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, sehingga meskipun pengertian
perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat
berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat
dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Conyers, 1992).
Beberapa ahli seperti Huttman, Marshall, Rein, dan Magill
mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan
sosial (Suharto, 1997) :
1. Kebijakan sosial adalah strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencanarencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial
(Huttman, 1981).
2. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga
negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan
(Marshall,1965).
3. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial,
peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial
(Rein, 1970).
4. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy).
Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah,
seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan
(militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik).
Kebijakan sosial merupakan satu tipe kebijakan publik yang diarahkan
untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Magill, 1986).
48
Pengertian Analisis Kebijakan Sosial
Analisis kebijakan (policy analysis) dapat dibedakan dengan
pembuatan atau pengembangan kebijakan (policy development). Analisis
kebijakan tidak mencakup pembuatan proposal perumusan kebijakan yang
akan datang. Analisis kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijakan
yang sudah ada. Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan
pada proses pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru.
Namun demikian, baik analisis kebijakan maupun pengembangan
kebijakan keduanya memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan.
Analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, sedangkan
pengembangan kebijakan memberikan petunjuk bagi pembuatan atau
perumusan kebijakan yang baru.
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa analisis kebijakan
sosial adalah usaha terencana yang berkaitan dengan pemberian penjelasan
(explanation)
dan
preskripsi
atau
rekomendasi
(prescription
or
recommendation) terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial yang
telah diterapkan. Penelaahan terhadap kebijakan sosial tersebut didasari oleh
oleh prinsip-prinsip umum yang dibuat berdasarkan pilihan-pilihan tindakan
sebagai berikut:
1. Penelitian dan rasionalisasi yang dilakukan untuk menjamin keilmiahan
dari analisis yang dilakukan.
2. Orientasi nilai yang dijadikan patokan atau kriteria untuk menilai
kebijakan sosial tersebut berdasarkan nilai benar dan salah.
3. Pertimbangan politik yang umumnya dijadikan landasan untuk
menjamin keamanan dan stabilitas.
Ketiga alternatif tindakan tersebut kemudian diterapkan untuk menguji
atau menelaah aspek-aspek kebijakan sosial yang meliputi :
1. Pernyataan masalah sosial yang direspon atau ingin dipecahkan oleh
kebijakan sosial.
49
2. Pernyataan mengenai cara atau metoda dengan mana kebijakan sosial
tersebut diimplementasikan atau diterapkan.
3. Berbagai pertimbangan mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan
atau akibat-akibat yang mungkin timbul sebagai dampak diterapkannya
suatu kebijakan sosial.
Proses Perumusan Kebijakan Sosial
Proses perumusan kebijakan sosial dapat dikelompokkan dalam 3
tahap, yaitu: Tahap Identifikasi, tahap implementasi dan tahap evaluasi.
Setiap tahap terdiri dari beberapa tahapan yang saling terkait: Secara garis
besar, tahapan perumusan kebijakan dapat adalah sebagai berikut (Suharto,
1997):
a. Tahap Identifikasi
(1) Identifikasi Masalah dan Kebutuhan:
Tahap pertama dalam perumusan kebijakan sosial adalah
mengumpul-kan data mengenai permasalahan sosial yang dialami
masyarakat dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang
belum terpenuhi (unmet needs).
(2) Analisis Masalah dan Kebutuhan:
Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data
mengenai masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis
dan ditransformasikan ke dalam laporan yang terorganisasi. Informasi
yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa kebutuhan
masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak
dipecahkan dan kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana
yang terkena masalah?
(3) Penginformasian Rencana Kebijakan:
Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan.
Rencana
ini
kemudian disampaikan kepada berbagai
sub-sistem
masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan sosial untuk memperoleh
50
masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembagalembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.
(4) Perumusan Tujuan Kebijakan:
Setelah mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah
berbagai diskusi dan pembahasan untuk memperoleh alternatif-alternatif
kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan dipertajam
menjadi tujuan-tujuan kebijakan.
(5) Pemilihan Model Kebijakan:
Pemilihan model kebijakan dilakukan terutama untuk menentukan
pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien mencapai
tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk
memperoleh basis ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan sosial yang logis,
sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan.
(6) Penentuan Indikator Sosial:
Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat
terukur secara objektif, maka perlu dirumuskan indikator-indikator sosial
yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar bagi rencana tindak dan
hasil-hasil yang akan dicapai.
(7) Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik:
Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana
kebijakan yang telah disempurnakan. Selanjutnya melibatkan berbagai
pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan
koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai
konsensus dan kesepakatan mengenai kebijakan sosial yang akan
diterapkan.
51
b. Tahap Implementasi
(8) Perumusan Kebijakan:
Rencana kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan
kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta pedoman peraturan
pelaksanaannya.
(9) Perancangan dan Implementasi Program:
Kegiatan utama pada tahap ini adalah mengoperasionalkan
kebijakan ke dalam usulan-usulan program (program proposals) atau
proyek sosial untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program.
c. Tahap Evaluasi
(10) Evaluasi dan Tindak Lanjut:
Evaluasi
dilakukan
baik
terhadap
proses
maupun
hasil
implementasi kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan
pada tahapan perumusan kebijakan, terutama untuk melihat keterpaduan
antar tahapan, serta sejauhmana program dan pelayanan sosial mengikuti
garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan
untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan
mampu mengurangi atau mengatasi masalah. Berdasarkan evaluasi ini,
dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan
masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau permusan
kebijakan baru.
Mekanisme dan Isu-Isu Kebijakan Sosial
Untuk lebih memahami proses perumusan kebijakan sosial, kiranya
perlu ditelaah secara singkat mekanisme dan kerangka kerja perumusan
kebijakan sosial. Telaah ini akan membantu kita dalam memahami
peranan lembaga atau aktor yang terlibat dalam merumuskan kebijakan
sosial (Suharto, 1997).
Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses
perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagain besar negara menyerahkan
52
tanggungjawab ini kepada setiap departemen pemerintahan, namun ada
pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan
kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik
lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan
sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi lembaga mana
yang paling berkompeten dalam masalah ini (Suharto, 1997)
Mekanisme Kebijakan Sosial
(1)
Departemen pemerintahan.
Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab mengenai
perumusan kebijakan sosial kepada kementrian, departemen atau lembagalembaga pemerintah yang berperan. Misalnya Departemen Sosial di
Indonesia merupakan salah satu departemen yang memiliki kewenangan
langsung dalam merumuskan kebijakan kesejahteraan sosial.
Di
Departemen Sosial, terdapat satu biro khusus yang memiliki kewenangan
penting dalam kegiatan ini, yaitu Biro Perencanaan.
(2) Badan Perencanaan Nasional.
Dalam konteks pembangunan yang lebih luas, perumusan
kebijakan sosial juga seringkali menjadi tugas khusus dari Badan
Perencanaan Nasional yang sengaja dibentuk untuk merumuskan dan
sekaligus mengatur mekanisme kebijakan sosial. Badan Perencanaan
Nasional (Bappenas) merupakan lembaga khusus yang menangani
berbagai perencanaan sosial sekaligus perumusan kebijakan sosial dalam
pembangunan nasional. Kebijakan yang dihasilkan lembaga ini kemudian
menjadi acuan bagi departemen dan lembaga-lembaga terkait dalam
melaksanakan berbagai program pembangunan.
(3) Badan legislatif.
Badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki
kewenangan dalam merumuskan kebijakan sosial. Lembaga ini biasanya
memiliki komisi khusus yang mengurusi perumusan kebijakan sesuai
53
dengan kebutuhan. Misalnya, di Indonesia, DPR memiliki komisi khusus
yang
bertanggungjawab
mengatur
urusan
ekonomi,
hukum,
dan
kesejahteraan sosial.
(4) Pemerintah Daerah dan Masyarakat Setempat.
Di sejumlah negara di mana administrasi pemerintahannya lebih
terdesentralisasi, Pemerintah Daerah (PEMDA) memiliki peran yang
sangat penting dalam perumusan kebijakan sosial, khususnya yang
menyangkut persoalan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di daerahnya.
Lebih-lebih lagi di negara-negara yang telah sangat matang menjalankan
konsep demokrasi, masyarakat setempat memiliki hak dan kewenangan
dalam mengungkapkan aspirasi kebutuhannya yang kelak menjadi bagian
dari tema-tema penting dalam kebijakan sosial.
(5) Lembaga Swadaya Masyarakat.
Peranan lembaga-lembaga sosial atau organisasi-organisasi non
pemerintah (ORNOP) adalah berbeda dalam setiap negara. Namun
demikian,
kini
terdapat
kecenderungan
bahwa
di
negara-negara
berkembang, pemerintah semakin memberi peran yang leluasa kepada
sektor-sektor non pemerintahan untuk juga terlibat dalam perumusan
kebijakan-kebijakan sosial. Hal ini terutama terjadi sejalan dengan
rekomendasi atau bahkan tekanan dari negara-negara donor yang memberi
bantuan dan konsultasi finansial kepada negara yang bersangkutan. Selain
itu, kini semakin disadari bahwa sebesar apapun pemerintah menguasai
sumber-sumber ekonomi dan sosial, tidaklah mungkin mampu memenuhi
kebutuhan segenap lapisan masyarakat secara memuaskan.
Isu-Isu kebijakan Sosial
Kebijakan sosial tidak dapat dilepaskan dari proses dan dimensi
pembangunan secara luas. Karenanya perlu ditelaah secara singkat
beberapa isu kebijakan sosial yang mungkin timbul dan perlu
54
dipertimbangkan dalam proses dan mekanisme perumusan kebijakan
sosial (Suharto, 1997).
(1) Peran negara dan masyarakat.
Walaupun pemerintah memiliki peran yang besar dalam perumusan
kebijakan sosial, tidaklah berarti bahwa hanya pemerintah sajalah yang
berhak menangani masalah ini. Seperti dinyatakan dimuka, bahwa
pemerintah tidak akan pernah mampu memenuhi seluruh kebutuhan
warganya.
Sebesar
apapun
sumber-sumber
ekonomi-sosial
yang
dimilikinya dan sehebat apapun kemampuan para pejabat dan aparatur
pemerintah, tetap membutuhkan peran masyarakat. Oleh karena itu,
perumusan kebijakan sosial mensyaratkan adanya keseimbangan dan
proporsionalitas dalam hal pembagian peran dan kekuasaan pemerintah
dan masyarakat.
(2)
Perangkat Hukum dan Penerapannya.
Perangkat hukum memiliki kekuatan memaksa, melalui sangsi dan
hukuman yang melekat di dalamnya. Kebijakan sosial memerlukan
perangkat hukum yang dapat mendukung diterapkannya kebijakan sosial.
Kebijakan sosial dapat berjalan secara efektif apabila dinyatakan secara
tegas melalui perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya. Namun
demikian, adakalanya perangkat hukum yang sudah ada tidak dapat
diimplementasikan secara baik dalam kegiatan-kegiatan operasional, baik
dikarenakan oleh faktor manusianya, maupun kurang lengkapnya
peraturan teknis yang mengatur secara lebih rinci perundang-undangan
tersebut. Oleh karena itu, perlu usaha keras agar terjamin adanya
keselarasan antara perangkat hukum dan implementasinya. Ketidakkonsistenan antara ‘dassein’ dan ‘dasollen’ akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dan merosotnya citra lembaga-lembaga pembuat
kebijakan, yang pada gilirannya menimbulkan sikap apatis dan bahkan
antipati masyarakat kepada setiap produk kebijakan sosial.
55
(3) Koordinasi antar Lembaga.
Seperti sudah dinyatakan di muka, kebijakan sosial seringkali
menjadi urusan berbagai departemen dan lembaga, baik pemerintah
maupun swasta. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan kerjasama
antar lembaga tersebut agar kebijakan sosial tidak bersifat tumpang tindih
dan saling bertentangan satu sama lain.
(4) Sumber Daya Manusia.
Aspek mengenai SDM ini menyangkut jumlah dan kualitas para
pembuat kebijakan yang akan diserahi tugas dalam merumuskan kebijakan
sosial. Meskipun kebijakan sosial, menyangkut ‘aspek sosial’, tetapi dalam
merumuskan kebijakan tersebut diperlukan sejumlah orang yang memiliki
beragam profesi dan latar belakang akademik tertentu. Oleh karena itu,
perumusan kebijakan harus memperhatikan kualifikasi SDM yang tepat.
Selain
ahli-ahli
sosial,
perumusan
kebijakan
sosial
seringkali
membutuhkan pakar-pakar ekonomi, hukum, dan bahkan ahli statistik.
(5)
Pentingnya pelayanan sosial.
Pentingnya pelayanan sosial bagi peningkatan kualitas hidup
masyarakat merupakan isu penting lainnya yang perlu mendapat perhatian
dalam kebijakan sosial. Isu ini terutama muncul karena adanya
kecenderungan
pemerintah
yang
semakin
menurunkan
anggaran
belanjanya untuk kepentingan-kepentingan pelayanan sosial. Pelayanan
sosial pada dasarnya merupakan investasi sosial yang berkorelasi positif
dengan kualitas hidup masyarakat. Pengalaman penulis berkunjung ke
Costa Rica menunjukkan bahwa berkat kesigapan pemerintah dalam
mengalokasikan sumber daya bagi pelayanan sosial, kualitas hidup warga
masyarakat negara tersebut sangat memuaskan terutama bila dilihat dari
indikator kualitas hidup (Human Development Index), seperti angka
harapan hidup, jumlah kematian bayi per 1000 kelahiran, dan bahkan
pendapatan per kapitanya.
56
(6)
Penentuan prioritas pelayanan sosial.
Di
sebagian
besar
negara
berkembang
keinginan
untuk
memperbaiki pelayanan sosial sangat besar, namun demikian sumber dana
untuk pengadaan pelayanan tersebut sangat terbatas (Conyers, 1991). Ini
berarti bahwa kebijakan sosial harus mampu diprioritaskan terhadap
pelayanan sosial yang benar-benar penting dan berdampak luas bagi
kesejahteraan masyarakat. Misalnya, apakah pelayanan sosial akan lebih
diprioritaskan untuk perawatan anak terlantar, para manula, para
penyandang cacat, rehabilitasi permukiman kumuh, atau peningkatan
peran pemuda dan wanita.
(7) Penentuan bentuk pelayanan sosial.
Isu berikutnya berkaitan dengan pertanyaan mengenai bentukbentuk pelayanan sosial apa yang cocok untuk negara berkembang.
Dewasa ini semakin disadari bahwa bentuk-bentuk dan standar pelayanan
di negara maju tidak dapat sepenuhnya diterapkan di negara berkembang.
Oleh karena itu, perlu diusahakan suatu bentuk pelayanan sosial yang
sesuai dengan kondisi setempat dan cocok ditinjau dari segi fisik,
ekonomi, sosial dan politik negara yang bersangkutan. Secara luas kita
dapat mengusulkan apakah pelayanan sosial akan berbentuk uang tunai
(cash payment), barang (benefit in kind), atau berupa bantuan konsultasi
dan pelatihan-pelatihan.
(8)
Distribusi pelayanan sosial.
Hampir bisa dipastikan bahwa semua negara menghadapi masalah
yang sama dalam kaitannya dengan persoalan ‘supply’ dan ‘demand’
pelayanan sosial, dalam arti kebutuhan akan pelayanan sosial selalu lebih
besar dari kemampuan pemerintah atau lembaga penyelenggara dalam
mengusahakan pelayanan sosial. Keadaan ini tentunya memaksa kita untuk
memikirkan secara sungguh-sungguh mengenai distribusi pelayanan
sosial. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
pendistribusian pelayanan ini antara lain menyangkut segi geografis (desa,
57
kota, daerah khusus), jender (pria, wanita, atau waria), usia (anak, remaja,
manula) atau berdasarkan permasalahan-permasalahan khusus yang
mendesak untuk segera dipecahkan.
(9)
Penetapan kuantitas atau kualitas pelayanan sosial.
Karena sumber daya manusia dan dana relatif selalu terbatas, maka
isu mengenai pilihan dalam menentukan kuantitas dan kualitas pelayanan
harus pula menjadi bahan pertimbangan yang matang bagi para pembuat
kebijakan sosial. Antara kuantitas dan kualitas pelayanan sering kali
terjadi trade-off, dilema, sehingga perlu ditentukan mana dahulu yang akan
diutamakan. Misalnya, mengingat masih besarnya sasaran pembangunan
kesejahteraan sosial, peningkatan jumlah lembaga pelayanan kesejahteraan
sosial masih dianggap lebih penting daripada meningkatkan kualitas
pelayanan lembaga tersebut. Dengan demikian, secara terpaksa diadakan
pengorbanan dalam hal kualitas pelayanan sosial.
(10) Pembiayaan pelayanan sosial.
Isu kebijakan sosial lainnya yang sangat penting adalah mengenai
pendanaan pelayanan sosial yang menyangkut, sistem, sumber dan metoda
pendanaan. Terdapat suatu sistem di mana pelayanan sosial sepenuhnya
atau sebagian besar dibiayai oleh pemerintah yang dananya diambil dari
subsidi sektor-sektor lain dalam bidang perekonomian negara tersebut.
Pelayanan pendidikan dasar merupakan salah satu contoh sistem ini.
Sebaliknya, ada pula pelayanan sosial yang didasarkan pada segi
komersial, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta,
seperti asuransi kesehatan dan asuransi sosial tenaga kerja. Kini terdapat
kecenderungan di mana sistem pendanaan lembaga pelayanan sosial (panti
jompo, TPA) yang tadinya disubsidi penuh oleh pemerintah, kini bersifat
komersial. Pada kenyataanya, sebagian besar negara maju dan berkembang
banyak yang memilih jalan tengah di antara kedua sistem di atas.
58
Model-Model Analisis Kebijakan Sosial
Menurut Dunn (1991), analisis kebijakan adalah ilmu sosial
terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi
untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalahmasalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu
kebijakan. Ruang lingkup dan metoda analisis kebijakan umumnya
bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat
suatu kebijakan.
Menurut Quade (1982) analisis kebijakan adalah suatu jenis
penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat
dijadikan dasar-dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam
memberikan penilaian-penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga
diperoleh alternatif-alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan
kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian
mendalam terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan
evaluasi suatu program yang telah dilaksanakan. Namun demikian,
beberapa kegiatan analisis kebijakan dapat pula bersifat informal yang
melibatkan tidak lebih dari sekadar kegiatan berfikir secara cermat dan
hati-hati mengenai dampak-dampak diterapkannya suatu kebijakan.
Analisis kebijakan pada dasarnya bertujuan untuk menghasilkan
informasi dan argumen-argumen rasional mengenai tiga pertanyaan yang
berkaitan dengan;
a. Fakta-fakta;
b. Nilai-nilai; dan
c. Tindakan-tindakan
Berdasarkan hal tersebut, maka ada tiga model pendekatan dalam
analisis kebijakan sosial, yaitu:
a. Pendekatan Empiris;
b. Pendekatan Evaluatif; dan
c. Pendekatan Normatif.
59
Dalam kaitannya dengan tiga model tersebut, terdapat empat
prosedur analisis yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan analisis
kebijakan sosial:
a. Monitoring yang dapat menghasilkan informasi deskriptif mengenai
sebab-sebab dan akibat-akibat kebijakan.
b. Peramalan yang dapat menghasilkan prediksi atau informasi
mengenai akibat-akibat kebijakan di masa depan.
c. Evaluasi yang dapat menghasilkan informasi mengenai nilai atau
harga dari dampak-dampak kebijakan yang telah lalu maupun di
masa datang.
d. Rekomendasi yang dapat memberikan preskripsi atau informasi
mengenai alternatif-alternatif atau kemungkinan-kemungkinan yang
ditimbulkan dari suatu kegiatan.
Merumuskan Masalah Kebijakan Sosial
Perumusan masalah kebijakan sosial adalah suatu proses
penyelidikan untuk mengumpulkan informasi mengenai konsekuensikonsekuensi kebijakan sosial yang mempengaruhi kelompok sasaran.
Perumusan masalah kebijakan juga mencakup pencarian solusi-solusi
terhadap dampak-dampak kebijakan yang bersifat negatif.
Masalah-
masalah kebijakan sosial secara umum memiliki enam elemen, yaitu:
a. Masalah kebijakan.
Informasi ini meliputi argumen mengenai bukti-bukti pemasalahan,
alternatif-alternatif kebijakan, tindakan-tindakan kebijakan, hasil-hasil
kebijakan, dan keberhasilan-keberhasilan kebijakan.
b. Klaim kebijakan.
Klaim kebijakan adalah kesimpulan-kesimpulan mengenai argumenargumen kebijakan. Sebagai contoh, pemerintah harus berinvestasi dalam
bidang pendidikan atau mengeluarkan dana lebih besar lagi bagi
penanggulangan anak jalanan dsb.
60
c. Justifikasi atau pembenaran.
Aspek ini meliputi asumsi mengenai argumen kebijakan yang
memungkinkan analisis kebijakan untuk melangkah dari masalah
kebijakan ke klaim kebijakan. Suatu asumsi bisa mencakup informasi yang
bersifat otoritatif, intuitif, analitis, kausal, pragmatis maupun kritis.
d. Pendukung.
Pendukung adalah informasi-informasi yang dapat digunakan sebagai
dasar yang mendukung justifikasi. Pendukung dapat berupa hukum-hukum
keilmuan, pendapat-pendapat para ahli atau prinsip-prinsip etis dan moral.
e. Keberatan-keberatan atau sanggahan-sanggahan.
Keberatan-keberatan adalah kesimpulan yang kedua atau argumen
alternatif yang menyatakan bahwa suatu kondisi tidak dapat diterima
(ditolak) atau dapat diterima dengan syarat-syarat tertentu.
f.
Prasyarat.
Aspek ini merupakan kondisi-kondisi yang dapat meyakinkan atau
menjadi dasar bagi analis kebijakan untuk membenarkan klaim kebijakan.
Dalam analisis kebijakan, prasyarat biasanya dinyatakan dalam bahasa
“kemungkinan” atau probabilitas. Misalnya, “kemungkinan besar”,
“kecenderungannya adalah” atau “pada taraf signifikansi 1 persen”.
Perumusan masalah kebijakan, tidak dapat dilakukan begitu saja,
melainkan harus memenuhi beberapa syarat agar dapat diterima secara
logis. Prasyarat tersebut meliputi:
a. Perumusan masalah harus jelas atau tidak ambigu.
b. Produk analisis harus terbaru (up-to-date).
c. Produk analisis harus berharga atau bernilai (valuable).
d. Proses analisis tidak bersifat konvensional, artinya menggunakan
teknik-teknik yang mutakhir.
61
e.
Proses
analisis
memiliki
daya
motivasi,
berkesinambungan,
berhubungan satu sama lain dan komprehensif.
Teknik-teknik dalam perumusan masalah kebijakan:
a. Analisis Klasifikasi.
Teknik ini dipergunakan untuk memperjelas konsep yang digunakan
dalam mendefinisikan situasi problematis. Prinsip-prinsip dari sistem
klasifikasi adalah:

Relevansi Substantif. Dasar klasifikasi harus dibangun menurut
tujuan analisis dan situasi problematis.

Ketuntasan. Dasar klasifikasi harus memiliki argumen yang tepat dan
benar-benar kuat.

Keterpilahan. Kategori-kategori harus benar-benar terpilah dan
berdiri sendiri agar tidak ada kelompok yang masuk dalam dua
kategori.

Konsistensi. Kategori-kategori harus bersifat pasti atau tetap
berdasarkan sistem klasifikasi tunggal sehingga kesimpulan tidak
bersipat tumpang tindih atau mengalami “the fallacy of cross
division” (kekeliruan dalam pembagian silang).

Pembedaan hirarkis. Tingkat dalam sistem klasifikasi harus dapat
dibedakan secara jelas; mulai dari kategori, sub-kategi, sampai subsub kategori.
b. Analisis Hirarki.
Teknik ini dipakai untu menganalisis sebab-sebab yang mungkin
dalam sistem permasalahan. Terdapat tiga macam sebab yang perlu
diperhatikan dalam analisi hirarki:

Sebab yang mungkin (possible cause).

Sebab yang masuk akal (plausible cause). Sebab ini didasari penelitian
ilmiah atau pengalaman langsung.
62

Sebab yang dapat dirubah (actionable cause) atau disebut pula sebab
yang dapat dikontrol dan dimanipulasi.
c. Synectic.
Teknik ini dilakukan untuk mengembangkan pengenalan masalah
secara analogis. Beberapa prinsip analogi meliputi:

Analogi personil. Analis berusaha membayangkan dirinya mengalami
situasi-situasi problematis sebagaimana dialami kelompok sasaran
kebijakan.

Analogi langsung. Mencari hubungan serupa diantara 2 atau lebih
situasi problematis.

Analogi
simbolik.
Menemukan
contoh
yang
serupa
dengan
situasiproblematik dengan menggunakan simbol-simbo.

Analogi fantasi. Secara bebas mencari kesamaan antara situasi
problematis secra khayali.
d. Brainstorming atau curah pendapat.
Teknik memunculkan ide atau gagasan, tujuan dan strategi-strategi
tertentu dengan melibatkan banyak pihak dalam suatu forum diskusi.
e. Analisis Asumsi.
Teknik untuk menciptakan sintesa (kesimpulan) kreatif atas beberapa
asumsi mengenai masalah-masalah kebijakan. Prosedur analisis asumsi
meliputi:

Identifikasi pelaku yang terlibat (stakeholder identification).

Pemunculan asumsi (assumption surfacing).

Pembenturan atau penentangan asumsi (assumption challenging).

Pengelompokan asumsi (asumption pooling).

Sintesa asumsi atau penyimpulan asumsi.
63
What Does a Social Planner do?
Within Port Macquarie-Hastings Council, the role of the Social
Planner is to:
1. Provide social planning input to council's planning processes including
DA assessments, State of the Environment reporting, strategic
planning, DCPs, LEPs and Section 94 plans.
2. Lead and facilitate the development, monitoring and review of the
Hastings Social Plan, including research, consultation, data analysis
and preparation of reports.
3. Assess and provide comments on Social Impact Assessments for
development activities.
4. Provide advice to council and council staff on trends and changing
social needs and the implications for council's role.
5. Co-ordinate the development and maintenance of the community
profile, population projections and social forecasts.
6. Collaborate and negotiate with a range of stakeholders to ensure social
planning projects deliver the specified outcomes.
7. Increase awareness and understanding of the current and potential
contribution of social capital in the development of sustainable
communities in the Hastings.
8. Raise the profile of social issues through partnership development and
enhancing industry capability and opportunities.
9. Promote the role social capital plays in the development of the
Hastings community, its ideas and stories.
10. Identify key areas of social need and infrastructure in the Hastings.
D. Latihan
Carilah contoh perencanaan sosial di Indonesia yang berhasil dan tidak berhasil.
64
No. Modul
: 8
Pertemuan
: 8
Pokok Bahasan
:
Perencanaan
Kontingensi/Perencanaan
Penanganan
Bencana
A. Kata Kunci
1. contingency plan
2. strategi contingency plan
3. develop contingency plan
4. components of contingency plan
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Bagaimana contingency plan saat terjadi gempa di DIY – Jateng? Apakah
sudah bagus? Jika belum, hal-hal apa sajakah yang harus diperbaiki?
C. Materi
Contingency plan digunakan untuk mengatasi masalah-masalah
kebencanaan seperti bencana yang disebabkan oleh manusia, angin, api, air,
dan sebagainya. Di dalam penanganannya terdapat perbedaan antara satu
bencana dengan bencana yang lainnya. Strategi yang perlu dilakukan antara
lain adalah sebagai berikut :
a. Memberikan dukungan pada pemerintah yang menangani emergency
planning.
b. Mengamati pengaturan rencana (pelatihan).
c. Menjamin adanya mekanisme untuk meningkatkan fungsi emergency
planning.
d. Provide strategic emergency planning untuk mengelola strategi-strategi
yang tepat.
e. Komponen
yang
penting
dalam
contingency
planning
adalah
security/safety, public, data, dan communication.
65
Penyusunan perencanaan sosial
Penyusunan perencanaan sosial merupakan suatu proses kegiatan
yang terdiri dari serangkaian tahapan untuk dilaksanakan secara berurutan.
Adapun tahapan penyusunan perencanaan sosial dalam profesi pekerjaan
sosial terdiri dari:
1. Identifikasi dan perumusan masalah
2. Penilaian kebutuhan
3. Penetapan prioritas masalah
4. Perumusan kebijakan dan strategi perencanaan program
5. Perumusan tujuan
6. Perumusan perencanaan program
7. Penyusunan komponen kegiatan dan indeks biaya
8. Langkah-langkah pelaksanaan program
9. Supervisi, monitoring, evaluasi, pencatatan dan pelaporan
Stake-holders di Sektor Kesehatan
Masyarakat
Lokasi
Usia
Jender
Status ekonomi
Kelas
Pekerja Non-kesehatan
Profesi kesehatan
Administrator
Politisi
Departemen lain
Departemen Kesehatan
66
Pentingnya Perencanaan Sosial & Kontingensi
1. Masalah sosial & bencana selalu melibatkan jumlah penduduk yang
besar
2. Korban kebanyakan adl kelompok yang kurang beruntung
3. Menentukan kualitas hidup jangka-panjang
4. Penanganan memerlukan komitmen kuat lembaga publik; tidak
mungkin “diswastakan”, asymmetric information, externality.
JENIS & PENYEBAB BENCANA
Kecelakaan
Kerusuhan
Perang
Ledakan Nuklir
Kimiawi
Buatan Manusia
BENCANA
Alami
Gempa
Angin
Banjir
Kekeringan
KEBUTUHAN DISASTER PREPAREDNESS
(KESIAPAN MENGHADAPI BENCANA)
Goel, 2006:167
1. Dukungan kebijakan dan struktur administratif di tingkat pusat &
daerah
2. Keseriusan elit politik & birokrat
3. Kesadaran masy, PR, pengemb. SDM
4. Penguatan lembaga & peningkatan kemampuan
5. Membangun mekanisme & prosedur
6. Perencanaan yang rinci
67
7. Perbaikan sarana: pemantauan, prediksi, peringatan dini, respon yg
efektif
8. Penguatan litbang & transfer teknologi
9. Dukungan finansial untuk pencegahan & mitigasi
10. Identifikasi projek bagi pengurangan bencana alam
11. Pelatihan untuk menjamin kesiapan personil
12. Transparansi dalam semua hal mengenai kesiapan menghadapi
bencana
13. Akses keuangan bagi proses pengkajian ulang (retrofitting)
14. Penguatan program di semua tingkatan untuk memperbaiki kesiapan
menghadapi bencana
SISTEM ADMINISTRASI YANG EFEKTIF UNTUK PERENCANAAN
SOSIAL & KONTINJENSI (Goel, 2006:175) :
1. Tata-pemerintahan yg baik (good governance)
2. Akuntabilitas
3. Transparansi
4. Menjamin harkat & martabat rakyat
5. Kompetensi, komitmen & integritas pelaksana
6. Lingkungan yg kondusif bagi pembangunan
7. Kepekaan & daya-tanggap (responsiveness)
8. Tidak berpihak (impartial).
D. Latihan
Sebutkan dan jelaskan contingency planning pemerintah Indonesia untuk
penanganan bencana alam Situ Gintung. Apakah langkah tersebut sudah tepat
sasaran?
68
No. Modul
: 9
Pertemuan
: 10
Pokok Bahasan
: Perencanaan Kependudukan
A.
Kata Kunci
1. Menyusun perencanaan kependudukan.
2. Aplikasi perencanaan kependudukan pada tingkat regional dan lokal.
3. Kebijakan kependudukan jangka menengah dan jangka panjang.
4. Perencanaan dan kebijakan kependudukan sektoral.
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Jelaskan posisi perencanaan kependudukan dalam studi perencanaan social.
C. Materi
United Nations (1993) menerbitkan buku tentang Populations and
Development Planning yang membahas pentingnya memasukkan variabel
kependudukan dalam perencanaan pembangunan. Strategi pembangunan yang
menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi telah gagal untuk meningkatkan
standar kehidupan penduduk. Pertumbuhan ekonomi tinggi diikuti oleh
peningkatan jumlah penduduk miskin dan kelaparan serta kesenjangan antara
yang kaya dengan yang miskin. Ketidakberdayaan dalam mengakses
pendidikan dan kesehatan bagi penduduk miskin semakin bertambah besar.
Dalam situasi seperti ini orientasi pembangunan harus dirubah ke peningkatan
kesejahteraan. Pertumbuhan ekonomi memang diperlukan untuk mendukung
kecukupan pangan dan gizi, perumahan dan pekerjaan serta pendapatan yang
cukup untuk pemenuhan kebutuhan dasar.
Perencanaan berasal dari kata planning dan kebijakan dari kata policy.
Secara umum perencanaan adalah suatu proses yang hasilnya berupa rencana,
berdasarkan aspek-aspeknya yaitu hasil dan proses pelaksanaan. Berdasarkan
hasilnya, perencanaan adalah proses untuk membuat atau menyusun kebijakan
dan program kegiatan. Dilihat dari prosesnya, adalah upaya untuk menemukan
masalah yang terjadi saat ini dan estimasi di masa mendatang. Kemudian
69
berusaha merumuskan kebijakan dan program yang relevan yang dapat untuk
menanggulangi permasalahan tersebut. Lebih lanjut dikatakan oleh Suroto
(1992) dalam perencnaan mencakup setiap usaha meramalkan permasalahan,
merumuskan tujuan, merencanakan pendekatan yang sistematik untuk
mengatasi permasalahan yang muncul.
Untuk memudahkan pemahaman Anda tentang perencanaan berikut ini
disajikan contoh konkrit perencanaan kependudukan sektor ketenagakerjaan.
Perencanaan tenaga kerja adalah suatu proses untuk mengetahui dan
mengusulkan pemecahan masalah ketidakseimbangan antara persediaan
tenaga kerja dengan permintaan tenaga kerja yang lebih dikenal masalah pasar
kerja seperti telah dibahas pada modul 5 kegiatan belajar 2. Perencanaan
tenaga kerja dapat pula diartikan sebagai usaha untuk mengetahui dan
mengukur masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja dalam suatu wilayah
tertentu. Dalam hal ini mencakup sektor ekonomi dan non ekonomi seperti
angkatan kerja, partisispasi angkatan kerja, pengangguran, elastisitas dan
produktivitas kerja serta kebijakan pemerintah dalam sektor ketenagakerjaan.
Setiap negara diharapkan mempunyai perencanaan dan kebijakan
kependudukan yang jelas, terlepas dari pilihan pro-natalis atau anti natalis dari
negara yang bersangkutan. Hal ini menjadi penting untuk menghindari atau
antisipasi dari permasalahan kependudukan yang klasik seperti kemiskinan,
kelaparan, ketidakberdayaan dalam pendidikan, kesehatan serta masalah sosial
lainnya. Menurut Wirosuhardjo (1981), kebijakan kependudukan adalah
langkah dan program yang membantu pencapaian tujuan ekonomi, sosial,
budaya, demografis serta tujuan umum lainnya dengan cara mempengaruhi
variabel jumlah dan pertumbuhan penduduk, struktur dan distribusi penduduk.
Dalam
pengertian
mengakomodasi
ini
termasuk
keadaan
penduduk
perencanaan
maupun
dan
kebijakan
menanggapi
yang
perubahan-
perubahan penduduk. Agar pembahasan materi ini lebih fokus dengan contoh
konkrit maka modul ini menggunaan kasus perencanaan dan kebijakan
kependudukan di Indonesia.
70
Undang-Undang nomor
25
tahun
2004
tentang Perencanaan
Pembangunan Nasional menetapkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) ditetapkan paling lambat tiga (3) bulan setelah
Presiden dilantik. RPJMN merupakan penjabaran visi, misi dan program
selama lima (5) tahun ke depan, dilaksanakan melalui strategi pokok yang
dijabarkan ke dalam agenda pembangunan nasional. Dalam rencana strategi
ini tercantum sasaran-sasaran pokok yang akan dicapai serta arah kebijakan
dari
program-program
pembangunan.
Penetapan
RPJMN
2004-2009
didasarkan pada pertimbangan bahwa Presiden terpilih diangkat pada Oktober
2004. Setelah itu ditindaklanjuti oleh presiden terpilih dengan menyusun
program 100 hari yang merupakan bagian dari RPJMN 2004-2009 (Sinar
Grafika, 2005).
Permasalahan pembangunan nasional 2004-2009 dirinci ke dalam lima
(5) agenda serta rencana kerja 2010. Ditilik dari materi pembahasan, hanya
agenda ke empat yang relevan dengan perencanaan dan kebijakan
kependudukan di Indonesia yaitu Agenda Meningkatkan Kesejahteraan
Rakyat. Bagian ini terdiri dari 18 permasalahan, dan ada tujuh (7) yang
berhubungan erat dengan penduduk dan lingkungan. Ke tujuh permasalah
tersebut adalah nomor (12) kualitas kehidupan, perempuan dan perlindungan
anak, (23) ketenagakerjaan, (12) kualiatas kehidupan, perempuan dan
perlindungan anak, (27) pendidikan, (28) kesehatan, (29) kesejahteraan sosial,
(30) kependudukan dan keluarga kecil, pemuda dan olah raga dan (32) sumber
daya alam dan lingkungan hidup. Setiap permasalahan dibahas pula sasaran
yang ingin dicapai, arah kebijakan dan program-program pembangunan.
Rencana pembangunan jangka menengah lima tahunan merupakan
rangkuman dari program pembangunan tahunan. Dan rencana pembangunan
jangka menengah merupakan rangkuman dari rencana pembangunan jangka
panjang. Setiap perencanaan pembangunan kependudukan memerlukan
langkah konkrit yang tertulis di dalam Kebijakan Kependudukan berupa
program-program aksi. Setiap kebijakan mencakup tujuan umum, tujuan
71
spesifik, target yang ingin dicapai, indikator keberhasilan, langkah kebijakan
dan pelaksanaan program.
Dalam studi kependudukan, salah satu aspek yang belum banyak
dibahas oleh para peneliti dan pemerhati kependudukan adalah interaksi
negara maupun pemerintah dalam pengelolaan kependudukan. Akibatnya,
terlalu sedikit tulisan yang membahas tentang perencanaan dan kebijakan
kependudukan. Pemerintah di negara sedang berkembang semestinya
mempunyai andil yang sangat besar dalam pembangunan kesejahteraan
warganya untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak jarang intervensi pemerintah
di negara tersebut sudah sampai urusan pribadi dan kewenangannya di luar
tugas pemerintah. Sebagai contoh misalnya pertumbuhan penduduk yang
tinggi akan menyebabkan masalah yang bersifat multidimensional dalam skala
internasional nasional dan lokal serta masyarakat, keluarga dan individu.
Pemerintah di negara berkembang melakukan intervensi untuk
mengendalikan sekaligus menurunkan pertumbuhan penduduk tersebut
(Effendi dan Hassan, 1986). Intervensi pemerintah melalui serangkaian
kebijakan-kebijakan
mengubah
perilaku
yang
dianggap
kurang
menguntungkan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul akibat dari intervensi
pemerintah adalah aspek etika, filosofis dan landasan sosiologis dalam
hubungannya dengan hak individu maupun masyarakat. Pertimbangan apa saja
yang digunakan pemerintah dalam hal ini penurunan angka pertumbuhan
penduduk di negara sedang berkembang dalam hal penurunan kelahiran untuk
mencapai perkembangan penduduk yang rendah dalam hubungan hak individu
dan masyarakat.
Perencanaan pembangunan di Indonesia disusun sejak pemerintahan
Soekarno (Orde Lama) melalui Rencana Pembangunan Nasional Semesta
Berencana. Di era Soeharto (Orde Baru) disusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun yang lebih dikenal dengan Repelita hingga berakhir pemerintahannya.
Kemudian di era reformasi disusunlah Program Pembangunan Nasional
(Propenas) dan sejak 2004-2009 disusunlah Rencana Pembangunan Jangka
72
Menengah Nasional (RPJMN 2004-2009) merupakan bagian pertama dari
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) 2005-2024.
Rencana pembangunan2004-2009 ini terdiri atas enam bagian dan 36
kebijakan yang akan dilaksanakan selama pemerintahan SBY-YK. Dari 36
perencanaan dan kebijakan pembangunan tersebut ditujukan untuk berbagai
aspek atau sektoral. Ada enam sektor yang berhubungan dengan permasalahan
kependudukan, beberapa di antaranya adalah:
1. Penanggulangan kemiskinan dan kelaparan.
2. Perbaikan iklim ketenagakerjaan.
3. Akses layanan pendidikan yang berkualitas.
4. Akses layanan kesehatan yang berkualitas.
5. Kesejahteraan sosial bagi seluruh penduduk.
6. Pembangunan kependudukan dan keluarga kecil berkualitas serta pemuda
dan olah raga. (Sinar Grafika, 2005)
Landasan Dasar Perencanaan Kependudukan
Menurut Sofian Effendi dan Riaz Hassan (1986) paling tidak ada
empat landasan filosofis dan sosiologis yang mendasari pemerintah
melakukan intervensi atau campur tangan di bidang kependudukan yakni:
paradigma deontik, paradigma lingkungan, paradigma keluarga berencana dan
paradigma pemerataan pembangunan. Deskripsi secara ringkas dari ke empat
teori dasar perencanaan kependudukan adalah sebagai berikut:
Suatu perencanaan harus disusun dengan pertimbangan yang matang,
dalam arti mendapatkan keuntungan yang maksimal dibandingkan dengan
pengorbanan yang perlu dilakukan. Dalam keadaan seperti ini, dampak positif
yang akan diperoleh diusahakan semaksimal mungkin, sedangkan masukan
atau input dan proses yang seminimal mungkin. Mirip dengan prinsip
peningkatan produktivitas, pengorbanan biaya yang seminimal mungkin dapat
mendapatkan output yang semaksimal mungkin. Masalah yang seringkali
dihadapi dalam perencanaan kependudukan adalah jangka waktu ketika yang
73
diperlukan untuk mendapatkan hasil. Maksudnya adalah perencanaan tahunan,
lima tahunan, sepuluh tahunan dan dua puluh tahun atau perencanaan jangka
panjang. Perencanaan jangka menengah identik dengan satu periode
pemerintahan, katakanlah periode presiden SBY 2004-2009 merupakan bagian
dari perencanaan jangka panjang. Oleh sebab itu diperlukan suatu kecermatan
prima dalam penyusunan perencanaan, apalagi perencanaan kependudukan
yang sangat dinamik. Yang dimaksud sangat dinamik adalah mengantisipasi
perubahan sesuai dengan perkembangan waktu mulai dari saat ini, jangka
tahunan, menengah dan jangka panjang. Momentum kependudukan dan
kesenjangan waktu penting dipertimbangkan.
a. Teori Deontik
Dasar utama dari pandangan Deontik adalah hak dan kewajiban dari
generasi saat ini terhadap generasi yang akan datang. Argumentasi pokok dari
paham ini adalah bahwa generasi yang akan datang mempunyai hak untuk
hidup dan hak diperlakukan secara adil yang sama dengan generasi sekarang.
Oleh sebab itu generasi sekarang mempunyai kewajiban moral untuk
mempertahankan dan mensejahterakan dirinya sendiri serta generasi
mendatang. Berbagai keperluan-keperluan dasar untuk generasi mendatang
harus diperhatikan oleh generasi sekarang, termasuk di dalamnya daya dukung
wilayah di masa mendatang. Atas dasar pertimbangan ini maka generasi
sekarang dapat menentukan besarnya jumlah generasi mendatang. Dengan
demikian, seandainya tersedia sumber daya yang dapat mencukupi sejumlah -- orang, maka ---generasi sekarang perlu mengusahakan jumlah penduduk
hanya --- orang --Penganut paham Deontik menganjurkan apabila negara tidak mampu
memberikan jaminan kehidupan yang layak, maka negara tersebut dapat
mengendalikan pertambahan penduduk dengan mengurangi jumlah kelahiran
untuk mendapatkan jumlah penduduk ideal. Negara dianjurkan mengeluarkan
peraturan perundangan untuk menurunkan kelahiran. Pengendalian maupun
pembatasan kelahiran menurut penganut paham Deontik tidak merupakan
74
pembatasan kebebasan pribadi. Setiap orang boleh menentukan jumlah anak
yang ingin dimiliki, tetapi wajib untuk menjamin agar mereka dapat hidup
layak kelak di masa depan.
b. Teori Lingkungan
Terdapat dua paradigma yang cukup mendasar dikemukakan oleh para
ahli lingkungan dalam menyikapi dampak pertumbuhan penduduk yang tinggi
terhadap lingkungan saat ini dan di masa mendatang. Pertama, penganut tesis
titik batas (limits thesis) yang memandang hubungan pertumbuhan penduduk
dan degradasi lingkungan secara pesimistik melalui beberapa pernyataan
bahwa:
1) Pertumbuhan penduduk dan ekonomi mempunyai batas yang pasti.
2) Batas tersebut sudah hampir tercapai.
3) Apabila batas tersebut sudah terlalu dekat atau hampir dicapai, akan terjadi
peningkatan jumlah kematian.
4) Meskipun batas tersebut masih relatif jauh, pertumbuhan penduduk dan
ekonomi harus dihentikan.
Kehidupan yang layak sangat ditentukan oleh kontrol yang ketat
terhadap pertumbuhan penduduk. Sumber daya alam sangat terbatas dan akan
cepat habis akibat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Usaha meminimalkan
jumlah manusia merupakan pilihan utama dalam menjaga keberlangsungan
sumber daya. Kedua, penganut tesis gemah ripah (cornucopian thesis)
mempunyai pandangan yang lebih optimis hubungan manusia dengan
lingkungan melalui beberapa argumentasinya:
1) Titik batas tersebut dapat dicapai apabila ilmu dan teknologi sudah tidak
dapat berkembang atau berhenti.
2) Meskipun ilmu dan teknologi sudah berhenti berkembang, titik batas
tersebut masih jauh untuk dicapai.
75
3) Titik batas perlu mendapatkan perhatian karena jumlah penduduk dunia
perlahan-lahan akan segera mendekati titik batas.
Penganut paham ini sangat tegas pendapatnya tentang siapa yang harus
bertanggung jawab memelihara keserasian
hubungan penduduk
dan
lingkungan. Merupakan kewajiban manusia dengan konsekuensinya adalah
pengurangan kebebasan individu yaitu pembatasan kelahiran. Selain itu, ada
pandangan lain yang mengambil jalan tengah, bahwa dunia akan menghadapi
serangkaian problema transisi. Ini terjadi karena adanya keharusan untuk
mengsubstitusi sumber daya alam. Ini disebabkan adanya pergeseran sumber
energi dari minyak dan gas alam ke sumber tenaga lainnya. Sebagai akibatnya
ada negara yang diuntungkan, tetapi ada pula yang dirugikan. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kecepatan pertumbuhan ekonomi dan penduduk perlu
dikurangi karena dapat mempengaruhi intensitas maupun frekuensi masalah
penduduk dan lingkungan.
c. Teori Keluarga Berencana
Penganut paham keluarga berencana menyebutkan bahwa hak dan
kewajiban orang tua untuk menentukan secara bebas tetapi bertanggung jawab
tentang jumlah maupun jarak anak. Rencana Program Aksi Kependudukan
Dunia 1974, 1984 dan ditegaskan kembali 1994, semua pasangan atau
individu mempunyai hak secara bebas tetapi harus bertanggung jawab apakah
mereka akan atau tidak punya anak. Negara berkewajiban untuk meningkatkan
pengetahuan
tentang
cara-cara
untuk
menanggulangi
sebab-sebab
kemandulan, ketidaksuburan dan fertilitas. Kebijakan yang berbasis keluarga
berencana lebih bersifat sukarela daripada paksaan. Strategi pengendalian
jumlah penduduk adalah menyediakan akses terhadap alat kontrasepsi,
pendidikan dan kesehatan.
Strategi ini dilandasi anggapan dasar bahwa keputusan sukarela ini
akan mampu mencapai tingkat kelahiran yang dikehendaki oleh masyarakat
maupun negara/pemerintah. Pengaturan jumlah dan jarak kelahiran anak
76
memang
diserahkan
pada
setiap
rumah
tangga,
meskipun
harus
mempertimbangkan asas keadilan bagi sesama. Jika Anda sangat mampu
mempunyai 10 anak dan mampu pula membiayai pendidikan dan telah
memutuskan 10 anak yang akan dimiliki. Ini berarti Anda telah mengambil
hak anak dari orang lain dalam hal mengikuti pendidikan, anak, sebab jumlah
anak Anda 10.
d. Teori Pemerataan Pembangunan
Kelompok paradigma pemerataan pembangunan bertumpu pada
pikiran bahwa penurunan laju pertumbuhan penduduk yang dalam hal ini
kelahiran
berhubungan
erat
dengan
modernisasi.
Peningkatan
serta
pemerataan pendapatan yang lebih merata, akses terhadap kesejahteraan
sosial, kesehatan yang baik dan pemerataan pendidikan mempunyai andil yang
cukup besar dalam penurunan fertilitas. Paling tidak ada enam hal yang
mendasari perlunya suatu kebijakan pengendalian jumlah penduduk yakni:
1. Penyediaan layanan kesehatan yang baik untuk semua penduduk.
2. Penanggulangan buta huruf-aksara, peningkatan pendidikan, pangan dan
gizi utamanya bagi perempuan hamil dan mempunyai anak balita.
3. Penciptaan kesempatan kerja di sektor pertanian dengan sistem padat
karya.
4. Peningkatan status dan hak perempuan.
5. Peningkatan kesejahteraan sosial bagi penduduk lanjut usia.
6. Perbaikan distribusi pendapatan dan peningkatan kesempatan untuk
mendapatkan kesejahteraan.
Para pengikut paradigma pemerataan pembangunan mengakui bahwa
beberapa kebijakan tersebut cukup sulit dilaksanakan. Akan tetapi, semuanya
berupaya untuk melaksanakan penurunan laju pertumbuhan penduduk akan
dapat dicapai apabila ada peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi
penduduk terlebih dahulu sebelum perencanaan kependudukan dilakukan.
77
Menurut penganut ini, kontrasepsi yang paling baik adalah pembangunan
ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
Ada empat landasan teoritis telah dibahas sebagai dasar pemerintah
melakukan intervensi perencanaan kependudukan pada negara tertentu dan
kurun waktu tertentu. Pada umumnya di negara kapitalis seperti Amerika
Serikat, Eropa Barat, Australia dan Jepang sebagian besar mengikuti paham
keluarga berencana. Pada sisi lain, negara-negara sosialis seperti RRC
cenderung memilih aliran pemerataan pembangunan atau deontik. Meskipun
demikian, para pemimpinnya cenderung memilih teori lingkungan untuk
mempertahankan kebijakan kependudukan. Di kawasan Asia Selatan seperti
India, Pakistan dan Bangladesh cenderung menganut paham distribusi
pembangunan dan keluarga berencana. Di Singapura, kebijakan kependudukan
lebih menonjol pada aliran teori deontik. Di Malaysia, Thailand dan Filipina
mengikuti pemikiran pemerataan pembangunan dan keluarga berencana.
Kemudian di Indonesia cenderung mengikuti pemikiran deontik, keluarga
berencana dan pemerataan pembangunan. Anda perlu memahami bahwa
perencanaan kependudukan antara negara yang satu dengan yang lain dapat
berbeda.
Di Indonesia sendiri teori deontik dan pemerataan pembangunan cukup
mudah diterima sebagai landasan berpikir perencanaan kependudukan, namun
tidak demikian dengan keluarga berencana. Berkat sosialisasi yang cukup
intensif kepada tokoh agama, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri
akhirnya kebijakan keluarga berencana dapat diterima sebagai perencanaan
kependudukan
untuk
meningkatkan
kualitas
sumber
daya
manusia.
Pelaksanaan keluarga berencana sangat sukses. Kesuksesan pelaksanaan
keluarga berencana ini menjadikan Indonesia dalam hal ini BKKBN menjadi
pusat pelantihan pengelolaan keluarga berencana pada skala internasional.
Cukup banyak dari negara sedang berkembang mengikuti pelatihan dan studi
lapangan di Indonesia.
78
Akan tetapi di era desentralisasi dan otonomi daerah, keadaan ini
berubah sangat drastis. Pengelolaan pengendalian kependudukan (baca:
keluarga berencana) dan peningkatan kualitas penduduk di sebagian besar
daerah terabaikan. Oleh Daud Yusuf (2008) dikatakan Indonesia telah lalai
mengelola kependudukan sehingga jumlah penduduk yang sangat besar justru
menjadi beban dalam pembangunan. Kemudian paham teori deontik dan
pemerataan pembangunan tidak mendapat penolakan dari berbagai tokoh
agama, tokoh masyarakat maupun penduduk itu sendiri. Akan tetapi era
otonomi daerah-desentraslisasi sepertinya respon masyarakat agak berbeda
dibandingkan era sebelumnya dalam hal jumlah penduduk.
Perencanaan Kependudukan di Indonesia
Menjelang
akhir
2008,
Kementerian
Negara
Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) memaparkan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2024. Rencana Pembangunan ini
dirinci ke dalam RPJMN Tahap I (2005-2009), RPJMN Tahap II (2010-2014),
RPJMN Tahap III (2015-2019) dan RPJMN Tahap IV (2020-2024). Pola
umum RPJMN 2004-2009 dirinci kedalam empat hal yakni: (1) permasalahan
yang sedang dan akan dihadapi di masa mendatang, (2) sasaran yang ingin
dicapai saat ini dan saat mendatang, (3) arah kebijakan dan (4) programprogram pembangunan. Rincian dari setiap tahap pembangunan secara umum
dapat diliat pada Figure 1.
Dari RPJMN 2005-2024 di bagi ke dalam empat tahap pembangunan
dan setiap tahap dijabarkan ke dalam lima program tahunan, mirip dengan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di era orde baru. Seperti telah
dibahas pada bagian awal dari kegiatan belajar ini, RPJMN 2005-2009
dijabarkan ke dalam 36 sektor/bidang pembangunan. Untuk setiap bidang,
dibagi ke dalam empat aspek yaitu: permasalahan, sasaran, arah kebijakan dan
program pembangunan. Apabila dibaca secara teliti kemudian untuk setiap
tahap pembangunan, baik secara langsung maupun tidak langsung selalu ada
79
sektor atau bidang yang berhubungan dengan kependudukan. Pada RPJMN I
(2005-2009 satu diantara empat perencanaan pembangunan ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraaan yang lebih baik. Pada RPJMN II (2010-2014)
satu di antara empat aspek adalah meingkatkan kualitas sumber daya manusia.
Kemudian pada RPJMN III (2015-2019), satu di antara tiga aspek yang ada
adalah --- di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia
berkualitas. Dan pada RPJMN IV (2020-2024) satu di antara tiga aspek yang
ada adalah --- di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia
yang berkualitas dan berdaya saing.
Perencanaan kependudukan selama RPJPN nampak jelas titik berat
pada peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui terkendalinya jumlah
dan laju pertumbuhan penduduk serta menurunnya kesenjangan kesejahteraan
antar individu, antar kelompok masyarakat dan antar daerah. Pencapaian
tujuan
tersebut
dapat
dipercepat
melalui
pengendalian
pusat-pusat
pertumbuhan potensi daerah di luar Jawa-Bali. Suatu rencana yang
berkesinambungan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dengan
meningkatkan pembangunan di daerah untuk mengurangi kesenjangan sosial,
keberpihakan pada daerah/wilayah yang masih lemah, mengurangi kemiskinan
dan pengangguran dalam berbagai bentuk merupakan prioritas utama yang
harus segera dilakukan.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Rpjpn) Indonesia 20052025
80
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (Rpjpn) Indonesia
2005-2025
RPJMN I
(2005-2009)
 Menata
kembali
NKRI
 Membangun
Indonesia
yang aman
dan damai
 Membangun
Indonesia
yang adil dan
demokratis
 Menciptakan
kesejahteraan
yang lebih
baik
RPJMN II
(2010-2014)
RPJMN III
(2015-2019)
RPJMN VI
(2020-2024)
 Memantapkan
penataan
kembali NKRI
 Memantapkan
pembangunan
secara
menyeluruh di
berbagai
bidang
 Mewujudkan
masyarakat
Indonesia yang
mandiri, maju,
adil dan
makmur
 Membangun
daya saing
kompetitif
perekonomi-an
berlandaskan
ke-unggulan
sumber daya
alam dan
sumber daya
manusia yang
ber-kualitas
serta
 Percepatan
pemangunan
di segala
bidang
 Meningkatkan
kualitas SDM
 Membangun
kemampuan
IPTEK
 Memperkuat
daya saing
perekonomian
 Meningkatkan
kemampuan
IPTEK
 Membangun
struktur
perekonomian
yang kokoh
berlandaskan
keunggulan
kompetitif di
berbagai
wilayah yang
didukung oleh
SDM
berkualitas dan
berdaya saing
Sumber: Harian Kompas, Tanggal 22 dan 23 Desember 2008
81
Pada tataran di daerah, di propinsi,kabupaten dan kota, RPJPN
tersebut diterjemahkan atau digunakan sebagai penyusunan perencanaan
pembangunan jangka panjang maupun jangka menengah di propinsi. Dan
pada gilirannya penyusunan perencanaan pembangunan di kabupaten/kota
masih mengacu pada propinsi dengan lebih menekankan pada potemsi lokal
yaitu kabupaten/kota. Aspek potensi lokal inilah yang diharapkan dapat
mempercepat
pembangunan
kabupaten/kota
dengan
tidak
perlu
meninggalkan kerangka perencanaan dasar pembangunan nasional, propinsi
dan kabupaten/kota.
Pada giliran berikutnya, Bappenas menyebutkan bahwa bangsa yang
maju memiliki karakteristik pokok:
1) Mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas yaitu mempunyai
kepribadian bangsa, berakhlak mulia dan berpendidikan tinggi.
2) Memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah, angka harapan hidup
yang tinggi dan kualitas layanan sosial yang lebih baik yang tercermin
pada angka produktivitas kerja yang tinggi.
3) Mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi dan terdistribusi merata,
sektor industri dan sektor jasa yang maju sebagai tumpuan pertumbuhan
ekonomi.
4) Memiliki sistem kelembagaan politik, hukum dan kemasyarakatan yang
mantap.
D. Latihan
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perencanaan!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perencanaan kependudukan!
3. Jelaskan apa yang dmaksud dengan kebijakan kependudukan!
4. Jelaskan teori deontik sebagai landasan dasar perencanaan kependudukan!
5. Jelaskan perbedaan pokok tesis titik batas dan tesis gemah ripah dalam
teori lingkungan sebagai dasar perencanaan kependudukan!
82
6. Jelaskan mengapa teori keluarga berencana tidak dianggap melanggar hak
asasi manusia!
7. Jelaskan argumentsi teori pemerataan pembangunan dalam perencanaan
kependudukan!
8. Jelaskan dengan diagram rencana pembangunan jangka panjang nasional
(2005-2025) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN)!
9. Jelaskan pola umum RPJMN ke dalam empat aspek!
10. Jelaskan kriteria bangsa yang maju menurut pengukuran Bapennas!
83
No. Modul
: 10
Pertemuan
: 11
Pokok Bahasan
: Kebijakan Kependudukan Sektoral
A. Kata Kunci
1. Yang dimaksud dengan kebijakan
2. Kebijakan kependudukan di Indonesia
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Apa manfaat evaluasi dari sebuah kebijakan yaitu kebijakan kependudukan
C. Materi
Setelah konferensi kependudukan dunia ke dua (1984) di Meksiko,
penduduk dan pembangunan berkelanjutan menjadi isu yang ramai dibahas.
Dunia merasa was-was dan khawatir akan terjadinya kerusakan lingkungan
sebagai akibat perilaku penduduk yang tidak terkendali. Saling tuduhmenuduh dan menyalahkan antara kelompok negara utara yang kaya nan maju
dan kelompok negara selatan yang miskin tidak terelakkan. Kelompok utara
menuduh kelompok selatan, pertumbuhan penduduk yang tinggi menjadi
penyebab utama kerusakan lingkungan. Sebaliknya kelompok selatan ganti
membela diri dengan melancarkan tuduhan bahwa rusaknya lingkungan di
selatan lebih disebabkan oleh konsumsi hasil hutan yang berlebihan di negara
utara. Bagimana pendapat Anda, apakah pertumbuhan penduduk yang tinggi
di selatan bukan merupakan penyebab utama. Perdebatan tersebut mengungkit
kembali teori Malthus yang masih menjadi kontroversi sejak dipresentasikan
hingga saat ini.
Bertitik tolak dari teori Malthus yang menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan sumber daya. Muncullah
kekhawatiran akan kekurangan sumber daya untuk dapat mencukupi
kebutuhan manusia. Salah satu dampak dari pelaksanaan pembangunan telah
terjadi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan penduduk. Akan
tetapi pada sisi lain, untuk mendukung kegiatan ekonomi tersebut peningkatan
84
kegiatan eksplorasi sumber daya alam semakin tidak terkendali. Kekhawatiran
akan semakin cepatnya persediaan sumber daya alam bagi generasi mendatang
semakin
sering diperdebatkan.
Masalah
pembangunan
kependudukan
berkelanjutan pada dasarnya pada pertumbuhan penduduk yang masih tinggi
dan persediaan sumber daya alam justru semakin berkurang. Diperlukan suatu
tindakan nyata untuk menangani masalah ini dalam suatu wadah kebijakan
kependudukan.
N. Haidy Pasay dalam Ananta dan Sukarna Wirama (1993) mengutip
pendapat Ricardo bahwa sebelum luas tanah habis, telah lama terjadi masalah
kependudukan. Sebagai akibat jumlah dan pertumbuhan penduduk kebutuhan
akan tanah meningkat pula. Tanah yang subur lama-kelamaan akan habis, dan
tanah marginal pun terpaksa digunakan sehingga hasilnya tidak akan optimal.
Kemajuan teknologi akan dapat mengatasi berbagai kemungkinan yang
terjadi, namun pertanyaan yang perlu dijawab oleh diri sendiri adalah seberapa
banyak penduduk dapat memanfaatkan sumber daya yang ada?
Pemanfaatan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dapat
sebanyak-banyaknya,
namun
harus
bertanggung
jawab
untuk
memperbaharuinya. Namun bagaimana untuk sumber daya yang tidak
terbaharui? Komite mandiri menyarankan bahwa pemanfaatan sumber daya
alam perlu dikendalikan dan dibatasi agar degradasi lingkungan dapat di
hindari. Di Indonesia, hubungan antara penduduk dan pembangunan
lingkungan belum jelas dalam kebijakan pembangunan. Melalui Trilogi
Pembangunan lebih ditujukan pada pertumbuhan ekonomi dan sangat kurang
memperhatikan kualitas manusia baik kualitas fisik maupun non fisik.
Kebijakan
kependudukan
dan
lingkungan
sudah
mendapatkan
prioritas, seperti munculnya Kementerian Kependudukan dan Lingkungan
Hidup. Namun dalam perkembangan berikutnya hingga saat ini, justru
kementerian tersebut dikurangi perannya. Kementerian Lingkungan Hidup
masih dipertahankan, sedangkan Kependudukan ditiadakan. Permasalahn
kependudukan merupakan permasalahan antar sektor sehingga diperlukan
85
kementerian tersebut. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, peran
BKKBN sebagai lembaga koordinasi antar departemen dikurangi. Dengan
demikian tidak ada lembaga yang khusus menangani kebijakan kependudukan.
Menurut
Daud
Yusuf
(2008)
dalam
tulisannya
tentang
Historis
Demografisme, pemerintah telah lalai menangani permasalahan kependudukan
pada era desentralisasi ini. Sebagai akibatnya angka kelahiran cenderung
stagnan atau meningkat, derajat kesehatan semakin terpuruk yang ditandai
IMR dan MMR masih tinggi. Dampaknya adalah angka pertumbuhan
penduduk relatif tetap. Jumlah penduduk yang sudah cukup besar menjadi
lebih besar lagi jumlahnya dengan kualitas rendah. Kesemuanya ini lebih
memberikan
beban
dalam
pelaksanaan
pembangunan.
Kebijakan
kependudukan yang ada semestinya lebih menekankan pada pengendalian
jumlah dan pertumbuhan sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya
manusia.
Kebijakan kependudukan adalah suatu kegiatan langsung maupun
tidak langsung yang membantu tercapainya tujuan kependudukan, sosial dan
ekonomi. Berbagai tindakan tersebut ditujukan untuk mempengaruhi variabel
kelahiran, kematian dan mobilitas penduduk yang bersifat permanen maupun
tidak permanen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa program tersebut
diupayakan dapat mempengaruhi variabel-variabel kependudukan maupun
kebijakan yang menanggapi perubahan-perubahan kependudukan. Pada
umumnya, tujuan dari kebijakan kependudukan berhubungan dengan jumlah
penduduk, sebaran teritorial, pertumbuhan dan struktur kependudukan,
terutama umur, pendidikan, kesehatan, pangan dan gizi serta kebutuhan dasar
lainnya.
Apabila suatu negara ingin meningkatkan jumlah penduduk, maka
negara tersebut mengikuti kebijakan pro natalis yaitu meningkatkan jumlah
kelahiran. Sebaliknya, aliran anti natalis atau anti kelahiran berusaha agar
pertumbuhan penduduk menjadi rendah untuk mencapai jumlah tertentu. Jadi
pro natalis dan anti natalis berhubungan dengan jumlah dan angka
86
pertumbuhan penduduk. Suatu negara dapat menentukan sendiri apakah
memilih anti natalis atau pro natalis. Seperti Anda ketahui Indonesia pada
awalnya menganut paham pro natalis (era orde lama) berubah menjadi anti
natalis sejak Orde Baru. Malaysia dan Singapura pada awalnya pro natalis
kemudian ke anti natalis dan setelah itu berganti haluan ke pro natalis lagi,
namun gagal. Hal yang sama juga dialami di Eropa Barat, Asia Timur dan
Asia Pasifik mengalami hal yang sama seperti Malaysia, Singapura dan
Indonesia.
Seperti Anda ketahui ketahui di sektor yang berhubungan dengan
kependudukan minimal ada enam sektor. Pada kesempatan ini hanya
dipaparkan beberapa saja yang cukup populer hingga menjelang akhir RPJMN
I (2004-2009). Di Indonesia ada beberapa kebijakan kependudukan yang
sangat populer pada lingkup internasional maupun nasional. Kebijakan
(policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti
government yaitu aparatur negara tetapi juga governance yang menyangkut
pengelolaan sumber daya. Pada intinya kebijakan merupakan keputusan atau
pilihan tindakan yang secara langsung maupun tidak langsung mengatur
pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, sumber daya ekonomi dan
sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya untuk kepentingan
individu, masyarakat, wilayah maupun negara. Kebijakan merupakan hasil
dari sinergi, kompromi bahkan kompetisi dari berbagai gagasan, teori, idiologi
serta berbagai kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara.
Masalah kependudukan lebih dikenal masuk dalam kelompok kebijakan
sosial. Kebijakan sosial mencakup pula kebijakan publik, hukum dan
kelembagaan serta pelayanan sosial (Suharto,2007).
Lebih lanjut disebutkan oleh Suharto (2007), pelayanan sosial
mencakup jaminan sosial (social security), perumahan dan lingkungan tempat
tinggal, kesehatan, pangan dan pendidikan. Dalam perkembangannya,
pelayanan sosial yg diselengggarakan oleh pemerintah berkembang mencakup
banyak aspek atau multi aspek. Oleh karena itu banyak bantuan dan dukungan
87
dari organisasi non pemerintah atau sering disebut lembaga swadaya
pemerintah asi. Dalam hal ini, evaluasi yang dilakukan untuk membantu
pembuat kebijakan dalam menentukan apakah program yang ada perlu
dipertahankan dan atau diperlukan kebijakan baru? Untuk ini dapat
menggunakan model evaluasi seperti evaluasi ketepatan, efektifitas, efektifitas
biaya dan efisiensi. Evaluasi kebijakan kependudukan model ini dapat
dilakukan melalui variabel input, proses, output dan dampak. Setiap indikator
input, proses, output dan dampak terdiri dari beberapa variabel terpilih yang
sensitif untuk mengukur indikator tersebut. Beberapa di antaranya yang
relevan dengan kebijakan kependudukan, adalah sebagai berikut:
Kebijakan Transmigrasi
Kebijakan distribusi penduduk yang lebih dikenal dengan transmigrasi
dimulai sejak pertengahan abad ini oleh pemerintah Hindia Belanda. Melalui
program Kolonisasi telah dipindahkan penduduk dari beberapa daerah di pulau
Jawa ke daerah di luar Jawa, terutama ke pulau Sumatra. Usaha redistribusi
penduduk ini merupakan bentuk nyata kebijakan kependudukan meskipun
hasilnya tidak sedemikian besar (Heeren, 1979). Banyak hambatan yang
dihadapi pemerintah Hindia Belanda, namun hingga menjelang perang dunia
ke II, kebijakan redistribusi melalui kolonisasi menjadi penting artinya. Inilah
awal kebijakan kependudukan yang masih dilaksanakan hingga saat ini,
dengan beberapa penyesuaian (Hardjono, 1982).
Setelah Indonesia merdeka, kolonisasi tetap diteruskan dengan nama
transmigrasi. Konsep transmigrasi yang dilaksanakan sejak awal Indonesia
merdeka merupakan bentuk kebijakan kependudukan. Kebijakan ini ditujukan
untuk mengurangi penduduk di pulau Jawa dengan cara dipindah ke berbagai
daerah di luar Jawa (Yudohusodo, 1998). Dalam rencana Tambunan
direncanakan transmigrasi secara besar-besaran untuk menurunkan angka
pertumbuhan penduduk di Jawa yang sekaligus mengurangi jumlah absolut
penduduk di Jawa. Rencana Tambunan ini lebih dikenal dengan tujuan
88
demografi sentris, sehingga sejak 1972 sasaran transmigrasi diperluas hingga
menjadi tujuh sasaran. Salah satu sasaran ini menyangkut transmigrasi dan
satu aspek lagi adalah sasaran demografi. Ketujuh sasaran tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Peningkatan kesejahteraan penduduk di daerah asal dan daerah tujuan.
b. Pembangunan daerah di luar Jawa.
c. Keseimbangan persebaran penduduk dan pemanfataan sumber daya.
d. Pemerataan pembangunan di seluruh daerah.
e. Pemerataan tenaga kerja dan pemanfaatan sumber daya alam.
f. Membangun persatuan dan kesatuan bangsa.
g. Memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
Kebijakan transmigrasi mencakup banyak aspek, segi politik, ekonomi
wilayah, sosial budaya pendatang dan penduduk lokal sehingga banyak
kendala yang harus dihadapi (Rukmadi Warsito dkk, 1984 dan Raharjo, 1983).
Kebijakan transmigrasi merupakan kebijakan sektoral dan regional. Oleh
karenanya transmigrasi diarahkan pada bentuk-bentuk pembangunan regional
seperti transmigrasi lokal, transmigrasi swakarsa mandiri, transmigrasi
perkebunan, transmigrasi industri, transmigrasi nelayan serta bentuk-bentuk
transmigrasi lainnya sampai kota mandiri transmigrasi. Menurut Nangoi
(1993) dan Lepang (2003) keanekaragaman tipe transmigrasi ini diharapkan
mendorong niat penduduk untuk berpindah dalam rangka pembangunan
daerah asal maupun daerah tujuan.
Pengembangan empat kota yang termasuk dalam rencana strategis
ketransmigrasian diharapkan dapat menyerap 96.400 keluarga tenaga kerja
langsung. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengatakan bahwa
pembangunan KTM di Sulawesi diharapkan bisa mengakselerasi pertumbuhan
89
perekonomian kawasan di sekitarnya sehingga dapat mendorong penciptaan
lapangan kerja baru dan pengentasan warga dari kemiskinan.
Keempat KTM yang dibangun tahun ini adalah KTM Pawonsari, KTM
Air Terang, Kapupaten Buoli, Sulawesi Tengah; KTM Bungku, Kabupaten
Morowali, Sulawesi Tengah; dan KTM Mahalona, Kabupaten Luwu Timur,
Sulawesi Selatan. Dari rencana investasi senilai Rp. 3,5 triliun, sebanyak Rp.
716,2 milliar merupakan investasi pemerintah. Adapun Rp. 2,8 triliun berasal
dari swasta nasional. KTM adalah konsep baru transmigrasi yang diluncurkan
Menakertrans sejak tahun 2006. Pemerintah bekerja sama dengan investor
swasta menyiapkan KTM sebagai sentra produksi agrobisnis terpadu, mulai
lahan pertanian sampai industri pengolahan. Keterpaduan ini diharapkan
mampu mempercepat pertumbuhan satu kawasan. Para peserta transmigrasi
dan penduduk setempat akan dibantu mengembangkan komoditas pertanian
unggulan, seperti padi, jagung, kedelai, kelapa, kelapa sawit, dan peternakan
sapi (Suparno, 2007).
Mereka yang dibina oleh investor yang akan menampung hasil
produksi pertanian di kawasan tersebut. Pembangunan KTM akan memangkas
waktu yang dibutuhkan pemukiman transmigrasi menjadi kota, dari 30 tahun
menjadi cukup 15 tahun. Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (DPP
REI) membantu terwujudnya pembangunan fungsi perekonomian untuk pusat
perekonomian dan sosial wilayah. Ini program yang masih dalam uji coba dan
belum dilaksanakan secara nasional. Cukup banyak benturan kepentingan
antara masyarakat dan pemerintah daerah karena persepsi tentang KTM yang
berbeda-beda (Kompas, 21 November 2008: 18)
90
Hak Transmigran
Swakarsa Petani
Peserta Proyek
Kebijakan Urbanisasi
Disparitas keadaan dan potensi antar wilayah di Indonesia merupakan
situasi yang mendukung akan terjadinya mobilitas penduduk dalam bentuk
mobilitas non permanen seperti sirkulasi dan ulang-alik. Mobilitas permanen
yang lebih dikenal dengan migrasi dan transmigrasi merupakan istilah khusus
perpindahan permanen dari Jawa-Bali dan NTT, NTB ke luar daerah tersebut.
Urbanisasi yang di Indonesia lebih populer dengan perpindahan penduduk dari
daerah perdesaan ke daerah perkotaan. Menurut Keban (1996) urbanisasi
dapat pula diartikan pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang
seringkali dinyatakan dengan parameter tingkat dan tempo urbanisasi.
Keduanya ditujukan untuk mengukur kecepatan urbanisasi.
Kecenderungan meningkatnya urbanisasi di Indonesia sekiranya perlu
diwaspadai. Ketika sensus penduduk pertama kali (1961) penduduk perkotaan
baru mencapai sekitar 15 persen dan pada tahun 1971 bertambah menjadi 17,4
persen dan menjadi 22,3 persen pada 1980. Pada 1990 telah mencapai 30,9
persen, kemudian menjadi 41,8 persen pada 2000. Dengan demikian telah
terjadi disparitas persentase penduduk perdesaan dan perkotaan, dan muncul
pula aglomerasi perkotaan di Indonesia, seperti kota Medan, Palembang, DKI
Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Malang serta
Makasar. Pertumbuhan penduduk di kota-kota tersebut sangat tinggi,
meskipun ada tanda-tanda sedikit mengalami pelambatan, terutama daerah inti
kota. Wilayah pinggiran yakni daerah di luar inti kota pertumbuhan
91
penduduknya sangat tinggi, kemudian diikuti pertumbuhan penduduk rendah
bahkan minus di daerah di luar pinggiran inti kota atau yang jauh dari daerah
inti kota (Tukiran, 2007).
Menurut Alan dan Gugler (1996) cukup banyak pemerintah kota,
terutama kota metropolitan dan kota besar di negara sedang berkembang
melaksanakan berbagai kebijakan untuk mengerem sekaligus menurunkan
pertumbuhan penduduk metropolitan dan kota besar. Kebijakan memacu
pertumbuhan penduduk di kota sedang dan kota-kota kecil melalui
pembangunan sarana dan prasarana perkotaan yang mendukung berbagai
investasi di daerah tersebut. Perpindahan penduduk dari perdesaan akan
ditampung di kota-kota kecil dan kota-kota sedang. Dengan demikian,
kemerosotan kemampuan daya dukung kota metropolitan dan kota-kota besar
dapat dikurangi. Pertumbuhan wilayah kumuh (slum) dapat dikendalikan.
Kebijakan pengembangan kota-kota kecil dan kota-kota sedang di negara
sedang berkembang tidak berhasil dengan baik, kalau boleh dikatakan gagal
karena dominasi kota metropolitan dan kota besar. Akibatnya terjadi
depopulasi di perdesaan dan konsentrasi yang berlebih di kota besar dan kota
metropolitan yang tidak dapat dikendalikan.
Di Indonesia, urbanisasi dianggap salah satu model arah perpindahan
penduduk dan tidak selalu dipandang sebagai permasalahan. Urbanisasi
pekerja dari perdesaan ke perkotaan dapat mengisi kekosongan tenaga kerja,
utamanya pekerja kasar minim ketrampilan dari perdesaan. Urbanisasi
dianggap dapat membantu pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan, jika
upah pekerja perdesaan yang ada di perkotaan dapat dimanfaatkan di daerah
asal yakni perdesaan. Banyak kasus dijumpai desa-desa perdesaan mencapai
kemajuan yang pesat karena peran para urbanis. Urbanisasi berlebih yang
melampaui daya tampung baru menjadi masalah di perkotaan. Para urbanis
tingal di daerah kumuh (slum) dan ilegal karena secara materi mereka tidak
mampu dalam segala hal. Sebagian besar bekerja pada sektor informal
menempati ruang publik yang semestinya tidak sesuai dengan peruntukannya.
92
Potensi sumber daya alam di perdesaan pun tidak dapat dikelola dengan baik
karena sebagian besar mereka telah meninggalkan daerah perdesaan tersebut.
Daerah
perdesaan
kehilangan
pekerja
potensial
sebagai
penggerak
pembangunan.
Pada saat ini pemerintah di berbagai kota metropolitan dan kota besar
di Indonesia telah terjadi urbanisasi berlebih yang jauh melampaui daya
dukung kota itu sendiri. Untuk mengurangi sekaligus menanggulangi dampak
negatif tersebut, banyak peraturan daerah dibuat guna mengurangi dampak
dari urbanisasi berlebih. Sebagai contoh yang telah terjadi mulai dari Jakarta
tertutup bagi pendatang. Artinya bagi yang tidak mempunyai ketrampilan dan
atau pekerjaan dilarang datang ke metropolitan Jakarta. Hal yang sama juga
berlaku untuk metropolitan kota Surabaya dan kota-kota besar lainnya.
Malahan ada sepotong lagu: “Siapa suruh datang ke Jakarta”, operasi justisi
KTP, Kartu Keluarga dan sejenis yang semuanya tidak efektif menghentikan
para urbanis. Bagi para urbanis, pindah ke kota besar adalah sebuah harga diri
agar menjadi orang kota yang identik sebagai orang terpilih dan dihormati di
daerah asal, apabila melakukan mudik ke desa yaitu ke daerah asal.
Kebijakan Keluarga Berencana
Kebijakan keluarga berencana dimulai sejak awal 1972, dan sangat
populer di lingkup internasional. Program ini dilaksanakan secara intensif di
seluruh wilayah Indonesia sejak Pelita III. Pada Pelita I pelaksanaan keluarga
berencana dimulai di pulau Jawa – Bali I dan Pelita II dimulai di luar JawaBali I dan pelita III di daerah luar Jawa-Bali II. Program yang kemudian
berganti menjadi gerakan KB dapat mengubah pandangan masyarakat yang
cenderung pro natalis menjadi anti natalis. Artinya adalah pandangan kuantitas
yaitu jumlah yang banyak telah berubah menjadi kualitas yang lebih
menekankan pada kesejahteraan yang selalu meningkat mulai dari individu,
masyarakat dan negara. Kesejahteraan rumah tangga dan warga Indonesia
dapat dicapai apabila setiap keluarga mau ikut dan berperan serta bertanggung
93
jawab dalam hal jumlah anak. Kebijakan pelaksanaan KB di seluruh wilayah
Indonesia yang mendapat komitmen para pemimpin pusat hingga daerah
merupakan produk paling sukses di era Orde Baru.
Menurut Berelson (1989), dibalik keluarga berencana (beyond family
planning) merupakan upaya konkrit untuk mempertemukan tiga pandangan
tentang:
a. Pandangan yang menyatakan bahwa penurunan fertilitas hanya dapat
dicapai melalui pembangunan ekonomi. Apabila keadaaan ekonomi maju,
kesejahteraan meningkat, fertilitas akan menurun secara otomatis,
pertumbuhan penduduk menjad semakin rendah.
b. Pandangan
yang mengatakan bahwa perubahan nilai-nilai
sosial
kemasyarakatan akan mengurangi peranan anak dalam kehidupan keluarga
dan jaminan di hari tua. Jika pandangan ini berubah, maka keinginan
mempunyai banyak anak semakin berkurang. Fertilitas dengan sendirinya
akan berkurang dan pertumbuhan penduduk menjadi lebih rendah.
c. Pandangan yang menyatakan apabila program keluarga berencana dikelola
dengan baik seperti meningkatkan mutu dan mendekatkan palayanan bagi
yang membutuhkan maka fertilitas dapat diturunkan pula. Kuncinya
adalah peningkatan kualitas layanan kontrasepsi yang mudah didapat,
murah harganya dan terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.
Beberapa negara cukup berhasil dalam menurunkan pertumbuhan
penduduk melalui reduksi fertilitas dan mortalitas dalam dua dasa warsa
terakhir ini seperti yang dialami oleh Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura
dan Philipina. Negara-negara tersebut melaksanakan program keluarga
berencana secara bersama-sama dengan pembangunan ekonomi dan sosial
yang saling menunjang. Pelaksanaan keluarga berencana berjalan bersamasama dengan peningkatan kesejahteraan rumah tangga. Kesuksesan Indonesia
dalam pelaksanaan KB untuk mereduksi pertumbuhan penduduk dengan
94
mengkombinasikan antara pembangunan ekonomi, penurunan anak dalam
kehidupan rumah tangga dan pengelolaan keluarga berencana secara baik dan
berkesinambungan (Wirosuhardjo, 1983).
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Menurut Pattinasarany (2008) ada beberapa ciri utama kemiskinan
yang ada di Indonesia. Menurut Bank Dunia (2007) dan Komite
Penanggulangan Kemiskinan (2005) penanggulangan kemiskinan tidak dapat
dilaksanakan dalam waktu singkat dan serempak karena permasalahan
kemiskinan yang multi aspek. Penanggulangan kemiskinan harus dilakukan
secara bertahap, terpadu dan sinergis serta terencana dengan melibatkan
berbagai
pihak.
Pada
awalnya,
diperlukan
rencana
penanggulangan
kemiskinan yang akan dicapai melalui strategi kebijakan penanggulangan
kemiskinan seperti Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK).
Dilaksanakan secara bertahap melalui penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak dasar penduduk miskin. Sebagai contoh pembahasan
materi kebijakan kependudukan bidang kemiskinan, diambil dari rencana dan
kebijakan penanggulangan kemiskinan Indonesia 2005-2009.
Rencana penanggulangan kemiskinan dirinci ke dalam empat rencana,
dan setiap rencana tersebut dibagi ke dalam berbagai kebijakan seperti berikut:
1. Rencana Pengelolaan Ekonomi Makro
a. Penciptaan stabilitas ekonomi makro
b. Peningkatan pertumbuhan ekonomi
c. Perluasan kesempatan kerja dan berusaha
d. Pengurangan kesenjangan antar wilayah
2. Rencana Pemenuhan Hak Dasar
a. Pemenuhan hak atas pangan
b. Pemenuhan hak atas layanan kesehatan
95
c. Pemenuhan hak atas pendidikan
d. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan berusaha
e. Pemenuhan hak atas perumahan
f. Pemenuhan hak atas air bersih dan sanitas
g. Pemenuhan hak atas tanah
h. Pemenuhan hak atas rasa aman
i. Pemenuhan hak untuk berpartisipasi
3. Rencana Perwujudan Keadilan dan Kesetaraan Jender
4. Rencana Pengembangan Wilayah Pendukung
Pemenuhan Hak dasar
a. Percepatan pembangunan perdesaan
b. Pembangunan perkotaan
c. Pengembangan kawasan pesisir
d. Percepatan pembangunan daerah tertinggal
Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja
Laporan hasil Survai Angkatan Kerja Nasional bulan Februari 2005
dan 2007 (BPS, 2007) menunjukkan jumlah angkatan kerja sekitar 105,8 juta
bertambah menjadi 108,1 juta. Jumlah penganggur terbuka mengalami
penurunan dari 11,0 juta menjadi 10,8 juta. Jumlah pekerja setengah
penganggur mengalami peningkatan dari 29,6 juta menjadi 30,2 juta.
Tingginya jumlah penganggur dan pekerja setengah penganggur karena
jumlah jam kerja yang rendah lebih disebabkan karena terbatasnya
kesempatan kerja yang ada. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah
menyusun rencana perluasan kesempatan kerja melalui tiga jurus utama yaitu:
a. Perencanaan perluasan kesempatan kerja dengan menambah atau
memperluas peluang kerja ke luar negeri (TKI) dari 15 negara menjadi 30
96
negara tujuan. Dengan perluasan daerah negara tujuan diharapkan target
perluasan kesempatan kerja baru 2008 sebanyak 750 ribu kesempatan
kerja dapat dicapai.
b. Perluasan kesempatan kerja melalui program transmigrasi berparadigma
baru. Konsep dan perencanaannya membangun kota terpadu mandiri di
kawasan transmigrasi. Menurut rencananya pada tahun pertama ini (2007)
dapat menampung sekitar 10.200 kepala rumah tangga atau sekitar 88 ribu
tenaga kerja baru. Dari kedua rencana tersebut akan tercipta kesempatan
kerja baru sekitar 1,5 juta. Jika rencana ini terrealisasi pada 2007 maka
jumlah penganggur akan menurun menjadi sekitar 9,3 juta atau angka
penganguran terbuka menurun dari 10,4 persen menjadi 9,6 persen.
Perencanaan perluasan kesempatan kerja pada penanggulangan krisis
ekonomi 1997 melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) seperti program
padat karya. Program padat karya ditujukan untuk pekerja yang terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK), usahanya berhenti karena krisis
ekonomi, musim kemarau yang berkepanjangan, gagal panen maupun
sebab-sebab lainnya. Mereka yang mengikuti atau bekerja pada program
ini mendapatkan sejumlah imbalan atau upah. Pada periode tersebut
banyak pula program yang tidak secara langsung menciptakan perluasan
kesempatan kerja, tetapi lebih ditujukan untuk meningkatkan ketrampilan.
Beberapa di antaranya adalah Pengembangan Tenaga Kerja Muda
Terdidik (TKMT), prgram magang, Antar Kerja Lokal (AKL), Antar Kerja
Antar Daerah (AKAD), dan Antar Kerja Antar Negata (AKAN). Programprogram pada kelompok ini tidak begitu jelas berapa jumlah kesempatan
kerja baru dari berbagai program-program tersebut. Secara umum
kebiakan
perluasan
kesempatan
kerja
yang
disusun
berdasarkan
perencanaan perluasan kesempatan kerja dapat digambarkan sebagai
berikut:
c
Perbaikan iklim investasi diharapkan mampu menarik investor asing
maupun dalam negeri. Dari berbagai investasi ini diharapkan dapat
97
menciptakan kesempatan kerja baru. Apabila dimungkinkan investasi ini
lebih ditekankan pada padat karya atau setengah padat karya di daerah
perdesaan. Jika hal ini dapat dilakukan diharapkan sebagian dari masalah
pengangguran dapat dikurangi.
Sistematik Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja
( menurut Suroto, 1992: 401 )
3
2
Penetapan Target Indikatif
Sektor berdasarkan
Kebutuhan
Analisis Kecenderungan
Masa Lalu dan Proyeksi
ke Depan
5
Analisis Potensi
4
1
Identifikasi Program
Sektoral
Pengumpulan dan
Pengolahan
Data Pasar Kerja
6
Analisis Kendala
7
8
Penetapan Target
Operasional
Atas Dasar Potensi dan
Sumber
Identifikasi
Sumber
11
Pemantauan
9
Persiapan Pelaksanaan
Program/Proyek
10
Pelaksanaan Proyek Sektoral
Kebijakan dan Perlindungan Sosial
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan dan perlindungan
sosial dapat didefinisikan sebagai segala upaya atau inisiatif yang dilakukan
98
oleh pemerintah, sektor swasta maupun masyarakat yang bertujuan untuk
menyediakan berbagai kebutuhan dasar minimal bagipenduduk miskin,
kelompok rentan terhadap resiko penghidupan. Menurut Suharto (2007) paling
tidak ada tiga skema kebijakan dan perlindungan sosial. Pertama, bantuan
sosial dengan target sasaran pokok penyandang cacat fisik, mental, korban
narkoba, yatim piatu, penduduk usia lanjut, terlantar dan sejenis. Kedua,
asuransi sosial bagi orang sakit, pekerja sektor informal, lanjut usia,
janda/duda, pengangguran dan penduduk miskin. Ketiga, jaminan sosial
dengan sasaran masyarakat perkotaan atau perdesaan yang tidak memiliki
kekuatan atau tidak terlindungi dari berbagai resiko kelangsungan hidup.
Ilustrasi yang disajikan dalam Suharto (2007) berikut cukup relevan
sebagai contoh kebijakan dan perlindungan social. “Pemulung Melahirkan di
Bawah Pohon” (Kompas, 2006): Andai Sumirah tinggal di negara maju, ia
pasti tidak akan melahirkan di bawah pohon di pinggir jalan. Dia melahirkan
di bawah pohon karena kemiskinan dan ketidakberdayaan. Kenijakan
pemerintah di bidang kesehatan seperti Askeskin/Jamkesos serta asuransi
kesehatan. Hal yang sama telah dilakukan seperti beras orang miskin (Raskin),
Bantuan Langsung Tunai (BLT), kompor gas, Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dan masih banyak lagi. Akan tetapi karena terlalu banyak jumlah yang
harus ditangani, seolah-olah upaya pemerintah melalui berbagai kebijakan
sosial belum dapat mengurangi jumlah insiden secara berarti.
D. Latihan
1. Dunia merasa khawatir akan terjadinya kerusakan sumber daya alam dan
lingkungan yang disebabkan oleh:
A. Perubahan iklim
C. Konsumsi energi berlebihan
B. Perilaku manusia
D. Perang antar negara
2. Artikel tentang Historis-Demografisme menyampaikan kritik kepada:
A. Pemerintah telah lalai menangani masalah kependudukan
B. Dana pembangunan kependudukan terbatas
99
C. Tumpang tindih penanganan masalah kependudukan
D. Era desentralisasi dan otonomi daerah
3. Kebijakan kependudukan adalah:
A. Pengaturan pertumbuhan penduduk
B. Perbaikan kesehatan melalui penurunan mortalitas
C. Kegiatan yang membantu tercapainya pembangunan kependudukan
D. Kebijakan menurunkan fertilitas dan mortalitas anti natalis
4. Kebijakan retribusi penduduk di Indonesia atau transmigrasi yang pertama
dikirim ke:
A. Daerah Deli/Sumatra Utara
C. Negara Suriname
B. Daerah Parigi/Sulawesi Tengah
D. Daerah Lampung/Sumatra
Selatan
5. Pada awalnya kebijakan transmigrasi lebih ditujukan untuk:
A. Peningkatan kesejahteraan penduduk
B. Pemindahan penduduk dari Jawa ke Luar Jawa
C. Membangun persatuan dan kesatuan bangsa
D. Pemerataan pembangunan di seluruh daerah
6. Kebijakan pengembangan kota sedang dan kota kecil banyak mengalami
kegagalan. Kegagalan ini lebih disebabkan oleh:
A. Kesempatan kerja sangat terbatas di perdesaan
B. Bekerja di kota sebuah status harga diri
C. Di kota metropolitan tersedia semua kebutuhan
D. Masih dominannya peran kota metropolitan dan kota besar
7. Perubahan nilai sosial budaya akan mengurangi peranan anak dalam
kehidupan keluarga di hari tua merupakan asumsi dasar kebijakan:
A. Penurunan fertilitas
C. Kemandirian orang tua
B. Keluarga Berencana
D. Modernisasi
100
8. Kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia mencakup strategi:
A. Pemenuhan hak dasar
B. Pemenuhan hak pendidikan
C. Pemenuhan hak kesehatan
D. Ekonomi makro, hak dasar, pengembangan wilayah dan pemenuhan
hak serta keadilan
9. Kebijakan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke berbagai Negara di luar
Indonesia merupakan perluasan kesempatan kerja program:
A. AKAN
C. Timur Tengah dan sekitarnya
B. AKL
D. Singapura, Malaysia, Jepang
dan Taiwan
10. Kebijakan dan perlindungan sosial mencakup:
A. Bantuan sosial
C. Jaminan Sosial
B. Asuransi sosial
D. Bantuan, asurasi dan jaminan
Sosial
101
No. Modul
: 11
Pertemuan
: 12
Pokok Bahasan
: Case Study : Permasalahan TKI (Tenaga Kerja Migran)
A. Kata Kunci
1. Tenaga kerja migrant
2. Tenaga Kerja Indonesia
3. Mobilitas tenaga kerja
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Bagaimana cara menangani permasalahan-permasalahan yang timbul pada
TKI. Sudah sesuaikah kebijakan yang mengatur tentang tenaga kerja migran di
Indonesia.
C. Materi
Tenaga Kerja Indonesia (disingkat TKI) adalah sebutan bagi warga
negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk
jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Namun demikian, istilah TKI
seringkali dikonotasikan dengan pekerja kasar. TKI perempuan seringkali
disebut Tenaga Kerja Wanita (TKW). TKI merupakan sebagian dari kelompok
pekerja migrant. Pekerja migran adalah orang asing. Berdasarkan keadaan ini
saja mereka dapat menjadi sasaran kecurigaan dan permusuhan dalam
komunitas di mana mereka tinggal dan bekerja. Dalam banyak kasus mereka
adalah orang miskin secara finansial, dan menghadapi kesulitan yang sama
dari segi ekonomi, sosial dan budaya dengan yang dihadapi oleh kelompok
paling lemah dalam masyarakat di Negara tuan rumah.
Dengan posisinya yang sangat lemah, TKI sering disebut sebagai
pahlawan devisa karena dalam setahun bisa menghasilkan devisa 60 trilyun
rupiah (2006), tetapi dalam kenyataannya, TKI menjadi ajang pungli bagi para
pejabat dan agen terkait. Bahkan di Bandara Soekarno-Hatta, mereka
disediakan terminal tersendiri (terminal III) yang terpisah dari terminal
penumpang umum. Pemisahan ini beralasan untuk melindungi TKI tetapi juga
102
menyuburkan pungli, termasuk pungutan liar yang resmi seperti punutan
Rp.25.000,- berdasarkan Surat Menakertrans No 437.HK.33.2003, bagi TKI
yang pulang melalui Terminal III wajib membayar uang jasa pelayanan
Rp25.000. (saat ini pungutan ini sudah dilarang)
Pada 9 Maret 2007 kegiatan operasional di bidang Penempatan dan
Perlindungan TKI di luar negeri dialihkan menjadi tanggung jawab BNP2TKI.
Sebelumnya seluruh kegiatan operasional di bidang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri dilaksanakan oleh Ditjen
Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN)
Depnakertrans.
Latar belakang pekerja migrant
Kemiskinan dan ketidakmampuan untuk mendapatkan nafkah atau
menghasilkan produk yang cukup untuk mendukung seseorang atau
keluarganya, merupakan alasan utama di balik perpindahan pencari kerja dari
satu Negara ke Negara lain. Hal ini tidak hanya merupakan suatu karakteristik
migrasi dari Negara miskin ke Negara kaya; kemiskinan juga merupakan
penyebab perpindahan dari satu Negara berkembang ke Negara berkembang
lainnya yang punya prospek pekerjaan lebih baik setidak-tidaknya bila
dipandang dari jarak jauh.
Ada beberapa alasan mengapa orang pergi ke luar negeri untuk
mencari pekerjaan. Perang, pertikaian sipil, rasa tidak aman atau pengejaran
akibat diskriminasi ras, sukubangsa, warna kulit, agama, bahasa dan
pandangan politik, kesemuanya itu berperan dalam mengalirnya pekerja
migran. Beberapa Negara mendorong warganegaranya untuk pergi bekerja ke
luar negeri; beberapa negara lainnya secara aktif merekrut pekerja asing.
Dalam kasus-kasus tertentu, dibuat perjanjian antar-negara mengenai pekerja
migran.
Idealnya, pekerja migran baik berdasarkan kontrak atau pengaturan
formal lainnya, maupun hanya dilakukan atas inisiatif masing-masing pekerja
103
harus diberi pemahaman dasar mengenai bahasa, budaya dan hukum, struktur
sosial dan politik dari Negara tujuan. Mereka harus diberitahu terlebih dahulu
mengenai gaji dan kondisi pekerjaan serta kondisi kehidupan umum yang
dapat diharapkan pada saat kedatangannya.
Pasal 33 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak semua
Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya mensyaratkan Negara Pihak untuk
mengambil langkah-langkah yang dianggap tepat untuk menjamin agar
pekerja migran dan anggota keluarganya telah diberi informasi sebanyak
mungkin, atas permintaan dan tanpa dikenakan biaya. Informasi tersebut harus
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh para pekerja, tentang hak
mereka berdasarkan Konvensi, dan tentang segala hal yang membuat mereka
dapat memenuhi persyaratan administrasi dan formalitas-formalitas di Negara
tempat bekerja. Selanjutnya, pasal 37 Konvensi menetapkan hak pekerja
migran dan anggota keluarganya untuk mendapatkan informasi sebelum
keberangkatan, atau paling lambat pada saat mereka masuk ke Negara tempat
bekerja, tentang semua syarat yang berlaku pada saat mereka masuk, demikian
pula dengan persyaratan yang harus mereka penuhi di Negara tempat bekerja,
dan pihak berwenang yang harus mereka hubungi untuk setiap perubahan
persyaratan tersebut.
Jika pejabat bidang ketenagakerjaan membantu mengelola arus
pendatang, maka akan ada kesempatan lebih baik bagi para pekerja migran
dalam melakukan persiapan minimum untuk hidup dan bekerja di luar negeri,
daripada apabila urusan perekrutan dan penempatan diberikan kepada agen
swasta.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa sejumlah besar pekerja migran
tidak mendapat informasi, dan melakukan persiapan yang buruk dalam
menghadapi kehidupan dan pekerjaan di Negara asing. Demikian pula,
sebagian besar mereka tidak menyadari adanya perlindungan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar, yang dijamin bagi mereka menurut perjanjian
internasional dan hukum nasional.
104
Namun, Rendahnya penyerapan tenaga kerja di dalam negeri
mendorong pencari kerja memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri.
Krisis ekonomi lima tahun belakangan ini merupakan salah satu faktor
meningkatnya angka pengangguran. Kondisi demikian semakin diperburuk
lagi dengan terjadinya banyak kasus pemutusan hubungan kerja (PHK).
Rendahnya penyerapan tenaga kerja di dalam negeri telah mendorong pekerja
untuk mencari dan memanfaatkan kesempatan kerja di luar negeri, karena
tingkat upah yang ditawarkan biasanya relatif lebih baik dibandingkan dengan
upah pekerjaan sejenis didalam negeri. Selain itu, tekanan untuk mencari kerja
di luar negeri makin diperkuat dengan kenyataan bahwa surplus tenaga kerja
unskilled kian banyak.
Diantara negara-negara tujuan para TKI, Malaysia menjadi negara
dengan tujuan terbanyak. Banyak faktor yang menentukan sehingga negara
Malaysia menjadi pilihan migran pekerja Indonesia. Secara geografis,
Malaysia merupakan negara tetangga terdekat Indonesia. Hubungan
transportasi relatif mudah, murah dan cepat. Beberapa pelabuhan di Indonesia
merupakan pintu gerbang keluar masuk pekerja Indonesia untuk mencapai
daerah tujuan di Malaysia, seperti Batam dan Tanjung Pinang di Sumatera,
Entikong di Kalimantan Barat serta Nunukan di Kalimantan Timur.
Di samping itu masyarakat kedua negara sama-sama berasal dari
rumpun suku Melayu dengan bahasa yang mirip dan sejak dulu sudah
memiliki hubungan sosial budaya yang erat, sehingga memudahkan dalam
berinteraksi. Migran pekerja yang pergi ke Timur Tengah, meskipun memiliki
agama yang sama, tetapi menghadapi masalah adaptasi karena perbedaan
bahasa dan latar belakang sosial budaya yang mencolok. Banyak migran
pekerja Indonesia di Timur Tengah yang diperlakukan secara tidak wajar dan
menjurus kepada perlakuan tidak manusiawi. Ini sebagai akibat perbedaan
latar belakang sosial budaya tadi.
Jumlah migran ilegal ini diperkirakan lebih banyak dari migran legal,
namun jumlahnya tidak diketahui secara pasti. Umumnya mereka bekerja
sebagai pembantu rumah tangga dan buruh di perkebunan. Oleh karena tidak
105
memiliki dokumen yang lengkap, apabila terjadi permasalahan dengan
majikannya/perusahaan, Pemerintah Indonesia sulit untuk memberikan
bantuan atau perlindungan. Direktorat Perlindungan dan Pemberdayaan TKLN
menyatakan bahwa sampai akhir Desember 2002 jumlah TKI pulang dari
berbagai negara karena bermasalah mencapai 36.140. orang. Angka ini belum
termasuk pemulangan paksa migran ilegal oleh pemerintah Malaysia pada
tahun 2002 yang jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. Demikian
banyaknya migran pekerja Indonesia yang dipulangkan dengan beragam kasus
perlakuan yang diterima mereka di Malaysia, sempat menjadikan hubungan
kedua negara agak terganggu.
Potensi mobilitas penduduk dalam konteks studi ini diartikan sebagai
cara atau bentuk perpindahan penduduk untuk mencari pekerjaan dengan
memanfaatkan fasilitas peluang kerja di luar negeri. Sementara yang
dimaksudkan dengan fasilitas peluang kerja di luar negeri adalah semua
kebijakan atau peraturan serta kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh
Pemerintah. Untuk mendapatkan fasilitas peluang kerja di luar negeri, pencari
kerja tidak saja dapat memperolehnya melalui pemerintah tetapi juga ada yang
diberikan oleh pihak non pemerintah atau calo/tekong namun ini disebut
sebagai ilegal.
Kendala Sosial dan Budaya
Kondisi kehidupan para pekerja migran seringkali tidak memuaskan.
Pendapatan rendah, harga sewa rumah tinggi, kurangnya perumahan, besarnya
jumlah keluarga pekerja migran, dan prasangka penduduk setempat terhadap
unsur-unsur asing dalam masyarakat, merupakan gabungan dari faktor utama
penyebab masalah akomodasi yang serius.
Walaupun pekerja migran memberi sumbangan pada skema jaminan
sosial, mereka dan keluarganya tidak selalu menikmati keuntungan dan akses
yang sama atas jaminan sosial dengan warga negara tuan rumah.
Dalam banyak kasus, para pekerja migran meninggalkan keluarga
mereka di Negara asalnya. Hidup dalam kesendirian merupakan kendala
106
dalam mengembangkan hubungan yang normal dalam komunitas di mana
migran tersebut hidup, dan mempengaruhi kesejahteraannya. Hal ini
merupakan salah satu isu yang ditangani berbagai instrumen hukum
internasional yang diacu dalam Lembar Fakta ini, dan yang menyerukan agar
Negara-negara memfasilitasi penyatuan kembali keluarga pekerja migran.
Integrasi pekerja migran dan keluarganya dalam suatu lingkungan
sosial di Negara yang menerima mereka tanpa kehilangan identitas budaya,
adalah masalah lain yang selalu menjadi topik dalam perdebatan internasional.
Sering dikatakan bahwa anak-anak pekerja migran yang belajar dalam bahasa
lain dan mencoba untuk beradaptasi dengan kebiasaan yang baru tidak dapat
diharapkan untuk menunjukkan prestasi yang sama dengan teman-teman
sekolahnya, kecuali apabila diambil tindakan khusus untuk mengatasi
kesulitan mereka. Faktor resistensi dari pihak orang tua penduduk setempat
yang takut bahwa keseluruhan standar pendidikan akan menurun dengan
masuknya anak-anak pekerja migran, telah menjadi masalah sensitif di
beberapa Negara.
Mobilitas Tenaga Kerja Indonesia
Sejak
Repelita
II
dan
seirng
dengan
meningkatnya
isu
globalisasi,mobilitas penduduk ke luar negri mulai mendapat perhatian dari
Pemerintah. Pada saat ini fenomena migrasi internasional menjadi penting
dalam
konteks
hubungan
dengan
negara-negara
tetangga
seperti
Malaysia,Philipina,Australia dan lainnya. Indonesia mulai mengirim tenaga
kerja ke Malaysia,Arab Saudi dan bahkan beberapa negara Eropa. Pengiriman
tenaga kerja ini dapat dipandang sebagai mobilitas penduduk non permanen.
Sampai Repelita ke VI migrasi terbesar adalah menuju Malaysia (48%)
dan Saudi Arabia (33%) selebihnya ke berbagai negara lain di Asia dan Eropa.
Mereka yang bermigrasi ke Malaysia lebih dari dua pertiganya adalah laki-laki
dan yang ke Saudi Arabia didominasi oleh perempuan.Sebelumnya cenderung
menuju ke negara maju atau negara di luar asia terutama Amerika
Serikat,negara-negara Eropa dan Australia,kemudian berubah menuju Asia.
107
Mobilitas penduduk ke luar negri diperkirakan akan terus meningkat.
Perkiraan ini didasarkan kepada semakin kompleksnya masalah kependudukan
di Indonesia terutama berkaitan dengan ketenagakerjaan. Pertumbuhan
angkatan kerja yang tinggi membutuhkan kesempatan kerja yang cukup
banyak. Pada tahun 1990 jumlah angkat kerja sebesar 94,84 juta orang, tahun
2000 menjadi 95,65 juta dan tahun 2001 meningkat lagi menjadi 98,81 juta.
Sebelum krisis upaya untuk penciptaan lapangan kerja terus dilakukan oleh
pemerintah, antara lain melalui pembangunan industri-industri baru dan
pengembangan agribisnis, namun tetap belum mampu menampung jumlah
angkatan kerja yang semakin menumpuk. Kondisi ini semakin parah ketika
Indonesia mengalami krisis ekonomi yang mengakibatkan banyak terjadi
kasus PHK, sehingga tingginya angka pengangguran.
Salah satu jalan yang ditempuh Pemerintah untuk mengatasi jumlah
pengangguran tersebut adalah dengan mencari peluang kerja di luar negeri.
Pada tahun 1975 pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri resmi
diprogramkan oleh Pemerintah.Apabila dibandingkan dengan negara-negara
Asia lainnya seperti Thailand, Philipina, Malaysia, dan Korea Selatan, maka
Indonesia terlambat memulai program ini sehingga jumlah tenaga kerja yang
berhasil dikirim ke luar negeri lebih sedikit dibandingkan negara-negara lain.
Jumlah pengiriman TKI pada Pelita I dan Pelita II relatif masih sedikit
masing-masing sebanyak 5.624 orang dan 17.042 orang. Dari 19 negara yang
menjadi tujuan TKI, 32 % dari mereka memilih Belanda. Tetapi memasuki
Pelita III mulai ada perubahan arah migrasi internasional, pekerja Indonesia
menuju ke Timur Tengah terutama Arab Saudi.
Pada Pelita III jumlah tenaga kerja melonjak menjadi 96.410 orang dan
sebagian besar (64 %) bekerja di Arab Saudi. Karakteristik tenaga kerja yang
bekerja di Arab Saudi umumnya didominasi oleh pekerja perempuan sebagai
penata laksana rumah tangga (pembantu rumah tangga). Sedangkan tenaga
kerja yang bekerja di Asia Pasifik terutama Malaysia umumnya bekerja di
sektor perkebunan dan konstruksi karena itu mayoritas tenaga kerjanya adalah
108
laki-laki. Pada Pelita IV jumlah TKI meningkat lagi menjadi 292.262 orang
dan Pelita V mencapai 652.275 orang.
Tiap individu mempunyai beberapa kebutuhan berupa kebutuhan
ekonomi,sosial,budaya dan psikologis.Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut
tidak dapat terpenuhi di daerah tempat tinggalnya,dapat menimbulkan tekanan
yang mendorong timbulnya keinginan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di
tempat lain.Besar kecilnya tekanan yang dialami berbanding terbalik dengan
pemenuhan kebutuhan.Teori kebutuhan dan tekanan(need and stress)ini
merupakan salah satu teori yang mengungkapkan mengapa seseorang
melakukan mobilitas.Seseorang yang mengalami stress di luar batas tolerensi
akan pindah dari tempat yang mempunyai nilai kefaedahan lebih tinggi
(Mantra,1999). Dengan demikian dapat pula dikatakan pindahnya seseorang
karena adanya faktor pendorong di daerah asalnya dan faktor penarik di
daerah tujuan.
Dalam kaitannya dengan studi ini,migran tenaga kerja Indonesia yang
bekerja di luar negri merupakan pembenaran dari teori tersebut.Kondisi
pembangunan ekonomi untuk menciptakan kesempatan kerjadi Tanah Air
sangat terbatas,sementara jumlah angkatan kerja yang mencari pekerjaan
semakin meningkat. Fenomena inilah yang mendorong orang untuk
memanfaatkan kesempatan kerja yang tersedia di luar negri apabila tingkat
upah di luar negri relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.Sebagai
gambaran menurut Hugo (1993) perbedaan beberapa daerah di Indonesia per
hari berkisar antara 300 sampai 1000 persen.
Dalam kajian migrasi internasional permasalahan sering hanya
terfokus pada kaitan antara besarnya ketersediaan tenaga kerja dan peluang
kerja di luar negri. Dengan kata lain,orang pergi migrasi keluar negri terbatas
sebagai respons terhadap stimulus yang ada. Pandangan ini tidak keliru,tetapi
dapat menjebaknya dalam cognitive drones. Disini manusia tidak dipandang
sebagai mahluk yang memiliki latar belakang sosial dan budaya serta tidak
hidup dalam konteks waktu dan temapat tertentu. Migran kurang diperhatikan
sebagai individu dan anggota kelompok sosial. Akibatnya,migran sering harus
109
menanggung beban dan menjadi korban atas proses itu meskipun mereka juga
menikmati hasilnya.
Arah Kebijakan Mobilitas Penduduk.
Dalam perspektif ketransmigrasian yang menjadi kewenangan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mobilitas pendudukdiatur dalam
UU nomor 15 tahun 1997 yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan
sekaligus mempercepat proses integrasi dan akulturasi masyarakat sebagai
prasyarat
terwujudnya
pemahaman
tersebut,
persatuan
maka
dan
kesatuan
mobilitas
bangsa.
penduduk
Berdasarkan
dalam
persepsi
ketransmigrasian dibatasi pada pengertian mobilitas penduduk secara
permanen yaitu perpindahan penduduk untuk menetap dan meningkatkan
kesejahteraan di Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi
Permukiman Transmigrasi (LPT).
Pengertian mobilitas penduduk dalam perspektif ketransmigrasian
mengalami perluasan "makna" ketika menghadapi perubahan lingkungan
strategis sebagai kondisi objektif yang harus diterima, yakni globalisasi.
Jangkauan gerak keruangan penduduk menjadi semakin luas, sebagai akibat
dari meningkatnya peluang kerja dan permintaan tenaga kerja antar negara.
Secara spontan penduduk akan bergerak menuju negara-negara kaya yang
membutuhkan tenaga kerja. Fenomena ini mau tidak mau menuntut setiap
negara mampu mendorong penduduknya untuk memanfaatkan peluang kerja
secara kompetitif, dan meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi dengan
sosio-kultur di negara tujuan.
Pada dasarnya mobilitas penduduk adalah perpindahan manusia
menuju ke tempat yang lebih menguntungkan secara ekonomis. Tekanan atau
kebutuhan ekonomi yang berat yang dialami di suatu tempat akan
mengantarkan orang berpindah ketempat yang akan memberi kepuasan.
Namun, ada fenomena yang sangat menarik mengenai motif ekonomi ini
apabila dikaitkan dengan realitas bahwa tidak semua orang yang secara
ekonomis dikategorikan lemah melakukan migrasi. Orang yang berasal dari
110
kategori sosial yang sama dan memiliki kebutuhan yang sama serta
mempunyai kesempatan dan menghadapi rintangan yang relatif sama untuk
bermigrasi, tidak selalu memutuskan untuk pergi.
Logikanya, suatu daerah yang tidak menjanjikan kesempatan ekonomi
yang lebih baik akan merupakan daerah penyuplai migran terbesar (Anna
Marie Wattie,2002). Perspektif kebijakan dalam migrasi internasional telah
menjadi wacana yang penting dewasa ini seiring dengan semakin
meningkatnya globalisme dan kepentingan ekonomi politik antar negara.
Diperkirakan akan terjadi suatu kondisi yang dinamakan globalization of
migration, suatu kondisi dimana kebijakan di bidang migrasi internasional
akan menjadi isu strategis bagi setiap negara sejalan dengan peningkatan arus
dan volume tenaga kerja lintas negara. Jadi, kemunculan migrasi tenaga kerja,
termasuk migrasi ilegal sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya
kondisi tersebut. Migrasi ilegal merupakan dampak samping dari adanya
globalisasi migrasi, dan tidak semata-mata muncul atas dasar asumsi adanya
black market atau supplay-demand, tetapi andil pemerintah melalui setiap
kebijakannya juga merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan.
Migrasi Internasional telah menjadi masalah dan kepentingan public
(public interest) di Indonesia seiring dengan semakin besarnya magnitude
permasalahan yang ditimbulkanya. Dimensi persoalan migrasi internasional
tidak hanya menyangkut aspek ekonomi berupa devisa, melainkan juga pada
aspek politik, sosial, kultural dan psykologis. Aspek politik misalnya sangat
berkaitan dengan kebijakan politik suatu negara dalam penanganan migran
seperti kebijakan Pemerintah Malaysia yang melakukan deportasi terhadap
para pekerja gelap asal Indonesia. Kebijakan ini sangat sensitive secara politik
karena menyangkut hubungan bilateral kedua pemerintah bahkan dapat
menyulut sentimen nasionalisme dan harga diri sebagai suatu bangsa.
Kebijakan Penempatan Tenaga Kerja ke Luar Negeri
Perpindahan tenaga kerja Indonesia ke negara lain merupakan gejala
sosial global yang muncul pada dekade tahun tujuh puluhan. Akibat berbagai
111
faktor pendorong dan alasan, perpindahan migran pekerja antar negara dari
waktu ke waktu jumlahnya semakin besar. Tidak ada satupun negara atau
pemerintahan di dunia yang mampu menghentikan atau menghambat
perpindahan tenaga kerja. Berdasarkan pasal 23 The Universal Declaration of
Human Right, kebebasan pindah dan memilih pekerjaan dijamin sebagai hak
setiap orang. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pekerjaan, memilih pekerjaan, menikmati kondisi kerja yang baik serta
perlindungan atas ancaman pengangguran.
Perpindahan pekerja antar negara saat ini semakin dipermudah dengan
adanya kemajuan teknologi informasi dan transportasi. Di Indonesia
perpindahan tenaga kerja ke luar negeri dikenal sejak tahun 1887 dengan
dikeluarkannya Ordonansi tanggal 9 Januari 1887. Pengaturan lebih lanjut
yang muncul belakangan adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
KEP.104 A/MEN/2002 tanggal 4 Juni 2002 tentang Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri.
Berkaitan dengan kebijakan penempatan tenaga kerja di luar negeri,
Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 2002
telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 88 mengenai Lembaga Pelayanan
Penempatan Tenaga Kerja. Dalam hal ini pemerintah diwajibkan mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk mempermudah setiap perpindahan tenaga
kerja dari suatu negara ke negara lain yang mungkin telah disetujui pemerintah
negara terkait.
CONTOH Beberapa kasus yang melibatkan TKI:
Ceriyati
Ceriyati adalah seorang TKW di malaysia yang mencoba kabur dari
apartemen majikannya. Ceriyati berusaha turun dari lantai 15 apartemen
majikannya karena tidak tahan terhadap siksaan yang dilakukan kepadanya.
Dalam usahanya untuk turun Ceriyati menggunakan tali yang dibuatnya
sendiri dari rangkaian kain. Usahanya untuk turun kurang berhasil karena dia
berhenti pada lantai 6 dan akhirnya harus ditolong petugas Pemadam
112
Kebakaran setempat. Tetapi kisahnya dan juga gambarnya (terjebak di lantai 6
gedung bertingkat) menjadi headline surat kabar Indonesia serta Malaysia, dan
segera menyadarkan pemerintah kedua negara adanya pengaturan yang salah
dalam pengelolaan TKI.
Pungutan Liar di KBRI/KJRI Malaysia
Para warga negara Indonesia yang ingin memperoleh pelayanan
keimigrasian dimana kebanyakan dari mereka adalah TKI yang bekerja di
Malaysia, dibebani tarif pungutan liar. Modusnya adalah terbitnya SK/Surat
Keputusan ganda, untuk SK pungutan tinggi ditunjukan sewaktu memungut
biaya, sedangkan SK pungutan rendah digunakan sewaktu menyetor uang
pungutan kepada negara. Pungli ini berawal dari PPATK yang mencium aliran
dana tidak wajar dari para pegawai negeri di Konjen Penang pada Oktober
2005, dikemudian hari terungkap, pungutan serupa juga terjadi di KBRI Kuala
Lumpur.
Pemotongan Gaji Ilegal
Hampir semua TKI atau buruh migran Indonesia mengalami potongan
gaji secara ilegal. Potongan ini disebutkan sebagai biaya penempatan dan "bea
jasa" yang diklaim oleh PJTKI dari para TKI yang dikirimkannya. Besarnya
potongan bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai tujuh, bahkan ada yang
sampai sembilan bulan gaji. Tidak sedikit TKI yang terpaksa menyerahkan
seluruh gajinya dan harus bekerja tanpa gaji selama berbulan-bulan. Praktik
ini memunculkan kesan bahwa TKI adalah bentuk perbudakan yang paling
aktual di Indonesia.
Langkah-langkah strategis dan konseptual dalam menangani masalah
TKI
Pertama, perlu dibentuk Badan Penempatan TKI di Luar Negeri
(Indonesia Foreign Employment Board) yang keanggotaannya terdiri atas
Ketua: Presiden RI/Wakil Presiden RI; Wakil Ketua: Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat; Pelaksana Harian: Menteri Tenaga Kerja dan
113
Transmigrasi (Mennakertrans); Anggota-anggota: Menteri-menteri terkait. a.
Menteri Luar Negeri; b. Menteri Kehakiman dan HAM, dan lain-lain. Badan
ini harus merumuskan kebijakan, termasuk masalah perekrutan, training,
penempatan, pengawasan, dan lainnya.
Ketua harus dipimpin langsung presiden/wakil presiden guna
memudahkan koordinasi dan undangan kepada menteri-menteri terkait.
Pengalaman menunjukkan, rapat-rapat koordinasi tentang TKI kurang berjalan
optimal, karena bila Mennakertrans yang mengundang sebagai ketua, para
menteri terkait biasanya tidak datang, tetapi mewakilkannya kepada orang
kedua/ketiga. Akibatnya, tidak dapat diambil keputusan optimal. Dalam badan
itu seyogianya juga didudukkan wakil dari unsur pengusaha, buruh, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), dan pakar yang dianggap perlu.
Kedua, dalam rangka memberi perlindungan bagi TKI di luar negeri,
perlu dibuat nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan
pemerintah negara penerima TKI.
Ketiga, setiap pengiriman dan penempatan TKI harus dibuat kontrak
kerja (kesepakatan kerja bersama), baik secara perseorangan maupun kolektif,
yang dilakukan perusahaan pengirim TKI dengan perusahaan penerima TKI,
dan dilaporkan kepada Mennakertrans serta Kedutaan Besar RI/perwakilan
Indonesia di negara yang bersangkutan.
Keempat, di negara di mana TKI ditempatkan agar diadakan Atase
Perburuhan untuk ikut membantu mengawasi dan mengatasi aneka masalah
TKI di luar negeri sesuai dengan kebutuhan.
Kelima, tiap TKI wajib diasuransikan sehingga bila terjadi
kecelakaan/kematian, biaya menjadi tanggungan asuransi itu.
114
Keenam, pendidikan/training untuk meningkatkan kualitas TKI dan
perlu spesialisasi mengenai pekerjaan-pekerjaan yang akan ditangani di luar
negeri.
Ketujuh,
diperlukan
undang-undang
yang
mengatur
masalah
penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Kedelapan, perlu adanya National and Regional Man Power Planning
Policy (Kebijaksanaan Perencanaan Ketenagakerjaan Nasional dan Daerah) di
mana masalah TKI ke luar negeri merupakan bagian dari perencanaan
tersebut.
Kesembilan, seyogianya Pemerintah RI segera meratifikasi Konvensi
ILO tentang Migrant Workers (Pekerja Migran) yang di dalam konvensi itu
antara lain ada ketentuan, tiap tenaga kerja migran harus diperlakukan sama
(jam kerja, upah, cuti, dan lain-lain) dengan pekerja asli negara penerima.
Dengan demikian, bila ada masalah TKI di luar negeri, Pemerintah RI bisa
meminta ILO membantu menyelesaikannya.
Kesepuluh, perlu dibentuk Tim Asistensi Hukum Nasional yang selalu
standby sehingga tiap saat dapat dikirim ke luar negeri untuk memberi bantuan
hukum kepada TKI yang sedang menghadapi masalah di luar negeri.
Kesebelas, aneka pungutan liar (KKN) yang membebani TKI sejak
persiapan keberangkatan ke luar negeri sampai pulang ke kampung
halamannya harus betul-betul diberantas.
Kedua
belas,
tiap
TKI
diwajibkan
mengirimkan
sebagian
penghasilannya (dalam persentasi tertentu) kepada keluarga/sanak saudaranya
yang ditunjuk. Mereka yang paling banyak dapat menabung upahnya di luar
negeri dan dikirim ke Indonesia diberi insentif berupa hibah rumah sangat
sederhana atau rumah sederhana (RSS/RS), misalnya bagi 10 pengirim
115
terbanyak, dalam rangka mendidik mereka agar gemar menabung dan
dijadikan modal bila mereka pulang ke Indonesia.
D. Latihan
1.Perlindungan social apakah yang cocok bagi TKI
2. Solusi apakah yang paling tepat untuk mengatasi permasalahan TKI di luar
negeri seperti TKI ilegal, penindasan hak-hak TKI, dsb.
116
No. Modul
: 12
Pertemuan
: 13
Pokok Bahasan
:
Case Study : Perencanaan Sosial dalam Perencanaan
Proyek - FREEPORT ; SEJARAH YANG BERMASALAH
A. Kata Kunci
1. Perencanaan Sosial
2. Dampak pembangunan proyek terhadap kehidupan social masyarakat.
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Apa yang akan terjadi jika perencanaan proyek tidak diimbangi dengan
perencanaan social?
C. Materi
Jenis pertambangan skala besar yang sangat riskan merupakan suatu
contoh nyata proyek pembangunan ekonomi yang mempunyai implikasi social
yang serius. Perebutan tanah dan hak atas sumberdaya alam merupakan aspek
kunci dalam konflik di daerah pertambangan. Hal inilah yang memerlukan
perencanaan social sebelum dilakukan proyek. Studi kasus perencanaan social
dalam perencanaan proyek dapat diterapkan pada kasus tambang di Freeport
Papua yang hingga saat ini belum terlihat titik terang.
Tambang tembaga dan emas milik Freeport sudah lama menjadi salah
satu proyek sumberdaya alam yang paling sarat kontroversi di Indonesia.
Kontroversi tersebut timbul dari kaitan erat antara perusahaan tersebut dengan
militer maupun kalangan elit dari zaman Soeharto, serta hubungannya yang
sangat bermasalah dengan penduduk Papua, yang baru akhir-akhir ini
menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Freeport dimotivasi oleh sikap yang lazim di
industri pertambangan dunia saat itu, tidak menciptakan seluruh permasalahan
sekitar tambang itu, dan sejak pertengahan 1990an telah berupaya menghapuskan
riwayatnya yang bermasalah. Perusahaan tersebut telah membayar lebih dari satu
milyar dolar AS dalam bentuk pajak dan royalty kepada Indonesia, dan
menciptakan ekonomi setempat yang menopang ribuan penduduk. Namun
demikian, sejarah tambang itu bagi sejumlah pengamat masih merupakan studi
117
kasus tentang bagaimana cara tidak berhadapan dengan masyarakat setempat
maupun dengan aparat keamanan.
Freeport Sulphur, kemudian menjadi Freeport McMoRan, sebuah
perusahaan AS, mulai melakukan kegiatan eksplorasi di Papua bagian selatan
pada tahun 1960. Perusahaan tersebut menandatangani kontrak produksi dengan
Indonesia pada tahun 1966, tiga tahun sebelum diberlakukannya kekuasaan
Indonesia atas Papua. Soeharto bersama resimnya yang didukung militer sangat
mebutuhkan modal asing, dan Freeport diberi keleluasaan besar dalam menyusun
ketentutuanketentuan dari investasinya sendiri. Tambang tersebut dikelola oleh
anak perusahaan bernama Freeport Indonesia, yang dikendalikan oleh Freeport
McMoRan.
Ketika itu hanya beberapa ratus penduduk menghuni daerah itu, menurut
penuturan Freeport. Wilayah sekitar tambang dimanfaatkan oleh penduduk
Amungme untuk berburu dan hal-hal sakral, meski ada sebuah desa yang
dikemudian hari menjadi kota perusahaan dengan nama Tembagapura. Penduduk
setempat tidak bisa dikatakan telah memberi persetujuannya dengan penuh
kesadaran, karena tidak mungkin mereka memahami betapa besar dampak yang
bakal ditimbulkan terhadap wilayah mereka. Menurut sebuah penuturan, hingga
tahun 1995 mereka tidak menyadari bahwa menurut catatan pemerintah, mereka
telah menyerahkan lahan seluas satu juta hektar bagi pengembangan.
Sejalan dengan dimulainya penambangan Ertsberg pada awal 1970an,
ketegangan dengan masyarakat setempat kian tumbuh. Sesuai kepercayaan
setempat, penduduk Amungme mengharapkan Freeport berbagi kekayaan mereka
berupa barang-barang yang dimilikinya, mulai dari helikopter hingga ke jas hujan.
Diantara warga timbul kekesalan karena merasa tanahnya telah dirampas, selain
itu Freeport cenderung menggunakan pekerja terampil dari luar daerah itu, yang
berarti tidak banyak peluang pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Freeport membenarkan kegiatannya atas dasar kontraknya dan hukum
Indonesia. Tidak ada perlindungan terhadap perlakuan atas lingkungan atau
masyarakat setempat, dan makna spiritual wilayah tersebut bagi suku Amungme
pun tidak dihargai. Ada tudingan bahwa penduduk dipaksa pindah dari rumahnya,
meski menurut Freeport pihaknya tidak pernah mendukung relokasi secara paksa.
118
UU hanya mengakui hak adat atas tanah yang digarap, dan oleh karenanya lahanlahan luas yang digunakan untuk berburu atau tidak ditanami tidak
dipertimbangkan untuk ganti rugi. Jikapun ada ganti rugi, jumlahnya ditetapkan
oleh pejabat pemerintah.
Setelah masyarakat setempat melancarkan protes, pada 1974 Freeport
sepakat untuk membangun sekolah, klinik, perumahan dan sarana bangunan
lainnya. Yang terbesar berukuran 20 kaki kali 30 kaki. Sebagai imbalan,
masyarakat setempat tidak mendatangi lokasi tambang, kota perusahaan
Tembagapura, lapangan udara di Timika, serta pelabuhan Amamapare. Pada
tahun 1975, ahli geologi asal Australia Robert Mitton menggambarkan pandangan
Freeport terhadap masyarakat setempat, “Jika kami tidak menghiraukan mereka,
mungkin mereka akan pergi”.Yang terjadi justeru sebaliknya. Harapan terbukanya
lapangan pekerjaan menarik begitu banyak pendatang sehingga jumlah penduduk
di daerah tersebut meningkat menjadi kurang lebi90.000 jiwa.
Sejak 1960an, ada perlawanan disana-sini terhadap pemerintahan
Indonesia di Papua, dan tindakan pembalasan oleh pihak militer. Pada Juni 1977,
seorang penerbang warga asing menyaksikan pesawat udara Indonesia
menembaki desa-desa dekat Timika. Warga desa dan gerilya OPM memutus jalur
pipa dari tambang, merusak jalur distribusi listrik serta membakar sebuah tangki
minyak. Pasukan Indonesia pun membalas dengan membunuh atau menganiaya
sejumlah besar penduduk.Tindakan brutal dipihak aparat militer menjadi masalah
yang terus berjalan.
Pada tahun 1988, gunung Grasberg yang letaknya bersebelahan dengan
tambang yang ada ternyata ditemukan mengandung cadangan mineral yang
sangat besar. Grasberg mengubah Freeport menjadi salah satu penghasil tembaga
dan emas yang terbesar di dunia, dan mendongkrak pentingnya Papua bagi
Indonesia. Kritik terhadap praktek-praktek lingkungan perusahaan mulai
meningkat, khususnya mengenai dampak limbah tambang terhadap sungai-sungai
dan penduduk yang menghuni daerah disekitar sungai tersebut. Setelah sebuah
pemberontakan memaksa ditutupnya tambang tembaga Bougainville di negara
tetangga Papua Niugini, para pejabat Freeport meningkatkan program-program
119
sosial dan mulai bersikap lebih terbuka untuk mengakui kesalahan-kesalahannya
di masa lalu.
Kekayaan yang diciptakan oleh Freeport menarik perhatian kalangan
dekat Soeharto, dan hubungan antara perusahaan dan resim itu pun mulai lebih
menguntungkan resim. Pada tahun 1990an Freeport menjual saham pada
tambangnya berikut asset lain, dari pembangkit listrik hingga perumahan dan jasa
boga, kepada sekutu bisnis Soeharto. Biasanya pada penjualan semacam itu
perusahaan diharuskan menjamin agar pembeli memperoleh keuntungan besar,
bahkan menyediakan jaminan pinjaman yang digunakan untuk membayar
pembelian itu. Hingga saat ini tuduhan korupsi masih belum terbukti, dan
Freeport bersikeras bahwa seluruh transaksi tersebut dilakukan secara sah. Sudah
barang tentu transaksi tersebut sangat mahal bagi perusahaan induk, yang antara
1991 dan 1997 memberi jaminan untuk pinjaman sebesar sekitar AS$673 juta
kepada kepentingan-kepentingan yang terkait dengan Soeharto.
Pada bulan Maret 2002, Freeport McMoRan Copper & Gold
mengeluarkan jumlah sebesar AS $253.4 juta untuk menutup salah satu pinjaman
tersebut setelah peminjamnya mangkir. Dengan cara itu pengusaha membeli
kembali saham dalam Freeport Indonesia yang pada awalnya dibeli dengan
menggunakan pinjaman itu. Hingga awal 1990an, sikap Jakarta yang lebih banyak
mengabaikan kesejahteraan Papua memaksa Freeport dalam banyak hal menjadi
pemerintahan setempat secara de facto.
Menurut perusahaan, sejak 1990 telah dibelanjakannya jumlah sebesar
AS$180 juta untuk membiayai program-program sosial seperti pembangunan
jalan, perumahan, sarana kesehatan, pelatihan keterampilan, serta upaya
memberantas malaria. Pengkritik setempat bersikeras bahwa beberapa manfaat
tersebut, seperti jalan, sesungguhnya memenuhi kebutuhan perusahaan sendiri. Di
Timika pun dibangun hotel Sheraton untuk melayani Freeport dan tamutamunya.
Pertumbuhan tersebut tidak terencana maupun diimbangi dengan peningkatan
terhadap kemampuan pemerintahan setempat. Penduduk setempat membandingbandingkan gaya hidup karyawan perusahaan tersebut yang mewah dengan
kemiskinan dan perasaan telah dipinggirkan yang mereka alami.
120
Pada Oktober 1994 tindakan kekerasan mulai meningkat disekitar Timika
dengan penembakan terhadap seorang karyawan Freeport asal Papua, mungkin
oleh gerilya atau tentara. Freeport meminta bantuan, dan AD pun mengirim
pasukan tambahan. Hingga Mei 1995, sejumlah 37 warga Papua telah dibunuh
oleh pasukan atau menghilang. Sebuah laporan yang dikeluarkan Gereja Katolik
menemukan bukti terjadinya eksekusi, penganiayaan dan pelanggaran lainnya
oleh AD.
Tudingan serupa dilontarkan oleh Australian Council for Overseas Aid.
Pembunuhanpembunuhan tersebut menarik perhatian kalangan internasional
terhadap hubungan dekat Freeport dengan militer. Freeport menyampaikan
penyesalannya atas tindakan oknum tentara, seraya mencatat bahwa Gereja
Katolik maupun Komnas Ham “tidak menemukan bukti terjadi pelanggaran” oleh
perusahaan maupun petugas keamanannya, yang
dituduh mengambil bagian dalam berbagai pelanggaran tersebut.
Dikemudian hari seorang anggota Komnas HAM mengungkapkan bahwa
lembaga itu tidak menyelidiki peranan Freeport secara seksama. Namun Komisi
tersbut menyerukan agar dilakukan pengaturan keamanan yang lebih transparan
dan menegaskan Freeport mempunyai “kewajiban moral” untuk memenuhi
aspirasi penduduk setempat.
Perusahaan kemudian mulai mengadakan negosiasi bagi program
pembangunan 10 tahun yang ditujukan bagi masyarakat setempat. Ketika hal ini
tengah difinalisasi, kerusuhan pecah pada bulan Maret 1996. Sarana perusahaan
dirusakkan, dan setidaknya empat orang tewas. Ada dugaan yang dapat dipercaya
bahwa demonstrasi damai yang diselenggarakan LSM terhadap Freeport di bajak
oleh aparat militer, yang mengubah demonstrasi menjadi kerusuhan dengan
maksud memeras uang dari perusahaan.
Freeport diminta membayar AS$100 juta untuk menyediakan garnisun
yang lebih besar. Konon perusahaan setuju membayar jumlah sebesar AS$35 juta,
dan selanjutnya AS$11 juta setiap tahunnya. Besar jumlah biaya-biaya militer
pada saat ini tidak begitu jelas. Freeport menolak menjawab pertanyaan ICG
mengenai masalah itu. Program sepuluh tahun tersebut didanai dengan
sumbangan sebesar satu persen dari pendapatan tahunan Freeport, yang saat itu
121
kurang lebih sama dengan pengeluarannya. Permulaan dari Dana Satu Persen
tersebut terselubung kontroversi, dimana sejumlah besar penduduk setempat
mengaku jumlah tersebut kurang memadai, dan beberapa penduduk lainnya
menuduh perusahaan dan aparat militer berusaha mengadu domba warga.
LEMASA, organisasi yang dibentuk untuk mewakili suku Amungme,
menolak tawaran tersebut.Pemimpinnya, Tom Beanal, mengajukan tuntutan
senilai AS$6 milyar terhadap Freeport di negara bagian asal perusahaan itu di AS,
yaitu Louisiana. Oleh pengadilan bersangkutan, tuntutan yang menuduh
perusahaan telah merampas tanah sakral, mencemari air dan terlibat dalam
pelanggaranpelanggaran
oleh
aparat
militer,
pada
akhirnya
dibatalkan,
sebagaimana pula tuntutan serupa yang diajukan Yosepha Alomang, seorang
aktivis Amungme lainnya.
Jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 membuka Freeport terhadap serangan
dari pihak reformasi Indonesia, aktivis lingkungan hidup dan politisi yang hendak
meninjau kembali ketentuan-ketentuan kontraknya dengan pemerintah. Sebagian
tekanan tersebut berprinsip, namun ada juga yang oportunis. Freeport beruntung
memperoleh dukungan kuat dari pemerintah AS, yang pejabatnya di Jakarta kerap
membela perusahaan tersebut dengan gigih. Freeport McMoRan sudah lama
menjalin hubungan erat dengan lingkungan politik AS, dan anggota dewan
komisarisnya termasuk Henry Kissinger dan J. Stapleton Roy, dutabesar AS di
Indonesia dari 1995 hingga 1999.
Keinginan untuk melindungi tambang Freeport tetap membentuk
kebijakan AS terhadap Papua. Sejak 1996 salah satu pokok permasalahan adalah
pembagian dana Freeport diantara penduduk setempat. Pembayaran uang tersebut
disertai dengan peningkatan ketegangan didalam masyarakat setempat. Benturan
antara suku Amungme dan suku Dani berujung dengan sebelas orang tewas pada
paruh pertama 1997, demikian penuturan LEMASA.
Benturan dengan pasukan disekitar Timika pada Agustus 1997 setidaknya
menimbulkan lima warga Papua tewas dan beberapa anggota pasukan terluka.
Mekanisme untuk mengelola Dana Satu Persen mengalami kegagalan tidak lama
setelah dibentuk, sebagian karena korupsi dan salah pengelolaan oleh pejabat
setempat. Menurut Beanal maupun pihak lain, warga setempat tidak mampu
122
mengelola dana dengan bijak, dan akibatnya terjadi peningkatan masalah sosial
seperti mabuk-mabukan. Namun ada juga manfaat positif yang diperoleh dari
dana tersebut, seperti penyediaan pelayanan pengobatan tanpa biaya di Timika.
Setelah kegagalan struktur pertama yang dibentuk untuk mengelola dana
tersebut, sebuah struktur baru didirikan di tahun 1998 untuk membagikan manfaat
diantara tujuh suku besar Papua disekitar Timika. Hal ini kini tengah ditinjau
kembali agar memberi suara dominan bagi suku Amungme dan Kamoro, yang
merupakan penghuni asli wilayah tersebut. Ada kekhawatiran bahwa hal ini bisa
menyebabkan ketegangan dengan kelima suku lainnya yang tidak bersedia
melepaskan kendali atas dana tersebut.
Menurut Freeport, pihaknya hingga 2001 telah membayarkan sumbangan
sejumlah AS$92 juta kedalam dana tersebut, bersama mitranya pada tambang,
yaitu perusahaan multinasional Rio Tinto. Dana tersebut digunakan untuk
berbagai proyek pengembangan, yang oleh Freeport dipaparkan sebagai bukti dari
itikadnya yang baik. Namun penduduk setempat menganggap Dana Satu Persen
tersebut sebagai ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan tambang, bukan
sebagai pemberian, dan berpandangan proyek-proyek tersebut adalah milik
mereka.
Pada tahun 2000 dan 2001 Freeport menandatangani kesepakatan dengan
suku Amungme dan Kamoro yang mencakup serangkaian proyek ekonomi dan
sosial. Freeport setuju membayarkan AS$500.000 setiap tahunnya, berlaku surut
sejak 1996, kedalam sebuah dana perwalian bagi kedua suku tersebut, dimana
sebagian dana akan digunakan untuk membeli saham dalam perusahaan. Tom
Beanal diangkat menjadi komisaris Freeport Indonesia. Hal ini sempat
menimbulkan protes diantara warga Amungme. Beanal mengaku ia tidak banyak
mengetahui bagaimana perusahaan sesungguhnya dijalankan, sehingga me
mpersulit upaya untuk meredam kekhawatiran diantara warga Amungme bahwa
Freeport tidak bersikap terbuka terhadap mereka. Tampaknya suku Amungme
lebih berhasil ketimbang suku Kamoro dalam memajukan kepentingan mereka,
kendati Beanal kini memberi perhatian sama terhadap permasalahan Papua yang
lebih luas seperti terhadap permasalahan setempat, dan melihat Freeport sebagai
sumber dana bagi Presidium. Menurutnya, jika kepentingan suku Amungme tidak
123
sesuai dengan kepentingan warga Papua secara keseluruhan, maka warga
Amungmelah yang harus mengalah.
Kendati masih ada saling curiga mencurigai, saat ini ada keterbukaan
lebih lebar bagi dialog antara Freeport dan masyarakat Papua setempat115 Namun
demikian, sejarah Freeport yang mengabaikan kekhawatiran warga setempat telah
menimbulkan kegetiran yang sangat mendalam sehingga bahkan hasil-hasil yang
positif yang telah dicapainya masih dipandang sebelah mata di Timika. Banyak
penduduk setempat masih merasa ganti rugi yang diterimanya atas gangguan yang
ditimbulkan tambang terhadap kehidupan mereka terlalu kecil.
Terkadang Freeport menangani permasalahan dengan cara yang seolaholah lamban atau semena-mena. Kejujuran dari beberapa pernyataannya pun
dipertanyakan oleh pengkritik: LSM lingkungan hidup Walhi menuduh
perusahaan tersebut membuat pernyataan yang menyesatkan masyarakat
mengenai kejadian luapan dari daerah pengendapan limbah yang menewaskan
empat orang pada Mei 2000, serta memenangkan gugatannya di pengadilan.
Bersamaan dengan itu, tuntutan masyarakat setempat terhadap Freeport
seperti tak ada batasnya, dan selain itu beberapa kritikan lebih layak ditujukan
kepada pemerintahan. Ada kemungkinan upaya Freeport untuk menenangkan
warga Papua mengajar masyarakat setempat bahwa cara terbaik memperoleh
konsesi adalah melalui konfrontasi. Akibatnya, baik masyarakat setempat, LSM
maupun aparat militier terdorong untuk mengisyaratkan bahwa keadaannnya lebih
rawan dari sesungguhnya.
Wawancara-wawancara yang dilakukan ICG di Timika menunjukkan
bahwa bahaya terjadinya konflik meluas pada saat ini kemungkinannya kecil,
kendati memang timbul berbagai risiko yang sumbernya kehadiran pasukan
keamanan, persaingan antara berbagai masyarakat Papua dan antara warga Papua
dengan warga pendatang. Selain itu pernah terjadi kericuhan diantara para
pendatang. Freeport menolak memberi komentar kepada ICG mengenai hal-hal
yang disebutnya “politik”.
Saat ini, tindak-tanduk aparat keamanan tampaknya relatif terkendali
dibanding masa pada akhir 1990an ketika dilaporkan sering terjadi peristiwa
pembunuhan dan pelanggaran HAM lainnya. Pada tahun 1999 perusahaan
124
memprakarsai
kebijakan
baru
tentang
HAM,
seraya
menginstruksikan
karyawannya untuk melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi. Gabrielle
McDonald, hakim AS dan mantan ketua pengadilan kejahatan internasional
terhadap bekas negara Yugoslavia, ditunjuk menjadi penasehat urusan HAM.
McDonald pun duduk dalam dewan komisaris Freeport McMoRan.
Menurut pengkritik, Freeport masih cenderung memandang masyarakat
setempat sebagai ancaman terhadap keamanan. Kesan tersebut diperkuat dengan
pemisahan ruang antara kota-kota perusahaan Freeport dengan pemukiman
masyarakat setempat dan penggunaan pagar serta pasukan keamanan untuk
menjaga wilayah konsesinya yang luas. Pengamanan yang ketat disekitar saranasarana Freeport tampaknya menunjukkan perusahaan masih belum aman dari
serangan.
Ada potensi ancaman dari gerilya OPM di wilayah Timika, yang
menganggap Freeport sebagai musuh, meski sebagaimana telah dibahas
sebelumnya, tidak jelas apakah gerilya yang bertanggung jawab atas serangan
yang terbaru. Ancaman gerilya, yang kadar beratnya sulit dinilai, merupakan
tanggapan terhadap kekesalan yang ditimbulkan oleh perilaku perusahaan sendiri
di masa lalu. Kehadiran ribuan petugas aparat keamanan sendiri dapat
menyebabkan permasalahan bagi perusahaan, mulai dari tindak kejahatan yang
terorganisir hingga pencurian kecil-kecilan terhadap barang-barang miliknya oleh
tentara dan polisi.
Freeport tampaknya masih akan hadir di Papua untuk waktu cukup lama.
Kegiatan tambang Grasberg berjalan sesuai kontrak dengan pemerintah yang
masa berlakunya baru berakhir pada 2021, dengan opsi untuk memperpanjang
perjanjian hingga duapuluh tahun kemudian. Perusahaan memperoleh hak untuk
mengadakan ekplorasi diatas lahan seluas sekitar 2,3 juta hektar diluar wilayah
operasinya saat ini, yang diharapkan mengandung lebih banyak mineral, dan
wilayah lain di Papua pun sudah diliriknya. Pada akhir 1990an ada berita
selentingan bahwa perusahaan pertambangan lainnya menimbang-nimbang
mengambil alih Freeport, kendati belum ada tanda-tanda yang mengarah kepada
hal itu.
125
Kiranya sulit meramal arah perkembangan hubungan antara Freeport dan
masyarakat setempat. Kini sudah ada pengakuan terhadap berbagai keluhan
setempat berikut mekanisme untuk menanggulanginya, meski emosi warga Papua
masih tinggi, dan keadaanpun lebih dirumitkan lagi dengan potensi terjadinya
ketegangan diantara masyarakat-masyarakat Papua yang memperebutkan manfaat
dari tambang. Freeport masih terlibat dengan militer Indonesia serta kepentingan
kalangan elit di Jakarta di satu pihak, dan dengan gerakan kemerdekaan di lain
pihak.
Kesimpulan
yang
dapat
diambil
dari
telaah
kasus
proyek
pertambangan Freeport rasanya kurang menyenangkan bila dilihat dari sudut
pandang perencana sosial. Yang pertama yaitu sangatlah terlihat nyata bahwa
suatu proyek pertambangan skala besar dapat menimbulkan masalah sosial
yang serius. Yang kedua, bukti menunjukkan bahwa masalah semacam ini
paling tidak dapat diperkecildengan adanya perencanaan yang cukup hati-hati
sebelum proyek dijalankan.
Seharusnya ada studi secara keseluruhan mengenai kondisi sosial di
daerah tersebut, demikian juga mengenai evaluasi terhadap masalah-masalah
yang timbul kelak. Langkah-langkah harus diambil untuk memperoleh
kepastian mengenai perlunya fasilitas dan pelayanan sosial yang sesuai dan
memadai, serta guna mempersiakan dan melindungi kepentingan masyarakat
setempat dan menjaga semaksimal mungkin kultur dan pola hidup tradisional
mereka. Karenanya, partisipasi perencanaan sosial dalam perencanaan proyek
sangat besar dan dominan.
D. Latihan
Berikan contoh lain kasus-kasus perencanaan proyek yang bemasalah dan
berikanlah perencanaan social yang tepat untuk menangani masalah tersebut.
126
No. Modul
: 13
Pertemuan
: 14
Pokok Bahasan
: Case Study : Perencanaan Sosial dalam Perencanaan
Proyek - Pembangunan Waduk Sermo di Kulon Progo
A. Kata Kunci
1. Perencanaan Sosial
2. Dampak pembangunan proyek terhadap kehidupan social masyarakat.
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Dapakah dalam pembangunan proyek terutama proyek bendungan/waduk
tanpa harus mengorbankan sebagian warga di lokasi tersebut.
C. Materi
Waduk sermo ini terletak kurang lebih 7 km di sebelah barat kota
wates atau 36 km di arah barat kota Yogyakarta. Merupakan satu-satunya
waduk yang berada di kabupaten kulon progo. Waduk ini terbuat dari hasil
membendung sungai yang mengalir di pegunungan menoreh diantaranya yaitu
sungai bogowonto.
Pembangunan Waduk Sermo merupakan pembangunan dalam rangka
meningkatkan produktivitas pertanian. Sehubungan pembangunan Waduk
Sermo memerlukan ruang yang cukup luas maka membawa konsekuensi
menggusur penduduk dan sumberdaya lahan.
Fungsi utama dari waduk ini yaitu sebagai penampung air yang
disalurkan PDAM untuk air bersih, irigasi atau pengairan, serta pencegah
banjir. Pemandangan yang bagus dengan disertai view pegunungan menoreh
yang menjulang hijau dengan hutan-hutannya serta sejuknya udara menjadi
nilai jual wisata bagi waduk ini. Para wisatawan juga bisa melepaskan penat
dengan menikmati berbagai menu ikan segar yang didapat dari hasil
tangkapan waduk, baik membeli ataupun bisa memancing sendiri.
127
Pembangunan Waduk Sermo dimulai pada tahun 1994 dan selesai
pada tahun 1996, dan dioperasikannya pada tahun 1997. Sebelum
dilaksanakan
pembangunan
waduk,
pada
tahun
1990
dilaksanakan
pembebasan tanah. Dalam pelaksanaan pembebasan berjalan dengan baik.
Sebelum pembebasan tanah dilaksanakan, penduduk yang tanahnya akan
terkena proyek pembangunan dipertemukan dengan DPRD Tingkat II
Kabupaten Kulonprogo, untuk merembug besarnya biaya ganti rugi permeter
persegi untuk lahan sawah Rp.1.500,-, untuk lahan tegal Rp.2.000,-, dan lahan
pekarangan Rp.2.500,Sehubungan masyarakat yang terkena proyek adalah petani, maka
untuk mempertahankan profesinya sebagai petani, oleh pemerintah setempat
dianjurkan mereka melakukan transmigrasi. Oleh karena itu, pemerintah
setempat
bekerjasama
dengan
Departemen
Transmigrasi
melakukan
penyuluhan mengenai transmigrasi. Kemudian oleh sebagian besar penduduk
tergusur disepakati mengenai program transmigrasi, dengan daerah tujuan
Bengkulu. Sehubungan transmigrasi tersebut sifatnya sukarela, maka ada
beberapa penduduk yang tidak melaksanakan transmigrasi, memilih tetap
tinggal di sekitar Waduk Sermo.
Sebagai akibat langsung dari pembangunan Waduk Sermo adalah
penggunaan lahan. Setelah adanya pembangunan Waduk Sermo, penggunaan
lahan mengalami perubahan. Dalam perubahan tersebut, lahan sawah dan tegal
cenderung mengalami penyempitan yang cukup drastis, dan yang lainnya
mengalami peningkatan sebagai akibat adanya pembangunan sarana dan
prasarana umum serta penambahan tempat tinggal akibat pembagian warisan
bagi mereka yang lahannya tergenang waduk. Prasarana umum yang
mengalami peningkatan adalah transportasi, perdagangan, kesehatan dan
pendidikan.
Dengan adanya sumberdaya lahan yang hilang, sebagai akibat
pembangunan waduk, ternyata akan mempengaruhi juga terhadap perubahan
128
luas penguasaan lahan. Ditinjau dari luas kepemilikan lahan, tampak bahwa
penduduk yang lahannya tergenang waduk maupun tidak cenderung
mengalami penyempitan. Namun sebaliknya, lahan garapan cenderung
meningkat sehubungan lahan pasang-surut waduk diserahkan untuk dikelola
oleh penduduk, walaupun hingga saat penelitian dapat dikatakan belum
menghasilkan.
Keadaan tersebut ternyata mempengaruhi penduduk terutama yang
lahannya terkena proyek dalam hal status lahan yang dimiliki. Hal ini
tergantung juga oleh besarnya uang ganti rugi dan masih tidaknya lahan yang
dimiliki. Konsekuensi dari perubahan tersebut akan berpengaruh terhadap
matapencaharian, sehingga penduduk yang lahannya terkena waduk
cenderung yang banyak mengalami perubahan matapencaharian. Perubahan
matapencaharian tersebut cenderung terjadi dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian.
Perubahan matapencaharian ternyata membawa konsekuensi terhadap
pendapatan keluarga yang cenderung mengalami perubahan penurunan pada
penduduk yang tergeser, dibanding mereka yang tidak tergusur. Sebagai akibat
terjadinya perubahan-perubahan fisik maupun sosial-ekonomi, ternyata
berpengaruh terhadap perubahan adat kebiasaan yang ada di daerah sekitar
waduk. Hal ini terlihat oleh adanya upacara tradisional Rebo Wekasan yang
saat ini sudah mundur sebagai akibat Desa Hargowilis terpisahkan oleh
Waduk Sermo. Selain itu, para penduduk juga sudah mulai berpikir secara
rasional sehubungan adanya keterbatasan sumberdaya yang ada.
Perubahan-perubahan
lingkungan
yang
terjadi
sebagai
akibat
pembangunan Waduk Sermo, ternyata mendapat tanggapan tertentu dari
penduduk, baik itu yang lahannya terkena waduk maupun tidak. Tanggapan
tersebut dapat dikatakan bervariasi. Tanggapan terhadap dukungan pemerintah
dalam hal pengelolaan lingkungan untuk kepentingan petani, penduduk
cenderung mengatakan lebih baik setelah adanya waduk. Sedangkan
129
tanggapan penduduk terhadap lahan pertanian yang berubah, sebagian besar
responden menyatakan baik, sehubungan Waduk Sermo masih dapat
memberikan penghasilan walaupun tidak seperti yang diharapkan. Selain
tanggapan tersebut, tanggapan terhadap kekayaan air waduk, baik itu
penduduk yang lahannya tergenang waduk maupun tidak, ternyata
memberikan tanggapan yang bervariasi, ada yang menyatakan senang
walupun tidak senang. Sedangkan tanggapan responden terhadap penilaian
manfaat waduk dapat dikatakan memberikan tanggapan positif, yaitu untuk
pertanian, perikanan, dan rekreasi.
Sehubungan Waduk Sermo digunakan untuk perikanan maka dari
seluruh responden yang tidak ikut memanfaatkan air waduk sebagai lahan
perikanan sebesar 15,00 persen, itupun mereka yang berasal dari daerah
genangan, selain Waduk Sermo digunakan untuk pertanian, ternyata juga
direncanakan sebagai obyek wisata. Sehubungan Waduk Sermo belum tuntas
untuk obyek wisata, maka hal itu perlu dikelola lebih lanjut, hal itu didukung
oleh sebagian besar responden, baik itu responden yang lahannya terkena
waduk maupun tidak. Walaupun demikian ada juga penduduk yang lahannya
terkena waduk mengatakan tidak setuju dikembangkan untuk obyek wisata,
tetapi persentasenya hanya sedikit.
Sehubungan pembangunan Waduk Sermo menimbulkan perubahan
yang mengarah hilangnya sumberdaya utama petani maka keadaan itu
cenderung membuat petani harus mulai dari nol dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Itupun tidak semua responden mengalami hal yang
sama.
Sebagai langkah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat maka
perlu adanya penyuluhan dan pelatihan mengenai kepariwisataan sehingga
apabila nanti obyek wisata Waduk Sermo sudah tuntas pembangunannya,
artinya fasilitas-fasilitasnya sudah tersedia tenaga kerja yang berasal dari
lingkungan waduk sudah siap.
130
Waduk Sermo memiliki ukuran yang kecil dibandingkan dengan
waduk-waduk lainnya. Proses perencanaannya lebih sederhana karena hanya
ditujukan pada suatu tujuan pokok dan tidak melibatkan proses pemukiman
kembali penduduknya dalam skala yang besar. Walaupun demikian, proses
perencanaan yang dipakai telah menggambarkan berbagai permasalahan
umum yang timbul dalam merencanakan proyek tersebut.
D. Latihan
Jelaskan
implikasi
relokasi
penduduk
untuk
pembangunan
proyek
bendungan/waduk. Apakah penduduk yang telah direlokasi tersebut akan
kembali lagi ke asalnya?
131
No. Modul
: 14
Pertemuan
: 15
Pokok Bahasan
: Case Study : Perencanaan Sosial dalam Perencanaan
Proyek - Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit
A. Kata Kunci
1. Perencanaan Sosial
2. Dampak proyek terhadap kehidupan social masyarakat.
B. Pertanyaan / Perintah Diskusi
Hubungan perencanaan social dengan perencanaan proyek ?
C. Materi
Luas areal perkebunan di Indonesia, baik perkebunan besar maupun
perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh
komoditas utama perkebunan (karet, kopi, teh, kelapa, kakao, tebu dan kelapa
sawit), komoditas karet dan kelapa sawit adalah areal pertanaman yang
terluas.
Pertambahan luas yang paling spektakuler dialami oleh perkebunan
kelapa sawit yang dalam 10 tahun terakhir luasnya meningkat rata-rata 14%
per tahun, jauh di atas peningkatan perkebunan karet yang hanya rata-rata 2%
per tahun (Susila 1998). Pada tahun 1986, luas perkebunan kelapa sawit baru
mencapai 606.800 ha, tetapi pada tahun 1997 meningkat pesat menjadi 2,25
juta ha. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di propinsi Sumatera
Utara (905.000 ha), propinsi Riau (544.700 ha), propinsi Kalimantan Barat
(211.400 ha) dan propinsi Sumatera Selatan (206.000 ha). Di masa mendatang
akan dikembangkan secara cepat di Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian
Jaya (Susila 1998).
Luas seluruh areal perkebunan kelapa sawit masih di bawah
perkebunan karet yang mencapai 3,5 juta ha pada tahun 1997. Namun struktur
pemilikan pada perkebunan kelapa sawit terbalik dengan perkebunan karet.
Perkebunan karet pemilikannya didominasi oleh perkebunan rakyat (83%),
132
tetapi perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh perusahaan besar, baik milik
negara maupun milik swasta yang mendominasi luas lahan dengan pangsa
66% (Susila 1998). Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak
tahun 1978 (Lihat Gambar 1), dengan laju pertumbuhan luas per tahun yang
sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara)
dan 19,3% (perkebunan rakyat) (Susila 1998).
Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering
ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena
mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh
keuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa hampir seluruh pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan
areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat
dikonversi.
Laju pertumbuhan areal perkebunan karet rakyat hanya mencapai 2,2%
per
tahun
(1986-1996),
sedangkan
untuk
perkebunan
kopi
rakyat
pertumbuhannya hanya 2,3% untuk periode yang sama. Di samping laju
pertumbuhan areal yang rendah, perkebunan rakyat biasanya tidak dibangun
pada areal hutan produksi. Para pekebun kecil umumnya memanfaatkan lahan
kritis2, hutan sekunder dan bahkan memanfaatkan kebun tua (replanting).
Perkebunan
karet
rakyat
merupakan
pertanaman
tradisional
masyarakat, terutama di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan kopi banyak
diusahakan
di
Lampung,
Sumatera
Selatan
dan
Sulawesi
Selatan.
Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat cepat, namun berkurang sejak
awal pertengahan tahun 1998. Salah satu penyebabnya adalah tingginya pajak
ekspor, berkurangnya minat investor asing akibat kondisi politik yang tidak
stabil, dan takut tingginya pasokan.
Di tengah-tengah kondisi ini, pertumbuhan kelapa sawit pada
pertengahan 1998 adalah seperti berikut. Dengan tingkat produktivitas 18-21
ton TBS (tandan buah segar)/ha/ tahun, usaha ini mempunyai nilai Internal
Rate of Return sampai 24-43%. Di samping itu prospek minyak sawit mentah
atau CPO (crude palm oil) juga sangat cerah.
133
Untuk konsumsi domestik Indonesia, diperkirakan meningkat dengan
laju pertumbuhan 8-10% per tahun pada periode 1995-2000 dan 5-7% per
tahun pada periode 2000-2005 (Arifin dan Susila 1998). Tingkat konsumsi
minyak sawit dunia akan meningkat sebesar 5% per tahun antara tahun 19952000 dan pada tahun 2000 diproyeksikan konsumsi akan mencapai 18,2 juta
ton, walaupun harga minyak sawit diproyeksikan menurun menjadi US$
415/ton pada tahun 2000 (Susila 1997).
Pada awal 1998 terdapat 50 perusahaan asing yang sedang
melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan investasi US$ 3
miliar. Rencana perkebunan yang akan dikelola seluas 926.650 ha di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya.3 Khusus untuk Propinsi Riau
dan Sumatera Utara, pemerintah telah menyatakan daerah ini telah tertutup
untuk investasi baru pengembangan perkebunan.4 Perusahaan asing yang
sangat berambisi untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia adalah Malaysia.
Hal ini disebabkan keterbatasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit
di Malaysia dan letak Indonesia yang paling dekat dengan lokasi fasilitas
pabrik pengolahan di Malaysia. Investor asing lainnya seperti dari Inggris dan
Singapura sudah mengincar perkebunan milik negara yang kinerjanya baik.
Pemerintah Indonesia memang bermaksud melakukan program privatisasi
perkebunan negara dengan menjual sebagian saham kepada pihak swasta
nasional maupun asing. Akan tetapi, agar pihak asing tidak menjadi pemegang
saham mayoritas, pemerintah tidak menjual keseluruhan saham, karena yang
dibutuhkan perkebunan hanya pengembangan produk derivatif dan jaringan
pemasaran internasional.
Untuk investor dalam negeri, keinginan berinvestasi di perkebunan
kelapa sawit tidak terbatas pada perusahaan yang sudah biasa mengelola
perkebunan, tetapi juga pada perusahaan lain seperti perusahaan kehutanan
milik negara. PT. INHUTANI III6 misalnya, sudah menargetkan untuk
membangun perkebunan kelapa sawit seluas 500 hingga 1.000 ha per tahun.
134
Sementara itu PT INHUTANI I juga akan memasuki bisnis perkebunan,
terutama tanaman karet dan kelapa sawit.
Pada akhir Februari 1998, Menhutbun secara resmi telah mengizinkan
Perum Perhutani dan PT Inhutani I s/d V melakukan ekspansi ke sektor
perkebunan seperti kelapa sawit. Alasannya adalah usaha hutan merupakan
investasi jangka panjang. Sedangkan perkebunan merupakan investasi jangka
pendek yang diharapkan bisa memperbaiki cashflow Badan Usaha Milik
Negara tersebut.
Banyak perusahaan Indonesia yang belum mempunyai pengalaman di
bidang perkebunan mencoba berbisnis kelapa sawit. Pada umumnya mereka
memanfaatkan skema kredit khusus untuk pengembangan perkebunan rakyat
dengan pola kemitraan, misalnya Pola Perusahaan Inti Rakyat-Transmigrasi
(PIR-Trans) dan Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Walaupun
perusahaan besar mempunyai beban harus bermitra dan membina petani,
dengan menggunakan pola-pola tersebut mereka berkesempatan untuk
menjadi kontraktor pembangunan kebun milik petani, dapat memanfaatkan
kayu tebangan hutan dan mendapatkan fee khusus untuk pengurusan kredit
petani.
Berbagai kalangan menyebutkan bahwa dengan mekanisme kerja
seperti ini, perusahaan besar tidak membantu petani, tetapi mereka justru
memanfaatkan skema kredit petani. Meskipun perkembangan investasi
perkebunan melemah, terdapat indikasi bahwa investasi sektor ini akan segera
meningkat (Casson 1999). Diproyeksikan bahwa luas areal perkebunan kelapa
sawit di Indonesia akan mencapai 2,97 juta ha pada tahun 2000. Sampai
dengan tahun 1997, persetujuan dan pelepasan hutan produksi untuk
perkebunan sudah mencapai 6,7 juta ha. Luas ini belum termasuk luas
permohonan pembangunan perkebunan yaitu 9 juta ha (Dephutbun 1998a).
Masalah proyek pembangunan perkebunan sawit timbul karena banyak
petani kecil atau masyarakat di sekitar perkebunan yang di korbankan.
Pembangunan
perkebunan
di
Sumatera
Selatan,
misalnya,
dalam
pelaksanaannya telah menggusur kebun rakyat. Sedikitnya 41.155,5 ha lahan
135
perkebunan rakyat milik 4.101 kepala keluarga di delapan kabupaten di
Propinsi Sumatera Selatan telah diambil paksa oleh 13 perusahaan perkebunan
daerah. Ke-13 perusahaan itu adalah PT Barito Pasific Timber, PT Pakerin,
PTPN VII, PT Mitra Ogan, PT Gunung Sawit Bina Lestari, PT London
Sumatera, CV Harvelia, PT Bumi Arjo Makmur, PT Perjapin Prima, PT Tata
Hamparan Eka Persada, PT Cipta Futura Plantation, PT Multradin Multi
Maju, dan PT Surya Bumi Agro Langgeng.25
Dari 81 perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang ada di Propinsi
Sumatera Selatan, yang luas pencadangan arealnya 554.000 ha, seluruhnya
terdapat masalah sengketa lahan dengan penduduk setempat. Lahan yang
menjadi sengketa dalam perkebunan kelapa sawit mencapai 83 ribu ha atau
11% dari luas seluruhnya.
D. Latihan
Apa fungsi dasar perencanaan sosial di dalam proses pembangunan? Jelaskan.
136
Download