pengendalian infeksi di unit hemodialisis

advertisement
1
PENGENDALIAN INFEKSI DI UNIT HEMODIALISIS
Dhiyan Kusumawati, S.Kep.,Ners
PD IPDI DIY
I.
II.
Pendahuluan
Pasien hemodialisa (HD) sangat rentan terkena infeksi yang didapat dari berbagai
sumber. Beberapa hal yang merupakan faktor tersebut adalah : proses kanulasi,
imunosupresi, kontak yang sering dengan petugas kesehatan selama prosedur dan
perawatan dan kurangnya penghalang fisik antara pasien dengan lingkungan hemodialisa.
Pencegahan dan kontrol infeksi yang efektif dengan melibatkan berbagai intervensi
bertujuan untuk mengurangi resiko infeksi di unit HD (APIC, 2010).
Pencegahan dan kontrol infeksi di ruang hemodialisis
A. Kebersihan tangan
Kegagalan melakukan kebersihan tangan yang baik dan benar dianggap sebagai
penyebab utama infeksi nosokomial dan penyebaran mikroorganisme multi resisten
di fasilitas pelayanan kesehatan dan telah diakui sebagai kontributor yang penting
terhadap timbulnya wabah (Depkes RI, 2008) .
Penelitian menunjukkan rantai utama transmisi healthcare associated infections
(HAIs) adalah dari tangan tenaga pelayanan kesehatan. Kebersihan tangan merupakan
hal yang penting dalam pencegahan infeksi. Namun, kepatuhan kebersihan tangan
tenaga kesehatan masih sangat rendah, kira-kira hanya 40%. Banyaknya waktu yang
diperlukan untuk cuci tangan merupakan salah satu hal rendahnya kepatuhan cuci
tangan tenaga kesehatan. Namun kepatuhan terhadap cuci tangan dapat
dikembangkan dengan pendidikan berkelanjutan, supervisi dan penyediaan tempat
cuci tangan yang mudah dijangkau, jumlah wastafel, sabun dan hand towel/paper
towel yang cukup ( 1 wastafel setiap 4-6 mesin HD) dan penyediaan alkohol based
hand rub yang ditempatkan disetiap tempat tidur pasien (Karkar, 2014).
Penelitian membuktikan bahwa daerah di bawah kuku (ruang subungual)
mengandung jumlah mikroba yang tertinggi. Kuku yang panjang dapat berperan
sebagai reservoir untuk bakteri gram negatif. Kuku yang panjang baik alami maupun
buatan, lebih mudah melubangi sarung tangan. Oleh karena itu, kuku harus dijaga
tetap pendek tidak melebihi 3 mm dari ujung jari. Penggunaan cat kuku dan perhiasan
juga tidak diperkenankan (Depkes, 2008).
Hal-hal yang perlu diingat saat membersihkan tangan :
1. Bila jelas terlihat kotor atau terkontaminasi oleh bahan yang mengandung
protein, tangan harus dicuci dengan sabun dan air mengalir
2. Bila tangan tidak jelas terlihat kotor atau terkontaminasi, harus digunakan
antiseptic berbasis alkohol untuk dekontaminasi tangan rutin
3. Pastikan tangan kering sebelum memulai kegiatan
Masalah yang selalu timbul adalah bagaimana membuat petugas kesehatan patuh
pada praktek mencuci tangan yang telah direkomendasikan. Meskipun sulit untuk
2
merubah kebiasaan mengenai hal ini, menurut Depkes 2008,ada beberapa cara yang
dapat meningkatkan keberhasilan seperti :
1. Menyebarluaskan panduan terbaru mengenai praktek menjaga kebersihan tangan
dimana tercantum bukti mengenai efektifitasnya dalam mencegah penyakit dan
perlunya petugas kesehatan untuk mengikuti panduan tersebut
2. Melibatkan pimpinan/pengelola rumah sakit dalam diseminasi dan penerapan
pedoman kebersihan tangan
3. Menggunakan teknik pendidikan yang efektif, termasuk role model (khususnya
supervisor), mentoring, monitoring dan umpan balik positif
4. Menggunakan pendekatan kinerja yang ditargetkan ke semua petugas kesehatan,
bukan hanya dokter dan perawat untuk meningkatkan kepatuhan
5. Mempertimbangkan kenyamanan petugas dan pilihan yang efektif untuk menjaga
kebersihan tangan sehingga membuat petugas lebih mudah mematuhinya.
B. Alat pelindung diri
Menurut Depkes 2008, alat pelindung diri mencakup sarung tangan, masker, alat
pelindung mata (pelindung wajah dan kaca mata), topi, gaun, apron dan pelindung
lainnya. Alat pelindung diri dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan untuk
melindungi membran mukosa, saluran pernafasan, kulit dan pakaian dari pajanan
agen infeksius. Jenis-jenis alat pelindung diri :
1. Sarung tangan
Melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan
melindungi pasien dari mikroorganisme yang berada di tangan petugas
kesehatan. Sarung tangan merupakan penghalang (barrier) fisik paling penting
untuk mencegah penyebaran infeksi. Sarung tangan harus diganti setiap kontak
dengan satu pasien ke pasien lainnya untuk menghindari kontaminasi silang
(Depkes, 2008).
Penggunaan sarung tangan dan kebersihan tangan, merupakan komponen
kunci dalam meminimalkan penyebaran penyakit dan mempertahankan suatu
lingkungan bebas infeksi. Selain itu pemahaman mengenai kapan sarung tangan
steril atau disinfeksi tingkat tinggi diperlukan dan kapan sarung tangan tidak perlu
digunakan, penting untuk diketahui agar dapat menghemat biaya dengan tetap
menjaga keamanan pasien dan petugas (Depkes, 2008).
Rekomendasi praktis penggunaan sarung tangan pada saat kontak dengan
pasien dan peralatannya akan membutuhkan jumlah sarung tangan yang banyak
sekali bahkan mungkin tidak realistik di unit HD. Namun, jika area yang akan
disentuh terlihat kotor atau ada indikasi contact precaution, memakai sarung
tangan menjadi suatu keharusan. Sarung tangan steril digunakan pada saat
melakukan prosedur dengan teknis aseptic seperti pada saat insersi kateter atau
memanipulasi kateter.
Jenis-jenis sarung tangan :
a. Sarung tangan bersih
b. Sarung tangan steril
c. Sarung tangan rumah tangga
3
Menurut APIC 2010, sarung tangan harus :
a. Dipakai saat merawat pasien
b. Dipakai saat menyentuh peralatan medis pasien atau sampel laboratorium
atau dialiser reuse
c. Dipakai saat membersihkan mesin, membersihkan ruang perawatan,
membersihkan tumpahan darah
d. Diganti pada saat merawat pasien lain atau menangani mesin lain
e. Diganti pada saat berpindah dari area kotor ke area bersih pada pasien yang
sama
f. Diganti setelah melakukan kanulasi
g. Membuang sarung tangan diikuti dengan cuci tangan
2. Masker
Maker harus cukup besar untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah
dagu dan rambut pada wajah (jenggot). Masker dipakai untuk menahan cipratan
yang keluar sewaktu petugas kesehatan berbicara, batuk atau bersin serta untuk
mencegah percikan darah atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut
petugas kesehatan. Pada perawatan pasien yang telah diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular melalui udara atau droplet, masker yang digunakan
harus dapat mencegah partikel mencapai membran mukosa dari petugas
kesehatan (Depkes, 2008).
4
3. Alat pelindung mata
Alat pelindung mata melindungi petugas dari percikan darah atau cairan
tubuh lain dengan cara melindungi mata. Petugas kesehatan harus menggunakan
masker dan pelindung mata atau pelindung wajah jika melakukan tugas yang
memungkinkan adanya percikan cairan secara tidak sengaja ke arah wajah
(Depkes, 2008).
Menurut APIC 2010, pelindung wajah digunakan pada saat :
a. Memasang dan melepas peralatan HD
b. Reprocessing dialiser atau pada saat mencuci peralatan medis yang lain
c. Digunakan ketika petugas dan pasien yang batuk dan tidak bermasker
berjarak kurang dari 6 kaki
4. Topi
Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan
kulit dan rambut tidak masuk ke area perawatan. Tujuan utama pemakaian topi
adalah untuk melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang
terpercik atau menyemprot.
5. Gaun pelindung
Pemakaian gaun pelindung terutama untuk melindungi baju dan kulit
petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Kontaminasi pada pakaian yang dipakai
saat bekerja dapat diturunkan 20 -100x dengan memakai gaun pelindung.
5
6. Apron
Apron yang terbuat dari karet atau plastik merupakan penghalang tahan air
untuk sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Petugas kesehatan
harus menggunakan apron di bawah gaun penutup ketika melakukan perawatan
langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan prosedur dimana
ada risiko tumpahan darah, cairan tubuh atau sekresi.
7. Pelindung kaki
Digunakan untuk melindungi kaki dari cidera akibat benda tajam atau benda
berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki. Sepatu boot karet
atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak perlindungan tetapi harus
dijaga tetap bersih dan bebas kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh
lain.
C. Kebersihan dan disinfeksi lingkungan
Semua permukaan horizontal ditempat dimana pelayanan yang disediakan
untuk pasien harus dibersihkan setiap hari dan bila terlihat kotor, permukaan tersebut
juga harus dibersihkan bila pasien sudah keluar dan sebelum pasien baru masuk
(Depkes, 2008).
Untuk mencegah dan mengontrol perkembangbiakan mikroorganisme,
pembersihan dan disinfeksi lingkungan luar di unit HD sangat penting untuk dilakukan
(mesin HD, bed atau kursi HD, troli) dan permukaan peralatan lain yang sering di
sentuh oleh pasien dan staf harus dibersihkan sebelum dipakai pasien berikutnya. Di
lingkungan pelayanan hemodialisa, lingkungan akan terkontaminasi dengan berbagai
macam pathogen dimana transmisi terbesar pathogen tersebut melalui tangan tenaga
kesehatan. Lingkungan hemodialisa cenderung terkontaminasi oleh “blood borne
phatogen” berupa HBV, HCV dan HIV dan agen infeksius lainnya seperti methicillinresistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin-resistant Enterococci (VRE) dan
Clostridium difficile (Karkar, 2014). Mikroorganisme dapat bertahan hidup dengan
berbagai macam periode dari hari sampai dengan bulan, temperatur yang rendah,
kelembaban yang tinggi merupakan media yang baik bagi mikroorganisme untuk
berkembang biak. Virus dapat dinonaktifkan oleh alkohol 70% dan klorin 0.5%.
Hal-hal penting mengenai pembersihan dan disinfeksi permukaan lingkungan :
1. Lingkungan yang digunakan oleh pasien harus dibersihkan dengan teratur
2. Hanya permukaan yang bersentuhan dengan kulit/mukosa pasien dan permukaan
yang sering disentuh oleh petugas kesehatan yang memerlukan disinfeksi setelah
dibersihkan
3. Lakukan pembersihan dua kali sehari atau bila kotor
4. Jangan melakukan disinfeksi fogging di ruang perawatan
5. Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering disentuh seperti pegangan pintu,
bed rails, light switch
6. Bersihkan dinding, blinds dan jendela, tirai di area perawatan pasien
7. Petugas kesehatan harus menggunakan APD untuk melakukan pembersihan dan
disinfeksi peralatan dan harus membersihkan tangan setelah APD dilepas.
6
8. Lakukan pembersihan dan disinfeksi untuk pengendalian lingkungan yang
terkontaminasi sesuai prosedur
9. Larutan disinfeksi pada bagian permukaan yang terkena tumpahan (catatan :
sodium hipoklorit dapat digunakan untuk disinfeksi, dengan konsentrasi yang
dianjurkan berkisar dari 0,05% sampai 0,5%)
10. Pastikan kepatuhan dari petugas kebersihan untuk pembersihan dan disinfeksi
11. Anjurkan keluarga, pengunjung, pasien tentang kebersihan tangan untuk
meminimalkan penyebaran mikroorganisme (Depkes, 20080).
Rekomendasi Pernefri 2006 terkait peralatan medis/non medis untuk tempat sampah
adalah :
1. Tempat sampah medis untuk benda tajam
a. Wadah harus tahan tusukan
b. Jarum suntik bekas pakai, potongan kemasan obat yang tajam (ampul) atau
sampah tajam lainnya di taruh di tempat sampah ini. Wadah tidak boleh diisi
sampai penuh, maksimal sampai 2/3 bagian
c. Bila sudah terisi cukup, pastikan wadah tertutup dengan aman, taruh
ditempat khusus pengumpulan pengambilan sampah.
d. Bila terdapat percikan darah pada permukaan tempat sampah, segera
bersihkan dengan cairan klorin 0,1%
2. Tempat sampah medis untuk benda tidak tajam
a. Wadah berupa kantong plastik 2 lapis yang dapat diikat kencang
b. Kasa bekas, dialiser, blood line bekas pakai dibuang pada wadah ini.
c. Blood line dibuang dalam keadaan klem tertutup agar sisa darah tidak
berceceran.
3. Tempat sampah non medis
Berfungsi untuk menampung sampah yang tidak tercemar darah dan cairan
tubuh, seperti kertas, pembungkus kemasan dan lain-lain.
D. Kebersihan dan desinfeksi permukaan luar mesin
Direkomendasikan untuk membersikan dan mendisinfeksi lingkungan luar
/badan mesin HD setelah dipakai. Disinfektan level rendah dan cairan desinfektan
yang sudah diregistrasi oleh EPA untuk pelayanan kesehatan direkomendasikan untuk
dipakai pada bagian –bagian non kritikal (termasuk mesin HD) dan bisa juga
menggunakan disinfektan sesuai dengan perusahaan yang memproduksi mesin
tersebut. Ketika ada percikan atau tumpahan darah, maka disinfektan level sedang
digunakan untuk melakukan disinfeksi (1:100 cairan hipoklorite) (Karkar, 2014).
Perhatian khusus ditujukan pada bagian control mesin dialisis, seperti “dialysate
port”, “pressure tranducer arterial-vena”, “air detector”, “heparin pump” dan “blood
pump” pada setiap kali prosedur HD selesai dilakukan
7
E. Pembersihan dan Disifeksi bagian dalam mesin
Bagian dalam mesin HD harus didisinfeksi setiap kali prosedur dialisis selesai
(prosedur rutin meliputi draining, disinfection, rinsing) sesuai dengan protokol yang
dianjurkan oleh pabrik. Bila terjadi kebocoran darah pada sistem resirkulasi, dilakukan
prosedur rutin disinfeksi dan pembilasan sebanyak 2 kali sebelum mesin tersebut
dipakai kembali.
F. Pembersihan dan Disifeksi peralatan tambahan
Peralatan tambahan yang digunakan di HD meliputi gelas ukur atau ember yang
digunakan untuk mencampur bicarbonate. Alat-alat tersebut harus dibersihkan dan
didisinfeksi sebelum digunakan untuk pasien berikutnya termasuk eksternal pressure
tranducers. Jika cairan bicarbonate dibuat dalam ember atau wadah lainnya, sisa
cairan bicarbonate dan cairan bicarbonate yang terbuka selama 24 jam harus dibuang
karena hal tersebut akan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya kuman(Karkar,
2014).
G. Penanganan alat-alat habis pakai dan reuse
APIC dan CDC merekomendasikan :
1. Barang barang yang dipakai oleh pasien hanya digunakan untuk pasien tersebut dan
dibuang setelah digunakan
2. Barang-barang yang tidak terpakai dibersihkan dan dilakukan disinfeksi sebelum
ditempatkan diarea yang bersih atau akan digunakan untuk pasien yang lain atau
dibuang jika tidak bisa dilakukan disinfeksi
3. Barang-barang yang tidak bisa dilakukan disinfeksi hanya digunakan untuk satu
pasien
Faktanya, mengalokasikan manset untuk setiap pasien sangat tidak praktis.
Penggunaan manset tahan air yang bisa direuse bisa sebagai alternatif.
H. Water treatment : Tes dan purity
Air yang digunakan unit HD dalam menjalankan proses HD harus memenuhi
syarat-syarat tertentu antara lain bebas dari kuman dan kontaminan atau minimal
mengandung konsentrasi terendah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Air yang
digunakan untuk HD harus diperlakukan menggunakan reverse osmosis dan atau
deionisasi untuk menghasilkan air sesuai dengan standar AAMI. Hitung kuman dialisat
harus kurang dari 200/ml setelah inkubasi 48 jam (AAMI,1981). Hitung kuman total
harus menggunakan pemeriksaan mikrobiologi konvensional (pour plate, spread
plate). Alternatif lain adalah konsentrasi lipopolisakarida bakteri dalam air kurang dari
1 ng/ml atau 5 unit endotoksin yang diukur dengan pemeriksaan Limulus amebocyte
lysate.
Microorganism
AAMI :RD52
CFU/ml Max
200
CFU/ml action
50
Endotoxins
EU/ml or IU/ml Max
2
EU/ml or IU/ml Action 1
8
I.
J.
Pemeriksaan terhadap kualitas air harus dilakukan secara teratur setiap minimal 6
bulan sekali dan harus sesuai dengan standar AAMI.Pemeliharaan water treatment
dilakukan untuk memelihara pengelolaan air reverse osmosis di unit hemodialisa.
Praktik menyuntik yang aman
Rekomendasi CDC 2011 untuk praktik menyuntik yang aman :
1. Gunakan teknik aseptic pada saat menyiapkan dan pemberian pengobatan
2. Bersihkan bagian atas vial dengan 70% alcohol sebelum memasukkan syringe ke vial
3. Jangan memberikan obat dengan syringe yang sama pada pasien yang berbeda,
walaupun jarum sudah diganti atau obat dimasukkan ke dalam tubing cairan
4. Jangan mereuse syringe
5. Jangan memberikan pengobatan dari dosis tunggal atau vial sekali pakai, ampul
atau kantong atau botol dari cairan intravena untuk lebih dari satu pasien
6. Jangan memakai cairan infus atau infus set untuk lebih dari satu pasien
7. Gunakan vial yang multidose untuk satu pasien jika mungkin, jika vial multidose
untuk beberapa pasien, maka vial tersebut harus disimpan di tempat pengobatan
dan tidak diperbolehkan berada di ruang perawatan
8. Buang vial, syringe dan jarum di container yang tertutup, tahan terhadap tusukan
dan tahan pecah
9. Ketaatan tenaga kesehatan terhadap paparan “blood borne pathogen”
Akses vaskuler : perawatan dan pencegahan infeksi
Kejadian infeksi pada kateter dialisis dengan tunnel 10 kali lebih besar daripada pada
AVF atau AV graft dan hal ini akan berkembang menjadi bakterimia pada pasien HD
(Karkar, 2014).
Rekomendasi Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) untuk pencegahan
Infeksi pada Akses Vaskuler
Pencegahan infeksi pada akses vaskuler
Insersi kateter :
1. Hindari akses femoral
2. Insersi kateter menggunakan teknisk aseptik
3. Penggunaan APD maksimal (masker, tutup kepala, gaun steril, sarung tangan
steril serta penggunaan duk steril)
Perawatan kateter :
1. Hanya perawat yang terlatih yang dapat melakukan dressing dan memanipulasi
kateter
2. Kateter “exit site” diperiksa posisinya, ada tidaknya infeksi sebelum akses
3. Teknik aseptik selalu digunakan untuk mencegah kontaminasi
4. Gunakan masker bedah baik pada staf maupun pada pasien
5. Manipulasi kateter sebaiknya diminimalkan
Teknik persiapan pada akses AV shunt
1. Lengan yang diakses dicuci dengan sabun antimikroba
2. Palpasi dan pastikan lokasi kanulasi sebelum diakses
3. Untuk membersihkan kulit yang akan di kanulasi dengan menggunakan alkohol
based chlorhexide atau 10% povidone iodine atau 70% alkohol
9
K. Screening rutin pasien
Kemungkinan terjadinya kontak darah antar pasien maupun antar staf HD
dengan pasien, mempermudah penyebaran VHB, VHC dan HIV. Faktor resiko utama
transmisi VHB di ruang HD adalah pasien pengidap VHB, tidak ada isolasi mesin HD
yang telah dipakai pasien pengidap VHB, dan kurang dari 50% pasien dialisis belum
mendapatkan imunisasi terhadap VHB. Penelitian di Indonesia tahun 2004, prevalensi
antibody anti HCV sebesar 90%.
Mengingat tingginya prevalensi infeksi VHC pada ruang HD di Indonesia, juga
adanya kemungkinan infeksi VHB serta infeksi HIV, Pernefri mengeluarkan
rekomendasi pengendalian infeksi VHB, VHC dan HIV pada unit HD di Indonesia untuk
pasien hemodialisis yang berupa :
1. Pasien baru atau pasien pindah ke/ datang dari pusat HD lain harus dilakukan
pemeriksaan HbsAg, anti HCV dan anti HIV
2. Pasien dengan HBsAg dan Anti HCV negatif, pemeriksaan diulang kembali setiap 6
bulan
3. Pemeriksaan tes HIV pada pasien HD lama hanya dilakukan bila ada kecurigaan
menderita penyakit HIV.
L. Imunisasi pasien dan petugas kesehatan
Pernefri mengeluarkan rekomendasi khusus untukpengendalian infeksi VHB, VHC dan
HIV pada unit HD di Indonesia yang berupa :
1. Pasien dengan HbsAg negatif, dilakukan vaksinasi untuk virus hepatitis B
2. Semua staf yang aktif melayani pasien HD, harus diperiksa HBsAg dan anti HCV
setiap 6 bulan
3. Imunisasi dengan vaksin hepatitis B harus dilakukan pada setiap staf di ruang HD
M. Protocol hemodialisis dengan kateter
1. Pemilihan dan penggunaan antiseptic
Sesuai dengan guideline CDC/HICPAC tahun 2011 tentang pencegahan infeksi
pada kateter, sebelum melakukan akses, bagian “hub” dilakukan disinfeksi dengan
antiseptic (clorhexidine + alkohol > 0,5%, 70% alcohol). Tidak ada bukti ilmiah
yang cukup untuk merekomendasikan salah satu antiseptic dibandingkan
antiseptic yang lain.
2. Soaking caps
CDC dan HICPAC tidak merekomendasikan perendaman “caps”.
3. Penanganan cateter hubs
Kateter hubs harus diperlakukan aseptik. Setelah dilakukan disinfeksi, kateter
“hubs” tidak diperbolehkan untuk bersentuhan dengan area non steril. Pada saat
melakukan disinfeksi kateter “hubs’, prinsip bersih, penggunaan sarung tangan
non steril digunakan asalkan teknik aseptik benar-benar dijaga.
4. Penggunaan masker
Penggunaan masker untuk staf dan pasien direkomendasikan oleh KDOQI, CMS
tahun 2000.
5. Alat pelindung diri (APD)
Pemilihan APD yang tepat menghindari paparan darah dan cairan tubuh.
10
6. Teknik aseptik
N. Edukasi pasien, keluarga dan tenaga kesehatan
Pendidikan, pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi diberikan kepada tenaga
kesehatan dan diulangi secara rutin misalnya setiap tahun. Pasien dan “caregivers”
juga diedukasi tentang perawatan akses baru, perubahan akses dan hal ini diulangi
setiap tahunnya. Area kunci edukasi pasien menurut CDC adalah sebagai berikut :
Pasien dengan kateter :
1. Cuci tangan
2. Perawatan dirumah
3. Tanda dan gejala infeksi
4. Cara mengatasi masalah ketika ada permasalahan dengan kateter
5. Resiko pemasangan kateter
6. Pelaksanaan dasar-dasar kontrol infeksi selama proses akses kateter
(mengikutsertakan pasien)
Pasien dengan akses permanen :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Cuci tangan
Mencuci area akses sebelum dilakukan kanulasi
Perawatan di rumah
Tanda dan gejala infeksi
Cara mengatasi masalah ketika ada permasalahan dengan AVF
Pelaksanaan dasar-dasar control infeksi selama proses kanulasi (mengikutsertakan
pasien)
III. Penutup
Pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa rutin mempunyai resiko tinggi
untuk terjadi infeksi. Beberapa hal yang merupakan faktor tersebut adalah : proses
kanulasi, imunosupresi, kontak yang sering dengan petugas kesehatan selama prosedur
dan perawatan dan kurangnya penghalang fisik antara pasien dengan lingkungan
hemodialisa. Penanganan dan pencegahan infeksi merupakan tanggung jawab bersama
dari semua yang terlibat didalam unit hemodialisis. Pembekalan pengetahuan dan
keterampilan sangat dibutuhkan untuk semua petugas di unit hemodialisis agar bisa
bekerja sama dalam pencegahan dan penanganan infeksi.
11
IV. Daftar Pustaka
APIC. 2010. Guide to the Elimination of Infections in Hemodialysis. Washington : PDI
CDC. 2008.Guide to Infection Prevention in Outpatient Settings:Minimum Expectation for
Safe Care:Available at www.cdc.gov/HAI/prevent/prevent-pubs.html
Clinical Practice Guidelines for the Prevention, Diagnosis, Evaluation, and Treatment of
Hepatitis on Chronic Kidney Disease.KDIGO.2008;7(109). Aviable from :
www.kidney-international.org
CDC. 2008. Put Together the Pieces to Prevent Infections in Dialysis Patients. Available
from : www.cdc.gov
Depkes RI.2008. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di RS dan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Lainnya. Jakarta :Depkes & PERDALIN
Infection Control Guidelines Nephrology Services in Hongkong. 2nd Edition. Update 2012
CMS and CDC. 2011. National Opportunity to Improve Infection Control in ESRD (NOTICE)
ICWS/ICCL. Available from : http://www.ahrq.gov
Download