membiarkan masalah tanpa masalah

advertisement
Membiarkan Masalah Tanpa Masalah
HARIAN SINDO, Wednesday, 06 October 2010
Ada tiga hal yang akhir-akhir ini terasa sangat mahal dan mewah. Hal pertama adalah harga
barang dan jasa. Kebutuhan hidup semakin melangit di tengah krisis ekonomi yang belum
menunjukkan tanda-tanda berakhir.
Di tengah ekonomi dunia yang terpuruk,ekonomi Indonesia masih tumbuh relatif
tinggi.Pemerintah bahkan berani menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 6%. Berdasarkan
Sensus penduduk 2010, jumlah pengangguran menurun dari 9,43% (2008) menjadi 9,26%
(2009), 8,59% (2010). Jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dari 32,53 juta (2009)
menjadi 31,03 juta (2010). Realitas ini adalah sebuah pencapaian yang patut disyukuri dan
diapresiasi.
Walau demikian, beberapa pihak mencatat pencapaian tersebut masih menyisakan beberapa
pertanyaan. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak memiliki akar yang kuat pada dua sektor padat
karya: pertanian dan industri.Kehidupan petani dan nelayan belum beringsut jauh dari ambang
garis kemiskinan. Harga pupuk yang masih membumbung, lahan yang kian sempit dan anomali
cuaca membuat masa depan mereka tidak menentu.
Dengan sistem ekonomi terbuka yang lebih kapitalistik dari negara-negara ”nenek moyang”
kapitalis, rakyat jelata semakin terhimpit di tengah proses pemiskinan yang sistematis.
Kehidupan yang serba hedonistik dan konsumtif terus memperlebar kesenjangan antara
mayoritas orang miskin dengan beberapa gelintir orang kaya.Angka kematian bayi dan ibu saat
persalinan juga masih tinggi.
Kemelaratan adalah pemandangan kehidupan yang semakin kasatmata. Risiko sosial yang
ditimbulkan oleh problematika sosial ini secara teoretis dan empiris sudah sangat jelas. Jumlah
orang bunuh diri karena tekanan ekonomi kian bertambah. Demikian pula pengidap gangguan
jiwa.Walau demikian, respons para pemimpin di negeri ini terlihat biasa-biasa saja.
Mahalnya Rasa Aman
Hal kedua yang semakin mahal adalah rasa aman.Di balik religiusitas dan religiosasi masyarakat
terpendam ketakutan massa.Ada gejala di mana keberagamaan dan puber spiritual hanyalah
eskapisme dari kehidupan yang kian terancam. Tiga ancaman setiap saat bisa merampas
kehidupan dan rasa aman siapa saja.Pertama, kriminalitas yang semakin sadistis dan
brutal.Kekerasan menjadi pemandangan keseharian yang menakutkan. Berbagai tindak kejahatan
menghantui siapa saja, di mana saja.
Perang antargeng, tawuran antarkampung, dan bentrokan antarsuku bukan lagi khayal tontonan
dunia maya, tetapi bagian dari dunia nyata. Budaya amuk tumbuh subur di tubuh masyarakat
yang mengidap frustrasi sosial. Kita tentu saja patut mengapresiasi kerja keras polisi untuk
menangkap para penjahat dan memburu para teroris. Tetapi,dari hari ke hari angka kriminalitas
tidak kunjung berkurang.
Ada gejala di mana aparat keamanan seakan tidak berdaya dan tidak berwibawa di hadapan para
mafia kejahatan. Beberapa kali Presiden SBY nguda rasa,menyampaikan kepada khalayak bahwa
ada sekelompok orang yang berniat jahat membunuhnya. Selain pesan politik,pernyataan
Presiden tersebut mengandung pesan betapa susahnya hidup aman. Ancaman keamanan yang
kedua adalah bencana alam.
Di balik kesuburan, kekayaan, dan kemolekannya, alam Nusantara menyimpan potensi musibah
yang bisa merenggut puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa seketika. Masyarakat mengalami
trauma dan ketakutan terhadap bencana alam, terutama sejak tsunami di Aceh yang menghempas
di ”boxing days” 2004, Yogyakarta, Padang, Jawa Barat, dan kawasan-kawasan lainnya.
Demikian halnya dengan gunung berapi.Dua bencana alam tersebut adalah ”kehendak” Yang
Maha Kuasa.
Tetapi,jika bangsa ini memiliki kesiapan rasional dan ikhtiar ilmiah seperti mitigasi bencana dan
kecanggihan teknologi early warning system sangat mungkin lebih banyak kehidupan yang bisa
terselamatkan. Masyarakat juga terancam oleh tanah longsor dan banjir bandang.Penyebab utama
kedua bencana ini adalah perilaku manusia (man-made disasters) yang tamak, ceroboh, dan masa
bodoh terhadap alam. Ancaman keamanan yang ketiga adalah kecelakaan lalu lintas.
Budaya tertib, teliti, dan tenggang rasa seakan menghilang dari denyut nadi kehidupan
bangsa.Tingginya kecelakaan di darat,laut,dan udara adalah cermin budaya ugalugalan, teledor,
dan tidak bertanggung jawab.Keadaban publik begitu rendah mendekati titik nadir. Banyak acara
wisata berubah petaka.”
Ritual”pascakecelakaan selalu sama: sesama bangsa mulai saling menuding, menyalahkan, dan
mencari kambing hitam. Dan, terjadilah ”seleksi alam”: siapa lemah dia kalah, siapa kuat dia
selamat. Sudah pasti, dalam kasus kecelakaan kereta di Pemalang, masinis akan menjadi
pesakitan. Padahal, kealpaan masinis yang berujung tragedi kecelakaan adalah produk dari
sistem ”kerja rodi” ala kompeni.
Mencari Keadilan
Hal ketiga yang semakin mahal adalah keadilan. ”Yang benar dipenjara, yang salah tertawa”.
Barangkali lirik lagu Rhoma Irama, Narapidana, tepat menggambarkan peradilan di negeri ini.
Secara harfiah,hakim bermakna penegak hukum,orang yang bijaksana atau pengadil. Di tengah
kegetiran hidup, hakim mengalami makna peyoratif. Di tengah mafia peradilan yang merajalela,
Hakim adalah akronim: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang.
Hukum kapitalisme tidak hanya berlaku di lantai bursa efek, tetapi juga di lantai pengadilan.
Adagium: ”maju tak gentar membela yang bayar”seakan telah menjadi hukum ”pasar” yang
dikuasai para markus (makelar kasus).Perlahan- lahan kekerasan menjadi pilihan dan jalan hidup
untuk memuaskan ketamakan ekonomi, politik, kekuasaan, dan keagamaan. Ringkihnya
penegakan hukum dan keadilan yang mati suri mendorong sebagian masyarakat main hakim
sendiri.
Epidemi Narsisme
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendramatisasi keadaan. Bukan pula menghakimi dan
merendahkan mereka yang telah bekerja keras siang malam,24 jam sepekan. Tulisan ini hanya
berusaha menggugah dan menghidupkan kesadaran berjamaah kita sebagai bangsa bahwa
konstruksi sosialkebudayaan kebangsaan Indonesia mengalami malaise. Jika kondisi seperti
sekarang ini berlarut- larut, bangsa dan negara Indonesia bisa roboh (breaking down).
Berbagai problematika kebangsaan sebagaimana dipaparkan dalam tulisan ini sudah sangat
mengemuka dan luar biasa (extra-ordinary). Tetapi, sikap dan penanganan pemerintah terasa
sangat biasa-biasa saja, bahkan cenderung lambat.Mahfud MD,ketua Mahkamah Konstitusi,
menilai pemerintah seakan tidak hadir. Penegakan hukum yang diharapkan menjadi penyelesai
masalah, justru memunculkan ketidakadilan (Kompas, 4/10).
Tugas pemerintah, sesuai amanat Konstitusi adalah melindungi segenap bangsa. Artinya,
pemerintah berkewajiban menciptakan kehidupan yang aman,damai dan sejahtera. Dalam situasi
seperti sekarang ini, pemerintah seharusnya lebih tegas dan trengginas.Para pejabat negara
adalah barisan eksekutif, aktor utama yang memimpin dan menjalankan pemerintahan. Mereka
bukan guru yang tugasnya mengajar, atau akademisi yang sibuk meneliti, berteori dan
berwacana.
Pemerintah bukanlah ustad yang tugasnya memberikan tausiah.Tugas pemerintah adalah untuk
bekerja dan berkarya nyata. Beberapa saat setelah kekerasan Monas (Juni,2009) Presiden SBY
menegaskan: negara tidak boleh kalah.Tetapi, kekerasan yang kurang lebih sama dengan Monas
berulang kali terjadi.Kepercayaan dan harapan masyarakat kepada pemerintah sesungguhnya
masih relatif tinggi.
Walau demikian, jika tidak cepat terselesaikan,masalahmasalah sosial akan menjadi timbunan
penyakit sosial yang merusak kesehatan dan ketahanan bangsa. Cendekiawan Syafii Maarif
mengingatkan: negara tidak boleh gagal. Tetapi, negara tidak boleh keliru dan lambat
menyelesaikan masalah.Persoalan mafia peradilan tidak cukup diselesaikan dengan membentuk
satgas atau pernyataan verbal semata (Republika, 5/10).Kehidupan kebangsaan kita seakan
penuh sesak oleh retorika, bukan hiruk-pikuk pekerja keras. Dalam sidang Tanwir di Lampung
(2009),
Muhammadiyah dengan tegas menyampaikan urgensi kepemimpinan publik yang transformatif
dan hadir. Mereka yang bisa memimpin negeri ini dengan kearifan, kecerdasan, keberanian dan
keteladanan. Sayangnya banyak pemimpin di negeri ini yang mengidap gejala
narsisme.Sebagaimana ditengarai Jean M.Twenge dan W.Keith Campbell (2010) masyarakat
dunia sedang mengalami ”Narcissism Epidemic”. Mereka ingin sekali tampil di muka publik
laksana selebriti,sibuk berjam-jam mengisi talk-show di televisi.
Alihalih membuat langkah-langkah kerja konkret, banyak departemen yang menghabiskan dana
bermiliar rupiah untuk beriklan yang memuat keberhasilan programnya. Hampir semua memiliki
akun Facebook, Twitter, dan komunitas gaul di dunia maya lainnya sebagai upaya personal
entertainment. Era ABS (Asal Bapak Senang) mungkin saja sudah selesai. Feodalisme sudah
tamat.Tetapi, reinkarnasi ABS dalam bentuk narsisme dan neo-feodalisme mulai jelas teramati.
Kegemaran mengagumi diri sendiri tumbuh menjadi penyakit yang akut sehingga mereka
kehilangan sensitivitas sosial. Penyakit sosial ABG (Asal Bukan Gue) tidak hanya menghinggapi
kalangan remaja, tetapi juga sebagian pemimpin bangsa.Mereka cuek-bebek dan cenderung
membiarkan masalah tanpa masalah. Sekali lagi, pemerintah perlu lebih percaya diri dan tegas
memimpin penyelenggaraan negara.
Sebelum mewabah lebih luas, epidemi narsisme harus dicegah. Sekarang waktunya kita
hidupkan kembali slogan: sedikit bicara banyak bekerja, bukan sebaliknya. Walaupun letih,
rakyat siap bekerja dan bekerja sama dengan pemerintah menuju negeri impian: adil dan makmur
dalam rida Tuhan Yang Maha Esa.(*)
Abdul Mu’ti
Sekretaris PP
Muhammadiyah
Download