1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain.
Menjalin hubungan dengan orang lain, berinteraksi, serta berkomunikasi menjadi cara bagi
manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Wood, 2010). Menangis merupakan
salah satu contoh dari bentuk komunikasi yang dilakukan seorang bayi untuk dapat
memenuhi kebutuhan dasarnya akan rasa lapar dan haus. Seseorang menjalin hubungan
dengan orang lain, berbicara, dan mendengarkan orang lain menjadi cara baginya untuk
dapat memenuhi kebutuhannya akan rasa cinta. Tidak hanya pada itu saja, tingkatan tertinggi
dalam kehidupan manusia yang disebutkan Maslow sebagai kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri tentu tidak terlepas dari bantuan orang lain.
Abraham Maslow (dalam Feist & Feist, 2009) memberikan penjelasan bahwa
melakukan komunikasi serta berinteraksi dengan orang-orang di sekitar membantu manusia
untuk dapat memenuhi lima tingkatan kebutuhan dasar yang dijelaskan olehnya, yaitu
kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan dilindungi, kebutuhan untuk dicintai,
kebutuhan untuk dihargai, serta kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Komunikasi
menyediakan ruang bagi manusia untuk dapat mengembangkan diri (Wood, 2010). Sahabat,
teman, keluarga, guru, serta orang lain disekitar kehidupan dapat menjadi sumber bantuan
bagi manusia untuk dapat mengenal dirinya sehingga aktualisasi diri dapat tercapai dan itu
semua diperantarai oleh adanya komunikasi.
Komunikasi merupakan proses utama bagi manusia dalam memaknai pengalaman
dalam hidup (Craig, 1999; Littlejohn & Foss, 2008). John Stewart (dalam Baxter &
Braithwaite, 2008) juga mengungkapkan bahwa komunikasi memberikan bantuan kepada
manusia dalam membangun sebuh makna dan realita dalam hidup. Dunia manusia tidaklah
1
2
terbentuk dari kumpulan benda atau objek, melainkan respon manusia terhadap objek dan
respon tersebut dinegosiasi melalui komunikasi. Komunikasi juga dapat menjadi sarana bagi
manusia untuk dapat mengungkapkan perasaan hati yang terdalam, seperti cinta,
kebahagiaan, ataupun kehilangan (Book, dkk., 1980). Melalui komunikasi manusia belajar
untuk memahami dirinya, orang lain, dan juga dunianya, oleh karenanya komunikasi
merupakan komponen vital dalam mendukung keberlangsungan hidup manusia.
Terdapat berbagai bentuk dan cara manusia dalam melakukan komunikasi dengan
sesamanya. Bentuk komunikasi antar manusia berdasarkan sifatnya dapat dibagi menjadi
empat, yaitu komunikasi secara tatap muka (face to face), komunikasi melalui media
(mediated), komunikasi verbal (oral dan tulisan), dan komunikasi nonverbal (isyarat dan
gambar) (Effendy, 1994). Empat bentuk komunikasi tersebut biasa dilakukan oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari saat berinteraksi dengan sesamanya.
Salah satu bentuk komunikasi yang umum dilakukan manusia ialah komunikasi
secara tatap muka. Proses komunikasi tersebut berlangsung secara primer, artinya proses
penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dimediasi oleh lambang
sebagai medianya (Effendy, 1994). Lambang sebagai media primer dalam proses
komunikasi tatap muka dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, atau warna yang secara
langsung mampu menyampaikan serta menerjemahkan pikiran dan atau perasaan
komunikator kepada komunikan saat berkomunikasi.
Komunikasi yang dilakukan secara tatap muka memudahkan manusia untuk dapat
secara langsung menerima dan melihat pesan yang disampaikan. Tanggapan komunikasi
dapat segera diketahui dan proses penyampaian umpan balikpun dapat langsung diterima
serta diberikan oleh komunikator (Effendy, 1994). Komunikasi secara tatap muka
memudahkan terjalinnya interaksi sosial antar manusia, dimana manusia dapat menjalin
3
hubungan serta bertukar informasi secara langsung tanpa memerlukan media sebagai
perantaranya. Namun, seiring berkembangnya zaman proses komunikasi yang terjadi antar
manusiapun dapat mengalami perubahan.
Perkembangan teknologi dan informasi beberapa abad terakhir membawa perubahan
yang besar bagi masyarakat. Proses komunikasi yang semula banyak dilakukan secara
primer atau tatap muka saja, saat ini juga mengalami pergeseran. Perkembangan tekonologi
seperti hadirnya telepon, telegram, fax, komputer, serta alat komunikasi lainnya menjadi
salah satu pendukungnya. Jarak dan waktu sudah tidak lagi menjadi penghalang bagi
berlangsungnya proses sosial di masayarakat untuk dapat berkomunikasi dan bertukar
informasi, terlebih dengan hadirnya sebuah sistem jaringan yang bernama internet.
Sejak hadirnya internet pada tahun 1960-an dan terus mengalami perkembangan
hingga saat ini, internet telah memberikan banyak kemudahan bagi manusia. Banyak
kebutuhan manusia yang saat ini dapat dipenuhi dengan hadirnya internet, terlebih
kebutuhan untuk menjalin komunikasi dan interaksi dengan sesama. Hal tersebut juga
memberikan dampak pada penggunaan internet yang terus mengalami peningkatan.
Di Indonesia, berdasarkan data riset yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia diketahui bahwa
pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan. Terdapat 16 juta pengguna
internet pada tahun 2005 dan terdapat 88,1 juta pengguna internet pada tahun 2014 dengan
penetrasi sebesar 34.9%. Alasan terbesar masyarakat Indonesia dalam menggunakan internet
ialah sebagai sarana sosialisasi dan komunikasi sebanyak 71,7% (APJII, 2015). Media yang
paling banyak digunakan untuk mengakses internet ialah telepon genggam sebanyak 85%,
laptop atau netbook sebanyak 32%, PC atau komputer sebanyak 14%, dan tablet sebanyak
13%. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa proses komunikasi yang terdapat pada
4
masyarakat saat ini tidak hanya berlangsung secara primer atau tatap muka saja, melainkan
juga berlangsung secara sekunder dengan menggunakan media atau alat sebagai perantara
dalam berkomunikasi (Effendy, 1994). Komunikasi yang terjalin dengan perantara media
tersebut dikenal dengan istilah computer-mediated communication (CMC).
Istilah computer-mediated communication (CMC) muncul sejak tahun 1960-an saat
komputer elektronik digital mulai ditemukan (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004). Momen
tersebut membuat masyarakat mulai menjalin komunikasi melalui media komputer.
Perkembangan komputer yang semakin pesat pada pertengahan tahun 1990-an
memunculkan ketertarikan akademisi untuk mengetahui bagaimana manusia berinteraksi
dan berkomunikasi melalui media komputer. Komputer yang kemudian mengalami
perkembangan menjadi sebuah media yang lebih personal (terutama saat muncul e-mail,
chat, dan web) menyebabkan penggunaan CMC semakin bertambah dan hal tersebut
memunculkan banyaknya penelitian yang berkaitan dengan CMC.
Computer-mediated communication (CMC) didefinisikan sebagai sebuah sistem
pesan dan pertemuan elektronik yang dilengkapi dengan penghubung audio dan juga video
(Derks, Fischer, & Bos, 2008), yang dapat tersinkronasi (seperti chat) atupun tidak (seperti
email) dan pesannya sebagian besar berupa ketikan (Adrianson, 2001; Derks, Fischer, &
Bos, 2008). Perkembangan CMC dari tahun ke tahun membuatnya dapat menjadi sebuah
media yang terkoneksi dengan internet, sehingga manfaat pengunaannya pun semakin
bertambah.
Sejak tahun 1990-an dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, internet
memegang peran tersendiri, khususnya bagi kehidupan anak-anak generasi Z (Turner, 2015).
Anak-anak generasi Z merupakan anak yang lahir pada era tahun 1990-an sampai akhir tahun
2010 yang sudah terbiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan kecanggihan teknologi,
5
seperti tablet, smartphone, media sosial, atau televisi layar datar yang selalu terhubung
dengan dunia luar sepanjang waktu (Turner, 2015). Dampak dari perkembangan teknologi
tersebut pun membuat anak-anak pada generasi Z terbiasa untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara tidak langsung melalui media. Anak-anak generasi Z juga memiliki
sebuah ikatan digital (digital bond) dengan internet yang membuat mereka terikat secara
emosional dengannya. Sebuah penelitian menemukan bahwa lebih dari 90% partisipan
merasa lebih sedih jika mendapatkan hukuman tidak diperbolehkan untuk mengakses
internet dibandingkan tidak menerima uang jajan (Palley, 2012). Bagi anak-anak generasi
Z, smartphone merupakan sarana hiburan yang memiliki makna “segalanya” bagi mereka
(Palley, 2012).
Salah satu bentuk CMC yang saat ini populer dan banyak digunakan pada
smartphone ialah instant messaging (seperti Yahoo messanger, Google Talk, Facebook,
Whats app, Line, dll) dimana hadirnya aplikasi tersebut memberikan kemudahan bagi
penggunanya untuk terlibat dalam percakapan secara langsung waktu itu juga dengan
seseorang, beberapa orang, atau bahkan dalam sebuah kelompok percakapan (Garrison,
Remley, Thomasa, & Wierszewski, 2011).
Kemudahan yang diberikan dengan adanya instant messaging kini membuat
masyarakat banyak menggunakannya sebagai media untuk bertukar informasi dan
berkomunikasi. Saat ini, instant messaging sudah menjadi bagian dari media komunikasi
sehari-hari, seperti membantu dalam komunikasi pekerjaan, pertukaran informasi pada
keluarga, mempermudah arus informasi tugas bagi para siswa, dan masih banyak pertukaran
sosial lainnya, tetapi disisi lain CMC sering diasumsikan kurang sosial dikarenakan
kurangnya isyarat sosial (Kiesler, Siegel, & McGuire, 1984).
6
Deficit Approach memuat tiga model kelemahan yang terdapat saat berkomunikasi
melalui CMC, khususnya pada komunikasi CMC yang berbasis tulisan. Pendekatan tersebut
menyebutkan bahwa CMC memiliki keterbatasan kualitas komunikasi dibandingkan dengan
komunikasi secara tatap muka, yang pertama ialah kehadiran sosial (social presence), yang
kedua minimnya isyarat (cuelessness), dan terakhir ialah kekayaan media (media richness)
(Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004).
Pertama, Social presence model menjelaskan bahwa komunikasi melalui CMC
memiliki keterbatasan untuk dapat berkomunikasi secara interpersonal, kurang melibatkan
keintiman, serta minimnya isyarat visual seperti ekspresi wajah, sikap tubuh, dan kontak
mata. Kedua, cuelessness model menjelaskan bahwa CMC menyebabkan ketiadaan seluruh
isyarat nonverbal (seperti: sikap tubuh, ekspresi wajah, nada suara, penampilan) dan
identitas (seperti: status, usia, dan gender), dimana hal tersebut penting dalam
mengkomunikasikan jarak sosial dan memberikan informasi emosi saat berkomunikasi.
Terakhir adalah media richness model yang memberikan penjelasan bahwa seseorang akan
cenderung menggunakan media yang lebih kaya untuk mendapatkan informasi secara efektif
dan efisien untuk memahami sesamanya, dan komunikasi melalui CMC khususnya yang
berbasis tekstual memiliki keterbatasan untuk memfasilitasi interaksi yang melibatkan
komponen emosi yang kompleks (Thurlow, Lengel, & Tomic, 2004).
Hal diatas memaparkan bahwa perbedaan nyata antara komponen komunikasi secara
tatap muka dengan CMC ialah keterbatasan penyampaian komponen nonverbal, padahal
komponen tersebut ialah salah satu komponen terpenting dalam penyampaian pesan.
Ketiadaannya khususnya dalam interaksi tekstual dapat menyebabkan terjadinya
kesalahpahaman emosi secara lebih mudah (Kato, Kato, & Akahori, 2007). Jika hal tersebut
dibiarkan begitu saja maka kesalahpahaman yang terjadi dapat membuat perasaan emosi
yang tidak enak dan buruknya dapat merusak sebuah hubungan yang sudah terjalin.
7
Pada komunikasi tatap muka, kesalahpahaman penyampaian pesan dapat
diminimalisir karena adanya lingkungan fisik serta isyarat nonverbal yang ditunjukkan,
tetapi hal tersebut tidak berlaku pada komunikasi CMC. Absensi dari komunikasi nonverbal
(Krohn, 2004), rendahnya kehadiran sosial, serta adanya jarak secara psikologis yang
terbentuk (Rice & Love, 1987) dirasakan sebagai kekurangan dari CMC, karena manusia
bergantung pada elemen-elemen nonverbal untuk menginterpretasi makna.
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa rendahnya pancaran isyarat emosional
antara pengirim dan penerima pesan melalui e-mail dapat menyebabkan terjadinya
kesalahpahaman saat mengirimkan pesan melalui media e-mail (Kato, Kato, & Akahori,
2007). Hal tersebut menjelaskan bahwa kehadiran emosi menjadi hal yang penting dalam
menjalin komunikasi, tidak hanya secara tatap muka saja, namun juga saat berkomunikasi
melalui media lainnya. Penelitian lain mengungkapkan bahwa ternyata terdapat celah
perbedaan dari hasil laporan diri (self report) kondisi emosi antara penerima dan pengirim
pesan melalui media e-mail (Kato, Sugimura, & Akahori, 2001). Kato & Akahori (2004)
juga melakukan penelitian dengan membandingkan ketepatan seseorang dalam menilai
kondisi emosi orang lain saat berkomunikasi secara tatap muka dan melalui CMC. Hasil
menemukan bahwa seseorang kurang tepat dalam menilai kondisi emosi orang lain saat
berkomunikasi melalui e-mail, ada kecenderungan salah dalam menilai kondisi emosi
negatif dari pasangan menjadi sebuah kondisi emosi permusuhan saat berkomunikasi
melalui e-mail (Kato & Akahori, 2004). Melihat pada hal tersebut, maka kehadiran isyarat
nonverbal menjadi komponen yang penting dalam mendukung terjalinnya komunikasi yang
baik serta efektif saat berkomunikasi melalui CMC.
Menjawab ketiadaan isyarat nonverbal pada komunikasi melalui CMC beberapa
penelitian menemukan bahwa terdapat suatu simbol yang dapat mewakili isyarat nonverbal
pada komunikasi CMC yang dikenal dengan sebutan emoticon. Emoticon yang merupakan
8
singkatan dari emotion icon didefinisikan sebagai sebuah grafik yang merepresentasikan
ekspresi wajah yang menempel pada pesan elektronik (Walther & D’ Addario, 2001; Tossell,
Kortum, Shepard, Walkow, Rahmati, & Zhong, 2012) yang didalamnya sering digunakan
tanda baca dan huruf untuk membuat beberapa ekspresi, seperti senang, sedih, marah, atau
takut.
Berbagai bentuk dan jenis emoticon pada era kini pun sudah semakin banyak
ditemukan diberbagai media sosial ataupun layanan instant messaging. Tidak hanya tersusun
dari beberapa tanda baca yang membentuk wajah orang tersenyum “:)“ atau sedih saja “:(“
seperti pada awal perkembangannya, saat ini berbagai bentuk emoticon pun dihadirkan oleh
penyedia layanan instant message atau sosial media bagi para penggunanya. Pada layanan
instant messaging seperti whatsapp, yahoo messanger, blackberry messanger pengguna
disajikan pada banyak pilihan emoticon yang menggambarkan beberapa ekspresi wajah
manusia yang dapat mereka gunakan saat chatting pada layanan tersebut. Layanan instant
messaging lain seperti LINE bahkan memiliki layanan stiker (serupa dengan emoticon) yang
berbentuk wajah asli manusia yang dapat bergerak dan mengeluarkan suara.
Perkembangan CMC serta emoticon yang semakin pesat beberapa tahun terakhir
menyebabkan banyaknya penelitian yang membahas mengenai keduanya. Sebuah penelitian
mengenai emoticon yang dilakukan pada 105 siswa di Belanda menunjukkan bahwa
emoticon memiliki dampak pada penginterpretasian pesan. Emoticon berguna untuk
menguatkan pesan verbal yang disampaikan melalui CMC, tetapi kehadirannya juga
memungkinkan untuk dapat membuat ambiguitas ataupun sindiran. Secara keseluruhan
peneliti mengungkapkan bahwa emoticon menyediakan fungsi yang sama seperti perilaku
nonverbal saat berkomunikasi secara tatap muka (Derks, Bos, & Grumbkow, 2007).
Penggunaan emoticon juga dapat membuat seseorang menjadi lebih ekspresif dan hal
9
tersebut dapat membuat hubungan yang lebih interpersonal saat berkomunikasi melalui
CMC (Walther & D'addario, 2001).
Penelitian lain mengenai emoticon mengungkapkan bahwa emoticon dalam CMC
dapat digunakan sebagai alat pencegah untuk menghindari kemarahan pasangan atau
penerima pesan, pemilihan untuk menggunakan emoticon berhubungan positif dengan
kondisi emosi yang dirasakan pada saat pesan dibuat, dan ternyata terdapat tendensi
penuruan penggunaan emoticon saat seseorang mengalami emosi yang sangat kuat (Kato,
Kato, & Scott, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Kang Lo (2008) mengungkankan
bahwa terdapat perbedaan antara pesan yang menggunakan dan tidak menggunakan
emoticon. Hasil dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa emoticon membantu
penerima pesan untuk memahami secara lebih benar level dan arah dari ekspresi emosi,
sikap, dan perhatian.
Sebuah studi pendahuluan yang dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka
kepada 73 responden mahasiswa yang aktif menggunakan instant messaging diketahui
bahwa sebanyak 54.9% responden menggunakan
emoticon untuk menghindari
kesalahpahaman dalam berkomunikasi melalui instant messaging supaya pesan yang
diberikan tidak menyinggung lawan bicara. Sebanyak 29.41% berbahasa dengan baik,
3.92% dengan memberikan sapaan, 1.96% menggunakan tanda baca yang sesuai, dan
sebesar 1.96% merespon dengan cepat. Motif seseorang dalam menggunakan emoticon pun
beragam, diantaranya untuk menguatkan pesan yang disampaikan, mengekspresikan emosi,
meletakkan sebuah perspektif, dan untuk meregulasi interaksi (Derks, Bos, & Grumbkow,
2007).
Disisi lain, bentuk emoticon pun memiliki makna yang ambigu (Derks, Bos, &
Grumbkow, 2007). Terdapat beberapa pengirim pesan yang menginterpretasikan bentuk
emoticon kurang sesuai dengan ekspresi yang ditampilkan. Sebuah perusahaan penerjemah
10
online terbesar di dunia melakukan tes untuk mengetahui keuniversalan dari bentuk
emoticon yang terdapat dalam layanan instant messaging dan didapatkan hasil yang cukup
menarik. Sebuah bentuk emoticon yang menunjukkan ekspresi wajah terdiam, diinterpretasi
secara salah sebagai sebuah ungkapan “Tidak sama sekali!” atau “Terkejut”, bentuk
emoticon lainnya yang menunjukkan bentuk perempuan menyilangkan tangannya yang
memiliki arti “menjauh dari saya” diinterpretasikan sebagai sebuah ungkapan “jangan
bermain-main dengan saya” “berhenti sekarang atau bahkan sebagai sebuah bentuk jurus
dalam kungfu (Griffiths, 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa emoticon yang ada dapat
diinterpretasikan secara berbeda dan kurang menunjukkan keuniversalannya.
Penelitian lain juga menemukan bahwa penggunaan emoticon ternyata dapat pula
menyebabkan ambiguitas serta sindiran pada pesan, terutama jika emoticon yang digunakan
tidak sesuai dengan pesan verbal yang disampikan saat berkomunikasi (Derks, Bos, &
Grumbkow, 2007). Pesan negatif yang dipasangkan dengan emoticon tersenyum dirasa lebih
ambigu dan mengandung sindiran dibandingkan dengan pesan negatif dan positif tanpa
adanya emoticon. Begitu pula dengan pesan positif yang dipasangkan dengan emoticon
wajah yang sedang mengerutkan dahi dirasa lebih amibigu dan mengandung sindiran
dibandingkan dengan pesan positif dan negatif tanpa adanya emoticon (Derks, Bos, &
Grumbkow, 2007).
Wawancara juga dilakukan oleh peneliti kepada dua narasumber yang aktif
menggunakan layanan instant messaging dalam berkomunikasi sehari-hari untuk
mengetahui emoticon yang digunakan dalam konteks situasi tertentu. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa terkadang emoticon yang digunakan memang tidak sesuai
dengan kondisi emosi yang dirasakan, sebagaimana yang diungkapkan oleh narasumber 1,
yaitu:
“Hmm…..jadi emoticon itu bisa buat nyembunyiin perasaan. Jadi bisa
pura-pura seneng atau happy. Kadang lagi banyak masalah tapi pake
11
emoticon yang ngga sesuai sama yang dirasain, lagi sedih tapi pake
emoticon yang ada senyumnya” (narasumber 1, 2016)
Narasumber kedua juga mengungkapkan hal yang serupa, yaitu:
“Emoticon itu bisa dipake buat mencairkan suasana, biar ga spaneng
chatnya, juga bisa buat mendramatisir dan lucu-lucuan. Misalnya aja ibuku
bilang kalo gamau transfer uang jajan, terus aku kirim emoticon wajah
orang marah banyak banget, padahal yang sebenernya dirasain ya ga kaya
gitu” (narasumber 2, 2016)
Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang terkadang menggunakan emoticon yang
tidak sesuai dengan kondisi emosi yang sebenarnya. Emoticon terkadang digunakan untuk
menutupi perasaan yang sebenarnya atau sebagai sarana hiburan dalam percakapan tekstual.
Penelitian yang dilakukan oleh Kato, Kato, & Scott (2009) juga mengugkapkan
bahwa ternyata penggunaan emoticon tidak hanya berhubungan dengan kondisi emosi yang
dirasakan saja, namun juga berhubungan dengan kondisi emosi lainnya. Seperti misalnya,
saat seseorang berada dalam kondisi emosi sedih ia akan menggunakan emoticon yang
menunjukkan ekpresi wajah sedih dan juga ekspresi wajah marah, begitu pula saat seseorang
berada dalam kondisi emosi marah emoticon yang digunakan tidak hanya emoticon yang
menunjukkan ekspresi marah, namun juga emoticon yang menunjukkan ekspresi sedih
(Kato, Kato, & Scott, 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengirim pesan menggunakan
emoticon tidak hanya berdasarkan pada konsisi emosi yang sesuai saja dengan ekspresi
emoticonnya saja, namun juga dapat dapat digunakan dalam koteks kondisi emosi yang
lainnya.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa kehadiran emoticon sebagai pengganti
isyarat nonverbal dalam komunikasi berbasis tekstual sangatlah penting. Banyak pengguna
yang menggantungkan ketersampaian emosi melalui emoticon untuk menghindari
kesalahpahaman, namun ditemui bahwa emoticon juga dapat digunakan dalam kondisi
emosi yang berbeda dengan bentuk atau ekspresinya. Oleh karena itu, peneliti bermaksud
untuk mencari tahu apakah kondisi emosi yang dirasakan dalam hal ini kondisi emosi
12
senang, sedih, dan marah dapat mempengaruhi ketepatan seseorang dalam menggunakan
emoticon saat berkomunikasi melalui instant messaging
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui apakah kondisi emosi yang dirasakan dalam hal ini kondisi emosi
senang, sedih, dan marah dapat mempengaruhi ketepatan seseorang dalam menggunakan
emoticon saat berkomunikasi melalui instant messaging.
2. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan ketepatan antara laki-laki dan perempuan
dalam menggunakan emoticon saat berkomunikasi melalui instant messaging.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis manfaat penelitian yang akan dilakukan adalah menambah khasanah
ilmu pengetahuan psikologi khususnya dalam bidang psikologi komunikasi dan emosi
karena literatur dan pembahasan mengenai emoticon dan CMC masih sedikit dibahas dalam
ranah nasional maupun internasional.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu sebagai salah satu saran alternatif bagi
masyarakat yang saat ini banyak menggunakan media CMC berbasis tekstual berupa instant
messaging dalam membangun komunikasi yang baik. Memberikan alternatif saran dalam
upaya menghindari adanya kesalahpahaman dalam menyampaikan atau menerima pesan
melalui instant messaging yang diketahui sangat minim akan isyarat nonverbal yang penting
dalam mendukung ketersampaian pesan.
Download