dampak investasi terhadap kinerja perekonomian

advertisement
DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN
MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN
MODAL ASING DI JAWA TIMUR
HERNY KARTIKA WATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
ABSTRACT
HERNY KARTIKA WATI. Investment Impact on The Economic
Performance: A Comparative Study of Domestic and Foreign Investment in
East Java (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and HERMANTO
SIREGAR as member of Advisory Commiittee).
Domestic and foreign investment play an important role in the East Java
economy. However, within these past five years the growth of both types of
investment has been fluctuated and tends to decrease. One of the objectives
research is to analyze factors affected economic variables of East Java province:
Gross Regional Domestic Product (GRDP), inflation and unemployment. This
research is conducted using econometric model that formulated in simultaneously
equation with approximated Two Stage Least Squares (2SLS). Results of this
study show that GRDP is influenced by real domestic investment, a change in real
foreign investment, time trend, dummy of decentralization and the last year
GRDP. Inflation is influenced by GRDP, time trend and the last year inflation.
Unemployment is affected by real domestic investment, time trend and the last
year unemployment. The simulation also shows that an increase in domestic and
foreign investment have the same positif impact on GRDP and inflation but
negative impact on unemployment. Further, foreign invesment has a greater
impact on GRDP and unemployment compared to domestic invesment, conversly.
Keyword: domestic
unemployment
investment,
foreign
investment,
GRDP,
inflation,
RINGKASAN
Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari data Produk
Domestik Bruto (PDB), inflasi dan tingkat pengangguran. Salah satu upaya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui investasi. Investasi
merupakan kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu investasi juga memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan
teknologi dan spesialisasi produksi, sehingga meminimalkan ongkos produksi dan
penggalian sumberdaya alam, serta mendorong industrialisasi dan ekspansi pasar
yang diperlukan bagi kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002).
Perkembangan investasi, khususnya investasi PMDN dan PMA di Jawa
Timur tahun 2000-2006, belum menunjukkan perkembangan seperti yang
diharapkan. Padahal sebagai pusat utama wilayah Kawasan Timur Indonesia
untuk perkembangan sistem industry processing dan perdagangan nasional, Jawa
Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi (Badan
Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jawa Timur, 2004).
Kondisi Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan harapan
tersebut tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi turut menurun. Bahkan
sebaliknya, terus mengalami peningkatan dari tahun 2001-2006, atau dengan kata
lain terjadi anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan inflasi
Jawa Timur cenderung berfluktuasi dari tahun 2000-2006. Di sisi lain
pertumbuhan pengangguran di Jawa Timur cenderung naik 11.8 persen per tahun.
Oleh sebab itu tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk menganalisis
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan
ekonomi,
inflasi
dan
pengangguran di Jawa Timur, (2) mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA
terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur dan (3)
menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak terbesar
dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur.
Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1980-2006 yang
bersumber dari publikasi resmi lembaga pemerintah daerah provinsi Jawa Timur
IMF, BPS, harian terbitan Jakarta, internet, serta laporan dan publikasi lain.
Sedangkan model yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah
model persamaan simultan dinamik dan dirumuskan dalam persamaan linear
additive. Model terdiri dari 5 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas.
Berdasarkan syarat order, maka setiap persamaan struktural berstatus over
identified. Oleh sebab itu metode pendugaan yang digunakan adalah 2SLS.
Pengolahan data untuk menduga model digunakan program software komputer
SAS versi 6.12. Sedangkan simulasi ex-post tahun 1993-2006 meliputi kebijakan
peningkatan PMDN sebesar 15 persen, PMA sebesar 15 persen, Upah Minimum
Provinsi sebesar 18 persen dan peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen, serta
kombinasinya.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa PDRB dipengaruhi oleh PMDN riil,
perubahan PMA, dummy otonomi daerah, tren waktu dan PDRB tahun
sebelumnya. Inflasi dipengaruhi secara nyata oleh PDRB, tren waktu dan inflasi
tahun sebelumnya. Sedangkan pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil, tren
waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil simulasi, maka peningkatan PMDN 15 persen
berdampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap pengangguran, yaitu
sebesar 0.01 dan -0.05. Dampak lain kenaikan PDRB tersebut mendorong naiknya
inflasi sebesar 0.05 persen. Sedangkan peningkatan PMA 15 persen menstimulasi
peningkatan PDRB sebesar 0.44 persen, mendorong naiknya inflasi sebesar 1.38
persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.44 persen. Dampak terbaik
terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur diperoleh dengan meningkatkan
PMA sebesar 15 persen. Kenaikan PMA dapat mendorong peningkatan PDRB
dan mengurangi pengangguran yang relatif lebih tinggi daripada PMDN.
Pengembangan investasi PMA di Jawa Timur menjadi pilihan tepat untuk
mengatasi
masalah
pengangguran,
sekaligus
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi. Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengembangkan
PMA antara lain (1) menyelaraskan dan mencabut Perda-Perda yang dinilai
menjadi penyebab biaya ekonomi tinggi, (2) memberikan jaminan kepastian
hukum dan perlindungan hukum bagi investor dan (3) menyediakan sarana dan
prasarana infrastruktur yang lebih memadai bagi investor.
DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN
MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN
MODAL ASING DI JAWA TIMUR
HERNY KARTIKA WATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis
saya yang berjudul:
Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi
Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa
Timur
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, atas bimbingan Komisi
Pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juli 2008
Herny Kartika Wati
Nrp A151040061
ABSTRAK
HERNY KARTIKA WATI. Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing di Jawa Timur (DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai
Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing
(PMA) mempunyai peran penting dalam perekonomian Jawa Timur. Namun
dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan kedua jenis investasi swasta tersebut
berfluktuasi dan cenderung menurun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian Jawa Timur, mengetahui
dampak PMDN dan PMA serta menganalisis investasi mana yang mempunyai
dampak terbesar dalam kinerja perekonomian Jawa Timur tersebut. Kinerja
perekonomian dapat diketahui dari data PDRB, inflasi dan pengangguran. Model
yang dirumuskan adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan.
Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah 2 SLS dan simulasi kebijakan
ekonomi.
Berdasarkan hasil pendugaan parameter model diketahui bahwa PDRB
dipengaruhi secara nyata oleh Penanaman Modal Dalam Negeri riil,
Perubahan Penanaman Modal Asing, dummy otonomi daerah, tren waktu, dan
PDRB tahun sebelumnya.Sedangkan inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tren waktu,
dan laju inflasi tahun sebelumnya. Pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil,
tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa peningkatan PMDN dan PMA berdampak positif terhadap PDRB dan
inflasi serta berdampak negatif terhadap pengangguran. Namun dampak PMA
terhadap peningkatan PDRB dan penurunan pengangguran lebih besar daripada
PMDN. Oleh sebab itu untuk menstimulasi peningkatan PDRB dan sekaligus
menurunkan angka pengangguran di Jawa Timur maka pengembangan PMDN
dan PMA merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan.
Kata Kunci : PMDN, PMA, PDRB, inflasi, pengangguran, sistem persamaan
simultan
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan
hanya
untuk
kepentingan
pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA
PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN
MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN
MODAL ASING DI JAWA TIMUR
HERNY KARTIKA WATI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Tesis
:
Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi
Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing di Jawa Timur
Nama Mahasiswa :
Herny Kartika Wati
Nomor Pokok
:
A151040061
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui
1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Ketua
Anggota
Mengetahui
2. Ketua Program Studi
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir.Bonar M.Sinaga, M.A
Prof. Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 18 Juni 2008
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1973 di Magetan, Provinsi Jawa
Timur,
sebagai
anak
pertama
dari
tiga
bersaudara,
dari
pasangan
Drs. Soekarno, MM dan Kasini.
Tahun 1985, Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karah II di
Kotamadya Surabaya, Lulus SMPN 21 pada tahun 1989 di Kotamadya Surabaya
dan Lulus SMA Negeri 5 di Kotamadya Surabaya tahun 1991. Pada tahun yang
sama penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
(UNIBRAW), Malang dan lulus pada tahun 1996. Kemudian pada tahun 2004,
penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Pengembangan SDM Pertanian
(BPSDMP), Departemen Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten mata kuliah Teori
Ekonomi Makro pada tahun ajaran 2004/2005 di Departemen Sosial Ekonomi
Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB.
Tahun 1997, Penulis diterima sebagai pegawai di Badan Agribisnis,
Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis
dipindahtugaskan ke Direktorat Jenderal Bina Pemasaran dan Pengolahan Hasil
Pertanian, Departemen Pertanian sampai saat ini.
Pada tahun 2006, Penulis menikah dengan Wienny Wahyu Wijaya, ST dan
dikaruniai seorang putra bernama Kevin Abiyyu Kartika Wijaya yang berusia 15
bulan pada saat penulisan tesis ini. Selain itu, pada saat yang sama penulis sedang
menantikan kelahiran putra kedua.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur Kehadirat Allah SWT, atas Rahmat dan
Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan pendidikan di
sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku
ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai
Anggota Komisi Pembimbing atas kesungguhan, ketekunan, ketulusan dan
kesabaran dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Terima kasih yang
sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S atas
kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tesis.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr.Ir. Herry Suhardiyanto,
M.Sc selaku Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A sebagai Ketua
Program Studi EPN dan kepada segenap Pimpinan di Departemen Pertanian
khususnya Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Kepala
Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di sekolah
pascasarjana, IPB.
Terima
(Drs.
kasih
Soekarno,
yang
MM
sebesar-besarnya
dan
Kasini)
kepada
serta
orang
bapak
tua
ibu
penulis
mertua
(Drs. Narto Soehardjo, M.Pa dan Dra. Sunarti ) atas dorongan semangat,
ketulusan
dan
doa
yang
tiada
henti-hentinya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik.
Kepada suami tercinta Mas Wienny dan ananda Kevin, terima kasih atas
pengertiannya, kasih sayang, dorongan semangat, inspirasi dan doa yang tulus
kepada penulis. Ungkapan yang sama penulis sampaikan kepada adik-adik
(Mayor Czi. Herfin Kartika Aji beserta keluarga dan Herdyane Kartika Dewi, SH)
atas doa dan dukungannya selama ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada staf program studi EPN: Mbak
Santi, Ruby, Yani dan Aam atas bantuan administrasinya sehingga penulis dapat
menjalani tugas belajar dengan baik, teman-teman di Graha Matudhilipa terutama
Dwi, Citra, Niken dan Fia atas kebersamaan dan bantuan yang sangat berarti yang
telah diberikan kepada penulis selama ini. Demikian pula kepada teman-teman
EPN satu angkatan khususnya Ilham, Iwan dan Ria atas dorongan semangat dan
kebersamaan dalam menjalani perkuliahan di EPN. Tak lupa ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Mbak Niken.W dan Dian atas segala bantuannya
serta Pak Darsono dan Pak Yundhy atas segala saran dan kritiknya.
Kepada segenap staf di instansi pemerintah di Provinsi Jawa Timur
terutama Disnaker, BPS dan BPM serta Ibu Wiwin di PSE Bogor, terima kasih
atas kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam mengumpulkan data dan
informasi serta terima kasih kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu dalam tesis ini. Kiranya Allah SWT sendiri yang dapat
memberi balasan berkah kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu
penulis.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
demikian penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat
khususnya bagi pengembangan investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur.
Bogor,
Juli 2008
Herny Kartika Wati
Judul Tesis
:
Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian : Studi
Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing di Jawa Timur
Nama Mahasiswa :
Herny Kartika Wati
Nomor Pokok
:
A151040061
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui
2. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec
Ketua
Anggota
Mengetahui
Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S
Tanggal Ujian : 18 Juni 2008
Tanggal Lulus:
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................
vii
I. PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1. Latar Belakang .......................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...............................................................
9
1.3. Tujuan ...................................................................................
13
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ..........................
14
1.5. Kegunaan Penelitian ...............................................................
15
II. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
16
2.1. Jenis-Jenis Investasi Swasta ..................................................
16
2.2. Perkembangan Perekonomian Jawa Timur ...........................
18
2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi .............................................
18
2.2.2. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri
Dan Penanaman Modal Asing ...................................
21
2.2.3. Potensi Investasi di Jawa Timur ................................
24
2.2.4. Inflasi .........................................................................
26
2.2.5. Pengangguran ............................................................
28
2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian .........................................................................
32
2.4. Tinjauan Studi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi
Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal
Asing .....................................................................................
36
2.5. Posisi Penelitian .....................................................................
39
III. KERANGKA TEORITIS ...........................................................
40
3.1. Produk Domestik Bruto..........................................................
40
3.2. Investasi .................................................................................
41
3.3. Inflasi .....................................................................................
43
3.4. Pengangguran .........................................................................
46
i
3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi ............................
47
3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengangguran .............................................................
47
3.5.2. Trade-off Antara Inflasi dan Pengangguran .........
48
3.6. Otonomi Daerah .....................................................................
50
IV. METODOLOGI .........................................................................
55
4.1. Kerangka Pemikiran ..............................................................
55
4.2. Jenis dan Sumber Data ..........................................................
56
4.3. Spesifikasi Model ..................................................................
57
4.4. Identifikasi Model ..................................................................
65
4.5. Pendugaan Parameter Model .................................................
65
4.6. Pengujian Hipotesis ...............................................................
66
4.7. Validasi Model ......................................................................
67
4.8. Simulasi Model ......................................................................
68
4.9. Definisi Operasional .............................................................
70
V. ANALISIS EKONOMETRIKA DAMPAK INVESTASI
TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR
72
5.1. Analisis Umum Pendugaan Model .........................................
72
5.2. Hasil Pendugaan Model .........................................................
72
5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto .............................
73
5.2.2. Penanaman Modal Dalam Negeri ..............................
75
5.2.3. Penanaman Modal Asing ..........................................
78
5.2.4. Inflasi .........................................................................
81
5.2.5. Pengangguran ............................................................
83
5.3. Sintesis Terhadap Hasil Analisis ...........................................
85
VI. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF
KEBIJAKAN ...............................................................................
91
6.1. Validasi Model .......................................................................
91
6.2. Hasil Simulasi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur ..........................................................
92
6.2.1. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri
Sebesar 15 Persen ........................................................
92
ii
6.2.2. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar
15 Persen .....................................................................
93
6.2.3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18
Persen ..........................................................................
94
6.2.4. Peningkatan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen .............
94
6.2.5. Kombinasi Kebijakan ................................................
95
6.3. Studi Komparasi Peranan Penanaman Modal Dalam Negeri
dan Penanaman Modal Asing Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur .....................................................................
100
6.4. Implikasi Kebijakan ..............................................................
102
VII. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................
106
7.1. Simpulan ..............................................................................
106
7.2. Saran ....................................................................................
107
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................
109
LAMPIRAN ..............................................................................
113
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi di Indonesia
Tahun 1997-2005 .................................................................
4
2. Nilai Neto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia
Tahun 1997-2004 .................................................................
4
3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal
Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ...
5
4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal
Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ................
6
5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal
Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk
Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun
2001-2006 .............................................................................
10
6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio
Tenaga Kerja Terhadap Investasi Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
Tahun 1969-2004 .................................................................
11
7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan
Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006 ...
12
8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006 .......
20
9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar
Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2006 ..............................
21
10. Jenis dan Sumber Data .........................................................
57
11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik
Regional Bruto .....................................................................
73
12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal
Dalam Negeri .......................................................................
76
13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal
Asing ....................................................................................
78
14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Inflasi ...................
82
15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran .......
84
16. Hasil Validasi Model Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian Jawa Timur ...................................................
92
17. Hasil Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam
Negeri dan Penanaman Modal Asing ...................................
93
18. Hasil Simulasi Peningkatan Upah Minimum Provinsi dan
Suku Bunga ..........................................................................
95
iv
Nomor
Halaman
19. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing .......................
96
20. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Upah Minimum Provinsi ........................
97
21. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Suku Bunga ............................................
97
22. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Asing dan Upah Minimum Provinsi .....................................
98
23. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Asing dan Suku Bunga .........................................................
99
24. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Upah Minimum
Provinsi dan Suku Bunga .....................................................
100
25. Perbandingan Hasil Simulasi PMDN dan PMA Terhadap
PDRB, Inflasi dan Pengangguran .........................................
100
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan 2000
di Jawa Timur Tahun 1980-2006 .........................................
19
2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur
Tahun 1980-2006 .................................................................
22
3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006
22
4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006 ..........................
27
5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa
Timur Tahun 1980-2006 ......................................................
29
6. Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun
1980-2006 .............................................................................
30
7. Hubungan antara Tingat Bunga Riil dengan Kuantitas
Investasi ................................................................................
42
8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran
49
9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek ........................
50
10. Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian Jawa Timur: Studi Komparasi Penanaman
Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ............
56
11. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva
Penawaran Agregat ..............................................................
86
12. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kuva
Permintaan Agregat ..............................................................
86
13. Pertumbuhan Yang Bersumber Pada AD Harus Diimbangi
oleh Peningkatan AS ............................................................
87
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Nama dan Keterangan Variabel-Variabel yang Digunakan
114
2. Data Penelitian Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian Jawa Timur ...................................................
115
3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika
DampakInvestasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa
Timur dengan Menggunakan Metode 2SLS ........................
117
4. Program dan Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak
Investasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
dengan Menggunakan Metode 2SLS ...................................
124
5. Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
DinilaiMemberatkan Bagi Investor PMDN dan PMA .........
131
vii
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan
Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan tingkat pengangguran. Sasaran yang
ingin dicapai adalah tingginya pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan
pertumbuhan PDB, stabilnya inflasi atau tercapainya inflasi yang sesuai dengan
kemampuan ekonomi serta rendahnya tingkat pengangguran.
Salah satu upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu
melalui penyelenggaraan penanaman modal atau investasi. Investasi merupakan
kunci utama untuk mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tercermin
dari kemampuannya meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan.
Semakin besar investasi suatu negara akan semakin besar pula tingkat
pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi
merupakan fungsi investasi (Haryanto, 2005). Selain itu investasi juga
memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi
dalam produksi sehingga meminimalkan ongkos produksi serta penggalian
sumberdaya alam, industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi
kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002). Pendapat tersebut didukung
dengan adanya UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang menyebutkan
bahwa salah satu tujuan dari penyelenggaraan investasi baik investasi PMDN
(Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing)
adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, secara khusus Wiranata (2004) menyampaikan bahwa investasi
asing dalam hal ini PMA dapat dianggap sebagai salah satu modal pembangunan
2
ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut ekonomi terbuka pada
umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan
barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika,
modal asing terutama dari Jepang dan Eropa Barat tetap dibutuhkan guna memacu
pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan
lapangan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing
sangat diperlukan sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi.
Peran penting investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dari
perkembangan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1997. Walaupun
satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi, Indonesia kembali menunjukkan
pertumbuhan ekonomi yang positif, namun sampai saat ini rata-rata pertumbuhan
per tahunnya relatif masih lambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga
yang juga terkena krisis, seperti Thailand dan Filipina. Pada Tahun 1999 Thailand
mampu mendorong pertumbuhan ekonominya sebesar 4.4 persen sedangkan
Indonesia hanya 0.8 persen Demikian juga dengan Filipina, pada tahun 2001
pertumbuhan ekonominya hanya 1.8 persen, tetapi tiga tahun kemudian
pertumbuhan ekonominya menanjak hingga 6.1 persen sedangkan Indonesia
hanya 5.1 persen. Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di
Indonesia adalah belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi
dari luar terutama dalam bentuk PMA.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),
diketahui bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA
sempat mengalami peningkatan. Akan tetapi setelah tahun 2000 jumlahnya
menurun dan cenderung berkurang terus kecuali pada tahun 2005 yang mengalami
3
peningkatan persetujuan investasi menjadi 1 648 proyek. Satu hal menarik dari
data BKPM tersebut bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru
PMA lebih tinggi dari PMDN (Tabel 1). Kondisi tersebut menandakan bahwa
bagi perkembangan investasi langsung dalam negeri khususnya periode pasca
krisis, peran PMA lebih penting daripada PMDN. Namun demikian apabila dilihat
dari nilai nettonya (arus investasi masuk dikurangi arus keluar), kondisi PMA
setelah krisis lebih memprihatinkan, walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat
kembali positif seperti yang terlihat dalam Tabel 2 (Tambunan, 2006). Lebih
banyaknya arus PMA yang keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim
investasi di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan asing di industri-industri
yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu
dan lainnya yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku
lokal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut dengan mudahnya pindah ke
negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak
menguntungkan lagi.
Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya iklim
investasi di Indonesia adalah (1) adanya stabilitas politik dan sosial, (2) stabilitas
ekonomi, (3) kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana
jalan dan pelabuhan), (4) berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja
(termasuk isu-isu perburuhan), (5) regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam
waktu dan biaya yang diciptakan), dan (6) masalah good governance termasuk
korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan netto atas biaya resiko jangka
4
panjang dari kegiatan investasi dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak
(Tambunan, 2006).
Tabel 1. Perkembangan
1997-2005
Persetujuan
Rencana Investasi di Indonesia Tahun
PMDN
Tahun
Proyek
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
719
323
239
415
270
196
232
199
218
Nilai
( Rp. Milyar)
119 320.5
57 999.2
53 930.8
95 643.0
59 881.5
25 935.7
55 120.9
44 101.4
50 577.3
PMA
Proyek
778
958
1 179
1 599
1 375
1 238
1 238
1 226
1 648
Nilai
(US$ Juta)
33 665.7
13 635.0
10 894.3
16 014.9
15 201.9
9 955.4
14 278.1
10 415.6
13 579.2
Sumber: BKPM (2005)
Tabel 2. Nilai Netto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia Tahun
1997-2004
Tahun
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Nilai (US$ Juta)
4 667
-356
-2 745
-4 550
-2 978
145
-597
423
Sumber: Bank Indonesia dalam Tambunan (2006)
Kondisi perkembangan investasi PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur
juga mengalami hal yang serupa dengan kondisi perkembangan investasi nasional.
Perkembangan investasi tahun 2000-2006 belum menunjukkan kemajuan seperti
yang diharapkan, padahal Jawa Timur mempunyai potensi untuk pengembangan
investasi dengan beberapa alasan sebagai berikut, (1) sebagai pusat utama wilayah
kawasan timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan
perdagangan nasional. Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk
wilayah investasi, seperti investasi properti, pusat perbelanjaan dan hiburan,
5
perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, transportasi dan lain sebagainya
(Badan Penanaman Modal atau BPM Jatim dan Universitas Airlangga atau
UNAIR, 2004), (2) posisi Jawa Timur yang relatif dekat dengan Jakarta tapi
belum padat seperti Tangerang dan Bekasi, upah buruh yang rendah dibandingkan
dengan Bandung dan Tangerang, serta dengan dukungan investasi lahan yang
relatif masih murah merupakan daya tarik tersendiri bagi pengusaha (Wahyuni,
2007), (3) mempunyai fasilitas pelabuhan laut dan udara yang cukup memadai
dan (4) adanya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001. Dengan otonomi
tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui
efisiensi dan kemudahan dalam prosedur perijinan sehingga dapat menarik
investor lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya ke Jawa Timur.
Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri
di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Rata-rata
Jumlah Proyek
Rencana
Realisasi
50
21
32
10
9
0
22
5
13
1
4
0
27
3
%
42
31
0
23
8
0
11
23
Investasi (Rp Juta)
Rencana
Realisasi
2 642 522
628 373
2 741 897
428 673
137 851
0
634 367
132 477
262 984
9 000
283 552
0
154 412 036
152 668 828
%
24
16
0
21
3
0
99
32.6
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)
Pada Tabel 3, terlihat bahwa perkembangan realisasi investasi PMDN
di Jawa Timur sejak tahun 2000-2006 berfluktuasi dan cenderung menurun
kemudian berangsur-angsur naik. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada tahun
2002 dan 2005, dari 21 proyek di tahun 2000 dengan nilai investasi sebesar
Rp 628.37 milyar menjadi tidak ada proyek sama sekali. Akan tetapi, pada tahun
2006 kondisi investasi PMDN membaik dan mengalami peningkatan menjadi
3 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 152 668.83 milyar. Selain itu, realisasi
6
proyek PMDN tersebut lebih rendah daripada yang direncanakan yaitu rata-rata
per tahunnya sebesar 23 persen sedangkan realisasi nilai investasinya sebesar
32.6 persen per tahun. Hal tersebut menandakan bahwa banyak proyek-proyek
yang telah disetujui tidak jadi dilaksanakan atau dengan kata lain banyak investor
yang membatalkan rencana investasinya.
Serupa dengan PMDN, perkembangan PMA tahun 2000-2006 baik dari
jumlah proyek maupun nilai investasinya cenderung menurun. Walaupun pada
tahun 2005, sempat mengalami kenaikan yang cukup berarti yaitu dari 8 proyek
pada tahun 2004 menjadi 13 proyek dengan nilai investasi sebesar US$ 617.47
juta. Secara umum realisasi investasi baik dari segi jumlah proyek maupun
nilainya lebih rendah dari rencana investasi dan cenderung menurun yaitu 27.48
persen dan 66.99 persen per tahun. Perkembangan realisasi investasi PMA secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing di Provinsi
Jawa Timur Tahun 2000-2006
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Rata-rata
Rencana
92
59
55
71
42
68
58
Jumlah Proyek
Realisasi
34
27
22
16
8
13
5
%
37
46
40
23
19
19.11
8.26
27.48
Investasi (US$ Juta)
Rencana
Realisasi
%
960.77
101.23
11
136.36
109.95
81
98.07
49.00
50
357.38
19.33
5
170.43
5.94
3
193.94
617.47
318.38
471.89
2.58
0.55
66.99
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)
Rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tersebut
menunjukkan bahwa daya serap Jawa Timur terhadap investasi relatif rendah.
Apabila dibandingakan realisasi antara PMDN dan PMA maka ternyata realisasi
investasi PMA per tahun lebih tinggi daripada PMDN. Ini menandakan bahwa
7
bagi perkembangan investasi langsung di Jawa Timur khususnya pada periode
tahun 2000-2006, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN dan
menunjukkan bahwa perencanaan investor asing (PMA) lebih baik dan mantap
dibandingkan PMDN dalam menanamkan modalnya di Jawa Timur.
Sementara itu, dari segi penyebaran investasi berdasarkan lokasinya maka
lokasi PMDN sebagian besar berada di wilayah Surabaya kemudian Gresik,
Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki PMDN
adalah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan. Untuk PMA tidak jauh berbeda
dengan PMDN, sebagian besar berlokasi di Surabaya kemudian Sidoarjo, Gresik
dan Pasuruan. Wilayah yang tidak dimasuki PMA adalah Bojonegoro,
Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan,
Pamekasan dan Sampang. Apabila dibandingkan menurut pola penyebarannya
maka penyebaran PMDN lebih merata daripada PMA.
Berdasarkan bidang usaha yang diminati pada dasarnya antara PMDN dan
PMA juga tidak jauh berbeda. Untuk PMDN bidang usaha yang diminati dari
yang tertinggi jumlah proyeknya adalah industri kimia, makanan, barang logam,
kayu dan industri tekstil. Sedangkan untuk PMA bidang usaha yang diminati
adalah industri kimia, barang logam, perdagangan, industri makanan, kayu dan
tekstil. Apabila dicermati ternyata industri tekstil menempati urutan ke-lima
dalam Bidang usaha yang diminati PMDN dan urutan ke-enam dalam PMA. Ini
menunjukkan bahwa PMA tidak hanya berinvestasi pada usaha yang padat modal
saja tetapi juga turut berkontribusi pada bidang usaha yang relatif padat karya,
seperti industri tekstil.
8
Penyebab fluktuatifnya PMDN dan menurunnya PMA di Jawa Timur antara
lain ialah (1) adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kurang kondusifnya
kehidupan politik, serta ancaman gangguan keamanan seperti meledaknya bom di
Bali, kerusuhan di Ambon dan Poso. Walaupun hal ini bersifat nasional tapi turut
berpengaruh terhadap besarnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur, (2)
kurs rupiah yang senantiasa berfluktuasi terhadap mata uang asing (cenderung
depresiasi), (3) tidak adanya kepastian hukum maupun lemahnya perlindungan
hukum bagi investor dalam negeri maupun asing, (4) rendahnya kapasitas calon
investor atau rendahnya kemampuan modal sendiri untuk mendukung investasi
yang direncanakan yang menyebabkan struktur modal investasinya terlalu
didominasi oleh dana pinjaman. Sehingga apabila penerimaan yang diharapkan
tidak lebih besar dari biaya modal maka calon investor akan cenderung
membatalkan niat investasinya, (5) adanya peningkatan biaya melakukan bisnis
yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Contohnya pengenaan
pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar
kabupaten dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (BPM Jatim
dan UNAIR, 2004), (6) terbatasnya informasi investasi bagi para investor, (7)
menurunnya kondisi infrastruktur, misalnya banyaknya jalan yang berlubang serta
bencana luapan lumpur Sidoarjo dan (8) belum terjaminnya kontinuitas bahan
baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007).
Kondisi perkembangan Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan
harapan tersebut pada kenyataanya tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi
turut menurun, bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan
ekonomi dalam tataran daerah diukur dengan pertumbuhan PDRB. Peningkatan
9
pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari perkembangan PDRB Jawa
Timur atas dasar harga konstan (tahun 2000=100) yang mengalami kenaikan dari
Rp 169 680 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp 470 627 milyar pada tahun 2006.
Hal ini menunjukkan adanya anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Selain PDRB, indikator lain yang cukup penting dalam mengukur kinerja
perekonomian adalah pengangguran. Jumlah penganggur di Provinsi Jawa Timur
cenderung mengalami kenaikan dari 845 590 jiwa pada tahun 2000 meningkat
menjadi 1 502 903 jiwa tahun 2006. Sedangkan kemampuan PMDN untuk
menyerap tenaga kerja pada tahun 2006 sebesar 8 386 jiwa dan PMA sebesar
124 jiwa. Sehingga apabila dilihat dari segi jumlah maka peran kedua jenis
investasi tersebut dalam mengurangi jumlah pengangguran relatif masih kecil.
Dengan adanya peran penting investasi PMDN dan PMA dalam
perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi, meskipun pada kenyataanya di
Jawa Timur terjadi anomali, serta adanya peran investasi dalam menciptakan
lapangan kerja yang diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa
Timur,
maka
penelitian
mengenai
dampak
investasi
terhadap
kinerja
perekonomian di Jawa Timur merupakan sesuatu yang menarik untuk dilakukan.
1.2.
Perumusan Masalah
Investasi merupakan kunci utama dalam upaya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi (Haryanto, 2005). Pendapat tersebut dilengkapi dengan
penjelasan mengenai arti penting investasi dalam menentukan pertumbuhan
ekonomi oleh Rostow dan Domar (Todaro, 2000). Menurut Rostow, setiap upaya
tinggal landas mengharuskan adanya mobilisasi tabungan dalam dan luar negeri
dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat
10
pertumbuhan ekonomi. Pada model pertumbuhan Harrod Domar, arti penting
investasi lebih ditekankan, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki
investasi. Pertama investasi menciptakan pendapatan dan kedua investasi
memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok
kapital.
Pada kenyataannya perkembangan investasi PMDN dan PMA tahun 20002006 di Jawa Timur masih jauh dari harapan, yaitu berfluktuasi cenderung
menurun. Namun demikian kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonominya seperti yang terlihat dalam Tabel 5. Pertumbuhan
ekonomi Jawa Timur mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan
di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor perdagangan, industri,
pengangkutan dan sektor keuangan (Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim,
2004). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peranan investasi
PMDN dan PMA dalam pembentukan PDRB di Jawa Timur?
Tabel 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri,
Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2006
PMDN
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Jumlah Izin
Usaha Tetap
yang
Dikeluarkan
10
0
5
1
0
3
Nilai
Realisasi
Investasi
( Rp Milyar)
428.67
0.00
132.48
9.00
0.00
152 668.83
PMA
Jumlah Izin
Usaha Tetap
yang
Dikeluarkan
27
22
16
8
13
5
Nilai
Realisasi
Investasi
(US$ Juta )
109.95
49.00
19.33
5.94
617 .47
2.58
Produk
Domestik
Regional
Bruto (Harga
Konstan
Tahun 2000)
210 448.57
218 452.39
228 884.45
242 228.89
256 374.73
271 237.67
Pertumbuhan
Ekonomi
(%)
3.26
3.80
4.78
5.83
5.84
5.80
Sumber: BPM Provinsi Jatim (2004) dan Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim (2004)
Kenaikan PDRB atau pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan
naiknya inflasi Jawa Timur walaupun kenaikannya cenderung berfluktuasi yaitu
11
berturut-turut dari tahun 2000-2006 adalah 9.62, 14.10, 9.38, 3.59, 6.24, 15.89,
dan 6.76 persen ( BPS, berbagai tahun terbit). Inflasi yang tertingi terjadi pada
tahun 2005 yang dipicu oleh inflasi pada kelompok perumahan, kesehatan dan
pendidikan, rekreasi dan olah raga.
Selain sebagai salah satu faktor dalam menunjang pertumbuhan ekonomi,
investasi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja sehubungan dengan
kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja seperti pada Tabel 6.
Apabila dicermati pada Tabel 6, memperlihatkan bahwa rasio tenaga kerja
PMDN dan PMA fluktuatif cenderung menurun. Secara agregat rasio tenaga kerja
pada PMDN relatif sama dengan PMA. Ini berarti bahwa pada kurun waktu tujuh
tahun kemampuan PMDN dan PMA dalam menyerap tenaga kerja hampir sama.
Tabel 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio Tenaga Kerja
Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman
Modal Asing Tahun 2000-2006
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Total
Jumlah
Investasi Riil
(Rp Juta)
628 435.84
485 900.85
0.00
178 963.18
12 963.60
0.00
265 170 487
266 476 751
PMDN
Jumlah
Tenaga
Kerja
(Jiwa)
9 734
5 472
0
1 767
17 035
0
8 386
2541
PMA
Rasio Pekerja/
Investasi
(Jiwa/Rp Juta)
Jumlah
Investasi Riil
(Rp Juta)
Jumlah
Tenaga Kerja
(Jiwa)
Rasio Pekerja/
Investasi
(Jiwa/Rp Juta)
0.015
0.011
0.000
0.010
0.005
0.000
0.000
0.041
850 322
1 221 714
544 725
206 581
68 302
8 240 002
35 883
11 167 529
4 936
3 745
2 698
1 266
987
4 664
124
18420
0.006
0.003
0.005
0.006
0.014
0.001
0.003
0.038
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) diolah
Penyerapan tenaga kerja erat kaitannya dengan pengangguran. Semakin
besar tenaga kerja yang terserap maka jumlah pengangguran makin menurun.
Kombinasi rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA selama tahun
2000-2006 di Jawa Timur yang disertai dengan menurunnya nilai investasi
menyebabkan lambannya penciptaan lapangan kerja baru dan perluasan
12
kesempatan kerja. Keadaan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah
pengangguran yang tercermin pada meningkatnya tingkat pengangguran terbuka
terutama pada tahun 2003, sebesar 8.68 persen seperti dalam Tabel 7.
Tabel 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan
Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (%)
65.16
68.22
68.87
66.64
69.20
69.17
67.36
Tingkat Kesempatan
Kerja (%)
95.17
94.93
93.57
91.32
92.31
91.55
92.28
Kerja
dan
Tingkat Pengangguran
Terbuka (%)
4.83
5.07
6.43
8.68
7.69
8.45
7.72
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (2004)
Faktor lain yang mendorong tingginya angka pengangguran adalah
(1) ketidaksesuaian antara pendidikan/ketrampilan pencari kerja dengan
kebutuhan pasar tenaga kerja, (2) penyebaran informasi kesempatan kerja yang
belum optimal, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan
mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia, (4) masih rendahnya
angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri, (5) adanya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari berbagai usaha seperti industri garmen,
tekstil, sepatu dan kayu dan (6) pemulangan (deportasi) Tenaga Kerja Indonesia
(TKI) ilegal.
Banyaknya tenaga kerja yang bekerja ke luar negeri menggambarkan
sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri atau tingkat upah yang belum
sepenuhnya memberikan kepuasan bagi mereka. Hal tersebut menyebabkan
sebagian warga Indonesia memaksakan diri untuk menjadi TKI walaupun tidak
memiliki persyaratan yang lengkap baik administrasi maupun keahlian (Pemprov
Jatim dan BPS Jatim, 2005). Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah
13
seberapa besar peran atau pengaruh investasi PMDN dan PMA terhadap
pengurangan pengangguran? dan investasi mana yang paling berperan, apakah
PMDN atau PMA?
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1.
Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian Jawa
Timur
yang
tercermin
dari
pertumbuhan
ekonomi,
inflasi,
dan
pengangguran?
2.
Seberapa besar dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan
ekonomi, inflasi dan pengangguran?
3.
Investasi
mana
yang
memberikan
dampak
paling besar terhadap
pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran, investasi PMDN atau
PMA?
1.3.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,
inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.
2.
Mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan
ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.
3.
Menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak
terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa
Timur.
14
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Kinerja perekonomian Jawa Timur meliputi pertumbuhan ekonomi yang
tercermin dari pertumbuhan PDRB, inflasi, dan tingkat pengangguran.
Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realisasi investasi
swasta yang memperoleh fasilitas baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar
negeri (PMA) di provinsi Jawa Timur.
Cakupan analisis menggunakan data regional dengan rentang waktu tahun
1980-2006 (27 tahun). Model ekonometrik deret waktu yang digunakan adalah
model persamaan simultan.
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data realisasi investasi yang
dianalisis belum menggambarkan seluruh kegiatan investasi yang terdapat di Jawa
Timur. Hal ini disebabkan data realisasi investasi PMDN dan PMA yang tersedia
belum memasukan investasi di sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga
keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka
kontrak karya, perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara, investasi yang
perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi portofolio (pasar
modal) dan investasi rumah tangga.
Selain itu, lemahnya dokumentasi data tentang investasi yang bersifat non
fasilitas yaitu investasi yang dilakukan oleh pengusaha atau masyarakat yang
umumnya berskala kecil dan menengah sehingga investasi tersebut tidak bisa
diakomodir dalam penelitian ini. Walaupun diperkirakan investasi jenis ini
mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian Jawa Timur.
15
1.5.
Kegunaan Penelitian
1.
Sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan kebijakan tentang
investasi khususnya PMDN dan PMA dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan tingkat inflasi yang rendah dan mengurangi
angka pengangguran di Jawa Timur.
2.
Sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
16
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Jenis-Jenis Investasi Swasta
Investasi swasta terdiri dari: investasi yang memperoleh fasilitas dan yang
tidak memperoleh fasilitas (non fasilitas). Perbedaan ini mempunyai implikasi
pada perbedaan prosedur dan perijinan serta perolehan fasilitas investasi terutama
di bidang fiskal.
Investasi yang memperoleh fasilitas menurut UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal adalah investasi yang sekurang-kurangnya memenuhi
salah satu kriteria sebagai berikut, (1) menyerap banyak tenaga kerja,
(2) termasuk skala prioritas tinggi, (3) termasuk pembangunan infrastruktur,
(4) melakukan alih teknologi, (5) melakukan industri pionir, (6) berada di daerah
terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap
perlu, (7) menjaga kelestarian hidup, (8) melaksanakan kegiatan penelitian,
pengembangan dan inovasi, (9) bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah
atau koperasi dan (10) industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau
peralatan yang diproduksi di dalam negeri.
Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bentuk
fasilitas yang diberikan kepada investasi yang memenuhi syarat untuk
memperoleh fasilitas adalah (1) pajak penghasilan melalui pengurangan
penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap penanaman modal yang
dilakukan dalam waktu tertentu, (2) pembebasan atau keringanan bea masuk atas
impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum
dapat diproduksi dalam negeri, (3) pembebasan atau keringanan bea masuk bahan
17
baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu
dan persyaratan tertentu, (4) pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan
produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dalam jangka waktu
tertentu, (5) penyusutan atau amortisasi yang dipercepat dan (6) keringanan pajak
Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau
daerah atau kawasan tertentu; serta kemudahan pelayanan dan/atau perijinan
kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, fasilitas
pelayanan keimigrasian dan fasilitas perijinan impor.
Berdasarkan kepemilikan dan sumber pendanaannya, investasi yang
memperoleh fasilitas dibedakan menjadi dua, yaitu (1) PMDN adalah apabila
kepemilikan dan sumber modalnya berasal dari dalam negeri, dan (2) PMA
apabila kepemilikan dan modalnya lebih banyak bersumber dari modal asing atau
luar negeri. Untuk PMDN dan PMA, perijinannya dilakukan melalui BKPM yang
berada di pusat (Jakarta) atau Badan Penanaman Modal (BPM) yang terdapat di
seluruh Provinsi di Indonesia.
Menurut Salvatore (1997) PMA tediri atas (1) investasi portofolio (portfolio
investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti
obligasi dan saham yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional.
Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung
melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi,
yayasan pensiun dan sebagainya, dan (2) investasi asing langsung (Foreign
Direct Investment), merupakan PMA yang meliputi investasi ke dalam aset-aset
18
secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam
barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi dan lain sebagainya.
Investasi non fasilitas adalah investasi swasta yang tidak memerlukan
fasilitas pemerintah dan mempunyai skala menengah dan kecil. Pada umumnya,
jenis investasi ini dilakukan oleh pengusaha dalam negeri dimana usaha yang
dilakukan sangat rendah kandungan impornya sehingga tidak memerlukan
fasilitas impor bahan baku dan fasilitas lainnya. Perijinan investasi non fasilitas
tersebar di berbagai instansi sesuai dengan jenis investasinya mulai dari
departemen teknis hingga di bagian perekonomian Pemerintah Daerah Kabupaten
dan Kota.
2.2.
Perkembangan Perekonomian Jawa Timur
2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi
Untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah digunakan suatu
indikator yang disebut dengan PDRB. Menurut definisi, PDRB adalah total nilai
produk barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah tertentu dalam waktu
tertentu tanpa melihat faktor kepemilikan (Analisis Indikator Makro Prov. Jawa
Timur, 2004). Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah merupakan kenaikan PDRB
atas dasar harga konstan yang mencerminkan kenakan produksi barang dan jasa di
suatu wilayah.
Berdasarkan data PDRB riil atas dasar harga konstan tahun 2000, maka pada
tahun 1980 sampai dengan 1997 diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa
Timur cukup baik, dengan rata-rata pertumbuhan 7.69 persen per tahun. Pada
tahun 1997 Jawa Timur berhasil mencapai PDRB riil sebesar Rp 172.91 trilyun.
Akan tetapi dengan adanya krisis ekonomi tahun 1998 telah membawa dampak
19
serius bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. PDRB riil turun drastis sebesar
14.33 persen menjadi Rp 148.13 trilyun (Gambar 1).
300
270
240
Trilyun Rupiah
210
180
PDRB Riil
150
120
90
60
30
0
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di
Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur ( Berbagai Tahun Terbit) diolah
Pada saat kondisi fundamental ekonomi yang lemah, tekanan-tekanan
kenaikan harga justru semakin tinggi disertai pula oleh gejolak nilai tukar yang
tajam dan ekspansi uang beredar yang tinggi maka membuat laju inflasi melonjak
tinggi. Akibatnya kegiatan produksi dan investasi juga turut menurun dengan
drastis. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perekonomian Jawa Timur
mengalami krisis yang mendalam yang mengakibatkan meluasnya pengangguran
dan kemiskinan.
Sejak tahun 1999, tejadi pemulihan ekonomi secara berangsur-angsur.
PDRB riil pada tahun 1999 mengalami kenaikan sebesar 3.67 persen. Bahkan
sejak tahun 2001-2006 PDRB Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang positif
seperti yang tercantum dalam Tabel 8.
20
Pada tahun 2005 terjadi pertumbuhan PDRB (atas dasar harga konstan) yang
tertinggi sebesar 5.85 persen. Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh
meningkatnya aktivitas hampir di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor
perdagangan, industri, pengangkutan, keuangan dan sektor pertanian.
Tabel 8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006
Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
PDRB
Atas Dasar Harga Berlaku
(Rp Milyar)
233 881.585
267 157.716
300 609.857
341 065.251
403 392.350
470 627.493
PDRB Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000
(Rp Milyar)
210 448.570
218 452.389
228 884.458
242 228.892
256 374.726
271 237.674
Pertumbuhan
Ekonomi
(%)
3.26
3.80
4.78
5.83
5.85
5.80
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
Faktor lain yang menyebabkan peningkatan PDRB periode tahun
2001-2006 adalah diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2001 yang
memungkinkan setiap daerah menambah penerimaannya dari dana bagi hasil dan
dana Alokasi umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti
bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun
pembangunan. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan
permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi
yang bermuara pada meningkatnya PDRB atau pendapatan masyarakat.
Apabila ditinjau dari pertumbuhan sektoral seperti yang tercantum dalam
Tabel 9 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa sektor yang mengalami
penurunan dalam pembentukan PDRB selama periode tahun 2002-2006 yaitu
sektor lisrik, gas dan air bersih serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Bahkan sektor indstri pengolahan pada tahun 2002 sempat mengalami kontraksi
sebesar 0.73 persen sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari kenaikan
21
cukai rokok. Sedangkan sektor yang mengalami peningkatan yaitu sektor
pertanian, pertambangan dan penggalian, pengangkutan serta komunikasi.
Tabel 9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan
2000 Tahun 2002-2006
Sektor
1. Pertanian
2. Pertambangan dan Penggalian
3. Industri Pengolahan
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
5. Konstruksi
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran
7. Pengangkutan dan Komunikasi
8. Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan
9. Jasa-jasa
2002
2.02
2.76
-0.73
10.97
8.32
13.03
5.1
3.95
5.46
2003
1.91
2.21
4.46
10.01
7.92
5.78
3.58
3.41
4.89
Tahun
2004
2.82
1.84
5.28
12.23
9.25
6.77
6.76
3.44
6.02
2005
3.16
9.32
4.61
6.18
9.15
5.00
7.49
4.23
6.11
2006
3.92
8.58
3.05
4.07
9.65
6.77
7.46
5.27
6.06
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
2.2.2. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman
Modal Asing
Pada Gambar 2 dan 3 dapat diketahui bahwa sebelum krisis ekonomi,
perkembangan investasi PMDN dan PMA sangat berfluktuasi. Investasi PMDN
tertinggi dicapai tahun 1994 dengan nilai sebesar Rp 9.14 trilyun dan PMA
tertinggi dicapai pada tahun 1995 dengan nilai sebesar US$ 3.18 milyar. Namun
sejak krisis ekonomi tahun 1998 menyebabkan tekanan inflasi semakin tinggi dan
daya beli masyarakat menurun. Ditambah dengan fungsi intermediasi perbankan
praktis terhenti akibat memburuknya kepercayaan terhadap perbankan nasional
dan kondisi ketidakpastian yang meningkat telah menyebabkan kegiatan produksi
dan investasi di hampir seluruh sektor ekonomi mengalami penurunan nyata.
Investasi PMDN riil mengalami penurunan dari Rp 4.4 trilyun menjadi Rp 0.29
milyar, sedangkan PMA dari US$ 630.31 juta menjadi US$ 393.92 juta.
Walaupun apabila diriilkan dan dikonversi dalam mata uang Rupiah, justru PMA
tahun 1998 mengalami kenaikan seiring dengan melemahnya nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar Amerika Serikat yaitu dari Rp 620 milyar menjadi Rp 1.4 trilyun.
22
100
90
80
Trilyun Rupiah
70
60
PMDN Riil
50
40
30
20
10
0
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)
Penurunan masih terjadi pada tahun berikutnya dan meningkat kembali pada
tahun 2000 baik untuk PMDN maupun PMA seiring dengan membaiknya kondisi
perekonomian nasional dan Jawa Timur. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak
berlangsung lama karena pada tahun-tahun berikutnya perkembangan PMDN dan
PMA berfluktuatif dan cenderung menurun.
10,000
9,000
8,000
Milyar Rupiah
7,000
6,000
PMA
Riil
5,000
4,000
3,000
2,000
1,000
0
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)
Perkembangan PMDN dan PMA yang berfluktuasi dan senderung menurun
tidak terlepas dari iklim investasi yang belum kondusif seperti kondisi politik dan
23
keamanan yang belum sepenuhnya stabil, belum terwujudnya good governance,
lemahnya jaminan dan kepastian hukum, adanya peningkatan biaya melakukan
bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah (BPM Jatim dan
UNAIR, 2004), terbatasnya informasi investasi bagi para investor, menurunnya
kondisi infrastruktur dan belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan
listrik (Wahyuni, 2007).
Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan lokasinya, maka sebagian besar
lokasi PMDN berada di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto
dan Malang. Wiayah yang tidak dimasuki oleh PMDN adalah Trenggalek, Ngawi
dan Pamekasan. Jumlah Proyek PMDN tahun 1980-2006 yang tersebar di 31
lokasi mencapai 449 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 187.17 trilyun.
Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 291 352 jiwa tenaga kerja
Indonesia dan 306 tenaga kerja asing. Bidang usaha yang diminati oleh PMDN
adalah industri kimia, pengolahan makanan, industri barang logam, industri kayu
dan industri tekstil.
Untuk PMA, penyebarannya tidak merata dan sebagian besar berada di
Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki oleh PMA
adalah: Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan,
Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. Jumlah proyek PMA di Jawa Timur
Tahun 1980-2006 mencapai 501 proyek dengan nilai investasi mencapai US$
11.99 milyar. Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 176 556 tenaga
kerja Indonesia dan 989 tenaga kerja asing.
Bidang usaha yang diminati oleh PMA adalah industri kimia, industri barang
logam, perdagangan, pengolahan makanan, industri kayu dan industri tekstil.
24
Apabila ditinjau dari jumlah proyeknya maka Taiwan, Jepang, Korea Selatan,
Singapura dan Hongkong menduduki peringkat 5 besar. Sedangkan bila dilihat
dari nilai investasinya sejak tahun 1967 sampai 31 Maret tahun 2004, maka
Inggris menduduki peringkat pertama dengan nilai investasi sebesar US$ 6.78
milyar dan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia sebesar 16.393 jiwa dan
tenaga kerja asing sebesar 331 jiwa. Peringkat kedua adalah Hongkong dan
berikutnya Jepang (BPM Jatim dan UNAIR, 2004).
Apabila ditelaah lebih lanjut, ternyata baik investor asing maupun dalam
negeri yang masuk ke Jawa Timur lebih tertarik menanamkan modalnya di
wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang dan Pasuruan walaupun untuk
PMDN penyebarannya lebih merata. Hal ini disebabkan oleh tersedianya sarana
dan prasarana yang memadai seperti pelabuhan laut, terminal peti kemas, bandara
internasional Juanda, lembaga keuangan perbankan, asuransi, jalan tol dan
tersedianya tenaga kerja terampil dalam jumlah yang memadai.
2.2.3. Potensi Investasi di Jawa Timur
Prospek investasi di Jawa Timur pada dasarnya cukup baik. Selain
lokasinya yang strategis sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia Timur, Jawa
Timur juga mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang
cukup besar serta memiliki sarana dan prasarana untuk pengembangan investasi
yang memadai. Potensi sumber daya alam tersebut antara lain kehutanan,
pertanian, perkebunan, bahan-bahan tambang, perikanan laut, dan sumber daya
minyak dan gas bumi yang potensial.
Sarana dan prasarana yang tersedia untuk pengembangan investasi di Jawa
Timur antara lain (1) bandar udara internasional Juanda, (2) pelabuhan laut
25
internasional Tanjung Perak Surabaya dan Banyuwangi serta pelabuhan laut
Probolinggo dan Gresik, (3) stasiun kereta api, (4) terminal bis di berbagai kota,
(5) terminal peti kemas, (6) jalan tol Surabaya-Gresik, (7) jaringan listrik, telepon,
gas dan air minum, (8) Bursa Efek Surabaya dan (9) lembaga keuangan perbankan
dan non perbankan. Dukungan yang lain, yaitu adanya investasi pemerintah dalam
membangun jembatan nasional Suramadu (Surabaya-Madura), pasar induk
agribisnis Jemundo, jalan lintas selatan Jawa Timur, jalan tol Waru-Mojokerto,
pendirian PT Jatim Investment Management, terminal peti kemas, melanjutkan
proyek KA komuter dan rencana menerapkan konsep East Java Incorporated dan
East Java Integrated Industries Zone.
Selain itu, Jawa Timur juga mempunyai potensi industri dengan produkproduk yang bisa dikembangkan sebagai produk yang mempunyai daya saing
yang tinggi dalam pasar nasional maupun internasional. Industri tersebut antara
lain (1) supporting industries, pada saat ini terdapat 169 unit usaha yang termasuk
dalam supporting industries dan 71 di antaranya khusus memproduksi komponen
otomotif roda dua. Lokasi dari unit usaha tersebut tersebar di beberapa kabupaten
atau kota yaitu Surabaya, Pasuruan, Sidoarjo, Malang, Gresik, Kediri dan
Mojokerto, (2) industri perhiasan, mulai dari perhiasan emas, perak dan batu
mulia. Terdapat 19 perusahaan menengah besar dan 1 500 unit usaha kecil pada
sentra-sentra industri perhiasan emas, perak dan batu mulia yang tersebar di
Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, Lumajang,
Nganjuk, Pamekasan, Banyuwangi, Bangkalan, Ponorogo dan Pacitan. Sampai
saat ini kontribusi produk perhiasan Jawa Timur terhadap nasional sebesar 25
26
persen, (3) industri kulit dan produk kulit, (4) industri makanan dan minuman dan
(5) industri aromatik.
Untuk industri kulit, produk yang menonjol antara lain penyamakan kulit,
alas kaki, tas, jaket, dan hasil kerajinan, misalnya wayang. Lokasi untuk produk
alas kaki (sandal) adalah di Wedoro, Sidoarjo. Sedangkan untuk produk tas di
kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo dan produk sepatu di Mojokerto dan
Magetan.
Produk industri makanan dan minuman yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan adalah produk olahan pertanian yaitu aneka kripik umbi-umbian
dan buah-buahan, sari mengkudu dan kopi jahe serta produk olahan hasil laut
yaitu krupuk udang, petis, terasi, teripang dan ikan asin. Jumlah industri makanan
dan minuman tersebut berkisar 40 970 unit usaha yang tersebar di wilayah
Surabaya, Sidoarjo, Kediri, Malang, Batu, Jombang, Pasuruan, Gresik, Lamongan,
Banyuwangi, Pacitan, Jember dan Lumajang. Tenaga kerja yang terserap pada
tahun 2004 sebesar 102 500 jiwa (BPM Jatim dan UNAIR, 2004).
Selain itu dengan upah minimum provinsi yang relatif lebih rendah daripada
Bandung dan Tangerang serta adanya pelaksanaan pelayanan satu atap dalam satu
hari (one day service) sebagai akibat adanya otonomi daerah diharapkan dapat
menambah daya tarik Jawa Timur sebagai wilayah investasi.
2.2.4. Inflasi
Laju inflasi di Jawa Timur sejak tahun 1980-2006 berfluktuatif. Pada saat
puncak krisis pada tahun 1998, inflasi melonjak mencapai 87.60 yang merupakan
inflasi tertinggi pada kurun waktu 27 tahun tersebut. Bahkan lebih tinggi daripada
inflasi nasional pada tahun yang sama yaitu sebesar 77.50 persen (Gambar 4).
27
100
90
80
70
Persen
60
Inflasi
50
40
30
20
10
0
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
Inflasi pada tahun 1998, terutama bersumber dari terganggunya kegiatan
produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Khususnya kelompok
bahan makanan. Nilai tukar yang lemah sebesar Rp 9 804.30 per Dollar AS telah
mengakibatkan mahalnya harga barang impor yang kemudian mendorong
kanaikan harga secara umum. Apalagi cukup banyak industri yang menggunakan
bahan baku impor. Kerusuhan Mei tahun 1998 juga telah mengakibatkan rusaknya
sentra-sentra perdagangan dan terganggunya jalur distrbusi. Di samping ekspansi
moneter yang sangat besar juga ikut memberikan tekanan terhadap inflasi
(Yudhoyono, 2004). Walaupun kejadian kerusuhan tersebut terjadi di Jakarta
tetapi dampaknya terasa sampai di daerah terutama Jawa Timur.
Setelah sempat menurun pada tahun 1999 dan 2000, pada tahun 2001 inflasi
di Jawa Timur meningkat kembali mencapai 14.10 persen. Meningkatnya tekanan
inflasi ini bersumber dari semakin kuatnya pengaruh kebijakan pemerintah pusat
di bidang harga dan pendapatan yang meliputi kenaikan beberapa jenis bahan
28
bakar minyak (BBM), angkutan, listrik, air, minuman, rokok, serta kenaikan upah
minimum provinsi dan gaji pegawai negeri.
Selanjutnya, pada tahun 2002 dan 2003 inflasi menurun menjadi 9.38 persen
dan 3.59 persen. Kemudian naik kembali pada tahun 2004 dan bahkan pada tahun
2005 meningkat tajam menjadi 15.89. Kenaikan inflasi ini dipicu oleh kenaikan
harga-harga di kelompok pendidikan, trasportasi dan kesehatan.
2.2.5. Pengangguran
Jumlah pengangguran terbuka di Jawa Timur antara tahun 1882-1992
relatif konstan pada angka 300 ribu jiwa. Pada tahun 1994 dan 1995 sempat
terjadi lonjakan jumlah pengangguran, tetapi pada tahun 1996 dan 1997 jumlah
pengangguran berhasil ditekan. Hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab sejak
tahun 1998 jumlah pengangguran terus meningkat hingga pada tahun 2005 yang
jumlahnya mencapai 1.6 juta jiwa. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran
mengalami penurunan menjadi 1.5 juta jiwa.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997
menyebabkan lumpuhnya dunia usaha. Kenaikan biaya produksi akibat
penggunaan bahan baku impor di satu sisi, serta melemahnya daya serap pasar di
sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usahanya. Akibatnya
banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga jumlah pengangguran
meningkat. Jumlah pengangguran yang sempat menurun pada tahun 1996 dan
1997 meningkat kembali pada tahun 1998. Pada tahun yang sama pengangguran
mencapai 720 ribu jiwa atau 4.10 persen dari total angkatan kerja lebih besar
daripada jumlah peengangguran pada tahun 1997, yaitu 569 ribu jiwa atau 3.32
29
persen. Perkembangan jumlah pengangguran terbuka dan tingkat pengangguran
terbuka di Jawa Timur tahun 1980-2006 dapat dilihat dalam Gambar 5 dan 6.
1.8
1.6
1.4
Juta Jiwa
1.2
1.0
Jumlah
Pengangguran
Terbuka
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006
Tahun
Gambar 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun
1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)
Pada tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan sedikit penguatan.
Situasi ekonomi dunia membaik disertai dengan permintaan domestik yang
meningkat telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi, termasuk usaha kecil
dan menengah meningkatkan kegiatan usaha mereka. Akan tetapi dampak positif
peningkatan perekonomian Indonesia tersebut kurang dirasakan di Jawa Timur
terutama dari sisi penyerapan tenaga kerja. Hal ini terbukti dengan semakin
meningkatnya jumlah pengangguran terbuka dari tahun 2000-2006. Pada tahun
2003, jumlah persentase jumlah pengangguran mencapai angka yang tertinggi
yaitu 8.68 persen dari total angkatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai
5.83 persen belum mampu menciptakan tambahan lapangan kerja, lapangan kerja
atau kesempatan kerja malah menurun menjadi 485 814 jiwa. Walaupun pada
tahun yang sama jumlah angkatan kerja juga menurun sekitar 179 973 jiwa. Oleh
30
karena penurunan kesempatan kerja lebih besar daripada penurunan angkatan
kerja maka jumlah pengangguran meningkat.
10.0
9.0
8.0
7.0
Persen
6.0
Tingkat
Pengangguran
Terbuka
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
Tahun
Gambar 6: Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) diolah
Peningkatan jumlah pengangguran ini tidak terlepas dari faktor kurang
kondusifnya kondisi dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia terutama di
Jawa Timur. Berbagai permasalahan struktural dan ketidakpastian aturan dan
hukum di Indonesia maupun di daerah mengakibatkan investor enggan
menanamkan modalnya sehingga berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan
kerja baru dan meningkatnya jumlah pengangguran. Hal ini ditunjukkan dengan
rendahnya realisasi PMDN dan PMA tahun 2003 sebesar 23 persen. Faktor lain
yang menyebabkan tingginya angka pengangguran adalah (1) rendahnya kualitas
tenaga kerja Jawa Timur yang disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana
pelatihan yang dimiliki, terbatasnya kuantitas dan kualitas instruktur yang
memenuhi kebutuhan pelatihan dan terbatasnya kompetensi tenaga kerja yang
dibutuhkan. Kualitas angkatan kerja yang rendah ini berpengaruh pada rendahnya
daya
serap
atau
adaptabilitas
teknologi
dan
berdampak
pada
kurang
31
berkembangnya teknologi, (2) ketidaktahuan pasar kerja akibat belum optimalnya
penyebaran informasi pasr kerja, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam
melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia dan
(4) masih rendahnya minat angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja yang
mandiri (Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, 2005).
Secara keseluruhan kondisi tersebut berpengaruh pada rendahnya tingkat
upah, tingginya tingkat PHK, serta rendahnya jaminan kesejahteraan karena
tenaga kerja tidak memiliki bargaining power akibat keterbatasan kompetensi dan
kualifikasi yang dimiliki. Rendahnya upah di Jawa Timur juga didukung oleh
pernyataan Ritongga (2005) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dari 17
provinsi yang sudah menetapkan UMP-nya, DKI Jakarta mencatat UMP tertinggi
yaitu Rp 819 100 dan Jawa Timur sebesar Rp 390 000 yang merupakan UMP
terendah. Dengan keadaan UMP yang rendah tersebut di satu sisi menyiratkan
tingginya pengangguran dan di sisi lain menunjukkan bahwa pada tingkat upah
berapapun tenaga kerja di Jatim mau bekerja. Sehingga adanya kenaikan upah
akan dapat meningkatkan jumlah pengangguran. Karena pemintaan tenaga kerja
berkurang sementara penawarannya semakin bertambah. Namun apabila Pemprov
Jatim dapat memanfaatkan peluang ini maka dengan infrastruktur (listrik dan
jalan) yang lebih baik dan tenaga kerja yang lebih murah maka Jawa khususnya
Jawa Timur menjadi lebih kompetitif bagi investor dibanding propinsi lain di luar
Jawa terutama Sumatera yang dikenal mempunyai upah yang tinggi dengan
kondisi infrastruktur yang kurang baik.
Pada dasarnya sistem penetapan upah dilakukan untuk mengurangi
eksploitasi buruh dan sebaliknya supaya pengusaha tidak mendapat tekanan dari
32
aktivis gerakan buruh. Ketentuan UMP itu sendiri hanya diberlakukan bagi
pekerja dengan masa kerja kurang dari setahun. Sedangkan upah bagi pekerja
lama diserahkan sepenuhnya kepada keputusan bipatrit (pekerja dan majikan).
Secara logis UMP yang lebih tinggi akan mendorong pekerja senior meminta
kenaikan upah. Ada yang menyebut dengan istilah upah sundulan. Oleh karena itu
pengusaha berharap kenaikan UMP seminimum mungkin, karena akan membuat
buruh lama menuntut upah yang lebih tinggi.
Penetapan upah buruh di Indonesia dilaksanakan setiap tahun melalui proses
yang panjang. Pada awalnya Dewan Pengupahan daerah (DPD) yang terdiri dari
birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan pertemuan, membentuk
tim survei dan turun ke lapang untuk mencari tahu harga kebutuhan pokok.
Setelah survei di sejumlah kota dianggap representatif diperoleh angka Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) yang dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan UMP ke Gubernur. Kemudian berdasarkan
UMP baru ditetapkan pula upah minimum provinsi sektoral (UMPS). Setelah
otonomi diberlakukan, dikenal pula istilah upah minimum kabupaten/kota
(UMK).
Angkanya
merupakan
hasil
perhitungan
Dewan
Pengupahan
Kabupaten/Kota (DPK). Selanjutnya DPK menggunakan UMP dan hasil survei
KHL sebagai bahan pertimbangan menghitung dan mengusulkan UMK kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota.
2.3.
Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian
Tinjauan studi dampak investasi baik swasta maupun pemerintah terhadap
kinerja perekonomian adalah sebagai berikut: studi yang dilakukan oleh Macmud
(2002) mengenai Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera
33
Selatan dengan menggunakan model Rana Dowling. Dari hasil studi tersebut
diketahui bahwa variabel Bantuan Pemerintah Pusat (BPP) dalam bentuk-bentuk
program sektoral di Provinsi Sumatera Selatan, investasi swasta, tabungan daerah,
ekspor daerah, pertumbuhan dan angkatan kerja mempunyai pengaruh positif dan
nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, berdasarkan hasil estimasi
fungsi tabungan dapat dilihat bahwa variabel bantuan pemerintah pusat, investasi
swasta, dan ekspor daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan (nyata)
terhadap tabungan daerah Sumatera Selatan.
Selanjutnya Susanti (2003) melakukan studi tentang Dampak Perubahan
Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro
dan Sektoral di Indonesia menyimpulkan bahwa pengaruh peningkatan investasi
output sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum
berpengaruh positif, yaitu meningkatkan output sektoral. Hasil yang sama
diperoleh dari sisi perubahan produktivitas, perubahan produktivitas baik
produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja berpengaruh dalam peningkatan
output sektor perekonomian. Apabila investasi dan produktivitas dirubah secara
bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di sektor perikanan relatif
lebih besar dibandingkan bila dirubah secara parsial.
Konsumsi rumah tangga sektoral juga mengalami peningkatan akibat
peningkatan investasi dan produktivitas. Harga output pada sektor perikanan,
mengalami penurunan akibat adanya peningkatan output. Harga output pada
sektor perekonomian lain bergerak mengikuti mekanisme permintaan penawaran.
Dalam perekonomian makro, peningkatan investasi dan produktivitas di
sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan GDP, laju
34
inflasi juga mampu ditekan dengan adannya peningkatan investasi dan
produktivitas di sektor perikanan. Konsumsi agregat dan penyerapan tenaga kerja
agregat juga mengalami peningkatan. Laju peningkatan ekspor meningkat jika
dibandingkan dengan laju peningkatan impor akibat perubahan investasi dan
produktivitas sektor perikanan sehingga neraca perdagangan positif.
Panjaitan
et.
al.
(2004)
melakukan
penelitian
tentang
Dampak
Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara:
Pendekatan Ekonometrika. Berawal dari adanya pemikiran bahwa dengan
munculnya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah
memungkinkan daerah untuk menambah penerimaanya dari Dana Bagi Hasil dan
Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti
bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun
pembangunan seperti pembangunan infrastruktur: jalan, jaringan listrik, sarana air
bersih dan lain-lain. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dikenal pula
dengan istilah investasi pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar
akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan
transaksi ekonomi. Peningkatan tersebut akan meningkatkan pendapatan
masyarakat dan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan memberikan kepastian
ekonomi dan politik.
Dari studi tersebut diperoleh hasil seperti yang diharapkan bahwa kebijakan
desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap PDRB, kesempatan
kerja dan distribusi pendapatan antar daerah di Sumatera Utara serta memberikan
dampak negatif terhadap tingkat inflasi di Sumatera Utara. Selain itu dapat
35
diketahui juga bahwa inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tingkat investasi, tingkat
upah daerah, defisit fiskal dan dummy krisis tahun 1998. Sedangkan tingkat
investasi itu sendiri dipengaruhi secara positif tetapi tidak signifikan oleh PDRB,
secara negatif dan signifikan dipengaruhi oleh tingkat upah dan tingkat suku
bunga.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Riyanto dan H. Siregar (2005) dengan
mengambil judul: Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah
dan Pemerataan antar Wilayah. Hasil dari studi tersebut adalah (1) tidak berbeda
dengan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, porsi dana perimbangan rata-rata
mencapai sekitar 80 persen dari penerimaan daerah. Jadi dana perimbangan masih
merupakan sumber utama penerimaan daerah, (2) berdasarkan hasil analisis model
ekonometrika ditemukan bahwa setelah desentralisasi fiskal, dampak dana
perimbangan cukup signifikan meningkatkan anggaran pemerintah daerah
(APBD), tetapi tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian daerah.
Hal ini disebabkan oleh belanja rutin yang masih dominan dalam komponen
APBD, kemungkinan terjadinya birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan
proses pembangunan perencanaan pembangunan di daerah yang kurang baik dan
(3) dampak dana perimbangan belum mencapai kondisi pemerataan pembangunan
wilayah walau secara fiskal terjadi pemerataan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan daerah, serta antar pemerintah daerah. Yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah bukan semata-mata di tentukan
oleh besarnya kecilnya dana perimbangan di suatu daerah, penyebaran investasi
yang sangat terbatas, juga merupakan faktor kesenjangan dan rendahnya
pertumbuhan ekonomi daerah.
36
Kemudian Astuti (2005) melakukan penelitian yang menghubungkan antara
investasi sektor pertanian dengan perekonomian dan kemiskinan. Dengan judul
Dampak Investasi Sektor Pertanian terhadap Perekonomian dan Upaya
Pengurangan Kemiskinan di Indonesia, maka hasil yang diperoleh dari penelitian
tersebut adalah (1) hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa apabila terjadi
penurunan investasi di sektor pertanian maka memberikan dampak negatif
terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sebaliknya apabila terjadi
kenaikan investasi di sektor pertanian akan memberikan dampak positif terhadap
perekonomian terutama terhadap peningkatan penerimaan pendapatan sektor
produksi, peningkatan pendapatan neraca institusi penerimaan pemerintah,
perusahaan dan rumahtangga, serta penerimaan balas jasa faktor produksi tenaga
kerja dan modal dan (2) hasil analisis kemiskinan menunjukkan apabila investasi
di sektor pertanian menurun maka akan berdampak terhadap kenaikan insiden
kemiskinan pada setiap kelompok rumah tangga sebaliknya, peningkatan investasi
di sektor pertanian akan berdampak terhadap penurunan insiden kemiskinan pada
setiap
kelompok
rumahtangga.
Kelompok
rumahtangga
dengan
insiden
kemiskinan tertinggi adalah kelompok rumahtangga pertanian yang berada di
perdesaan yang memiliki lahan seluas 0.5-1 hektar.
2.4.
Tinjauan Studi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi
Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing
Di samping penelitian yang meneliti tentang hubungan investasi dengan
kinerja perekonomian, beberapa peneliti juga telah melakukan studi tentang
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi investasi seperti yang dilakukan Saad
37
dan Hidayatullah serta BPM Provinsi Jawa Timur yang bekerjasama dengan
Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya.
Hasil yang diperoleh dari kajian Saad (2002) mengenai Analisis
Perkembangan Investasi Swasta di Subsektor Industri makanan adalah sampai
sebelum terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, perkembangan persetujuan
dan realisasi investasi pada subsektor industri makanan sangat baik, bahkan di
atas rata-rata investasi di sektor lainnya terutama di sektor pertanian sebagai
sumber bahan bakunya. Namun sejak krisis terjadi, perkembangan investasi
mengalami penurunan yang cukup signifikan, baik dalam PMDN maupun PMA.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan persetujuan investasi pada
subsektor industri makanan dikelompokkan kedalam variabel kondisi negara yang
bersangkutan (variabel ekonomi makro, kebijakan investasi, dan politik), variabel
negara asal investasi dan variabel harga komoditas yang mencerminkan rental
cost of capital dari investasi yang ditanam. Stabilitas nasional yang dicerminkan
oleh kondisi perekonomian dan politik. Harga komoditas penting yang turut
menentukan perkembangan invesatsi swasta pada industri makanan adalah
komoditas olahan udang dan kelapa sawit (CPO). Kedua komoditas ini turut
menentukan persetujuan dan realisasi investasi industri makanan swasta. Realisasi
investasi swasta pada industri makanan baik PMDN maupum PMA masih sangat
rendah. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah yang mendukung sangat di
perlukan. Perumusan kebijaksanaan yang tepat akan dapat mendorong
peningkatan investasi swasta pada industri makanan. Kebijakan yang di rumuskan
tersebut pada dasarnya harus mencerminkan upaya peningkatan iklim yang
38
kondusif bagi berkembangnya investasi di antaranya melalui pemberian insentif
investasi.
Kemudian Hidayatullah pada Tahun 2003 melakukan studi mengenai
Analisis Penyebaran Investasi Sektor Pertanian di Kawasan Timur Indonesia
menyimpulkan bahwa (1) investasi domestik di Kawasan Timur Indonesia di
pengaruhi oleh inflasi wilayah, tingkat suku bunga Indonesia, Produk Domestik
Regional Bruto wilayah, jumlah pengeluaran pembangunan, rasio pengeluaran
pembangunan dan PDRB, potensi sumberdaya alam sektor pertanian , investasi di
dalam dan di luar wilayah serta kebijakan investasi tentang percepatan
pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, (2) investasi asing di Kawasan Timur
Indonesia di pengaruhi oleh tingkat suku bunga dunia, nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar AS, PDRB, jumlah pengeluaran pembangunan, panjang jalan, potensi
sumberdaya alam sektor pertanian, investasi di dalam dan di luar serta kebijakan
investasi tentang percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, (3)
perubahan faktor eksternal wilayah memberikan dampak peningkatan dan
penurunan jumlah investasi asing dan domestik antar wilayah di Kawasan Timur
Indonesia dan (4) perubahan faktor internal wilayah, kecuali inflasi wilayah
memberikan dampak peningkatan dan penurunan jumlah investasi asing dan
domestik antar wilayah dan antar jenis investasi di Kawasan Timur Indonesia.
Kajian dari BPM Jatim dan UNAIR (2004) memperoleh hasil bahwa selain
upah buruh terdapat tujuh faktor lain yang sangat menentukan investasi di Jawa
Timur, yaitu (1) kemudahan mendirikan usaha, (2) apakah terdapat diskriminasi
terhadap investasi asing yang baru masuk atau tidak?, (3) apakah ada perlakuan
yang sama bagi investasi asing yang sudah masuk dengan pelaku usaha lokal atau
39
tidak?, (4) transparansi dalam persetujuan dan ijin investasi, (5) ramah atau
tidaknya kebijakan imigrasi, (6) ada atau tidaknya mekanisme bagi investor untuk
menyampaikan keluhannya kepada pemerintah dan (7) tingkat responsifitas
(kepekaan) pemerintah dalam menanggapi keluhan-keluhan investor.
2.5.
Posisi Penelitian
Berbagai penelitian tentang investasi terutama tentang dampak investasi
baik investasi swasta maupun pemerintah terhadap perekonomian telah banyak
dilakukan, akan tetapi yang secara khusus membandingkan investasi swasta mana
(PMDN atau PMA) yang memberikan pengaruh terbesar terhadap kinerja
perekonomian belum banyak dijumpai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini
memusatkan perhatian untuk membandingkan dampak dari PMDN dan PMA
terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur.
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan masukan dan pertimbangan khususnya bagi Pemerintah Daerah
Provinsi Jawa Timur untuk menyusun kebijakan investasi. Karena dengan adanya
otonomi daerah memungkinkan setiap daerah menyusun kebijakan investasi
sendiri melalui Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) yang dapat memberikan
keuntungan bagi daerahnya sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan
dengan kebijakan nasional. Dengan kata lain melalui kewenangan yang dimiliki,
peran Pemda kini menjadi sama pentingnya dengan pemerintah pusat dalam upaya
meningkatkan investasi. Pemda dituntut dapat berkreasi dalam menangani
masalah iklim investasi di daerahnya masing-masing.
40
III. KERANGKA TEORITIS
3.1.
Produk Domestik Bruto
Produk Domestik Bruto (PDB) sering dianggap sebagai ukuran terbaik dari
kinerja perekonomian (Mankiw, 2003). Apabila diterjemahkan dalam tataran
daerah maka PDB disebut dengan PDRB. PDRB adalah total nilai produk barang
dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah tertentu dalam waktu tertentu tanpa
melihat faktor kepemilikan (Pemerintah Provinsi atau Pemprov Jatim, 2004).
Salah satu model yang menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan
modal, pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam
perekonomian serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa
(PDRB) suatu wilayah secara keseluruhan adalah Model Solow (Mankiw, 2003).
Dalam model Solow, output bergantung pada persediaan modal dan tenaga
kerja. Dengan asumsi bahwa fungsi produksi mempunyai skala hasil konstan,
maka fungsi produksinya dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y =
F (K,L) ..................................................................................
(3.1)
dimana:
Y = Output
K = Persediaan modal
L = Tenaga kerja
Persediaan modal dipengaruhi oleh investasi dan depresiasi. Investasi
mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru yang dapat
menambah persediaan modal, sedangkan depresiasi mengacu pada penggunaan
modal, yang menyebabkan persediaan modal berkurang.
Perubahan Persediaan Modal = Investasi - Depresiasi
Δk = i - δk ..................................................................................... ( 3.2)
41
Dengan asumsi bahwa depresiasi=0 atau tidak ada depresiasi, maka Δk=i
atau perubahan persediaan modal=investasi. Karena investasi merupakan
perubahan persediaan modal (Δk) bukan persediaan modal (K) itu sendiri atau
dengan kata lain pada kenyataanya data persediaan modal tidak tersedia, maka
untuk menghitung output dengan model Solow digunakan data investasi PMDN
dan PMA sebagai proksi dari persediaan modal (K).
3.2.
Investasi
Investasi disebut juga dengan penanaman modal atau pembentukan modal.
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanam-penanam
modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapanperlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barangbarang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2006).
Menurut Mankiw (2003) investasi juga dapat diartikan pembelian barangbarang yang digunakan untuk masa depan. Investasi terdiri dari (Dornbush dan
Fischer, 1997; Mankiw, 2003; dan Sukirno, 2006): (1) investasi tetap bisnis
adalah pembelian pabrik dan peralatan baru oleh perusahaan, (2) investasi
residensi yaitu pembelian rumah baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, dan
(3) investasi persediaan yaitu peningkatan persediaan barang perusahaan (jika
investasi gagal, persediaan negatif). Delong (2002) membedakan investasi
menjadi empat jenis, yaitu (1) investasi residensi, (2) investasi non residensi,
(3) investasi untuk membeli peralatan dan (4) investasi persediaan. Sedangkan
menurut Mangkoesoebroto dan Algifari (1998) investasi terdiri dari dua jenis,
yaitu investasi riil dan investasi finansial. Investasi riil adalah investasi terhadap
barang-barang yang tahan lama (barang-barang modal) yang akan digunakan
42
untuk proses produksi. Tiga komponen investasi riil yaitu investasi tetap
perusahaan (business fixed investment), investasi untuk perumahan, dan investasi
perubahan bersih persediaan perusahaan (net change in business inventory).
Selanjutnya yang dimaksud dengan investasi finansial merupakan investasi
terhadap surat berharga misalnya pembelian saham, obligasi dan lain sebagainya.
Pertimbangan-pertimbangan utama yang perlu dilakukan dalam memilih
suatu jenis investasi adalah tingkat bunga yang berlaku, tingkat pengembalian
(rate of return) dari proyek investasi dan prospek (harapan berkembang) dari
proyek investasi pada waktu yang akan datang (Mangoesoebroto dan Algifari,
1998). Hal senada juga diungkapkan oleh Mankiw (2003) bahwa investasi
bergantung pada tingkat bunga. Tingkat bunga yang dimaksud disini adalah
tingkat bunga riil. Tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang sebenarnya
sehingga menentukan jumlah investasi. Jadi ketika tingkat bunga riil naik,
semakin sedikit proyek investasi yang menguntungkan. Sedangkan tingkat bunga
nominal adalah tingkat bunga yang dilaporkan. Tingkat bunga inilah yang dibayar
investor untuk meminjam uang
Tingkat
bunga
riil, r
Fungsi
Investasi, I(r)
Kuantitas investasi, I
Gambar 7. Hubungan Antara Tingkat Bunga Riil dengan Kuantitas Investasi
Sumber: Mankiw (2003)
43
Hubungan antara tingkat bunga riil dengan investasi yang berbanding
terbalik antara satu dengan yang lain (bersifat negatif) dapat ditunjukkan secara
grafis pada Gambar 7.
Menurut Delong (2002) selain suku bunga, faktor lain yang menentukan
suatu perusahaan untuk melakukan investasi adalah jumlah uang yang tersedia di
perusahaan dan total keuntungan. Sukirno (2006) melengkapi apa yang telah
dinyatakan oleh Mangosoebroto dan Delong, bahwa selain suku bunga dan
keuntungan perusahaan, keputusan untuk berinvestasi ditentukan juga oleh
(1) ramalan mengenai keadaan ekonomi di masa depan, (2) kemajuan teknologi,
dan (3) tingkat pendapatan nasional dan perubahan-perubahannya.
3.3.
Inflasi
Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga umum secara terus-menerus
dan persisten dari suatu perekonomian (Susanti, Ikhsan dan Widayanti, 2000; dan
Putong, 2003). Hal senada juga diungkapkan oleh Na'im (2001) yang menyatakan
bahwa inflasi merupakan kecenderungan harga-harga barang dan jasa termasuk
faktor-faktor produksi, diukur dengan satuan mata uang yang semakin naik secara
umum dan terus-menerus.
Menurut Sukirno (2006) berdasarkan sumber atau penyebabnya, maka
inflasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
1.
Inflasi desakan biaya, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh
kenaikan dalam biaya produksi sebagai akibat kenaikan harga bahan mentah
atau kenaikan upah.
44
2.
Inflasi impor, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kenaikan
harga-harga barang impor yang digunakan sebagai bahan mentah produksi
dalam negeri.
3.
Inflasi tarikan permintaan, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan
oleh pertambahan permintaan yang besar yang tidak dapat dipenuhi oleh
kemampuan memproduksi yang tersedia.
Apabila berdasarkan sifatnya atau tingkat kelajuan harga-harga yang
berlaku, inflasi dapat dibedakan menjadi inflasi merayap, inflasi sederhana
(moderate) dan hiperinflasi. Inflasi merayap adalah proses kenaikan harga-harga
yang lambat jalannya. Inflasi sederhana apabila tingkat inflasi mencapai 5 hingga
10 persen. Hal ini biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Sedangkan yang
dimaksud dengan hiperinflasi adalah proses kenaikan harga-harga yang sangat
cepat, yang menyebabkan tingkat harga menjadi dua atau beberapa kali lipat
dalam masa yang singkat.
Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi dua yaitu (1) inflasi yang
berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena terjadinya
defisit dalam pembiayaan dan belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja
negara. Untuk mengatasinya biasanya pemerintah mencetak uang baru. Selain itu
kenaikan harga tersebut juga bisa dikarenakan musim paceklik (gagal panen) serta
bencana alam yang berkepanjangan dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri.
Karena negara-negara yang menjadi mitra dagang suatu negara mengalami inflasi
yang tinggi maka harga barang- barang dan ongkos produksi di negara tersebut
juga tinggi atau relatif mahal. Sehingga bagi negara pengimpor terpaksa menjual
barang tersebut di dalam negeri dengan harga yang mahal (Putong, 2003).
45
Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam
perekonomian. Akan tetapi, sebagaimana dalam salah satu prinsip ekonomi bahwa
untuk jangka pendek terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran. Hal ini
menunjukkan bahwa inflasi dapat menurunkan tingkat pengangguran atau inflasi
dapat dijadikan salah satu cara untuk menyeimbangkan perekonomian negara.
Jadi sebenarnya inflasi mempunyai dampak positif dan negatif. Akibat negatif
yang dapat ditimbulkan oleh inflasi adalah (1) menurunkan pendapatan riil orangorang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk
uang dan (3) memperburuk pembagian kekayaan khususnya kekayaan yang
bersifat keuangan (Sukirno, 2006). Sedangkan dampak positif dari inflasi (Putong,
2003) adalah (1) bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) yang mana
barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2)
masyarakat akan semakin selektif dalam mengonsumsi, produksi akan diusahakan
seefisien mungkin dan konsumtifisme dapat ditekan, (3) inflasi yang
berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri menjadi semakin
dipercaya dan tangguh dan (4) tingkat pengangguran cenderung akan menurun
karena masyarakat akan tergerak untuk melakukan kegiatan produksi dengan cara
membuka usaha.
Menurut Putong (2003) angka inflasi dapat dihitung berdasarkan angka
indeks yang dikumpulkan dari beberapa macam barang kebutuhan pokok atau
utama bagi masyarakat yang diperjualbelikan di pasar dengan masing-masing
tingkat harga. Angka indeks yang memperhitungkan semua barang yang dibeli
oleh konsumen pada masing-masing harganya disebut sebagai indeks harga
konsumen (IHK atau Consumer Price Index=CPI). Berdasarkan indeks harga
46
konsumen dapat dihitung berapa besarnya laju kenaikan harga-harga secara umum
dalam periode tertentu. Biasanya setiap bulan, 3 bulan dan 1 tahun. Selain
menggunakan IHK, tingkat inflasi juga dapat dihitung dengan menggunakan GNP
atau PDB deflator, yaitu membandingkan GNP atau PDB yang diukur
berdasarkan harga berlaku (GNP atau PDB nominal) terhadap GNP atau PDB
harga konstan (GNP atau PDB riil).
3.4. Pengangguran
Pengangguran adalah keadaan tanpa pekerjaan yang dihadapi oleh
segolongan tenaga kerja, yang telah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tidak
memperolehnya. Individu yang menghadapi masalah tersebut dinamakan
penganggur (Putong, 2003 dan Sukirno, 2006).
Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibedakan menjadi (1)
pengangguran struktural yaitu pengangguran yang diakibatkan perubahan struktur
ekonomi, (2) pengangguran siklikal yaitu pengangguran yang disebabkan
perkembangan ekonomi yang sangat lambat atau kemerosotan kegiatan ekonomi,
(3) pengangguran normal/friksional yaitu pengangguran yang terwujud apabila
ekonomi telah mencapai kesempatan kerja penuh dan (4) pengangguran teknologi
yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan teknologi (Sukirno, 2006).
Sedangkan apabila berdasarkan cirinya maka pengangguran dapat
dibedakan menjadi (1) pengangguran terbuka. Pengangguran ini tercipta sebagai
akibat pertambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari pertambahan
tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah
tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan, (2) pengangguran
tersembunyi adalah keadaan pengangguran yang tidak secara nyata dapat dilihat
47
dan berlaku pada kegiatan yang jumlah pekerjaan melebihi dari yang di perlukan,
(3) pengangguran musiman yaitu pengangguran yang tidak terjadi sepanjang
waktu tetapi hanya terjadi ketika kegiatan ekonomi yang dijalankan sedang dalam
keadaan tidak sibuk atau sedang tidak melakukan kegiatan. Pengangguran ini
terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan dan (4) setengah
pengangguran atau under employment: Tenaga kerja yang melakukan kerja-kerja
atau jam kerja yang jauh lebih rendah dari masa kerja yang lazim dilakukan dlam
sehari atau seminggu (Sukirno, 2006).
Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengangguran di suatu negara atau
wilayah dapat menggunakan ukuran tingkat pengangguran. Menurut Sukirno
(2006) tingkat pengangguran adalah rasio di antara jumlah pengangguran dengan
jumlah angkatan kerja pada suatu waktu tertentu dan dinyatakan dalam persen.
Sedangkan menurut Dornbusch dan Fisher (1997), tingkat pengangguran adalah
bagian dari angkatan kerja yang tidak memperoleh pekerjaan.
3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi
Menurut Dornbusch dan Fisher (1997) terdapat hubungan yang sederhana
antar variabel-variabel utama makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi,
pengangguran dan inflasi.
3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran
Pengangguran
berhubungan
dengan
ketersediaan
lapangan
kerja,
ketersediaan lapangan kerja berhubungan dengan investasi. Investasi didapat dari
akumulasi tabungan, tabungan adalah sisa dari pendapatan yang tidak dikonsumsi.
Semakin tinggi pendapatan nasional maka semakin besar harapan untuk
pembukaan kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga kerja
48
baru. Dengan demikian, secara relatif semakin baik pertumbuhan ekonomi maka
makin besar harapan untuk tidak menganggur, sebaliknya bila pertumbuhan
ekonomi turun (apalagi negatif), maka tingkat pengangguran semakin besar.
Hubungan
antara
laju
pertumbuhan
riil
dan
perubahan
tingkat
pengangguran dikenal sebagai hukum Okun. Hukum ini menyatakan ”apabila
GNP tumbuh sebesar 2.5 persen di atas trend-nya, yang dicapai pada tahun
tertentu, tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen”.
Apabila dicermati hukum Okun di atas, maka dapat ditarik kesimpulan baru
bahwa apabila ekonomi tumbuh (GNP atau PDB) sebesar 1 persen di atas trend
maka tingkat pengangguran akan turun sebesar ½.5 persen = 0.4 persen. Jadi bila
pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen maka pertumbuhan ekonomi
haruslah dipacu hingga bisa tumbuh sebesar 5 persen di atas rata-rata.
Berdasarkan hukum Okun, maka dapat dibuatkan suatu rumus mengenai tingkat
pengangguran sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi yaitu (Putong, 2003),
UEn = UEn-1 - 0.4 (AG-ToG)
............................................................ (3.3)
dimana:
UEn
UEn-1
AG
ToG
0.4
=
=
=
=
=
Tingkat pengangguran tahun sekarang
Tingkat pengangguran tahun lalu
Actual growth (pertumbuhan aktual)
Trend of growth (tingkat pertumbuhan rata-rata)
Konstanta pertumbuhan pengangguran apabila
pertumbuhan ekonomi naik 1% di atas rata-rata
Catatan: semua nilai dalam %
3.5.2. Trade Off Antara Inflasi dan Pengangguran
Mankiw (2003) mengemukakan bahwa terdapat trade-off jangka pendek
antara inflasi dan pengangguran. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan
menggunakan kurva Philips seperti pada Gambar 8. Kurva Philips dapat
49
menggambarkan keterkaitan antara inflasi dan tingkat pengangguran, dimana
semakin tinggi tingkat pengangguran, laju inflasi akan semakin rendah
(Dornbusch dan Fisher, 1997).
Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi
tergantung pada tiga kekuatan yaitu (1) inflasi yang diharapkan, (2) deviasi
pengangguran dari tingkat alamiah, yang disebut pengangguran siklis dan
(3) guncangan penawaran (Mankiw, 2003). Tiga kekuatan tersebut dapat
ditunjukkan pada persamaan berikut:
π = πe - β (u - un ) + v .......................................................................
(3.4)
dimana:
π
πe
β
(u - un )
v
= Inflasi
= Inflasi yang diharapkan
= Parameter yang mengukur respon inflasi terhadap
penganguran siklis
= Pengangguran siklis
= Guncangan penawaran
Tanda minus sebelum simbol pengangguran siklis mengandung arti bahwa
pengangguran yang tinggi cenderung mengurangi inflasi.
Laju Inflasi
Tingkat Pengangguran
Gambar 8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran
Sumber: Dornbusch dan Fisher (1997)
Pada persamaan 3.4 dapat diketahui bahwa kurva Philips jangka pendek
juga tergantung pada tingkat inflasi yang diharapkan. Karena semua orang akan
50
menyesuaikan ekspektasi inflasi mereka sepanjang waktu maka trade-off antara
inflasi dan pengangguran akan bertahan dalam jangka pendek. Pembuat kebijakan
tersebut tidak bisa mempertahankan inflasi di atas inflasi yang diharapkan
(dengan demikian pengangguran di bawah tingkat alamiah) selamanya. Secara
berangsur-angsur, ekspektasi beradaptasi pada sebesar apapun tingkat inflasi yang
dipilih pembuat kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, dikotomi klasik
berlaku, pengangguran kembali ke tingkat alamiah dan tidak ada trade-off antara
inflasi dan pengangguran.
Inflasi, m
Inflasi yang
diharapkan
tinggi
Inflasi yang
diharapkan
rendah
Pengangguran, u
Gambar 9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek
Sumber: Mankiw (2003)
3.6.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan
wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan penjelasan UU No. 25 Tahun
1999 disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, NKRI
dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota. Dan tiap-tiap daerah
tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
51
pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu
strategi yang memiliki tujuan ganda, yaitu (1) merupakan suatu strategi untuk
merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap sharing of distribution income dan
kemandirian sistem manajemen di daerah dan (2) memperkuat perekonomian
daerah untuk memperkokoh perekonomian nasional dalam rangka menghadapi era
perdagangan bebas.
Selain itu, otonomi daerah yang diberlakukan sejak awal Januari tahun 2001
juga memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk meningkatkan kinerja
daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Prinsip otonomi
bukanlah sistem sendiri, melainkan subsistem dari sistem pemerintahan nasional,
dengan asas desentralisasi dilaksanakan secara bersama dengan dua asas lainnya
dekonsentrasi dan perbantuan. Kebijakan nasional di seluruh wilayah negara
adalah mengikat dan harus dipatuhi daerah-daerah. Ini berarti kebijakan
pembangunan nasional dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
berhak menetapkan kebijakan daerah sebagai penjabaran dari kebijakan nasional.
Dasar acuan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah UU No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004
dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah yang selanjutnya direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Pada
intinya UU No. 32 Tahun 2004 mendesentralisasikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk mengambil keputusan mengenai perencanaan dan
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan kepada pemerintah daerah,
52
sedangkan UU No. 33 tahun 2004 merubah secara mendasar keseimbangan
keuangan pusat dan pemerintah daerah melalui pembagian hasil (revenue sharing)
baik dari pendapatan pajak maupun non pajak. Berlakunya undang-undang
tersebut akan memberikan tanggung jawab yang besar kepada daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan daerah.
Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah daerah
diberi kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan termasuk penanaman modal
yang tertuang dalam UU No. 34 Tahun 2000. Undang-Undang tersebut lahir
sebagai penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997, yang intinya memberikan
peluang kepada kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber
keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah.
Keleluasaan
yang
diberikan
kepada
pemerintah
daerah
untuk
mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi
daerah bagi sejumlah daerah berhasil meningkatkan PAD-nya. Namun di sisi lain
dapat menimbulkan pengaruh negatif yaitu akan menyebabkan ekonomi biaya
tinggi (high cost economy) apabila penerapan pajak dan retribusi dimaksud
berlebihan dan tidak memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan
nasional. Contohnya (1) pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan
penumpang antar provinsi atau antar kabupaten dan (2) munculnya peraturanperaturan daerah (Perda) yang disinyalir dapat menghambat perkembangan
investasi misalnya yang terjadi di Jawa Timur. Menurut hasil studi yang dilakukan
BPM Jawa Timur dan UNAIR (2004) dapat diketahui bahwa terdapat
9 Kabupaten/Kota yang mengeluarkan Perda-Perda yang dinilai memberatkan
53
investor, yaitu Kabupaten Gresik, Jombang, Blitar, Magetan, Probolinggo, Kediri,
Bondowoso, Pasuruan dan Kota Surabaya.Total Perda yang dikeluarkan adalah
17 Perda seperti yang tercantum dalam Lampiran 5. Kabupaten yang
mengeluarkan perda bermasalah terbanyak adalah Kabupaten Gresik. Salah
satunya yaitu Perda No. 39 Tahun 2000 tentang Sumbangan Pihak Ketiga kepada
Pemerintah Kabupaten Gresik. Permasalahannya adalah (1) tidak seharusnya
sumbangan di-Perda-kan, mengingat sumbangan bersifat sukarela dan (2) makin
diperkuatnya Perda tersebut dengan terbitnya surat Bupati Gresik Nomor
970/21/J/403.63/2003 tertanggal 23 Maret Tahun 2003 perihal Permintaan
Sumbangan kepada para pengusaha di Kabupaten Gresik.
Di sisi lain adanya otonomi daerah juga memberikan dampak positif
khususnya terhadap peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan dalam hal
perijinan. Dengan adanya otonomi daerah, perijinan penanaman modal dapat
diselesaikan di daerah yang sebelumnya harus dilakukan di pusat, contohnya ijin
untuk PMA. Pelimpahan wewenang ini diharapkan dapat mempermudah proses
perijinan dengan biaya yang lebih murah sehingga iklim usaha di daerah menjadi
lebih kondusif dan dapat menarik investor untuk berinvestasi di daerah tersebut.
Beberapa kota/kabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap
merupakan langkah awal untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan
dan mudah. Tidak terkecuali provinsi Jawa Timur, pada tahun 2008 hampir 80
persen daerah di Jawa Timur telah menerapkan pelayanan satu atap dalam sehari
atau one day service dalam pengurusan ijin berinvestasi (Dinas Informasi dan
Komunikasi Jatim, 2007). Penciptaan iklim investasi yang kondusif juga didukung
oleh regulasi pemerintah pusat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun
54
2007 tentang Perpajakan dan Peraturan Mendagri No. 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelayanan Satu Pintu. Kemudahan-kemudahan tersebut diharapkan
dapat menarik investor untuk berinvestasi di Jawa Timur, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan realisasi investasi baik PMDN maupun PMA.
Adanya dampak positif dan negatif akibat pelaksanaan otonomi daerah juga
didukung oleh Bahl (1998) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan
negatif dari otonomi daerah atau desentralisasi. Kelebihan atau pengaruh positif
desentralisasi adalah sebagai berikut (1) kesejahteraan akan lebih tinggi karena
penyediaan jasa dan barang publik lebih cocok dengan permintaan penduduk,
(2) pemerintah daerah lebih bertanggung jawab untuk kualitas barang dan jasa
yang disediakan, (3) penduduk memiliki keinginan untuk membayar yang lebih
tinggi atas barang dan jasa publik karena preferensi mereka lebih dihargai dan
(4) meningkatkan pendapatan pemerintah karena pemerintah daerah mengenal
objek pajak lebih baik sehingga pendapatan dari pajak lebih tinggi. Sedangkan
kelemahan desentralisasi adalah (1) kontrol terhadap inflasi menjadi lebih sulit
karena pengeluaran oleh pemerintah daerah lebih sulit dikendalikan, (2) usaha
untuk mengoptimalkan sumber dana dalam pembangunan pertanian, industri dan
infrastruktur publik akan lebih sulit dan (3) ketimpangan antar daerah menjadi
lebih tinggi.
Selanjutnya,
Martinez
(2001)
menyatakan
bahwa
desentralisasi
berhubungan dengan efisiensi, distribusi sumberdaya regional dan stabilisasi
ekonomi makro. Pelaksanaan desentralisasi akan memperbaiki efisiensi ekonomi
dan distribusi sumberdaya regional tapi mempersulit stabilitas ekonomi makro.
55
IV. METODOLOGI
4.1.
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan studi literatur dan kerangka teoritis yang digunakan, Dampak
Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur: Studi Komparasi
Penanaman Modal Domestik (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA)
banyak melibatkan variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
variabel endogen dan eksogen. Yang termasuk dalam variabel-variabel endogen
dalam penelitian ini adalah variabel PDRB, PMDN, PMA, tenaga kerja, inflasi,
dan pengangguran. Sedangkan variabel-variabel eksogennya adalah angkatan
kerja, upah minimum provinsi, nilai tukar, suku bunga, produksi listrik yang
dibangkitkan, panjang jalan dan dummy otonomi daerah. Keseluruhan variabelvariabel tersebut beserta keterkaitannya satu sama lain menjadi dasar perancangan
model ekonometrika yang akan digunakan.
Pada Gambar 10 menunjukkan hubungan ekonomi antara variabel yang
terkait dengan kinerja perekonomian Jawa Timur. Adapun bentuk frame oval
menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut termasuk ke dalam endogenous
variables, sedangkan bentuk frame segi empat menggambarkan bahwa variabelvariabel tersebut adalah variabel eksogen (exogenous variables). Garis panah
yang menuju ke suatu variabel menunjukkan bila variabel tersebut dipengaruhi
variabel-variabel lainnya. Sedangkan garis panah yang meninggalkan variabel
tersebut mengindikasikan bahwa variabel tersebut mempengaruhi variabel
lainnya. Hubungan simultan terlihat ketika suatu variabel mempengaruhi
sekaligus dipengaruhi oleh variabel lainnya.
56
Otonomi Daerah
Pengangguran
Nilai Tukar
Rp/US$
Upah Min
Provinsi
PMA
Suku Bunga
Inflasi
PDRB
Panjang
Jalan
PMDN
Produksi
Listrik
Tenaga
Kerja
Angkatan Kerja
Gambar 10. Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Terhadap Kinerja
Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri
dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur
Keterangan :
= Variabel endogen
= Variabel eksogen
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari lembaga
pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur dan publikasi
lain yang berkaitan dengan topik penelitian. Data tersebut merupakan data runtut
waktu (time series) dari tahun 1980-2006. Jenis data dan sumber data dapat
diketahui dengan jelas dalam Tabel 10.
57
Tabel 10. Jenis dan Sumber Data
No.
1.
2.
3.
4.
5.
4.3.
Uraian
- PMA
- PMDN
- Suku bunga bank (IR)
- Nilai tukar Rupiah/US$ (ER)
- IHK Indonesia (IHKI)
- IHK Amerika Serikat (IHKA)
- Inflasi (INF)
- IHK Jawa Timur (IHKJ)
- PDRB
- Produksi listrik yang dibangkitkan
(LIS)
- Panjang jalan (JLN)
- Angkatan kerja (AK)
- Jumlah pengangguran (UN)
- Tenaga kerja (TK)
- Upah Minimum Provinsi (UMP)
Instansi
Badan Penanaman Modal, Jawa
Timur
BPS
IMF
BPS, Jawa Timur
Dinas Tenaga Kerja, Jawa Timur
Spesifikasi Model
Model yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah model
persamaan simultan yang bersifat dinamik dan dirumuskan dalam persamaan
linear additive. Digunakan persamaan simultan karena dalam suatu variabel
terdapat hubungan mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh variabel lainnya.
Model dinamik adalah model yang diantara variabel eksogen dan atau variabel
endogennya terdapat beda kala (lag).
Distributed lag merupakan efek dari perubahan variabel bebas yang
menyebar kepada periode sekarang dan beberapa periode mendatang. Penyebab
terjadinya peristiwa lag antara lain (Koutsoyiannis, 1977):
1.
Psikologis (fenomena kebiasaan). Kebiasaan mempunyai kelembaman yang
tidak mudah segera dapat berubah. Misalnya pola konsumsi yang sudah
mapan, biasanya akan sulit berubah meskipun sudah terjadi perubahan
dalam pendapatan dan kekayaan.
58
2.
Pengaruh teknologi. Contohnya jika harga relatif dari input berubah, maka
untuk melakukan substitusi input memerlukan waktu agar tindakan tersebut
“layak” secara ekonomis.
3.
Antara penentuan keputusan dan pelaksanaannya memang membutuhkan
waktu. Suatu perusahaan akan memerlukan waktu untuk mendeteksi
terjadinya perubahan permintaan, pada awalnya harus meyakini bahwa
perubahan tersebut bersifat permanen. Setelah itu akan membutuhkan waktu
untuk merumuskan proyek investasi yang harus melalui proses evaluasi
sebelum akhirnya proyek yang disetujui itu dilaksanakan.
4.
Kekakuan institusional. Karena ada kontrak jangka panjang, sulit beralih
kepada penggunaan barang dasar lain yang lebih baik atau murah.
Berdasarkan tinjauan studi terdahulu (Bagian 2.2), kerangka teoritis pada
Bab III, kerangka pemikiran (Bagian 4.1) dan hubungan antar variabel pada
Gambar 4, maka formulasi dari persamaan-persamaan simultan tersebut adalah
sebagai berikut:
4.3.1. Produk Domestik Regional Bruto
PDRB dalam penelitian ini dipengaruhi oleh PMDN riil, perubahan PMA
riil, perubahan tenaga kerja, dummy otda, tren waktu dan PDRB tahun
sebelumnya.
Model Solow menunjukkan bahwa pertumbuhan persediaan modal,
pertumbuhan angkatan kerja dan kemajuan teknologi dapat berinteraksi dalam
perekonomian dan mempengaruhi output barang dan jasa (PDRB) suatu wilayah.
Oleh sebab itu dengan adanya interaksi pertumbuhan investasi PMDN, PMA dan
tenaga kerja yang tinggi diharapkan dapat memperbesar output barang dan jasa
59
atau
PDRB
Jawa
Timur.
Kemajuan
teknologi
dalam
penelitian
ini
direpresentasikan oleh tren waktu.
Selain itu, dengan adanya otonomi daerah yang dilaksanakan pada tahun
2001 memungkinkan daerah untuk menambah penerimaannya dari dana bagi hasil
dan DAU. Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga
pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan.
Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat
yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi yang bermuara pada
meningkatnya PDRB atau pendapatan masyarakat.
Bentuk persamaan PDRB adalah sebagai berikut:
PDRBt = a0 + a1PMDNRt + a2(PMARt-PMARt-1) + a3(TK t-TK t-1)
+ a4T + a5DD + a6PDRBt-1 + U1 …………………….......... (4.5)
dimana:
PDRBt
PMDNRt
PMARt
PMARt-1
=
=
=
=
TKt
TK t-1
PDRBt-1
=
=
=
DD
T
U1
=
=
=
Produk Domestik Regional Bruto tahun t (Rp milyar)
Penanaman Modal Dalam Negeri Riil tahun t (Rp juta)
Penanaman Modal Asing Riil tahun t (US$ ribu)
Penanaman Modal Asing Riil tahun sebelumnya
(US$ ribu)
Jumlah tenaga kerja tahun t (Jiwa)
Jumlah tenaga kerja tahun sebelumnya (Jiwa)
Produk Domestik Regional Bruto tahun sebelumnya
(Rp milyar)
Dummy otda
Tren waktu
Peubah pengganggu
Diharapkan bahwa a1, a2, a3, a4, a5 > 0 dan 0 < a6 <1
4.3.2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja (TKt) merupakan persamaan identitas, dimana tenaga kerja
adalah angkatan kerja dikurangi pengangguran. Bentuk persamaan tenaga kerja
adalah sebagai berikut:
60
TKt
= AKt - UNt …………………..…….……………………......... (4.6)
dimana:
TKt
AKt
UNt
= Tenaga kerja tahun t (Jiwa)
= Angkatan kerja tahun t (Jiwa)
= Pengangguran tahun t (Jiwa)
4.3.3. Penanaman Modal Dalam Negeri
Persamaan PMDN dipengaruhi oleh PDRB, suku bunga riil, upah minimum
provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan, tren waktu dan
PMDN tahun sebelumnya.
PDRB atau output yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat
yang berarti memperbesar permintaan terhadap barang-barang dan jasa. Semakin
besar permintaan barang dan jasa maka semakin besar keuntungan perusahaan.
Hal ini akan mendorong perusahaan melakukan investasi yang lebih banyak
(Sukirno, 2006).
Selanjutnya, kenaikan tingkat bunga riil akan menurunkan jumlah investasi
yang diminta. Karena tingkat bunga riil mengukur biaya pinjaman yang
sebenarnya sehingga menentukan jumlah investasi.
Upah merupakan salah satu komponen biaya dalam produksi. Apabila upah
riil meningkat maka dapat mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi
sehingga dapat menurunkan jumlah investasi.
Adanya ketersediaan infrastruktur yang memadai khususnya ketersediaan
listrik dan panjang jalan yang memadai dapat menarik minat investor untuk
berinvestasi sehingga dapat meningkatkan invesasi di suatu daerah. Dengan kata
lain semakin tinggi ketersediaan listrik dan panjang jalan dapat meningkatkan
61
investasi. Oleh karena data ketersediaan listrik tidak tersedia maka data tersebut
diproksi dengan data produksi listrik yang dibangkitkan.
Selain itu, teknologi juga berperan penting dalam investasi. Semakin tinggi
teknologi maka semakin tinggi investasi. Dalam penelitian ini teknologi
direpresentasikan oleh tren waktu.
Berdasarkan uraian di atas maka bentuk persamaan PMDN adalah:
PMDNRt = b0 + b1(PDRBt-PDRBt-1) + b2(IRRt-IRRt-1) + b3UMPR1t
+ b4LISt-1 + b5(JLNt-JLNt-1) + b6T + b7PMDNRt-1
+ U2 ................................................................................ (4.7)
dimana:
PMDNRt =
PDRBt
=
PDRBt-1 =
IRRt
=
IRRt-1
=
UMPR1t =
LISt-1
=
JLNt
=
=
JLNt-1
PMDNRt-1 =
U2
=
Penanaman Modal Dalam Negeri riil tahun t (Rp juta)
Produk Domestik Regional Bruto tahun t (Rp milyar)
Produk Domestik Regional Bruto tahun sebelumnya
(Rp milyar)
Suku bunga riil tahun t (Persen/tahun)
Suku bunga riil tahun sebelumnya (Persen/tahun)
Rasio Upah Minimum Provinsi riil per tenaga kerja dengan
total upah tahun t (Rp/tahun)
Produksi listrik yang dibangkitkan tahun sebelumnya
(Kwh)
Panjang jalan tahun t (Km2)
Panjang jalan tahun seblumnya (Km2)
Penanaman Modal Dalam Negeri riil tahun sebelumnya
(Rp juta)
Peubah pengganggu
Diharapkan bahwa b1, b4, b5, b6 > 0; b2, b3 < 0 dan 0 < b7 < 1
4.3.4. Penanaman Modal Asing
Sama halnya dengan PMDN, PMA juga dipengaruhi oleh PDRB, suku
bunga bank riil, Upah Minimum Provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan,
panjang jalan, dummy otonomi daerah, tren waktu dan PMA tahun sebelumnya.
Alasan penggunaan variabel dummy otonomi daerah karena untuk melihat
perbedaan investasi sebelum dan sesudah otonomi daerah. Dummy otonomi
62
daerah diduga berpengaruh positif terhadap investasi PMA karena dengan adanya
otonomi daerah memungkinkan para investor untuk mengajukan ijin investasi
langsung ke daerah. Kemudahan ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah
investasi yang masuk ke Jawa Timur.
Selain itu besarnya PMA juga dipengaruhi oleh nilai tukar riil. Semakin
tinggi nilai tukar riil maka investasi makin menurun. Formula untuk memperoleh
niai tukar riil adalah (Mankiw, 2003):
Nilai tukar riil = Nilai tukar nominal x IHK Indonesia ....................... (4.8)
IHK Amerika Serikat
Bentuk persamaan dari PMA adalah sebagai berikut:
PMARt = c0 + c1PDRBt-1 + c2IRRt + c3ERRt + c4UMPRt + c5LISt
+ c6JLNt + c7DD + c8T + c9PMARt-1 + U3 ........................ (4.9)
dimana:
PMARt
IRRt
ERRt
UMPRt
LISt
JLNt
PMARt-1
=
=
=
=
=
=
=
U3
=
Penanaman Modal Asing riil tahun t (US$ ribu)
Suku Bunga riil tahun t (Persen/tahun)
Nilai tukar riil tahun t (Rupiah/US$)
Upah Minimum Provinsi riil tahun t (Rp/tahun)
Produksi listrik yang dibangkitkan tahun t (Kwh)
Panjang jalan tahun t (Km)
Penanaman Modal Asing riil tahun sebelumnya
(US$ ribu)
Peubah pengganggu
Diharapkan bahwa c1, c5, c6, c7, c8 > 0; c2, c3, c4 < 0 dan 0 < c9 < 1
4.3.5. Inflasi
Besarnya inflasi dipengaruhi oleh tingkat upah riil dan PDRB. Tingkat upah
merupakan salah satu komponen biaya produksi. Apabila upah riil meningkat
berarti terjadi peningkatan biaya produksi bagi perusahaan. Peningkatan biaya
produksi ini akan mendorong meningkatnya harga jual produk sehingga
mendorong laju inflasi. Inflasi yang demikian disebut cost push inflation.
63
Sedangkan kenaikan pendapatan atau PDRB akan meningkatkan daya beli
masyarakat sehingga masyarakat akan menambah permintaan akan barang dan
jasa. Apabila kemampuan memproduksi barang terbatas atau telah mencapai
kesempatan
kerja
penuh
maka
pertambahan
permintaan
tersebut
akan
menyebabkan kenaikan harga sehingga terjadilah inflasi. Inflasi yang diakibatkan
oleh adanya kenaikan permintaan disebut inflasi tarikan permintaan.
Selanjutnya inflasi juga berkaitan erat dengan pengangguran yang disebut
dengan trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran. Dalam teori
tersebut dijelaskan bahwa terdapat hubungan negatif antara pengangguran dan
inflasi, apabila pengangguran tinggi maka inflasi rendah.
Bentuk persamaan inflasi adalah sebagai berikut:
INFt = d0 + d1PDRBt + d2 (UMPR t/UMPRt -1) + d3UN t + d4T
+ d5INFt -1 + U4 ................................................................. (4.10)
dimana:
INFt
= Inflasi tahun t (Persen/tahun)
UMPRt = Rasio Upah Minimum Provinsi riil tahun t (Rp/tahun)
UMPRt-1 = Rasio Upah Minimum Provinsi riil tahun sebelumnya
(Rp/tahun)
UNt
= Pengangguran tahun t (Jiwa)
INFt-1
= Inflasi tahun sebelumnya (Persen/tahun)
= Peubah pengganggu
U4
Diharapkan bahwa d1, d2, > 0; d3, d4 < 0 dan 0 < d5 <1
4.3.6. Pengangguran
Pengangguran berhubungan dengan ketersediaan kesempatan kerja dan
kesempatan kerja berhubungan dengan investasi. Semakin tinggi investasi
terutama investasi PMDN dan PMA yang bersifat padat karya maka diharapkan
semakin banyak menyerap tenaga kerja baru. Semakin banyak tenaga kerja yang
terserap maka jumlah pengangguran dapat menurun.
64
Pengangguran juga berkaitan erat dengan tingkat upah riil. Apabila upah
riil meningkat akan menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja sedangkan
penawaran tenaga kerja meningkat, akibatnya terjadi peningkatan jumlah
pengangguran terpaksa (involuntary unemployment). Sedangkan apabila tingkat
upah turun maka permintaan tenaga kerja meningkat dan penawaran tenaga kerja
rendah, sehingga tenaga kerja bersedia menganggur sampai pada tingkat upah
yang diinginkan (voluntary unemployment). Hubungan ini memerlukan suatu
kondisi pasar tertentu yang belum terjadi di Indonesia, karena jumlah penawaran
tenaga kerja di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan kesempatan kerja
yang ada (Safrida, 1999). Sehingga kenyataan yang terjadi adalah pada tingkat
upah berapapun tenaga kerja di Indonesia khususnya Jawa Timur bersedia untuk
bekerja.
Bentuk dari persamaan pengangguran adalah sebagai berikut:
UNt = e0 + e1PMDNRt + e2(PMARt-PMARt-1) + e3UMPRt-1 + e4T
+ e5UNt-1 + U5 ................................................................... (4.11)
dimana:
= Pengangguran tahun t (Jiwa)
UNt
PMARt = Penanaman Modal Asing riil tahun t (US$ ribu )
PMARt-1 = Penanaman Modal Asing riil tahun sebelumnya
(US$ ribu)
UMPR t-1 = Upah Minimum Provinsi riil tahun sebelumnya
(Rp/tahun)
UNt-1
= Pengangguran tahun sebelumnya (Jiwa)
U5
= Peubah pengganggu
Diharapkan bahwa e1, e2 < 0; e3, e4 > 0 dan 0 < e5 < 1
65
4.4.
Identifikasi Model
Untuk memecahkan model yang bersifat simultan, tahap pertama adalah
melakukan identifikasi model (Koutsoyiannis, 1977). Untuk dapat teridentifikasi,
kondisi berikut harus di penuhi (order condition):
K-M ≥ G-1 ............................................................................................. (4.12)
dimana:
K
M
G
= Total variabel dalam model (variabel endogen
dan predeterminan)
= Jumlah variabel endogen dan eksogen yang dimasukkan
dalam satu persamaan tertentu dalam model
= Jumlah variabel endogen dalam model
Bila K-M = G-1, maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi secara
tepat (exactly identified). Jika K-M < G-1, maka persamaan tersebut tidak
teridentifikasi (under identified), sedangkan jika K-M > G-1, maka persamaan
tersebut teridentifikasi berlebih (over identified).
Model yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri 6 persamaan, yang
terdiri dari 5 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Jumlah variabel
endogen (G) adalah 6 dan 22 variabel predeterminan, yang terdiri dari 15 variabel
eksogen dan 7 variabel bedakala (lagged endogenous variables). Dengan
demikian jumlah seluruh variabel yang tercakup dalam model (K) adalah 28
variabel. Jumlah variabel yang paling banyak dalam persamaan (M) adalah 10
variabel. Berdasarkan rumus identifikasi model dengan kriteria order condition,
maka setiap persamaan model adalah over identified.
4. 5. Pendugaan Parameter Model
Berdasarkan identifikasi model dapat diketahui bahwa masing-masing
persamaan dalam model adalah over identified. Sehingga untuk menduga
66
parameternya dapat dilakukan dengan berbagai metode di antaranya 2SLS (Two
Stage Least Squares), 3SLS (Three Stage Least Squares) dan FIML (Full
Information Maximum Likehood). Metode yang dipilih disesuaikan dengan tujuan
penelitian yaitu untuk memperoleh koefisien persamaan struktural secara
simultan.
Metode 2SLS dipilih untuk menduga model dalam penelitian ini karena
penerapan metode ini menghasilkan taksiran yang konsisten, lebih sederhana dan
lebih mudah, sedangkan metode 3SLS dan FIML lebih rumit, membutuhkan
informasi yang lebih banyak, dan lebih sensitif terhadap kesalahan pengukuran
maupun kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 1999). Pengolahan data untuk
menduga model dilakukan dengen menggunakan program software komputer
Statistical Analysis System atau SAS versi 6.12.
Metode 2SLS dilakukan dengan dua tahap yaitu, pertama menduga setiap
persamaan dengan semua variabel eksogen yang ada dalam model. Sehingga
diperoleh nilai dugaan setiap variabel endogen. Nilai dugaan variabel endogen
dari tahap pertama tersebut selanjutnya dimasukkan sebagai variabel penjelas
(menggantikan nilai aktual variabel tersebut) dalam persamaan-persamaan yang
relevan.
4.6.
Pengujian Hipotesis
Model yang dirumuskan dalam penelitian ini mengandung variabel endogen
bedakala (lagged endogenous variables), maka pengujian korelasi serial dengan
menggunakan Durbin Watson Statistic menjadi tidak valid untuk digunakan. Oleh
karena itu untuk menguji apakah model mengalami korelasi serial atau tidak,
digunakan Durbin-h Statistic (Gujarati,1999) sebagai berikut:
67
h = [ 1- 1 d]
2
n
1 – n [(var α2) ]
.................................................... (4.13)
dimana:
h
d
n
Var α2
=
=
=
=
Nilai Durbin-h satistik
Nilai statistik Durbin-Watson
Jumlah pengamatan
Varians dari koefisien lag endogen variabel
Apabila h yang dihitung lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi
normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi dalam data.
Selanjutnya, untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas atau
eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel
endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk
menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak
terhadap variabel endogen, maka pada setiap persamaan digunakan uji statistik t.
4.7. Validasi Model
Validasi model dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis sejauhmana
model tersebut dapat mewakili dunia nyata. Hal ini berguna untuk mengetahui
apakah model cukup valid untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan atau
non kebijakan dan peramalan.
Kriteria statistik untuk validasi nilai pendugaan model ekonometrika dalam
penelitian ini digunakan ( Pindyck and Rubinfield, 1991) Root Means Squares
Error (RMSE), Root Means Squares Percent Error (RMSPE) dan Theil’s
Inequality Coefficient (U). Kriteria-kriteria dirumuskan sebagai berikut:
RMSE =
1
n
(
n∑ Yt − Yt
t =1
s
)
a 2
................................................................ (4.14)
68
1
RMSPE =
⎛Y s −Y a
n∑ ⎜⎜ t a t
Yt
t =1 ⎝
n
⎞
⎟⎟
⎠
2
....................................................... (4.15)
1
n ∑ Yts − Yta
)
1
1
n
(
2
t =1
U=
n
( )
n∑ Y
t =1
s 2
t
+
n
................................................. (4.16)
( )
n ∑ Yta
2
t =1
dimana:
Yts
Yta
N
=
=
=
Nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
Nilai aktual variabel observasi
Jumlah periode observasi
Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai
peubah endogen hasil pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya
dalam ukuran relatif (persen) atau seberapa dekat nilai dugaan itu mengikuti
perkembangan nilai aktualnya.
Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk mengetahui kemampuan
model untuk analisis simulasi. Nilai koefisien Theil (U) berkisar 1 dan 0. Jika
U=0 maka pendugaan model sempurna, jika U=1 maka pendugaan model naif.
Untuk melihat keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang
disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya (R2). Pada dasarnya makin
kecil nilai RMSPE dan U-Theil’s serta makin besar nilai R2, maka pendugaan
model semakin baik.
4.8.
Simulasi Model
Simulasi dilakukan untuk mengetahui dampak investasi terhadap variabel-
variabel endogen seperti PDRB, inflasi dan pengangguran.
69
Setelah model divalidasi dan memenuhi kriteria secara statistik, maka
model tersebut dapat dijadikan model dasar simulasi. Analisis simulasi diterapkan
untuk periode tahun 1993-2006. Karena mencakup periode yang sudah lampau
maka simulasi ini dinamakan simulasi historis. Namun demikian, hal tersebut
masih cukup relevan untuk mensimulasi dampak investasi terhadap PDRB, inflasi,
pengangguran dan kemiskinan.
Kebijakan yang dilakukan untuk melakukan simulasi adalah kebijakan upah
minimum Provinsi, suku bunga dan kenaikan investasi baik PDMN maupun
PMA. Beberapa skenario kebijakan yang disimulasi adalah:
1. Peningkatan investasi PMDN sebesar 15 persen
2. Peningkatan investasi PMA sebesar 15 persen
3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 18 persen
4. Peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen
5. Kombinasi (1) dan (2)
6. Kombinasi (1) dan (3)
7. Kombinasi (1) dan (4)
8. Kombinasi (2) dan (3)
9. Kombinasi (2) dan (4)
10. Kombinasi (3) dan (4)
Pemilihan kenaikan investasi PMDN dan PMA sebesar 15 persen
didasarkan pada target pertumbuhan investasi nasional sebesar 15.5 persen untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi 6.8 persen pada tahun 2008 yang disampaikan
70
oleh Menko Perekonomian Boediono (Kompas, 2007) 1 . Sedangkan pemilihan
kenaikan UMP sebesar 18 persen dan suku bunga 1.5 persen didasarkan pada tren
atau pertumbuhan UMP dan suku bunga sebesar 18.09 persen dan 1.52 persen.
4.9. Definisi Operasional
1. Perubahan kapital diproksi dari data realisasi investasi PMDN dan PMA baik
realisasi proyek awal maupun perluasan dari tahun 1980-2006.
2. Data realisasi investasi adalah data kegiatan investasi yang direalisasikan oleh
perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha Tetap dalam bentuk kegiatan
nyata yang sudah menghasilkan produksi barang atau jasa.
3. PDRB adalah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh unit-unit
produksi di Provinsi Jawa Timur selama satu tahun atas dasar harga konstan
(tahun 2000=100).
4. Penduduk Usia Kerja (PUK) adalah penduduk berusia 15 tahun ke atas.
Penduduk ini dapat dikelompokkan kedalam 2 golongan, yaitu mereka yang
termasuk dalam Angkatan Kerja dan mereka yang Bukan Angkatan Kerja.
5. Angkatan Kerja (AK) adalah PUK yang selama seminggu sebelum
pencacahan mempunyai pekerjaan baik yang bekerja atau sementara tidak
bekerja, termasuk yang tidak mempunyai pekerjaan dan mencari pekerjaan.
6. Tenaga kerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud
memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan paling
sedikit selama 1 jam dalam seminggu lalu. Bekerja selama satu jam tersebut
harus dilakukan berturut-turut dan tidak terputus.
1
Kompas. 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar: Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum
Tertangani. Rabu, 16 Mei 2007, Halaman 1 dan 15. Kompas, Jakarta.
71
7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) digunakan untuk melihat
perbandingan jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja (umur 15
tahun ke atas). Dengan melihat TPAK dapat ditunjukkan perbandingan
presentase penduduk yang telah dan siap untuk terlibat dalam kegiatan
ekonomi.
Jumlah Angkatan Kerja
TPAK =
Jumlah Penduduk Usia Kerja (15+)
x 100 ..................... (4.17)
8. Tingkat Kesempatan Kerja (TKK) adalah perbandingan antara pendudk usia
kerja yang bekerja, baik sedang bekerja atau sementara sedang tidak bekerja
dengan total penduduk usia kerja yang termasuk dalam angkatan kerja.
Jumlah Tenaga Kerja
TKK =
x 100 ................................ (4.18)
Jumlah Angkatan Kerja
9. Tingkat Pengangguran terbuka (TPT) adalah perbandingan antara penduduk
usia kerja yang tidak mempunyai pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan
dengan total penduduk usia kerja yang termasuk ke dalam angkatan kerja.
Jumlah Pencari Kerja
TPT =
x 100 ............................... (4.19)
Jumlah Angkatan Kerja
V. ANALISIS EKONOMETRIKA DAMPAK INVESTASI TERHADAP
KINERJA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR
5.1. Analisis Umum Pendugaan Model
Dalam proses spesifikasi, model yang digunakan dalam penelitian ini telah
mengalami beberapa modifikasi karena adanya ketidakkonsistenan hasil dugaan
dengan teori.
Hasil pendugaan parameter model memberikan nilai koefisian determinasi
(R2) pada masing-masing persamaan cukup besar yaitu berkisar antara 0.64
hingga 0.98. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas di dalam
model dapat menjelaskan variasi setiap variabel endogen secara baik. Pada setiap
persamaan, variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap
variabel endogen yang ditunjukkan oleh nilai F berkisar antara 4.619 sampai
dengan 234.735 yang lebih besar dari F tabel yaitu antara 3.68 dan 4.045 dengan
α=0.01. Selain itu, variabel endogen di dalam persamaan juga dipengaruhi secara
nyata oleh sebagian besar variabel-variabel penjelas secara individu pada taraf
nyata (α) 0.05, 0.10, 0.15 dan 0.20.
Tanda parameter dugaan yang sesuai dengan harapan dan berdasarkan teori
maupun logika ekonomi menjadi orientasi utama dalam penelitian ini. Harapan
tersebut terpenuhi pada semua parameter hasil dugaan. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa model cukup baik dan dapat digunakan untuk melakukan
analisis Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian di Jawa Timur.
5.2. Hasil Pendugaan Model
Berikut ini disajikan hasil pendugaan model persamaan simultan dengan
nilai R2, statistik DW, nilai p dari statitik uji-t dan elastisitas jangka pendek
maupun jangka panjang.
73
5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto
Hasil pendugaan parameter persamaan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik Regional
Bruto
Variabel
Parameter
Dugaan
- Intercept
-22 714
- Penanaman Modal
Dalam Negeri Riil (PMDNR)
0.002
- Perubahan Penanaman Modal
Asing Riil (PMAR1)
0.013
- Perubahan Tenaga Kerja
(TK1)
32 247
- Dummy Otda
19 371
- Tren Waktu (T)
2 040.919
- Produk Domestik Regional
Bruto Tahun Sebelumnya
0.642
(LPDRB)
R2 = 0.9867; Fhitung = 234.735; Dw = 1.736
t-hitung
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek
Panjang
1.553**
0.049
0.137
1.606**
-
-
0.132
2.268****
1.603**
-
-
3.677****
-
-
Keterangan:
****
**
:
:
nyata pada taraf α=5 persen
nyata pada taraf α=15 persen
Hasil pendugaan parameter persamaan PDRB menunjukkan bahwa 98.67
persen variasi variabel-variabel PMDN riil, perubahan PMA riil, perubahan
tenaga kerja, dummy Otda, tren waktu, dan PDRB tahun sebelumnya dapat
menjelaskan dengan baik variasi variabel PDRB Jawa Timur. Sisanya sebesar
1.33 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model.
Variabel endogen di dalam persamaan PDRB dipengaruhi secara nyata oleh
variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf α=0.01 yang
ditunjukkan oleh nilai statistik F= 234.74 yang lebih besar dari F tabel yaitu 3.87.
Berdasarkan hasil pendugaan parameter model dapat diketahui nilai dugaan
parameter PMDNR bernilai positif yaitu sebesar 0.003 dan berpengaruh nyata
pada taraf α=15 persen. Hal ini berarti dengan adanya kenaikan PMDN sebesar
74
Rp 1 juta, akan menyebabkan kenaikan PDRB sebesar 0.003 milyar ceteris
paribus. Jadi semakin tinggi PMDNR maka semakin tinggi pula PDRB Jawa
Timur. Selain PMDNR, Perubahan PMA riil juga berpengaruh positif dan nyata
terhadap PDRB dengan nilai koefisien sebesar 0.013.
Hasil temuan tersebut serupa dengan yang diteliti Machmud (2002), Susanti
(2003) dan Panjaitan (2004) yang menyatakan bahwa investasi berpengaruh
positif terhadap PDRB. Walaupun di dalam penelitian Machmud dan Panjaitan
tidak dilakukan disagregasi investasi. Dampak positif investasi terhadap PDRB
tersebut erat kaitannya dengan peran investasi dalam meningkatkan laju
pertumbuhan dan tingkat pendapatan, memperluas kesempatan kerja dan
mendorong kemajuan teknologi. Hal serupa yang dinyatakan BKPM (2005)
bahwa peran PMA secara makro adalah meningkatkan kegiatan investasi nasional
dan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, variabel dummy Otda juga berpengaruh positif terhadap PDRB.
Hal ini disebabkan dengan adanya otonomi daerah memungkinkan daerah untuk
menambah penerimaannya dari dana bagi hasil dan DAU. Dengan bertambahnya
penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk
keperluan rutin maupun pembangunan. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar
akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan
transaksi ekonomi yang bermuara pada meningkatnya PDRB atau pendapatan
masyarakat
Variabel tren waktu sebagai representasi teknologi juga mempunyai
hubungan yang positif dengan PDRB dan berpengaruh secara nyata pada taraf
α=15 persen. Sehingga seiring dengan berjalannya waktu dan teknologi yang
75
berkembang diharapkan dapat meningkatkan output perekonomian yang berarti
pula dapat meningkatkan PDRB Jawa Timur. Atau dengan kata lain peningkatan
PDRB ini diakibatkan peningkatan dari sisi penawaran agregat (supply side)
Variabel lain yang berpengaruh terhadap PDRB adalah variabel bedakala
PDRB. Hal ini menunjukkan bahwa PDRB memerlukan tenggang waktu yang
cukup lama untuk kembali pada keseimbanganya akibat perubahan variabel
ekonomi dan non ekonomi.
Untuk variabel perubahan tenaga kerja, walaupun berdampak positif
terhadap PDRB dan tandanya sesuai dengan harapan, tetapi berdasarkan hasil uji t
diketahui bahwa variabel perubahan tenaga kerja memperlihatkan respon yang
tidak nyata.
5.2.2. Penanaman Modal Dalam Negeri
Dari hasil pendugaan persamaan PMDN yang tercantum dalam Tabel 12,
diketahui bahwa sebesar 64.24 persen variasi variabel-variabel perubahan PDRB,
perubahan suku bunga riil, perubahan upah minimum provinsi riil, produksi listrik
yang dibangkitkan tahun sebelumnya, pajang jalan, tren waktu, dan PMDN riil
tahun sebelumnya dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel PMDN.
Sisanya sebesar 35.76 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model ini.
Variabel endogen dalam persamaan PMDN dipengaruhi secara nyata oleh
variabel-variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf α=0.01 yang
ditunjukkan oleh nilai statistik F sebesar 4.619 yang lebih besar dari F tabel yaitu
sebesar 3.77.
Berdasarkan hasil pendugaan parameter, maka variabel perubahan PDRB
mempunyai hubungan yang positif (62.436) terhadap PMDN dan nyata pada taraf
76
α=10 persen. Ini berarti bahwa kenaikan perubahan PDRB sebesar Rp 1 milyar
akan mengakibatkan kenaikan PMDN sebesar Rp 62.436 juta ceteris paribus.
Hasil tersebut sesuai dengan temuan Hidayatullah (2003) yang menyatakan bahwa
Investasi domestik di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi salah satunya oleh
PDRB.
Tabel 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal Dalam
Negeri
Variabel
- Intercept
- Perubahan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB1)
- Perubahan Suku Bunga Riil
(IRR1)
- Rasio Upah Minimum
Provinsi Riil per Tenaga kerja
dengan Total Upah (UMPR1)
- Produksi Listrik
yang
Dibangkitkan Tahun
Sebelumnya (LLIS)
- Perubahan Panjang Jalan
(JLN1)
- Tren Waktu (T)
- Penanaman Modal Dalam
Negeri Riil Tahun
Sebelumnya (LPMDNR)
R2 = 0.642; Fhitung = 4.619; Dw = 1.863
Parameter Dugaan
10 973 977
62.436
-21 092
-1.31E+14
0.215
4 912.249
-198 945
0.477
t-hitung
1.398
1.739***
-0.379
-1.357*
1.104
1.309*
-1.107
2.694****
Keterangan :
****
:
nyata pada taraf α=5 persen
***
:
nyata pada taraf α=10 persen
*
:
nyata pada taraf α=20 persen
Upah merupakan salah satu komponen biaya produksi. Oleh sebab itu
adanya kenaikan upah dapat menurunkan investasi. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan hasil pendugaan variabel rasio upah minimum propinsi riil per tenaga
kerja dengan total upah mempunyai hubungan yang negatif dan nyata pada taraf
α=15 persen. Hasil temuan penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Panjaitan (2004) yang menyatakan bahwa investasi di daerah dipengaruhi secara
negatif dan nyata oleh tingkat upah. Selain itu, hasil ini juga sejalan dengan apa
77
yang dinyatakan Salvatore (1997) bahwa para pengusaha Jepang pada akhir-akhir
ini banyak merelokasikan atau memindahkan pusat-pusat produksi mobilnya di
berbagai negara, khususnya di Kawasan Asia Timur dan Tenggara. Penyebabnya
adalah tingginya biaya produksi khususnya tenaga kerja di Jepang sehingga
menjadikan kegiatan produksi domestik di sektor tersebut relatif mahal dan
kurang efisien.
Salah satu komponen daya dukung investasi adalah ketersediaan
infrastruktur dalam hal ini panjang jalan. Tersedianya jalan yang memadai dapat
menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor sehingga dapat
meningkatkan minat investor untuk berinvestasi. Dengan adanya jalan akan
memudahkan transportasi dan distribusi bahan baku dan output yang dihasilkan .
Variabel panjang jalan dalam penelitian ini mempunyai mempunyai hubungan
yang positif terhadap PMDN dengan nilai dugaan sebesar 4 912.249 dan nyata
pada taraf α=20 persen. Oleh karena itu, apabila panjang jalan
mengalami
kenaikan sebesar 1 Km2 maka PMDN meningkat sebesar Rp 4 912.249 juta
ceteris paribus. Temuan tersebut sesuai dengan hasil studi Masitoh (2007) yang
menyatakan bahwa infrastruktur berpengaruh positif terhadap PMDN di
Indonesia.
Selain itu, perkembangan PMDN Jawa Timur juga dipengaruhi oleh variabel
bedalaka atau besarnya PMDN tahun sebelumnya dengan taraf nyata α=20 persen.
Ini berarti terdapat tenggang waktu yang relatif lambat bagi PMDN Jawa Timur
untuk menyesuaikan diri kembali pada tingkat keseimbangannya. Dalam hal ini
PMDN relatif tidak stabil.
78
Dari hasil uji t diketahui bahwa variabel suku bunga riil, produksi listrik
yang dibangkitkan dan tren waktu memperlihatkan respon yang tidak nyata,
walaupun tanda masing-masing variabel sesuai dengan harapan.
5.2.3. Penanaman Modal Asing
Hasil pendugaan parameter persamaan Penanaman Modal Asing (PMA)
seperti yang tercantum dalam Tabel 13, menunjukkan bahwa sebesar 79.21 persen
variasi variabel-variabel PDRB tahun sebelumnya, suku bunga riil, nilai tukar riil,
upah minimum provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan,
dummy Otda, tren waktu, dan PMA riil tahun sebelumnya dapat menjelaskan
dengan baik variasi variabel PMA. Sisanya sebesar 20.79 persen dijelaskan oleh
variabel lainnya di luar model.
Tabel 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal Asing
Variabel
- Intercept
- Produk Domestik Regional
Bruto Tahun Sebelumnya (LPDRB)
- Suku Bunga Riil (IRR)
- Nilai Tukar Riil (ERR)
- Upah Minimum Provinsi Riil
(UMPR)
- Produksi Listrik yang Dibangkitkan
(LIS)
- Panjang Jalan (JLN)
- Dummy Otda
- Tren Waktu (T)
- Penanaman Modal Asing Riil
Tahun Sebelumnya (LPMAR)
2
R = 0.7921 ; Fhitung = 6.774; Dw = 2.025
Keterangan :
****
:
nyata pada taraf α=5 persen
***
:
nyata pada taraf α=10 persen
*
:
nyata pada taraf α=20 persen
Parameter
Dugaan
-3 277 834
0.007
-23 869
-122.073
t-hitung
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek Panjang
-0.999
0.001
-2.055****
-1.938***
-0.157
-0.599
0.023
1084.014
732 797
35 863
0.309
0.686
1.064
1.355*
0.543
1.092
-1.539
-1.913
-2.226
-2.768
-
-
79
Variabel endogen di dalam persamaan PMA dipengaruhi secara nyata oleh
variabel penjelas secara bersama-sama pada taraf α=0.01 yang ditunjukkan oleh
nilai statistik F=6.774 yang lebih besar dari F tabel yaitu 3.68.
Dari hasil pendugaan parameter, PMA dipengaruhi secara nyata oleh suku
bunga riil , nilai tukar riil, dan dummy Otda.
Suku bunga riil mempunyai hubungan yang negatif dan nyata pada taraf
α=5 persen dalam mengurangi PMA dengan nilai dugaan sebesar -23 869. Artinya
peningkatan suku bunga riil sebesar 1 persen, maka akan menurunkan PMA
sebesar US$ 23 869 ribu ceteris paribus, dengan respon yang elastis baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang yaitu sebesar -1.539 dan -2.226. Nilai
elastisitas yang elastis tersebut menunjukkan bahwa perubahan suku bunga
membawa perubahan yang cukup besar terhadap PMA. Karena keuntungan yang
diharapkan dari investasi akan menurun dengan cepat apabila terjadi kenaikan
suku bunga. Hal ini sesuai dengan teori investasi yang menyatakan bawa suku
bunga riil mempunyai hubungan yang terbalik dengan investasi. Selain itu temuan
ini serupa dengan hasil penelitian Hidayatulah (2003) yang menyatakan bahwa
investasi asing di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi oleh tingkat suku bunga
Indonesia.
Sama halnya dengan suku bunga riil, nilai tukar riil juga mempunyai
hubungan yang negatif dengan PMA, dengan nilai parameter dugaan sebesar
-122.073. Hal ini berarti bahwa peningkatan nilai tukar riil sebesar Rp 1 Rp/US$,
maka akan menurunkan PMA sebesar US$ 122.073 ribu ceteris paribus, dengan
respon yang elastis baik dalam jangka pendek (-1.913) maupun jangka panjang
80
(-2.768). Jadi semakin tinggi nilai tukar maka PMA akan semakin menurun.
Temuan ini serupa dengan hasil penelitian Hidayatullah (2003) yang menyatakan
bahwa investasi asing (PMA) di Kawasan Timur Indonesia dipengaruhi salah
satunya oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS.
Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap PMA adalah Dummy Otda.
Dummy Otda dalam penelitian ini dianggap representasi efisiensi atau kemudalan
dalam pelayanan perijinan investasi. Otonomi daerah dapat mendorong
kepercayaan investor akan adanya peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan
dalam pengurusan perijinan investasi contohnya dengan pelaksanaan pelayanan
perijinan satu atap dalam satu hari (one day service) oleh kabupaten/kota di Jawa
Timur. Kemudahan tersebut diharapkan dapat mendorong investor untuk
berinvestasi. Hal ini dapat ditunjukkan dari hasil dugaan persamaan PMA bahwa
otonomi daerah mempunyai hubungan yang positif dengan PMA dengan nilai
dugaan sebesar 732 797. Yang artinya dengan adanya otonomi daerah dapat
meningkatkan PMA sebesar US$ 732 797 ribu, ceteris paribus. Temuan ini juga
sejalan dengan hasil penelitian Ferdiyan (2006) yang menyebutkan bahwa
otonomi daerah berpengaruh positif terhadap PMDN maupun PMA di Jawa Barat.
Berdasarkan hasil uji t
dapat
diketahui bahwa variabel PDRB tahun
sebelumnya, upah minimum provinsi riil, produksi listrik yang dibangkitkan,
panjang jalan, tren waktu dan PMA riil tahun sebelumnya menunjukkan respon
yang tidak nyata, meskipun tanda dari masing-masing variabel tersebut
merupakan tanda yang diharapkan. Variabel bedakala yang tidak berpengaruh
nyata terhadap PMA menunjukkan bahwa terdapat tenggang waktu yang relatif
cepat bagi PMA untuk kembali pada tingkat keseimbangannya.
81
Selain itu variabel produksi listrik yang dibangkitkan dan panjang jalan yang
tidak berpengaruh terhadap PMA disebabkan bahwa sebagian besar lokasi PMA
dekat dengan pelabuhan baik laut dan udara dan dekat dengan pusat kota yaitu
Surabaya. Hal ini didukung dari hasil studi BPM Jatim dan UNAIR (2004) bahwa
penyebaran proyek-proyek PMA tidak merata dan sebagian besar berada di
Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan. Hal ini sedikit berbeda dengan PMDN
yang penyebarannya relatif lebih merata, walaupun senagian besar tetap berada di
Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan dan Gresik. Wilayah yang tidak dimasuki PMDN
adalah wilayah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan sedangkan yang tidak
dimasuki PMA adalah Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi,
Magetan, Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang.
5.2.4. Inflasi
Hasil pendugaan parameter persamaan inflasi, seperti yang tercantum dalam
Tabel 14, memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 66.54 persen.
Hal ini menunjukkan bahwa variasi variabel-variabel PDRB, upah minimum
provinsi riil, pengangguran tahun sebelumnya, tren waktu dan inflasi tahun
sebelumnya dapat menjelaskan sebesar 66.54 persen keragaman variabel inflasi di
Jawa Timur. Sisanya sebesar 33.46 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar
model.
Inflasi dipengaruhi oleh variabel penjelas secara bersama-sama dan nyata
pada taraf α=0.01 yang ditunjukkan oleh nilai statistik F hitung=7.953 yang lebih
besar dari F tabel yaitu 4.045.
Inflasi secara nyata dipengaruhi oleh PDRB, tren waktu, dan inflasi tahun
sebelumnya. Nilai masing-masing dugaan parameternya adalah 0.0001, -1.012,
82
dan 0.898. Sehingga apabila terjadi kenaikan PDRB sebesar 1 miliar rupiah akan
meningkatkan inflasi sebesar 0.0001 persen ceteris paribus. Hal tersebut bisa
terjadi karena dengan meningkatnya PDRB menyebabkan meningkatnya daya beli
masyakat. Peningkatan daya beli mendorong peningkatan konsumsi yang berarti
meningkatnya permintaan akan barang dan jasa. Apabila peningkatan tersebut
tidak dapat diimbangi oleh penawaran maka yang terjadi adalah naiknya harga
barang dan jasa sehingga mengakibatkan terjadinya inflasi. Atau dengan kata lain
peningkatan inflasi tersebut disebabkan oleh meningkatnya permintaan agregat.
Respon inflasi terhadap PDRB adalah elastis, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang dengan nilai elastisitas sebesar 2.405 persen dan 23.68 persen. Ini
berarti bahwa PDRB mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap inflasi.
Tabel 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Inflasi
Variabel
- Intercept
- Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB)
- Rasio Upah Minimum Provinsi Riil
Tahun t dengan Tahun Sebelumnya
(UMPR2)
- Pengangguran Tahun t (UN)
- Tren Waktu (T)
- Inflasi Tahun Sebelumnya (LINF)
R2 = 0.6654 ; ; Fhitung = 7.953; Dw = 1.516
Keterangan:
****
:
Parameter
Dugaan
t-hitung
-4.118
-0.750
0.0002
2.572****
0.207
-0.000
-1.012
0.898
0.056
-0.883
-2.355****
2.625****
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek Panjang
2.405
23.68
-
-
nyata pada taraf α = 5 persen
Selanjutnya, seiring dengan berjalannya waktu atau perkembangan
teknologi, inflasi mempunyai kecenderungan menurun. Karena dengan adanya
teknologi maka diharapkan output yang dihasilkan semakin bertambah sehingga
dapat mengimbangi naiknya permintaan sebagai akibat dari kenaikan PDRB.
Apabila permintaan dapat diimbangi oleh penawarannya maka tingkat harga
diharapkan dapat turun sehingga inflasi juga turun.
83
Selain itu, besarnya inflasi saat ini juga dipengaruhi oleh inflasi tahun
sebelumnya atau laju inflasi saat ini ditentukan oleh laju inflasi tahun sebelumnya.
Hal ini berkaitan dengan proses penyesuaian upah. Umumnya upah ditetapkan
sebelum pekerjaan dilakukan. Upah biasanya ditentukan berdasarkan upah
nominal atau upah menurut nilai rupiahnya. Dalam beberapa kasus tertentu, upah
ditentukan untuk jangka waktu tiga tahun ke depan dan kasus lainnya upah
disesuaikan atau ditentukan setahun sekali. Pada penyesuaian upah ini inflasi yang
diharapkan masuk ke dalam upah. Oleh karena inflasi mendasari penetapan upah
maka upah yang ditetapkan setiap periode yang berturut- turut akan lebih tinggi
dari yang ditetapkan sebelumnya. Tuntutan kenaikan upah ini mengakibatkan
perusahaan meningkatkan harga outputnya (Syafrida, 1999).
Variabel rasio upah minimum provinsi riil tahun t dengan tahun sebelumnya
dan pengangguran berdasarkan uji t menunjukkan respon yang tidak nyata,
walaupun tanda dari masing-masing variabel tersebut telah sesuai dengan harapan.
5.2.5. Pengangguran
Hasil pendugaan parameter persamaan pengangguran menunjukkan bahwa
sebesar 90.55 persen variasi variabel-variabel PMDN riil, perubahan PMA riil,
upah minimum provinsi riil tahun sebelumnya, tren waktu, dan pengangguran
tahun sebelumnya dapat menjelaskan dengan baik variasi variabel Pengangguran.
Sisanya sebesar 9.45 persen dijelaskan oleh variabel lainnya di luar model. Hasil
pendugaan parameter persamaan pengangguran secara lengkap dapat dilihat
dalam Tabel 15.
84
Variabel pengangguran dipengaruhi secara nyata oleh variabel penjelas
secara bersama-sama pada taraf α = 0.01 yang ditunjukkan oleh nilai statistik F =
38.346 yang lebih besar dari F tabel yaitu 4.045.
Tabel 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran
Variabel
- Intercept
- Penanaman Modal Dalam Negeri Riil
(PMDNR)
- Perubahan Penanaman Modal Asing Riil
(PMAR1)
- Upah Mimimun Provinsi Riil Tahun
Sebelumnya (LUMPR)
- Tren Waktu (T)
- Pengangguran Tahun Sebelumnya
(LPDRB)
R2 = 0.9055 ; Fhitung = 38.346; Dw = 1.963
Parameter
Dugaan
t-hitung
36560
0.473
-0.057
-1.805***
-0.014
-0.086
0.033
0.321
24447
0.644
Elastisitas
Jangka
Jangka
Pendek Panjang
-0.202
-0.568
1.599**
-
-
3.295****
-
-
Keterangan:
****
***
**
:
:
:
nyata pada taraf α=5 persen
nyata pada taraf α=10 persen
nyata pada taraf α=15 persen
Peran penting investasi dalam hal ini PMDN selain meningkatkan
pertumbuhan ekonomi juga menciptakan lapangan kerja baru. Oleh karena itu,
dengan adanya peningkatan PMDN maka lapangan kerja baru yang tercipta makin
besar. Penciptaan lapangan kerja ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah orang
yang bekerja sehingga dapat mengurangi pengangguran. Peran PMDN dalam
mengurangi pengangguran terebut tercermin dari nilai dugaan PMDN riil sebesar
-0.057. Artinya apabila ada peningkatan PMDN riil sebesar 1 juta rupiah, maka
akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.057 jiwa ceteris paribus.
Sehingga untuk menurunkan tingkat pengangguran 57 jiwa, maka diperlukan
PMDN sebesar Rp 1 milyar. Dengan respon tidak elastis dalam jangka pendek
dan cukup elastis dalam jangka panjang. Jadi apabila terdapat kenaikan PMDN
sebesar 1 persen akan menurunkan jumlah pengangguran sebesar 0.202 persen
dalam jangka pendek dan 0.568 persen dalam jangka panjang.
85
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pengangguran adalah tren waktu dan
ekspektasi jumlah pengangguran tahun sebelumnya. Variabel tren waktu sebagai
representasi
teknologi
yang
berhubungan
positif
dengan
pengangguran
menunjukkan bahwa semakin maju teknologi yang digunakan maka semakin
besar jumlah pengangguran. Karena dengan adanya teknologi terutama yang
menggunakan mesin dan komputer maka tenaga kerja manusia yang digunakan
makin sedikit, sehingga jumlah pengangguran makin bertambah. Sedangkan
variabel pengangguran tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata terhadap
pengangguran menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang relatif lama bagi
variabel pengangguran untuk kembali pada tingkat keseimbangannya.
Berdasarkan uji t diketahui bahwa variabel perubahan PMA riil tahun
sebelumnya dan rasio upah minimum provinsi riil tahun t dengan tahun
sebelumnya tidak berpengaruh nyata terhadap pengangguran, walaupun tanda dari
masing-masing variabel sesuai dengan harapan.
5.3. Sintesis Terhadap Hasil Analsisis Ekonometrika Dampak Investasi
Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
Pertumbuhan ekonomi dapat bersumber dari pertumbuhan permintaan
agregat (agregat demand/AD) dan atau pertumbuhan penawaran agregat (agregat
supply/AS). Demikian halnya dengan pertumbuhan ekonomi atau PDRB Jawa
Timur juga bersumber dari sisi permintaan dan penawaran agregat. Komponen
PDRB Jawa Timur terdiri dari PMDN, PMA, Dummy otonomi Daerah, tren waktu
dan PDRB sebelumnya. Dengan meningkatnya PMDN dan PMA maka dapat
mendorong peningkatan output dalam perekonomian dalam arti akan menggeser
supply barang dan jasa ke kanan. Pertambahan output tersebut tentunya akan
berakibat
pada
meningkatnya
PDRB.
Peningkatan
PDRB
dari
sisi
86
supply/penawaran ini lebih baik daripada peningkatan dari sisi permintaan karena
tidak akan memicu inflasi atau kenaikan harga seperti halnya peningkatan yang
diakibatkan oleh sisi permintaan seperti yang terlihat pada Gambar 11 dan 12.
Oleh karena itu pertumbuhan yang bersumber pada Agregat Demand harus
diimbangi oleh peningkatan dari sisi Agregat Supply. Dengan demikian maka
inflasi/harga dapat menurun sedangkan pendapatan atau PDRB tetap meningkat
(Gambar 13).
P
AS0
AD
AS1
P0
P1
0
Y0
Y1
Y
Gambar 11. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva Penawaran Agregat
Sumber: Tambunan (2006)
P
AS0
P1
AD1
P0
AD0
0
Y0
Y1
Y
Gambar 12. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva Permintaan Agregat
Sumber: Tambunan (2006)
87
Inflasi di Jawa Timur bersumber dari kenaikan permintaan agregat oleh
sebab itu harus diupayakan untuk mengimbangi peningkatan permintaan tersebut
dengan meningkatkan supply. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan
meningkatkan PMDN dan PMA di Jawa Timur. Selama ini perkembangan PMDN
dan PMA di Jawa Timur belum memenuhi harapan karena terbentur dengan
beberapa kendala, yaitu kondisi politik dan keamanan yang belum sepenuhnya
stabil, belum terwujudnya good governance, lemahnya jaminan dan kepastian
hukum, adanya peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses
pelaksanaan otonomi daerah (BPM Jatim dan UNAIR, 2004), terbatasnya
informasi investasi bagi para investor, menurunnya kondisi infrastruktur dan
belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007).
Padahal banyak sekali potensi Jawa Timur yang belum dikembangkan diantaranya
potensi sumberdaya alam (kehutanan, pertanian, perkebunan, bahan-bahan
tambang, perikanan laut, dan sumber daya minyak dan gas bumi yang potensial)
dan potensi industri.
AS0
1
P1
2
P2
AS1
P0
AD1
AD0
0
Y0
Y1 Y2
Gambar 13. Pertumbuhan Yang Bersumber Pada AD Harus Diimbangi Oleh
Peningkatan AS
88
Potensi industri yang dapat dikembangkan untuk mengasilkan produk yang
mempunyai daya saing baik di pasar lokal, nasional dan internasonal adalah
(1) industri perhiasan di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang, Mojokerto,
Lamongan, Pasuruan, Lumajang, Nganjuk, Pamekasan, Banyuwangi, Bangkalan,
Ponorogo dan Pacitan, (2) industri kulit dan produk kulit di Kabupaten Sidoarjo,
Mojokerto, dan Magetan, (3) industri makanan Di Kota Surabaya, Sidoarjo,
Kediri, Malang, Batu, Jombang, Pasuruan, Gresik, Lamongan, Banyuwangi,
Pacitan, Jember dan Lumajang, (4) industri aromatik dan (5) supporting
industries.
Sarana dan prasarana yang telah dan akan dilakukan oleh pemerintah
Provinsi Jatim untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor di antaranya
adalah (1) pembangunan jembatan Suramadu, (2) pasar induk agribisnis Jemundo
di Kabupaten Sidoarjo, (3) pembangunan kawasan khusus perhiasan di Juanda, (4)
pembangunan jalan tol: Waru-Mojokerto, Gempol-Bangil-Pasuruan dan tol tengah
kota Surabaya, (5) terminal peti kemas dan pelabuhan laut di Tanjung Bumi atau
Sepulu Kabupaten Bangkalan-Madura, (6) pembangunan kawasan ekonomi
terpadu di Arosbaya, Kabupaten Bangkalan-Madura, (7) pembangunan jalan lintas
selatan yang mencakup 8 kabupaten dan (8) merealisasikan ring road Surabaya
timur hingga jembatan Suramadu ( BPM Jatim Dan UNAIR, 2004).
Upaya yang lain yang dilakukan Pemprov Jatim untuk menarik investor
adalah: melakukan efisiensi birokrasi terutama dalam hal pelayaan perijinan
investasi dengan menyelenggarakan pelayanan satu atap dalam sehari (one day
service). Dengan kemudahan ini diharapkan banyak investor yeng tertarik untuk
berinvestasi di Jawa Timur.
89
Dampak lain dari perkembangan PMDN dan PMA yang belum memenuhi
harapan adalah rendahnya lapangan kerja baru yang tercipta sehingga hanya
sedikit pencari kerja yang terserap. Sedikitnya jumlah tenaga kerja yang bekerja
akan menyebabkan jumlah pengangguran di Jawa Timur semakin meningkat.
Namun, apabila dibandingkan antara PMDN dan PMA maka PMDN lebih
berperan untuk mengurangi pengangguran. Hal ini disebabkan: (1)
Proyek-
proyek PMDN lokasinya lebih tersebar sehingga banyak pencari kerja di
Kabupaten di luar Surabaya mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendapatkan pekerjaan dengan pencari kerja di Surabaya dan sekitarnya, serta (2)
Proyek PMDN relatif padat karya dibandingkan dengan PMA. Seperti yang telah
diuaraikan pada sub bab 2.2. bahwa industri pengolahan makanan dan tekstil yang
relatif banyak menyerap tenaga kerja menduduki peringkat kedua dan kelima
dalam PMDN sedangkan di PMA kedua bidang usaha tersebut menduduki urutan
ketiga dan keenam. Jadi dapat dikatakan bahwa selama ini proyek PMA lebih
bersifat padat modal daripada PMDN.
Tingkat upah memang mempunyai kedudukan yang strategis bagi pekerja,
pengusaha dan pemerintah. Akan tetapi di Jawa Timur upah tidak dapat
digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi pengangguran. Karena tingginya
angka pengangguran maka pada tingkat upah berapapun para pekerja tetap mau
bekerja. Keadaan tersebut didukung oleh pernyataan Ritongga (2005) yang
menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dari 17 provinsi yang sudah menetapkan
UMP-nya, DKI Jakarta mencatat UMP tertinggi yaitu Rp 819 100 dan Jawa
Timur sebesar Rp 390 000 yang merupakan UMP terendah. Dengan keadaan
UMP yang rendah tersebut di satu sisi menyiratkan tingginya pengangguran dan
90
di sisi lain menunjukkan bahwa pada tingkat upah berapapun tenaga kerja di Jatim
mau bekerja. Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan oleh Pemprov Jatim
untuk menekan pengangguran adalah dengan meningkatkan PMDN dan PMA
terutama yang bergerak dalam bidang usaha yang relatif padat karya seperti
industri pengolahan makanan, industri tekstil dan perdagangan. Peningkatan
PMDN dapat dilakukan dengan menyediakan infrastruktur yang memadai yaitu
jalan dan menetapkan upah minimum provinsi secara hati-hati. Sedangkan untuk
PMA adalah melalui eifisiensi pelayanan perijinan investasi dengan melakukan
one day service di seluruh wilayah Jawa Timur.
91
VI. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN
ALTERNATIF KEBIJAKAN
6.1. Validasi Model
Simulasi dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai
skenario kebijakan ekonomi dan faktor-faktor lainnya terhadap kinerja
perekonomian Jawa Timur periode tahun 1993-2006. Kinerja perekonomian Jawa
Timur tercermin dalam tiga indikator ekonomi yaitu PDRB, inflasi dan
pengangguran.
Simulasi dirancang dalam 4 skenario awal yaitu peningkatan PMDN, PMA,
peningkatan upah minimum provinsi dan peningkatan suku bunga. Selain itu juga
dilakukan 6 skenario simulasi lainnya yang merupakan kombinasi kebijakankebijakan pada skenario awal tersebut.
Sebelum melakukan simulasi, terlebih dahulu dilakukan validasi model.
Validasi ini untuk mengetahui kualitas model dalam menduga perilaku data aktual
yang digunakan. Indikator validasi statistik yang digunakaan adalah Root Mean
Square Percent Error (RMSPE) dan Statistik Theil’s inequality coefficient (U).
RMSPE digunakan untuk mengukur persentase penyimpangan nilai dugaan dari
nilai aktualnya selama periode pengamatan, sedangkan statistik U-Theil
digunakan untuk mengevaluasi kemampuan model bagi analisis simulasi dalam
hal ini adalah simulasi historis (ex-post simulation).
Hasil validasi menunjukkan bahwa dari 6 persamaan yang membentuk
model, terdapat 4 persamaan yang memiliki nilai RMSPE di bawah 50 persen dan
2 persamaan memiliki nilai RMSPE antara 50 persen sampai 100 persen. Artinya
nilai prediksi dapat mengikuti kecenderungan data historisnya dengan baik.
92
Sedangkan berdasarkan nilai U-Theil, semua persamaan memiliki nilai U-Theil di
bawah 0.2. Artinya bahwa simulasi model mengikuti data aktualnya dengan baik.
Hasil validasi secara lengkap dapat dilihatpada tabel 16.
Tabel 16. Hasil
Validasi Model Dampak
Perekonomian Jawa Timur
Variabel
Endogen
PMDNR
PDRB
PMAR
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Mean %
Error
4.116
18.440
22.449
24.887
0.393
0.156
RMS %
Error
6.714
33.304
61.135
52.402
18.044
0.996
Bias
(UM)
0.387
0.333
0.017
0.144
0.024
0.024
Investasi
Terhadap
Reg
(UR)
0.003
0.207
0.004
0.009
0.006
0.043
Dist
(UD)
0.610
0.460
0.979
0.847
0.970
0.932
Kinerja
U
0.028
0.117
0.139
0.161
0.080
0.005
Berdasarkan semua kriteria yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa model yang dibangun mempunyai daya ramal yang cukup
valid atau layak untuk melakukan simulasi berbagai skenario kebijakan yang
dirancang sebelumnya.
6.2.
Hasil Simulasi Kebijakan Ekonomi Terhadap Kinerja Perekonomian
Jawa Timur Periode Tahun 1998-2006
6.2.1. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri Sebesar 15 Persen
Berdasarkan hasil studi BPM Jatim dan UNAIR (2004) diketahui bahwa
realisasi investasi baik PMDN maupun PMA di Jawa Timur selama kurun waktu
tahun 2001-2004 hanya sepertiga dari yang seharusnya. Padahal PMDN dan PMA
merupakan sarana penting dalam mendukung peningkatan PDRB dan penyerapan
tenaga kerja. Oleh karena itu, skenario pertama yang dilakukan adalah melakukan
simulasi terhadap kebijakan peningkatan PMDN sebesar 15 persen dan skenario
kedua melakukan peningkatan PMA sebesar 15 persen.
Hasil simulasi pada Tabel 17 menunjukkan bahwa peningkatan PMDN
sebesar 15 persen akan menstimulasi kenaikan PDRB Jawa Timur sebesar 0.012
93
persen. Peningkatan PDRB ini akan meningkatkan daya beli masyarakat.
Peningkatan daya beli tersebut akan mendorong meningkatnya permintaan barang
dan jasa. Apabila besarnya permintaan tersebut tidak diimbangi oleh
penawarannya maka akan terjadi kenaikan harga-harga barang dan jasa atau
terjadi inflasi. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila inflasi Jawa Timur juga
akan mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya PDRB. Di sisi lain,
PMDN yang meningkat akan mendorong peningkatan kebutuhan tenaga kerja
baru, sehingga kebutuhan jumlah tenaga kerja di Jawa Timur meningkat sebesar
0.003 persen dan pengangguran menurun sebesar 0.053 persen.
Tabel 17. Hasil Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing
Variabel Endogen
PDRB
PMDN
PMA
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi
Dasar
PMDN
Naik 15%
194 060
4 463 617
517 814
11.5936
942 843
16 770 331
194083
517 814
11.5996
942 342
16 770 832
Perubahan
(%)
0.012
0.000
0.052
-0.053
0.003
PMA
Naik 15%
194 916
4 518 980
11.7534
938 678
16 774 495
Perubahan
(%)
0.441
1.240
1.378
-0.442
0.025
6.2.2. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar 15 Persen
Simulasi kebijakan peningkatan PMA sebesar 15 persen akan menstimuasi
peningkatan PDRB Jawa Timur sebesar 0.441 persen, dan sekaligus mendorong
peningkatan inflasi di Jawa Timur sebesar 1.378 persen, seperti yang tercantum
dalam Tabel 17. Dengan meningkatnya PMA diharapkan akan terjadi peningkatan
penciptaan lapangan kerja baru. Sehingga dengan adanya lapangan kerja baru
tersebut akan meningkatkan kebutuhan jumlah tenaga kerja sebesar 0.25 persen
dan menurunkan pengangguran sebesar 0.442 persen.
94
6.2.3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen
Dalam kegiatan ekonomi, upah merupakan salah satu komponen biaya
produksi. Oleh karena itu, peningkatan UMP akan menurunkan investasi.
Simulasi kebijakan peningkatan UMP sebesar 18 persen akan mengakibatkan
penurunan investasi PMDN sebesar 2.082 persen dan PMA sebesar 15.795 persen
atau sebesar US$ 81 788.72 ribu. Prosentase penurunan PMA yang relatif lebih
besar daripada PMDN menunjukkan bahwa upah merupakan salah satu faktor
yang menentukan atau berpengaruh dalam perkembangan PMA daripada PMDN.
Investasi yang menurun di satu sisi akan menurunkan output yang dihasilkan
dalam perekonomian yang berarti juga dapat menurunkan PDRB dan di sisi lain
akan menurunkan kesempatan kerja. Penurunan kesempatan kerja ini akan
menyebabkan permintaan tenaga kerja di Jawa Timur berkurang sebesar 0.135
persen dan jumlah pengangguran meningkat sebesar 2.400 persen atau 22 628
jiwa. Hasil simulasi peningkatan upah minimum provinsi secara lengkap dapat
dilihat dalam Tabel 18.
6.2.4. Peningkatan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen
Suku bunga berkaitan erat dengan kegiatan investasi. Suku bunga yang
meningkat akan mengurangi minat investor untuk melakukan investasi atau
dengan kata lain akan menurunkan investasi. Oleh karena itu, kebijakan
peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen akan menyebabkan PMDN menurun
sebesar 0.042 persen dan PMA menurun sebesar 0.486 persen atau sebesar
US$ 2 516.576 ribu. Sama halnya dengan simulasi kebijakan peningkatan upah
minimum provinsi sebesar 18 persen, dampak kenaikan suku bunga 1.5 persen
95
juga relatif lebih dirasakan oleh PMA. Ini ditunjukkan dengan prosentase
penurunan PMA yang relatif lebih besar daripada PMDN.
Dengan adanya penurunan investasi tersebut akan berdampak pada
penurunan PDRB sebesar 0.020 persen.
Tabel 18. Hasil Simulasi Peningkatan Upah Minimum dan Suku Bunga
Variabel Endogen
PDRB
PMDN
PMA
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi
Dasar
194 060
4 463 617
517 814
11.594
942 843
16 770 331
UMP
Naik 18%
192739
4370666
436023
11.282
965 469
16 747 705
Perubahan
(%)
-0.681
-2.082
-15.795
-2.689
2.400
-0.135
Suku Bunga
Naik 1.5%
194 021
4 461 728
515 295
11.5867
942 951
16 770 223
Perubahan
(%)
-0.020
-0.042
-0.486
-0.060
0.011
-0.001
Selain itu, penurunan PMDN maupun PMA juga mempunyai dampak pada
berkurangnya tenaga kerja yang diserap. Hal ini akan menyebabkan permintaan
tenaga kerja berkurang sebesar 0.001 persen dan pengangguran meningkat sebesar
0.011 persen. Hasil simulasi selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 18.
6.2.5. Kombinasi Kebijakan
Simulasi-simulasi terdahulu merupakan simulasi untuk melihat pengaruh
perubahan salah satu faktor terhadap model. Sementara simulasi - simulasi berikut
ini dilakukan untuk melihat pengaruh kombinasi beberapa faktor atau kebijakan
terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur.
6.2.5.1. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman
Modal Asing Masing-Masing Sebesar 15 Persen
Krisis ekonomi tahun 1998 telah menyebabkan kehancuran dunia usaha
Indonesia tidak terkecuali di Jawa Timur. Kondisi ketidakpastian disertai berbagai
hambatan strutural lainnya, masih membuat investor enggan menanamkan
modalnya di Jawa Timur. Padahal investasi swasta terutama PMDN dan PMA
96
sangat dibutuhkan untuk menggerakkan sektor riil agar mampu mengatasi
masalah penganggguran dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Tabel 19. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam
Negeri dan Penanaman Modal Asing
Variabel Endogen
PDRB
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi Dasar
194 060
11.594
942 843
16 770 331
PMDN naik 15% dan
PMA naik 15 %
194 788
11.721
941 351
16 771 823
Perubahan
(%)
0.375
1.101
-0.158
0.009
Berdasarkan hasil simulasi pada Tabel 19, dapat diketahui bahwa kombinasi
kebijakan peningkatan PMDN dan PMA sebesar 15 persen akan mendorong
terciptanya peningkatan output dalam kegiatan ekonomi. Output yang meningkat
akan menyebabkan terjadinya peningkatan PDRB Jawa Timur sebesar 0.375
persen. Peningkatan PDRB akan menstimulasi peningkatan daya beli masyarakat
sehingga inflasi akan meningkat sebesar 1.101 persen. Selain peningkatan output,
adanya peningkatan PMDN dan PMA akan mengakibatkan peningkatan jumlah
tenaga kerja yang diserap. Hal ini menyebabkan kenaikan jumlah tenaga kerja
yang bekerja sebesar 0.009 persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.158
persen.
6.2.5.2. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri sebesar 15 Persen
dan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen
Hasil simulasi kombinasi kebijakan penigkatan PMDN sebesar 15 persen
dan upah minimum provinsi sebesar 18 persen akan menurunkan PDRB Jawa
Timur sebesar 0.537 persen dan mengakibatkan penurunan PMA sebesar 15.795
persen. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa PMA relatif peka terhadap
perubahan upah, sehingga dengan kenaikan upah minimum provinsi akan
menyebabkan penurunan PMA yang cukup besar yaitu sebesar US$ 81 788.72
97
ribu. Kombinasi penurunan PMA dan PDRB akan menyebabkan penurunan
inflasi sebesar 2.086 persen.
Tabel 20. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam
Negeri dan Upah Minimum Provinsi
Variabel Endogen
PDRB
PMA
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi Dasar
194 060
517 814
11.594
942 843
16 770 331
PMDN Naik 15 % dan
UMP Naik 18 %
193 017
436 023
11.3517
959 640
16 753 534
Perubahan
(%)
-0.537
-15.795
-2.086
1.782
-0.100
Dampak lain yang ditimbulkan dari penurunan PMA adalah menurunnya
kesempatan kerja sehingga mendorong kenaikan pengangguran sebesar 1.782
persen. Hasil simulasi secara lengkap dapat dilihat dalam Tabel 20.
6.2.5.3. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri Sebesar 15 Persen
dan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen
Kombinasi kebijakan peningkatan PMDN sebesar 15 persen dan suku bunga
sebesar 1.5 persen seperti yang tercantum dalam Tabel 21, akan menurunkan
PMA sebesar 0.486 persen. Hal ini dikarenakan investasi dan suku bunga
mempunyai hubungan yang terbalik sehingga dengan meningkatnya suku bunga
akan menyebabkan menurunnya investasi. Pada simulasi ini, ternyata dampak
penurunan PMA relatif besar terhadap PDRB. Sehingga walaupun PMDN naik
sebesar 15 %, tetapi PDRB turun sebesar -0.006 persen.
Tabel 21. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal
Negeri dan Suku Bunga
Variabel Endogen
PDRB
PMA
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi Dasar
194 060
517 814
11.594
942 843
16 770 331
PMDN Naik 15 % dan
Suku Bunga Naik 1.5 %
194 049
515 295
11.5939
942 342
16 770 832
Dalam
Perubahan
(%)
-0.006
-0.486
0.003
-0.053
0.003
98
Di samping menurunnya PDRB, dampak lain dari penurunan PMA adalah
menurunnya output perekonomian. Apabila permintaan output lebih besar dari
penawarannya maka akan mengakibatkan kenaikan harga output yang dapat
mendorong naiknya inflasi sebesar 0.003 persen.
Pengaruh kenaikan PMDN lebih terlihat pada tenaga kerja, dengan naiknya
PMDN maka tenaga kerja yang terserap meningkat sebesar 0.003 persen sehingga
pengangguran turun sebesar 0.053 persen atau sebesar 499 jiwa.
6.2.5.4. Peningkatan Penanaman Modal Asing sebesar 15 Persen dan Upah
Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen
Hasil simulasi kombinasi kebijakan peningkatan PMA sebesar 15 persen dan
UMP sebesar 18 persen ini, mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan
PDRB Jawa Timur sebesar 0.449 persen yang sekaligus juga
meningkatkan
inflasi sebesar 0.784 persen.
Tabel 22. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Asing dan
Upah Minimum Provinsi
Variabel Endogen
PDRB
PMDN
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi Dasar
194 060
4 463 617
11.594
942 843
16 770 331
PMA Naik 15 % dan
UMP Naik 18 %
194 931
4 511731
11.6845
956 392
16 756 782
Perubahan
0.449
1.078
0.784
1.437
-0.081
Di sisi lain, kenaikan upah yang tinggi menyebabkan biaya produksi
meningkat dan pada akhirnya permintaan tenaga kerja akan berkurang. Hasil
simulasi menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja berkurang sebesar 0.081 persen
yang berdampak pada meningkatnya pengangguran sebesar 1.437 persen. Akan
tetapi peningkatan UMP tersebut tidak terlalu mempengaruhi PMDN, sehingga
PMDN meningkat sebesar 1.078 persen. Hasil simulasi secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 22.
99
6.2.5.5. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar 15 Persen dan Suku
Bunga Sebesar 1.5 Persen
Pada Tabel 23, dapat diketahui bahwa kombinasi kebijakan peningkatan
PMA sebesar 15 persen dan suku bunga sebesar 1.5 persen mempunyai dampak
positif terhadap peningkatan PDRB Jawa Timur sebesar 0.442 persen. Akan
tetapi, seiring dengan peningkatan PDRB tersebut inflasi juga meningkat sebesar
1.383 persen.
Dampak positif lainnya sebagai akibat kenaikan PMA adalah meningkatnya
jumlah tenaga kerja yang terserap sebesar 0.025 persen dan menurunkan
pengangguran sebesar 0.446 persen.
Tabel 23. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal Asing dan
Suku Bunga
Variabel
Endogen
PDRB
PMDN
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi Dasar
194 060
4 463 617
11.594
942 843
16 770 331
PMA Naik 15 % dan
Suku Bunga Naik 1.5 %
194 918
4 519 734
11.7539
938 635
16 774 539
Perubahan
(%)
0.442
1.257
1.383
-0.446
0.025
6.2.5.6. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen dan Suku
Bunga Sebesar 1.5 Persen
Simulasi peningkatan UMP sebesar 18 persen dan suku bunga sebesar 1.5
persen akan mempengaruhi pos biaya produksi, sehingga berdampak langsung
pada menurunnya PMA dan PMDN masing-masing sebesar 16.282 persen atau
setara dengan US$ 6638.375 ribu dan 2.125 persen. Penurunan PMA dan PMDN
tersebut selain mempunyai dampak terhadap PDRB di satu sisi juga berdampak
pada penyerapan tenaga kerja di sisi lain. Oleh karena itu, dengan menurunnya
PMA dan PMDN akan menyebabkan penurunan PDRB Jawa Timur sebesar 0.701
persen dan penurunan jumlah tenaga kerja yang diserap sebesar 0.136 persen.
100
Berkurangnya tenaga kerja yang terserap tersebut mengakibatkan meningkatnya
pengangguran sebesar 2.411 persen. Hasil simulasi secara lengkap dapat dilihat
pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Upah Minimum Provinsi dan
Suku Bunga
Variabel Endogen
PDRB
PMDN
PMA
Inflasi
Pengangguran
Tenaga Kerja
Simulasi Dasar
194 060
4 463 617
517 814
11.594
942 843
16 770 331
UMP Naik 18 % dan
IR Naik 1.5 %
192 700
4 368 778
433 504
11.275
965 577
16 747 597
Perubahan
(%)
-0.701
-2.125
-16.282
-2.750
2.411
-0.136
6.3. Studi Komparasi Peranan Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan peranan PMDN
dan PMA terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur yang tercermin dalam tiga
indikator ekonomi yaitu PDRB, inflasi dan pengangguran.
Untuk membandingkan peran investasi PMDN dan PMA dapat dilakukan
dengan cara membandingkan hasil simulasinya terhadap PDRB, inflasi dan
pengangguran.
Tabel 25. Perbandingan Hasil Simulasi PMDN dan PMA Terhadap PDRB,
Inflasi dan Pengangguran
Simulasi
%
PMDN
Naik 15 %
PMA
Naik 15 %
Rp
Milyar
PDRB
Rp
%
Milyar
Perubahan
Inflasi
Perubahan
%
(%)
Pengangguran
%
Jiwa
651.94
0.012
1 940.60
0.052
0.58
-0.053
47 142
566. 99
0.441
85 386.40
1.376
15.99
-0.442
416 736
Pada Tabel 25, dapat diketahui bahwa pada saat PMDN dinaikkan sebesar
15 persen maka akan menstimulasi kenaikan PDRB sebesar 0.012 persen yang
menyebabkan naiknya inflasi sebesar 0.052 persen dan dampak penting lainnya
yaitu menurunnya pengangguran sebesar 0.053 persen.
101
Selanjutnya apabila PMA yang ditingkatkan 15 persen maka PDRB akan
meningkat menjadi 0.441 persen, yang akhirnya memicu kenaikan inflasi sebesar
1.376 persen. Di sisi lain kenaikan PMA tersebut mendorong terciptanya lapangan
kerja baru sehingga jumlah pengangguran turun sebesar 0.442 persen.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak kenaikan PMA
sebesar 15 persen relatif lebih besar daripada kenaikan PMDN. Karena dengan
naiknya PMA dapat mendorong kenaikan PDRB dan penurunan pengangguran
yang relatif lebih besar daripada PMDN yaitu sebesar 0.441 persen atau setara
dengan Rp 85 386, 40 milyar dan 0.442 persen atau setara dengan 416 736 jiwa.
Dengan memperhatikan kemampuan PMA untuk mengurangi pengangguran yang
relatif lebih besar maka selanjutnya pengembangan PMA perlu diarahkan kepada
usaha-usaha yang relatif padat karya seperti bidang usaha perdagangan dan tekstil.
Selama ini kedua bidang usaha tersebut telah diminati oleh PMA, tetapi
berdasarkan urutannya masih di bawah industri kimia dan barang logam.
Kemudian, apabila dikaitkan dengan target pertumbuhan investasi nasional
sebesar 15.5 persen untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6.8 persen
pada tahun 2008 yang disampaikan oleh Menko Perekonomian Boediono 2 maka
dapat dinyatakan bahwa peningkatan investasi baik PMDN maupun PMA di Jawa
Timur sebesar 15 persen belum mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 6.8
persen seperti yang diperkirakan oleh pemerintah pusat. Hal ini ditandai dengan
relatif rendahnya kenaikan PDRB akibat kenaikan PMDN atau PMA sebesar 15
persen atau dengan kata lain peran investasi dalam pembentukan PDRB relatif
2
Kompas. 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar: Hambatan Pengembangan Sektor Riil Belum
Tertangani. Rabu, 16 Mei 2007, Halaman 1 dan 15. Kompas, Jakarta.
102
rendah. Pernyataan ini didukung dengan data dari BPS Jatim Tahun 2006 yang
menyebutkan bahwa investasi baru menyumbang 37.46 persen dari total PDRB
atas harga berlaku sebesar Rp 469.23 trilyun. Sebaliknya sektor konsumsi
mempunyai peran yang cukup besar yaitu dengan menyumbang sekitar 60 persen
dari total PDRB.
6.4. Implikasi Kebijakan
Berdasarkan hasil pendugaan parameter dapat diketahui bahwa PDRB
dipengaruhi PMDN riil, perubahan PMA, dummy otonomi daerah, tren waktu dan
PDRB tahun sebelumnya. PMDN dipengaruhi oleh Perubahan PDRB, rasio UMP
riil per tenaga kerja dengan total upah, perubahan panjang jalan dan PMDN riil
tahun sebelumnya. Selanjutnya PMA dipengaruhi oleh suku bunga riil, nilai tukar
riil dan dummy otonomi daerah (Otda). Sedangkan apabila berdasarkan hasil
simulasi diketahui bahwa peningkatan PMDN dan PMA masing-masing sebesar
15 persen mempunyai dampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap
pengangguran, walaupun dampak PMA relatif lebih besar daripada PMDN.
Oleh karena itu, berdasarkan hasil dugaan parameter dan hasil simulasi
maka implikasi kebijakan yang dapat diambil adalah mengembangkan investasi
PMDN dan PMA untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau PDRB. Upayaupaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan PMDN adalah (1) menyediakan
infrastruktur yang memadai khususnya panjang jalan. Jalan mempunyai peran
yang sangat penting baik dalam proses produksi maupun dalam menunjang
distribusi komoditi dan ekspor. Adanya fasilitas transportasi memungkinkan
orang, barang dan jasa diangkut dari satu tempat ke tempat lain dalam satu
propinsi maupun dalam satu negara bahkan antar negara dan (2) menetapkan
103
besarnya upah minimum provinsi secara hati-hati dan bijaksana sehingga
kepentingan pekerja dan pengusaha dapat terlindungi.
Secara umum upah mempunyai kedudukan yang strategis bagi diri pekerja
dan keluarganya, bagi perusahaan dan bagi kepentingan nasional. Bagi pekerja,
upah merupakan salah satu sarana utama untuk meningkatkan kesejahteraan diri
dan keluarganya. Jadi besar kecilnya upah yang diterima pekerja, di satu sisi
berpengaruh langsung terhadap perubahan kesejahteraan hidup dan terhadap daya
beli pekerja itu sendiri. Bagi perusahaan upah mempengaruhi biaya produksi.
Semakin tinggi upah yang harus dibayarkan maka semakin tinggi pula biaya
produksi yang harus ditanggung perusahaan, sehingga pada akhirnya dapat
berpengaruh terhadap harga produk yang dijual dan dapat menurunkan investasi.
Sedangkan bagi pemerintah, upah merupakan sarana pemerataan pendapatan dan
peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, keseimbangan upah
dengan kebutuhan hidup pekerja maupun dengan kemajuan perusahaan perlu
dijaga dan dikondisikan (Syafrida, 1999). Dengan adanya otonomi daerah
diharapkan pemerintah daerah dapat mewujudkan kondisi tersebut. Sehingga
kebijakan upah ini dapat menjadi salah satu sarana untuk menarik investor.
Selanjutnya, upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan PMA
adalah meningkatkan efisiensi birokrasi perijinan investasi akibat adanya otonomi
daerah. Walaupun saat ini Pemprov Jatim telah melaksanakan pelayanan satu atap
dalam sehari (one day service), akan tetapi belum semua daerah melakukannya.
Masih tersisa 20 persen wilayah di Jawa Timur yang belum melakukan kebijakan
tersebut (Dinas Informasi dan Komunikasi Jatim, 2007). Oleh sebab itu perlu
diupayakan agar pelaksanaan pelayanan satu atap tersebut dapat dilakukan oleh
104
semua wilayah di Jatim, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan investor
dalam menanamkan modalnya dan memperluas kesempatan dalam menarik
investor asing. Karena hasil penelitian membuktikan bahwa dengan adanya
otonomi daerah dapat meningkatkan investasi PMA sebesar US$ 737 797 ribu,
ceteris paribus. Ini menunjukkan bahwa otonomi daerah mampu mendorong
kepercayaan investor akan adanya peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan
dalam pengurusan
ijin investasi. Rekomendasi ini sejalan dengan yang
disampaikan Syafrida (1999) bahwa untuk meningkatkan investasi di Indonesia
baik investasi asing maupun domestik maka pemerintah harus dapat
meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Sebenarnya berdasarkan hasil dugaan parameter perkembangan PMA tersebut
tidak hanya dipengaruhi oleh dummy otonomi daerah tetapi dipengaruhi juga oleh
suku bunga riil dan nilai tukar riil. Akan tetapi karena suku bunga riil dan nilai
tukar riil merupakan kebijakan nasional maka pemerintah daerah tidak berwenang
melakukan perubahan terhadap kebijakan tersebut.
Selain itu, dengan memperhatikan kondisi jumlah pengangguran di Jawa
Timur yang terus meningkat dari waktu ke waktu dengan pertumbuhan sebesar
11.8 persen per tahun dan kemampuan PMA untuk menurunkan pengangguran
yang lebih tinggi daripada PMDN, maka pengembangan PMA lebih diarahkan
kepada proyek-proyek yang padat karya, contohnya di bidang perdagangan dan
tekstil. Pada dasarnya PMA telah malkukan investasi dalam kedua bidang usaha
tersebut tetapi berdasarkan urutannya kedua bidang usaha tersebut masih dibawah
industri kimia dan barang logam. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk
mengembangkan PMA di sektor perdagangan dan industri tekstil yang relatif
105
padat karya dibanding bidang usaha lainnya adalah dengan memberikan insentif
investasi non fiskal, misalnya: insentif lokasi atau penyediaan lokasi oleh
pemerintah daerah.
106
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
1.
Ukuran kinerja perekonomian di Jawa Timur dapat dilihat dari
perkembangan PDRB, inflasi dan pengangguran. Berdasarkan hasil analisis
dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa yang
mempengaruhi perkembangan ketiga variabel ekonomi tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
PDRB dipengaruhi secara nyata oleh PMDN riil, perubahan PMA riil,
dummy Otda, tren waktu dan PDRB tahun sebelumnya. Perkembangan
PMDN dipengaruhi oleh perubahan PDRB, rasio UMP riil per tenaga
kerja dengan total upah, perubahan panjang jalan dan PMDN riil tahun
sebelumnya. Sedangkan perkembangan PMA dipengaruhi oleh suku
bunga riil, nilai tukar riil dan dummy Otda.
b.
Inflasi dipengaruhi secara nyata oleh PDRB dengan respon yang
elastis baik dalam jangka pendek maupun panjang, tren waktu dan laju
infasi tahun sebelumnya. Jadi ekspektasi inflasi turut berperan dalam
mendorong peningkatan laju inflasi di Jawa Timur.
c.
Pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil dengan respon elastis
dalam jangka
pendek,
tren
waktu
dan
pengangguran
tahun
sebelumnya.
2.
Berdasarkan hasil simulasi dapat diketahui bahwa peningkatan PMDN 15
persen mempunyai dampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap
pengangguran yaitu sebesar 0.012 dan -0.053. Dampak yang lain, kenaikan
PDRB tersebut mendorong naiknya inflasi sebesar 0.052 persen. Sedangkan
107
peningkatan PMA 15 persen akan menstimulasi peningkatan PDRB sebesar
0.441 persen yang mendorong naiknya inflasi sebesar 1.378 persen dan
dapat menurunkan pengangguran sebesar 0.442 persen.
3.
Dampak terbesar terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur diperoleh
dengan meningkatkan PMA sebesar 15 persen. Karena dengan kenaikan
PMA tersebut dapat mendorong peningkatan PDRB dan mengurangi angka
pengangguran yang relatif lebih tinggi daripada PMDN.
7.2. Saran
1.
Berdasarkan hasil analisis ekonometrika, hasil simulasi alternatif kebijakan
dan implikasi kebijakan dapat disarankan bahwa pengembangan investasi
PMDN dan PMA perlu dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan mengurangi jumlah pengangguran di Jawa Timur.
2.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengembangkan PMDN adalah
menyediakan infrastruktur yang memadai khususnya panjang jalan dan
menetapkan upah minimum provinsi secara hati-hati sehingga dapat
melindungi kepentingan pekerja dan pengusaha.
3.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendorong peningkatan PMA
adalah meningkatkan efisiensi birokrasi dalam hal perijinan investasi
sebagai akibat pelaksanaan otonomi daerah melalui pelaksanaan pelayanan
satu atap dalam sehari (one day service) di seluruh wilayah di Jawa Timur.
4.
Mengembangkan PMA yang bersifat padat karya (umumnya bergerak di
bidang usaha perdagangan dan industri tekstil) untuk mengurangi jumlah
pengangguran di Jawa Timur dengan cara menyediakan insentif lokasi.
108
5.
Model yang disusun dalam penelitian ini masih dapat terus dikembangkan.
Analisis yang dilakukan sifatnya masih makro regional dan agregat.
Perbaikan dapat dilakukan untuk memperluas sifat penelitian menjadi makro
nasional dan dalam bentuk disagregasi PMDN dan PMA yang lebih rinci
berdasarkan sub sektornya yaitu sektor primer, sekunder dan tersier. Selain
itu, hasil pendugaan parameter model kemungkinan akan semakin tajam
apabila data investasi portofolio (pasar modal) dan investasi non fasilitas
yang dinilai mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perekonomian
disertakan dalam penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, E. 2005. Dampak Investasi Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian dan
Upaya Pengurangan Kemiskinan di Indonesia. Tesis Magister Sains.
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Bahl, R. W. 1998 Fiscal Desentralization and Intergovernmental Relations in
Transitions Economics: Towards A Systematics Framework of
Analysis. The World Bank, Washington, D.C.
BPM Provinsi Jawa Timur dan UNAIR. 2004. Laporan Akhir: Aktualisasi
Pengembangan Bisnis dan Investasi di Jawa Timur. Badan Penanaman
Modal Provinsi Jawa Timur Kerja Sama dengan Universitas
Airlangga, Surabaya.
BPM Provinsi Jawa Timur. 2006. Data Realisasi Investasi Proyek PMDN dan
PMA Tahun 1967-2006. Badan Penanaman Modal Provinsi Jawa
Timur, Surabaya.
BKPM. 2005. Laporan Perkembangan Penanaman Modal Desember 2005. Biro
Perencanaan dan Informasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal,
Jakarta.
BPS Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2004. Analisis
Indikator Makro Provinsi Jawa Timur 2004. Biro Pusat Statistik
Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Surabaya.
BPS Provinsi Jawa Timur. Berbagai Tahun Terbitan. Jawa Timur Dalam Angka.
Biro Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, Surabaya.
BPS. Berbagai Tahun Terbit. Buletin Ringkasan. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur. 2005. Informasi Ketenagakerjaan Jawa Timur
2005. Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, Surabaya.
Dinas Informasi dan Komunikasi Jawa Timur. 2007. Tahun 2008, Investasi di
Jatim Diprediksi Meningkat. www.jatimprov.go.id.
Delong, J. B. 2002. Macroeconomics. Updated Edition. Mc Graw-Hill, New
York.
Dornbusch, R. dan S. Fischer. 1997. Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Keempat.
Erlangga, Jakarta.
Ferdiyan, A. 2006. Analsisis Pengaruh Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan
Investasi di Propinsi Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
110
Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
Haryanto, J. 2005. Analisis Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan
Investasi Pemerintah di Kabupaten Musi Banyuasin. Kajian Ekonomi,
4(1):56-80.
Hidayatullah. 2003. Analisis Penyebaran Investasi Sektor Pertanian di Kawasan
Timur Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Koutsoyiannis, A. 1997. Theory of Econometrics, An Introductory Exposition of
Econometric Methods. Second Edition Herper & Row Publishers, Inc,
Barner & Noble Import Division, New York.
Kompas. 2007. Pertumbuhan Belum Mendasar: Hambatan Pengembangan Sektor
Riil Belum Tertangani, Rabu, 16 Mei 2007, Halaman 1 dan 15.
Kompas, Jakarta.
_______. 2007. Indikator Investasi Belum Mendorong Ekonomi Jatim. Rabu, 27
Juni 2007. www.kompascetak.com.
Mangkoesoebroto, G. dan Algifari. 1998. Teori Ekonomi Makro. Edisi Ketiga.
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.
Martinez, J. V. and M. Robert. 2001. Fiscal Desentralization and Economic
Growth International Studies Program. Working Paper Series No 977. Andrew Youngs Schools of Polycies Studies, Georgia States
University, Georgia.
Machmud, S. 2002. Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera
Selatan. Kajian Ekonomi, 1(1):40-57.
Mankiw, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Terjemahan. Edisi Kelima. Erlangga
Jakarta.
Masitoh, I. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi di
Indonesia. Skripsi Sarjana. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Panjaitan, M., B. M. Sinaga, K. Mudikdjo, R. S. Sinaga dan E. M. Lokollo. 2004.
Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Pertanian Daerah
Sumatera Utara: Pendekatan Ekonometrika. Forum Pascasarjana,
27(1):11-25.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Terjemahan. Erlangga, Jakarta.
Na’im, A. 2001. Akuntansi Inflasi. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi,
Yogyakarta.
111
Pemprov Jatim dan BPS Jatim, 2005. Analisis Indikator Makro Provinsi Jawa
Timur 2005. Pemerintahan Provinsi Jawa Timur, Surabaya.
Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Model and Economic
Forecast, Third Edition. Mc Graw Hill International Editions, New
York.
Putong, I. 2003. Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro. Edisi Kedua. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Riyanto dan H. Siregar. 2005. Dampak Dana Perimbangan terhadap
Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antar Wilayah. Jurnal
Kebijakan Ekonomi, 1(1):15-35.
Safrida. 1999. Dampak Kebijakan Upah Minimum dan Makroekonomi Terhadap
Laju Inflasi, Kesempatan Kerja serta Keragaan Permintaan dan
Penawaran Agregat. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saad, M. 2002. Analisis Perkembangan Investasi Swasta di Subsektor Industri
Makanan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Sukirno, S. 2006. Makroekonomi. Teori Pengantar. Edisi Ketiga. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Susanti, H., M. Ikhsan dan Widyanti. 1995. Indikator-Indikator Makroekonomi.
Edisi Kedua. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas
Indonesia Kerja Sama dengan Lembaga Penelitian Ekonomi dan
Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.
Susanti, E. N. 2003. Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor
Perikanan Terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di
Indonesia. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Tambunan, T. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
. 2006. Iklim Investasi di Indonesia: Masalah, Tantangan dan
Potensi. www.kadin-indonesia.or.id.
Wahyuni, D. 2007. Investasi di Jawa Timur ”Berenang” dalam Lumpur.
www.bisnis.co.id.
Wiranata, S. 2004. Pengembangan Investasi di Era Globalisasi dan Otonomi
Daerah. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 3(12):10-15.
Yudhoyono, S. B. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya
Mengatasi Kemiskinan dan Pangangguran: Analisis Ekonomi-Politik
112
Kebijakan Fiskal. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
114
Lampiran 1. Nama dan Keterangan Variabel-Variabel yang Digunakan
PDRB
=
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun
Dasar 2000 (Rp Milyar)
PMDNR
=
Penanaman Modal Dalam Negeri Riil (Rp Juta)
PMAR
=
Penanaman Modal Asing Riil (US$ Ribu)
INF
=
Inflasi (%)
TK
=
Tenaga Kerja (Jiwa)
AK
=
Angkatan Kerja (Jiwa)
UN
=
Pengangguran (Jiwa)
IRR
=
Suku Bunga Investasi Riil (%)
UMPR
=
Upah Minimum Provinsi Riil (Rp/Thn)
ERR
=
Nilai Tukar Riil (Rp/US$)
LIS
=
Produksi Listrik yang Dibangkitkan (Kwh)
JLN
=
Panjang Jalan (Km)
DD
=
Dummy Otonomi Daerah (Otda)
LPDRB
=
Produk Domestik Regional Bruto Tahun Sebelumnya
(Rp Milyar)
LPMDNR
=
Penanaman Modal Dalam Negeri Riil Tahun Sebelumnya (Rp Juta)
LPMAR
=
Penanaman Modal Asing Riil Tahun Sebelumnya (US$ Ribu)
LINF
=
Inflasi Tahun Sebelumnya (%)
LUN
=
Pengangguran Tahun Sebelumnya (Jiwa)
LLIS
LUMPR
PDRB1
=
=
=
Produksi Listrk yang Dibangkitkan Tahun Sebelumnya (Kwh)
Upah Minimum Provinsi Riil Tahun Sebelumnya (Rp/tahun)
Perubahan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga
Konstan Tahun Dasar 2000 (Rp Milyar)
TK1
=
Perubahan Tenaga Kerja (Jiwa)
UMPR1
=
Rasio Upah Minimum Provinsi Riil Per Tenaga Kerja dengan Total
Upah (Rp/tahun)
UMPR2
=
Rasio UMPR Tahun t dengan Tahun Sebelumnya
PMAR1
=
Perubahan Penanaman Modal Asing Riil (US$ Ribu)
IRR1
=
Perubahan Suku Bunga Investasi Riil (%)
JLN 1
=
Perubahan Panjang Jalan (Km)
T
=
Tren Waktu
Lampiran 2. Data Penelitian Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
TAHUN
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Satuan:
AK
11 559 159
11 766 068
12 990 629
13 223 161
13 459 856
13 571 231
14 996 142
14 875 673
15 577 403
15 669 913
14 729 599
15 903 310
15 843 438
15 980 415
16 853 601
16 358 420
17 007 171
17 157 788
17 554 032
17 865 703
17 515 372
17 828 897
18 179 973
18 097 118
18 822 218
19 298 199
19 465 527
Jiwa
Disnaker
Jatim
UN
162 429
194 968
355 534
394 749
435 169
218 625
270 483
328 306
345 099
349 756
396 320
336 623
354 237
390 646
548 281
787 793
592 893
569 238
720 234
883 478
845 590
904 067
1 168 461
1 571 420
1 447 263
1 629 882
1 502 903
Jiwa
Disnaker
Jatim
IR
12.30
12.30
12.30
12.30
12.30
19.50
18.20
18.70
19.60
19.40
20.30
20.90
19.20
17.10
14.90
15.80
16.42
17.34
23.16
22.93
16.59
17.90
17.82
15.68
14.05
15.43
15.10
%
BPS
UMP
ER
80 325
627
85 025
632
90 000
661
144 000
909
198 000
1 026
228 600
1 111
296 820
1 283
292 680
1 644
325 884
1 686
479 200
1 770
507 240
1 843
739 716
1 950
783 000
2 030
986 289
2 087
1 044 000
2 161
1 245 996
2 249
1 346 400
2 347
1 492 500
2 909
1 773 180
10 014
2 046 000
7 855
2 574 000
8 396
3 179 952
10 247
3 939 900
9 314
4 537 212
8 575
5 446 476
8 933
5 926 200
9 705
6 246 816
9 266
Rp/Thn
Rp/USD
Disnaker
Jatim
IMF
INF
23.31
9.24
9.84
12.10
7.82
4.53
8.48
9.26
6.46
6.73
9.69
9.97
5.28
10.19
8.25
7.98
5.83
9.78
87.60
1.06
9.62
14.10
9.38
3.59
6.24
15.89
6.76
%
BPS
Jatim
115
Sumber:
PDRB
PMA
PMDN
TK
49 477
11 828
162 800 11 396 730
52 799
13 056
57 265 11 571 100
54 048
249
1 102 916 11 396 730
61 926
23 306
43 367 11 571 100
65 709
3 200
284 301 11 748 138
69 257
40 593
70 930 13 352 606
74 150
2 916
297 609 14 725 659
76 798
111 643
225 650 14 547 367
82 087
176 132
564 207 15 232 304
90 261
197 512
1 279 024 15 320 157
98 614
1 079 408
1 526 609 14 333 279
106 338
283 572
2 688 375 15 566 687
111 563
204 034
1 134 264 15 489 201
129 636
2 827 252
516 786 15 589 769
139 487
1 138 436
9 142 788 16 305 320
145 982
3 186 915
2 013 232 15 570 627
157 985
630 311
1 116 134 16 414 278
172 913
393 917
2 261 875 16 588 550
148 130
168 276
263 508 16 833 798
153 567
156 510
689 065 16 982 225
169 669
209 590
1 275 145 16 669 782
206 329
218 117
603 655 16 924 830
210 841
109 735
1 988 739 17 011 512
222 525
33 805
452 725 16 525 698
236 778
16 788
274 288 17 374 955
257 279
706 125
1 318 179 17 668 317
270 951
44 064 155 814 051 17 962 624
Milyar Rp
USD ribu
Rp Juta
Jiwa
2000=100
BPS Jatim
BPM Jatim BPM Jatim Disnaker
Jatim
Lampiran 2. Lanjutan
TAHUN
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Satuan:
BPS Jatim
PNJG JLN
3 228.00
3 228.00
3 232.60
3 243.10
3 243.10
3 243.10
3 417.90
3 417.90
3 528.43
3 525.68
3 451.10
3 622.10
3 622.10
3 622.10
3 622.10
3 654.19
3 24.22
3 624.22
3 716.80
3 731.81
3 731.81
3 338.39
3 338.39
3 338.39
3 338.39
3 338.39
3 338.39
Km
BPS Jatim
IHKJ
IHKA
IHKI
162.20
47.84
12.74
191.24
52.81
14.30
209.53
56.06
15.65
235.95
57.83
17.50
260.21
60.36
19.33
273.28
62.49
20.24
288.31
63.63
21.42
317.20
65.98
23.41
343.27
68.69
25.29
367.99
71.98
26.91
115.91
75.88
29.02
125.72
79.08
31.74
135.64
81.48
34.12
148.83
83.90
37.43
160.75
86.08
40.62
177.08
88.50
44.45
190.16
91.10
47.56
201.44
93.23
50.50
189.10
94.67
79.80
202.29
96.74
96.36
206.35
100.00
100.00
233.90
102.82
111.50
261.45
104.45
124.66
278.74
106.84
133.10
113.68
109.69
141.17
123.74
113.40
155.93
137.08
117.48
176.27
2000=100
2000 = 100 2000=100
BPS Jatim IMF
IMF
T
DD
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
116
Sumber:
LIS
1 410 332.39
1 568 255.74
1 951 058.99
2 317 087.30
2 693 330.28
2 819 181.84
2 920 971.40
3 274 969.41
3 736 158.58
4 280 564.56
9 858 310.32
5 921 050.04
6 955 675.22
6 893 635.01
7 705 015.86
8 380 566.84
9 303 938.72
10 451 712.03
11 662 473.53
11 784 452.86
13 080 024.31
14 366 545.50
15 628 023.53
10 279 353.47
17 062 929.63
18 358 042.86
19 468 061.82
Kwh
117
Lampiran 3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak
Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
dengan Menggunakan Metode 2 SLS
Lampiran 3a. Program Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi
Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
OPTIONS NODATE NONUMBER;
DATA INVEST;
SET ANALISIS;
/*CREATE DATA*/
TK
= AK - UN;
/*MERILKAN DATA NOMINAL*/
PMDNR = (PMDN/IHKJ)*100;
PMAR
= (PMA/IHKJ)*100;
ERR
= ((ER*IHKI)/IHKA);
IRR
= (IR-INF);
UMPR
= (UMP/IHKJ)*100;
/*MEMBUAT VARIABEL LAG*/
LPDRB = LAG(PDRB);
LPMDNR = LAG(PMDNR);
LPMAR = LAG(PMAR);
LINF
= LAG (INF);
LUN
= LAG(UN);
LTK
TK1
TK2
LIRR
IRR1
LUMPR
UMPR1
UMPR2
PDRB1
PMAR1
LJLN
JLN1
LLIS
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
LAG(TK);
(AK/TK);
(TK/LTK);
LAG(IRR);
(IRR/LIRR);
LAG(UMPR);
(UMPR/(UMPR*TK));
(UMPR/LUMPR);
(PDRB-LPDRB);
(PMAR-LPMAR);
LAG(JLN);
(JLN-LJLN);
LAG(LIS);
/*MEMBUAT DESKRIPSI VARIABEL*/
LABEL
PDRB
= 'PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)'
PMDNR
= 'PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)'
PMAR
= 'PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)'
INF
= 'INFLASI(%/TAHUN)'
TK
= 'TENAGA KERJA (JIWA)'
AK
= 'ANGKATAN KERJA (JIWA)'
UN
= 'PENGANGGURAN (JIWA)'
IRR
= 'SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)'
UMPR
= 'UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)'
ERR
= 'NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)'
118
Lampiran 3a. Lanjutan
LIS
= 'PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh)'
JLN
= 'PANJANG JALAN (KM)'
DD
= 'DUMMY OTDA'
DK
= 'DUMMY KRISIS'
LPDRB
= 'PDRB t-1'
LPMDNR = 'PMDNR t-1'
LPMAR
= 'PMAR t-1'
LINF
= 'INFLASI t-1'
LUN
= 'PNGGURAN t-1'
LUMPR
= 'UPAH MIN. PROV RIIL t-1'
LLIS
= 'PENGGUNAAN LISTRIK t-1'
T
= 'TREN WAKTU'
JLN1
= '(JLN-LJLN)'
TK1
= '(AK/TK)'
IRR1
= '(IRR-LIRR)'
UMPR1
= '(UMPR/(UMPR*TK))'
UMPR2
= '(UMPR/LUMPR)'
PDRB1
= '(PDRB-LPDRB)'
PMAR1
= '(PMAR-LPMAR)';
RUN;
PROC SYSLIN 2SLS DATA=INVEST OUTEST=HASIL;
ENDOGENOUS PDRB PMDNR PMAR INF UN TK;
INSTRUMENTS AK IRR ERR UMPR DD LPDRB LPMDNR LPMAR LINF LUN LIS JLN T;
PD_BRUTO: MODEL PDRB
MODAL_DN: MODEL PMDNR
MODAL_AS: MODEL PMAR
INFLASI : MODEL INF
PNGGURAN: MODEL UN
IDENTITY TK = TK+0;
RUN;
=
=
=
=
=
PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB/DW;
PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR/DW;
LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR/DW;
PDRB UMPR2 UN T LINF/DW;
PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN/DW;
119
Lampiran 3b. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi
Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: PD_BRUTO
Dependent variable: PDRB PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
6 107435206984 17905867831
19 1449344769.1 76281303.639
25 108388919948
Root MSE
8733.91686
Dep Mean 137139.30769
C.V.
6.36865
R-Square
Adj R-SQ
F Value
Prob>F
234.735
0.0001
0.9867
0.9825
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
TK1
DD
T
LPDRB
1
1
1
1
1
1
1
-22714
0.002855
0.013466
32247
19371
2040.919344
0.641687
246750
0.001838
0.008383
244484
8541.348619
1273.080545
0.174499
-0.092
1.553
1.606
0.132
2.268
1.603
3.677
0.9276
0.1369
0.1247
0.8965
0.0352
0.1254
0.0016
Variable
DF
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
TK1
DD
T
LPDRB
1
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)
(PMAR-LPMAR)
(AK/TK)
DUMMY OTDA
TREN WAKTU
PDRB t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.736
26
0.120
120
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: MODAL_DN
Dependent variable: PMDNR PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
7 5.6194891E13 8.0278415E12
18 3.1284944E13 1.7380525E12
25 8.7479835E13
Root MSE1318352.17428
Dep Mean3246489.18942
C.V.
40.60855
F Value
Prob>F
4.619
0.0041
R-Square
Adj R-SQ
0.6424
0.5033
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PDRB1
IRR1
UMPR1
LLIS
JLN1
T
LPMDNR
1
1
1
1
1
1
1
1
10973977
62.435934
-21092
-1.305425E14
0.215034
4912.249631
-198945
0.476616
7847676
35.908952
55587
9.6176775E13
0.194741
3753.261625
179736
0.176905
1.398
1.739
-0.379
-1.357
1.104
1.309
-1.107
2.694
0.1790
0.0992
0.7088
0.1915
0.2840
0.2071
0.2829
0.0148
Variable
DF
INTERCEP
PDRB1
IRR1
UMPR1
LLIS
JLN1
T
LPMDNR
1
1
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
(PDRB-LPDRB)
(IRR-LIRR)
(UMPR/(UMPR*TK))
PENGGUNAAN LISTRIK t-1
(JLN-LJLN)
TREN WAKTU
PMDNR t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.863
26
0.069
121
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: MODAL_AS
Dependent variable: PMAR PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
9 2.1899714E12 243330156981
16 574735608292 35920975518
25 2.764707E12
Root MSE 189528.29741
Dep Mean 468568.37564
C.V.
40.44838
F Value
Prob>F
6.774
0.0005
R-Square
Adj R-SQ
0.7921
0.6752
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
LPDRB
IRR
ERR
UMPR
LIS
JLN
DD
T
LPMAR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
-3277834
0.007453
-23869
-122.073270
-0.156605
0.023290
1084.014463
732797
35863
0.308812
3279855
5.380075
11075
62.996321
0.261355
0.033960
1018.380230
540992
65992
0.282848
-0.999
0.001
-2.155
-1.938
-0.599
0.686
1.064
1.355
0.543
1.092
0.3325
0.9989
0.0467
0.0705
0.5574
0.5027
0.3029
0.1944
0.5943
0.2911
Variable
DF
INTERCEP
LPDRB
IRR
ERR
UMPR
LIS
JLN
DD
T
LPMAR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PDRB t-1
SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)
NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)
UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)
PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh)
PANJANG JALAN (KM)
DUMMY OTDA
TREN WAKTU
PMAR t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
2.025
26
-0.045
122
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: INFLASI
Dependent variable: INF INFLASI(%/TAHUN)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
C Total
5
20
25
323.83925
162.87702
471.84834
Root MSE
Dep Mean
C.V.
2.85374
9.28846
30.72353
F Value
Prob>F
64.76785
8.14385
7.953
0.0003
R-Square
Adj R-SQ
0.6654
0.5817
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PDRB
UMPR2
UN
T
LINF
1
1
1
1
1
1
-4.118334
0.000167
0.207020
-0.000004036
-1.011961
0.898440
5.490376
0.000064850
3.699452
0.000004571
0.429708
0.342271
-0.750
2.572
0.056
-0.883
-2.355
2.625
0.4619
0.0182
0.9559
0.3877
0.0288
0.0162
Variable
DF
INTERCEP
PDRB
UMPR2
UN
T
LINF
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)
(UMPR/LUMPR)
PENGANGGURAN (JIWA)
TREN WAKTU
INFLASI t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.516
26
0.131
123
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: PNGGURAN
Dependent variable: UN PENGANGGURAN (JIWA)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
5 4.6255483E12 925109659096
20 482504085907 24125204295
25 4.9656558E12
Root MSE 155322.90332
Dep Mean 674693.00000
C.V.
23.02127
R-Square
Adj R-SQ
F Value
Prob>F
38.346
0.0001
0.9055
0.8819
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
LUMPR
T
LUN
1
1
1
1
1
1
36560
-0.057318
-0.013849
0.033121
24447
0.644506
77320
0.031750
0.161121
0.103328
15291
0.195581
0.473
-1.805
-0.086
0.321
1.599
3.295
0.6414
0.0861
0.9324
0.7519
0.1255
0.0036
Variable
DF
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
LUMPR
T
LUN
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)
(PMAR-LPMAR)
UPAH MIN. PROV RIIL t-1
TREN WAKTU
PNGGURAN t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.963
26
0.010
117
Lampiran 3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak
Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
dengan Menggunakan Metode 2 SLS
Lampiran 3a. Program Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi
Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
OPTIONS NODATE NONUMBER;
DATA INVEST;
SET ANALISIS;
/*CREATE DATA*/
TK
= AK - UN;
/*MERILKAN DATA NOMINAL*/
PMDNR = (PMDN/IHKJ)*100;
PMAR
= (PMA/IHKJ)*100;
ERR
= ((ER*IHKI)/IHKA);
IRR
= (IR-INF);
UMPR
= (UMP/IHKJ)*100;
/*MEMBUAT VARIABEL LAG*/
LPDRB = LAG(PDRB);
LPMDNR = LAG(PMDNR);
LPMAR = LAG(PMAR);
LINF
= LAG (INF);
LUN
= LAG(UN);
LTK
TK1
TK2
LIRR
IRR1
LUMPR
UMPR1
UMPR2
PDRB1
PMAR1
LJLN
JLN1
LLIS
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
LAG(TK);
(AK/TK);
(TK/LTK);
LAG(IRR);
(IRR/LIRR);
LAG(UMPR);
(UMPR/(UMPR*TK));
(UMPR/LUMPR);
(PDRB-LPDRB);
(PMAR-LPMAR);
LAG(JLN);
(JLN-LJLN);
LAG(LIS);
/*MEMBUAT DESKRIPSI VARIABEL*/
LABEL
PDRB
= 'PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)'
PMDNR
= 'PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)'
PMAR
= 'PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)'
INF
= 'INFLASI(%/TAHUN)'
TK
= 'TENAGA KERJA (JIWA)'
AK
= 'ANGKATAN KERJA (JIWA)'
UN
= 'PENGANGGURAN (JIWA)'
IRR
= 'SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)'
UMPR
= 'UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)'
ERR
= 'NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)'
118
Lampiran 3a. Lanjutan
LIS
= 'PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh)'
JLN
= 'PANJANG JALAN (KM)'
DD
= 'DUMMY OTDA'
DK
= 'DUMMY KRISIS'
LPDRB
= 'PDRB t-1'
LPMDNR = 'PMDNR t-1'
LPMAR
= 'PMAR t-1'
LINF
= 'INFLASI t-1'
LUN
= 'PNGGURAN t-1'
LUMPR
= 'UPAH MIN. PROV RIIL t-1'
LLIS
= 'PENGGUNAAN LISTRIK t-1'
T
= 'TREN WAKTU'
JLN1
= '(JLN-LJLN)'
TK1
= '(AK/TK)'
IRR1
= '(IRR-LIRR)'
UMPR1
= '(UMPR/(UMPR*TK))'
UMPR2
= '(UMPR/LUMPR)'
PDRB1
= '(PDRB-LPDRB)'
PMAR1
= '(PMAR-LPMAR)';
RUN;
PROC SYSLIN 2SLS DATA=INVEST OUTEST=HASIL;
ENDOGENOUS PDRB PMDNR PMAR INF UN TK;
INSTRUMENTS AK IRR ERR UMPR DD LPDRB LPMDNR LPMAR LINF LUN LIS JLN T;
PD_BRUTO: MODEL PDRB
MODAL_DN: MODEL PMDNR
MODAL_AS: MODEL PMAR
INFLASI : MODEL INF
PNGGURAN: MODEL UN
IDENTITY TK = TK+0;
RUN;
=
=
=
=
=
PMDNR PMAR1 TK1 DD T LPDRB/DW;
PDRB1 IRR1 UMPR1 LLIS JLN1 T LPMDNR/DW;
LPDRB IRR ERR UMPR LIS JLN DD T LPMAR/DW;
PDRB UMPR2 UN T LINF/DW;
PMDNR PMAR1 LUMPR T LUN/DW;
119
Lampiran 3b. Hasil Estimasi Model Ekonometrika Dampak Investasi
Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: PD_BRUTO
Dependent variable: PDRB PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
6 107435206984 17905867831
19 1449344769.1 76281303.639
25 108388919948
Root MSE
8733.91686
Dep Mean 137139.30769
C.V.
6.36865
R-Square
Adj R-SQ
F Value
Prob>F
234.735
0.0001
0.9867
0.9825
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
TK1
DD
T
LPDRB
1
1
1
1
1
1
1
-22714
0.002855
0.013466
32247
19371
2040.919344
0.641687
246750
0.001838
0.008383
244484
8541.348619
1273.080545
0.174499
-0.092
1.553
1.606
0.132
2.268
1.603
3.677
0.9276
0.1369
0.1247
0.8965
0.0352
0.1254
0.0016
Variable
DF
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
TK1
DD
T
LPDRB
1
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)
(PMAR-LPMAR)
(AK/TK)
DUMMY OTDA
TREN WAKTU
PDRB t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.736
26
0.120
120
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: MODAL_DN
Dependent variable: PMDNR PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
7 5.6194891E13 8.0278415E12
18 3.1284944E13 1.7380525E12
25 8.7479835E13
Root MSE1318352.17428
Dep Mean3246489.18942
C.V.
40.60855
F Value
Prob>F
4.619
0.0041
R-Square
Adj R-SQ
0.6424
0.5033
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PDRB1
IRR1
UMPR1
LLIS
JLN1
T
LPMDNR
1
1
1
1
1
1
1
1
10973977
62.435934
-21092
-1.305425E14
0.215034
4912.249631
-198945
0.476616
7847676
35.908952
55587
9.6176775E13
0.194741
3753.261625
179736
0.176905
1.398
1.739
-0.379
-1.357
1.104
1.309
-1.107
2.694
0.1790
0.0992
0.7088
0.1915
0.2840
0.2071
0.2829
0.0148
Variable
DF
INTERCEP
PDRB1
IRR1
UMPR1
LLIS
JLN1
T
LPMDNR
1
1
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
(PDRB-LPDRB)
(IRR-LIRR)
(UMPR/(UMPR*TK))
PENGGUNAAN LISTRIK t-1
(JLN-LJLN)
TREN WAKTU
PMDNR t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.863
26
0.069
121
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: MODAL_AS
Dependent variable: PMAR PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
9 2.1899714E12 243330156981
16 574735608292 35920975518
25 2.764707E12
Root MSE 189528.29741
Dep Mean 468568.37564
C.V.
40.44838
F Value
Prob>F
6.774
0.0005
R-Square
Adj R-SQ
0.7921
0.6752
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
LPDRB
IRR
ERR
UMPR
LIS
JLN
DD
T
LPMAR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
-3277834
0.007453
-23869
-122.073270
-0.156605
0.023290
1084.014463
732797
35863
0.308812
3279855
5.380075
11075
62.996321
0.261355
0.033960
1018.380230
540992
65992
0.282848
-0.999
0.001
-2.155
-1.938
-0.599
0.686
1.064
1.355
0.543
1.092
0.3325
0.9989
0.0467
0.0705
0.5574
0.5027
0.3029
0.1944
0.5943
0.2911
Variable
DF
INTERCEP
LPDRB
IRR
ERR
UMPR
LIS
JLN
DD
T
LPMAR
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PDRB t-1
SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)
NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)
UPAH MIN PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)
PENGGUNAAN LISTRIK (Kwh)
PANJANG JALAN (KM)
DUMMY OTDA
TREN WAKTU
PMAR t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
2.025
26
-0.045
122
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: INFLASI
Dependent variable: INF INFLASI(%/TAHUN)
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of
Squares
Mean
Square
Model
Error
C Total
5
20
25
323.83925
162.87702
471.84834
Root MSE
Dep Mean
C.V.
2.85374
9.28846
30.72353
F Value
Prob>F
64.76785
8.14385
7.953
0.0003
R-Square
Adj R-SQ
0.6654
0.5817
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PDRB
UMPR2
UN
T
LINF
1
1
1
1
1
1
-4.118334
0.000167
0.207020
-0.000004036
-1.011961
0.898440
5.490376
0.000064850
3.699452
0.000004571
0.429708
0.342271
-0.750
2.572
0.056
-0.883
-2.355
2.625
0.4619
0.0182
0.9559
0.3877
0.0288
0.0162
Variable
DF
INTERCEP
PDRB
UMPR2
UN
T
LINF
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)
(UMPR/LUMPR)
PENGANGGURAN (JIWA)
TREN WAKTU
INFLASI t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.516
26
0.131
123
Lampiran 3b. Lanjutan
The SAS System
SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model: PNGGURAN
Dependent variable: UN PENGANGGURAN (JIWA)
Analysis of Variance
Sum of
Squares
Mean
Square
Source
DF
Model
Error
C Total
5 4.6255483E12 925109659096
20 482504085907 24125204295
25 4.9656558E12
Root MSE 155322.90332
Dep Mean 674693.00000
C.V.
23.02127
R-Square
Adj R-SQ
F Value
Prob>F
38.346
0.0001
0.9055
0.8819
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard
Error
T for H0:
Parameter=0
Prob > |T|
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
LUMPR
T
LUN
1
1
1
1
1
1
36560
-0.057318
-0.013849
0.033121
24447
0.644506
77320
0.031750
0.161121
0.103328
15291
0.195581
0.473
-1.805
-0.086
0.321
1.599
3.295
0.6414
0.0861
0.9324
0.7519
0.1255
0.0036
Variable
DF
INTERCEP
PMDNR
PMAR1
LUMPR
T
LUN
1
1
1
1
1
1
Variable
Label
Intercept
PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)
(PMAR-LPMAR)
UPAH MIN. PROV RIIL t-1
TREN WAKTU
PNGGURAN t-1
Durbin-Watson
(For Number of Obs.)
1st Order Autocorrelation
1.963
26
0.010
124
Lampiran 4. Program dan Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak
Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
dengan Menggunakan Metode 2SLS
Lampiran 4a. Program Validasi Model Ekonometrika Dampak Investasi
Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
OPTIONS NODATE NONUMBER;
DATA INVEST;
SET ANALISIS;
/*CREATE DATA*/
TK
= AK - UN;
/*MERILKAN DATA NOMINAL*/
PMDNR = (PMDN/IHKJ)*100;
PMAR
= (PMA/IHKJ)*100;
ERR
= ((ER*IHKI)/IHKA);
IRR
= (IR-INF);
UMPR
= (UMP/IHKJ)*100;
/*MEMBUAT VARIABEL LAG*/
LPDRB = LAG(PDRB);
LPMDNR = LAG(PMDNR);
LPMAR = LAG(PMAR);
LINF
= LAG (INF);
LUN
= LAG(UN);
LTK
TK1
LIRR
IRR1
LUMPR
UMPR1
UMPR2
PDRB1
PMAR1
PMDNR1
LJLN
JLN1
LLIS
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
LAG(TK);
(AK/TK);
LAG(IRR);
(IRR/LIRR);
LAG(UMPR);
(UMPR/(UMPR*TK));
(UMPR/LUMPR);
(PDRB-LPDRB);
(PMAR-LPMAR);
(PMDNR-LPMDNR);
LAG(JLN);
(JLN-LJLN);
LAG(LIS);
/*MEMBUAT DESKRIPSI VARIABEL*/
LABEL
PDRB
= 'PROD DMSTK REG BRUTO (RP MILYAR)'
PMDNR
= 'PNNMAN MDL DLM NEGERI RIIL (RP JUTA)'
PMAR
= 'PNNMAN MDL ASING RIIL (USD RIBU)'
INF
= 'INFLASI(%/TAHUN)'
TK
= 'TENAGA KERJA (JIWA)'
AK
= 'ANGKATAN KERJA (JIWA)'
UN
= 'PENGANGGURAN (JIWA)'
IRR
= 'SUKU BUNGA RIIL BANK (%/TAHUN)'
UMPR
= 'UPAH MIN. PROVINSI RIIL (RP/TAHUN)'
ERR
= 'NILAI TUKAR RIIL (RP/USD)'
LIS
= 'PENGGUNAAN LISTRIK (KWH)'
JLN
= 'PANJANG JALAN (KM)'
DD
= 'DUMMY OTDA'
DK
= 'DUMMY KRISIS'
LPDRB
= 'PDRB t-1'
125
Lampiran 4a. Lanjutan
LPMDNR
LPMAR
LINF
LUN
LUMPR
LLIS
T
JLN1
TK1
IRR1
UMPR1
UMPR2
PDRB1
PMAR1
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
'PMDNR t-1'
'PMAR t-1'
'INFLASI t-1'
'PNGGURAN t-1'
'UPAH MIN. PROV RIIL t-1'
'PENGGUNAAN LISTRIK t-1'
'TREN WAKTU'
'(JLN-LJLN)'
'(AK/TK)'
'(IRR-LIRR)'
'(UMPR/(UMPR*TK))'
'(UMPR/LUMPR)'
'(PDRB-LPDRB)'
'(PMAR-LPMAR)';
/*TITLE 'SIMULASI SATU=1 (KENAIKAN PMDN 15%)';
PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR;*/
/*TITLE 'SIMULASI DUA=2 (KENAIKAN PMA 15%)';
PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR;*/
/*TITLE 'SIMULASI TIGA=3 (KENAIKAN UMPR 18%)';
UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR;*/
/*TITLE 'SIMULASI EMPAT=4 (KENAIKAN SUKU BUNGA RIIL BANK 1.5%)';
IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/
/*TITLE 'SIMULASI LIMA=5 (KOMBINASI 1 DAN 2)';
PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR;
PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR;*/
/*TITLE 'SIMULASI ENAM=6 (KOMBINASI 1 DAN 3)';
PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR;
UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR;*/
/*TITLE 'SIMULASI TUJUH=7 (KOMBINASI 1 DAN 4)';
PMDNR=1.15*PMDNR; LPMDNR=1.15*LPMDNR;
IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/
/*TITLE 'SIMULASI DELAPAN=8 (KOMBINASI 2 DAN 3)';
PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR;
UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR;*/
/*TITLE 'SIMULASI SEMBILAN=9 (KOMBINASI 2 DAN 4)';
PMAR=1.15*PMAR; LPMAR=1.15*LPMAR;
IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/
/*TITLE 'SIMULASI SEPULUH=10 (KOMBINASI 3 DAN 4)';
UMPR=1.18*UMPR; LUMPR=1.18*LUMPR;
IRR=1.015*IRR; LIRR=1.015*LIRR;*/
RUN;
PROC SIMNLIN STATS SIMULATE OUTPREDICT THEIL OUT=HASIL MAXITER=5000;
ENDOGENOUS PDRB PMDNR PMAR INF UN TK;
INSTRUMENTS AK IRR ERR UMPR DD LPDRB LPMDNR LPMAR LINF LUN LIS JLN T;
126
Lampiran 4a. Lanjutan
PARM a0 -22714
b0
10973977
c0 -3277834
d0 -4.118334
e0 36560
PDRB
= a0 +
+
PMDNR = b0 +
+
PMAR = c0 +
+
INF
= d0 +
UN
= e0 +
TK
= AK -
a1 0.002855
a6 0.641687
b1 62.435934
b6 -198945
c1 0.007453
c6 1084.014463
d1 0.000167
e1 -0.057318
a1*PMDNR
a6*LPDRB;
b1*(PDRB-LPDRB)
b7*LPMDNR;
c1*LPDRB
c6*JLN
d1*PDRB
e1*PMDNR
UN;
a2
0.013466
b2
b7
c2
c7
d2
e2
-21092
0.476616
-23869
732797
0.207020
-0.013849
a3
32247
a4
19371
a5 2040.919344
b3 -1.305425E14
b4
0.215034
b5 4912.249631
c3 -122.073270
c8 35863
d3 -0.000004036
e3 0.033121
c4 -0.156605
c9 0.308812
d4 -1.011961
e4 24447
d5 0.898440
e5 0.644506;
+ a2*PMAR
+ a3*(AK/TK)
+ b2*(IRR-LIRR)
+ b3*(UMPR/(UMPR*TK)) + b4*LLIS + b5*(JLN-LJLN) + b6*T
+
+
+
+
+
+
+
+
RANGE TAHUN=1993 TO 2006;
RUN;
c2*IRR
c7*DD
d2*(UMPR/LUMPR)
e2*LPMAR
c3*ERR
c8*T
d3*UN
e3*UMPR
+ a4*DD
c5 0.023290
+ a5*T
+ c4*UMPR + c5*LIS
+ c9*LPMAR;
+ d4*T
+ d5*LINF;
+ e4*T
+ e5*LUN;
127
Lampiran 4b. Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak Investasi
Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
The SAS System
SIMNLIN Procedure
Model Summary
Model Variables
Endogenous
Parameters
RANGE Variable
Equations
6
6
37
TAHUN
6
Number of Statements
6
The SAS System
SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Solution Summary
Dataset Option
DATA=
OUT=
Variables Solved
Solution RANGE
First
Last
Dataset
INVEST
HASIL
6
TAHUN
1993
2006
Solution Method
NEWTON
CONVERGE=
1E-8
Maximum CC
2.1176E-10
Maximum Iterations
2
Total Iterations
28
Average Iterations
2
Observations Processed
Read
14
Solved
14
First
14
Last
27
Variables Solved For: PDRB PMDNR PMAR INF UN TK
128
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System
SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Solution Range TAHUN = 1993 To 2006
Descriptive Statistics
Actual
Variable
PDRB
PMDNR
PMAR
INF
UN
TK
Predicted
Nobs
N
Mean
Std
Mean
Std
14
14
14
14
14
14
14
14
14
14
14
14
187291
3889003
495889
10.1250
968725
16744449
46300
768460
369752
5.7257
419477
679033
194060
4463617
517814
11.5936
942843
16770331
44788
784629
337476
4.7596
371038
694203
Statistics of Fit
Variable
PDRB
PMDNR
PMAR
INF
UN
TK
N
Mean
Error
Mean %
Error
Mean Abs
Error
Mean Abs %
Error
RMS
Error
RMS %
Error
R-Square
14
14
14
14
14
14
6769
574614
21925
1.4686
-25882
25882
4.1163
18.4401
22.4485
24.8875
0.3931
0.1564
8493
844391
124868
3.2038
139893
139893
4.96426
24.98530
34.41996
39.71857
15.74847
0.84013
10888
995781
170045
3.8683
165470
165470
6.7143
33.3038
61.1348
52.4021
18.0448
0.9958
0.9404
-0.8083
0.7722
0.5084
0.8324
0.9360
Theil Forecast Error Statistics
MSE Decomposition Proportions
Variable
PDRB
PMDNR
PMAR
INF
UN
TK
Inequality Coef
N
MSE
Corr
(R)
Bias
(UM)
Reg
(UR)
Dist
(UD)
Var
(US)
Covar
(UC)
U1
U
14
14
14
14
14
14
118542930
9.91581E11
2.89152E10
14.96406
2.73804E10
2.73804E10
0.982
0.410
0.881
0.764
0.915
0.970
0.387
0.333
0.017
0.144
0.024
0.024
0.003
0.207
0.004
0.009
0.006
0.043
0.610
0.460
0.979
0.847
0.970
0.932
0.018
0.000
0.033
0.058
0.080
0.008
0.596
0.667
0.950
0.798
0.896
0.968
0.0566
0.2515
0.2785
0.3355
0.1576
0.0099
0.0278
0.1173
0.1391
0.1612
0.0804
0.0049
129
Lampiran 4b. Lanjutan
The SAS System
SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Solution Range TAHUN = 1993 To 2006
Theil Relative Change Forecast Error Statistics
Relative Change
Variable
PDRB
PMDNR
PMAR
INF
UN
TK
N
13
13
13
13
13
13
MSE Decomposition Proportions
MSE
0.00444
0.07346
0.16405
0.20645
0.04268
0.0001051
Corr
(R)
0.764
0.670
0.709
0.124
0.282
0.937
Bias
(UM)
0.388
0.283
0.067
0.139
0.039
0.031
Reg
(UR)
0.087
0.001
0.041
0.256
0.031
0.041
Dist
(UD)
0.524
0.715
0.892
0.606
0.930
0.928
Var
(US)
0.314
0.114
0.035
0.033
0.299
0.141
Inequality Coef
Covar
(UC)
0.298
0.603
0.898
0.829
0.663
0.827
U1
0.6899
0.8641
0.7089
1.1464
0.8448
0.3360
U
0.3237
0.4459
0.3623
0.5441
0.5521
0.1759
Lampiran 4. lanjutan
Lampiran 4c. Hasil Simulasi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur
Variabel
PDRB
PMDNR
PMAR
INF
Simulasi
Dasar
Simulasi
1
Simulasi
2
194 060
0.012
0.441
4 463 617
-
517 814
0.000
Simulasi
3
Simulasi
4
Simulasi
5
Simulasi
6
Simulasi
7
Simulasi
8
Simulasi
9
Simulasi
10
-0.681
-0.020
0.375
-0.537
-0.006
0.449
0.442
-0.701
1.240
-2.082
-0.042
-
-
-
1.078
1.257
-2.125
-
-15.795
-0.486
-
-15.795
-0.486
-
-
-16.282
11.594
0.052
1.378
-2.689
-0.060
1.101
-2.086
0.003
0.784
1.383
-2.750
UN
942 843
-0.053
-0.442
2.400
0.011
-0.158
1.782
-0.053
1.437
-0.446
2.411
TK
16 770 331
0.003
0.025
-0.135
-0.001
0.009
-0.100
0.003
-0.081
0.025
-0.136
Keterangan :
Simulasi 1 :
Simulasi 2 :
Simulasi 3 :
Simulasi 4 :
Simulasi 5 :
Simulasi 6 :
Simulasi 7 :
Simulasi 8 :
Simulasi 9 :
Simulasi 10 :
Peningkatan PMDN sebesar 15 %
Peningkatan PMA sebesar 15 %
Peningkatan upah Minimum Provinsi sebesar 18 %
Peningkatan Suku Bunga sebesar 1.5 %
Kombinasi (1) dan (2)
Kombinasi (1) dan (3)
Kombinasi (1) dan (4)
Kombinasi (2) dan (3)
Kombinasi (2) dan (4)
Kombinasi (3) dan (4)
130
131
Lampiran 5.
Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang Dinilai
Memberatkan Bagi Investor PMDN dan PMA
1. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik :
a. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Ijin Gangguan
(HO).
b. Peraturan Daerah Nomor 39 Tahun 2000 tentang Sumbangan Pihak Ketiga
kepada Pemerintah Kabupaten Gresik.
c. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pengenaan Pajak Parkir.
d. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Ijin Pemanfaatan Air
Bawah Tanah (ABT) dan Air Pemukiman.
e. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pegelolaan Sumber
Energi dan Ketenagalistrikan.
2. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2003 tertanggal 18 Januari
2003 tentang Retribusi Pelayanan di Bidang Ketenagakerjaan.
3. Peraturan Daerah Kabupaten Jombang :
a. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Penggunaan
Jalan.
b. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Masuk Kota.
4. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar :
a. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2000 tentang Retribusi Kartu Ternak.
b. Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pemeriksaan Daging
yang Berasal dari Luar Daerah dan Dipasarkan di Kabupaten Blitar.
5. Peraturan Daerah Kabupaten Magetan :
a. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2000 tentang Retribusi Kepemilikan
Kartu Ternak.
b. Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemeliharaan
Jalan.
6. Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo :
a. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Retribusi Kartu Ternak
b. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Dispensasi
Penggunaan Jalan Kabupaten Probolinggo.
7. Peraturan Daerah Kabupaten Kediri Nomor 18 Tahun 2001 tentang Retribusi
Ijin Dispensasi Kelas Jalan.
132
Lampiran 5. Lanjutan
8. Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso Nomor 10 Tahun 2000 tentang
Retribusi Kartu Identitas Ternak.
9. Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Retribusi Kartu Ternak.
Download