EVALUASI DIRI SEKOLAH-Mardin

advertisement
Peran Evaluasi Diri Sekolah (EDS) dalam Mewujudkan Budaya Mutu
Pada Satuan Pendidikan
Oleh:
Dr. Mardin, M.Pd
(Widyaiswara LPMP SulSel, Koordinator klaster 4 Penjaminan Mutu Pendidikan)
Pendahuluan
Pada Pasal 5 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu. Pendidikan yang bermutu dapat dicapai jika Kepala sekolah melakonkan kepemimpinannya
secara efektif. Oleh sebab itu maka kepemimpinan yang menjadi perhatian utama, oleh para praktisi dan
akademisi. Hal ini disebabkan karena para pemimpin organisasi termasuk di sekolah memiliki posisi sentral
dalam menggerakkan seluruh komponen atau sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. Pandangan
yang lebih tegas mengenai pentingnya peran kepemimpinan dalam rangka pencapaian kinerja organisasi,
berbicara tentang kinerja organisasi dalam hal ini sekolah tidak lain sesungguhnya adalah pencapaian visi
organisasi tersebut, pencapaian visi sekolah sesungguhnya adalah kinerja sekolah tersebut. Mulyasa
(2005:97) menegaskan bahwa ”Kepala sekolah dalam mewujudkan visi sekolahnya perlu ditunjang oleh
kemampuan kepala sekolah dalam menjalankan roda kepemimpinannya.”
Data UNDP dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 tentang HDI yang salah satu indikatornya adalah
pendidikan sangat memprihatinkan, bahkan tahun 2005 Vietnam telah berada pada posisi lebih baik dari
pada Indonesia sehingga mau tidak mau praktisi pendidikan harus memiliki kepedulian untuk memperbaiki
kinerja pendidikan persekolahan, berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kinerja
pendidikan tersebut, antara lain : peningkatan kualifikasi guru melalui program penyetaran D-II untuk guru
SD dan D-III untuk guru SMP, namun program inipun belum menunjukkan hasil yang menggembirakan,
Mutu pendidikan di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Di luar berbagai prestasi akademis
yang dicapai siswa-siswa Indonesia di berbagai lomba ilmiah tingkat dunia, kita masih harus
mengakui bahwa masih sangat banyak sekolah yang kondisi sarana prasarana dan proses
pembelajarannya masih jauh dari memuaskan. Untuk itu, peningkatan mutu pendidikan masih
merupakan salah satu program utama yang menjadi fokus perhatian Kementerian Pendidikan
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Nasional dan menjadi ‘pekerjaan rumah’ Pemerintah. Sesungguhnya sudah cukup banyak yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan berbagai upaya untuk meningkatkan
mutu pendidikan nasional, khususnya pendidikan tingkat dasar dan menengah. Salah satu upaya
adalah mengimplementasikan desentralisasi pendidikan secara bertahap.
Desentralisasi, atau juga sering disebut otonomi, pendidikan ini awalnya (sekitar akhir tahun 1990an) dimulai dengan sektor pendanaan sekolah/madrasah melalui pemberian matching-grant atau
hibah bersyarat, di mana sekolah/madrasah (satuan pendidikan) menyediakan dana peningkatan
mutunya sebesar 10% dan pemerintah (melalui pinjaman Bank Dunia) memberikan hibah dana 90%
dari kebutuhan yang yang diperlukan, misalnya untuk menambah ruang kelas baru. Kemudian, pola
matching-grant ditingkatkan menjadi block-grant (hibah murni/penuh) dan sudah dilaksanakan
sampai saat ini dalam berbagai bentuk, misalnya dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), dan BOS
Buku.
Dalam otonomi bidang organisasi, sekolah kemudian diminta untuk mengganti asosiasi orang tua
murid, yang dulu dikenal dengan nama BP3 (Badan Pembantu Pelaksana Pendidikan) dengan tugas
utamanya sebagai pengumpul dana sumbangan dari orang tua murid untuk sekolah, menjadi
Komite Sekolah/Madrasah dengan berbagai tugas yang tidak sekedar menjadi ‘kasir’, tapi juga ikut
memikirkan, merancang, mengawasi, dan bila perlu ikut melaksanakan, serta mengevaluasi
berbagai program peningkatan mutu sekolah. Haryadi, Y. (dkk) (2006) menyatakan bahwa peran
Komite Sekolah/Madrasah adalah sebagai berikut (1) sebagai advisory agency, (2) supporting
agency, (3) controlling agency, dan (4) mediator agency.
Di tingkat kota/kabupaten dan provinsi dibentuk Dewan Pendidikan tingkat Kota/Kabupaten dan
Dewan Pendidikan tingkat Provinsi yang tugas utamanya adalah untuk mendorong terjadinya
percepatan peningkatan mutu pendidikan. Jadi, secara organisatoris, peningkatan mutu pendidikan
diharapkan dapat menjadi suatu proses yang bottom-up, yang berbasis pada akuntabilitas publik,
BUKAN akuntabilitas yang hanya kepada pejabat birokrat atasan sekolah. Hal ini didasarkan pada
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
asumsi bahwa bila akuntabilitas sekolah kepada publik/masyarakat baik, maka akuntabilitas kepada
atasan juga akan baik, namun tidak sebaliknya.
Dalam implementasi otonomi manajemen, sejak akhir 1990-an, sekolah diminta untuk
melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), suatu pola manajemen yang memberikan
ruang gerak dan otonomi yang cukup bagi sekolah untuk dapat menentukan dan melaksanakan
sendiri program-program peningkatan mutu dengan dasar akuntabilitas publik. Pola manajemen ini
diharapkan menjadi suatu budaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Selanjutnya, budaya peningkatan mutu pendidikan akan dapat dilaksanakan dengan baik bila
sekolah terbiasa melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) dalam implementasi
MBSnya. Dan, instrumen utama dalam pelaksanaan SPMP adalah Evaluasi Diri Sekolah (EDS). Dalam
implementasinya, EDS akan ditindaklanjuti dengan program Monitoring Sekolah oleh Pemerintah
Daerah (MSPD) yang dilaksanakan oleh para Pengawas Pendidikan. MSPD merupakan instrumen
utama Evaluasi Diri Kota/Kabupaten (EDK) sebagai dasar penyusunan program peningkatan mutu
pendidikan di wilayah tersebut. Dengan demikian, SPMP, yang diimplementasikan dalam kegiatan
EDS, akan menjadi komponen utama dalam lingkup implementasi MBS sebagai upaya
pembudayaan peningkatan mutu pendidikan di sekolah.
Terlaksananya MBS sangat ditentukan oleh 3 (tiga) pilar utama, yaitu (1) transparansi dan
akuntabilitas publik, (2) peran serta masyarakat, dan (3) PAKEM, pembelajaran yang berorientasi
pada upaya bagaimana siswa aktif sebagai subyek (bukan objek) pembelajaran dan senang belajar.
Yang menjadi pertanyaan krusial saat ini adalah bagaimana upaya sekolah agar terjadi akuntabilitas
publik yang sehat sehingga peningkatan mutu pendidikan dapat membudaya di dalam aktivitas
keseharian sekolah. Untuk menjawab pertanyaan di atas, artikel ini ditulis untuk mendiskusikan
implementasi pilar utama implementasi MBS yaitu pilar ke 1 dan 2 yang terkait dengan
transparansi/akuntabilitas publik dan peran serta masyarakat dalam bentuk implementasi SPMP
melalui EDS dan MSPD.
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
I. MBS sebagai Implementasi Otonomi Pengelolaan Satuan Pendidikan
MBS pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah
dengan melibatkan semua kelompok kepentingan (stakeholders) yang terkait dengan sekolah
secara langsung, khususnya Komite Sekolah/Madrasah, dalam proses pengambilan keputusan
secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional (Departemen Pendidikan Nasional, 2005). Dahulu, dalam era
sentralisasi pendidikan (yang mungkin karakternya juga masih berlangsung di banyak tempat
sampai saat ini?) pertanggungjawaban (akuntabilitas) sekolah utamanya ditujukan kepada pejabat
birokrasi yang merupakan atasan langsung (kepala) sekolah, yaitu Kepala Dinas Pendidikan bagi
satuan pendidikan negeri, dan Ketua Yayasan bagi satuan pendidikan swasta. Dalam praktiknya,
pola manajemen yang menafikan peran penting masyarakat, dan bersifat top-down ini, ternyata
hanya memberikan akuntabilitas ‘asal bapak senang (ABS)’. Kepemimpinan otoriter kepala sekolah
menjadi ciri utama pola manajemen sekolah. Sehingga, biasanya apa yang sesungguhnya terjadi di
sekolah/madrasah sangat berbeda dengan apa yang dilaporkan. Sekolah/madrasah seolah-olah
hanya dianggap milik pemerintah atau yayasan semata, bukan milik masyarakat.
Pemangku
kepentingan utama pendidikan, yaitu siswa, guru, orang tua murid, dan masyarakat kurang/tidak
diberi tempat yang layak dalam implementasi program pendidikan di sekolah/madrasah. Pola
manajemen seperti ini ternyata tidak mampu membawa budaya peningkatan mutu yang
berkelanjutan di sekolah/madrasah.
Pola sentralistik pendidikan ini sudah seharusnya ditinggalkan dengan cara lebih memberdayakan
dan melibatkan berbagai stakeholders (pemangku kepentingan) utama sekolah atau madrasah,
yaitu siswa, guru, orang tua siswa, dan anggota masyarakat yang peduli pada peningkatan mutu
sekolah (bukan hanya pejabat atasan sekolah saja) dalam berbagai kegiatan pengambilan
keputusan yang partisipatif, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan
pertanggungjawaban (akuntabilitas) berbagai program peningkatan mutu pendidikan pada setiap
tahun ajaran. Pelibatan dan pemberdayaan berbagai pemangku kepentingan di atas, yang
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
kemudian
diwadahi
dalam
Komite
Sekolah/Madrasah,
adalah
ciri
utama
otonomi
sekolah/madrasah.
Kepala Sekolah seharusnya tidak perlu lagi merasa ‘alergi’ bila Komite Sekolah/Madrasah ikut serta
merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan tentu saja mempertanggungjawabkan segala
program sekolah; yang juga meliputi pertanggungjawaban keuangan sekolah. Justru dalam nuansa
otonomi seperti ini, Kepala Sekolah akan sangat terbantu karena bukan satu-satunya pihak yang
bertanggung jawab atas segala prestasi sekolah, meskipun mungkin prestasi tersebut tidak terlalu
menggembirakan.
Hanya dengan melaksanakan MBS, sebagai bentuk otonomi pendidikan secara murni, peningkatan
mutu sekolah akan secara akseleratif dapat dilaksanakan. Para pejabat birokrasi yang merupakan
atasan langsung sekolah harus menyadari pentingnya otonomi pendidikan di sekolah dengan
memberi keleluasaan sekolah melaksanakan MBS. Justru, para pejabat atasan sekolah harus bisa
mendorong terjadinya pelaksanaan MBS yang sehat di sekolah. Tidak boleh ada lagi berita di media
massa yang berisi pertikaian Kepala Sekolah/Madrasah dengan para pengurus Komite
Sekolah/Madrasah hanya karena masalah pengelolaan dana operasional dan peningkatan mutu
pendidikan di sekolah/madrasah tersebut. MBS, sebagi implementasi otonomi pendidikan tingkat
sekolah,
harus
juga
dapat
diterjemahkan
sebagai
pendelegasian
penggunaan
dan
pertanggungjawaban keuangan sekolah. Ini adalah area yang sangat sensitif dalam pelaksanaan
MBS. Sesungguhnya MBS harus diimplementasikan dalam bentuk pengambilan keputusan yang
partisipatif oleh semua stakeholders sekolah, bukan hanya individual kepala sekolah, sehingga
pemanfaatan dana operasional sekolah benar-benar dapat dipergunakan secara efektif dan efisien
oleh berbagai pihak terkait di tingkat sekolah, dan semata-mata ditujukan demi peningkatan mutu
proses dan hasil belajar siswa, sebagai stakeholders utama sekolah.
II. SPMP dalam Konteks Implementasi MBS
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Pengambilan keputusan secara partispatif oleh semua stakeholders sekolah adalah inti dari
pelaksanaan MBS atau otonomi pendidikan di tingkat sekolah. Oleh sebab itu, pelibatan dan
pemberdayaan berbagai stakeholders sekolah dalam berbagai tingkat pelaksanaan manajemen
sekolah adalah menjadi keniscayaan; mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporan
pertanggungjawabannya hasil pendidikan di sekolah. Tujuan dari pola manajemen ini semata-mata
adalah demi peningkatan mutu pendidikan di tingkat sekolah/madrasah secara terukur dan
berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan ini wajib hukumnya bagi sekolah, dalam konteks
implementasi MBS, untuk melaksanakan Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) (Inpres No. 1
Tahun 2010 tentang tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010
dalam program Peningkatan Kualitas Pengelolaan Dan Layanan Pendidikan, PP No. 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem
Penjaminan Mutu Pendidikan dalam Pasal 40 s.d. 42). Hanya dengan mengimplementasikan SPMP
secara konsisten dan berkelanjutan dalam program MBS, budaya peningkatan mutu pendidikan di
tingkat sekolah dapat dicapai secara. Sesungguhnya keberhasilan implementasi SPMP sangat
bergantung pada motivasi intrinsik/internal sekolah, bukan karena segala peraturan yang
ditentukan oleh pihak luar, i.e. pemerintah.
“Quality assurance should be internally driven, institutionalized within each organization’s
standard procedure, and could also involve external parties. However, since quality is also a
concern of all stakeholders, quality improvement should aim at producing quality outputs and
outcomes as part of public accountability”, (Pranata, S. 2010)
Secara singkat, implementasi SPMP terdiri dari rangkaian proses/tahapan yang secara siklik dimulai
dari (1) pengumpulan data, (2) analisis data, (3) pelaporan/pemetaan, (4) penyusunan
rekomendasi, dan (5) upaya pelaksanaan rekomendasi dalam bentuk program peningkatan mutu
pendidikan. Tahapan-tahapan proses SPMP ini merupakan suatu siklus yang saling terkait dan
berlangsung secara sustainable (berkelanjutan) (Short, 2009). Pelaksanaan tahapan-tahapan di atas
perlu dilaksanakan secara kolaboratif oleh berbagai stakeholders sekolah sesuai dengan amanat
MBS (PP No. 19 Tahun 2005).
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Sekolah perlu membentuk Tim Pengembang Sekolah (TPS) yang terdiri dari berbagai unsur
stakeholders yaitu perwakilan guru, komite sekolah, orang tua, dan perwakilan lain dari kelompok
masyarakat yang memang dipandang layak untuk diikutsertakan karena kepedulian yang tinggi
pada sekolah. Dalam melaksanakan SPMP, Pengawas Pendidikan yang bertugas sebagai pembina
sekolah juga harus dilibatkan dalam TPS, sebagai wakil dari pemerintah. SPMP tidak akan dapat
terlaksana dengan baik tanpa pelibatan dan pemberdayaan berbagai stakeholders sekolah,
termasuk wakil pemerintah.
Melalui SPMP, sekolah dapat melaksanakan program manajemen yang berbasis data. Pola
manajemen ini pada kenyataannya masih belum dilakukan olehbanyak sekolah sebagai suatu
budaya kerja. Data yang valid, secara empirik dan akurat, akan selalu menjadi landasan utama
dalam pengambilan keputusan dan penyusunan berbagai rencana peningkatan mutu pendidikan di
sekolah/madrasah. Dengan demikian, 5 (lima) rangkaian tahapan SPMP yang berbasis data ini akan
menjadi bagian vital dan utama dalam proses Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Implementasi
tahapan-tahapan SPMP ini kemudian diharapkan menjadi budaya peningkatan mutu di
sekolah/madrasah. Dari berbagai data valid yang dapat dikumpulkan sekolah (data dari hasil
akreditasi sekolah, sertifikasi guru, ujian nasional, profil sekolah, dan lain-lain), Evaluasi Diri
Sekolah (EDS) merupakan salah satu instrumen implementasi SPMP yang wajib dilaksanakan oleh
setiap satuan pendidikan sebagai salah satu program akseleratif dalam peningkatan kualitas
pengelolaan dan layanan pendidikan (Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010;
Prioritas Nomor 2. Pendidikan)
III. Peran EDS/MSPD dalam Mewujudkan Budaya Mutu Pendidikan
Evaluasi Diri Sekolah (EDS) sebenarnya sudah beberapa tahun ini kita kenal, sejak pelaksanaan
program Akreditasi Sekolah. Namun yang kita diskusikan di artikel ini adalah EDS sebagai instrumen
utama dalam implementasi SPMP. EDS yang bersifat developmental ini secara khusus ditujukan
untuk membantu unit pendidikan dalam memotret dan memetakan kondisi objektif dirinya secara
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
berkala (tahunan) sebagai dasar penyusunan program peningkatan mutu. Peta hasil EDS akan
dapat memberikan data yang valid tentang tingkat capaian sekolah/madrasah terhadap Standar
Nasional Pendidikan (SNP) dan atau Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam pendidikan, yang
sudah dituangkan dalam Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal
Pendidikan Dasar.
Di beberapa negara maju, misalnya Inggris, EDS, yang disana disebut dengan SSSE (Supported
School Self-Evaluation), sudah cukup lama dilaksanakan sebagai instrumen utama untuk dasar
penyusunan program peningkatan mutu pendidikan. Pengisian instrumen ini dilaksanakan secara
berkala oleh Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah dengan diverifikasi oleh Pengawas Sekolah
yang bertugas membina sekolah tersebut. SSSE ini benar-benar dapat mendorong peningkatan
capaian standar pendidikan di sekolah tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Rudd, P dan Davies,
Deborah (peneliti pada National Association for Educational Research, Inggris) (2000): ‘School selfevaluation now sits alongside, and has been embraced by, external inspection as a major mechanism for
monitoring and raising standards of achievement in schools’. (versi Bahasa Indonesia secara bebas: ‘EDS
yang sekarang dilaksanakan dan telah dikolaborasikan dengan pengawas(an) eksternal telah menjadi
mekanisme utama dalam monitoring dan peningkatan capaian standar pendidikan di sekolah’).
Dalam praktiknya di Indonesia, Evaluasi Diri Sekolah (EDS) sesungguhnya tidak semata-mata
dilaksanakan oleh sekolah bersama Komite Sekolahnya saja dalam Tim Pengembang Sekolah (TPS),
namun juga didukung oleh kehadiran Pengawas Sekolah yang lebih berfungsi sebagai verifikator
dan validator terhadap hasil penilaian yang dilakukan oleh sekolah bersama komitenya. Pengawas
juga merupakan salah satu anggota TPS. Dengan keikutsertaan Pengawas Sekolah, diharapkan hasil
pengumpulan data EDS dapat benar-benar secara valid memotret/memetakan kondisi capaian
sekolah terhadap SNP atau SPM seobjektif mungkin, yang kemudian menjadi landasan
pengembangan prgram satuan pendidikan dalam bentuk sebuah dokumen perencanaan di satuan
pendidikan yaitu rencana kerja sekolah (RKS).
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Keterlibatan Pengawas tidak dimaksudkan sebagai inspektur yang hanya mencari kesalahan
sekolah saja, namun lebih difungsikan sebagai pembina yang juga ikut bertanggung jawab untuk
dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tersebut melalui pengisian instrumen EDS. Jadi,
sama halnya dengan implementasi SSSE di Inggris, EDS di Indonesia juga sesungguhnya merupakan
‘supported-EDS’. Dengan pola ‘supported-EDS’, hubungan kerja sama antara sekolah dengan Pengawas
Sekolah menjadi benar-benar bermakna yang semata-mata ditujukan demi peningkatan mutu pendidikan di
sekolah tersebut. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Rudd, P dan Davies, Deborah (2000), ‘School selfevaluation processes help to facilitate the development of positive working relationships between LEAs and
their schools’. (catatan: LEA=Local Education Authority, sama dengan dinas pendidikan tingkat
kota/kabupaten di Indonesia, di mana Pengawas Sekolah bekerja). Kerja sama dan kolaborasi yang kuat
antara sekolah, Komite Sekolah, dan Pengawas Sekolah dalam melaksanakan EDS merupakan fondasi yang
kuat bagi program peningkatan mutu pendidikan di sekolah dalam konteks implementasi Manajemen
Berbasis sekolah (MBS).
Implementasi Evaluasi Diri Sekolah (EDS)
Seperti yang sudah di jelaskan dalam Bagian II di atas, EDS adalah instrumen utama dalam
implementasi tahapan SPMP. Dalam implementasi Tahap 1 SPMP, EDS menjadi alat untuk
pengumpulan data tentang capaian 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP) oleh sekolah.
Jadi, secara garis besar, EDS terdiri dari 8 (delapan) bagian sesuai dengan masing-masing SNP,
oleh sebab itu maka hasil EDS secara obyektif ditindaklajuti dengan program pengembangan
satuan pendidikan.
Program pengembangan satuan pendidikan yang bersumber dari hasil analisis EDS
sesungguhnya tidak hanya ditindaklanjuti oleh satuan pendidikan tetapi ditindaklajuti juga oleh
pemerintah Daerah, baik Propinsi maupun Kabupaten/kota, bahkan sampai ke pemerintah
sehingga setiap program pengembangan pendidikan bersumber dari kebutuhan satuan
pendidikan yang diperoleh dari hasil analisis EDS.
Program yang dikembangkan disetiap satuan pendidikan dan pejabat praktisi pendidikan
wujudnya menjadi 2 (dua) yaitu,
program peningkatan dan program pengembanga,
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
peningkatan atas komponen yang belum mencapai standar nasional pendidikan dan
pengembangan bagi komponen yang sudah memenuhi standar nasional pendidikan.
Program yang bersumber dari data ril kondisi satuan pendidikan akan lebih realistis menjadikan
mutu disetiap satuan pendidikan menjadi sebuah kebutuhan, yang pada akhirnya mutu
disetiap satuan pendidikan akan menjadi budaya (budaya mutu)
Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa manajemen peningkatan mutu pendidikan
dan program penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan mulai dari satuan pendidikan sampai
tingkat pusat, akan dapat dilaksanakan dengan baik jika EDS sebagai bagian utama implementasi
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) dilaksanakan secara konsekwen.
Program pengembagan satuan pendidikan dalam bentuk rencana pengembangan sekolah berbasis
pada hasil analisis EDS sehingga petunjuk teknis penggunaan dana yang diblokgrankan ke satuan
pendidikan harus lebih fleksibel sesuai dengan kondisi masing masing satuan pendidikan.
Bacaan:
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Paket Pelatihan 1. Peningkatan Mutu Pendidikan Dasar
Melalui Manajemen Berbasis Sekolah, Peran Serta masyarakat, Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Departemen Pendidikan Nasional. 2009. Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem
Penjaminan Mutu Pendidikan
Haryadi, Yadi. (dkk). 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah. Modul 2: Peningkatan kemampuan
Organisasional Komite Sekolah. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar.
Presiden Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.
Presiden Republik Indonesia. 2010. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010
tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010.
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Rudd, Peter and Deborah Davies. (2000). Evaluating School Self-Evaluation. Paper presented at the
British Educational Research Association Conference, Cardiff University, 7-10 September
2000.
Short, John. 2009. Paparan Powerpoint tentang SPMP dalam berbagai kegiatan ICB dan workshop
sosialisai SPMP di beberapa LPMP/BDK di Indonesia.
Surapranata, Sumarna. 2010. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP). Paparan powerpoint
Direktur Direktorat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan (Dit. Bindiklat) dalam berbagai
kegiatan pembinaan di lingkungan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikn
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolaheds-dalam-mewujudkan-budaya-mutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Arsip LPMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 20012
http://lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=177:peran-evaluasi-diri-sekolah-eds-dalam-mewujudkan-budayamutu-pada-satuan-pendidikan&catid=42:widyaiswara&Itemid=206
Download