Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sosial Gereja

advertisement
Rekoleksi Pelayanan Sosial Ekonomi
Erema, 22-23 September 2012
Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Sosial Gereja
Ajaran Sosial Gereja pada dasarnya berisi prinsip-prinsip moral mengenai perkaraperkara kehidupan sosial kemasyarakatan. Sebagai kumpulan prinsip ASG tidak
langsung operasional; ASG menyediakan sarana untuk refleksi dan menimbangnimbang.
1. Keluhuran martabat manusia
Setiap orang diciptakan serupa dan secitra dengan Allah, dan dipanggil untuk ikut
menciptakan dan memperindah dunia. Prinsip ini berkaitan dengan paham Hak Asasi
Manusia yang sudah sering kita dengar. Bedanya, konsep HAM yang diajarkan Gereja
tidak berangkat dari pengandaian-pengandaian liberal yang mendasari paham HAM
pada umumnya. Di dalamnya termasuk yang disebut dengan hak-hak positif untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, hak untuk hidup sejahtera dan bukan
sekedar hak-hak negatif yaitu kebebasan dari paksaan dan penindasan negara yang
biasanya ditekankan oleh tradisi liberal. ASG juga mengaitkan hak dengan tanggung
jawab karena martabat manusia tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosialnya.
Manusia secara mendasar, dan bukan hanya secara kebetulan, merupakan mahkluk
yang saling tergantung satu sama lain.
2. Hakikat sosial dari kemanusiaan
ASG menganut paham liberalisme komunitarian. HAM menyaratkan kebebasan
fundamental demi terpenuhinya tindakan manusiawi yang efektif. Paham sosial
Gereja Katolik memupuk pemahaman mengenai hakikat manusia sebagai mahkluk
yang secara mendalam berakar pada keluarga, perkumpulan, kebudayaan dan
organisasi-organisasi ekonomi dan kemasyarakatan. Manusia adalah mahkluk yang
tidak dapat berdiri sendiri, saling tergantung, rasional dan kaya simbol. Karena
diciptakan serupa dengan Allah yang triniter, manusia dipanggil untuk menjadi
seperti Allah: mahkluk relasional, seorang pribadi di dalam masyarakat yang terdiri
dari pribadi-pribadi. Umat manusia hendaknya menjadi persekutuan yang
mencerminkan dan menghargai keragaman.
3. Kesejahteraan bersama
ASG mengajarkan paham bahwa kesejahteraan bersama punya peran penting dalam
mewujudkan masyarakat yang baik, negara yang berfungsi baik, dan tata masyarakat
internasional. Kesejahteraan bersama didefinisikan sebagai keadaan sistemik, yaitu
penggabungan seluruh tatanan kelembagaan yang menjamin, memungkinkan, dan
memfasilitasi perkembangan manusia. Prinsip ini menjadi dasar bagi sikap Gereja
terhadap hak milik bersama dan hak milik pribadi. Pada prinsipnya, Gereja percaya
bahwa barang-barang duniawi pada awalnya dimaksudkan bagi semua; hak milik
pribadi juga sah dan perlu namun tidak menghapus prinsip utama itu. Dengan kata
lain, hak milik pribadi merupakan turunan dari kepemilikan bersama. Seperti sering
dikatakan mendiang Paus Yohanes Paulus II, dalam kepemilikan pribadi terkandung
kewajiban sosial. Negara mempunyai peran yang penting dalam merumuskan dan
membela kesejahteraan umum meskipun ia tidak punya monopoli terhadap
1
Rekoleksi Pelayanan Sosial Ekonomi
Erema, 22-23 September 2012
rumusan maupun perwujudannya. Paham ini membedakan Gereja Katolik dari
konsep-konsep yang jelas-jelas menganjurkan paham negara minimalis. Negara
mempunyai tanggungjawab positif untuk mewujudkan keadilan, keamanan,
kesetaraan, kesejahteraan minimum untuk semua, dan perdamaian sosial.
Masyarakat yang guyub, dalam paham ini, menjadi nilai yang sangat mulia dan
mendasari keberadaan ekonomi, kepolisian, organisasi-organisasi kemasyarakatan
yang otonom. Di tingkat internasional, ASG juga mencita-citakan kesejahteraan
bersama.
4. Subsidiaritas
Paham subsidiaritas Katolik mengikuti teori pluralisme kemasyarakatan yang
mencita-citakan masyarakat sipil yang tindakan dan wewenang otoritatifnya tidak
seluruhnya tergantung pada atau berasal dari negara. Subsidiaritas menyatakan
bahwa bentuk pemerintahan yang lebih tinggi tidak boleh mencaplok atau
menggerogoti peran satuan-satuan lokal. Ajaran Gereja mengandaikan bahwa
sumber otoritas tertinggi bagi Gereja dan keluarga berasal langsung dari Allah, bukan
sekedar berasal dari kehendak baik negara. Selain itu, subsidiaritas menganggap
bahwa yang lokal dan akar rumput pada hakikatnya merupakan sumber kreativitas
dan kebijaksanaan. Organisasi-organisasi swadaya yang lain (seperti serikat buruh,
asosiasi profesi, dan kelompok-kelompok relawan) juga menimba visinya secara
langsung dari hakikat sosial manusia. Subsidiaritas mengingatkan kita akan bahaya
yang berasal dari birokrasi-birokrasi mahajauh (seperti negara bangsa dan lembaga
multilateral seperti WTO, IMF, Bank Dunia) yang terlalu jauh memangkas aktivitas
lokal di ruang-ruang publik.
5. Solidaritas
Solidaritas adalah keutamaan yang berasal dari hakikat sosial manusia sebagai
mahkluk yang secara radikal saling tergantung satu sama lain, dan dari paham
kesejahteraan bersama. Prinsip solidaritas menganggap bahwa manusia memiliki
kewajiban yang konkret dan mengikat untuk membantu dan mendukung sesama,
bahkan ketika sesama yang dimaksud itu secara formal dan eksplisit tidak berhak
mendapatkan bantuan dan dukungan tersebut.
6. Keberpihakan kepada kaum miskin
Iman Katolik mendahulukan mereka yang suaranya tidak didengar dan tidak dihargai,
dan memprioritaskan penyediaan kebutuhan dasar bagi si miskin dan terpinggir
daripada memperjuangkan kesempatan bagi si kaya dan berkecukupan.
Keberpihakan ini memang menjadikan ASG cenderung membela korban. Iman
Katolik mengandaikan bahwa membela si miskin tidak bertentangan dengan
keadilan yang setara, melainkan mendorong keadilan yang partisipatif. Pembelaan
ini diharapkan membuat si miskin sungguh-sungguh memiliki peluang untuk berdiri
lebih setara. Dalam realitas kekuasaan dan kelas, kaum miskin paling sering
dipinggirkan sebagai warganegara dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut
mereka dibuat tanpa mendengarkan suara mereka. Pada dasarnya, prinsip
keberpihakan pada kaum miskin ini mempunyai akar teologis yang mendalam dalam
Allah dan identifikasi diri Kristus dengan orang miskin. Ini terlihat dalam gambaran
pengadilan terakhir pada Matius 25 dan Yeremia 22:16 ketika sang nabi berkata
2
Rekoleksi Pelayanan Sosial Ekonomi
Erema, 22-23 September 2012
mengenai Raja Yosia, “Ia mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan
adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku? Demikianlah firman Tuhan.”
7. Teori-teori keadilan Katolik
Umat Katolik mengikuti makna klasik dan tripartit dari keadilan: a) keadilan
komutatif, yaitu keadilan berdasarkan pada pemenuhan janji dan kontrak; b)
keadilan distributif, yaitu keadilan berdasarkan pada pembagian beban dan
keuntungan secara adil dalam masyarakat dan pada jaminan bahwa pihak-pihak
yang terlibat memiliki posisi yang relatif setara sebagai pelaku moral; c) keadilan
sosial, yaitu penyelenggaraan tatanan kelembagaan yang menjamin dan
memungkinkan kontrak yang adil, keadilan distributif dan kesejahteraan bersama.
ASG akhir-akhir ini menekankan keadilan sebagai partisipasi; ini berarti bahwa
tindakan dan martabat manusia menuntut supaya orang mempunyai suara dan
terlibat dalam menentukan tatanan masyarakat yang membentuk hidup mereka. Tak
seorangpun diperbolehkan menjadi nonpeserta atau nonpribadi atau
nonwarganegara yang tidak diperhitungkan.
8. Humanisme yang integral
Ajaran Katolik cenderung mengusahakan integrasi, mendukung pandanganpandangan yang holistik, dan berbicara mengenai humanisme yang integral.
Pandangan ini tidak mengerdilkan manusia atau memangkas ekonomi dari
kebudayaan, ekologi, negara dan masyarakat, keluarga dan kerja. Karakteristik khas
Katolik ini bertentangan dengan pandangan reduksionis berat sebelah yang
memandang manusia sebagai semata-mata makhluk ekonomi (yang mengejar
kepentingan pribadi) dan sebagai pelaku yang dapat membuat pilihan otonom sama
sekali terlepas dari relasi sosialnya, terlepas dari akar-akar sosial, budaya dan
bahasanya.
Tegangan dialogis
Dalam menilai situasi, ASG mengajak kita untuk selalu menerapkan kebijaksanaan
dialogis. Prinsip-prinsip pokok berikut ini hendaknya selalu dipahami sebagai
tegangan yang tidak saling meniadakan melainkan saling mengontrol.
kesejahteraan
umum
subsidiaritas
solidaritas
keluhuran martabat
manusia
3
Rekoleksi Pelayanan Sosial Ekonomi
Erema, 22-23 September 2012
Beberapa Kutipan Dokumen ASG
Apakah manusia itu? Di masa silam dan sekarangpun ia mengemukan banyak
pandangan tentang dirinya, pendapat-pendapat yang beranekapun juga
bertentangan… Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan ‘menurut
gambar Allah’… Tetapi Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak
awal mula ‘Ia menciptakan mereka pria dan wanita’ (Kej 1:27) Rukun hidup mereka
merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Sebab dari kodratnya yang
terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak
dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. (Gaudium et Spes, n.12)
Dalam rencana Allah setiap manusia lahir untuk mengusahakan pemenuhan dirinya.
Bagi tiap orang kehidupan dipanggil oleh Allah untuk tugas tertentu. Pada saat
lahirnya manusia memiliki kemampuan-kemampuan dan kecakapan-kecakapan
tertentu dalam bentuk benih, dan sifat-sifat itu harus diolah supaya dapat
membuahkan hasil. Dengan mengembangkan sifat-sifat itu melalui pendidikan
formal dan daya-upaya pribadi, manusia menempuh jalannya ke arah tujuan yang
ditetapkan baginya oleh Sang Pencipta. Karena dianugerahi akalbudi dan kehendak
bebas, tiap orang bertanggungjawab atas pemenuhan dirinya seperti juga atas
keselamatannya…. Demikianlah, pemenuhan diri manusia dapat dianggap
merangkum kewajiban-kewajiban kita. (Populorum Progressio, nn.15-16)
Di sini kami ingin mengangkat salah satu tema, yakni: pilihan atau sikap
mengutamakan kaum miskin. Yang dimaksudkan: pilihan atau bentuk khusus
prioritas dalam mengamalkan cintakasih Kristiani…. Perlulah ditegaskan sekali lagi
asas karakteristik ajaran sosial Kristiani: Harta-benda dunia ini pada mulanya
dimaksudkan bagi semua orang. Hak atas milik perorangan memang berlaku dan
perlu juga, tetapi tidak menghapus prinsip itu. Kenyataannya, milik perorangan itu
terikat pada ‘kewajiban sosial’; artinya: pada hakikatnya mempunyai fungsi sosial
justru berdasarkan prinsip bahwa harta-benda diperuntukkan bagi semua orang.
(Sollicitudo Rei Socialis, n. 42)
Melawan sosialisme pada zamannya Paus Leo XIII dalam ensiklik ‘Rerum Novarum’
dengan tegas dan berdasarkan berbagai argumen menekankan, bahwa hak atas milik
perorangan bersumber pada kodrat manusia sendiri… Para pengganti Paus Leo XIII
mengulang-ulangi kedua pernyataan itu, yakni: milik perorangan memang sungguh
perlu, maka dari itu juga halal, tetapi serta-merta milik itu ada batas-batasnya…
‘Sambil menggunakan hal-hal itu manusia harus memandang harta-benda jasmani
yang dimilikinya secara sah bukan saja sebagai miliknya sendiri, melainkan sebagai
milik umum juga, dalam arti: supaya itu semua dapat bermanfaat bukan hanya bagi
dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang lain.’ (Centesimus Annus, n. 30)
4
Rekoleksi Pelayanan Sosial Ekonomi
Erema, 22-23 September 2012
…pemerataan …dewasa ini mengalami situasi yang buruk sekali akibat perbedaan
amat besar antara kelompok kecil yang kaya-raya dan mereka yang serba tak
empunya dan tak terbilang jumlahnya, harus dikembalikan kepada kesesuaian
dengan norma-norma kesejahteraan umum, yakni keadilan sosial. (Quadragesimo
Anno, n. 58)
Memperpadukan usaha-usaha itu, merencanakan jangka waktu pelaksanaannya,
mengusahakan supaya usaha bersama itu sungguh menanggapi kebutuhankebutuhan yang perlu dipenuhi, sanggup menanggung resiko-resiko yang dituntut:
itu semua pun dalam masyarakat sekarang merupakan sumber kekayaan yang
melimpah. Begitulah menjadi semakin jelas dan semakin menentukan sistem-sistem
kerja manusia yang terarah dan produktif, dan – sebagai faktor utama kerja itu –
kemampuan menyusun rencana-rencana dan berwiraswasta. (Centessimus Annus,
no. 32)
Layak dicatat bahwa di dunia sekarang, di antara hak-hak lain, hak berprakarsa di
bidang ekonomi sering dilanggar. Padahal hak itu penting bukan saja bagi
perorangan, melainkan juga bagi kesejahteraan umum. (Sollicitudo Rei Socialis, n.
15)
Pada zaman modern, sejak awal masa industri, kebenaran Kristiani tentang kerja
harus menentang pelbagai arus pemikiran materialistis dan ekonomistis… Akan
tetapi bahaya memperlakukan kerja sebagai macam khas ‘barang dagangan’ atau
sebagai ‘kekuatan’ tak berpribadi yang dibutuhkan bagi produksi selalu ada,
khususnya bila seluruh cara memandang soal-soal ekonomi ditandai dengan kaidahkaidah ekonomisme materialistis… Dalam semua kasus seperti itu, di setiap situasi
sosial semacam itu, ada pencampuradukan atau bahkan pemutarbalikan tatanan
yang sejak semula dicanangkan oleh kata-kata Kitab Kejadian: manusia diperlakukan
sebagai alat produksi; padahal manusia – dan manusia sendiri terlepas dari kerja
yang dijalankannya – harus diperlakukan sebagai pelaku efektif kerja, sebagai
penyebab dan penciptanya yang sejati. (Laborem Exercens, n. 7)
Pengkajian lebih lanjut soal itu akan meneguhkan keyakinan kita akan prioritas kerja
manusiawi terhadap apa yang selama ini makin lazim disebut modal… Sudah tentu
jelaslah, bahwa setiap orang yang berperan serta dalam proses produksi juga kalau ia
hanya menjalankan macam kerja yang tidak membutuhkan latihan atau kecakapankecakapan khusus, merupakan subyek efisien yang sesungguhnya dalam proses
produksi itu, sedangkan seluruh perangkat peralatan, entah betapa canggihnya,
semata-mata hanyalah sarana yang terbawahkan kepada kerja manusiawi. (Laborem
Exercens, n. 12)
Sumber:
Curran, C.E. 2002. Catholic Social Teaching. Washington DC: Georgetown UP.
Coleman, J.A. et al. (eds.) 2005. Globalization and Catholic Social Thought. New York:
Orbis
5
Download