Islam dan demokrasi

advertisement
ISLAM DAN DEMOKRASI
Berdasarkan pemahaman demokrasi yang begitu ideal, maka sebagian ilmuwan barat
menilai bahwa demokrasi tidaklah sesuai dan sejalan dengan islam. Menurut mereka, islam adalah
agama yang kaku dan tidak bisa menerima kompetisi, pluralisme dan perbedaan. Orang-orang
islam dinilai tidak mampu mengembangkan intelektualnya dengan baik sehingga kehilangan
kemampuan berfikir kritis.
Dan disini bisa kita pertanyakan adalah apakah agama Islam bisa Compitable dengan
Demokrasi atau tidak ? Garis besar yang bisa saya simpulkan adalah menurut saya pribadi Islam
tidak bisa dikatakan cocok dengan Demokrasi. Mengapa ? karena menurut Islam kekuasaan
tertinggi berada di tangan Tuhan, tetapi kalau menurut Demokrasi kekuasaan tertinggi berada di
tangan rakyat
soal falsafahnya yang menganggap manusia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi sehingga
segala persoalan dapat diputus melalui kesepakatan antar-manusia. Pada aspek ini jelas demokrasi
bertentangan dengan prinsip aqidah Islam yang menyerahkan sepenuhnya segala kedaulatan pada
Allah Subhanahu Wata’ala.
Bila Allah Subhanahu Wata’ala sudah menetapkan sesuatu maka kewajiban hambahambanya hanyalah sami’nâ wa atha’nâ (kami mendengar, kami melaksanakan) Akan tetapi, pada
teknis pelaksanaannya dalam pengambilan keputusan di luar itu, demokrasi sesungguhnya ada
kesesuaiannya dengan Islam. Islam mengajarkan praktik yang hampir mirip, yaitu syûrâ
(musyawarah) Musyarah sekalipun tidak sepenuhnya mirip demokrasi, sama-sama menghormati
pendapat manusia banyak dalam menetapkan keputusan. Hanya saja, perkara-perkara yang sudah
terang diatur Allah Subhanahu Wata’ala tidak dapat diubah melalui musyawarah. Oleh sebab itu,
pendapat terakhir ini berkesimpulan bahwa demokrasi boleh digunakan sepanjang bukan untuk
mengubah sesuatu yang sudah menjadi hak prerogatif Allah Subhanahu Wata’ala.
Sebetulnya, untuk mendiskusikan kembali hubungan Islam dan demokrasi setelah puluhan
tahun dijalankan oleh negara-negara Islam tidak cukup hanya berhenti pada analisis hukum yang
hanya bicara boleh dan tidaknya demokrasi dijalankan secara normatif. Analisis harus diarahkan
pada persoalan lain, yaitu kemaslahatan umat setelah berbagai model demokrasi di negara-negara
Islam dijalankan. Dalam hal ini, bukan hanya persoalan kesejahteraan semata, melainkan mashâlih
syar’iyyah ‘âmmah
(kemashlahatan yang syar`I secara umum) yang di dalamnya
mempertimbangkan aspek agama (dîn) dan kesejahteraan (keterjagaan nyawa, akal, harta, dan
reproduksi).
Apakah selama ini, saat demokrasi menjadi pilihan negara-negara Islam mashâlih
syar’iyyah dapat diwujudkan? Apabila persoalan ini menjadi pertimbangan, maka analisis hukum
bergeser dari fiqih tekstual yang hanya mempertimbangkan aspek legal-formal ke fikih mashâlih
yang mempertimbangkan aspek kemanfaatan hukum untuk kemaslahatan umum seperti yang
dikembangkan oleh Imam Asy-Syathibi.
Untuk menemukan data yang lebih akurat dan detail tentang aspek maslahat-madharat
setelah demokrasi diterapkan di berbagai negara Islam tentu tidak dapat dijelaskan dalam tulisan
singkat ini. Hanya ada dua pemikiran dasar penting yang harus menjadi kerangka untuk
menghimpun berbagai data di atas.
Pertama, analisis harus diarahkan pertama pada persoalan “agama” (dîn) Islam. Masalah ini
penting karena kemaslahatan pertamadalam syari’at adalah terjaganya agama dari kehancuran
(hifzh al-dîn). Oleh sebab itu, dalam Islam salah satu tujuan utama penyelenggaraan kekuasaan
adalah hirâsah al-dîn (memelihara agama) agar tetap bisa diamalkan seutuhnya. Bagian ini harus
selalu disertakan dalam analisis mengenai demokrasi karena dalam pengamatan sementara hal
yang paling banyak dirugikan setelah demokrasi dipraktikkan adalah agama.
Memang ada kebebasan beragama dalam demokrasi, namun saat agama memenangkan
pertarungan kekuasaan, maka pada saat itulah agama menjadi musuh demokrasi nomor satu.
Agama akan segera disingkirkan dari panging kekuasaan demokrasi oleh tangan-tangan yang tidak
kasat mata (invisible hand).
Kedua, yang harus menjadi perhatian berikutnya adalah masalah kesejahteraan yang dalam
mashâlih syar’iyyah terdiri atas pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sesungguhnya seringkali demokrasi tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyatnya.
Banyak negara yang dinilai tidak demokratis seperti Saudi Arabia, Singapura, dan Libya (semasa
Kadafi) dapat menyejahterakan sebagian rakyatnya. Ini menunjukkan korelasi yang negatif antara
demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Pada aspek ini dapat saja kita membandingkan satu negara
sebelum menggunakan demokrasi dan sesudahnya.
Bisa jadi ada negara yang sebelumnya tidak demokratis seperti Indonesia, kemudian
memilih demokrasi dapat relatif berkembang kesejahteraannya dibandingkan dengan masa lalu.
Akan tetapi, akan terlalu simplisistik kalau kemudian kesejahteraan itu disebabkan oleh demokrasi.
Melalui dua kacamata itu, sebetulnya secara umum demokrasi tidak selalu memberikan maslahat.
Bahkan, dalam hal agama, demokrasi jutsru menghambat pelaksanaan agama secara paripurna
oleh para pemeluknya.
Dalam demokrasi lebih berbunyi kalimat “pluralisme” daripada agama. Oleh sebab itu, di
negara-negara Islam yang menerapkan demokrasi posisi agama (Islam) menjadi lebih terancam
keberadaannya. Belum lagi, demokrasi di negara-negara Islam justru membuka celah masuknya
kekuatan-kekuatan asing yang juga sangat bersemangat untuk membendung laju perkembangan
Islam, baik sebagai komunitas maupun ajaran.
Download