Penatalaksanaan Gangguan Saluran Cerna dalam Kehamilan

advertisement
MEDICAL REVIEW
Penatalaksanaan Gangguan
Saluran Cerna dalam Kehamilan
M. Adi Firmansyah
PPDS Tahap Mandiri – Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK
Selama kehamilan, hampir semua sistem organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan
fisiologi. Keluhan gastrointestinal yang muncul pun beragam seperti mual, muntah, hiperemesis
gravidarum, hingga penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal reflux disease/GERD). Mual dan
muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan, hiperemesis terjadi
pada 0,5% kehamilan dan heartburn terjadi pada 50%-80% kehamilan. Patogenesis yang mendasari
gangguan gastrointestinal ini dikaitkan adanya perubahan hormon selama kehamilan, penurunan
tekanan sfingter esofagus bawah, penurunan motilitas lambung, efek mekanik uterus gravid hingga
faktor psikologis. Terapi yang diberikan tentunya harus memperhatikan manfaat dan risiko terutama
keamanan obat tersebut dalam kehamilan.
Kata kunci: kehamilan, mual, muntah, hiperemesis gravidarum, gerd
PENDAHULUAN
Secara fisiologis, tubuh wanita hamil akan melakukan adaptasi, antara lain dengan perubahan anatomi, fisiologi serta biokimiawi sebagai adaptasi tubuh terhadap kehamilannya. Hampir semua sistem
organ termasuk gastrointestinal mengalami perubahan fisiologi selama kehamilan. Keluhan gastrointestinal selama kehamilan antara lain muntah, hiperemesis gravidarum, penyakit refluks gastroesofageal, dan konstipasi.1 Mual terjadi pada hampir 50%-90% kehamilan dan muntah sekitar 25%-55% kehamilan Meski begitu keduanya bersifat self-limiting.2 Sebagian besar perubahan yang terjadi selama
kehamilan ini akan kembali normal setelah selesainya masa persalinan dan laktasi.
Secara umum, kehamilan lebih banyak mempengaruhi motilitas saluran cerna dibandingkan pengaruh terhadap fungsi sekresi dan absorbsi.1 Sekresi asam lambung dilaporkan juga mengalami
peningkatan pada kondisi kehamilan,3,4,5 meski laporan lainnya menyebutkan bahwa tidak terjadi peningkatan.6,7 Perubahan motilitas ini terjadi pada hampir seluruh saluran cerna dan dikaitkan dengan
peningkatan hormon selama kehamilan. Selain itu, uterus yang membesar dapat mengganggu waktu
pengosongan lambung dan juga mempengaruhi gambaran klinis gangguan saluran cerna seperti
apendisitis.7 Artikel ini akan membahas gangguan gastrointestinal terkait asam lambung yang terjadi
selama kehamilan yakni mual, muntah, hiperemesis gravidarum dan penyakit refluks gastroesofageal.
PERUBAHAN HORMON SELAMA KEHAMILAN
Tiga hormon yang berperan pada perubahan fisiologi gastrointestinal adalah hormon hCG (human
chorionic gonadotropin), progesterone dan estrogen. Hormon hCG yang disekresi oleh trofoblas dan
kemudian oleh plasenta mencapai puncaknya pada trimester pertama kehamilan. Hormon ini berfungsi untuk menyokong corupus luteum sampai plasenta dapat menghasilkan progrestron untuk menyokong implantasi. Kadar puncak hormon ini selama trimester pertama kehamilan diduga berperan
dalam patogenesis terjadinya keluhan mual dan muntah serta hiperemesis gravidarum. HcG memiliki
struktur yang mirip sekitar 85% dengan hormon TSH (thyroid stimulating hormone) sehingga dapat
46
MEDICINUS
Vol. 27, No. 1 April 2014
medical review
berikiatan dengan reseptor TSH di kelenjar tiroid dan merangsang produksi kelenjar tiroid meski bersifat stimulator tiroid yang lemah. Diduga terjadinya hiperemesis bertalian langsung dengan kelenjar
tiroid yang hiperaktif bukan dari hCG yang berlebihan karena seiring dengan membaiknya emesis
maka hipertiroidnya juga membaik. Kondisi ini dikenal dengan istilah gestational transient thyrotoxicosis.8,9
Progesteron dan estrogen memiliki efek yang kuat terhadap otot polos uterus untuk mempertahankan miometrium dalam keadaan yang relatif relaksasi. Pengaruh ini juga terjadi pada otot polos sistem
organ lain termasuk gastrointestinal. Selain itu, progestron juga menyebabkan waktu pengosongan
lambung dan waktu transit intestinal memanjang sehingga dipikirkan menjadi faktor predisposisi terjadi mual dan muntah.10
MUAL, MUNTAH, DAN HIPEREMESIS GRAVIDARUM
Mual dan muntah dialami sekitar 60%-70% perempuan pada trimester pertama kehamilan. Gejala ini
merupakan bagian dari spektrum normal kehamilan trimester pertama dan umumnya membaik pada
usia kehamilan 12-16 minggu. Istilah morning sickness yang lazim digunakan sehari-hari sebenarnya
tidak terlalu tepat mengingat kondisi dapat terjadi pada setiap waktu bahkan dapat terjadi terus menerus sepanjang hari. Namun begitu, sebagian besar perempuan hamil yang mengalami mual dan
muntah selama kehamilan umumnya dapat tetap cukup minum dan makan. Jika terjadi gejala mual
dan muntah yang berat serta persisten sehingga mengakibatkan dehidrasi, gangguan asam basa dan
elektrolit atau defisiensi nutrisi disebut sebagai hiperemesis gravidarum. Jika mual dan muntah dikatakan sebagai spectrum normal dari kehamilan maka kondisi hiperemesis ini dikatakan sebagai keadaan yang ekstrim. Diperkirakan 0,5% perempuan hamil mengalami kondisi ini. Tidak seperti mual
dan muntah yang lebih ringan dan fisiologis, hiperemesis dapat berakibat buruk pada ibu hamil ataupun janin. Bila tidak ditatalaksana dengan adekuat dan tepat, hiperemesis dapat menyebabkan komplikasi pada ibu seperti ensefalopati Wernicke (dikaitkan dengan 40% kematian janin), central pontine
myelinolisis, dan kematian.10,11,12
Patogenesis
Patogenesis mual dan muntah sejatinya masih diperdebatkan namun beberapa teori telah diajukan
seperti peningkatan hormon hCG. Pada sebuah studi komparatif, dilaporkan bahwa perempuan hamil
yang mengalami keluhan mual dan muntah didapatkan peningkatan kadar hormon hCG12 meski studi
lainnya tidak mendukung hal ini.13 Peranan hormon progesterone dan estrogen terhadap timbulnya
mual muntah tampaknya sebagai mediator terjadinya gangguan motilitas lambung. Sebuah studi
yang dilakukan Walsh dkk mendapati bahwa pada perempuan hamil yang mengalami mual muntah
terdapat gangguan irama lambung (gastric dysrithmia) melalui pengukuran elekrogastrografi. Penelitian itu membandingkan dengan perempuan tidak hamil yang diberikan hormon progesterone dan
atau estrogen, yang juga mengalami gangguan irama lambung dan mengalami keluhan mual muntah.14 Peranan sekresi asam lambung terhadap keluhan mual dan muntah tidak banyak dilaporkan.
Peningkatan sekresi asam lambung selama kehamilan tampaknya lebih berperan terhadap patogenesis timbulnya penyakit refluks gastroesofageal selama kehamilan.
Patogenesis hiperemesis gravidarum juga belum sepenuhnya jelas. Studi-studi menunjukkan hubungan langsung antara beratnya hiperemesis (yang ditandai dengan hasil tes fungsi hati dan gangguan
elektrolit) dengan peningkatan kadar tiroksin, kadar homon hCG, dan kadar estriol. Selain itu, overaktif
aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal, sistem imunitas yang overaktif, defisiensi vitamin, distensi saluran
pencernaan bagian atas, disfungsi otonom, gangguan pengosongan lambung dan faktor psikologi
juga dilaporkan berperan dalam terjadinya hiperemesis gravidarum.10,15 Infeksi Helicobacter pylori lebih
sering ditemukan pada perempuan hamil dengan komplikasi hiperemesis gravidarum. Hayakawa
dkk mendapati 61,8% perempuan hamil dengan hiperemesis ternyata positif terinfeksi Helicobacter
pylori dan pemberian antibiotik dapat mengurangi keluhan mual dan muntah pada pasien dengan
hiperemesis.17 Penurunan tekanan LES (lower esophageal sphincter), penurunan peristalsis gaster dan
lambatnya pengosongan lambung dapat memperberat gejala hiperemesis meski diduga kondisi ini
Vol. 27, No. 1 April 2014
MEDICINUS
47
medical review
bukan penyebab tersendiri. Gambar 1 menunjukkan betapa rumitnya patogenesis dari hiperemesis
gravidarum.
Diagnosis
Pada perempuan hamil, kondisi mual, muntah, produksi air liur berlebihan (ptyalism) dan hiperemesis biasanya terjadi antara minggu ke-6 dan ke-8 kehamilan dan membaik pada trimester kedua.
Jika keluhan muncul setelah 12 minggu sejak amenore biasanya tidak berkaitan dengan hiperemesis
gravidarum sehingga sebaiknya dipikirkan penyebab lain mual dan muntah ini. Karena hiperemesis
umumnya berulang maka anamnesis riwayat hiperemesis pada kehamilan sebelumnya akan membantu mengarahkan diagnosis. Kehilangan berat badan dan massa otot dapat terjadi pada kasus-kasus
yang berat. Begitu juga dengan gangguan cairan dan elektrolit, dehidrasi, keton uria dan asetonuria.
Idealnya, usia kehamilan secara pasti harus diketahui dengan bantuan ultrasonografi uterus yang juga
dapat membantu mengonfirmasi ada tidaknya kehamilan ganda ataupun mola hidatidosa. Tidak ada
pemeriksaan penunjang yang memberikan gambaran spesifik untuk hiperemesis. Umumnya yang dapat ditemui adalah abnormalitas fungsi hati, gangguan elektrolit, gangguan fungsi tiroid (penurunan
kadar TSHs, peningkatan T4 bebas), dan ketonuria. Pada saat hiperemesis perbaikan, umumnya abnormalitas hasil laboratorium kembali normal.10,11
Diagnosis banding hiperemesis gravidarum yang perlu dipikirkan adalah gastritis, ulkus peptikum,
hepatitis, pancreatitis, obstruksi usus, hiperparatiroidism, hipertiroidism, IBS, nefrolitiasis, infeksi saluran kemih hingga uremia.10
Gambar 1. Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis hiperemesis gravidarum (HG).15
Panah dengan garis sambung menunjukkan faktor yang telah diteliti. Garis putus-putus
menunjukkan masih hipotesis. ACTH=adrenocorticotropic hormon; GIT=gastrointestinal tract; LESP=lower esophageal sphincter pressure
48
MEDICINUS
Vol. 27, No. 1 April 2014
medical review
Tata Laksana
Umumnya, tata laksana mual dan muntah
disesuaikan dengan beratnya keadaan. Pasien
dapat dianjurkan untuk makan dengan porsi
kecil namun sering (small but frequent) dan
juga menghindari makanan/minuman ataupun kondisi yang dapat mencetuskan mual dan
muntah. Medikamentosa umumnya jarang digunakan. Namun pada kondisi mual dan muntah sehingga timbul dehidrasi dan gangguan
asupan maka terapi cairan intravena dan atau
nutrisi parenteral dapat diberikan. Pemberian
cairan infus dekstrose tidak dianjurkan karena
selain dapat mencetuskan ensefalopati Wernicke, pada hiperemesis umumnya terjadi gangguan elektrolit sehingga cairan yang sesuai adalah normal saline atau ringer lactate atau cairan
Hartmann.10,11,15
Suplementasi vitamin B1 (thiamin) hendaknya
diberikan pada perempuan hamil yang memerlukan perawatan karena hiperemesis. Thiamin
dapat diberikan per oral dalam bentuk tablet thiamin hidroklorida 3 x 25–50 mg. Jika tidak dapat
mentolerir pemberian oral maka dapat diberikan secara intravena seminggu sekali dengan
melarutkan 100 mg thiamin dalam 100 cc normal
saline dan diinfus dalam 30–60 menit. Sedangkan pemberian vitamin B6 (piridoksin) diketahui
dapat mengurangi mual namun tidak mengurangi muntah secara signifikan.15
Obat antiemetik seperti antagonis dopamine
(metoclopramid dan domperidon misalnya
Vometa®), fenotiazin (chlorpromazine dan
prochlorperazine) dan antihistamin (promethazine) dari berbagai penelitian menunjukkan
kurangnya efek teratogenik. Antihistamin (H1
blockers) seperti ranitidin diketahui aman untuk
kehamilan sedangkan omeprazole termasuk kelas C (tidak dianjurkan pada ibu hamil). Meski
infeksi Helicobacter pylori berperan dalam patogenesis hiperemesis gravidarum, tidak serta
merta menjadikan terapi eradikasi langsung
diberikan. Hal ini terkait karena masalah keamanannya.10,11,15 Terapi alternatif seperti bubuk
jahe (powdered ginger root) diketahui memberikan efek signifikan dibandingkan plasebo dalam
mengurangi gejala hiperemesis gravidarum.10,11
Pada kasus-kasus mual dan muntah yang persisten dengan pemberian terapi anti-emetik maka
pemberian kortikosteroid dapat dibenarkan. Safari dkk melaporkan tingkat keberhasilan pem-
Vol. 27, No. 1 April 2014
berian metilprednisolon oral sebesar 94% pada 18
pasien dengan hiperemesis refrakter. Dosis metilprednisolon yang diberikan adalah 48 mg per hari
selama 3 hari yang kemudian dititrasi turun dalam
2 minggu.16
Dukungan emosional hendaknya tidak dilupakan
dalam penatalaksanaan hiperemesis mengingat
adanya peranan faktor psikologi dalam patogenesisnya. Sikap yang bersahabat dari dokter dan
staf medis akan membantu menentramkan hati
pasien. Pada beberapa kasus, psikoterapi suportif,
terapi perilaku (misalnya cognitive behavioral therapy) hingga hipnoterapi dilaporkan membantu
pengobatan hiperemesis.10,11
PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL
Gejala heartburn atau disebut juga sebagai pirosis diperkirakan terjadi pada 50%-80% perempuan hamil.18 Selain keluhan heartburn, perempuan hamil juga dapat mengalami refluks yang
sering ditandai dengan batuk persiten dan mengi. Keluhan biasanya muncul saat akhir trimester
kedua bahkan dapat menetap hingga masa partus dan dapat menjadi prediktor berkembangnya
penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease/GERD) yang berulang.17 Faktor
risiko terjadinya GERD ini pada kehamilan antara
lain multiparitas, usia ibu saat hamil, peningkatan
berat badan yang berlebihan, dan riwayat heartburn pada kehamilan sebelumnya.18 Meskipun
terkadang keluhan dapat menjadi berat, namun
esofagitis jarang terjadi dan biasanya GERD ini
membaik setelah masa melahirkan.
Patogenesis
Mekanisme yang mendasari terjadinya GERD
pada perempuan hamil dikaitkan dengan adanya
perubahan hormon yang mempengaruhi motilitas esofagus, penurunan tonus otot sfinger
esofagus bawah (lower esophageal sphincter/LES),
dan pengosongan lambung. Kompresi lambung
dan peningkatan tekanan intraabdominal akibat
pembesaran uterus juga diyakini berperan dalam
terjadinya GERD ini. Namun secara umum, dua
mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya
GERD adalah berkurangnya tekanan sfingter esofagus bawah dan efek mekanik uterus gravid.17
Penurunan tekanan LES diperkirakan sebagai akibat peranan hormon estrogen dan progesteron
dan juga dikaitkan dengan efek mekanik dari
MEDICINUS
49
medical review
uterus gravid meski hanya sedikit.18,19 Diduga
bahwa kompetensi LES memang sudah terganggu sejak awal kehamilan meskipun belum
menunjukkan gejala yang berarti. Hormon progesterone saja ataupun kombinasi dengan estrogen dapat menurunkan tekanan LES sepanjang masa kehamilan, dimana titik nadirnya
terjadi sesaat sebelum melahirkan. Hal ini dikaitkan karena pada saat tersebut, kadar hormon
estrogen dan progesteron mencapai puncaknya. Selama kehamilan, LES sangat dipengaruhi
oleh tekanan ekstrinsik maupun faktor intrinsik.
Misalnya pembesaran uterus meningkatkan tekanan intra-abdominal dan tekanan intra gaster
serta mengubah posisi menempati sfingter esofagus bawah sehingga segmen intra-abdominal
LES menjadi hilang. Faktor mekanik lain yang diduga berperan adalah adanya perubahan struktur anatomi sekitar LES, terbentuknya hiatal hernia, dan melambatnya pengosongan lambung.
Selain itu, dilaporkan juga bahwa kemampuan
pembersihan esofagus menurun akibat meningkatnya frekuensi kontraksi-kontraksi meski dengan amplitudo yang rendah.10
Diagnosis
Gambaran klinis GERD pada kehamilan tidak
jauh berbeda dengan kondisi populasi umum
dimana heartburn menjadi gejala utama selain
regugirtasi, mual, muntah dan disfagia. Gambaran klasik heartburn biasanya berupa rasa panas substernal yang terjadi setelah makan atau
pada keadaan posisi berbaring. Jangan lupa
bahwa gejala refluks kerap mirip dengan gejala
batuk persisten, mengi ataupun nyeri dada. Gejala-gejala GERD ini umumnya timbul pada akhir
trimester kedua dan dapat memburuk selama
trimester ketiga. Namun begitu, komplikasi yang
ditimbulkan jarang berakibat serius. Komplikasi
yang dapat terjadi misalnya esofagitis, perdarahan dan striktur. Gejala heartburn memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (hampir 90%)
untuk mendiagnosis GERD sehingga seringkali
pemeriksaan penunjang radiologi tidak diperlukan selain karena alasan teratogenisitas radiasi. Meski manometri esofagus dan endoskopi
aman dilakukan selama kehamilan namun jarang dilakukan. Endoskopi hanya dilakukan bila
dicurigai terjadi komplikasi seperti striktur atau
ulserasi. Sedasi yang digunakan dalam endoskopi misalnya midazolam, meperidine, fentanil,
dan diazepam cukup aman digunakan meskipun FDA mengkategorikan meperidine dan fen-
50
MEDICINUS
tanil sebagai kategori C serta midazolam dan diazepam sebagai kategori D. Karena alasan inilah,
maka sebaiknya esofagogastroduodenoskopi
sebaiknya dilakukan hanya pada kasus-kasus refrakter dengan obat-obatan atau bila ada komplikasi serius. EGD sebaiknya ditunda sampai
setelah melewati trimester pertama kehamilan.
Tata Laksana
Tujuan utama tata laksana adalah untuk mengurangi refluks dan netralisasi volume lambung. Umumnya untuk gejala yang ringan,
dapat dilakukan dengan modifikasi perilaku
dan diet seperti menghindari berbaring atau
terlentang setelah makan, menghindari makanmakanan tertentu yang mencetuskan sekresi
asam lambung (misalnya kopi, coklat, alkohol,
makanan asam ataupun makanan berlemak,
dan me-rokok), serta dengan meninggikan
kepala saat berbaring.10,18 Pada gejala GERD sedang sampai berat, dapat dilakukan pemberian
obat-obatan dengan mempertimbangkan manfaat dan risikonya terhadap kehamilan. Antacid
dan sukralfat dianggap aman sebagai terapi lini
pertama bila digunakan pada trimester pertama
dan ketiga kehamilan.18,19 Antacid berbasis magnesium harus dihindari karena magnesium sulfat
dapat mengganggu kotraksi otot persalinan dan
dapat menyebabkan kejang. Begitu juga dengan
antacid yang mengandung natrium-bikarbonat,
karena dapat menyebabkan alkalosis metabolik
pada ibu dan janin serta dapat mengakibatkan
retensi cairan. Pada perempuan hamil dengan
anemia defisiensi besi yang mendapatkan preparat besi, pemberian antacid ini sebaiknya
diberikan dengan waktu berbeda untuk menghindari interaksi yang dapat mengganggu absorbsi besi.10
Jika tidak ada respon, maka dapat dilanjutkan
dengan pemberian antagonis reseptor H-2
yakni ranitidine. Simetidin harus dihindari karena adanya efek anti-androgenik. Penghambat
pompa proton (proton pump inhibitor–PPI) sebaiknya diberikan pada kasus-kasus dengan gejala persisten atau bila ada komplikasi.18,19 Omeprazol tidak boleh diberikan selama kehamilan
karena termasuk kategori C (menimbulkan efek
teratogenik pada janin) sedangkan golongan
PPI lainnya termasuk kategori B.18 Tabel 1 berikut
menunjukkan keamanan obat GERD dalam kehamilan dan algoritma tata laksana GERD dalam
kehamilan disajikan dalam gambar 2.
Vol. 27, No. 1 April 2014
medical review
reference
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Gambar 2. Algoritme terapi GERD pada
kehamilan.10
Vol. 27, No. 1 April 2014
19.
Roy PK, Chelmow D. Gastrointestinal disease and pregnancy. http://www.
emedicine.medscape.com; 2011. [disitasi 1 September 2012]..
Koch KL. Gastrointestinal factors in nausea and vomiting of pregnancy.
Am J Obstet Gynecol 2002;186:198-203.
Lilja B, Svensson SE, Gastric secretion during pregnancy and lactation in
the rat. J Physiol 1967;190:261-72.
Crean GP, Rumsey RD. Hyperplasia of the gastric mucosa during pregnancy and lactation in the rat. J Physiol 1971;215:181-97.
Al-Amri SM. Twenty-four hour pH monitoring during pregnancy and at
postpartum: a preliminary study [abstrak]. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol 2002;102:127-30.
Bianco A, Lockwood CJ, Barss VA. Maternal gastrointestinal tract adaptation to pregnancy. Uptodate; 2012. [disitasi 1 September 2012]. Tersedia
di: http://www.uptodate.com.
Waldum HL, Straume BK, Lundgren R: Serum group I pepsinogens during
pregnancy [abstrak]. Scand J. Gastroenterology 1980; 15:61-63.
Glinoer D. The regulation of thyroid function in pregnancy: pathways of
endocrine adaptation from physiology to pathology. Endocrine Reviews
1997;18:404-34.
Fantz CR, Jack SD, Ladenson JH, Gronowski AM. Thyroid function during
pregnancy. Clinical Chemistry 1999;45:2250-8.
Fauzi A, Rani AA. Gangguan sistem gastrointestinal pada kehamilan.
Dalam: Laksmi PW, Alwi I, Setiati S, Mansjoer A, Ranita R; editor. Penyakitpenyakit pada kehamilan: peran seorang internis. Jakarta: Pusat Penerbit
Ilmu Penyakit Dalam 2008; 91-102.
Malagelada JR, Malagelada C. Nausea and Vomiting. Dalam: Feldman M,
Friedman LS, Brandt LJ, editor. Sleisenger and Fordtran’s gastrointestinal
and liver disease. Edisi ke-9. Philadelphia: Saunders 2010: 197-209.
Masson GM, Anthony F, Chau E. Serum chorionic gonadotrophin (hCG),
schwangerschaftsprotein 1 (SP1), progesterone and oestradiol levels in
patients with nausea and vomiting in early pregnancy [abstrak]. Br J Obstet Gynaecol 1985;92:211-5.
Soules MR, Hughes CL Jr, Garcia JA, Livengood CH, Prystowsky MR, Alexander E. Nausea and vomiting of pregnancy: role of human chorionic
gonadotropin and 17-hydroxyprogesterone [abstrak]. Obstet Gynecol
1980;55:696-700.
Walsh JW, Hasler WL, Nugent CE, Owyang C. Progesterone and estrogen
are potential mediators of gastric slow-wave dysrhythmias in nausea of
pregnancy [abstrak]. Am J Physiol 1996;270:506-14.
Verberg MFG, Gillott DJ, Al-Fardan N, Grudzinskas N. Hyperemesis gravidarum, a literature review. Human Reproduction Update
2005;5:527–39.
Safari H, Alsulyman O, Gherman R, Goodwin TM. Experience with oral
methylprednisolone in the treatment of refractory hyperemesis gravidarum [abstrak]. Am J Obstet Gynecol 1998; 178:1054-8
Hayakawa S, Nakajima N, Karasaki-Suzuki M, Yoshinaga H, Arakawa Y, Satoh K, et al. Frequent presence of Helicobacter pylori genome in the saliva
of patients with hyperemesis gravidarum. Am J Perinatol 2000;17:243-7.
Esposti SD, Reinus JF. Gastrointestinal and hepatic disorders in the pregnant patient. Dalam: Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ, editor. Sleisenger and Fordtran’s gastrointestinal and liver disease. Edisi ke-9. Philadelphia: Saunders 2010: 625-38.
Richter JE: Gastroesophageal reflux disease during pregnancy [abstrak].
Gastroenterol Clin North Am 2003; 32:235.
MEDICINUS
51
Download