Ebola Virus Disease – Masalah Diagnosis dan Tatalaksana

advertisement
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi PB IDI–2 SKP
Ebola Virus Disease – Masalah Diagnosis dan
Tatalaksana
Andi Putra Jayanegara
RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, Kalimantan, Indonesia
ABSTRAK
Ebola virus disease (EVD) merupakan salah satu zoonosis yang sangat menular dan memiliki tingkat mortalitas yang tinggi pada manusia. EVD
disebabkan virus yang berasal dari genus Ebolavirus, famili Filoviridae. Manifestasi klinis berupa demam, nyeri sendi, diare, mual, muntah, dan
perdarahan, bila tidak ditangani dengan segera dapat menimbulkan syok bahkan kematian. Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan
spesifik dan vaksin yang efektif untuk mencegah EVD.
Kata kunci: Ebola virus disease, Ebola hemorrhagic fever, perdarahan
ABSTRACT
Ebola virus disease (EVD) is one of the zoonosis that is highly contagious with high mortality rate in human. EVD is caused by viruses from genus
Ebolavirus, famili Filoviridae. The clinical manifestations include fever, joint pain, diarrhea, nausea, vomiting, and bleeding, and if not treated
adequately can lead to shock and even death. Specific treatment and effective vaccine to prevent EVD have yet not been found. Andi Putra
Jayanegara. Ebola Virus Disease – Diagnosis and Management Issues
Keywords: Ebola virus disease, Ebola hemorrhagic fever, bleeding
PENDAHULUAN
Ebola virus disease (EVD) juga dikenal dengan
istilah Ebola hemorrhagic fever atau demam
berdarah Ebola. Belum lama ini dunia kembali
digemparkan dengan munculnya wabah EVD
di daerah Afrika Barat terutama di Liberia,
Guinea, dan Sierra Leone yang berlangsung
sejak tahun 2014 sampai sekarang. Wabah
ini merupakan wabah EVD terbesar dan
paling kompleks sejak virus ini pertama kali
diidentifikasi pada tahun 1976 di Sudan dan
Zaire.1
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada
laporan kasus positif EVD. Pada tahun 2014,
2 orang tenaga kerja Indonesia asal Kediri,
Jawa Timur, dilaporkan diduga terjangkit
EVD setelah pulang dari Liberia, dan setelah
dilakukan pemeriksaan medis menunjukkan
keduanya tidak tertular virus Ebola.3
Virus ini sangat mudah menular dan sangat
Alamat Korespondensi
572
mematikan, serta belum ditemukan vaksin
yang terbukti efektif dan efisien untuk manusia.
Untuk itu, diperlukan usaha pencegahan yang
adekuat, sehingga mengurangi risiko tertular
virus. Sampai saat ini penelitian terhadap virus
Ebola terus berlangsung secara progresif.
Pengenalan penyakit pada fase awal, rehidrasi
cairan, dan pengobatan simptomatik yang
adekuat dapat meningkatkan kelangsungan
hidup.4,13
EPIDEMIOLOGI
Virus Ebola pertama kali diidentifikasi di Sudan
dan di wilayah yang berdekatan dengan Zaire
(saat itu dikenal sebagai Republik Congo)
pada tahun 1976, setelah terjadi epidemi di
Yambuku, daerah Utara Republik Congo dan
Nzara, daerah Selatan Sudan. Negara-negara
di benua Afrika yang terkena wabah Ebola
mempunyai sistem kesehatan yang sangat
lemah, kekurangan sumber daya manusia, dan
infrastruktur yang tidak memadai. Dari data
wabah Ebola di daerah Afrika Barat sampai
Oktober 2015 terdapat 28.512 kasus yang
sudah dikonfirmasi positif virus Ebola dengan
11.313 kasus kematian.2,4
Inang atau reservoir virus Ebola belum dapat
dipastikan, namun telah diketahui bahwa
kelelawar buah adalah salah satu inang alami
virus Ebola. Virus Ebola juga telah dideteksi
pada daging simpanse, gorila, dan kijang
liar. Beberapa hipotesis mengatakan terjadi
penularan dari hewan terinfeksi ke manusia.
Kemudian dari manusia, virus bisa ditularkan
dengan berbagai cara. Manusia dapat
terinfeksi karena kontak dengan darah dan/
atau sekret orang yang terinfeksi. Selain itu,
manusia juga bisa terinfeksi karena kontak
dengan benda yang terkontaminasi oleh
orang terinfeksi. Penularan nosokomial juga
dapat terjadi bila tenaga medis tidak memakai
alat pelindung diri yang memadai.1
email: [email protected]
CDK-243/ vol. 43 no. 8 th. 2016
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Penyebaran virus Ebola skala global masih
terbatas. Hal ini berkaitan dengan transmisinya
yang tidak melalui udara dan juga waktu yang
diperlukan virus Ebola untuk menginfeksi
dari satu individu ke individu lainnya. Selain
itu, onset yang relatif cepat mempercepat
diagnosis, sehingga dapat mengurangi
penyebaran penyakit melalui penderita yang
bepergian. Penyakit ini dapat dikaitkan dengan
kebiasaan manusia, terutama di daerah Afrika
yang memiliki kebiasaan mengonsumsi
daging hewan liar. Daging hewan liar yang
terkontaminasi akan menjadi media efektif
penularan Ebola pada manusia.5,8,9
ETIOLOGI
Virus Ebola berasal dari genus Ebolavirus,
famili Filoviridae.13 Famili Filoviridae memiliki
garis tengah 800 nm dan panjang mencapai
1000 nm. Virus Ebola mengandung molekul
lurus dan RNA negatif. Apabila dilihat dengan
menggunakan mikroskop elektron, bentuk
virus seperti berfilamen, atau kelihatan
bercabang. Terdapat juga virus yang
berbentuk “U”, “b” dan berbentuk bundar.6,7
Gambar 1. Epidemiologi virus Ebola2
Gambar 2. Bentuk virus Ebola.1
Genus Ebolavirus terdiri dari 5 spesies yang
berbeda, yaitu:
1. Bundibugyo ebolavirus (BDBV)
2. Zaire ebolavirus (EBOV)
3. Reston ebolavirus (RESTV)
4. Sudan ebolavirus (SUDV)
5. Taï Forest ebolavirus (TAFV)
Bundibugyo ebolavirus (BDBV), Zaire ebolavirus
(EBOV), dan Sudan ebolavirus (SUDV) dikaitkan
dengan wabah demam berdarah Ebola yang
luas di Afrika, sementara Reston ebolavirus
(RESTV) dan Taï Forest ebolavirus (TAFV)
tidak ditemukan kaitannya dengan kejadian
di Afrika. Spesies Reston ebolavirus (RESTV)
ditemukan di Filipina dan Cina. Spesies ini
dapat menginfeksi manusia, tetapi tidak
ditemukan laporan penyakit atau kematian
pada manusia.6,16
CDK-243/ vol. 43 no. 8 th. 2016
Gambar 3. Patofisiologi EBV.2
573
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
beberapa kasus fatal.7,8,12
Dapat juga ditemukan edema pada wajah,
leher, dan daerah genital (skrotum/ labia) dan
hepatomegali. Bila sistem imun penderita kuat,
maka dalam 10 – 12 hari setelah onset demam
dapat berangsur – angsur menghilang.
Pasien meninggal biasanya karena tidak
meresponsnya sistem imun terhadap virus.
Tingkat kematian dapat mencapai 50%
sampai 90%.2
Manifestasi Laboratorium
Leukopenia adalah tanda awal yang sering
ditemukan, diikuti neutrofilia pada tahap
lanjut. Nilai trombosit cenderung turun sampai
50.000/ µL. Kadar alanine aminotransferase
(ALT) dan aspartate aminotransferase (AST)
meningkat progresif dan jaundice ditemukan
pada sebagian kasus. Serum amilase dapat
meningkat dan dapat diasosiasikan dengan
nyeri perut. Proteinuria sering ditemukan,
menandakan adanya gangguan fungsi
ginjal.11,12
Gambar 4. Tanda dan gejala EBV.9
PATOGENESIS
EVD menular melalui darah, muntah, feses, dan
cairan tubuh dari manusia pengidap EVD ke
manusia lain. Virus Ebola juga bisa ditemukan
dalam urin dan cairan sperma. Infeksi
terjadi ketika cairan-cairan tubuh tersebut
menyentuh mulut, hidung, atau luka terbuka
orang sehat. Bersentuhan melalui kasur,
pakaian, atau permukaan yang terkontaminasi
juga bisa menyebabkan infeksi, tetapi pada
orang sehat hanya melalui luka terbuka.3,4
*) Sampai saat ini belum ditemukan bukti bahwa
virus Ebola dapat ditularkan dari ibu ke anak melalui
pemberian ASI.7,10
Tahapan EVD:4
1. Virus Ebola menginfeksi subjek melalui
kontak dengan cairan tubuh atau sekret
pasien terinfeksi dan didistribusikan melalui
sirkulasi. Kontak dapat terjadi melalui lecet
di kulit selama perawatan pasien, ritual
penguburan, dan mungkin kontak dengan
daging terinfeksi atau di permukaan mukosa.
Jarum suntik dapat merupakan rute utama
paparan di rumah sakit.
2. Sekitar 1 minggu setelah infeksi, virus mulai
melakukan replikasi pada sel – sel target
utama, yaitu sel endotel, fagosit mononuklear,
dan hepatosit.
3. Virus kemudian mengambil alih sistem
kekebalan dan sintesis protein dari sel yang
terinfeksi. Barulah kemudian virus Ebola mulai
574
mensintesis glikoprotein yang membentuk
trimerik kompleks, berfungsi mengikat virus
ke sel-sel endotel yang melapisi permukaan
interior pembuluh darah. Glikoprotein
juga membentuk protein dimer, yang
memungkinkan virus menghindari sistem
kekebalan tubuh dengan menghambat
langkah-langkah awal aktivasi neutrofil.
4. Kehadiran partikel virus dan kerusakan sel
yang dihasilkan menyebabkan pelepasan
sitokin, yang berhubungan dengan demam
dan peradangan. Efek sitopatik infeksi di selsel endotel menghilangkan integritas vaskuler.
5. Tanpa integritas pembuluh darah,
kebocoran darah secara cepat menimbulkan
perdarahan internal dan eksternal sampai
tahap masif dan bahkan dapat menyebabkan
syok hipovolemik.
MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi virus Ebola mulai dari hari
ke-2 sampai hari ke- 21, umumnya antara 5
sampai 10 hari. Gejala-gejalanya antara lain
demam, perdarahan, nyeri kepala, nyeri otot
dan sendi, radang tenggorokan, lesu, disertai
muntah, diare, dan nyeri perut. Perdarahan
mulai muncul hampir bersamaan dengan
munculnya ruam makulopapular, yaitu pada
hari ke- 5 – 7, terjadi di berbagai tempat
seperti mulut, mata, telinga, hidung, dan kulit.
Perdarahan hanya terjadi pada kurang dari
50% penderita dan bahkan tidak ditemui pada
DIAGNOSIS
Diagnosis pada orang yang baru terinfeksi
virus Ebola cukup sulit karena gejala awal,
seperti demam, tidak spesifik dan sering
terlihat sebagai penyakit yang lebih umum,
seperti malaria dan demam tifoid. Namun,
jika seseorang memiliki gejala awal EVD dan
memiliki riwayat kontak dengan darah atau
cairan tubuh penderita EVD, kontak dengan
benda-benda yang telah terkontaminasi
dengan darah atau cairan tubuh dari penderita
EVD, atau kontak dengan hewan terinfeksi,
mereka harus diisolasi dan petugas kesehatan
masyarakat diinformasikan. Sampel pasien
dikumpulkan dan diuji untuk konfirmasi
infeksi virus Ebola.4,7,9
Sebagian besar pasien EVD memiliki
konsentrasi virus tinggi di dalam darah.
Teknik deteksi antigen ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) sensitif mendeteksi
virus di dalam darah. Pemeriksaan dengan
cara isolasi virus dan RT – PCR (reverse
transcription polymerase chain reaction) juga
efektif dan sensitif untuk mendeteksi virus
Ebola pada beberapa kasus. Pasien dalam
masa pemulihan menghasilkan antibodi IgM
dan IgG yang dapat dideteksi menggunakan
ELISA dan beberapa tes antibodi lain. Biopsi
kulit sangat bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis postmortem karena terdapat
antigen dalam jumlah besar di kulit.12
CDK-243/ vol. 43 no. 8 th. 2016
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Rentang Waktu
setelah Terinfeksi
Beberapa hari
setelah onset
Tes Diagnostik
„„ Antigen ELISA
„„ IgM ELISA
„„ Polymerase Chain Reaction (PCR)
„„ Isolasi Virus
Tahap akhir
atau setelah
pemulihan
„„ Antibodi IgG dan IgM
Pada jenazah
penderita
„„ Tes Immunohistochemistry
„„ Polymerase Chain Reaction (PCR)
„„ Isolasi Virus
Tabel.
Pemeriksaan
mendiagnosis EBV.1
laboratorium
untuk
TATALAKSANA
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik
yang terbukti efektif, sehingga prinsip
penatalaksaannya berupa terapi suportif.
Penatalaksanaan syok juga harus dipikirkan
karena kebocoran vaskuler pada sirkulasi
sistemik. Rehidrasi cairan baik oral maupun
parenteral harus segera diberikan untuk
mencegah ataupun memperbaiki kondisi
syok. Pengobatan lain bersifat simptomatis.10,15
Pencegahan
Virus Ebola mampu menular antar manusia
hanya dengan kontak langsung, sehingga
pencegahannya sulit. Yang terutama adalah
menghindari kontak langsung dengan orang
yang terinfeksi ataupun mayat yang terjangkit
virus Ebola. Meningkatkan kesadaran faktor
risiko EVD dan upaya perlindungan individu
adalah cara efektif untuk mengurangi
penularan manusia, antara lain dengan
mengurangi kontak dengan kelelawar,
monyet, atau kera, dan konsumsi daging
mentah. Hewan harus ditangani dengan alat
pelindung diri yang sesuai. Produk-produk
hewani (darah dan daging) harus dimasak
matang sebelum dikonsumsi.2,13 Keterlibatan
masyarakat
merupakan
kunci
sukses
mengendalikan wabah.8,14
Petugas kesehatan yang merawat pasien
diduga atau dikonfirmasi virus Ebola harus
menerapkan
langkah-langkah
ekstra
pengendalian infeksi untuk mencegah kontak
dengan darah dan cairan tubuh pasien dan
permukaan yang terkontaminasi atau bahan
seperti pakaian dan selimut. Jika kontak dekat
(dalam 1 meter) dengan pasien, petugas
kesehatan harus memakai pelindung wajah,
pakaian pelindung lengan panjang, dan
sarung tangan. Pekerja laboratorium juga
berisiko terinfeksi jika tidak dilindungi dengan
benar. Sampel dari manusia dan hewan harus
ditangani oleh staf terlatih dan diproses di
laboratorium yang sesuai. Mayat para korban
meninggal akibat EVD harus ditangani dengan
benar karena berpotensi menularkan EVD.2,9
Menonaktifkan virus Ebola dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu dengan
sinar ultraviolet dan radiasi sinar gamma,
penyemprotan formalin dengan konsentrasi
1%, beta-propiolactone, dan desinfektan
phenolic serta pelarut lipid-deoxycholate dan
ether. Sampai saat ini, belum ditemukan
vaksin yang bisa mencegah infeksi virus Ebola;
sedang dikembangkan vaksin yang sudah
memasuki fase uji klinis.2,15
SIMPULAN
EVD diakibatkan oleh virus genus Ebolavirus,
famili Filoviridae. Virus ini pertama kali
ditemukan di Afrika, daerah selatan Sudan
dan Zaire pada tahun 1976. Penyebaran virus
Ebola dalam skala global masih terbatas,
berkaitan dengan transmisinya melalui kontak
langsung dan tidak melalui udara. Penyakit ini
dapat dikaitkan dengan kebiasaan konsumsi
daging hewan liar terutama di daerah Afrika.
Daging hewan liar yang terkontaminasi akan
menjadi media efektif penularan Ebola pada
manusia.
Gejalanya antara lain demam, nyeri kepala, sakit
sendi dan otot, sakit tenggorokan, dan tubuh
lemah. Gejala ini diikuti dengan diare, sakit
perut, dan muntah-muntah; ditemukan ruam,
mata memerah, tersedak, serta perdarahan
luar dan dalam. Deteksi virus Ebola dapat
dilakukan dengan uji antigen-capture enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), IgM ELISA,
polymerase chain reaction (PCR), isolasi virus,
antibodi IgM-IgG, imunohistokimia.
Sampai saat ini belum ditemukan
pengobatan spesifik dan vaksin yang efektif
untuk mencegah infeksi virus Ebola. Upaya
pencegahan dengan menghindari area yang
terkena serangan virus Ebola, tidak melakukan
kontak dengan pasien atau mayat yang
terjangkit virus Ebola.
DAFTAR PUSTAKA :
1. National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Disease. Ebola fact sheet: Ebola hemorrhagic fever. Center for Disease Control. 2014
2. World Health Organization. Ebola virus disease outbreak situation report. 2015
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan Perkembangan Ebola di Indonesia. 2014
4. WHO BDP/EPR. Interim infection control recommendations for care of patients with suspected or confirmed Filovirus (Ebola, Marburg) hemorrhagic fever. Geneva;
2008.
5. National Center for Emerging and Zoonotic Infectious Disease. Ebola hemorrhagic fever information pocket. Center for Disease Control. 2009
6. Feldmann H, Geisbert TW, Jahrling PB, Volchkov VE, Kiley MP, Sanchez A. Filoviridae. In: Fauquet C, Mayo MA, Maniloff J, Desselberger U, Ball LA, editors. Virus
taxonomy: VIIIth report of the International Committee on Taxonomy of Viruses. London: Elsevier/Academic Press, 2004:645–53.
7. Peters CJ, LeDuc JW. An Introduction to Ebola: The virus and the disease. J Infect Dis 1999;179-83
8. Vyas JM. Ebola hemorrhagic fever. National Library of Medicine National Institutes of Health. 2013
9. CDC and World Health Organization. Infection control for viral hemorrhagic fevers in the african health care setting. Atlanta. Georgia: US Department of Health and
Human Services, CDC; 1998.
10. Erbay A, Cevik MA, Onguru P, Gözel G, Akinci E, Kubar A, et al. Breastfeeding in Crimean-Congo haemorrhagic fever. Scand J Infect Dis. 2008; 40: 186-8.
11. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s internal medicine. McGraw-Hill. 16th ed. USA; 2008; 1174-5.
12. Kortepeter MG, Bausch, DG, Bray, M. Basic clinical and laboratory features of filoviral hemorrhagic fever. J Infect Dis. 2011;204: 810-6
13. Jahrling PB, Geisbert TW, Dalgard DW, Johnson ED, Ksiazek TG, Hall WC, et al,. Preliminary report. Isolation of Ebola virus from filovirus keys imported to USA. Lancet
1990;335:502-5
14. Bausch DG. Assessment of the risk of Ebola virus transmission from bodily fluids and fomites. J Infect Dis. 2007; 196:142-7.
15. Bray M, Mahanty S. Ebola hemorrhagic fever and septic shock. J Infect Dis. 2003; 188(11): 1613-7.
16. Guimard Y, Bwaka MA, Colebunders R, Calain P, Massamba M, De Roo A, et al. Organization of patient care during the Ebola hemorrhagic fever epidemic in Kikwit, Democratic Republic of the Congo, 1995. J Infect Dis 1999;179(suppl 1):S268–74.
CDK-243/ vol. 43 no. 8 th. 2016
575
Download