BAB II DASAR TEORI II. 1. Gempabumi II. 1.1. Proses Terjadinya

advertisement
BAB II DASAR TEORI
II. 1. Gempabumi
II. 1.1. Proses Terjadinya Gempabumi
Dinamika bumi memungkinkan terjadinya Gempabumi. Di seluruh dunia tidak
kurang dari 8000 kejadian Gempabumi terjadi tiap hari, dengan skala kecil yaitu kurang
dari Magnitud 2 sampai skala besar dengan kekuatan sekitar Magnitud 9.5 yang secara
statistik hanya terjadi satu kali dalam 20 tahun di dunia. Dari kejadian Gempabumi
dunia, kurang lebih 10% nya terjadi di Indonesia.
Dinamika bumi digambarkan dengan pergerakan lempeng-lempeng yang
menyusun kerak bumi. Pergerakan lempeng samudera terjadi karena ada proses naiknya
magma ke permukaan (sea-floor spreading) secara terus menerus dari dalam kulit bumi
di zona pemekaran samudera. Proses ini mendorong lempeng samudera yang
mengapung pada lapisan yang bersifat padat tetapi sangat panas dan dapat mengalir
secara perlahan. Pada saat lempeng samudera menyusup ke bawah lempeng benua
terjadi gesekan yang menghambat proses penyusupan (gambar 2.1). Pelambatan gerak
penyusupan tersebut menyebabkan adanya akumulasi energi di zona subduksi dan zona
patahan. Akibatnya, pada zona tersebut akan terjadi tekanan, tarikan, dan geseran.
Gambar 2.1. Subduksi antara Lempeng Samudera dan Lempeng Benua
[Katili, 1995]
Pergerakan lempeng-lempeng di dunia memungkinkan adanya interaksi antara
lempeng yang satu dengan lainnya. Gempa terjadi bukan karena tumbukan dua
lempeng, seperti diibaratkan dua mobil saling bertabrakan yang asalnya saling jauh
kemudian bertabrakan (terjadi crash). Untuk zona subduksi, gempa terjadi karena
interaksi antar dua lempeng yang saling menekan sehingga terakumulasi energi yang
10
cukup besar. Gempa itu sendiri terjadi karena kondisi batuan pada lempeng ataupun
lithosfer patah.
Mengapa batuan dapat patah, mekanisme patahan yang terjadi dapat dijelaskan
bahwa dikarenakan batuan tadi mengalami tekanan ataupun tarikan secara terus
menerus, apabila elastisitas batuan sudah jenuh, maka batuan akan patah untuk
melepaskan energi dari tekanan dan tarikan tersebut. Saat menerima tekanan, batuan
akan terbengkokkan dan setelah melepaskan tekanannya batuan akan kembali ke bentuk
semula, ini dikenal dengan ‘Elastic Rebound Theory’. Pelepaskan energi tekanan yang
sudah tertumpuk ini terjadi selama kurun waktu tertentu. [Scolz, 2004]
Gempa yang terjadi di zona subduksi akibat patahan pada lapisan batuan atau
lithosfer ini dapat berupa gempa dangkal (shallow earthquake), menengah
(intermediate earthquake), dan dalam (deep earthquake). Berdasarkan hasil penelitian
para peneliti kebumian, disimpulkan bahwa
hampir 95 persen lebih Gempabumi
alamiah yang cukup besar terjadi di daerah batas pertemuan antar lempeng yang
menyusun kerak bumi dan di daerah patahan atau fault.
II.1.2. Patahan Akibat Gempabumi
Pada zona patahan (fault), memungkinkan satu blok batuan bergerak relatif
terhadap blok yang lainnya. Pergerakannya bisa relatif turun yang disebut patahan turun
(normal fault), relatif naik disebut patahan naik (thrust fault atau reverse fault), ataupun
bergerak relatif mendatar/geser disebut patahan geser (strike fault).
Patahan ini dapat dibayangkan sebagai satu bidang miring imaginer yang
memisahkan dua blok lapisan batuan. Blok yang ada di bagian bawah patahan disebut
sebagai foot wall (alas patahan) dan blok yang ada di bagian atas patahan disebut
sebagai hanging wall (atap patahan). Fault scarp (bidang miring imaginer) adalah
permukaan dari bidang patahan.
Pada patahan turun (Normal Fault), bagian hanging wall akan bergerak relatif
turun terhadap foot wall nya. Susunan dari poros utama tegasannya menunjukkan arah
tegasan yang terbesar adalah vertikal. Patahan turun memiliki sudut kemiringan yang
dapat mendekati vertikal.
Patahan naik (Reverse Fault), menurut teori dasar sama halnya dengan patahan
turun, tapi untuk patahan naik ini bagian hanging wall nya relatif bergerak naik
terhadap bagian foot wall nya. Salah satu ciri patahan naik adalah sudut kemiringan dar
11
patahan itu termasuk kecil. Kemiringan daripada bidang patahan akan mempunyai sudut
kurang dari 450 (thrust fault). Patahan naik dengan kemiringan yang kecil (<100)
disebut over thrust fault.
Sudut kemiringan bisa berbeda untuk kedua patahan ini karena diperlukan satu
gaya/energi yang memungkinkan dua blok ini bergerak satu sama lain. Gaya/energi
untuk menimbulkan satu blok bergerak relatif turun terhadap blok yang lainnya
mungkin tidak sebesar gaya/energi untuk menggerakkan satu blok relatif naik terhadap
blok yang lainnya.
Patahan mendatar/geser (Strike Fault), dibagi menjadi dua bagian yaitu :
patahan mendatar mengiri (satu blok bergerak relatif ke kiri terhadap blok yang lainnya)
dan patahan mendatar menganan (satu blok bergerak relatif ke kanan terhadap blok
yang lainnya). Patahan mendatar merupakan suatu jenis pergeseran dimana gerak yang
dominan adalah gerak horizontal. Hal ini berarti bahwa yang disebut sebagai patahan
mendatar dalam jumlah terbatas juga masih mempunyai komponen pergerakan yang
vertikal. Patahan jenis ini umumnya dijumpai di daerah-daerah yang mengalami
perlipatan dan patahan naik. (Gambar 2.2)
Patahan Geser
Patahan Turun Patahan Naik Gambar 2.2. Tipe-tipe Patahan/Fault.
Kerusakan patahan dapat saja terjadi meski dengan gempabumi kecil, tetapi,
secara umum, kemungkinan dari mengamati ini di atas permukaan berkurang seiring
dengan menurunnya magnitud gempa. Kaitan yang dekat antara patahan dan
gempabumi telah lama disadari, meskipun sifat dasar dari kaitan ini belum bisa
dimengerti sampai saat ini.
12
II.1.3. Siklus Gempabumi
Siklus Gempabumi (earthquake cycle) didefinisikan sebagai perulangan gempa.
Satu siklus dari gempabumi ini biasanya berlangsung dalam kurun waktu puluhan
sampai ratusan tahun. [Scolz, 2004].
Bentuk analisis tahapan gempabumi dilakukan dengan cara melihat dan meneliti
fenomena-fenomena yang menyertai tahapan gempabumi seperti deformasi, seismisitas,
informasi pengukuran geofisika (reseistivitas elektik, pengamatan muka dan temperatur
air tanah), penelitian stratigrafi batuan atau terumbu karang dan lain-lain. [Mori (2004),
Vigny (2004;2005), Ando (2005), Natawidjaja (2004)].
Dari satu siklus gempabumi (earthquake cycle), potensi gempabumi di suatu
daerah dapat diketahui. Hal ini akan membantu meningkatkan proses mitigasi, minimal
saat terjadi kembali gempabumi susulan dalam selang beberapa waktu selanjutnya.
Siklus gempabumi tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan perhitungan, hal ini
dipengaruhi oleh sifat fisis dari struktur di dalam permukaan bumi, dan kompleksitas
kejadian gempabumi itu sendiri. [Scolz, 2004]
Belum ditemukan teknologi yang mampu dengan tepat menentukan kapan, di
mana, dan berapa besar kekuatan Gempabumi akan terjadi. Sampai sekarang manusia
terus berusaha mempelajari perilaku gempa untuk mengetahui siklus gempabumi
sehingga potensi kejadiannya di suatu daerah dapat diketahui sebagai nilai tambah
dalam upaya mitigasi atau kerekayasaan. Peluang terjadinya gempa sesuai dengan
siklus gempa tidak selalu tepat sesuai dengan perhitungan model yang dibuat. Minimal
saat telah mencapai interval waktu perulangannya, upaya mitigasi mulai ditingkatkan
untuk mereduksi implikasi-implikasi negatif yang diakibatkan dari kejadian
gempabumi.
Saat ini cara yang sederhana untuk memahami kejadian gempa adalah dengan
mempelajari tahapan mekanisme gempa. Tahapan mekanisme gempa terjadi dalam satu
siklus, yaitu interseismic, preseismic, coseismic, postseismic, dan slow slip event.
[Andreas, 2005]
Tahap interseismic adalah tahap awal dari suatu siklus Gempabumi. Pada tahap
ini energi dari dalam bumi menggerakkan lempeng, dan energi mulai terakumulasi di
bagian-bagian lempeng tempat biasanya terjadi gempabumi (batas antar lempeng dan
patahan). Sesaat sebelum Gempabumi terjadi dinamakan tahap preseismic. Dan ketika
terjadinya gempabumi utama dinamakan tahapan coseismic. Saat sisa-sisa energi gempa
terlepas secara perlahan dan terjadi dalam kurun waktu yang lama hingga kondisi
13
kembali ke tahap kesetimbangan baru dinamakan tahap postseismic. Tahap ini
menghasilkan deformasi secara permanen mencapai ukuran kurang dari satu meter atau
bahkan lebih dari satu meter saat terjadi gempa besar. Tahap ini dapat berlanjut selama
periode mingguan, bulanan, dan tahunan. Slow slip event atau lebih dikenal dengan
istilah silent earthquake merupakan fenomena pergerakan atau slip pada kerak bumi
yang tidak menyebabkan Gempabumi, Gempabumi ini terjadi dalam waktu yang amat
lambat, beberapa hari hingga beberapa minggu.
Dikenal istilah yang biasa dipakai dalam kegempaaan yaitu mainshock dan
aftershock. Aftershock adalah Gempabumi susulan yang mengikuti guncangan
Gempabumi terbesar (utama) dari rangkaian Gempabumi. Gempabumi ini lebih kecil
dari gempa utama (mainshock) dan terjadi disepanjang rupture (robekan) dari gempa
utama (mainshock). Umumnya, semakin besar gempa utama, makin besar dan makin
banyak gempa susulan. Saat terjadi gempa tektonik dangkal (kira-kira <100 km), maka
akan selalu diikuti oleh terjadinya dislokasi. Dislokasi ini mengganggu keseimbangan
medium sekelilingnya. Gempa susulan (aftershock) merupakan proses stabilisasi medan
stress ke keseimbangan yang baru setelah pelepasan energi atau stress drop yang besar
pada gempa utama, sehingga dengan sendirinya akan muncul gempa-gempa lain yang
merupakan proses pembentukan keseimbangan baru.
II.2. Gempabumi di Indonesia
Indonesia secara tataan geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng yaitu
Lempeng Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Dinamika lempenglempeng tersebut membentuk zona subduksi dan zona patahan yang merupakan zona
sumber Gempabumi.
Pada dasarnya sebaran sumber Gempabumi terdapat hampir di seluruh wilayah
Kepulauan Indonesia, baik dalam skala kecil hingga skala besar yang merusak. Hanya
di Pulau Kalimantan sumber Gempabumi tidak ditemukan, walaupun masih terdapat
goncangan yang berasal dari sumber Gempabumi yang berada di wilayah Laut Jawa
dan selat Makassar. Gambar 2.3 menunjukkan sebaran gempabumi yang terjadi di
Indonesia pada September 2007 sejak kejadian gempabumi Bengkulu 12 September
sampai 20 Mei 2008.
14
Gambar 2.3. Sebaran Gempabumi di Indonesia.
Setelah gempabumi Bengkulu M8.5 pada tanggal 12 September 2007.
Zona subduksi di Sumatera tercatat sebagai zona subduksi aktif di
Indonesia. Desakan Lempeng Samudra Indo-Australia ini ikut menyeret lempeng
benua melesak ke dalam, sehingga pulau-pulau (Kepulauan Mentawai) yang melekat di
atasnya ikut terseret ke bawah dan mendekati Sumatera ke arah timur laut. (Gambar
2.4A)
A
15
B
Gambar 2.4 Subduksi di Pulau Sumatera
[Modifikasi : Mubyarto, 2008]
Selama puluhan sampai ratusan tahun, tekanan Lempeng Samudra IndoAustralia ini akan terus meningkat sampai melampaui kekuatan batuan, sehingga batuan
di bawah pulau-pulau akan pecah dan bergeser secara tiba-tiba, dan terjadilah
Gempabumi. Sebagai gambaran, batuan di bawah pulau-pulau ini berlaku seperti pegas
yang ditekan perlahan-lahan. Ketika kekuatan batuan sudah terlampaui sehingga pecah,
maka tekanan itu dilepaskan secara tiba-tiba dan pulau-pulau akan melentur balik ke
arah atas dan barat daya, bagai pegas, lalu menimbulkan Gempabumi besar. (Gambar
2.4B)
Pelentingan tubuh batuan yang terjadi di bawah pulau-pulau akan menggerakkan
air laut. Saat pulau-pulau terangkat, air laut menyusut menjauhi pantai seperti yang
disaksikan di beberapa lokasi pinggir laut. Kemudian kembali lagi menjadi gelombang
besar yang dikenal dengan sebutan tsunami. Tsunami bisa setinggi beberapa sentimeter,
namun dapat juga setinggi puluhan meter.
II.3. GPS dan Studi Gempa
Pengamatan GPS untuk keperluan penelitian gempabumi, menjadi
komplemen terhadap pengamatan seismik. Berbeda dengan data seismik yang hanya
merekam data pada saat terjadi gempabumi, maka GPS dapat mendeteksi seluruh
siklus dari gempabumi. Seluruh proses tersebut yaitu proses akumulasi energi atau
interseismic, proses pelepasan energi yang tiba-tiba atau coseismic dan proses pelepasan
energi yang tersisa atau postseismic.
16
Teknologi GPS (Global Positioning System) merupakan sistem satelit navigasi
yang digunakan dalam penentuan posisi suatu titik di permukaan bumi, sistem satelit ini
memberikan informasi posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti, serta informasi
waktu secara kontinyu di seluruh dunia. Sistem ini dapat digunakan oleh banyak orang
sekaligus dalam segala cuaca. Konsep awal GPS sendiri muncul pada tahun 1963, dari
studi yang dilaksanakan The Aerospace Corporation tentang satelit navigasi untuk
wahana yang bergerak cepat dalam ruang tiga dimensi. Nama formal satelit ini adalah
NAVSTAR GPS (NAVigation Satellite timing and Ranging Global Positioning System).
GPS mulai diaktifkan untuk umum mulai tanggal 17 Juli 1995.
Sejak tahun 1996 seiring berkembangnya teknologi GPS, pengamatan deformasi
akibat gempabumi dilakukan dengan mengamati stasiun-stasiun GPS yang dipasang
permukaan bumi dengan bereferensi pada ITRF atau WGS 84. Stasiun pengamatan
SUGAR yang dipakai untuk mengamati siklus gempa di sekitar kepulauan mentawai
merupakan jaringan yang terikat pada ITRF (International Terrestrial Reference
Frame).
Titik-titik ITRF terdapat pada semua lempeng tektonik utama serta hampir
semua lempeng-lempeng yang kecil. Pada saat ini, jaring kerangka ITRF dipublikasikan
setiap tahunnya oleh IERS (Internastional Earth Orientation System), dan umumnya
diberi nama ITRF-yy, dimana yy menunjukkan tahun terakhir dari data yang digunakan
untuk menentukan kerangka tersebut. Stasiun SUGAR yang dipasang di Kepulauan
Mentawai dan Pantai Barat Sumatera mengunakan ITRF ’05.
Sistem yang digunakan oleh ITRF adalah ITRS (International Terrestrial
Reference System) dan sistem koordinat koordinat yang pada prinsipnya analog dari
CTS. CTS (Conventional Terrestrial System ) adalah sistem koordinat yang terikat
bumi, digunakan untuk pendeskripsian posisi dan pergerakan titik-titik di permukaan
bumi. Pengikatan sumbu-sumbu sistem koordinat CTS ke bumi dilakukan dengan
menggunakan sekumpulan titik-titik di permukaan bumi (kerangka dasar) yang
koordinatnya ditentukan dengan pengamatan benda-benda langit dan satelit artifisial
bumi. Sistem ini berotasi dengan bumi, dan juga berevolusi dengan bersama bumi
mengelilingi matahari. Sistem referensi koordinat CTS mempunyai karateristik (gambar
2.5) :
1. Titik nol nya adalah pusat bumi (earth-centered) dan sumbu-sumbu sistem
koordinatnya terikat bumi (earth-fixed).
17
2. Sumbu-X ada dalam bidang meredian Greewich (meredian nol) dan terletak pada
bidang ekuator bumi.
3. Sumbu-Z mengarah ke CTP (Conventional Terretrial Pole), yaitu kutub menengah
bola langit pengganti CIO (Conventional International Origin). CIO adalah posisi
rata-rata sumbu rotasi bumi dari tahun 1900 sampai 1905.
4. Sumbu-Y tegak lurus sumbu-sumbu X dan Z, membentuk koordinat tangan-kanan
(right-handed system).
Gambar 2.5. CTS (Conventional Terrestrial System)
(Kerangka realisasinya adalah ITRF)
18
Download