ii. tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1
Konsep Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk
suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk
yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antar individu
dengan pemerintahan suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah
negara lain. Perdagangan internasional didorong oleh adanya perbedaan harga antar
negara (Nopirin, 1997). Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor
dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk
Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara.
Konsep perdagangan internasional pada hakikatnya telah terjadi selama ribuan
tahun (seperti Jalur Sutera dan Amber Road), meskipun dampaknya terhadap
kepentingan ekonomi, sosial, dan politik baru dirasakan beberapa abad belakangan.
Perdagangan internasional pun telah mendorong industrialisasi, kemajuan transportasi,
globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Perdagangan internasional juga
merupakan cikal bakal bagi penemuan wilayah baru seperti Benua Australia dan
penjajahan suatu negara atas negara lainnya seperti penjajahan oleh negara-negara di
Eropa terhadap beberapa negara di Asia dan Afrika
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan
perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan
mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan,
Krugman (2003) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan
internasional:
1.
Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2.
Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala
ekonomi (economic of scale).
Menurut Sukirno (2004) keuntungan dari melakukan perdagangan internasional
adalah :
1.
Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi dalam negeri. Beberapa barang
tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri karena faktor alam maupun
pengetahuan dan teknologi.
2.
Memperoleh keuntungan dari spesialisasi karena faktor-faktor produksi yang
dimiliki setiap negara dapat digunakan dengan lebih efisien dan setiap negara
dapat menikmati lebih banyak barang yang dapat diproduksi di dalam negeri.
3.
Memperluas pasar-pasar industri dalam negeri. Dengan perluasan pasar,
kapasitas produksi dapat terus ditingkatkan dengan pasar yang luas sehingga
efisiensi dari skala ekonomi dapat tercapai.
4.
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara mempelajari teknik
produksi dan manajemen yang lebih baik dari negara lain dan mengimpor alatalat dengan teknologi yang lebih canggih dari negara lain untuk meningkatkan
efisiensi.
Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditas
(misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A
(sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah dibandingkan
dengan harga domestik negara B (Gambar 2.1). Struktur harga yang terjadi di negara A
lebih rendah karena produk domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya
sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan
demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara
lain. Di lain pihak, di negara B kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih
besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di
negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi
dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara
negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga
yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
Gambar 2.1 memperlihatkan sebelum terjadinya perdagangan internasional harga
di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar
internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan
permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih rendah dari
PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi
excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di negara
A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan
ED yang akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan
adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditas (pakaian jadi)
sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditas (pakaian jadi) sebesar M,
dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*.
DA
A
DB
SA
ES
PB
X
P*
M
PA
B
ED
O
O
Negara A
Q*
Perdagangan
O
QB
Negara B
Sumber: Salvatore (1997)
Gambar 2.1. Keseimbangan dalam Perdagangan Internasional
Keterangan :
PA
: Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional.
OQ*
: Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional.
A
: Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional.
X
: Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A.
PB
: Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional.
OQB
: Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional.
B
: Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional.
M
: Jumlah komoditas yang diimpor oleh negara B.
P*
: Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdagangan internasional.
OQ*
: Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah
yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
2.1.2
Teori Keunggulan Absolut
Teori keunggulan absolut berdasarkan pada variable riil dan bukan variable
moneter sehingga sering dikenal dengan nama teori murni (pure theory) perdagangan
internasional. Murni dalam arti bahwa teori ini memusatkan perhatiannya pada variable
riil seperti nilai suatu barang diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang dipergunakan
untuk menghasilkan barang. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan maka akan
semakin tinggi nilai barang tersebut.
Teori keunggulan absolut Adam Smith yang sederhana dengan menggunakan
teori nilai tenaga kerja, dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Misalnya hanya
ada 2 negara yaitu Amerika Serikat dan Indonesia. Kedua negara tersebut memiliki
faktor produksi tenaga kerja yang homogen menghasilkan dua barang yaitu gandum dan
pakaian. Untuk menghasilkan satu unit gandum dan pakaian, Amerika membutuhkan 8
unit tenaga kerja dan 4 unit tenaga kerja. Sedangkan Indonesia setiap unit gandum dan
pakaian masing-masing membutuhkan tenaga kerja sebanyak 10 unit dan 2 unit.
Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa Indonesia lebih efisien dalam
memproduksi gandum, sedangkan Amerika Serikat lebih efisien dalam produksi
pakaian. Satu hari orang kerja menghasilkan 16 karung gandum di Indonesia, sedangkan
di Amerika Serikat hanya menghasilkan 8 karung gandum. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Indonesia memiliki keunggulan absolut pada produksi gandum dan
Amerika Serikat memiliki keunggulan absolut pada produksi pakaian. Amerika Serikat
dikatakan memiliki keunggulan absolut pada produksi kain karena satu hari orang kerja
di Amerika Serikat dapat menghasilkan 4 meter kain, sedangkan di Indonesia hanya
dapat menghasilkan 2 meter kain. Jika keduanya melakukan perdagangan, maka
Indonesia akan berspesialisasi dalam memproduksi gandum dan menukarkan sebagian
gandumnya dengan kain dari Amerika Serikat. Sebaliknya, Amerika Serikat akan
berspesialisasi dalam memproduksi kain, dan menukarkan sebagian kainnya dengan
gandum.
Produk per satuan tenaga
kerja/hari/Negara
Kain (meter/hari orang kerja)
Gandum
kerja)
(karung/hari
Amerika
Serikat
4
Indonesia
DTDN*
2
2m:1m
8
16
1 karung : 2
karung
orang
Sumber : Oktaviani et al. (2009)
Keterangan : * adalah Dasar Tukar Dalam Negeri
Tabel 2.1. Data Hipotesis Teori Keunggulan Absolut Adam Smith
Keunggulan absolut masing-masing negara terjadi karena setiap negara dapat
menghasilkan satu macam barang dengan biaya yang secara absolut lebih rendah dari
negara lain. Menurut teori keunggulan absolut, Adam Smith mengemukakan bahwa
setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan
mutlak
(absolut),
serta
mengimpor
barang
jika
negara
tersebut
memiliki
ketidakunggulan mutlak (absolute disadvantage). Selain itu, menurut teori Adam Smith
suatu negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional dan meningkatkan
kemakmurannya apabila :
1.
Kondisi perdagangan free trade (tanpa campur tangan pemerintah).
2.
Negara melakukan spesialisasi berdasarkan keunggulan absolut yang dimiliki.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam teori keunggulan absolut adalah :
1.
Terdapat dua negara dan dua komoditas.
2.
Faktor produksi yang digunakan adalah tenaga kerja.
3.
Kualitas barang yang diproduksi oleh kedua negara adalah sama.
4.
Pertukaran dilakukan secara barter atau tanpa uang.
5.
Biaya transportasi diabaikan.
2.1.3
Teori Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo merupakan penyempurnaan
dari teori keunggulan absolut Adam Smith. Teori keunggulan komparatif (The Law of
Comparative Advantage) mula-mula dikemukakan oleh David Ricardo menyatakan
bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi
dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang saling
menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda
jika dibandingkan dengan tidak ada perdagangan.
Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasarkan teori tenaga kerja (labour
theory of value) yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang
menentukan nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah
proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk
menghasilkannya. Menurut teori keunggulan komparatif suatu negara akan memperoleh
manfaat dari perdagangan internasional apabila melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi relatif lebih efisien serta
mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang/tidak efisien.
Perdagangan
internasional
dapat
meningkatkan
output
dunia
karena
memungkinkan setiap negara memproduksi sesuatu yang keunggulan komparatifnya ia
kuasai. Dengan kata lain, perdagangan antara dua negara akan menguntungkan kedua
belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor produk yang
keunggulan komparatifnya ia kuasai.
Menurut Simatupang (1991), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran
daya saing (keunggulan) potensial. Artinya, daya saing akan dicapai apabila
perekonomian tidak mengalami distorsi. Dengan kata lain, komoditas yang memiliki
keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Suatu negara
yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu
mempertahankan dan bersaing dengan negara lain.
2.1.4
Teori Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat dikembangkan, keunggulan
ini harus diciptakan untuk dapat memilikinya. Jadi, keunggulan kompetitif suatu
komoditas atau sektor ekonomi terbentuk dengan kinerja yang dimilikinya sehingga
dapat unggul dari komoditas atau sektor ekonomi lainnya. Konsep keunggulan
kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter (1990) dengan empat faktor utama
yang menentukan daya saing yaitu kondisi faktor, kondisi permintaan, industri
pendukung dan terkait, serta kondisi strategis, struktur perusahaan dan persaingan.
Selain keempat faktor tersebut, ada dua faktor yang memengaruhi interaksi antara
keempat faktor tersebut yaitu peran pemerintah dan peran kesempatan. Secara bersamasama faktor-faktor tersebut membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan daya
saing yang disebut Porter’s Diamond Theory (Tarigan, 2005).
2.1.5
Model Gravitasi (Gravity Model)
Gravity model pertama kali digunakan dalam analisis perdagangan internasional
oleh Tinberger (1962) yang menganalisis arus perdagangan di negara-negara Eropa.
Menurut Feenstra et al (1998), gravity model dapat menjelaskan aliran perdagangan
internasional dengan baik. Selanjutnya menurut Alonso (1987) dalam Yuniarti (2007),
ditemukan hubungan yang kuat dengan menggunakan fungsi gravity dengan mengganti
massa dengan populasi dan kekuatan gravitasi dengan beberapa ukuran interaksi antara
dua lokasi.
Model gravitasi didasarkan pada hukum gravitasi Newton, yang menyatakan
bahwa gaya gravitasi antara dua benda secara langsung dipengaruhi secara proporsional
oleh massa dari kedua benda dan sebaliknya secara proporsional dipengaruhi oleh jarak
kuadrat antara keduanya. Dalam konteks perdagangan, model ini menyatakan bahwa
intensitas perdagangan antara negara-negara akan berhubungan secara positif dengan
pendapatan nasional masing-masing negara, dan berhubungan terbalik dengan jarak
diantara keduanya.
Gravity model menyajikan suatu analisis yang lebih empiris dari pola
perdagangan dibandingkan model yang lebih teoritis. Model ini pada bentuk dasarnya
menjelaskan perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antar negara
dalam ukuran ekonominya seperti PDB dan nilai tukar. Alasan yang melatarbelakangi
penggunaan gravity model adalah bahwa negara yang lebih besar dan kaya banyak
melakukan perdagangan luar negeri dibandingkan dengan negara yang lebih kecil dan
miskin di mana ada pengaruh dari jarak, namun bukan sebagai hambatan. Sesuai dengan
perumusan Newton terhadap model gravitasi fisika yaitu “interaksi antara dua objek
adalah sebanding dengan massanya dan berbanding terbalik dengan jarak masingmasing”.
Mi x Mj
Fij = G ---------Dij2
dimana :
Fij
= Volume aliran perdagangan
Mi,j = Ukuran ekonomi untuk kedua negara
A.
Dij
= Jarak antara kedua negara
G
= Konstanta
Jarak
Jarak adalah faktor geografi yang menjadi variabel utama dalam gravity model
untuk aliran perdagangan. Dalam kaitannya dengan perdagangan, jarak memberikan
pengaruh dalam masalah biaya angkut (transportasi) produk dari titik produksi ke titik
konsumsi. Biaya angkut tersebut juga memberikan dampak secara langsung maupun
tidak langsung bagi perdagangan internasional. Variabel jarak tersebut dapat
dimodifikasi menjadi economics distance atau jarak ekonomi. Variabel ini menghitung
jarak geografis antara dua negara, juga memasukkan GDP negara mitra dagang atau
yang disebut weighted-average economics distance (Li et al., 2008). Adapun rumus
yang digunakan dalam menghitung jarak ekonomi yaitu:
Jarak Ekonomi = Jarak Geografis Antarnegara X
(∑ GDPj)
GDPj
Salvatore (1997) menjelaskan pengaruh biaya transportasi terhadap perdagangan
internasional seperti dalam Gambar 2.2. Sebelum dilakukan perdagangan internasional,
negara 1 akan memproduksi komoditas Z sebanyak 50 unit dengan harga $5, sementara
negara 2 akan memproduksi komoditas Z sebanyak 50 unit dengan harga $11. Setelah
dilakukan perdagangan internasional (tanpa biaya transportasi), harga komoditas Z di
negara 1 akan meningkat sehingga negara 1 berproduksi lebih banyak kemudian
kelebihan produksinya diekspor ke negara 2. Bertambahnya kuantitas komoditas Z
menyebabkan harga komoditas Z di negara 2 menurun hingga harga yang berlaku di
kedua negara adalah sama yaitu sebesar $8 dengan kuantitas Z yang diperdagangkan
sebanyak 50 unit.
Sumber : Salvatore (1997)
Gambar 2.2 Analisis Keseimbangan Parsial Atas Biaya Transportasi
Biaya trasnportasi akan menyebabkan harga komoditas di negara importir yaitu
negara 2 meningkat sehingga harga komoidtas Z di negara 2 sebesar $9 sementara di
negara 1 sebesar $7. Negara 1 akan meningkatkan produksi domestik atas komoditas Z
hingga 70 unit, dimana untuk konsumsi domestik sebanyak 30 unit dan 40 unit sisanya
diekspor ke negara 2. Sedangkan di negara 2 disaat harga $9 produksi komoditas Z
sebanyak 30 unit, sehingga untuk memenuhi kebutuhan domestiknya negara 2
mengimpor 40 unit komoditas Z dari negara 1.
B.
Produk Domestik Bruto
Produk Domestik Bruto (Gross Domestik Product/GDP) sebagai salah satu
variabel utama dalam analisis aliran perdagangan gravity model menunjukkan besarnya
kemampuan perekonomian suatu negara. Semakin besar GDP yang dihasilkan suatu
negara, semakin besar pula kemampuan tersebut untuk melakukan perdagangan.
Komponen GDP terdiri dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net
ekspor. Menurut Mankiw (2003) GDP menyatakan pendapatan total dan pengeluaran
total nasional atas output barang dan jasa. GDP terdiri dari GDP nominal dan GDP riil.
GDP nominal mengukur nilai uang yang berlaku dari output perekonomian. GDP riil
mengukur output yang dinilai pada harga konstan.
C.
Nilai Tukar
Menurut Mankiw (2003) kurs atau exchange rate antara dua negara adalah
tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan
perdagangan. Para ekonom membedakan kurs menjadi dua, yaitu kurs nominal dan kurs
riil. Kurs nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua
negara, sedangkan kurs riil (riil exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang
diantara dua negara. Tingkat harga dimana kita memperdagangkan barang domestik
dengan barang luar negeri tergantung pada harga barang dalam mata uang lokal pada
tingkat kurs yang terjadi. Maka kurs riil dapat dituliskan seperti berikut :
Є = e (P/P*)
dimana :
Є
= Kurs riil
e
= Kurs nominal
(P/P*) = Rasio tingkat harga di dalam dan luar negeri
Kurs riil di antara dua negara dihitung dari kurs nominal dan tingkat harga di
kedua negara. Jika kurs riil tinggi, barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan
barang-barang domestik relatif lebih mahal. Jika kurs riil rendah, barang-barang luar
negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah.
D.
Populasi
Populasi di suatu negara berpengaruh terhadap permintaan ekspor negara
tersebut. Pertumbuhan penduduk di negara tujuan ekspor berimplikasi pada peningkatan
permintaan terhadap barang dan jasa, sehingga kurva permintaan bergeser ke kanan dan
menyebabkan excess demand pasar internasional dengan asumsi permintaan tetap,
(cateris paribus), begitu pula di negara pengekspor.
2.2
Studi Penelitian Terdahulu
Penelitian oleh Yeboah et al (2007) dalam jurnal “Increased Cocoa Bean
Exports Under Trade Liberalization : A Gravity Model Approach” menyimpulkan
bahwa perbedaan relatif faktor pendorong berbeda pengaruhnya bagi perdagangan.
Perbedaan pendapatan di antara negara importir dan eksportir positif dan signifikan
sedangkan nilai tukar tidak menjadi masalah. Tetapi harga produsen kakao pada saat
liberalisasi perdagangan meningkat, produksi meningkat dan volume ekspor meningkat.
Yuniarti (2007) meneliti tentang determinan perdagangan bilateral Indonesia
dengan pendekatan Gravity Model yang menyimpulkan bahwa PDB dari negara
eksportir (Yi) dan importir (Yj) mempunyai hubungan positif, variabel jarak berpengaruh
negatif terhadap perdagangan bilateral, variabel kesamaan ukuran perekonomian
berpengaruh positif, variabel populasi mitra dagang mempunyai koefisien positif, dan
keanggotaan dalam area perdagangan bebas tidak berpengaruh.
Karomah (2011) meneliti tentang daya saing dan faktor-faktor yang
memengaruhi aliran ekspor nenas Indonesia di pasar internasional, pengestimasian
dengan metode Gravity Model menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
aliran ekspor nenas Indonesia dengan negara tujuan adalah pendapatan per kapita, jarak
Indonesia dengan negara tujuan, dan pendapatan per kapita Indonesia. Sedangkan hasil
penelitian menggunakan metode Export Product Dynamic (EPD) menunujukkan bahwa
selama periode 2002-2008 kinerja ekspor nenas Indonesia terletak pada posisi Retreat,
disebabkan pertumbuhan pangsa ekspor nenas dari Indonesia ke dunia yang mengalami
penurunan, begitu juga dengan pangsa pasar ekspor Indonesia.
Gumilar (2010) meneliti tentang daya saing sayuran utama Indonesia selama
periode 2001-2008 di pasar Internasional melalui pengestimasian dengan menggunakan
Export Product Dynamic (EPD). Diketahui bahwa beberapa komoditi sayuran Indonesia
yang diuji seperti kol, jamur, dan kentang berada di posisi Retreat, komoditi bawang
merah Indonesia berada di posisi Rising Star, komoditi cabai berada di posisi Falling
Star, sedangkan komoditi tomat berada di posisi Lost Opportunity.
Yanti (2011) meneliti tentang analisis daya saing produk turunan susu Indonesia
di pasar internasional selama periode 2000-2010. Berdasarkan hasil estimasi Export
Product Dynamic (EPD), keenam produk turunan susu berada pada posisi daya saing
Rising Star yang menandakan bahwa keenam produk tersebut tumbuh dengan cepat
(fast-growing product) dan Indonesia memperoleh tambahan pangsa pasar dari keenam
produk turunan susu tersebut.
Oktaviani (2011) meneliti tentang daya saing industri karet remah Indonesia
selama periode 1993-2008. Berdasarkan hasil analisis keunggulan kompetitif dengan
Porter’s Diamond Theory, industri karet remah Indonesia dapat dikatakan memiliki
keunggulan kompetitif. Hal tersebut dikarenakan industri karet remah Indonesia
memiliki komponen-komponen keunggulan kompetitif Porter’s Diamond Theory yang
lebih banyak dibandingkan dengan komponen kelemahannya. Hasil analisis Porter’s
Diamond Theory menunjukkan bahwa hanya ada tiga dari empat belas komponen yang
masih kurang mendukung keunggulan kompetitif industri karet remah Indonesia yaitu
komponen IPTEK, infrastruktur, dan industri terkait.
2.3
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi pertanian nasional, khususnya
subsektor perkebunan, yang menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dalam
pembangunan, sehingga membuat pemerintah memberi perhatian terhadap komoditi
pertanian guna terwujudnya peningkatan produktivitas. Kakao merupakan salah satu
komoditas andalan sektor perkebunan yang peranannya penting bagi perekonomian
nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan devisa
negara. Namun, kualitas komoditas kakao masih termasuk rendah di pasar internasional,
padahal berpotensi menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia
Dalam penelitian ini akan dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi ekspor
komoditas kakao Indonesia menuju kawasan Uni Eropa, yang melibatkan 10 negara
mitra dagang pengimpor di kawasan Uni Eropa dalam kurun waktu tahun 2002-2010.
Negara yang dimaksud antara lain Belgia, Estonia, Prancis, Jerman, Italia, Lituania,
Belanda, Polandia, Spanyol dan Inggris. Kesepuluh negara ini dipilih karena nilai ekspor
ke negara tujuan pengimpor tersebut termasuk tinggi dan tergabung di dalam ICCO
(International Cocoa Organization) seperti halnya Indonesia. Model pendekatan yang
digunakan adalah Gravity Model, Export Product Dynamic (EPD), dan Porter’s
Diamond.
Di dalam Gravity Model, variabel yang akan dianalisis adalah jarak ekonomi
antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor, GDP riil negara Indonesia, GDP riil
negara tujuan ekspor, serta nilai tukar riil mata uang negara tujuan ekspor terhadap US$.
Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan pendekatan panel data yang diolah
dengan Eviews 6, sehingga akan didapatkan kesimpulan faktor-faktor yang
memengaruhi ekspor komoditas kakao Indonesia ke negara mitra dagang pengimpor. Di
dalam Export Product Dynamic (EPD) dapat diidentifikasi posisi daya saing komoditas
kakao Indonesia dan juga dapat diketahui apakah komoditi tersebut merupakan produk
dengan performa yang memiliki pertumbuhan yang cepat atau tidak. Sedangkan dengan
Porter’s Diamond dapat dianalisis kondisi faktor-faktor yang memengaruhi daya saing
komoditas kakao Indonesia.
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran
Pertanian khususnya
subsektor perkebunan
menjadi penyumbang
devisa yang besar dalam
pembangunan
Kakao sebagai komoditas
agroindustri yang
berpotensi menjadi
komoditas ekspor
andalan Indonesia
Rendahnya kualitas kakao Indonesia di pasar
internasional
Analisis Posisi Daya
Saing Produk Ekspor
Komoditas Kakao
Indonesia
Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Ekspor
Komoditas Kakao
Indonesia
Analisis Kondisi
Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Daya
Saing Komoditas
Kakao Indonesia
Export Product
Dynamic (EPD)
Gravity Model :
Jarak Ekonomi
GDP riil Indonesia
GDP riil negara tujuan
Nilai tukar riil
Porter’s Diamond
Strategi dan Rekomendasi Kebijakan Guna
Pengembangan Komoditas Kakao Indonesia
2.4.
Hipotesis
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda koefisien
variabel-variabel yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao Indonesia adalah:
1.
Jarak ekonomi diharapkan memiliki pengaruh negatif terhadap aliran ekspor
komoditas kakao Indonesia.
2.
GDP negara tujuan ekspor diharapkan memiliki pengaruh positif terhadap aliran
ekspor komoditas kakao Indonesia.
3.
GDP negara Indonesia diharapkan memiliki pengaruh positif terhadap aliran
ekspor komoditas kakao Indonesia.
4.
Nilai tukar Rupiah terhadap mata uang negara tujuan ekspor diharapkan memiliki
pengaruh positif terhadap aliran ekspor komoditas kakao Indonesia.
5.
Populasi negara tujuan ekspor diharapkan memiliki pengaruh positif terhadap
aliran ekspor komoditas kakao Indonesia.
Download