1 IMPLEMENTASI BLENDED-COOPERATIVE LEARNING

advertisement
IMPLEMENTASI BLENDED-COOPERATIVE LEARNING
BERBASIS LESSON STUDY UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI
SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 BATU
Oleh
Ita Lestari
Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5, Malang
E-mail:[email protected]
Pembimbing: (I) Prof. Dra. Herawati Susilo, M.Sc., Ph.D.,
Pembimbing (II) Avia Riza Dwi Kurnia, S.P., M.Pd.
Abstract: Blended-Cooperative Learning (BCL) model is combination of technology
and cooperative learning that has the potential to improve critical thinking skills and
the results of learning. Learning can be improved through Lesson Study (LS). This
study aims to determine the increase of critical thinking skills and the results of
Biology learning. The results are LS based BCL can improve critical thinking
skills and results of Biology learning.
Keywords: blended-cooperative learning, lesson study, critical thinking skills,
result of biology learning
Abstak: Model Blended-Cooperative Learning (BCL) merupakan penerapan
pembelajaran berbasis teknologi informasi dalam bentuk kooperatif yang dapat melatih
siswa menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar. Pelaksanaan
pembelajaran dipadu dengan Lesson Study (LS) yang berpotensi meningkatkan kualitas
pembelajaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
berpikir kritis dan hasil belajar Biologi siswa. Hasil penelitian adalah pembelajaran
BCL berbasis LS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan dapat
meningkatkan hasil belajar Biologi.
Kata kunci: blended-cooperative learning, lesson study, kemampuan berpikir kritis,
hasil belajar biologi
Teknologi informasi dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan guna menunjang
pembelajaran dalam bentuk akses literatur, kajian lingkungan dan permasalahan yang
berkaitan erat dengan bidang IPA, terutama Biologi. Berdasarkan BSNP (2006:4)
pembelajaran IPA (Biologi) dikembangkan melalui kemampuan berpikir analitis,
induktif, dan deduktif (kemampuan berpikir kritis) yang diterapkan dengan metode
student centered. Faktanya siswa belum terlibat secara aktif dalam pembelajaran, baik
fisik maupun mental untuk mencari hubungan antarkonsep dalam pembelajaran
Biologi. Kemampuan berpikir siswa belum terasah menuju kemampuan berpikir kritis
dan menyebabkan hasil belajar yang rendah.
Menurut Ennis (2002: 180-181) kemampuan berpikir kritis meliputi dua belas
indikator yang terbagi menjadi lima aspek. Peneliti memilih enam indikator, antara lain
(1) memberikan penjelasan sederhana; (2) membangun keterampilan dasar
(mempertimbangkan kredibilitas sumber); (3) menyimpulkan; (4) memberikan
penjelasan lanjut; dan (5) mengatur strategi dan taktik. Aspek kelima tertuang dalam
1
2
keaktifan siswa, yaitu menentukan tindakan dalam bentuk pengamatan (psikomotorik),
dan berinteraksi dengan siswa lain (afektif).
Berdasarkan Taksonomi Bloom, hasil belajar meliputi tiga aspek ranah, yaitu
(1) kognitif; (2) afektif; dan (3) psikomotorik. Aspek kognitif berkaitan dengan hasil
belajar intelektual. Aspek afektif berkenaan dengan perubahan sikap dan nilai. Aspek
psikomotorik berkenaan dengan kemampuan motorik.
Kemampuan berpikir kritis dapat memantapkan dan mematangkan konsep
pembelajaran. Kemantapan dan kematangan konsep dapat mempengaruhi hasil belajar
siswa dari aspek kognitif. Fakta yang terjadi yaitu pola pemikiran siswa belum diasah
dan diarahkan. Kendala yang tampak antara lain (1) siswa belum dapat memberikan
penjelasan sederhana; (2) siswa belum mampu membangun keterampilan dasar; (3)
pola pemikiran siswa yang masih terbatas dan bersifat text book sehingga belum dapat
menyimpulkan dengan baik dan benar; (4) siswa belum dapat memberikan penjelasan
lebih lanjut; dan (5) siswa belum dapat mengatur strategi dan taktik. Dampak
berkelanjutan yaitu hasil belajar siswa yang rendah, yaitu 22,6%. Guru bidang studi
telah menerapkan kebijakan pemanfaatan teknologi informasi untuk menunjang
pembelajaran. Respon siswa sangat baik karena lebih fleksibel daripada buku teks.
Kendala yang terjadi yaitu siswa belum diarahkan dan dibimbing dengan baik
mengenai pemanfaatan teknologi informasi.
Berdasarkan fakta dan kendala tersebut, maka diperlukan inovasi model
pembelajaran yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar siswa.
Model pembelajaran yang dapat diterapkan yaitu Blended-Cooperative Learning
(BCL). BCL merupakan gabungan antara model Blended-Learning dipadu dengan
metode Cooperative Learning yang diterapkan dengan metode Think Pair Share (TPS).
Menurut Perifanou (2010), BCL merupakan pembelajaran berbasis teknologi yang
berkembang sehingga lebih fleksibel dan dapat dipadu dengan beragam metode
pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran BCL dilaksanakan dalam bentuk kolaborasi
antara on line, off line dan face to face (tatap muka). Tujuan pembelajaran BCL yaitu
untuk meningkatkan keaktifan siswa dan melatih serta mengembangkan kemampuan
secara bertahap.
Kooperatif siswa diterapkan dalam metode TPS termodifikasi. Metode TPS
bertujuan mengaktifkan semua siswa dengan menciptakan pola interaksi yang terdiri
atas tiga tahap, yaitu tahap think, pair, dan share. Pola-pola interaksi yang terarah dapat
meningkatkan dan mengasah konsentrasi dan kemampuan berpikir siswa secara
bertahap. Modifikasi disesuaikan dengan jumlah anggota kelompok.
Pembelajaran dilaksanakan dengan berbasis pada Lesson Study (LS). Menurut
Susilo (2011:3) LS adalah suatu bentuk usaha untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran dan pengembangan keprofesionalan guru. Pembelajaran direncanakan
dan dilaksanakan secara berkolaboratif dengan observer. Tugas observer yaitu
membantu pengamatan kegiatan siswa tanpa mengganggu kegiatan pembelajaran.
Kualitas pembelajaran berkaitan dengan keaktifan siswa.
Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu adanya penelitian untuk mengetahui
pengaruh penerapan model pembelajaran Blended-Cooperative Learning berbasis
Lesson Study untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar biologi
siswa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi guru dalam
meningkatkan kualitas pembelajaran, khususnya peningkatan keterampilan berpikir
kritis dan hasil belajar siswa.
3
METODE
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
berbasis LS yang terdiri atas 2 siklus dengan 3 pertemuan setiap siklus. Tahap PTK
bergabung dengan LS pada setiap pertemuan. Tahap PTK terdiri atas 4 tahap yaitu
perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Tahap LS tediri atas 3 tahap, yaitu
plan, do dan see. Subjek penelitian adalah siswa kelas X-2 SMA Negeri 2 Batu yang
berjumlah 31 orang siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi
observasi, dokumentasi proses pembelajaran, hasil LKS, dan hasil ulangan harian.
Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang terdiri atas paparan data,
pembahasan, dan penarikan kesimpulan.
Instrumen penelitian yang digunakan antara lain (1) LKS untuk mengukur
perkembangan kemampuan berpikir kritis siswa; (2) ulangan harian untuk mengukur
hasil belajar siswa dan kemampuan berpikir kritis siswa; dan (3) lembar observasi
proses pembelajaran untuk mengukur hasil belajar siswa aspek psikomotorik dan
afektif. Data diperoleh dari observasi, dokumentasi proses pembelajaran, dan hasil
tugas dan tes. Data pada setiap variabel dianalisis dengan cara kualitatif berdasarkan
Penilaian Acuan Patokan (PAP) yang ditetapkan oleh sekolah yaitu dengan Kriteria
Ketuntasan Klasikal (KKK) sebesar 75% dan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
sebesar 75. KKM berpikir kritis yaitu 60 karena belum pernah diterapkan.
HASIL
Kemampuan Berpikir Kritis
Kemampuan berpikir kritis siswa diukur melalui hasil LKS yang diterapkan
dalam metode TPS yang berperan dalam membentuk pola-pola interaksi. Tahap awal
yaitu think, siswa bekerja secara individu. Tahap kedua yaitu pair, dimana siswa
bekerja secara kelompok. Tahap ketiga yaitu share yang tertuang dalam bentuk diskusi
klasikal. Pola-pola interaksi tersebut berperan dalam melatih dan mengasah
kemampuan berpikir siswa.
Berdasarkan hasil penelitian pada pelaksanaan pembelajaran BCL berbasis LS
dengan menerapkan metode TPS pada siklus I dan siklus II diketahui bahwa
kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan. Persentase dari setiap siklus
diperoleh dari rerata 2 pertemuan, yaitu pertemuan ke 1 dan pertemuan ke 2 dengan 2
tipe penugasan yaitu individu dan kelompok. Perbandingan kemampuan berpikir kritis
siswa dari siklus I dan siklus II disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Siklus I dan Siklus II
Tipe
Siklus I (%)
Siklus II (%)
Peningkatan
penugasan
(%)
Pert. ke 1 Pert. ke 2 Rerata Pert. ke 1 Pert. ke 2 Rerata
22,6
41,9
32,25
71
74,2
72,6
125,1
Individu
25,8
67,7
46,75
74,2
80,6
77,4
65,6
Kelompok
39,5
75
89,9
Rerata klasikal
Sangat kurang
Cukup
Kategori
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa pada siklus I kemampuan berpikir kritis
siswa tergolong sangat kurang dan belum dikatakan berhasil. Kemampuan berpikir
siswa belum terasah. Pada tahap think, siswa cenderung berdiskusi dengan teman dan
menanyakan jawaban kepada guru. Pada tahap pair, diskusi belum berjalan dengan
baik. Beberapa siswa sering berdebat, dan siswa lain cenderung mengikuti pendapat
teman. Pada tahap share, diskusi klasikal belum berjalan dengan baik dan lancar. Siswa
4
lebih senang menjadi peserta pasif, hanya beberapa orang siswa yang aktif menyajikan
hasil LKS.
Pada siklus II terjadi peningkatan menjadi kategori cukup dan tepat pada batas
KKK yaitu 75%. Berdasarkan pengamatan, keaktifan siswa mengalami peningkatan.
Tahap think mulai berjalan dengan baik. Siswa sudah menyiapkan tugas dari rumah
dengan baik. Tahap pair mengalami peningkatan. Diskusi berjalan dengan baik dan
lancar. Siswa sudah mengkoordinir kelompok dengan cara membagi tugas untuk setiap
anggota. Tahap share mengalami peningkatan. Siswa mulai aktif untuk
mempresentasikan hasil LKS.
Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar meliputi 3 ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Aspek
kognitif diukur melalui hasil ulangan harian setiap siklus. Aspek afektif diukur melalui
observasi kegiatan diskusi siswa dalam kelompok. Aspek psikomotorik diukur melalui
observasi kegiatan pengamatan terhadap bahan. Aspek afektif dan psikomotorik
tertuang dari kegiatan pembelajaran pada tahap TPS.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis secara tidak langsung diikuti oleh
peningkatan hasil belajar Biologi siswa. Perbandingan hasil belajar dari awal observasi,
siklus I dan siklus II disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan Kemampuan Hasil Belajar Biologi pada Observasi Awal, Siklus I dan
Siklus II
Aspek belajar Obervasi
Siklus I (%)
Siklus II (%)
Peningkatan
awal
(%)
Pert.
Pert.
Rerata Pert. Pert. Rerata
(%)
ke 1
ke 2
ke 1
ke 2
6,5
77,4
77,4
83,9
83,9
8,3
Kognitif
32,3
12,9
48,4
30,7
58,1
77,4
67,8
120,8
Afektif
32,3
9,7
67,7
38,8
71
77,4
73,8
90,2
Psikomotorik
23,7
49
75,1
53,3
Rerata klasikal
Sangat
Kurang
Cukup
Kategori
kurang
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa rata-rata ketuntasan klasikal pada
observasi awal termasuk kategori sangat kurang dan belum tuntas. Pada siklus I terjadi
peningkatan menjadi kategori kurang, namun belum dapat dikatakan tuntas dan
berhasil. Aspek kognitif mengalami peningkatan yang baik hingga mencapai KKK.
Aspek afektif mengalami penurunan. Hal tersebut karena siswa belum dapat
mengkoordinir diskusi kelompok. Siswa cenderung lebih memprioritaskan kepentingan
pribadi daripada kelompok. Siswa mengerjakan tugas individu ketika tahap pair. Aspek
psikomotorik mengalami peningkatan namun belum maksimal. Siswa kurang peka dan
terampil melakukan pengamatan.
Pada siklus II terjadi peningkatan menjadi kategori cukup dan dapat dikatakan
berhasil karena sudah mencapai KKK yaitu 75%. Aspek kognitif mengalami
peningkatan yang baik hingga mencapai 83,9%. Aspek afektif mengalami peningkatan.
Diskusi berjalan dengan baik dan lancar. Siswa sudah mengkoordinir kelompok dengan
cara membagi tugas untuk setiap anggota. Aspek psikomotorik mengalami
peningkatan. Siswa mulai aktif dan terampil melakukan pengamatan untuk menunjang
pemahaman terhadap materi dan menyelesaikan LKS baik secara individu maupun
kelompok.
5
Persentase Klasikal
PEMBAHASAN
BCL Berbasis LS untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa kemampuan berpikir kritis
siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Kemampuan berpikir kritis
siswa pada siklus I secara klasikal sebesar 39,5% dengan kategori sangat kurang dan
belum dapat dikatakan tuntas dan berhasil. Rendahnya ketuntasan disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu ketidakhadiran siswa, dan kinerja siswa yang rendah.
Kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus II secara klasikal mengalami peningkatan
sebesar 89,9% menjadi 75% dengan kategori cukup. Persentase tersebut merupakan
batas ketuntasan klasikal. Peningkatan belum menunjukkan hasil yang memuaskan
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan skala yang lebih luas agar terjadi
peningkatan yang lebih memuaskan.
Siswa sudah berlatih pada siklus I, sehingga mulai terbiasa dan terlatih.
Kejelian dan ketelitian siswa mulai tumbuh sehingga hasil LKS mengalami
peningkatan. Keberhasilan tampak dari peningkatan hasil LKS secara individu dengan
kelompok. Kemampuan berpikir kritis secara individu mengalami peningkatan sebesar
125,1% menjadi 72,6%. Kemampuan berpikir kritis secara kelompok mengalami
peningkatan sebesar 65,6% menjadi 77,4%. Perbandingan kemampuan berpikir kritis
siswa pada siklus I dan siklus II disajikan pada Gambar 1.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
77.4
72.6
65.6
46.75
39.5
32.25
Individu
Kelompok
Rerata
Siklus I Siklus II
Tipe Penugasan
Gambar 1. Perbandingan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa secara Individu dan Kelompok
pada Siklus I dan Siklus II
Pembelajaran diterapkan dengan model BCL berbasis LS melalui metode
kooperatif TPS. Pembelajaran BCL memadukan teknologi informasi yang diterapkan
dalam bentuk kooperatif. Arianto (2010) menyatakan bahwa BCL berperan dalam
mengoptimalkan proses belajar peserta didik untuk bekerja sama dan memacu peserta
didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir. Model pembelajaran BCL
memanfaatkan media informasi dari situs web site untuk mencari literatur. Keragaman
literatur menimbulkan konflik kognitif pada diri siswa, sehingga siswa terpacu untuk
berpikir dan mengkritisi materi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kirby (2006:7)
yang menyatakan bahwa semakin banyak input, semakin dalam pula proses analisis
sehingga semakin mengasah kemampuan berpikir.
Hasil analisis dan kajian dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan dengan
memberikan penjelasan lebih lanjut yang terperinci dan jelas. Cooperative tertuang
dalam metode pembelajaran TPS termofikasi. Metode TPS merupakan metode
pembelajaran yang dapat mengaktifkan semua siswa dengan menciptaka pola interaksi
siswa secara bertahap. Pola-pola interaksi yang terarah dapat meningkatkan dan
6
mengasah konsentrasi dan kemampuan berpikir siswa. Metode TPS belum pernah
diterapkan pada pembelajaran, sehingga penerapan metode tersebut dapat memberikan
variasi dalam pembelajaran. Metode pembelajaran TPS terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap
think, pair dan share.
Tahap think mengkondisikan siswa untuk dapat bekerja sendiri. Tahap think
berperan dalam melatih kemampuan berpikir kritis secara individu. Tahap pair
mengkondisikan siswa untuk bekerja berpasangan dan berkelompok. Masing-masing
anggota menyumbangkan pemikiran kemudian menganalisis bersama. Kerja sama
antarsiswa menciptakan kondisi salingketergantungan positif, dan dapat mengasah
kejelian dan ketelitian dalam menganalisis secara kolaboratif. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Achmad (2007) yaitu berpikir kritis dapat ditumbuhkan melalui
kinerja kelompok. Pembentukan kelompok dapat mengaktifkan siswa, memotivasi
siswa untuk berpikir. Siswa dapat berdiskusi, memberikan pendapat, saran, maupun
menyanggah. Semakin banyak masukan, maka analisis semakin terasah sehingga hasil
dapat semakin baik. Pernyataan serupa disampaikan oleh Perifanou (2010).
Pembelajaran BCL dapat meningkatkan keaktivan siswa dan melatih serta
mengembangkan kemampuan secara bertahap. Kemampuan yang dikembangkan
antara lain kemampuan sosial, kognitif, metakognitif, dan kemampuan berpikir
kritis. Kemampuan sosial diterapkan dalam bentuk diskusi kelompok untuk
bekerja sama menyelesaikan permasalahan. Kemampuan kognitif dan
metakognitif diterapkan melalui pengasahan soal dan kerja sama dalam diskusi.
Kemampuan berpikir kritis ditumbuhkan melalui pembelajaran kolaboratif dalam
bentuk kelompok, yaitu melalui diskusi, mengklarifikasi dan mengevaluasi ideide. Tahap share memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan
pendapat di depan kelas untuk didiskusikan secara klasikal.
Pembelajaran diterapkan berbasis LS. LS diterapkan dalam bentuk kolaboratif
dengan observer secara berkelanjutan bertujuan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran, terutama aktifitas siswa. LS terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap plan, do dan
see. Tahap LS dilaksanakan pada setiap pertemuan.
Tahap plan berperan dalam perbaikan RPP untuk pelaksanaan pembelajaran.
Tahap do, observer berperan membantu guru mengamati kegiatan siswa. Tahap see,
tim secara kolaboratif menganalisis pembelajaran. Hasil analisis digunakan untuk
perbaikan pembelajaran.
Berdasarkan penjabaran tersebut, maka penerapan BCL berbasis LS berperan
dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa belum signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain (1) siswa belum terampil dalam kegiatan untuk mengasah kemampuan
berpikir kritis; dan (2) ketidakhadiran siswa. Ketidakhadiran menyebabkan siswa tidak
mendapatkan nilai LKS secara individu dan kelompok, dan nilai proses meluputi
afektif dan psikomotorik.
Pelaksanaan pembelajaran tidak selalu berjalan dengan lancar dan baik, terjadi
beberapa hambatan antara dalam pembelajaran Blended. Hambatan pertama, siswa
masih cenderung mencari literatur yang mudah didapatkan yang umumnya berupa blog
dan wikipedia karena lebih mudah diakses. Hambatan kedua, keleluasaan untuk mengup load materi dan LKS pada situs web sekolah. Hambata ketiga, keleluasaan jaringan
internet yang kurang stabil sehingga kerap mengganggu proses akses.
7
Persentase Klasikal
BCL Berbasis LS untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Hasil belajar siswa yang diukur mencangkup 3 aspek, yaitu kognitif, afektif,
dan psikomotorik. Berdasarkan data observasi awal dan analisis data diketahui bahwa
rata-rata ketuntasan hasil belajar Biologi siswa secara klasikal sebesar 23,7% dengan
kategori sangat kurang dan belum tuntas. Hasil belajar pada siklus I mengalami
peningkatan sebesar 49% dengan kategori kurang dan belum dapat dikatakan tuntas
dan berhasil. Hasil belajar siklus II mengalami peningkatan sebesar 75,1% dengan
kategori cukup. Berdasarkan rata-rata tersebut dapat dikatakan bahwa siklus II sudah
mencapai KKK. Hasil belajar aspek kognitif mengalami peningkatan sebesar 8,3%
menjadi 83,8% sehingga dapat dikatakan hasil belajar aspek kognitif mencapai
ketuntasan secara klasikal. Pada siklus II terjadi peningkatan kinerja aspek afektif
sebesar 120,8% menjadi 67,8%. Kinerja aspek psikomotorik juga mengalami
peningkatan sebesar 90,2% menjadi 73,8%.
Penilaian afektif dan psikomotorik didasarkan pada kriteria dan kehadiran
siswa. Hasil belajar aspek afektif dan psikomotorik rendah karena banyaknya siswa
yang tidak hadir dan belum terpenuhinya kriteria penilaian. Perbandingan hasil belajar
pada siklus I dan siklus II disajikan pada Gambar 2.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
83.8
77.4
73.875.1
67.8
49
Kognitif
38.8
30.7
Afektif
Psikomotorik
Rerata
Siklus I
Siklus II
Aspek Belajar
Gambar 2. Perbandingan Hasil Belajar pada Siklus I dan Siklus II
Menurut Watson (2009) pembelajaran BCL memberikan keleluasaan kepada
siswa untuk mencari literatur dari media informasi. BCL memadukan tiga jenis
interaksi yang meliputi interaksi sosial, interaksi muatan, dan interaksi guru. Interaksi
sosial terlaksana melalui kegiatan kooperatif siswa dalam bentuk diskusi kelompok dan
pengamatan bersama. Interaksi sosial meliputi aspek afektif melalui diskusi kelompok
dan aspek psikomotorik melalui pengamatan terhadap bahan. Interaksi muatan meliputi
aspek kognitif siswa. Interaksi guru melibatkan guru sebagai pembimbing dalam
pembelajaran tatap muka.
Alur peningkatan hasil belajar melalui penerapan model pembelajaran BCL
terpadu dengan metode pembelajaran TPS.Tahap think mengkondisikan siswa untuk
bekerja sendiri, menganalisis dan melakukan pengamatan secara individual.
Pembelajaran BCL di kelas memanfaatkan akses internet untuk untuk mengakses
tambahan bahan materi, kajian lingkungan, ataupun permasalahan. Hasil literatur siswa
dapat memperkaya khasanah pengetahuan siswa dalam upaya memantapkan konsep
siswa dari aspek kognitif. Hasil tahap think berperan dalam pemantapan konsep siswa
berdasarkan pemikiran sendiri.
Tahap pair mengkondisikan siswa untuk berinteraksi dengan teman dalam
bentuk kelompok. Kegiatan diskusi berperan dalam mengasah kejelian, ketelian,
kepekaan dan kemampuan menganalisis secara kolaboratif untuk menghasilkan konsep
8
yang matang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Poedjadi (2005: 129) yang
menyatakan bahwa konsep yang dimiliki sebelumnya pada diri seseorang tidak dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah padahal harus diselesaikan. Kemudian
terjadilah konflik kognitif dan menghasilkan pengetahuan yang dibentuk dalam proses
konstruktivisme melalui interaksi dengan lingkungan.
Aspek afektif mengalami peningkatan seiring berlatihnya siswa untuk
berdiskusi dengan kelompoknya. Pada siklus II siswa sudah terlatih sehingga kerjasama
dan pengelolaan kelompok mulai berjalan dengan baik. Aspek psikomotorik terlatih
seiring dengan terasahnya kejelian dan ketelitian siswa. Kinerja kelompok dapat
menciptakan saling ketergantungan dan saling mengingatkan satu sama lain. Ketiga
aspek tersebut saling terkait satu sama lain untuk menghasilkan pemantapan konsep
untuk meningkatkan pemahaman siswa dan memperkuat ingatan siswa. Peningkatan
hasil belajar aspek kognitif secara tidak langsung mengikuti peningkatan kemampuan
berpikir kritis.
Tahap share memberikan kesempatan kapada seluruh siswa untuk dapat
menyampaikan pendapatnya berdasarkan pemahaman dari konsep yang telah dibangun
pada tahap think dan pair. Penjabaran tersebut sesuai dengan pernyataan Bath (2007)
yang menjelaskan bahwa akses informasi dapat mensukseskan pembelajaran ditinjau
dari 3 aspek, yaitu (1) kinerja guru; (2) peningkatan hasil kognitif siswa; dan (3)
mengajarkan kepekaan terhadap lingkungan sosial. Kinerja guru berupa kinerja guru
dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Peningkatan hasil kognitif siswa
dibangun secara bertahap dari kegiatan pembelajaran. Kepekaan terhadap lingkungan
sosial diperoleh melalui kajian literatur yang berkaitan dengan permasalahan
lingkungan.
Pembelajaran berbasis LS tampak dari perbaikan kualitas pembelajaran,
terutama pada aspek afektif dan psikomotorik. Peningkatan aspek kognitif secara tidak
langsung juga mengikuti peningkatan aspek afektif dan psikomotorik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian ada dua. Hasil pertama yaitu pembelajaran BCL berbasis LS
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Penerapan model BCL berbasis
LS yang diterapkan dalam metode TPS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa. Blended learning memberikan kesempatan siswa untuk mencari literatur
sebanyak mungkin terkait dengan permasalahan. Metode TPS secara bertahap dimulai
dari berpikir secara individu kemudian berdiskusi untuk memberikan masukan dapat
melatih siswa untuk dapat berpikir dan mengkritisi materi dan permasalahan.
Kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I secara klasikal sebesar 39,5% dan pada
siklus II sebesar 75%. Penelitian dapat dikatakan berhasil karena sudah mencapai
KKK.
Pembelajaran BCL berbasis LS dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penerapan model BCL berbasis LS yang diterapkan dalam metode TPS dapat
meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa yang diukur mencangkup 3
aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik. Kajian literatur,
pengamatan, dan kinerja secara bertahap dapat meningkatkan kemantapan dan
kematangan teori siswa. Ketuntasan hasil belajar siswa secara klasikal pada siklus I
sebesar 49% dan pada siklus II sebesar 75,1%. Penelitian dapat dikatakan berhasil
karena sudah mencapai KKK.
Saran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis LS perlu
dibiasakan dan diterapkan pada pembelajaran Biologi dan bidang ilmu lain untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis serta hasil belajar siswa. Metode TPS baik
diterapkan agar pembelajaran lebih bervariasi dan dapat menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan dan nyaman sehingga siswa dapat meningkatkan konsentrasi dan
keaktifan siswa. TPS juga berperan guna mengasah kemampuan berpikir siswa untuk
menganalisis dan mengkritisi permasalahan, serta dapat meningkatkan keaktifan siswa.
Bagi peneliti lanjutan, penelitian serupa perlu dicobakan lebih lanjut pada skala yang
lebih luas, dapat diterapkan dengan Quosi eksperimen.
DAFTAR RUJUKAN
Achmad, A. 2007. Memahami Berpikir Kritis, (online)
(http//helm.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_38.pdf),
diakses pada 12 April 2013.
Arianto, N.T. 2010. Seminar Laporan Hibah Pengajaran Program Hibah Kompetisi
Berbasis Institusi Universitas Airlangga 2010, (Online)
(web.unair.ac.id/.../f_34835_SEMINAR-LAPORAN-HibahPengajaran-2010),
diakses pada 19 Maret 2013.
Bath, D dan J. Bourke. 2010. Getting Started With Blended Learning. Griffith institude
for higher education, 20 (2), (online) (www.griffith.edu.au/gihe), diakses pada
5 April 2013.
Ennis, R.H. 2002. Critical Thinking Assessment, (online)
(http//www3.qcc.cuny.edu/.../Ennis%20Critical%20Thinking%20Assessment),
diakses pada 12 Maret 2012.
Kirby, G.R. dan F F.R.G. 2006. Thinking Fourth Edition. New Jersey: Pearson Prentise
Hall.
Perifanou, M. 2010. Collaborative Blended Learning Methodology (CBLM). Web
Quest for HRM, II (1), (online) (http//www.adameurope.eu/…398/prd/3/2/Collaborative%20...), diakses pada tanggal 18
Mei 2013.
Poedjiadi, A. 2004. Sains Teknologi Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Susilo, H., Husnul C, Ridwan J, Jumiati, Yuyun D.S, Sunarjo. 2011. Lesson Study
Berbasis Sekolah. Guru Konservatif Menuju Guru Inovatif. Malang:
Bayumedia Publishing.
Tim Penyusun BSNP. 2006. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
Watson, J. 2009. Blending Learning:The Convergence of Online and Face-to-Face
Education. Nacol. North America council for online learning, 18 (1), (online),
(http://www.nacoleducation), diakses pada 14 April 2012.
1
Download