BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan masyarakat yang serius
menyebabkan meningkatnya angka kesakitan dan kematian serta menjadi
perhatian dunia. Hingga saat ini belum ada satu negara pun yang bebas TB.
Angka kesakitan dan kematian akibat dari kuman mycobacterium tuberculosis ini
pun tinggi. Tahun 2009 1,7 juta orang meninggal karena TB, ada 9,4 juta kasus
TB dan 1/3 dari populasi dunia telah tertular TB di mana sebagian besar penderita
TB adalah usia produktif 15-55 tahun (Kementerian Kesehatan, 2011).
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung di sebabkan oleh
kuman TBC (Mycobacterium Tuberkulosis), sebagian besar kuman tuberculosis
menyerang paru-paru. Tuberculosis (TB) paru merupakan penyakit kronis
(menahun) yang telah lama di kenal oleh masyarakat luas dan di takuti karena
menular. Penyakit ini menjadi tidak terkendali pada sebahagian besar dunia, dan
salah satu penyebab utama kematian di Indonesia serta nagara-negara berkembang
lainnya (Depkes RI, 2007a).
World Health Organization tahun 1993 menyatakan bahwa tuberculosis
merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) telah terbukti sangat
efektif untuk pengendaliaan TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih
sangat tinggi.
Berbagai kemajuan yang di capai sejak tahun 2003, di perkirakan masih
terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal
akibat TB di seluruh dunia. Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru
seperti koinfeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan
tingkat kompleksitas yang makin tinggi (Kementerian Kesehatan, 2011).
Pada tahun 2011, dilaporkan 8,7 juta kasus baru TB aktif di seluruh dunia
13% yang melibatkan koinfeksi dengan human immun deficiency virus (HIV) dan
1
2
1,4 juta kematian, terrmasuk 430 000 kematian diantara pasien terinfeksi HIV
(Global Tuberkulosis Report, 2012). Lebih dari 60% dari pasien berada di Cina,
India, Rusia, Pakistan, dan Afrika Selatan (Zignol et al., 2012).
Indonesia berada pada peringkat 5 di dunia penyumbang kasus TB
terbanyak. Berdasarkan Global Report Tuberculosis tahun 2012, prevalensi TB di
Indonesia adalah 297 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian TB yaitu
27 per 100.000 penduduk (WHO, 2012).
Tujuan program penanggulangan tuberkulosis paru adalah menurunkan
angka kesakitan dan kematian TB, memutus rantai penularan, serta mencegah
terjadinya MDR-TB (Multi Drug Resistence Tuberculosis), dengan target
tercapainya penemuan penderita baru TB BTA positif paling sedikit 70% dari
perkiraan jumlah penderita baru BTA positif dan menyembuhkan 85% dari semua
penderita tersebut serta mempertahankan upaya-upaya pelaksanaan program TB
ada (Depkes RI, 2007a).
Pada tahun 2012 Indonesia mendapatkan Achievement Award dari Global
Health USAID (United States Agency for International Development) sebagai
negara yang paling berhasil dalam mengatasi permasalahan TB, namun tantangan
masalah TB ke depan tidak semakin ringan. Tantangan tersebut diantaranya
meningkatnya
koinfeksi
TB-HIV,
kasus
TB-MDR,
manajemen
dan
kesinambungan pembiayaaan program pengendalian TB. Selain itu bila berbicara
jumlah meski sudah berhasil di tekan, tapi jumlah pasien TB dan kematian akibat
TB masih cukup banyak (Kementerian Kesehatan, 2011).
Usaha pengendalian TB paru banyak dilakukan oleh pemerintah, salah
satunya melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
565/Menkes/Per/III/2011 tentang Strategi Nasional Pengendalian TB Tahun 20112014. Meskipun berbagai upaya di lakukan untuk pengendalian TB paru, namun
masih ditemukan banyak masalah terutama dalam sistem kesehatan.
Secara nasional, jumlah fasilitas pelayanan kesehatan terus meningkat,
akan tetapi aksesibilitas masyarakat terutama penduduk miskin di daerah
tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan terhadap fasilitas pelayanan
kesehatan masih terbatas. Pada tahun 2007 rasio puskesmas terhadap penduduk
3
adalah 3,6 per 100 000 penduduk. Selain itu jumlah puskesmas pembantu dan
puskesmas keliling terus meningkat, akses masyarakat dalam mencapai fasilitas
pelayanan kesehatan dasar cukup baik, yaitu 94% masyarakat dapat mengakses
fasilitas pelayanan kesehatan dengan jarak kurang dari 5 km (Depkes RI, 2007b).
Walaupun akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas dan
jaringannya sudah cukup bagus, namun kualitas pelayanannya masih perlu di
tingkatkan, terutama untuk pelayanan preventif dan promotif.
Jumlah, jenis dan kualitas tenaga kesehatan terus meningkat, tetapi
distribusinya belum merata. Rasio tenaga kesehatan per 100.000 penduduk untuk
dokter spesialis, dokter, perawat, dan bidan mengalami peningkatan pada periode
tahun 2004-2008. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di wilayah Asia
Tenggara, Indonesia memiliki jumlah dan rasio tenaga dokter yang relatif masih
rendah dari Filipina dan Malaysia.
Selain itu distribusi tenaga dokter lebih banyak berpusat di pulau Jawa
Bali dan di daerah perkotaaan. Ketersediaan dan pemerataan obat dan perbekalan
kesehatan terus membaik, tetapi keterjangkaun, penggunaaan dan mutu obat serta
pengawasan obat dan makanan masih belum optimal
Dinas Kesehatan Kabupaten Tebo Propinsi Jambi terus melaksanakan
uapaya penemuan penderita TB, yang merupakan langkah pertama yang penting
dalam kegiatan program penanggulangan TB, dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat. Dari laporan
program TB Dinas Kesehatan Kabupaten Tebo dapat diketahui hasilnya sebagai
berikut:
Tabel 1. Proporsi Perkiraan Suspek dengan Suspek yang Diperiksa di
Kabupaten Tebo Tahun 2011-2013
Indikator
2011
2012
2013
Perkiraan Suspek
4830
4840
4940
Suspek yang Diperiksa
2161
2724
1924
44,74%
56,28%
38,94%
Pencapaian
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tebo Tahun 2013
4
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari perkiraan suspek yang diperiksa dengan
kenyataan suspek yang ditemukan diperiksa dalam program penanggulangan TB
paru di Kabupaten Tebo untuk tiga tahun terakhir masih belum mencapai hasil
yang semestinya dibanding dengan jumlah suspek yang diperkirakan diperiksa.
Tahun 2011 pencapai pemeriksa suspek hanya 44,74%, tahun 2012 pencapaian
pemeriksaan suspek 56,28%, dan tahun 2013 terjadi penurunan yang signifikan
terhadap pencapaian pemeriksan suspek 38,94% (Dinkes Kab.Tebo, 2013).
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan program TB
paru maka dugunakan berberapa indikator dan indikator utama program
penanggulangan TB paru Nasional adalah: 1) Angka penemuan penderita baru TB
BTA positif CDR (case detection rate). 2) Angka keberhasilan pengobatan SR
(success rate).
Indikator angka penemuan penderita baru TB BTA positif di Kabupaten
Tebo dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Penemuan Penderita Baru TB BTA Positif di Kabupaten Tebo
Tahun 2011-2013
Indikator
2011
2012
2013
Perkiraan Penderita Baru
483
484
494
233
280
215
48,24%
57,85%
43,52%
BTA Positif
Jumlah Penderita Baru BTA
Positif yang Ditemukan
Pencapaian
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tebo Tahun 2013
Dari tabel 2 menunjukkan indikator penemuan penderita baru TB BTA
positif di Kabupaten Tebo dalam tiga tahun terakhir masih terjadi kesenjangan
antara taget Nasional dengan hasil pencapaiannya atau kinerja penemuan
penderita baru TB BTA positif masih di bawah target nasional minimal 70%
dengan kata lain masih menjadi masalah.
5
Untuk mengetahui kemajuan atau keberhasilan program penanggulangan
TB paru dengan indikator keberhasilan pengobatan (SR) di Kabupaten Tebo
dalam tiga tahun terakhir adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Angka Kesembuhan Penderita TB Paru diantara Penderita TB Paru
yang Tercatat di Kabupaten Tebo Tahun 2011-2013
Indikator
2011
2012
2013
Penderita TB Paru yang
233
280
215
213
188
-
91,41%
67,14%
-
Tercatat
Penderita TB Paru yang
Sembuh
Pencapaian
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tebo Tahun 2013
Dari tabel 3 menunjukkan program penanggulangan TB paru di Kabupaten
Tebo berdasarkan indikator keberhasil pengobatan dapat dikatakan kinerjanya
masih perlu kerja keras untuk mencapai target nasional. Dalam penanganan kasus
TB di perlukan manajemen kasus yaitu tindak lanjut yang komprehensif dari
kasus TB yang di curigai atau di komfirmasikan semua klinik untuk pasien TB
harus dapat diakses (accessible) dan harus merujuk ke tempat pelayanan
kesehatan yang kompleks atau bersama-sama menanganinya, di samping pusatpusat spesialis lokal yang di perlukan. Layanan TB harus memiliki satu rujukan
yang telah di tunjuk dengan nomor dan kontak yang jelas (Story and Cocksedge,
2012).
Penemuan suspek TB dilakukan secara passive case finding yaitu pada
pasien yang datang ke puskesmas. Agar penemuan suspek TB berjalan efektif
maka perlu adanya, koordinasi di setiap puskesmas dan jaringannya seperti
puskesmas pembantu, bidan di desa dan masyarakat.
Di Kabupaten Tebo terdapat 14 puskesmas yang menjalankan program
pokoknya
termasuk
pemberantasan
penyakit
menular
yaitu
program
6
penanggulangan tuberkulosis. Data cakupan penemuan TB paru BTA positif pada
tahun 2011 adalah sebanyak 48,24%, tahun 2012 sebanyak 58,06% dan pada
tahun 2013 sebanyak 54,0%. Angka ini belum mencapai target nasional yaitu
sebesar 70%. Sedangkan untuk angka CDR di tingkat Puskesmas yang paling
tinggi pencapaiannya di Puskesmas Tuo Pasir Mayang sebesar 114,29% dan
diikuti Puskesmas Sungai Bengkal sebesar 107,32%. Untuk CDR yang terendah
terdapat di Puskesmas Rimbo Bujang IX sebesar 16,07%.
Puskesmas merupakan organisasi kesehatan tingkat pertama sebagai ujung
tombak pelayanan kesehatan. Dalam penemuan penderita baru tuberkulosis perlu
adanya koordinasi antara sektor kesehatan seperti puskesmas dan unsur
penunjangnya pustu, polindes, pusling, prkatek dokter, klinik pengobatan, dan
rumah sakit serta sektor non-kesehatan seperti lembaga swadaya masyarakat,
perusahaan dan masyarakat itu sendiri. Penelitian ini melihat pentingnya
mengidentifikasi hambatan
koordinasi terhadap penemuan penderita baru
tuberkulosis di Puskesmas Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi.
Koordinasi merupakan suatu bentuk rekapitulasi gagasan-gagasan yang
berasal dari individu-individu. Di mana gabungan gagasan-gagasan tersebut dapat
terjadi ketika dua orang atau lebih datang berkumpul dan saling membagi inti
pemikiran dan pengalaman mereka untuk menjamin adanya sebuah interaksi atau
kombinasi yang harmonis (Manion, 2005).
Makna lain dari koordinasi adalah saling ketergantungan melalui sebuah
kegiatan yang saling terkait secara efektif dari berbagai bagian organisasi atau
melalui kebersamaan yang saling terkait antara dua atau lebih organisasi yang
memiliki tujuan umum yang sama. Koordinasi yang di lakukan secara sadar ini,
ditujukan untuk meraih kesatuan dan keselarasan dari kegiatan-kegiatan untuk
mencapai tujuan bersama (Shortell and Kaluzny, 1996)
Koordinasi adalah proses mengelola ketergantungan aktifitas antar unit
kerja dalam organisasi (Weigand, 2003). Ketergantungan dibedakan menjadi tiga
yaitu ketergantungan terpusat ketergantungan berurutan dan ketergantungan
bolak-balik (Griffin, 2003). Ketergantungan terpusat beroperasi dalam sedikit
interaksi. Output dari unit tersebut dikumpulkan pada tingkat organisasi.
7
Ketergantungan seguential terjadi ketika ketika output satu unit menjadi input
unit lain dengan suatu cara yang berurutan. Ketergantungan timbal balik terjadi
ketika aktifitas mengalir secara dua arah antar unit.
Situasi ketergantungan, tindakan yang direncanakan dilakukan melalui
koordinasi.
Sementara
Crowston,
(1994)
menyampaikan
tiga
bentuk
ketergantungan yaitu flow dependencies, sharing or shared, dan fit dependencies.
Menurut Mintzberg, (1983), terdapat tiga bentuk mekanisme koordinasi yaitu
saling
penyesuaiaan,
supervisi
(direct
supervision)
dan
standardisasi
(standardization). Standardisasi dibedakan menjadi tiga yaitu standardisasis
masukan, prosedur kerja, dan hasil kerja.
Standardisasi masukan dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan,
standardisasi prosedur kerja dengan melakukan kesepakatan dalam melaksanakan
pekerjaaan (Weigand, 2003). Standardisasi prosedur kerja bisa juga dilakukan
dengan spesifikasi pekerjaaan atau menerima koordinasi melalui penjadwalan
dengan aktifitas organisasi yang dilakukan, sedangkan standardisasi hasil kerja
berhubungan dengan upaya menspesifikkan hasil kerja yang akan dicapai
(Weigand, 2003).
Bijman,
(2003)
menyatakan
ketergantungan
terpusat
mekanisme
koordinasi yang sesuai adalah standardisasi proses. Ketergantungan terpusat
terjadi ketika kelompok pekerjaan yang berbeda dikumpulkan bersama untuk
membentuk pekerjaan terakhir (Ancona, 2004). Ketergantungan berurutan,
mekanisme koordinasi yang sesuai adalah pertimbangan manajerial seperti
koordinasi melalui perencanaan atau komando (Bijman, 2003).
Tipe koordinasi ini membutuhkan seorang koordinator yang merencanakan
arus produk dan informasi. Ketergantungan timbal balik dikarekterisasi dengan
pekerjaan yang kompleks (Ancona, 2004). Tipe koordinasi yang sering digunakan
dalam tipe koordinasi ini adalah penyesuaian timbal balik yang juga melibatkan
problem solving dan pengambilan keputusan (Bijman, 2003).
Beberapa hambatan koordinasi adalah ketergantungan antar unit, ukuran
unit dan kepemimpinan, aturan dan prosedur, pelatihan komunikasi perencanaan.
(Yuki, 2007), (Widjono, 1997), (Koontz, 1984). Koordinasi juga perlu adanya
8
wewenang, saling melayani, perumusan tujuan dan disiplin (Robbin, 1994). Selain
itu Pudjirahardjo, (2006)
mengatakan koordinasi dapat terjadi jika ada
pembakuan, pelimpahan wewenang, penyelarasan kegiatan, pengembangan sistem
informasi dan pembentukan tim koordinasi.
Pengamatan terhadap bagaimana penemuan penderita TB paru BTA positif
di Puskesmas dilihat dari hambatan koordinasi antar tenagas kesehatan, hambatan
koordinasi manajerial, dan hambatan koordinasi antar tenaga kesehatan dan
masyarakat, maka penting dilakukan penelitian tentang penemuan TB paru BTA
positif di Puskesmas Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi Jambi
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian adalah bagaimana hambatan koordinasi terhadap penemuan penderita
TB paru BTA positif di Puskesmas Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Propinsi
Jambi.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi
bagaimana
hambatan
koordinasi
terhadap
penemuan
penderita baru TB paru BTA positif di Puskesmas Rimbo Bujang Kabupaten
Tebo.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi bagaimana hambatan koordinasi antar tenaga kesehatan
terhadap penemuan penderita baru TB paru BTA positif di Puskesmas
Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
b. Mengidentifikasi bagaimana hambatan koordinasi manajerial terhadap
penemuan penderita baru TB paru BTA positif di Puskesmas Rimbo
Bujang Kabupaten Tebo.
9
c. Mengidentifikasi bagaimana hambatan koordinasi antara petugas dan
masyarakat terhadap penemuan penderita baru TB paru BTA positif di
Puskesmas Rimbo Bujang Kabupaten Tebo.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Program Kesehatan
Memberikan
informasi
dan
masukan
kepada
pengelola
program
penanggulangan TB paru di tingkat dinas dan puskesmas terhadap strategi
penemuan penderita baru TB paru BTA positif.
2. Manfaat Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang pentingnya penemuan secara dini penderita
yang di curigai mengalami gejala penyakit tuberkulosis.
3. Manfaat Bagi Peneliti
Sebagai tambahan pengetahuan, pengalaman dan memperkaya wawasan ilmiah
serta sebagai salah satu cara untuk menerapkan ilmu dan teori di lingkungan
kerja peneliti.
10
E. Keaslian Penelitian
Tabel 4. Keaslian Penelitian
Nama Peneliti
Judul
Metodologi
Pan-London
tuberculosis
service: a service
evaluation
Kualitatif
Budi et al, (2012) Kontribusi
koordinasi terhadap
penemuan suspek
tuberkulosis paru di
Kabupaten Madiun
Kuantitatif
dengan
rancangan
croos
sectional
Subekti, (2011)
Penelitian
deskriftif
dengan
studi kasus
Belling et al,
(2012)
Budiarni, (2005)
Arianta, (2005)
Evaluasai
penemuan penderita
TB paru program
penanggulangan
tuberkulosis(P2TB)
di kabupaten Bantul
propinsi
daerah
Istimewa
Yogyakarta.
Koordinasi kegiatan
program TB paru di
Dinas
Kesehatan
Kabupaten
Lampung Timur
Kajian penemuan
penderita TB paru
di
Puskesmas
Kabupaten
Buleleng Propinsi
Bali
Hasil
Persamaan dan
Perbedaan
Menginformasikan
Persamaan:
kerangka kerja strategis Koordiansi
dalam kaitannya dengan
kepemimpinan,
Perbedaan:
manajemen,
Responden
pengorganisasian,
penelitian berbasis
koordiansi dan dukungan rumah sakit dan
staf di London
masyarakat.
Terdapat
kontribusi Persamaan :
koordinasi
terhadap Koordinasi
penemuan suspek TB Perbedaan
paru
Desain
penelitian
menggunakan
rancangan
croos
sectional
Tim kerja menggunakan Persamaaan
uraian tugas pokok yang Koordinasi
bersifat
umum
dan Perbedaan
bekerja
dalam
Tim Kepemimpinan dan
sebagai
kegiatan unit
analisisnya
sekunder.
Dinas kesehatan dan
Puskesmas
Penelitian
deskriftif
dengan
studi kasus
Pelaksanaan koordinasi
program TB paru di
kabupaten
Lampung
Timur belum terlaksana
sebagaimana mestinya.
Penelitian
evaluatif
dengan
desain
studi kasus
Penemuan penderita baru
BTA positif di Puskesmas
masih rendah karena
berkaitan
dengan
kurangnya koordinasi dan
supervisi
tidak
ditindaklanjuti.
Persamaan
Pada
rancangan
penelitian
dan
koordinasi
Perbedaan
Kepemimpinan,
supervisi
dan
pelatihan petugas
Persamaan
Koordinasi
Perbedaan
Pada kepemimpinan
dan
pelatihan
petugas.
Download