BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Obat tradisional telah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Obat tradisional telah berkembang secara luas di banyak negara dan semakin
populer.
Di berbagai negara, obat tradisional bahkan telah dimanfaatkan dalam
pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan strata pertama. Negara-negara
maju yang sistem pelayanan kesehatannya didominasi pengobatan konvensional pun kini
menerima pengobatan tradisional, walaupun mereka menyebutnya dengan pengobatan
komplementer/alternatif (complementary and alternative medicine), misalnya Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa. Di Asia, negara yang banyak menggunakan obat
tradisional adalah Cina, Korea, India, dan termasuk Indonesia.
Di Indonesia, penggunaan obat tradisional merupakan warisan nenek moyang dan
merupakan bagian dari budaya bangsa, telah dimanfaatkan masyarakat sejak berabadabad yang lalu dan secara luas disebut jamu. Indonesia terdiri dari berbagai suku, dan
menurut Badan Pusat Statistik jumlah suku di Indonesia adalah 1.128 yang tersebar di 33
provinsi. Keragaman tanaman obat dan obat tradisional di berbagai provinsi dan
penggunaannya oleh berbagai suku menunjukkan kekayaan sumber obat dan
pengobatan tradisional.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, menunjukkan bahwa 59,12 %
penduduk Indonesia menggunakan jamu baik untuk menjaga kesehatan maupun untuk
pengobatan karena sakit. Dari penduduk yang pernah mengkonsumsi jamu, sebanyak
95,6% menyatakan merasakan manfaat minum jamu. Dari hasil Riskesdas tahun 2010
juga menunjukkan bahwa 55,3% masyarakat mengkomsumsi jamu dalam bentuk cairan
(infusum/decoct), sementara sisanya dalam bentuk serbuk, rajangan, dan hanya 11,6%
dalam bentuk pil/kapsul/tablet.1
Hasil Riskesdas ini menunjukkan bahwa jamu sebagai bagian dari pengobatan
tradisional, telah diterima oleh masyarakat Indonesia dan sampai saat ini masih diakui
keberadaannya.
Hasil inventarisasi dokter praktik herbal se Jawa Bali tahun 2010 menunjukkan
bahwa terdapat 159 orang dokter yang tercatat sebagai anggota perhimpunan seminat
1
pengobatan tradisional. Sebanyak 76,9 % melakukan praktik jamu, dan sebagaian besar
juga melakukan cara pengobatan tradisional lainnya terutama akupunktur.2
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Strategi Pengembangan Pelayanan
Kesehatan Tradisional 2002-2005 (WHO Traditional Medicine Strategy 2002-2005), telah
memberikan pedoman umum yang dapat dipakai oleh negara anggota dalam
mengembangkan
pelayanan
komplementer/alternatif.
kesehatan
WHO
tradisional
merekomendasikan
(traditional
medicine)
4
strategi
(empat)
dan
dalam
mengembangkan pengobatan tradisional, yakni (a) mengembangkan kerangka regulasi
dan kebijakan nasional tentang pengobatan tradisional, (b) mengembangkan pelayanan
kesehatan tradisional menjadi bermutu, aman, dan berkhasiat, (c) menjamin akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tradisional yang bermutu, aman, dan
berkhasiat, dan (d) menjamin penggunaan rasional terhadap pengobatan tradisional.3
Hasil inventarisasi penelitian tanaman obat dan obat tradisional di perguruan
tinggi di seluruh Indonesia, sebagian besar merupakan hasil uji pre-klinik. Sementara uji
klinik memiliki porsi yang sangat kecil. Bukti ilmiah mengenai mutu, keamanan dan
kemanfaatan jamu masih sangat diperlukan, karena hal ini merupakan salah satu
persyaratan agar jamu dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal.
Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah menetapkan bahwa
pengobatan tradisional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan dari 17 intervensi
kesehatan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut.4 Penggunaan obat
tradisional tidak hanya dilakukan melalui pengobatan sendiri/pengobatan rumah tangga
dan pengobat tradisional (Battra), tetapi juga melalui pengobatan medis oleh tenaga
kesehatan (dokter, perawat) di praktik pribadi, Puskesmas, atau rumah sakit.
Penyelenggaraan pengobatan tradisional oleh Battra diatur dalam Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.
1076/MENKES/SK/VII/2003
sedangkan
penyelenggaraan
pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109/MENKES/Per/IX/2007. Tenaga pengobatan
komplementer alternatif terdiri dari dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan lainnya
yang memiliki pendidikan terstruktur dalam bidang pengobatan komplementer-alternatif,
termasuk pengobatan dengan jamu.
Meskipun pengobatan tradisional, termasuk jamu, sudah banyak digunakan oleh
tenaga kesehatan profesional maupun Battra, namun banyak tenaga profesional
2
kesehatan yang menyangsikan terhadap keamanan dan kemanfaatan pengobatan jamu
dalam pelayanan kesehatan formal. Hal ini bisa dimengerti, karena sesuai dengan
Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter/dokter gigi dalam
memberikan pelayanan kesehatan harus memenuhi standar pelayanan medis 5, yang pada
prinsipnya harus memenuhi kaidah praktik kedokteran berbasis bukti (evidence based
medicine). Di pihak lain, bukti-bukti ilmiah tentang mutu, keamanan dan kemanfaatan
(jamu) dinilai belum adekuat untuk dapat dipraktikkan pada pelayanan kesehatan formal.
Dengan kata lain, pengobatan jamu masih memerlukan bukti ilmiah yang cukup untuk
dapat digunakan oleh tenaga kesehatan profesional.
Dalam rangka menyediakan bukti ilmiah terkait keamanan dan kemanfaatan
jamu, maka Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI, telah mengeluarkan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu
dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.6 Salah satu tujuannya adalah
memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara empirik melalui
penelitian berbasis pelayanan yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan, dalam hal
ini klinik pelayanan jamu/dokter praktik jamu. Untuk menjalankan Saintifikasi Jamu
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010, maka telah
ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/Menkes/SK/IX/2010
tentang
Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, yang salah satu tugasnya adalah menyusun pedoman
penelitian jamu.
Saintifikasi Jamu adalah upaya terobosan dalam rangka integrasi jamu kedalam
pelayanan kesehatan formal, yakni dengan mengumpulkan bukti ilmiah keamanan dan
kemanfaatan jamu melalui penelitian berbasis pelayanan. Dengan adanya bukti ilmiah
maka jamu dapat digunakan oleh masyarakat secara aman dan bermanfaat. Selanjutnya
industri dapat mengembangkan jamu tersebut sebagai sediaan berorientasi produk
(product oriented) dengan mengikuti kaidah yang telah ditentukan.
Karena pentingnya bukti ilmiah terkait keamanan dan kemanfaaan jamu dalam
rangka integrasi jamu ke dalam pelayanan kesehatan formal, maka penelitian dan
pengembangan (jamu) adalah sangat penting. Harus disadari bahwa jamu selalu terkait
dengan budaya dan kepercayaan masyarakat. Pengobatan jamu bersifat holistik (lebih
kepada healing dari pada curing), terapi biasanya bersifat simultan (body, mind, and
spirit), hubungan pengobat dan pasien sangat inten dan bersifat individual.7
3
Berangkat dari hal-hal yang spesifik pada pengobatan jamu tersebut, maka
diperlukan pedoman penelitian yang spesifik untuk jamu, khususnya terkait keamanan
dan kemanfaatan jamu. Pedoman ini dapat digunakan oleh semua pihak untuk evaluasi
keamanan dan kemanfaatan jamu. Hasil penelitian Saintifikasi Jamu merupakan jamu
saintifik yang dapat digunakan di fasilitas pelayanan kesehatan formal (Puskesmas, klinik
dan rumah sakit), serta dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menangani masalah
kesehatan di tingkat komunitas (self-care dan pertolongan pertama). Pada dasarnya,
produk akhir dari kegiatan Saintifikasi Jamu adalah jamu saintifik yang bersifat jamu
generik yang dapat digunakan di pelayanan kesehatan maupun di masyarakat
(komunitas). Tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan ke jalur industri dengan
mengikuti aturan yang berlaku di Badan POM. Disamping itu, jamu saintifik dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi produk paten.
1.2.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan pedoman ini adalah untuk memberikan panduan pelaksanaan
studi klinik jamu untuk evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu, bagi kepentingan
kesehatan masyarakat, melalui program Saintifikasi Jamu.
Tujuan khusus
1.
Memberi pedoman penelitian dalam rangka Saintifikasi Jamu, khususnya terkait
evaluasi keamanan dan kemanfaatan
2.
Meningkatkan mutu penelitian jamu, dengan metodologi dan dan desain yang tepat
terkait uji kemanfaatan dan keamanan jamu
3.
Memberikan acuan bagi seluruh pelaku penelitian Saintifikasi Jamu, dalam rangka
memudahkan penyusunan protokol penelitian jamu
4.
Sebagai alat komunikasi kepada berbagai pihak untuk menyamakan persepsi tentang
metodologi penelitian Saintifikasi Jamu
1.3.

Pengertian
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau campuran dari
4
bahan tersebut, yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat.

Jamu adalah obat tradisional Indonesia yang peracikan, pencampuran dan atau
pengolahannya dalam bentuk rajangan, serbuk, perasan, rebusan, pilis atau tapel
atau parem. Jamu dapat digunakan untuk diminum atau melumurkannya pada
bagian tubuh.

Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah (evidence based) tentang keamanan
dan kemanfaatan jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.

Penelitian keamanan dan kemanfaatan jamu adalah suatu kegiatan penelitian
yang runut dimulai dari uji mutu jamu, uji pre-klinik meliputi uji farmakologi dan
uji toksisitas, hingga studi klinik jamu fase 3. Untuk formula turun-temurun, studi
klinik bisa langsung ke fase 2 dan fase 3, sedangkan untuk formula baru harus
runut mulai uji pre-klinik, studi klinik fase 1, studi klinik fase 2, dan studi klinik fase
3.

Studi
klinik jamu adalah penelitian jamu dengan mengikutsertakan subyek
manusia dengan mengukur efek dari intervensi/terapi terhadap parameter klinik
dan peningkatan kualitas hidup melalui baik diukur secara obyektif maupun
subyektif.

Jamu saintifik adalah jamu bentuk tunggal atau ramuan yang telah mendapatkan
bukti ilmiah dari penelitian berbasis pelayanan.

Penelitian berbasis pelayanan adalah pelaksanaan penelitian yang terintegrasi di
fasilitas pelayanan kesehatan yang menggunakan jamu.

Komnas Saintifikasi Jamu adalah organisasi lintas disiplin ilmu dan lembaga riset
sebagai pelaksana pembinaan dan peningkatan Saintifikasi Jamu dalam penelitian
berbasis pelayanan, dibentuk berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1334/Menkes/SK/IX/2010 tentang Komisi Nasional
Saintifikasi Jamu.

Diklat Saintifikasi Jamu 50 jam adalah pendidikan dan pelatihan bagi dokter dan
dokter spesialis yang berminat melakukan penelitian berbasis pelayanan, untuk
5
mendapat sertifikat dokter Saintifikasi Jamu dari organisiasi profesi dokter/ dokter
spesialis.

Sertifikat Kompetensi adalah sertifikat yang menyatakan kemampuan seseorang
meliputi pengetahuan, keterampilan dan perilaku minimal yang harus dikuasai
individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara
mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi setelah melalui proses pendidikan dan
dinyatakan lulus dalam ujian kompetensi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Dokter Saintifikasi Jamu (SJ) adalah dokter atau dokter spesialis yang telah
memiliki sertifikat kompetensi untuk melakukan praktik kedokteran dan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat dengan menggunakan jamu dalam
program Saintifikasi Jamu.
6
BAB II
TUJUAN PROGRAM SAINTIFKASI JAMU DAN
TUGAS KOMISI NASIONAL SAINTIFIKASI JAMU
Dalam rangka melaksanakan tujuan program Saintifikasi Jamu sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010, maka telah dikeluarkan
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 1334/MENKES/SK/IX/2010 tentang Komisi
Nasional Saintifikasi Jamu. Pada dasarnya tugas dari Komisi Nasional Saintifikasi Jamu
adalah sebagai pelaksana (eksekutor) program Saintifikasi Jamu.
2.1. Tujuan program Saintifikasi Jamu
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 003/MENKES/PER/I/2010 tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian berbasis Pelayanan Kesehatan, tujuan program
Saintifikasi Jamu adalah6:
1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris
melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan
2. Mengembangkan jejaring penelitian jamu berbasis pelayanan dengan asosiasi
profesi pelayanan kesehatan (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi
Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia)
3. Meningkatkan penelitian dan pengembangan jamu untuk mendapatkan bukti
ilmiah tentang keamanan dan kemanfaatan jamu
4. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri
maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan
2.2. Fungsi Komisi Nasional Saintifikasi Jamu
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1334/MENKES/SK/IX/2010 tentang
Komisi Nasional Saintifikasi Jamu, fungsi Komisi Nasional Saintifikasi Jamu adalah 8:
1. Membina pelaksanaan Saintifikasi Jamu.
2. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu.
3. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan Saintifikasi Jamu
(metodologi penelitian jamu).
7
4. Mengusulkan kepada Kepala Badan Litbangkes mengenai bahan jamu, khususnya
segi budi daya, formulasi, distribusi dan mutu serta keamanan yang layak
digunakan untuk penelitian.
5. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta
organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang
pengadaan jamu.
6. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek
penelitiannya.
7. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu.
8. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik,
hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang
memerlukannya.
9. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen,
penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum serta sertifikasi kompetensi
(Diklat Dokter Saintifikasi Jamu).
10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian pelayanan
termasuk perpindahan metode /upaya antara kuratif dan non kuratif hasil
penelitian pelayanan praktik/ klinik jamu (termasuk melakukan kajian systematic
review).
11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, integrasi dan
rujukan pelayanan jamu kepada Menteri Kesehatan melalui Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
12. Membina Komisi Daerah Saintifikasi Jamu di Provinsi atau Kabupaten/Kota.
13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program Saintifikasi Jamu
kepada Menteri Kesehatan.
Mencermati tujuan Program Saintifikasi Jamu dan tugas Komisi Nasional Saintifikasi
Jamu, maka salah satu tugas yang amat penting adalah menyusun pedoman nasional
terkait dengan metodologi Saintifikasi Jamu. Berkaitan dengan hal tersebut maka
dipandang perlu untuk menyusun Pedoman Metodologi Saintifikasi Jamu Untuk Evaluasi
Keamanan dan Kemanfaatan Jamu.
8
BAB III
PERTIMBANGAN DALAM EVALUASI KEAMANAN DAN
KEMANFAATAN JAMU
Dalam menetapkan metodologi penelitian yang sesuai untuk jamu, diperlukan
berbagai pertimbangan karena karakteristik jamu yang berbeda dengan obat modern.
Pertimbangan yang dikemukakan dalam bab ini berdasar pada beberapa pertanyaan
berikut:
a. Apakah pengembangan jamu saintifik dalam program Saintifikasi Jamu harus
mengikuti tahapan pengembangan obat baru?
b. Apakah mengevaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu berbeda dengan
mengevaluasi keamanan dan kemanfaatan obat?
c. Kalau harus dibedakan, dimensi apa yang harus dibedakan? (tahapan, desain
penelitian, outome variables)
d. Apakah uji klinik jamu untuk keperluan industri (dengan maksud didaftarkan ke
Badan POM) harus dibedakan dengan uji klinik jamu untuk keperluan komunitas?
Sebagaimana dimaklumi dalam pengembangan obat baru (obat modern) akan
selalu diawali dengan (a) penelitian pre-klinik, (b) uji klinik fase 1, (c) uji klinik fase 2, (d)
uji klinik fase 3, dan barulah obat dapat diajukan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan
untuk mendapat persetujuan agar dapat dipasarkan di Indonesia .
Prinsip dasar pengobatan adalah menghilangkan gejala dan juga menyembuhkan
penyakit serta jika mungkin mencegah timbulnya komplikasi dan kecacatan. Dalam
prinsip dasar ini tercakup pula ketentuan bahwa manfaat klinik obat yang diberikan harus
melebihi risiko yang mungkin terjadi sehubungan dengan pemakaiannya. Untuk dapat
menilai secara obyektif keamanan dan kemanfaatan jamu diperlukan pengetahuan
mengenai metodologi uji klinik, yaitu suatu perangkat metodologi ilmiah untuk menilai
kemanfaatan klinik suatu obat atau perlakuan (intervensi) terapetik tertentu, dengan
memperhatikan efek samping yang tidak dikehendaki (adverse effect) baik individual
maupun populasi.
Penilaian manfaat klinik (clinical efficacy) suatu obat tidak dapat didasarkan hanya
pada pengalaman secara individual, baik oleh pemakai obat (prescriber) atau pasien saja.
9
Hal ini oleh karena dalam menginterpretasi pengalaman-pengalaman tersebut, masingmasing akan dipengaruhi oleh pre-condontion (bias) akan kemanfaatan obat yang
dimaksud. Dalam praktik kedokteran konvensional, manfaat klinik suatu obat atau
pengobatan harus dapat dibuktikan secara ilmiah dengan metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Hingga saat ini uji klinik telah diterima secara luas sebagai satusatunya metode yang efektif untuk menilai keamanan dan kemanfaatan suatu obat,
tindakan pengobatan, atau strategi terapetik tertentu dalam klinik.
PERSETUJUAN
EDAR
REVIEW BADAN POM
PENYERAHAN DOKUMEN
UJI KLINIK FASE 3
UJI KLINIK FASE 2
UJI KLINIK FASE 1
PENGAJUAN PERSETUJUAN UJI KLINIK OBAT BARU KEPADA BADAN POM
UJI PRE-KLINIK
KEPUTUSAN PENGEMBANGAN
PENEMUAN SENYAWA BARU
Gambar 1
Urutan penelitian pengembangan obat baru
(Diadaptasi dari Schacter, 2006)9
Tahapan pengembangan obat baru dimulai dari penemuan senyawa aktif
(discovery) sampai dengan persetujuan ijin pemasaran dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Badan POM). Untuk dapat masuk uji klinik fase 1 (First in Human/ FIH), proses
dimulai dari penemuan senyawa aktif sampai mendapat informasi lengkap secara preklinik, baik itu menyangkut profil farmakokinetik, farmakodinamik, toksisitas akut,
toksisitas sub-kronik, toksisitas kronik, teratogenisitas, mutagenisitas, dan lain-lain, untuk
dapat diajukan sebagai Investigational New Drug (IND) kepada Badan POM. Proses
selanjutnya, IND dikaji keamaman dan kemanfaatannya, masuk ke dalam uji klinik fase 1,
fase 2, dan fase 3, untuk selanjutnya dimintakan persetujuan ijin edar kepada Badan
POM. Keseluruhan proses pengembangan obat baru ini umumnya memerlukan waktu
antara 10-15 tahun.
10
Uji pre-klinik
Uji pre-klinik untuk obat atau suatu uji yang dilakukan secara in-vitro dan in-vivo
pada hewan percobaan. Kebanyakan uji pre-klinik melibatkan skrining menggunakan
software melalui pendekatan structure activity relationship (in-silico). Uji pre-klinik
memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi keamanan dan khasiat bahan uji sebelum
diuji-cobakan pada manusia. Uji keamanan, yang biasa disebut uji toksisitas, meliputi
toksisitas akut, toksisitas sub-kronis dan toksisitas khusus. Uji khasiat, yang meliputi uji
farmakodinamik dan farmakokinetik digunakan untuk mengetahui mekanisme kerja.
Uji klinik fase 1
Uji awal pada subyek manusia untuk mengetahui profil farmakokinetik (absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi) serta farmakodinamik. Pada uji klinik fase 1 akan
diketahui profil keamanan pertama obat tersebut pada manusia, berkaitan dengan dosis
dan memperoleh bukti awal efikasi obat dan regimen terapi. Umumnya menyertakan
subyek sehat dalam jumlah terbatas namun
dalam keadaan tertentu dapat
mengikutsertakan pasien.
Uji klinik fase 2
Uji klinik fase 2 merupakan uji klinik terkendali, dilakukan pada sejumlah subyek yang
terbatas (kurang lebih 100 orang). Uji klinik fase 2 dimaksudkan untuk evaluasi lebih
lanjut terhadap efikasi suatu obat pada indikasi tertentu yang sedang diteliti dan
mengidentifikasi adanya risiko efek samping jangka pendek. Pemilihan subyek dilakukan
terhadap pasien dengan kriteria inklusi dan eksklusi ketat, hanya menderita penyakit
yang sedang diteliti. Uji klinik fase 2 dirancang sedemikian rupa sehingga semua faktor
pengganggu (confounding factors) dapat dikendalikan.
Uji klinik fase 3
Uji klinik fase 3 merupakan
uji yang diperluas, menyertakan ratusan pasien dan
dirancang sesuai kondisi pelayanan pengobatan yang sesungguhnya. Suatu uji terkendali,
acak tersamar ganda (double blind randomized-controlled clinical trial). Namun dapat
juga berupa uji klinik tanpa kontrol setelah suatu obat memiliki bukti awal efikasi. Uji
klinik fase 3 ditujukan untuk memperoleh konfirmasi lebih lanjut atas efikasi suatu obat
11
baru dan keseluruhan hubungan manfaat-risiko. Uji klinik fase 3 menyertakan pasien
dengan kriteria yang sesuai dengan kondisi seperti yang terdapat pada populasi, karena
itu dapat memberikan indikasi dasar yang cukup bagi dokter untuk menggunakan obat
baru ini.
Uji klinik fase 4 (Post Marketing Surveillance)
Merupakan uji pasca pemasaran untuk mendapatkan semua informasi tentang
risiko/efek samping dan indikasi yang belum dapat terdeteksi pada uji klinik fase 1 sampai
3.
Dari penjelasan diatas, kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah penelitian
untuk evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu harus mengikuti tahapan penemuan
obat baru?
Masalah pokok yang dihadapi jamu adalah ketersediaan bukti ilmiah
terpercaya. Di kalangan profesional kesehatan dan industri sampai saat ini, uji klinik
merupakan baku emas (gold standard) yang dapat memberikan bukti terpercaya untuk
obat yang akan dikonsumsi manusia. Sementara itu memang ada beberapa perbedaan
mendasar antara entitas jamu dan obat (Lihat Tabel 1), sehingga perlu ada pertimbangan
lain dalam meneliti kemanfaatan dan keamanan jamu.
Tabel 1
Perbedaan karakteristik obat dan jamu yang harus diperhatikan dalam melakukan studi
klinik jamu
Karakteristik
Obat
Jamu
Perlindungan
pengetahuan
Akses terhadap pengembangan
obat tertutup, dilindungi paten
Akses terhadap pengembangan
jamu terbuka, dapat diakses oleh
setiap orang, merupakan kearifan
lokal
Formula
Sudah ditetapkan terlebih
dahulu dan sudah diuji
Formula tergantung dari kondisi
setempat
Pengujian
Uji klinik yang kokoh atas
keamanan dan pemanfaatan
Pengujian secara klinik belum banyak
dilakukan sebagian besar uji preklinik
Dosis
Dosis tetap, terukur secara
akurat
Dosis tidak tetap, dihitung secara
kasar, zat aktif sangat bervariasi
Regulasi
Sangat ketat
Tidak terlalu ketat
12
Melihat perbedaan karakteristik obat dan jamu sebagaimana Tabel 1, maka uji
klinik untuk evaluasi kemanfaatan dan keamanan obat modern (yang dianggap sebagai
baku emas) harus dimodifikasi sesuai dengan karakteristik jamu, yang sifatnya adalah
tradisional, akses publik bersifat terbuka, kearifan lokal, dan sebagainya.
Jamu telah digunakan turun-temurun selama berabad-abad oleh nenek moyang
bangsa Indonesia, untuk meningkatkan kesehatan dan menjaga kebugaran. Pengalaman
menggunakan jamu oleh nenek moyang dapat memberi bukti keamanan dan
kemanfaatan jamu secara empirik. Bukti empirik memang bukan bukti ilmiah, namun
upaya untuk meningkatkan bukti empirik menjadi bukti ilmiah merupakan terobosan
berharga. Selama empat dekade terakhir ini konfirmasi keamanan dan kemanfaatan
empirik dilakukan melalui uji pre-klinik pada hewan coba. Konfirmasi ini sudah dianggap
terobosan sehingga jamu yang memiliki data pre-klinik dapat didaftarkan dan diberi ijin
edar sebagai obat herbal terstandar (OHT) dan digunakan oleh masyarakat.
Namun, persoalan lebih lanjut adalah seberapa jauh konfirmasi pre-klinik ini dapat
dipercaya oleh kalangan profesional yang beranggapan bahwa “human is the final test
tube”. Obat untuk manusia memang harus berdasarkan uji pada manusia. Uji klinik pada
manusia harus mengikuti kaidah Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) atau Good Clinical
Practices (GCP). Prinsip GCP pada dasarnya adalah kokoh secara ilmiah dan etika
penelitian kesehatan. Secara etika, uji klinik harus menghargai martabat subyek
penelitian, adanya kemanfaatan dan sekecil mungkin risiko, serta menerapkan azas
keadilan tanpa diskrimasi terhadap semua subyek penelitian.
Dengan mempertimbangkan karakteristik pengobatan jamu yang berbeda dengan
obat modern dan di pihak lain uji klinik harus memenuhi prinsip-prinsip GCP, maka
dipandang perlu untuk memodifikasi uji klinik obat modern, bila diterapkan pada uji klinik
jamu. Hal yang mendasari pertama, karena kandungan senyawa dalam jamu sangat
kompleks sehingga menyebabkan kesulitan menjelaskan mekanisme kerja dan profil
farmakokinetik. Kedua, secara empirik keamanan penggunaan jamu pada manusia sudah
teruji secara turun-temurun, tetapi secara ilmiah belum diakui. Dilain pihak bukti ilmiah
dituntut oleh tenaga kesehatan profesional. Ketiga, produk akhir program Saintifikasi
Jamu adalah jamu saintifik yang bersifat jamu generik, yang dapat dipakai oleh
masyarakat luas. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka uji klinik kemanfaatan dan
13
keamanan jamu pada Program Saintifikasi Jamu ini kita sebut sebagai: STUDI KLINIK
JAMU. Studi klinik jamu adalah pembuktian ilmiah tentang keamanan dan kemanfaatan
jamu berdasarkan bukti empirik yang sudah ada di masyarakat. Sementara, uji klinik jamu
untuk mengarah pada produk pabrikan (produk fitofarmaka) tetap disebut UJI KLINIK,
dan harus sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Lewith, Jonas, dan Walach (2005)10 membedakan antara metodologi penelitian
untuk evaluasi efikasi (effects testing) dan pola pemanfaatan di masyarakat (use testing),
sebagaimana terlihat di Gambar 2.
Gambar 2
Pola metodologi penelitian obat tradisional, terkait pengujian efek (effects testing) dan
pengujian penggunaan (use testing). Sumber: Lewith, Jonas, dan Walach (2005).
Dari Gambar 2 terlihat bahwa setiap pengguna hasil penelitian mempunyai
preferensi tertentu terhadap bukti ilmiah hasil penelitian. Misalnya, regulator
menginginkan bukti yang komprehensif terhadap efek suatu intervensi (pengobatan). Hal
14
ini hanya dapat dilakukan melalui metode riset: review atau meta-analisis. Peneliti klinik
menginginkan bukti atribusi (pengaruh) apakah suatu outcome klinik benar-benar
diakibatkan oleh suatu intervensi (pengobatan); hal ini hanya dapat dilakukan melalui
Randomized Controlled Trials (RCT). Ilmuwan dasar ingin mengetahui mekanisme
(patogenesa) suatu penyakit; hal ini hanya dapat dikerjakan melalui metode riset
laboratorium.
Di pihak lain, ahli kesehatan masyarakat lebih menyukai aspek-aspek penggunaan
/ pemanfaatan suatu intervensi di masyarakat; hal ini dapat dikerjakan melalui metode
riset pelayanan kesehatan (health system research). Praktisi lebih menyukai hasil-hasil
penelitian yang terkait dengan efektivitas (penggunaan secara secara riil di klinik atau di
masyarakat); hal ini dapat dikerjakan dengan pendekatan metode riset epidemiologi
(studi survei potong lintang, studi observasional). Selanjutnya, pasien biasanya lebih
tertarik kepada hasil penelitian studi kasus kualitatif. Bahkan, informasi anectodal
(testimoni) dapat mempengaruhi pasien dalam pola pencarian pengobatan.
Dalam melakukan penelitian saintifikasi jamu, kita harus menyeimbangkan antara
metode pengujian efek (effect testing) dan metode pengujian penggunaan (use testing).
Dengan melihat diagram pada Gambar 2, maka untuk mendapatkan bukti yang kokoh
terhadap klaim efikasi (bukti pengaruh / atribusi) suatu intervensi (pengobatan) maka
metode yang digunakan haruslah uji klinik dengan metode Randomized Controlled Trials
(RCT). Penelitian observasional (pendekatan epidemiologi) hanya mampu menyediakan
bukti efektivitas (bukti asosiasi) antara outcome klinik dan suatu intervensi (pengobatan).
Dikaitkan dengan metode penelitian saintifikasi jamu, karena jamu secara kultural
sudah dipraktikkan masyarakat secara turun temurun, maka baik metodologi pengujian
efek (effect testing) dan pengujian penggunaan (use testing) perlu dikerjakan secara
berimbang sesuai dengan tujuan dilaksanakannya penelitian.
Isu lain yang harus dipertimbangkan dalam studi klinik jamu adalah bahwa
pengobatan tradisional, termasuk modalitas jamu, menggunakan pendekatan holistik.
Pengobatan holistik menggunakan pendekatan yang “utuh” antara raga-jiwa-ruhani
(body-mind-spirit), sementara pengobatan modern (alopatik) menggunakan pendekatan
partial (reduksionisme). Sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Hahnemann, seorang
tokoh naturopathy, bahwa pekerjaan (panggilan) tertinggi dari seorang dokter adalah
15
memulihkan kesehatan si sakit, yang ujungnya berdampak pada kesembuhan (healing)
(lihat Gambar 3).
Gambar 3
Prinsip pengobatan holistik sebagaimana diungkapkan Samuel Hahnemann.
Prinsip pendekatan holistik pada pengobatan tradisional termasuk jamu
1. Mencari pola dan penyebab.
2. Mengobati manusia secara utuh/keseluruhan.
3. Nyeri dan penyakit dipandang sebagai tanda yang menunjukkan internal disharmony
(ketidakseimbangan dalam tubuh).
4. Penyakit dipandang sebagai proses.
5. Tubuh dianggap sebagai sistem yang dinamik dari area raga-jiwa-ruhani (body-mindspirit) dan energi.
6. Teori dan konsep pencegahan, diagnosis dan pengobatan penyakit bersandar pada
pendekatan holistik.
7. Gangguan kesehatan ditangani/diobati secara menyeluruh dan bersamaan, baik dari
aspek fisik, mental, spiritual, emosional, sosial dan lingkungan.
8. Pengobatan holistik selalu dikombinasi dengan praktek perilaku hidup sehat, antara
lain diet makanan tertentu, olahraga, menghindari stress.
9. Dipertimbangkannya informasi kualitatif pasien, termasuk pernyataan pasien tentang
konsep sakit-sehat, hasil pengobatan, perilaku, intuisi dan lainnya.
10. Kesetaraan hubungan dokter dan pasien lebih dominan, waktu konsultasi lebih
panjang, pasien lebih bebas dan menerima tanggung jawab sendiri.
16
Pengukuran outcome klinik dari studi klinik jamu
Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa pengobatan jamu terkait dengan isu sudah
digunakan turun temurun, sudah ada bukti empirik di masyarakat, sifat jamu yang
berbeda dengan obat modern, pendekatan pengobatan holistik, maka pengukuran
variabel
outcome
klinik
pada
pengobatan
menyeimbangkan parameter obyektif
dengan
jamu
haruslah
mampu
(pendekatan etik/ukuran-ukuran menurut
pandangan dokter) dan parameter subyektif (pendekatan emik /ukuran-ukuran menurut
pandangan pasien).
Parameter obyektif
1. Survival (kematian)
2. Variabel obyektif ( hasil pemeriksaan yang terukur)
Parameter subyektif
1. Kualitas hidup secara umum (Quality of Life)
2. Kualitas hidup terkait dengan penyakitnya (misalnya skor rematik, skor dispepsia,
dan skor lainnya sesuai dengan penyakit yang diteliti)
3. Data naratif dari hasil wawancara mendalam
Bagaimana studi klinik jamu sebaiknya dilaksanakan ?
Pada dasarnya studi klinik Jamu dan uji klinik obat harus menerapkan prinsip Cara
Uji klinik yang Baik (CUKB), tidak ada perbedaan pesyaratan bagi kedua uji tersebut. Akan
tetapi berdasarkan perbedaan karakteristik antara
jamu dan obat maupun praktik
pengobatan konvensional dan pengobatan tradisional menggunakan jamu, maka studi
klinik jamu sebaiknya merupakan modifikasi CUKB.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti studi klinik jamu, meliputi:
a. perbedaan klasifikasi dan cara diagnosis penyakit
b. memastikan pengobatan yang adekuat
c. interaksi antara efek plasebo dan non plasebo, interaksi antara jamu dan obat
d. pemilihan parameter outcome klinik, apakah sesuai dengan yang dipahami pasien
dan atau sesuai teori kedokteran.
e. risiko terkait dengan modalitas yang belum baku
17
f. asumsi-asumsi pada penerapan randomisasi, ketersamaran dan hal-hal yang
mempengaruhi.
g. mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama pengobatan berjalan
terkait dengan sifat dasar holistik dalam pengobatan dengan jamu.
h. setiap desain studi klinik jamu akan berimplikasi pada tingkatan pembuktian
(level of evidence).
Pada jamu yang telah mempunyai bukti empirik (turun-temurun), maka dapat
dilakukan modifikasi metodologi penelitian jamu dengan mengandalkan data keamanan
dan kemanfaatan empirik yang sistimatik dan valid melalui beberapa metoda. Data
empirik ini dianggap penting dan menjadi kata kunci utama, karena dewasa ini banyak
ramuan herbal yang sebenarnya tidak turun temurun, namun diklaim sebagai obat
tradisional. Dan kedua jenis jamu ini (jamu dan ramuan/formula baru) memang sulit
dibedakan dan mudah diperdebatkan.
Dalam hal ini, validitas data awal mengenai keamanan dan kemanfaatan menjadi
tantangan bagi independent reviewer baik komisi etik, komisi ilmiah maupun penilai uji
klinik. Selain itu, perlu dibedakan antara studi klinik dalam konteks memperoleh produk
komersial untuk industri dan studi klinik jamu yang akan diterapkan untuk kepentingan
kesehatan masyarakat.
Tabel 2.
Metodologi uji keamanan dan kemanfaatan jamu
A Jamu untuk komunitas
Pendekatan metodologi dan desain
(publik)
1 Deskripsi pemanfaatan
 Studi ethno-medicine
oleh masyarakat
 Studi epidemiologi (Cross-sectional survey)
 Studi pelayanan kesehatan (health services research)
2 Ramuan/formula turun
 Studi klinik jamu fase 2 (dengan desain outcome
temurun
study)
 Studi klinik jamu fase 3 (dengan desain RCT tanpa
blinding)
3 Ramuan/formula baru
 Studi pre-klinik (uji toksisitas akut, uji toksisitas subkronik)
 Studi klinik jamu fase 1
 Studi klinik jamu fase 2 (dengan desain outcome
18
B
Jamu untuk orientasi
produk
1. Fitofarmaka
study)
 Studi klinik jamu fase 3 (dengan desain RCT tanpa
blinding)
Pendekatan metodologi dan desain





Uji pre-klinik
Uji klinik fase 1
Uji klinik fase 2
Uji klinik fase 3 (blinding)
Aplikasi ke Badan POM
19
BAB IV
SYARAT BAHAN UNTUK SAINTIFIKASI JAMU
Alur pikir yang digunakan untuk menyediakan bukti ilmiah penggunaan jamu
adalah pendekatan “logiko empiriko verifikatif “, yaitu melakukan penelitian ilmiah yang
dapat diterima secara keilmuan untuk mem-verifikasi manfaat penggunaan jamu yang
secara empiris digunakan oleh masyarakat secara turun-temurun.
Seberapa jauh validitas keamanan dan kemanfaatan jamu empirik?
Keamanan dan kemanfaatan jamu empirik merupakan isu (permasalahan) yang
mengundang perdebatan bagi peneliti dan praktisi pelayanan kesehatan. Apalagi dewasa
ini banyak ramuan baru yang menyebut diri memiliki khasiat empirik. Namun demikian,
data empirik ini merupakan data yang penting untuk mendapatkan kemudahan dalam
penerapan studi klinik jamu. Data valid yang dibutuhkan terutama adalah data keamanan
dan kemanfaatan empirik. Data empirik dapat juga diperoleh melalui studi etnografi,
survei masyarakat, observasi dengan penerapan kaidah klinik terhadap praktik pengobat
tradisional (battra) terpilih atau kajian atas catatan pengobatan battra, dan studi
epidemiologi lainnya. Jika data keamanan dan kemanfaatan dirasa kurang valid maka
perlu diperbaiki melalui data-data pre-klinik dari penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.
Dalam studi klinik jamu, khususnya terkait dengan evaluasi kemanfaatan dan
keamanan, maka bahan uji haruslah memenuhi standar yang telah ditetapkan, baik oleh
Farmakope Herbal Indonesia maupun buku-buku pedoman lainnya. Komponenkomponen standarisasi bahan uji adalah seperti pada Gambar 4
.
20
Gambar 4
Standarisasi Bahan Uji Saintifikasi Jamu
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan
yang dikeringkan. Jaminan mutu simplisia meliputi penerapan proses pengolahan untuk
memperoleh simplisia yang benar, bersih, aman dan berkhasiat.
Keamanan dan khasiat jamu sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakunya
termasuk yang digunakan sebagai bahan studi klinik jamu. Beberapa faktor yang
mempengaruhi mutu bahan baku jamu, yang bisa diklasifikasikan sebagai internal atau
genetik dan eksternal atau lingkungan antara lain metoda koleksi, budidaya, panen, paska
panen, transportasi dan penyimpanan. Faktor-faktor tersebut merupakan parameter
fisika dan kimia, sebagaimana yang tercantum pada Farmakope Herbal Indonesia (FHI)11.
Buku ini mencantumkan persyaratan yang harus dipenuhi bahan uji jamu, dan obat
tradisional
berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
No.
374/Menkes/SK/IV/2008, selain itu dapat merujuk pula Materia Medika Indonesia (MMI)
(12)
(lihat Gambar 4).
Dalam buku Pedoman Good Agricultural Collecting Practice (GACP)
13
yang
diterbitkan WHO, sudah dijelaskan secara rinci, bagaimana memilih dan menentukan
kualitas tanaman obat sebagai sumber bahan baku obat herbal. GACP WHO tersebut
21
memuat tata cara mengumpulkan bahan baku herbal, dengan memperhatikan waktu,
iklim dan kondisi petik atau panen yang tepat, bagian tanaman yang dipakai,
meminimalkan kontaminasi tanah, mikroba dan pengotor lain.
Saat panen atau pengambilan bahan tanaman obat, harus memperhatikan musim
dan umur tanaman untuk menjamin kualitas dan kandungan senyawa aktif yang
maksimal, karena kandungan senyawa aktif suatu tanaman obat sangat dipengaruhi oleh
umur dan pertumbuhan tanaman. Waktu yang tepat untuk pengambilan tanaman harus
berdasarkan perkiraan kandungan senyawa aktif yang tertinggi, bukan berdasar volume
atau berat tanaman obat. Bahan rimpang temu-temuan akan memiliki kadar zat aktif
pada saat bagian diatas tanah dari tanaman sedang mengering. Di Indonesia pada
umumnya terjadi pada bulan Juli sampai September.
Proses paska panen harus juga mendapat perhatian karena turut menentukan
mutu simplisia. Proses paska panen meliputi sortasi, pencucian, perajangan, pengeringan,
serta penyimpanan, yang harus dilakukan secara tepat agar diperoleh simplisia yang
stabil secara fisik maupun kimiawi.
Beberapa parameter yang dianjurkan untuk menentukan mutu bahan tanaman
obat antara lain:
1. Identitas simplisia
Perlu dilakukan verifikasi botani, yaitu penentuan taksonomi, pengamatan
makroskopik dan mikroskopik.
2. Parameter fisik
Pengamatan fisik : organoleptik (bentuk, warna, rasa, bau)
3. Evaluasi parameter non spesifik meliputi kadar air, kadar abu total, kadar abu tak
larut asam, kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol, batas cemaran mikroba,
logam berat dan pestisida.
4. Evaluasi parameter spesifik meliputi: kebenaran bahan melalui analisis
kromatografi, meliputi Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas (KG),
Kromatografi Cair Kerja Tinggi (KCKT) serta analisis spektrofotometri (Ultra violetVisual, Infra Red, Nuclear Magnetic Resonance, Mass Spectrophotometry).
5. Informasi tentang bahan uji obat herbal cara penyiapan sediaan, posologi atau
regimen pengobatan yang digunakan harus dibuat tertulis dalam bentuk brosur
peneliti (investigational brochure).
22
Bahan uji harus disiapkan oleh apoteker independen, dengan prosedur operasional baku
tertulis untuk menjamin mutu tiap batch.
Dalam hal aspek budidaya, yang juga sangat menentukan mutu bahan yang
dihasilkan, dapat merujuk pada GACP WHO dan Materia Medika Indonesia.
Pada pengadaan bahan baku program Saintifikasi Jamu yang telah berlangsung,
bahan uji jamu disediakan oleh B2P2TO-OT Tawangmangu, yang telah menerapkan kaidah
baku mutu sejak penyediaan bibit, budidaya, hingga pasca panen. Parameter mutu bahan
uji yang diperoleh dari B2P2TO-OT merupakan baku kerja. Dengan meluasnya cakupan
wilayah pelayanan Saintifikasi Jamu di seluruh tanah air, keperluan bahan uji jamu akan
sangat meningkat, dapat disuplai oleh pihak-pihak lain dan harus dikonversi terhadap
baku kerja. Oleh karena itu ketentuan standarisasi proses hulu sampai dengan hilir harus
segera ditetapkan melalui kebijakan Kementerian Kesehatan, agar kualitas bahan uji jamu
terjaga dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sediaan jamu yang diuji pada saat ini formulanya ditentukan oleh Komisi Nasional
Saintifikasi Jamu dan disiapkan oleh B2P2TO-OT Tawangmangu. Apabila ada pihak lain
yang akan menyiapkan sediaan uji tersebut harus mengikuti persyaratan mutu yang telah
ditetapkan oleh B2P2TO-OT.
Persyaratan ramuan/formula
Pemilihan bahan secara tepat
Mengingat bahan jamu sangat bervariasi, maka sebaiknya menggunakan jenis dan
sumber yang jelas. Sebagai contoh, berdasarkan pustaka, tanaman lempuyang ada 3
jenis, yaitu lempuyang emprit (Zingiber amaricans L.), lempuyang gajah (Zingiber
zerumbert L.) dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan
lempuyang gajah berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris digunakan untuk
menambah nafsu makan; sedangkan lempuyang wangi berwarna lebih putih (kuning
pucat) rasa tidak pahit dan berbau lebih harum, banyak digunakan sebagai komponen
jamu pelangsing. Kenyataannya banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal
tersebut, sehingga kalau ditanya jenisnya hanya mengatakan yang dijual lempuyang
tanpa mengetahui apakah lempuyang wangi atau yang lain.
23
Takaran/dosis Jamu
Dosis ramuan harus ditetapkan berdasarkan penggunaan empiris dan hasil
penelitian. Dosis yang terlalu kecil tidak akan memberikan manfaat sedangkan dosis yang
terlalu tinggi akan memberikan efek samping merugikan. Sebagai contoh, daun seledri
(Apium graveolens L.) telah diteliti dan terbukti mampu menurunkan tekanan darah,
tetapi pada penggunaannya harus berhati-hati karena pada dosis berlebih (over dose)
dapat menurunkan tekanan darah secara drastis, sehingga jika penderita tidak tahan
dapat menyebabkan syok. Oleh karena itu sebaiknya tidak mengkonsumsi lebih dari 1
gelas perasan seledri untuk sekali minum. Contoh lain adalah penggunaan gambir untuk
menghentikan diare. Kandungan tanin yang tinggi dalam gambir dapat menyebabkan
konstipasi yang berkepanjangan jika dikonsumsi lebih dari 1 ibu jari sekali minum.
Ketepatan waktu penggunaan
Waktu penggunaan jamu harus tepat dalam pelayanannya. Dalam pelayanan
diperlukan kehati-hatian. Meskipun jamu terjamin keamanannya, namun kehati-hatian
tetap diperlukan. Sebagai contoh, sekitar tahun 1980-an terdapat suatu kasus di salah
satu rumah sakit bersalin, beberapa pasien mengalami kesulitan persalinan akibat
mengkonsumsi jamu cabe puyang sepanjang masa (termasuk selama masa kehamilan).
Setelah dilakukan penelitian, ternyata jamu cabe puyang mempunyai efek menghambat
kontraksi otot polos pada binatang percobaan. Ibu hamil yang mengkonsumsi jamu cabe
puyang pada masa yang mendekati persalinan maka kontraksi otot rahim terhambat
sehingga mempersulit persalinan.
Ketepatan cara penggunaan
Cara penggunaan jamu harus tepat, mengingat tidak semua herbal aman. Sebagai
contoh, daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid turunan
tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran pernafasan) sehingga
digunakan untuk pengobatan penderita asma. Penggunaannya dengan cara dikeringkan
lalu digulung dan dibuat rokok serta dihisap (seperti merokok). Penggunaan tanaman
obat secara direbus dan diminum tidak berlaku pada penggunaan kecubung, karena akan
terjadi keracunan akibat tingginya kadar alkaloid dalam darah.
24
BAB V
METODOLOGI PENELITIAN EVALUASI KEAMANAN DAN
KEMANFAATAN JAMU
Sebagaimana
telah
dijelaskan,
bahwa
tujuan
Saintifikasi
Jamu
adalah
menyediakan bukti ilmiah tentang keamanan dan kemanfaatan jamu, khususnya terkait
dengan penggunaan jamu untuk komunitas.
Alur pikir yang digunakan untuk
menyediakan bukti ilmiah penggunaan jamu adalah pendekatan “logiko empiriko
verifikatif“, yaitu melakukan penelitian ilmiah yang dapat diterima secara keilmuan untuk
mem-verifikasi manfaat penggunaan jamu, yang secara empiris digunakan oleh
masyarakat secara turun temurun.
Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas tentang metodologi penelitian jamu
sebagaimana telah diidentifikasi di Bab III.
5.1.
Studi deskriptif
5.1.1. Studi ethnomedicine
Ethnomedicine adalah ilmu yang mempelajari aspek kesehatan melalui
pendekatan budaya untuk mengetahui cara pengobatan, sejarah pengobatan, masalahmasalah sosial dalam pengobatan dan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat
kearifan lokal. Penelitian dapat berupa :
-
Inventarisasi pengobatan tradisional menggunakan jamu, hewan, dan
mineral yang digunakan oleh etnis tertentu di Indonesia.
-
Eksplorasi dan inventarisasi manfaat pengobatan dengan jamu yang digunakan
oleh pengobat tradisional di Indonesia
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian untuk
memahami perilaku manusia secara mendalam dengan mengumpulkan data dalam
bentuk narasi (kata-kata) dan gambar/foto, bersifat deskriptif. Studi ethnomedicine
menerapkan prinsip-prinsip metode studi etnografi (ethnographic studies). Studi
etnografi
mendeskripsikan dan menginterpretasikan budaya, kelompok sosial atau
sistem di masyarakat. Meskipun makna budaya itu sangat luas, tetapi studi etnografi
biasanya dipusatkan pada pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan cara-cara
hidup.13
25
Etnografi adalah suatu riset untuk menggali dan mempelajari sosial budaya yang
merupakan dasar pengalaman manusia.15 Riset ini memanfaatkan pendekatan empiris
dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang sosial
budaya berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Etnografer bertugas
membuat deskripsi mendalam (thick descriptions) yang menggambarkan ‘kejamakan
struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak terucap
dan dianggap sebagai kewajaran (taken-for granted) mengenai kehidupan. Seorang
etnografer
memfokuskan
perhatiannya
pada
detil
kehidupan
lokal
dan
menghubungkannya dengan proses sosial yang lebih luas, berdasarkan pengalaman
informan.
Kajian budaya etnografis memusatkan diri pada penelitian kualitatif tentang nilai dan
makna dalam konteks ‘keseluruhan cara hidup’, yaitu dengan persoalan kebudayaan,
dunia-kehidupan (life-worlds) dan identitas. Dalam kajian budaya yang berorientasi
media, etnografi menjadi kata yang mewakili beberapa metode kualitatif, termasuk
participant observation, wawancara mendalam (indepth interview) dan diskusi kelompok
terarah (focused group discussion).
Studi ethnomedicine mempelajari praktik-praktik pengobatan tradisional baik oleh
battra maupun oleh masyarakat termasuk modalitas terapi yang digunakan (jamu)
dengan pendekatan etnografi. Dalam studi ethnomedicine, peneliti adalah pembelajar
sementara informan adalah ahli dalam pengobatan tradisional. Untuk mendapatkan
penjelasan detail terkait studi ethnomedicine dapat dibaca pada buku-buku metodologi
terkait etnografi, ethnomedicine, dan etnofarmakologi.
5.1.2 Studi epidemiologi
Epidemiologi adalah suatu studi tentang kejadian dan determinan masalah
kesehatan di
masyarakat. Last (2001) mendeskripsikannya sebagai Ilmu
tentang
distribusi dan determinan-determinan dari keadaan atau kejadian yang berhubungan
dengan
kesehatan
di
dalam
populasi
tertentu, serta
penerapannya
untuk
mengendalikan masalah‐masalah kesehatan.16
Tujuan studi epidemiologi adalah:
-
Mendiagnosis masalah kesehatan masyarakat
-
Menentukan riwayat alamiah dan etiologi penyakit
26
-
Menilai dan merencanakan pelayanan kesehatan
Studi epidemiologi secara garis besar dapat dibagi menjadi:
1) Studi deskriptif : studi/penelitian epidemiologi yang menitikberatkan pada
karakteristik dari frekuensi/distribusi penyakit dalam kaitannya dengan faktor
person (who), time (when) dan place (where)
2) Studi analitik: studi epidemiologi yang menitikberatkan pada pencarian hubungan
sebab-akibat: sebab (faktor risiko), akibat (kejadian penyakit)
Dalam pendekatan epidemiologi, jenis penelitian dapat berupa penelitian penelitian
observasional dan ekperimental. Penelitian observasional dapat berupa survei crosssectional, case-control study, dan cohort study. Untuk mendapatkan penjelasan detail
tentang studi epidemiologi dapat dibaca pada buku-buku rujukan epidemiologi dan studi
eksperimental.
Kaitannya dengan studi jamu, survei cross-sectional merupakan metode yang
penting untuk mendapatkan informasi terkait angka kejadian (prevalensi) dan pola
penggunaan jamu di masyarakat, pengobat tradisional, dan pemberi pelayanan
kesehatan profesional. Sebagai contoh, Riskesdas tahun 2010 telah melakukan survei
secara nasional tentang penggunaan jamu di Indonesia. Data ini menjadi sangat penting
dalam rangka mendapatkan data dasar (base-line data) tentang penggunaan jamu di
seluruh provinsi di Indonesia.
5.1.3 Studi pelayanan kesehatan
Studi pelayanan kesehatan (health services research) atau sering disebut juga
studi sistem kesehatan (health system research ) adalah studi terhadap sistem pelayanan
kesehatan khususnya terkait upaya efisiensi dan efektivitas sistem kesehatan sebagai
bagian integral dari proses pengembangan sosial ekonomi dalam rangka peningkatan
kesehatan masyarakat.16
Studi pelayanan kesehatan biasanya fokus pada masalah prioritas, orientasi pada
solusi masalah (action oriented), multidisiplin, orientasi pengguna (client oriented),
dilaksanakan tepat waktu (timely), disain sederhana, dan hasilnya disampaikan pada klien
dengan format yang familiar dengan klien (pengambil kebijakan).17
Studi pelayanan kesehatan terkait dengan pelayanan jamu, misalnya studi
effectiveness analysis pengobatan jamu versus pengobatan obat modern, studi Cost
27
benefit analysis pengobatan jamu versus pengobatan obat modern, studi manajemen
pengobatan tradisional, studi analisis kebijakan pengobatan tradisional, dan sebagainya.
Studi pemetaan kebijakan nasional negara-negara di dunia terkait pengobatan tradisional
yang dilaksanakan oleh WHO (National Policy on Traditional Medicines and Regulation of
Herbal Medicines, 2005)18 adalah contoh dari studi dengan pendekatan health system
research. Penjelasan lebih detail terkait metodologi studi pelayanan kesehatan dapat
diperoleh pada rujukan metodologi studi pelayanan kesehatan (health system research),
manajemen kesehatan, dan kebijakan kesehatan (health policy research).
5.2. Studi evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu
5.2.1. Studi pre-klinik jamu
Uji pre-klinik adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum studi klinik jamu atau
pengujian pada manusia. Uji pre-klinik memiliki satu tujuan utama yaitu mengevaluasi
keselamatan dan khasiat bahan uji sebelum diuji-cobakan pada manusia.
Informasi yang diperoleh dengan menafsirkan data dalam uji preklinik sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya produk berbahaya dan beracun agar tidak
memasuki lingkungan dan masyarakat. Melalui penelitian ini, peneliti dapat
mempercepat penemuan obat dan meringkas proses pengembangan obat.
Uji pre-klinik jamu dilakukan in-vivo pada hewan percobaan. Uji preklinik jamu
meliputi uji keamanan dan kemanfaatan jamu, sebagai berikut:
1) Uji keamanan, yang biasa disebut uji toksisitas, merupakan evaluasi efek berbahaya
yang ditimbulkan oleh suatu bahan uji pada organ yang dijadikan sasaran.
-
Toksisitas akut, merupakan efek yang merugikan yang timbul setelah pemberian
dosis (oral) tunggal dari suatu bahan uji, atau pemberian dosis berulang dalam
waktu 24 jam.
-
Toksisitas sub-kronis adalah efek-efek yang merugikan yang terjadi setelah
pemberian dosis (oral) tunggal setiap hari dari suatu bahan uji kepada hewan
percobaan selama 1-3 bulan.
-
Toksisitas khusus meliputi uji mutagenik, karsinogenik dan uji teratogenik. Uji
mutagenik digunakan untuk menilai perubahan sifat mutagen (perubahan sifat
dasar sel/mutasi genetik) dari bahan uji, dilakukan secara in vitro. Uji karsinogenik
digunakan untuk menilai efek karsinogen (pembawa sifat kanker) dari bahan uji
28
secara in-vivo. Uji teratogenik dilakukan untuk menilai efek perusakan pada janin
yang diakibatkan paparan bahan uji, dilakukan pada hewan coba.
2) Uji kemanfaatan biasa disebut uji farmakodinamik dan farmakokinetik, bertujuan
menguji/mengukur aktivitas dan mekanisme kerja dari jamu. Penelitian berupa suatu
studi eksperimental in-vivo, menggunakan kelompok pembanding (kelompok obat
standar dan /atau plasebo).
5.2.2. Studi Klinik Jamu
Studi klinik jamu adalah seperangkat prosedur dalam penelitian medik dan
pengembangan jamu yang dilakukan untuk memungkinkan data keamanan terapi dan
kemanfaatan yang dikumpulkan melalui pelayanan kesehatan menggunakan jamu. Studi
ini dapat terjadi hanya setelah informasi yang memuaskan telah dikumpulkan dari studi
etnografi empirik dan pre-klinik serta mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan setempat.
Untuk dapat memperoleh jawaban secara obyektif dan benar, maka uji klinik
termasuk studi klinik jamu harus memenuhi prinsip-prinsip metodologi/rancangan yang
sesuai, yang secara garis besar meliputi hal-hal berikut:
- Proses rekrutmen subyek harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (inclusion
and exclusion criteria),
- Subyek memberikan persetujuan setelah mendapatkan penjelasan secukupnya
(informed consent)
- Memperhatikan desain studi klinik jamu
- Kriteria penilaian meliputi efek terapetik dan alat ukur yang digunakan
- Jamu yang akan diuji, pembanding yang sesuai, dan posologi harus dibakukan
Peneliti yang akan melakukan studi klinik jamu, harus memiliki latar belakang medik,
memiliki sertifikat kompetensi Saintifikasi Jamu, sertifikat Good Clinical Practices (GCP).
Kegiatan studi klinik jamu ini merupakan multi center studi tanpa menutup kemungkinan
dilakukan mandiri oleh pihak yang berkepentingan sesuai syarat dan peraturan yang
berlaku.
29
5.2.2.1. Studi Klinik jamu fase 1 untuk ramuan/formula baru
Pada studi klinik fase 1 ini untuk pertama kalinya jamu yang diujikan diberikan pada
manusia (sukarelawan sehat), baik untuk melihat efek farmakologik maupun efek
samping. Biasanya, sebuah kelompok kecil 20-30 sukarelawan sehat akan direkrut. Secara
singkat tujuan studi klinik pada fase ini adalah:
- Untuk melihat profil keamanan ramuan/formula baru dari jamu terhadap subyek
- Untuk menilai hubungan dosis dan efek ramuan/formula baru dari jamu
Uji farmakokinetik pada jamu hampir mustahil untuk dikerjakan, mengingat ada
puluhan/ratusan senyawa yang terkandung di dalam jamu. Dengan melakukan studi
klinik jamu fase 1 ini kita akan memperoleh informasi mengenai dosis, frekuensi, cara dan
berapa lama suatu ramuan/formula baru dari jamu harus diberikan pada pasien agar
diperoleh data keamanan yang optimal. Informasi yang diperoleh dari studi
klinik
ramuan/formula jamu fase 1 ini diperlukan sebagai dasar untuk melakukan studi klinik
ramuan/formula jamu berikutnya (fase 2).
5.2.2.2. Studi klinik Jamu fase 2
Studi klinik jamu fase 2 ini merupakan modifikasi studi klinik fase 2 terhadap jamu
terpilih untuk mendapatkan bukti ilmiah jamu empirik yang sudah turun temurun, atau
dapat juga merupakan lanjutan studi klinik terhadap jamu ramuan baru yang sudah
menjalani studi klinik fase 1. Pada studi ini, akan dilihat kemungkinan efek terapetik
(efikasi) dan profil keamanan dari jamu empirik yang diujikan.
Jumlah subyek pada studi ini lebih besar dari studi klinik jamu fase 1 (yakni sekitar
100-300 orang) dan dirancang untuk menilai keamanan dan kemanfaatannya. Pada
tahap ini studi klinik dapat dilakukan dengan menerapkan:
- Desain acak terkendali (Randomized Controlled Trial) dengan kontrol terapi
standar. Subyek dibagi dalam kelompok terapi standar dan dibandingkan dengan
kelompok terapi standar plus jamu (terapi komplementer) atau jamu vs obat
standar untuk kondisi penyakit ringan hingga sedang.
- Pada indikasi tertentu, dapat dilakukan tanpa kontrol (uncontrolled trial, pre-post
test design).
Bukti ilmiah adanya kemanfaatan klinik suatu jamu tidak saja didasarkan pada hasil yang
diperoleh dari studi klinik jamu tetapi juga perlu mengingat faktor-faktor lain yang secara
30
objektif dapat mempengaruhi outcome klinik suatu intervensi. Idealnya, suatu studi klinik
jamu hendaknya mencakup beberapa komponen berikut:
1. Proses seleksi dan rekrutmen subyek harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
(inclusion and exclusion criteria), subyek memberikan persetujuan setelah
mendapatkan penjelasan secukupnya (informed consent).
2. Pembakuan dilakukan terhadap jamu yang akan diuji mengikuti persyaratan
bahan uji yang tercantum pada bab III, pemilihan pembanding yang sesuai, dan
posologi yang tepat.
3. Randomisasi
4. Besar sampel
5. Kriteria penilaian outcome klinik meliputi efek terapetik dan alat ukur yang
digunakan, penilaian respons secara obyektif (hasil pengukuran dan laboratorium)
dan subyektif (penilaian kondisi penyakit oleh pasien)
6. Analisis data keamanan dan kemanfaatan
7. Protokol studi klinik
8. Monitoring dan audit oleh tim monitor studi klinik
Penggunaan plasebo pada kondisi penyakit yang sedang (moderate) atau berat
(severe) tidak dianjurkan karena tidak etis bagi subyek pasien. Untuk kondisi ini sebaiknya
jamu diberikan sebagai komplemen atau on top atas terapi standar.
Jamu dapat
diberikan sebagai alternatif dibandingkan dengan plasebo atau terapi standar setelah
mempertimbangkan risiko dan manfaat secara komprehensif untuk kepentingan subyek,
dimana terapi alternatif memiliki bukti kuat memang lebih baik atau setidaknya sepadan
dibanding terapi standar.
5.2.2.3. Studi klinik jamu fase 3
Studi klinik fase 3 ditujukan untuk mengevaluasi kemanfaatan (efficacy) dan
keamanan (safety) jamu pada target populasi yang aktual pada kondisi pelayanan yang
sesungguhnya. Pada umumnya studi klinik fase 3 menggunakan desain Double-Blind
Randomized Controlled Trials (acak terkendali dan tersamar ganda), dengan
menggunakan subyek beberapa ratus orang. Namun, untuk sediaan jamu yang berupa
godokan atau
seduhan, maka untuk studi klinik jamu fase 3 dapat menggunakan
Randomized Controlled Trials tanpa blinding. Hasil studi klinik fase 3 diharapkan mampu
31
menghasilkan profil efikasi (bahkan efektivitas), keamanan, dan efek samping jamu pada
target populasi aktual dan kondisi pelayanan yang sesungguhnya.
5.3.
Protokol studi klinik jamu
Semua komponen studi klinik jamu, baik fase 1, fase 2, dan fase 3, harus ditulis
lengkap dalam protokol studi klinik jamu disertai lampiran yang lengkap. Dokumen ini
dikirimkan kepada Komisi Etik setempat untuk mendapatkan persetujuan etik.
Protokol studi klinik jamu mengikuti urutan sebagai berikut:
1. Identitas pengusul, adalah ketua pelaksana penelitian. Ketua pelaksana penelitian
harus berlatar belakang medik, mempunyai sertifikat Saintifikasi Jamu dan
mempunyai Sertifikat Cara Uji Klinik yang Baik.
2. Judul penelitian, harus singkat dan jelas menggambarkan tujuan penelitian
3. Daftar Isi, untuk memudahkan pembaca menemukan berbagai bab.
4. Ringkasan penelitian, penjabaran latar belakang penelitian mencakup komponen
masalah yang akan diteliti, metoda pengumpulan data , tempat, waktu penelitian
5. Latar belakang, mencakup komponen masalah teridentifikasi yang perlu diteliti.
a. Masalah penelitian
b. Topik penelitian
c. Pertimbangan penelitian, alasan utama perlu dilakukannya studi klinik jamu
d. Indikasi yang akan dibuktikan dengan studi klinik jamu
e. Deskripsi jamu uji, pemanfaatan empirik
f. Deskripsi pengolahan, peracikan dan formulasi
6. Manfaat
penelitian,
menjelaskan
kepada
siapa
hasil
penelitian
dapat
dimanfaatkan (penentu kebijakan, masyarakat umum, pelayanan kesehatan dan
lainnya )
7. Tujuan penelitian, terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum menggambarkan pernyataan spesifik mengenai luaran yang akan
dihasilkan, dinyatakan secara tegas dan jelas, untuk indikasi apa studi klinik jamu
dilakukan.
Tujuan khusus merupakan cerminan komponen atau unsur yang harus dipenuhi
untuk mencapai tujuan umum.
32
8. Metoda penelitian
1) Kerangka konsep penelitian, mencakup identifikasi variabel, jenis serta
hubungan antar variabel.
2) Tempat dan waktu penelitian
Institusi tempat pelaksanaan studi klinik jamu, di pelayanan kesehatan
yang memenuhi syarat pelaksanaan suatu studi klinik.
3) Disain yang digunakan
-
Observasi klinik, untuk mengetahui apa yang dilakukan pengobat
tradisional pada praktiknya (untuk penggunaan masyarakat)
-
Randomized Controlled Trial (RCT) tanpa blinding (untuk godogan,
rebusan)
4) Populasi dan sampel
Merupakan seleksi pasien dan proses pengikut-sertaan (recruitment),
terdiri dari:
-
Pemilihan subyek, termasuk cara skrining, perlu dikemukakan
kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Kriteria perlu dirinci
secara rinci dan jelas. Keikutsertaan subjek dalam studi klinik jamu
harus berdasarkan persetujuan (informed consent) setelah
memahami atas penjelasan yang perlu.
-
Persetujuan etik, semua usulan penelitian yang menggunakan
manusia sebagai subjek penelitian harus mendapatkan persetujuan
dari Komite Etik Penelitian Kesehatan setempat.
-
Besar sampel, didasarkan atas perhitungan statistik yang menjamin
kesahihan kesimpulan hasil studi.
5) Jamu yang diuji dan pembanding, dengan obat standar dan plasebo.
-
Jamu uji harus mempunyai data identitas di dalam formulanya.
-
Mempunyai proses penyiapan jamu, mulai bahan baku, cara
meracik sampai siap untuk digunakan.
-
Mempunyai identitas pembanding, baik obat standar maupun
plasebo.
6) Penyiapan jamu dan pembanding
33
Dalam studi klinik jamu, bahan uji, pembanding maupun plasebo harus
mempunyai bentuk, rupa dan warna yang sama, sehingga tidak berbeda
diantaranya. Harus dijelaskan upaya yang maksimal cara menyiapkannya,
paket obat (jamu, obat standar atau plasebo) dan kodifikasinya. Dijelaskan
juga mengenai nama orang yang menyimpan kode selama penelitian
berlangsung, dan kode belum dapat dibuka. Perlu ada ketentuan, pada
kondisi tertentu bagaimana kode harus dibuka.
7) Regimen jamu dan pembandingnya
Dikemukakan secara rinci, regimen pemberian jamu dan pembandingnya
mencakup:
-
Dosis, frekuensi dan lama pemberian
-
Cara pemberian
8) Obat penyerta dan obat penolong
Jika subjek diizinkan untuk menggunakan obat lain secara bersamaan perlu
dijabarkan mengenai obat yang diperbolehkan dan dicatat secara rinci
selama penelitian berlangsung. Untuk studi klinik tertentu, misalnya pada
nyeri, mungkin diperlukan obat penolong. Jelaskan identitas obatnya,
berapa dosisnya, dan bilamana dan pada keadaan apa obat penolong
tersebut digunakan.
9) Pemeriksaan klinik dan laboratorium
Pemeriksaan klinik dan laboratorium yang dilakukan sebelum penelitian
untuk menentukan kriteria penerimaan/penolakan; data dasar sebelum
perlakuan, dan selama perlakuan dan setelah perlakuan, harus dijelaskan
dengan rinci. Demikian pula dengan jadual pemeriksaan dijabarkan dengan
jelas.
10) Pengamatan respon
Dikemukakan gejala dan atau tanda, baik secara klinik maupun
laboratorik, yang merupakan parameter respon utama.
-
Cara melakukan pengamatan, penjelasan mengenai alat yang
digunakan, spesifikasi alat, sensitivitas dan cara penggunaannya.
-
Jadual pengamatan
-
Kualifikasi dan keterampilan pengukur respon.
34
Pengamatan Kualitas hidup
11)
Data kualitatif, umumnya menggunakan cara snow balling sample untuk
mendapatkan
variasi
informan/responden
dan
tidak
kecukupan
berdasarkan
informasi.
representativeness,
Sampel
tetapi
berdasarkan kecukupan informasi, sehingga kriteria informan harus dapat
menggambarkan informasi dengan karakteristik dan sumber informasi.
9. Managemen dan analisis data
Pencatatan data: data pasien baik demografik, klinis, laboratorium serta data lain
yang relevan harus dicatat dalam Case Report Form (CRF) atau formulir
pencatatan pasien untuk masing-masing pasien.
Dijelaskan siapa atau pihak yang menyimpan dan mengelola data hasil studi klinik
jamu.
Rencana untuk analisis data harus disiapkan. Untuk menjawab tujuan penelitian
perlu disebutkan jenis analisis yang digunakan (t test, Anova, regresi dan lainnya
serta analisis lebih lanjut sesuai dengan yang dibutuhkan).
Untuk data kualitatif, dilakukan validasi data dengan analisis lapangan triangulasi
atau analisis pendekatan etnografi, sehingga diperoleh benang merah untuk
mendapatkan makna dan kesimpulan.
10. Susunan tim peneliti
Susunan tim peneliti disajikan dalam bentuk tabel yang menguraikan tentang
nama anggota tim, kedudukan dalam tim penelitian, keahlian dan uraian
tugasnya.
11. Jadual kegiatan
Jadual kegiatan biasanya disajikan dalam bentuk tabel yang berisi uraian kegiatan
yang akan dilaksanakan dan waktu pelaksanaannya.
12. Pemantauan dan penghentian Studi Klinik Jamu.
Dapat dikemukakan segala sesuatu mengenai pemantauan pelaksanaan studi
klinik jamu antara lain siapa pemantaunya dan apa tugasnya, kapan dilakukan
pemantauan, dan bagaimana tindak lanjut hasil pemantauan.
Penghentian studi klinik yang sedang berjalan, dapat dilakukan pada seseorang
individu atau pada seluruh pasien. Perlu dikemukakan siapa dan pihak mana saja
yang berwenang menghentikan pelaksanaan studi klinik jamu.
35
13. Rincian rencana anggaran
Kemukakan rincian rencana anggaran secara lengkap.
14. Biodata pelaksana
Biodata ketua pelaksana dan tim peneliti dirulis secara berurutan, nama lengkap,
gelar kesarjanaan, alamat yang mudah dihubungi, riwayat pendidikan profesional,
riwayat pekerjaan, riwayat penelitian yang terkait dengan uji klinik dan publikasi
dalam majalah ilmiah.
15. Persetujuan atasan yang berwenang
16. Lampiran:
Curriculum vitae tim peneliti, brosur peneliti (Inventigator’s brochure); CRF (Case
report form); kuesioner wawancara, skala kebugaran (wellness index scale) dan
VAS (Visual Analogue Scale), tata kelola bahan uji, rancangan analisis, informed
consent (lembar persetujuan setelah penjelasan), dan sebagainya.
Untuk mendapatkan informasi detail mengenai penyusunan protokol penelitian studi
klinik jamu dan brosur peneliti dapat merujuk pada Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat
Tradisional 19, Pedoman Cara Studi klinik yang Baik (CUKB)
20
dan Pedoman Penyusunan
Protokol Penelitian 21 .
36
BAB VI
TINDAK LANJUT PEMANFAATAN HASIL STUDI KLINIK JAMU
Jamu baik jamu turun temurun maupun jamu ramuan/formula baru yang telah
melalui studi klinik jamu disebut jamu saintifik. Program saintifikasi jamu dimaksudkan
untuk mendapatkan bukti ilmiah atas jamu empirik, maka jamu saintifik tidak didaftarkan
sebagai produk komersial di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). Dengan
demikian jamu saintifik
dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dan tenaga
kesehatan profesional.
Post marketing surveilans dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan jamu baik di fasilitas pelayanan kesehatan kesehatan maupun di praktik
pribadi. Laporan penggunaan jamu saintifik dapat memanfaatkan sistem pelaporan yang
ada di Puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maupun rumah sakit.
Apabila dalam perjalanan waktu pemanfaatan jamu saintifik muncul bukti-bukti
kelayakan farmasetik untuk menjadi produk komersial, maka harus mengikuti regulasi
Badan POM, baik menyangkut metode dan langkah-langkah studi kliniknya maupun
proses pendaftarannya. Apabila dalam pelaksanaan Saintifikasi Jamu ditemukan data
efek samping, maka harus dilaporkan sebagai data penelitian kepada Komnas Saintifikasi
Jamu, untuk evaluasi formula jamu saintifik.
37
BAB VII
PENUTUP
Demikian telah disusun Pedoman Metodologi Saintifikasi Jamu Untuk Evaluasi
Keamanan dan Kemanfaatan Jamu di Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia. Harapan
yang terbentang di hadapan kita adalah bahwa penelitian berbasis pelayanan ini akan
dapat menghasilkan Jamu Saintifik yaitu jamu yang telah melewati suatu studi klinik di
pelayanan kesehatan oleh jejaring profesional Dokter Saintifikasi
Jamu. Dengan
demikian, ketika jamu akan diintegrasikan ke dalam wilayah kedokteran konvensional
atau dipakainya jamu oleh para dokter di Indonesia telah melewati tahapan ilmiah
tertentu, sehingga sedikit banyak akan dapat mengurangi keragu-raguan para dokter
sendiri secara pribadi, maupun penolakan yang tidak sewajarnya dari para sejawat
kedokteran konvensional murni.
Peran para Dokter Saintifikasi Jamu yang disemangati jiwa profesional,
kebanggaan terhadap masalah kebangsaan, atau nasionalisme, merupakan modal dasar
yang luar biasa dalam pengembangan jamu di Indonesia. Bahkan, sejak era kebangkitan,
para dokter merupakan pelopor terhadap gerakan kebangsaan dan membela
kepentingan masyarakat banyak. Analog dengan para dokter pada era kebangkitan
nasional pra-kemerdekaan, maka dokter saintifikasi jamu adalah pahlawan juga.
Alasannya karena dedikasi dan edukasinya para dokter kepada masyarakat tentang jamu
benar-benar memberikan dampak luar biasa, yaitu selain memunculkan paradigma baru
dalam dunia pengobatan kita, sekaligus membawa dampak positif lainnya yang dapat
dirasakan sebagai peningkatan kesejahteraan secara ekonomi oleh para petani dan
rakyat kita secara keseluruhan.
Pada akhirnya proklamasi Jamu oleh Bapak Presiden RI agar Jamu menjadi brand
Indonesia
dapat tercapai untuk sebesar-besarnya
kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat secara luas. Semoga, Allah SWT selalu memberikan petunjuk, bimbingan dan
perlindunganNya kepada kita semua.
Amien.....
38
DAFTAR RUJUKAN
1.
Anonim. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Evaluasi Pencapaian MDGs, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta, 2010.
2.
Delima dkk. Laporan Penelitian. Studi Inventarisasi dokter praktik jamu di Jawa-Bali. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta, 2010.
3.
Anonim. WHO Traditional Medicine Strategy 2002-2005. World Health Organization. Geneva,
2002.
4.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
5.
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
6.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 003/MENKES/PER/I/2010 tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Jakarta, 2010.
7.
Hoffmann, D. Medical Herbalism, The Science and Practice of Herbal Medicine. Healing Art
Press, Rochester-Vermont, India, 2003.
8.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 1334/MENKES/SK/IX/2010
tentang Komisi Nasional Saintifikasi Jamu. Jakarta, 2010.
9.
Scharter, B. The New Medicines, How Drug are Created, Approved, Marketed, and Sold.
Greenwood Publishing Group. Wesport, Connecticut, London, 2006.
10. Lewith, Jonaa & Walach. Clinical Research in Complementary Therapies: Principles, Problems
and Solutions. Churchill Livingstone, Eastbourne. London, 2005.
11. Anonim. Farmakope Herbal Indonesia. Departemen Kesehatan RI Jakarta, 2008.
12. Anonim, Materia Medika Indonesia, Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI. Jakarta,
2007.
13. Anonim. WHO Guidelines on Good Agricultural and Collection Practices (GACP) for Medicinal
Plants. World Health Organization. Geneva, 2003.
14. Sukmadinata Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan, Remaja Rosda Karya, Bandung,
2006.
15. Murchison, J.M. Ethnography Essentials: Designing, Conducting, and Presenting Your
Research. Jossey-Bass. San Francisco, 2010.
16. Last, John M . A Dictionary of Epidemiology (4ed). New York, NY. Oxford University Press,
2001.
17. Anonim. Designing and Conducting Health System Research. World Health Organization.
Geneva, 2003.
18. Anonim. National Policy on Traditional Medicines and Regulation of Herbal Medicines. World
Health Organization. Geneva, 2005.
19. Anonim. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Jakarta, 2000.
20. Anonim. Pedoman Cara Studi klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia. Badan Pengawas Obat
dan Makanan. Jakarta, 2001.
21. Anonim. Panduan Penyusunan Proposal-Protokol, Penilaian Proposal dan Laporan Akhir
Penelitian. Badan Litbang Kesehatan. Jakarta, 2005.
39
Lampiran 1
Metode Studi Klinik Jamu untuk Evaluasi Keamanan dan Kemanfatan Jamu
Orientasi jamu
Komunitas/ generik
Deskriptif
(Base-line
data)
Uji keamanan
dan
kemanfaatan
 Studi ethnomedicine
 Studi epidemiologi
(cross-sectional
survey)
 Health services
research
Orientasi produk
(industri)
Pengembangan
fitofarmaka
 Uji pre-klinik
 Studi klinik fase 1
 Studi klinik fase 2
 Studi klinik fase 3
Formula turun temurun
 Studi klinik fase 2
(outcome study)
 Studi klinik fase 3 (RCT
tanpa ketersamaran )
Formula baru
 Studi pre-klinik
 Studi klinik fase 1
 Studi klinik fase 2
(outcome study)
 Studi klinik fase 3 (RCT
tanpa ketersamaran)
Keterangan:
1.
2.
Untuk studi klinik dalam rangka saintifikasi jamu, di mana produk yang dihasilkan
adalah jamu komunitas / jamu generik, metodenya kita sebut sebagai “studi klinik”.
Untuk formula turun temurun dimana bukti empiris sudah cukup banyak, dapat
langsung masuk ke studi klinik fase 2. Sementara, formula jamu baru harus runut
melalui studi pre-klinik, studi klinik fase 1, fase 2, dan fase 3.
Untuk pengembangan jamu ke arah fitofarmaka (orientasi produk yang didaftarkan
ke Badan POM) studi klinik harus mengikuti peraturan dan norma yang berlaku.
40
41
Download