Kopi Luwak REPUBLIKA, Jumat, 25 Juni 2010 pukul 09:18:00 Dr KH

advertisement
Kopi Luwak
REPUBLIKA, Jumat, 25 Juni 2010 pukul 09:18:00
Dr KH Ahmad Munif Suratmaputra MA
Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat
Kopi luwak kini tengah gencar dipromosikan. Mungkin, pembaca termasuk penggemarnya yang
suka menikmati kelezatannya. Apakah kopi luwak itu? Bagaimana hukum mengonsumsinya?
Tulisan ini akan mengkajinya dari kacamata hukum fikih.
Kopi luwak adalah kopi yang telah dipilih dan dimakan oleh binatang luwak. Luwak memilih
buah kopi yang mempunyai tingkat kematangan yang sempurna berdasarkan rasa dan aroma,
mengupasnya dengan mulut, lalu menelan lendir yang manis serta bijinya.
Biji kopi yang masih terbungkus kulit pembalut yang keras/kulit tanduk (semacam tempurung
dalam kelapa) tidak hancur dalam pencernaan luwak. Sistem pencernaan luwak yang kondusif
membuat biji kopi yang keluar bersama feses/kotoran luwak masih utuh terbungkus kulit. Pada
saat biji kopi berada dalam pencernaan luwak, terjadi proses fermentasi secara alami selama
kurang lebih 10 jam.
Prof Massiomo Marcone seorang guru besar dari Kanada menyebutkan bahwa fermentasi pada
percernaan luwak ini menjadikan kopi berkualitas tinggi. Selain berada pada suhu fermentasi
optimal 24-26 derajat C, juga dibantu oleh enzim dan bakteri yang berada di pencernaan luwak
tersebut.
Apakah biji kopi yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya itu hukumnya halal
dikonsumsi? Bukankah ia telah tercampur dengan najis, yaitu feses luwak? Untuk mengkaji
masalah ini, fuqaha’ telah mengkajinya ratusan tahun yang silam. Dalam menghukumi apakah
kopi luwak itu halal atau haram, kajian fikih mengawalinya dari paradigma atau sebuah
pertanyaan, apakah kopi yang berada di dalam pencernaan luwak yang kemudian keluar bersama
fesesnya itu najis atau mutanajjis?
Apabila biji kopi yang keluar bersama kotoran luwak itu dihukumi najis, kopi luwak itu jelas
tidak halal/haram dikonsumsi. Namun, apabila status biji kopi yang keluar dari perut luwak itu
dihukumi mutanajjis (hanya bersentuhan najis), biji kopi itu dapat disucikan dengan air mutlak
dan halal untuk dikonsumsi. Tentu, setelah melalui proses dibersihkan kulitnya,
digongso/digoreng, dan dilembutkan menjadi bubuk kopi.
Nah, bagaimana pandangan fikih terhadap masalah ini? Dalam buku-buku fikih, disebutkan
bahwa biji-bijian yang keluar bersama kotoran atau muntah hewan itu dihukumi mutanajjis,
dengan catatan biji-bijian itu keras, masih utuh, tidak berubah, yang indikasinya apabila bijibijian itu ditanam, bisa tumbuh. Biji-bijian tersebut bisa menjadi suci karena dicuci dan halal
dimakan. Namun, apabila biji-bijian itu telah berubah, dihukumi najis.
Dalam kitab Fath al-Mu’in dengan syarah I’anah ath-Thalinin juz I, disebutkan bahwa apabila
ada hewan memuntahkan biji-bijian atau keluar dari perutnya bersama fesesnya, lalu biji-bijian
itu keras, masih utuh sehingga kalau ditanam bisa tumbuh; biji-bijian itu pun statusnya
mutanajjis, tidak najis. Biji-bijian itu menjadi suci dengan cara dicuci dan halal dimakan.
Hal yang sama disebutkan dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab juz II karya Imam Nawawi
pada bab najis. Dengan demikian, apabila kopi luwak yang keluar dari perut luwak bersama
kotorannya tersebut masih dalam kondisi utuh dan dipastikan tidak ada kotoran luwak yang
merembes ke biji kopi tersebut; kopi luwak itu hanya mutanajjis (terkena /bersentuhan najis)
sehingga bisa menjadi suci dengan cara dicuci dengan air mutlak. Hal ini akan membuat hilang
ketiga macam sifatnya (warna, rasa, dan bau najis/feses luwak).
Dalam hal ini, penulis pernah bertanya kepada Koordinator Tenaga Ahli LPPOM MUI, Dr
Khaswar Syamsu, salah seorang dosen IPB. Beliau mengatakan bahwa kopi yang keluar bersama
kotoran luwak itu ketika ditanam memang dapat tumbuh. Hal yang sama dinyatakan oleh salah
seorang petani kopi luwak.
Apabila kita telah yakin terhadap hal ini, kita dapat menjadikan jawaban itu sebagai pedoman
untuk isbat al-Hukm asy-Syar’i (menetapkan hukum Islam) atau berfatwa. Kita tidak perlu lagi
mengundang ahlinya. Namun, apabila kita belum yakin dengan hal tersebut, kita perlu
mengundang ahlinya untuk meyakinkan. Hal ini dilakukan agar fatwa yang dikeluarkan benarbenar berdasarkan ilmu dan kebenaran.
Apabila biji kopi itu benar-benar masih utuh dan tidak berubah, statusnya sebagai barang suci
yang terkena najis/mutanajjis, bukan najis. Ia akan menjadi suci dan halal setelah dicuci dengan
air mutlak dengan menghilangkan tiga sifatnya (rasa, bau, dan warna). Hal ini sejalan dengan
kaidah hukum Islam, Wal-Aslu Baqau Ma Kana ‘ala Ma Kana. Yang artinya, “Pada dasarnya,
segala sesuatu itu dihukumi sesuai dengan hukum asalnya (yang telah ada padanya).”
Sebelum terkena najis, kopi itu jelas suci dan halal. Dengan demikian, setelah terkena najis, ia
dapat disucikan dan hukumnya tetap halal. Kita juga dapat berargumentasi dengan qiyas/analogi,
yaitu di-qiyas-kan dengan cincin yang tertelan, kemudian keluar bersama feses manusia. Cincin
itu statusnya mutanajjis, dapat suci kembali setelah dicuci.
Di belahan wilayah Indonesia yang hutannya ada durian atau ada pohon durian yang dekat hutan,
sering terjadi ada buah durian ditelan seekor gajah dalam keadaan utuh dan keluar bersama
fesesnya dalam kondisi masih utuh. Konon, durian itu banyak yang mencari dan
memperebutkannya. Mengapa? Katanya, rasanya amat lezat. Kasus durian ini menurut hemat
penulis dapat di-qiyas-kan dengan kopi luwak. Wallahu A’lam.
Download