Tarsius tarsier kompleks - Seminar Nasional

advertisement
Prosiding Seminar Nasional I Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 22 Agustus 2015
PROFIL GEN CYT B SEBAGAI ACUAN KONSERVASI GENETIK TARSIUS
SULAWESI (Tarsius tarsier kompleks)
Decky D. W. Kamagi
Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Manado
[email protected]
ABSTRAK
Status konservasi beberapa spesies Tarsius Sulawesi (Tarsius tarsier kompleks) sekarang ini
ada yang rentan punah bahkan ada yang hampir punah. Oleh karena itu usaha konservasi
terutama konservasi genetik perlu dilakukan agar keberadaan spesies Tarsius Sulawesi tetap
lestari. mtDNA telah banyak digunakan untuk mempelajari keragaman genetik dan kekerabatan
beberapa spesies. Kajian ini menganalisis karakter gen cyt b pada beberapa spesies Tarsius
Sulawesi dan menyidik keragaman genetik dan hubungan kekerabatan di antara beberapa
spesies berbasis gen cyt b parsial. Gen cyt b parsial beberapa spesies Tarsius tipe lokalitas
Sulawesi Utara, diamplifikasi dan disekuensing, dan selajutnya sekuen parsial gen cyt b yang
diperoleh disejajarkan dengan gen cyt b yang selaras dari beberapa taksa berkerabat famili
Tarsiidae yang diambil dari GenBank. Ekstraksi DNA total menggunakan innuPREP DNA Micro
kit, dan amplifikasi gen cyt b menggunakan primer umum L 14841 dan H15149. Rekonstruksi
pohon filogenetik dilakukan melalui metode Maximum Likelihood (ML). Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi basa pada sekuen gen cyt b parsial adalah T =
32.90%, A = 28.73%, C =22.42 dan G = 15.95%. Rekonstruksi pohon filogenetik menunjukkan
bahwa Tarsius tipe lokalitas Sulawesi Utara bersekutu dengan kelompok Tarsius tarsier
kompleks dan terpisah dari kelompok Cephalopahcus bancanus dan Carlito syrichta. Dengan
demikian gen cyt b telah mengalami peristiwa substitusi basa dan dapat dipergunakan untuk
membedakan antar spesies Tarsius dalam usaha konservasi genetik.
Kata Kunci : konservasi, Tarsius, Sulawesi, punah, DNA,gen cyt b
PENDAHULUAN
Sekuen DNA mitokondria DNA (mtDNA), seperti gen sitokrom b (cyt b) dan
beberapa gen lainnya secara luas telah digunakan untuk kajian populasi genetik dan
filogenetik (Avise et al., 1979, Brown et al., 1982). Sekuen tersebut telah terbukti
berguna untuk memperkirakan waktu divergensi spesies dan populasi, perbandingan
laju relatif evolusi, dan inferensia filogenetik dalam dan antar spesies vertebrata (Nei
1987; Avise 1994). Gen cyt b mitokondria diketahui sebagai gen yang lebih cepat
berkembang dan dapat lebih bervariasi baik di dalam maupun antar spesies serta
dapat digunakan untuk mengkaji filogeni dan biogeografi (Roos et al., 2008; Lim, et
al., 2010; Randi, 1996; Karanth et al., 2008). Gen cyt b telah secara luas digunakan
untuk kajian molekuler pada vertebtara karena ketersediaan primer-primer kekal yang
bekerja dengan baik untuk amplifikasi pada berbagai spesies (Kocher et al., 1989).
Gen cyt b mengandung
kelas karakter diskrit yaitu, ketiga posisi basa pada
kodon, yang memaparkan laju mutasi dimulai dari yang konservatif sampai dengan
yang cepat (Irwin et al., 1991), sehingga sering digunakan untuk mengkaji evolusi
molekuler. Informasi tentang variasi dari empat nukleotida yang disebabkan oleh
pola substitusi dan variabilitas tingkat substitusi diantara tapak, sangat diperlukan
dalam kajian evolusi molekuler. Karena gen-gen mitokondria memiliki tingkat substitusi
yang lebih besar daripada yang terjadi pada gen-gen inti dan pada mtDNA primata
kejadian transisi lebih sering daripada transversi (Brown, 1983), maka estimasi pola
dan laju substitusi nukleotida diantara tapak dapat ditentukan. Kondo et al., (1993),
dalam kajian mereka pada enam spesies primata menemukan bahwa tingkat transisi
“Peran Pendidikan Biologi Dalam Menyiapkan Generasi Cerdas di Abad 21”
48
Prosiding Seminar Nasional I Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 22 Agustus 2015
lebih cepat 17 kali daripada tingkat transversi. Proses substitusi nukleotida umumnya
dianggap sebagai transisi dan transversi. Transisi adalah substitusi diantara sesama
basa purin (A↔G) atau diantara sesama pirimidin (C↔T), sedangkan transversi adalah
substitusi basa purin oleh pirimidin atau sebaliknya (A↔C, A↔T, G↔C dan G↔T).
Tipe yang paling banyak dikaji dari semua jenis tingkat substitusi di antara
empat nukleotida tersebut adalah bias transisi. Sejauh mana bias transisi itu biasanya
diestimasi dengan menghitung jumlah perbedaan transisi dan transversi dari sekuen
yang menyimpang dan mengambil rasio mereka. Bias transisi ini disebabkan oleh
kurangnya mekanisme perbaikan mtDNA, atau karena suatu tautomerik pasangan
basa yang dengan ikatan G-T dan A-C yang menyimpang dari model Watson-Crick
(Wakeley, 1994). Masalah yang dihadapi pada hasil pengamatan sekuen nukleotida
dimana pada tapak yang sama terjadi subsitusi ganda, yang akan mengaburkan bias
transisi/transversi (Kimura, 1980; Wakeley, 1994; Yang dan Yoder, 1998).
Beberapa metode dengan pendekatan berbeda telah dikembangkan untuk
mengestimasi bias transisi untuk keperluan analisis evolusioner molekuler. Tingkat
substitusi diantara empat nukleotida dapat diestimasi melalui metode berdasarkan
jarak, metode likehood dan parsymony (Kimura, 1980; Kumar, 1996; Yang dan Yoder,
1998). Kajian genom mitokondria utuh telah dilakukan pada C. syrichta (Matsui et al.,
2009), C. bancanus (Andrews, et al. 1998; Schmitz et al. 2002), dan genom cyt b utuh
juga telah dikaji pada, T. wallacei (Merker et al. 2010), T. lariang (Merker et al. 2009),
T. dentatus (Merker et al., 2009), dan T. dentatus x T. lariang (Mereker et al., 2009)
sehingga sebagian gen cyt b homolog mereka dapat disejajarkan dengan sekuen gen
cyt b parsial dari Tarsius Sulawesi Utara: T. sangirensis, T. tarsier dan T. tumpara
untuk mengungkap keragaman dan hubungan kekerabatan diantara mereka untuk
kepentingan konservasi genetik.
MATERI DAN METODE
Pengumpulan dan Perlakuan Sampel
Spesimen sampel Tarsius Sulawesi Utara yang dikumpulkan terdiri dari:
T. sangirensis, T. tarsier dan T. tumpara berasal dari 3 lokasi berbeda. Sekuen gen cyt
b parsial beberapa spesies Tarsius dan aksesinya diambil dari GenBank.
Ekstraksi DNA dan Amplifikasi dan Sekuensing Amplikon Gen cyt b
DNA total diekstraksi menggunakan InnuPREP DNA micro Kit. Komponen dan
kondisi PCR, kami optimasi sehingga gen cyt b dapat teramplifikasi. Primer yang
digunakan adalah primer universal: L14841 dan H15149 (Kocher et al. 1989).
Amplifikasi gen cyt b menggunakan mesin Boimetra Tpersonal. Produk amplifikasi
dikirim ke perusahaan (First BASE, Laboratories Sdn. Bhd. Selangor, Malaysia) untuk
disekuensing. Alat yang digunakan ABI PRISM 3730xl Genetic Analyzer. Biosystem
USA.
Penjajaran Sekuen dan Analisis Data
Sekuens gen cyt b dijajarkan dengan penjajar otomatis ClustalW melalui
aplikasi piranti lunak MEGA5 versi 5.2.2. Estimasi laju dan pola substitusi
menggunakan dua pendekatan berbeda yaitu metode berdasarkan likehood dan
parsimony. Data sekuens gen cyt b parsial dari C. bancanus, C. syrichta, T. wallacei,
T. lariang, T. dentatus dan T. dentatus x T. lariang diperoleh dari GenBank.
“Peran Pendidikan Biologi Dalam Menyiapkan Generasi Cerdas di Abad 21”
49
Prosiding Seminar Nasional I Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 22 Agustus 2015
HASIL PENELITIAN
Amplifikasi sekuen
Primer L 14841 dan H 15149 mampu mengamplifikasi sekuen gen cyt b sampai
dengan panjang sampai 306 bp sekuen gen cyt b. Panjang sekuen gen cyt b parsial
yang teramplifikasi terletak mulai pada nukleotida ke-96 sampai ke-402 pada sekuen
gen cyt b utuh atau terletak pada nukleotida ke-14265 sampai 14570 genom mtDNA
utuh Tarsius.
Penjajaran sekuen
Sekuen gen cyt b parsial dengan panjang 306 pb dari T. sangirensis, T. tarsier
dan T. tumpara disejajarkan dengan sekuen gen cyt b homolog dari beberapa spesies
Tarsius yang diambil dari GenBank. Hasil penjajaran sekuen menunjukkan situs takberagam = 224 (73%), situs beragam = 83 (27%), parsimoni informatif (Pi) = 83 (27%).
Komposisi basa
Rata-rata frekuensi basa pada sekuens gen cyt parsial Tarsius, adalah T =
32.90%, A = 28.73%,C =22.42 dan G = 15.95%. Frekuensi basa pada masing-masing
spesies yang tertinggi adalah basa T, sedangkan frekuensi yang paling rendah adalah
basa G. Frekuensi basa T pada T. lariang dan T. dentatus x lariang adalah yang paling
tinggi diantara diantara spesies lainnya, sedangkan frekuensi basa G pada T. dentatus
adalah paling rendah diantara spesies lainnya. Frekuensi basa di setiap posisi pada
kodon dengan kerangka pembacaan dimulai dari basa kedua pada sekuen disesuaikan dengan kerangka bacaan pada proses tranlasi gen cyt b - menunjukkan
variasi, dimana frekuensi basa T di posisi pertama dan kedua pada kodon adalah yang
tertinggi, sedangkan frekuensi basa C di posisi pertama dan basa A pada posisi kedua
adalah yang paling rendah. Frekuensi basa G di posisi ketiga pada kodon adalah yang
paling rendah.
Hasil analisis sekuen gen cyt b parsial secara lengkap ditampilkan pada Tabel
1. Diversitas nukleotida (Pi) = 0.069833, dengan total jumlah mutasi = 97 dan tapak
polimorpik = 83. Rasio ts/tv= (R) = 4.978 dan rasio ts/tv = (k) antara basa purin = 5.253
dan antara basa pirimidin = 13.418.
Tabel 1. Profil Sekuen Gen Cyt b Parsial
Parameter
Frekuensi tirosin
Frekuensi sitosin
Frekuensi adenin
Frekuensi guanin
Frekuensi tapak invariabel
Frekuensi tapak parsimoni informatif
Diversitas nukleotida (Pi)
Jumlah haplotipe
Total jumlah mutasi
Situs polimorpik
Rasio ts/tv (k)
Rasio ts/tv (R)
Distribusi Gamma diskrit
(Model Tamura-Nei)
Pertama
29.9
17.6
25.8
26.7
Posisi pada Kodon
Kedua
Ketiga
42.2
26.7
21.6
28.1
17.6
42.7
18.6
2.5
Total
306
306
306
306
73%
27%
0.069833
9
97
83
Purin = 5.253, Pirimidin = 13.418
4.978
0.1882,
0.00, 0.01, 0.10, 0.63, dan 4.26 substitusi per
situs
Catatan: Analisis pada posisi basa pada kodon hanya menggunakan panjang sekuen 306 nt,
sedangkan parameter lainnya tetap menggunakan panjang sekuen 307 nt.
Rata-rata laju evolusioner
“Peran Pendidikan Biologi Dalam Menyiapkan Generasi Cerdas di Abad 21”
50
Prosiding Seminar Nasional I Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 22 Agustus 2015
Substitusi Nukleotida
Tapak-tapak beragam yang ditemukan di sepanjang sekuen 307 nukleotida
berjumlah 83 tapak. Tapak-tapak beragam tersebut disebabkab oleh kejadian
substitusi basa disepanjang sekuen. Macam substitusi di 83 tapak beragam tersebut
terdiri dari substitusi transisi dan tranversi dan sementara itu pada tapak yang sama
juga terjadi substitusi-tunggal ganda (multi single-substitution). Kejadian substitusi
transisi jauh lebih besar dari pada kejadian tranversi. Kejadian substitusi basa di posisi
ketiga pada kodon ditemukan jauh lebih besar daripada substitusi basa di posisi
pertama dan kedua, sedangkan substitusi basa di posisi pertama lebih besar daripada
substitusi basa di posisi kedua. Kejadian substitusi transisi pada basa di posisi ketiga
lebih besar daripada substitusi yang sama pada basa di posisi pertama dan kedua,
begitu pula kejadian substitusi transversi basa pada posisi ketiga lebih besar daripada
substitusi yang sama pada basa di posisi pertama dan kedua. Kejadian subsitusi
transisi dan transversi pada basa di posisi kedua, jauh lebih rendah daripada substitusi
yang sama pada basa pertama dan ketiga. Penghitungan substitusi tersebut diperoleh
dengan mengabaikan substitusi-tunggal ganda pada tapak yang sama. Pada kejadian
substitusi transisi, T↔C jauh lebih besar dibanding dengan A↔G dan sedangkan pada
kejadian substitusi tranversi, C↔A lebih besar daripada kejadian substitusi yang sama
pada pasangan basa lainnya.
T. wallacei (HM115983)
T. wallacei (HM115980)
84
T. wallacei (HM115977)
T. wallacei (HM115978)
85
T. wallacei (HM115979)
T. wallacei (HM115984)
T. wallacei (HM115982)
34
T. tarsier (TM1)*
99
T. tarsier (TM2)*
T. dentatus (FJ614366)
T. dentatus (FJ614371)
T. dentatus (FJ614370)
95
79
T. dentatus (FJ614369)
T. dentatus (FJ614368)
T. dentatus (FJ614367)
T. dentatus x lariang (FJ614361)
T. dentatus x lariang (FJ614359)
T. dentatus x lariang (FJ614356)
T. lariang (FJ614363)
98
99
T. lariang (FJ614358)
T. lariang (FJ614357)
T. lariang (FJ614354)
T. lariang (FJ614353)
T. lariang (FJ614352)
T. sangirensis (TS2)*
T. sangirensis (TS1)*
96
T. tumpara (TT1)*
99
T. tumpara (TT2)*
100
C. bancanus (T.bancanus) (AF348159)
C. bancanus (T.bancanus) (AB011077)
C. syrichta (T.syrichta) (AB371090)
100
C. syrichta (T.syrichta) (NC012774)
0.05
Gambar 1. Pohon Filogenetik Berdasarkan Sekuen Nukleotida Yang Dikonstruksi Dengan
Metode Maximum Likelihood (ML), [Bootstrap 1000. Model Substitusi: Model
Tamura 3-parameter (T92 + I)
“Peran Pendidikan Biologi Dalam Menyiapkan Generasi Cerdas di Abad 21”
51
Prosiding Seminar Nasional I Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 22 Agustus 2015
Rekonstruksi pohon filogenetik berbasis gen cyt b parsial melalui metode Maximum
Likelihood (Gambar 1), menunjukkan bahwa bahwa Tarsius Sulawesi Utara berada
pada klade yang berbeda dengan kelompok Tarsius Sulawesi lainnya dan kelompok C.
bancanus dan C. syrichta.
PEMBAHASAN
Gen individual maupun genom keseluruhan secara signifikan beragam dalam
komposisi nukleotida sudah diketahui. Keragaman nukleotida secara luas ditemukan
pada DNA inti maupun DNA ekstra-kromosomal seperti mtDNA. Gen pengkode protein
pada DNA mitokondria menunjukkan heterogenitas yang cukup besar pada perubahan
sekuen (Bielawski dan Gold, 1996). Keragaman nukleotida suatu gen atau genom
muncul karena adanya perubahan dari basa-basa nitrogen di situs tertentu pada
sekuen nukleotida tersebut.
Komposisi basa dimana basa G pada level terendah merupakan ciri khas gen
cyt b sebagai gen penyandi protein pada mamalia (Avise, 1994). Temuan Irwin et al.,
(1991) pada beberapa mamalia ternyata frekuensi basa G di semua posisi kodon
adalah rendah.
Keragaman komposisi basa pada nukleotida biasanya paling
menonjol terdapat pada posisi basa pada kodon sinonim dari gen, karena redundansi
dalam kode genetik, dan variasi dalam kandungan DNA yang mungkin memiliki sedikit
efek pada kandungan asam amino yang menyandikan protein (Singer and Hickey,
2000). Keragaman komposisi basa pada nukleotida antara lain disebabkan oleh
kejadian substitusi basa di beberapa tapak. Kejadian substitusi di sepanjang sekuen
307 bp sampel ditemukan di 83 situs berbeda. Adanya kejadian substitusi yang
ditemukan di beberapa situs sekuen menyebabkan frekuensi basa di sepanjang
sekuen Tarsius sp. menjadi beragam. Substitusi pada gen-gen mitokondria adalah
suatu proses yang kompleks dan dapat bervariasi pada kelompok-kelompok
taksonomik (Bielawski dan Gold, 1996). Kejadian substitusi dapat berupa substitusi
transisi yaitu substitusi antara dua basa purin (adenin ↔ guanin) atau dua basa
pirimidin (timin ↔ sitosin) dan substitusi transversi yaitu substitusi basa antara purin
dan pirimidin (A↔T, A↔C, T↔G, dan C↔G). Kejadian substitusi di sejumlah tapak
pada sekuen gen cyt parsial Tarsius adalah berupa substitusi transisi dan transversi,
dengan rasio bias transisi ts/tv = 4. 978, menunjukkan bahwa perbandingan kejadian
transisi lebih besar daripada transversi. Tingginya kejadian substitusi transisi
dibandingkan transversi adalah biasa terjadi pada sekuen mtDNA eutharian (Brown, et
al, 1984, Avise, 1994). Kocher et. al., (1989) mengemukakan bahwa biasanya pada
mtDNA substitusi transisi lebih dominan daripada substitusi transversi, dan saturasi T
↔ C akan jauh lebih besar dibanding A ↔ G.
Secara luas telah diakui bahwa tingkat mutasi pada mtDNA adalah sangat
tinggi. Pada banyak kasus ditemukan bahwa tingkat substitusi lebih tinggi terjadi pada
posisi basa di kodon sinonim daripada posisi basa di kodon non-sinonim. Tingkat
substitusi pada kodon non-sinonim bervariasi diantara gen-gen, dan pada beberapa
kasus, kejadian itu lebih rendah pada mitokondria daripada gen inti (Saccone et al.
1991). Kejadian substitusi transisi lebih dominan daripada substitusi transversi adalah
biasa terjadi pada mtDNA (Kocher et. al., (1997). Perolehan substitusi transisi lebih
dominan daripada substitusi transversi, menyebabkan saturasi T↔C menjadi jauh lebih
besar dibanding A↔G. Perbandingan kejadian substitusi transisi yang jauh lebih besar
“Peran Pendidikan Biologi Dalam Menyiapkan Generasi Cerdas di Abad 21”
52
Prosiding Seminar Nasional I Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 22 Agustus 2015
daripada substitusi transversi sejalan dengan yang dikatakan Brown et. al., (1982)
bahwa pada gen cyt b kejadian substitusi transisi lebih dominan daripada substitusi
transversi.
Pengamatan bias transisi di tapak sinonim pada banyak kelompok taksa
berkerabat dekat, menunjukkan bahwa substitusi transisional berkembang lebih cepat
daripada substitusi transversional (Bielawski dan Gold, 1996). Lebih lanjut Kocher et
al., (1989), mengemukakan bahwa substitusi nukleotida pada tingkat spesies sebagian
besar adalah transisi sedangkan pada tingkat genus adalah transversi. Brown et. al.,
(1982) mengemukakan bahwa timbulnya kejadian transisi tinggi pada mtDNA adalah
sebagai manisfestasi dari meningkatnya tekanan mutasi, namun demikian laju
substitusi nukleotida tidak berkorelasi dengan laju perubahan struktural genom dari
organela. Pada mamalia, mtDNA memang pesat dalam substitusi nukleotida, tetapi
susunan dan ukuran gen dari genom tetap untuk setiap spesies (Castro, et al., 1998).
Brown et. al., (1982) mengatakan bahwa faktor yang bertanggung jawab sehingga
tingginya tingkat mutasi mtDNA melampaui DNA inti antara lain: a) kecenderungan
rusaknya sistem replikasi, b) kurang efisiensinya fungsi pengeditan dan c) tingginya
tingkat pertukaran (turnover). Sementara itu (Reyes et al., 1998) mengatakan bahwa
tingginya tingkat mutasi yang diamati dalam mitokondria dapat dikaitkan dengan
kerusakan oksidatif oleh radikal bebas yang dihasilkan selama pengangkutan elektron
untuk oksigen yang terjadi pada kompleks rantai respirasi
dalam membran
mitokondria bagian dalam. Penyebab lain karena rendahnya aktivitas proof-reading
DNA polymerase selama replikasi dan kurangnya sistem perbaikan DNA.
DAFTAR RUJUKAN
Andrews, T. D., L. S. Jermiin and S. Easteal. 1998. Accelerated evolution of
cytochrome b in simian primates: adaptive evolution in concert with other
mitochondrial proteins. J. Mol. Evol. 47 (3), 249-257.
Avise, J. C., R. A., Lansman, and R. O., Shade, 1979. Use endonuclease to Measure
Mitochondrial DNA Sequence Relatedness in Natural Population. I. Population
Structure and Evolution in Genus Peromyscus. Genetics 92:279-295.
Bielawski J. P. and J. R. Gold. 1996. Unequal Synonymous Substitution Rates Within
and Between Two Protein-Coding Mitochondrial Genes. Mol. Biol. Evol.
13(6):889-892.
Brown, W. M., E.M. Prager, A.Wang, and A.C.Wilson, 1982. Mitochondrial DNA
sequences of Primates: Tempo and Mode of Evolution. J. Mol.Evol. 18:225-239.
Castro, J. A., A. Picornell, M. Ramon. 1998. Mitochondrial DNA: a tool for populational
genetics studies. Int. Microbiol. 1:327–332.
Clayton. D. A. 2000. Transcription and replication of mitochondrial DNA. Human
Reproduction, Vol. 15. (Suppl. 2), pp. 11-17
Farias I. P., G. Ortı, I. Sampaio, H. Schneider, A. Meyer. 2001. The Cytochrome b
Gene as a Phylogenetic Marker: The Limits of Resolution for Analyzing
Relationships Among Cichlid Fishes. J. Mol Evol 53:89–103
Foster P. G., L. S. Jermiin, and D. A. Hickey. 1997. Nucleotide composition bias affects
amino acid content in proteins coded by animal mitochondria. J. Mol. Evol.
44:282–288.
Groves C. and M. Shekelle, 2010. Genera and Spesies of Tarsiidae. Int. J. Primatol.
31:1071-1082.
Irwin D.M., T.D. Kocher and A.C. Wilson. 1991. Evolution of Cytochrome b Gene
Mammals. J. Mol.Evol 32:128-144.
“Peran Pendidikan Biologi Dalam Menyiapkan Generasi Cerdas di Abad 21”
53
Prosiding Seminar Nasional I Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajaran,
Pendidikan Biologi FKIP Universitas Mulawarman, Samarinda, 22 Agustus 2015
Karanth, K.P., S. Lalji, R. V. Collura and S.C. Beth. 2008. Molecular phylogeny and
biogeography of langurs and leaf monkey of South Asia., Mol. Phylogenet., Evol.,
46:683-694.
Lim, L. S., K. C. Ang, M.C. Mahani, A.W. Shahrom anf B.M. Md-Zain, 2010.
Mitochondrial DNA polymorphism and phylogenetic relationships of proto malays
in peninsular Malaysia. J. Biol.Sci.,10:71-83.
Kimura M. 1980. A simple method for estimating evolutionary rates of bases
substitution trough comparative studies of nucleotide sequences, J. Mol. Evol. 16:
111 – 120.
Kocher, T. D., W.K. Thomas, A. Meyer, S.V. Edwards, S. Paabo, FX. Villablanca, A.C.
Wilson, 1989, Dynamics of mitokondrial DNA evolution in animals: Amplification
and sequencing with conserved primers. J. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 86:61966200.
Kocher R.D and K.L. Carleton. 1997. Base substitution in fish mitochondrial DNA:
patters and rates. In Molecular systematics of Fish. Kocher, TD and Ca Stepien
(Eds.). Academic Press: San Diego.
Kondo, R., S. Horay, Y. Satta, and N. Takahata. 1993. Evolution of hominid
mitochondrial DNA with special reference to the silent substitution rate over the
genome. J. Mol. Evol. 36:517-531.
Matsui, A., F. Rakotondraparany, I. Munechika, M. Hasegawa and S. Horai. 2009.
Molecular phylogeny and evolution of prosimians based on complete sequences
of mitocondrial DNAs. J. Gene 441 (1-2), 53-66..
Merker, S., Driller, C., Perwitasari-Farajallah, D., Pamungkas, J. and Zischler, H. 2009.
Elucidating geological and biological processes underlying the diversification of
Sulawesi tarsiers. J. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 106 (21), 8459-8464.
Merker S., C. Driller, H. Dahruddin, Wirdateti, W. Sinaga, D. P. Farajallah and M.
Shekelle. 2010. Tarsius wallacei: A New Tarsier Species from Central Sulawesi
Occupies a Discontinuous Range. Int. journal Primate, Vol. 31 (6):1107-1122.
Randi, E. 1996, A mitochondrial cytochrome phylogeny of the Alectoris partridges. J.
Mol. Phyl. Evol. 6:34-41.
Reyes, A., C. Gissi, G. Pesole, and C. Saccone, 1998. Asymmetrical Directional
Mutation Pressure in the Mitochondrial Genome of Mammals. Mol. Biol. Evol.
15(8):957–966.
Roos, C., T. Nadler and L. Walter, 2008. Mitochondrial phylogeny, taxonomy and
biogeography of silver langur spesies group (Trachypithecus cristatus). Mol.
Phylogenet. Evol.,47:629-636.
Saccone, C., G. Pesole and B. Kadenbach, 1991. Evolutionary analysis of the nucleusencoded subunits of mammalian cytochrome c oxidase. Eur. J. Biochem.
195:151– 156.
Schmitz, J. M., Ohme, H. Zischler, 2002. The complete mitochondrial sequence of
Tarsius bancanus: Evidence for an extensive nucleotide compositional plasticity
of primate mitochondrial DNA. Mol. Biol. Evol.,19:544-553.
Shekelle M. 2008. Distribution of Trasiers Acoustic Forms, North and Central Sulawesi:
with Notes on The Primary Taxonomy of Sulawesi’s Tarsiers. Primates of The
Oriental Night p.:35 – 50.
Singer G. A. C. and D. A. Hickey. 2000. Nucleotide Bias Causes a Genomewide Bias
in the Amino Acid Composition of Proteins. Mol. Biol. Evol. 17(11):1581–1588.
Wakeley, J. 1994. Substitution-Rate Variation among Sites and the Estimation of
Transition Bias. J. Mol. Biol. Evol, 11(3):436-441.
Yang Z. and A. Yoder, 1999. Estimation of the Transition/Transversion Rate Bias and
Species Sampling. J. Mol Evol (1999) 48:274–283.
“Peran Pendidikan Biologi Dalam Menyiapkan Generasi Cerdas di Abad 21”
54
Download