PENTINGNYA KURIKULUM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

advertisement
PENTINGNYA KURIKULUM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI BERBASISKAN
MAKNA (MORAL, AKHLAK, NASIONALISME)
Jurana, Nurdin1; Unti Ludigdo2; Ali Djamhuri2; Yeney Widya Prihatiningtias 2
1
2
Economic Faculty, Tadulako University, Palu, Indonesia
Economic Faculty, Brawijaya University, Malang, Indonesia
Corresponding author: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman bahwa saat ini kurikulum pendidikan profesi
akuntansi, selain pengetahuan terkait akuntansi juga memerlukan adanya nilai-nilai moral, akhlak, dan
nasionalisme yang terkandung didalamnya. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan nilai moral, nilai
akhlak, dan nasionalime dalam diri para calon akuntan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
pustaka atau library research, yakni menghimpun berbagai data yang terkait dengan cara menggunakan
bahan-bahan tertulis. Ide tulisan ini timbul dikarenakan realitas pendidikan profesi akuntansi yang
dominan berkembang saat ini merepresentasikan realitas akuntansi yang sarat dengan nilai-nilai
kapitalistik, antroposentris, pragmatis, dan hedonis. Umumnya pendidikan akuntansi di Indonesia seakan
terkolonialisasi dengan model pendidikan dunia barat. Berdasarkan hal tersebut, maka
nilai-nilai
kapitalistik, antroposentris, pragmatis, dan hedonis tersebut sebaiknya direduksi dengan cara memasukkan
tiga aspek nilai yaitu moral, akhlak, dan nasionalisme atau disingkat MAKNA. Melalui 3 aspek tersebut,
diharapkan akan menciptakan manusia yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual khususnya di
bidang akuntansi, namun juga memiliki peningkatan kesadaran moral, akhlak, dan jiwa nasionalisme yang
tinggi. Kurikulum Pendidikan akuntansi berbasis MAKNA di bidang pendidikan akuntansi merupakan
suatu keniscayaan untuk dapat dilakukan di Indonesia guna mewujudkan pembebasan pendidikan
akuntansi dari dominasi kapitalisme barat.
Kata Kunci: Pendidikan Akuntansi, Moral, Akhlak, dan Nasionalisme.
1
A. Latar Belakang Penelitian
Sistem Pendidikan akuntansi maupun realitas akuntansi yang dominan berkembang saat ini
merepresentasikan model realitas akuntansi yang sarat dengan nilai-nilai kapitalistik. Hal ini terjadi karena
sistem pendidikan khususnya pendidikan akuntansi yang berkembang didominasi oleh dunia barat, sehingga
sarat dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan sosial masyarakat barat (kaum kapitalis). Akibatnya, proses
pembelajaran pendidikan akuntansi di Indonesia juga menggunakan sistem akuntansi yang merujuk barat
baik dalam teori maupun prakteknya (Mulawarman, 2008).
Menurut Mulawarman (2008) sistem
pendidikan akuntansi di Indonesia telah lepas dari realitas masyarakat indonesia dikarenakan sistem dan
konsep pendidikan yang dibawa langsung dari “dunia lain” (baca: Barat) tanpa kodifikasi dan penyesuaian
signifikan.
Para pendidik akuntansi di Indonesia saat ini seakan telah terkolonialisasi oleh metode pengajaran
dan proses pembelajaran dunia barat, yaitu cenderung “memaksa” mahasiswa untuk menguasai materi yang
diajarkan dan kemudian menggunakan teori (barat) tersebut dalam dunia kerja. Para pendidik terkadang
tidak memberikan pemahaman nilai-nilai yang ada pada teori tersebut. Hal ini menyebabkan pengetahuan
mahasiswa tentang akuntansi hanya sebatas pengetahuan yang diterima dari pendidik akuntansi saja, tanpa
memperhatikan layak tidaknya ilmu atau teori tersebut diterapkan di tempatnya. Realitas yang ada di
Indonesia tentunya sangat berbeda dengan realitas yang ada di negara barat, sehingga jika teori (barat)
diterapkan pada masyarakat barat boleh jadi benar. Namun jika teori tersebut diterapkan pada masyarakat
timur boleh jadi tidaklah benar karena tidak sesuai dengan konteks yang ada di tempat tersebut.
Truan dan Hughes (1999) menyatakan filosofi akademis dan konten dari pendidikan akuntansi
adalah respon dan komplemen dari aplikasi praktis berbasis otoritarian paternalistik abad 19. Pendidikan
tersebut dijadikan sebagai satu kebenaran yang mutlak. Selain hal itu dilakukan untuk melayani kepentingan
korporasi (Mayper, Pavur, Merino, dan Hoops, 2005) juga diarahkan untuk “mengisi” peserta didik dalam
memahami dan menjalankan kepentingan ekonomi (Amernic dan Craig, 2004). Kondisi ini telah menjadi
“dogma” akuntansi, dan berlangsung lama, serta dikenal sebagai evolusi pendekatan ekonomi positivistik
(Truan dan Hughes, 1999). Akibatnya, semua tindakan terfokus pada aspek materi saja sehingga terkadang
2
korupsi, dan kejahatan sering diperankan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan memiliki skill
bahkan jabatan strategis.
Sebagian besar sistem pendidikan akuntansi di Indonesia akhirnya menghasilkan akuntan yang
belum sesuai dengan harapan dan tujuan awal sistem pendidikan nasional (UU No 20 tahun 2003 pasal 3) 1.
Kondisi seperti ini sangat disayangkan sebab praktik teori, dan filsafat pendidikan yang digunakan saat ini
selain belum selaras dengan tujuan sistem pendidikan nasional juga dianggap kurang memuaskan di
Indonesia (Mulawarman, 2008; Triyuwono, 2008). Dari perspektif ini maka perlu dicari model pelaksanaan
sistem pendidikan akuntansi yang lebih baik lagi sesuai dengan kepribadian, dan kebudayaan Indonesia
(bersifat kontekstual).
Pendidikan akuntansi yang baik khususnya di Indonesia, sebaiknya dalam penyelenggaraan dan
proses pembelajarannya selain bermanfaat juga menghadirkan nilai-nilai luhur bangsa indonesia yang sesuai
dengan kepribadiannya. Harapannya agar dominasi yang ada saat ini dapat dikurangi, menuju ke arah yang
sesuai dengan nilai-nilai di lingkungan sosial masyarakat Indonesia sendiri. Pendidikan di Indonesia
sebaiknya memiliki keseimbangan antara pendidikan akademik, pendidikan akhlak, serta pendidikan
keterampilan (Fahrudin, 2013). Tujuannya agar melahirkan akuntan-akuntan yang berbudi luhur, cakap dan
handal dalam bidangnya.
Dari pemikiran inilah, peneliti merasa tergerak untuk melakukan penelitian dan memberikan
pandangan terhadap pelaksanaan pendidikan khususnya pendidikan profesi akuntansi. Kalaupun pandangan
ini bukan apa-apa dan tidak berarti apa-apa, namun setidaknya peneliti berharap pandangan itu bisa
memperkaya pemahaman kita terhadap proses dalam mendidik penerus bangsa ini. Jika proses mendidik
selama ini keliru, maka kekeliruan itu bisa dikoreksi, dan berupaya memahami mengapa keadaan berbeda
dari apa yang diharapkan. Pemahaman tersebut dapat menentukan kemana gerangan arah yang akan
ditempuh. Agar kekeliruan itu tidak makin meluas, dan apa yang diharapkan dapat terwujud.
1
Tujuan Sistem Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
3
B. Tinjauan Pustaka
Pendidikan profesi akuntansi (PPAk) merupakan pendidikan tambahan pada pendidikan tinggi.
Pendirian PPAk adalah salah satu wujud ditetapkannya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 179/U/2001 tanggal 21 november 2001 tentang penyelenggaraan Pendidikan Profesi
Akuntansi. Pada awal tahun 2014 PPAk (pendidikan profesi akuntansi) berubah nama menjadi program
pendidikan profesi akuntan (singkatan yang sama yakni PPAk). Saat ini, PPAk diselenggarakan sesuai
dengan persyaratan, tatacara, dan kurikulum yang diatur oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), dengan kata
lain PPAk merupakan perpanjangan tangan dari IAI di bidang pendidikan.
PPAk bertujuan menghasilkan lulusan yang menguasai keahlian bidang profesi akuntansi dan
memberikan kompensasi keprofesian akuntansi. PPAk diharapkan akan menghasilkan akuntan profesional
dengan standardisasi kualitas akuntan di Indonesia. Kurikulum dan silabus PPAk telah didesain berdasarkan
persyaratan untuk menjadi akuntan profesional yang ditentukan oleh IFAC (International Financial
Accounting Committee).
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa secara tidak langsung yang melandasi para pemikir (IAI)
mengadakan PPAk karena kepentingan korporasi semata. Dasar kepentingan korporasi adalah
pertimbangan-pertimbangan materi,
sehingga mengharuskan diadakannya profesionalitas. Hal ini terurai
dari kurikulum dan 7 mata kuliah wajib yang diharuskan selama masa pendidikan di PPAk. Mata kuliah
tersebut yaitu: 1) Pelaporan Korporat; 2) Etika Profesi dan Tata Kelola Korporat; 3) Manajemen Strategik
dan Kepemimpinan; 4) Manajemen Perpajakan; 5) Akuntansi Manajemen Lanjutan; 6) Manajemen
Keuangan Lanjutan; dan 7) Sistem Informasi dan Pengendalian Internal. Ketujuh mata kuliah tersebut hanya
berorientasi kognitif dan belum mengarah pada soal moral dan akhlakul karimah (akhlak terpuji). Saat ini
yang ada adalah ilmu yang terpecah-pecah beserta kurikulum yang tak komprehensif. Desain kurikulum
seperti itu seakan meninggalkan khazanah budaya asli nusantara sehingga kehilangan sensibilitas
pendidikan berkemajuan.
Kurikulum PPAk menggambarkan realitas konten
penyelenggaraan pendidikan akuntansi pada
PPAk. Pada kurikulum terlihat jelas bahwa gejala arus kapitalisme, antroposentrisme, pragmatisme, dan
hedonisme (KAPH) dalam penyelenggaraan pendidikan PPAk sangat kuat. Corporate values telah
4
mendominasi penyelenggaraan pendidikan PPAk. Nilai korporasi telah menjadi core values mengalahkan
academic values yang seharusnya menjadi basis institusi pendidikan. Pragmatisme yang berasal dari habitus
ekonomi telah merambah ke dalam dunia pendidikan (Nuryatno, 2014). Dalam dunia pendidikan, tarik
menarik kepentingan antara idealisme (berbasis nilai-nilai akademik) dan pragmatisme (berbasis korporasi)
selalu terjadi.
Menurut Nuryatno (2014) terdapat tiga kemungkinan relasi idealisme dan pragmatisme pendidikan.
Kemungkinan pertama, nilai-nilai akademik dijadikan sebagai basis institusi pendidikan; kedua, nilai-nilai
korporasi dijadikan sebagai basis institusi pendidikan; ketiga, menjadikan nilai-nilai akademik dan
korporasi bersama-sama sebagai basis institusi pendidikan. Kemungkinan ketiga tersebut merupakan arah
gagasan peneliti untuk melakukan kritik terhadap kurikulum penyelenggaraan pendidikan PPAk.
Gagasan tersebut timbul karena kerisauan peneliti terhadap praktek pendidikan yang dominan saat
ini. Yakni dunia pendidikan seakan terseret oleh kepentingan pasar. Jika ideologi pasar mendominasi dunia
pendidikan, maka pendidikan akan mengutamakan nilai-nilai korporasi yang menekankan penguasaan
teknik-teknik dasar yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Perihal tersebutlah yang terjadi pada PPAk saat ini,
sehingga tidak mengherankan jika penyelenggaraan pendidikan PPAk melalui pembelajaran dewasa ini
hanya sebatas transfer of knowledge yang terkait dengan korporasi, belum sampai pada transfer of skill dan
transfer of values.
Sementara itu, kritik terhadap pendidikan disampaikan oleh Krisnamurti dalam pidatonya di
California yang disitir oleh (Rudge, 2008): ”education in the modern world has been concerned with
cultivation not of intelligence, but of intellect, of memory and its skill...”artinya pendidikan dalam dunia
modern saat ini hanyalah mengutamakan intelektual, daya ingat, dan keterampilan saja tanpa mau
memperhatikan kecerdasan. Kondisi-kondisi itu sampai saat ini masih berlangsung. Hal tersebut sangat
“disayangkan”. Pada wilayah Jawa di Indonesia menyebut kondisi tersebut dengan kata Eman, yang berarti
kondisi keprihatinan atas sesuatu hal yang terjadi.
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa selama ini dunia pendidikan akuntansi di Indonesia
khususnya pada PPAk, telah berada dalam pusaran kapitalisme, antroposentrisme, pragmatisme, dan
hedonisme pendidikan (terkontaminasi oleh dunia barat). Hal tersebut terbukti pada pernyataan salah
5
seorang pakar ekonomi, “Sebuah perguruan tinggi yang tidak mengikuti arus pasar, maka perguruan tinggi
tersebut sakit”. Terlebih lagi standar KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) 2 yang ada saat ini
menyebutkan bahwa ukuran keberhasilan seorang dosen yakni pada aspek tingkat serapan dunia kerja (di
korporasi). Hal ini juga bermakna bahwa keberhasilan seorang dosen yaitu jika telah menghasilkan akuntan
robot yang sesuai dengan pakarnya atau dengan kata lain komprador3 negara.
Dari pernyataan di atas juga bermakna bahwa selama ini realitas sosial korporasi telah banyak
memengaruhi pendidikan akuntansi khusunya PPAK. Seharusnya pedidikan merupakan media untuk
menyiapkan dan melegitimasi bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial (Nuryatno, 2014). Jika hal seperti ini
yang diutamakan, maka yang menjadi basis institusi pendidikan adalah nilai-nilai etis humanistik. Namun
yang terjadi saat ini adalah pihak akademik seakan memberi pertanyaan “pendidikan seperti apa yang ingin
dibentuk oleh pasar?”, sehingga dunia pendidikan seakan terseret oleh kepentingan pasar.
Dasar-dasar pendidikan profesi akuntan di indonesia memerlukan adanya keseimbangan antara
pengetahuan, keterampilan dan ahlak (budi luhur). Ki Hadjar Dewantara (KHD) seorang tokoh pendidikan
di Indonesia pada kongres Taman Siswa 1930 mengemukakan bahwa dasar-dasar pendidikan barat yaitu
regering, tucht, dan orde (perintah, hukuman, dan ketertiban) (Dewantara, 1977). Dasar-dasar tersebut
memang pas jika diterapkan pada budaya barat karena sifat mereka yang cenderung individualistik,
sehingga diperlukan dasar-dasar seperti itu agar tercipta ketertiban.
Hal ini tentu berbeda dengan budaya timur, di mana budaya timur memiliki budaya kebersamaan,
terkondisikan dengan adat yang cenderung lebih humanis. Seperti yang dikatakan oleh KHD pendidikan
kita tidak memakai syarat paksaan, karena dalam agama, adat, dan budaya kita melarang adanya unsur
paksaan. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan profesi akuntansi di Indonesia haruslah mencerminkan
2
“KKNI disusun berdasarkan kebutuhan dan tujuan khusus, yang khas bagi Indonesia untuk menyelaraskan sistem
pendidikan dan pelatihan dengan sistem karir di dunia kerja. KKNI juga dirancang untuk sesuai dan setara dengan
sistem yang dikembangkan negara‐negara lain. Dalam pengembangannya KKNI juga merujuk dan mempertimbangkan
sistem kualifikasi negara lain seperti Eropa, Australia, Inggris, Scotlandia, Hongkong, dan Selandia Baru. Hal ini
menjadikan kualifikasi yang tercakup dalam KKNI dapat dengan mudah disetarakan dan diterima oleh negara lain
sehingga pertukaran peserta didik maupun tenaga kerja antar negara dapat dilakukan dengan
tepat”(http://lp3.ub.ac.id/berita2474-Kerangka-Kualifikasi-Nasional-Indonesia KKNI.htm. Diakses 21.10.2015)
3Istilah
komprador ini digunakan Amien Rais (2008) dalam menjelaskan korporatokrasi yang merupakan jejaring kuasaan
korporasi untuk mempertahankan kekuasaannya melalui elit politik, akademisi dan Pemerintah. Mengenai pendidikan
akuntansi yang diarahkan untuk memperteguh hegemoni korporasi juga dijabarkan oleh Mayper et al. (2005),
Mulawarman (2008), Triyuwono (2010), dan Kamayanti (2012a, 2012b).
6
budaya yang ada di Indonesia. Kurikulum tersebut selain memuat pengetahuan terkait akuntansi juga harus
memuat pendidikan moral, akhlak, dan nasionalisme.
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kepustakaan, jika ditinjau dari sudut kawasannya,
penelitian kualitatif dibagi ke dalam dua hal yaitu pertama, penelitian kepustakaan (library research) dan
kedua, penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan mengandalkan data-datanya hampir
sepenuhnya dari perpustakaan, sehingga penelitian ini lebih dikenal dengan penelitian kualitatif deskriptif
kepustakaan atau penelitian bibliografis. Sedangkan penelitian lapangan mengandalkan data-datanya di
lapangan (social setting) yang didapat melalui informan dan data-data dokumentasi yang berkaitan dengan
subjek penelitian. Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan penelitian kualitatif deskriptif
kepustakaan, karena mengandalkan dokumentasi berupa iklan di media televisi, serta menggunakan teoriteori dari buku sebagai literatur.
Menurut Subagyo (1999, hlm. 109) penelitian kepustakaan merupakan penelitian dimana data-data
kepustakaan dijadikan sebagai teori untuk dikaji dan ditelaah untuk mendapatkan hipotesa atau konsepsi
guna memperoleh hasil yang objektif. Melalui jenis penelitian ini, informasi dapat diambil secara lengkap
untuk menentukan tindakan ilmiah dalam suatu penelitian yang dijadikan instrumen agar penelitian
memenuhi standar penunjang penelitian. Pendapat di atas sejalan dengan pendapat Mardalis (1999, hlm. 28)
yang menyatakan bahwa, “Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi
dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat diruangan perpustakaan, seperti buku-buku,
majalah, dokumen, catatan dan kisah-kisah sejarah dan lain-lain”.
Arikunto (2010, hlm. 16) menyatakan, “hasil dari penelitian ini akan menghasilkan kesimpulan
tentang gaya bahasa buku, kecenderungan isi buku, tata tulis, layout, ilustrasi dan sebagainya”. Dengan
demikian, dalam penyusunan artikel ini penulis menentukan topik yang akan dibahas lebih dulu kemudian
dilanjutkan dengan mencari data-data, baik itu yang relevan ataupun mendukung terhadap topik yang
dibahas. Setelah mendapatkan data, penulis melakukan interpretasi atau penafsiran terhadap sumber data
untuk memperoleh fakta tentang kajian yang akan dibahas. Setelah terkumpul, maka data disusun secara
sistematis dan terstruktur.
7
D. Hasil dan Pembahasan
Pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda ke taraf insani (Drikarya, 1950, hlm. 74)
untuk memajukan kepribadiannya melalui pembinaan potensi-potensi pribadinya. Menurut Fuad (2005)
pendidikan berarti juga suatu lembaga yang bertanggung jawab dalam menetapkan tujuan (cita-cita)
pendidikan, isi, sistem, dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga tersebut berupa keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan lembaga yang
bertanggung jawab dalam upaya memanusiakan manusia. Demikian pula halnya dengan pendidikan profesi
akuntansi, selayaknya merupakan pendidikan yang selain fokus pada bidang keprofesian akuntansi juga
tidak melupakan untuk lebih meningkatkan nilai moral, akhlak, dan nasionalisme (makna) yang ada dalam
diri para calon akuntan.
Pendidikan profesi akuntansi yang berbasiskan makna (moral, akhlak, dan nasionalisme) bertujuan
untuk melahirkan akuntan-akuntan profesional yang memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan
akuntansi yang berlandaskan pada kesadaran ketuhanan , kemanusiaan, dan lingkungan, atau memiliki
akhlakul karimah4 (akhlak terpuji). Melalui pendidikan seperti ini diharapkan para akuntan yang dihasilkan
adalah para akuntan yang tidak hanya memiliki peningkatan pengetahuan (akuntansi) namun juga memiliki
peningkatan kesadaran ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan. Melalui hal itu kepatuhan terhadap aturan
tidak semata untuk aturan yang harus dilakukan, namun lebih dari itu sebagai ungkapan kesadaran
beribadah dalam setiap tindakan (akhlakul karimah), inilah yang sangat penting. Dengan demikian
diharapkan kelak para akuntan menjadi manusia seutuhnya yang bergerak di bidang akuntansi.
Pendidikan berbasiskan MAKNA sebagai jalan untuk menerapkan Aspek Moral, Akhlak, dan
Nasionalisme
Filosofi pendidikan di Indonesia diwakili oleh pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD). Berikut kutipan
KHD pada kongres Taman Siswa tahun 1930:
44
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan
sesuatu perbuatan yang baik. Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu dalam etika untuk menentukan perbuatan manusia
baik atau buruk memakai tolak ukur akal, pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral memakai tolak ukur norma-norma yang
berkembang dalam masyarakat (adat istiadat). Sementara dalam akhlak untuk menentukan baik buruknya menggunakan ukuran Alquran dan Al- hadits.
8
Pendididkan. Umumnya berarti daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak; dalam pengertian Taman siswa tidak boleh dipisahpisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan
dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya. (Majelis Luhur Persatuan Taman
Siswa, 1977, 14-15).
Menurut Paku Alam (IX, 2008) terdapat 3 pokok pikiran KHD tentang pendidikan yaitu: pertama,
perspektif antropologis, yakni cara warga masyarakat melanjutkan warisan kebudayaan kepada generasi
berikutnya dan mempertahankan tatanan sosial (proses akulturasi). Pada konteks ini, Paku Alam (IX, 2008)
mengungkapkan bahwa KHD menyatakan pentingnya asas Tri-Kon, yaitu (1) pertukaran kebudayaan dengan
dunia luar sebaiknya dilaksanakan secara kontinitet dengan alam kebudayaannya; (2) melakukan konvergensi
dengan kebudayaan lain; (3) konsentris, artinya mempunyai satu titik pusat dengan alam-alam kebudayaan
dunia, namun tetap mempunyai garis lingkaran sendiri. Kedua, pendidikan nasional harus berdasarkan pada
garis hidup bangsa dan untuk kepentingan perikehidupan yang bisa mengangkat derajat bangsa dan rakyatnya,
sehingga bisa memiliki kedudukan yang sama dan pantas melakukan kerjasama dengan bangsa lain demi
kemuliaan seluruh manusia di dunia. ketiga, pentingnya pendidikan budi pekerti. Warisan nilai-nilai luhur
budaya bangsa akan memperlihatkan kearifan budi pekerti yang menunjukkan harkat dan martabat bangsa.
Pemikiran pendidikan KHD yang dijelaskan di atas, menurut penulis merupakan pendidikan yang
menerima realitas yang ada pada bangsa Indonesia, karena pendidikan tersebut sebagai upaya dan cara
pendidikan yang sesuai dengan keadaan yang dikodratkan. Keadaan yang dikodratkan itu tersimpan dalam
kebudayaan (adat istiadat) setiap rakyat. Pendidikan seperti itu bersifat menerima apa yang dianugrahkan Sang
Pencipta dari realitas yang terjadi di lingkungannya, dan berupaya menggali pengetahuan yang tercipta serta
mengembangkannya demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, pendidikan berbasiskan MAKNA memiliki
3 Aspek yaitu:
1) Aspek Moral
Undang–undang No 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional pasal 3 menyatakan bahwa
tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang
berakhlak mulia dan memiliki moral yang tinggi. Pendidikan moral merupakan pendidikan yang
menjadikan prinsip-prinsip moral sebagai pedoman dalam memberikan pertimbangan baik buruknya
suatu hal. Pedoman yang digunakan sebagai bahan pertimbangan moral terangkum dalam norma9
norma yang berlaku pada suatu lingkungan masyarakat. Pendidikan moral dapat mereduksi nilai
hedonis dan pragmatis yang ada dalam pendidikan saat ini.
2) Aspek Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang bisa mendorong secara
spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang (Nata, 2003). Pada pendidikan
akhlak, kriteria benar dan salah merujuk pada Al-quran dan As-sunnah. Pendidikan akhlak akan
mengajarkan kesadaran dan tanggung jawab pada Allah, sesama manusia, lingkungan, dan diri sendiri5.
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu keinginan secara
sadar untuk melakukan sesuatu perbuatan yang baik. Cara membedakan akhlak, moral dan etika yaitu
dalam etika untuk menentukan perbuatan manusia baik atau buruk memakai tolak ukur akal, pikiran
atau rasio, sedangkan dalam moral memakai tolak ukur norma-norma yang berkembang dalam
masyarakat (adat istiadat). Sementara dalam akhlak untuk menentukan baik buruknya menggunakan
ukuran Al-quran dan Al- hadits. Oleh karena itu, pendidikan akhlak akan mereduksi nilai antroposentris
yang ada pada penyelenggaraan pendidikan.
3) Aspek Nasionalisme,
Pendidikan berbasiskan MAKNA dari aspek Nasionalisme adalah pendidikan yang menerima
kebudayaannya sebagai anugrah dari Sang Pencipta sehingga berupaya mempelajari secara mendalam
benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan, dan menumbuhkan kebudayaan
tersebut untuk diteruskan pada anak cucu yang akan datang. Pendidikan juga dijadikan sebagai proses
akulturasi yakni menyerap warisan budaya sekaligus memadukan unsur budaya tanpa menghilangkan
unsur inti atau tema utama budaya atau cultureel nasionalisme (Ekasari, 2012). Pendidikan nasionalis
akan mereduksi nilai kapitalistik yang ada pada pendidikan di Indonesia saat ini.
Tinjauan Terhadap Pendidikan Makna (Moral, Akhlak, dan Nasionalisme)
Menurut pandangan Freire (2007, hlm. 208) pendidikan merupakan proses pengaderan pembebasan
sebagai hakikat tujuannya. Menurutnya “pendidikan seharusnya berupaya memberikan bantuan untuk
membebaskan manusia
di dalam kehidupan obyektif dari penindasan yang mencekik mereka”. Hal itu
5
Seperti yang tercantum pada tujuan pendidikan nasional yang termuat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional.
10
disebabkan karena tidak ada pengetahuan (obyektif) pada suatu pendidikan yang memiliki kebenaran mutlak.
Kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh Sang Khalik. Oleh karena itu, metode pendidikan haruslah jelas dan
bersifat membebaskan sehingga menghasilkan pribadi-pribadi yang responsif, aktif, dan kreatif (Murtiningsih,
2004). Hakikat pendidikan seharusnya berorientasi pada pemahaman realitas diri manusia dan dirinya sendiri,
bukan sebaliknya (pemahaman realitas negara lain).
Paragraf di atas memberikan pemahaman bahwa pendidikan di indonesia seharusnya berorientasi pada
pemahaman realitas yang ada pada diri manusia itu sendiri dan lingkungannya (indonesia). Oleh karena itu,
pendidikan berbasiskan MAKNA merupakan suatu keniscayaan untuk mewujudkan pembebasan pendidikan di
indonesia. Hal itu karena pendidikan berbasiskan MAKNA berupaya memanusiakan manusia dengan cara
mengasah kemampuan diri sesuai dengan bidang yang telah diberikan oleh Sang Pencipta agar kembali pada
kodrat yang diberikanNya, dan mengajarkan tanggung jawab yang harus dipatuhi, baik pada Sang Khalik,
bangsa, masyarakat dan lingkungannya.
Demikian pula halnya dengan pendidikan profesi, tiap profesi yang ditekuni adalah anugrah dari Sang
Khalik dan ada atas izinNya yang harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Salah satu pendidikan
profesi adalah pendidikan profesi akuntan merupakan pendidikan yang menghasilkan seorang yang berprofesi
akuntan. Pendidikan berbasiskan MAKNA pada PPAk merupakan solusi untuk membebaskan pendidikan
PPAK dari nilai kapitalis, antroposentris, pragmatis, dan hedonis yan ada saat ini.
Pendidikan PPAk berbasiskan MAKNA adalah pendidikan yang pada hakekatnya berorientasi pada
realitas akuntansi yang ada di lingkungannya dan profesinya. Pendidikan berbasiskan MAKNA akan berupaya
memahami realitas akuntansi yang ada dilingkungannya dan mengembangkannya berdasarkan kesadaran
ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan. Pendidikan PPAk berbasiskan MAKNA akan menghasilkan
akuntan-akuntan profesional yang bukan hanya memiliki peningkatan pengetahuan namun juga memiliki
peningkatan kesadaran ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan sebagai outcomenya. Akuntan berbasiskan
MAKNA merupakan akuntan yang akan berupaya memenuhi tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka
bumi demi kemaslahatan makhluk di bumi. Akuntan yang berbasiskan MAKNA akan menjadi akuntanakuntan profesional yang memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan yang berlandaskan pada kesadaran
ketuhanan, kemanusiaan, dan lingkungan.
11
Dari definisi tersebut, maka pendidikan berbasiskan MAKNA merupakan suatu lembaga yang proses
pembelajarannya tidak hanya mengajarkan pengetahuan bidang tertentu saja, namun juga mengajarkan nilai
akhlak, moral, budaya dan keterampilan. Hal tersebut bermakna bahwa pendidikan berbasiskan MAKNA
merupakan lembaga yang bertugas melakukan transfer of knowledge, transfer of value, transfer of morals,
transfer of culture and transfer of religius yang diarahkan pada upaya untuk memanusiakan manusia. Hakikat
pendidikan berbasisikan MAKNA ini sebagai upaya untuk menjadikan perilaku individu agar tetap memiliki
nilai-nilai berdasarkan agama, filsafat, ideologi, dan budaya yang kuat, sehingga tidak terkontaminasi dengan
ideologi, dan budaya luar yang tentunya tidak sama dengan ideologi dan budaya sendiri.
E. Simpulan
Umumnya pendidikan profesi akuntansi (PPAk) di Indonesia saat ini seakan terkolonialisasi oleh
metode pengajaran dan proses pembelajaran dunia barat, yaitu cenderung “memaksa” mahasiswa untuk
menguasai materi yang diajarkan dan kemudian menggunakan teori (barat) tersebut dalam dunia kerja.
Kurikulum dan silabus PPAk telah didesain berdasarkan persyaratan untuk menjadi akuntan profesional yang
ditentukan oleh IFAC (International Financial Accounting Committee). Desain kurikulum seperti itu seakan
meninggalkan khazanah budaya asli nusantara sehingga kehilangan sensibilitas pendidikan berkemajuan. Pada
kurikulum terlihat jelas bahwa gejala arus kapitalisme, antroposentrisme, pragmatisme, dan hedonisme
(KAPH) dalam penyelenggaraan pendidikan PPAk sangat kuat. Corporate values telah mendominasi
penyelenggaraan pendidikan PPAk. Nilai korporasi telah menjadi core values mengalahkan academic values
yang seharusnya menjadi basis institusi pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut, maka nilai-nilai kapitalistik, antroposentris, pragmatis, dan hedonis hadir
dalam proses pendidikan itu. Oleh karena itu, nilai-nilai katersebut sebaiknya direduksi dengan cara
memasukkan tiga aspek nilai yaitu moral, akhlak, dan nasionalisme atau disingkat MAKNA. Melalui 3 aspek
tersebut, diharapkan akan menciptakan manusia yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual khususnya
di bidang akuntansi, namun juga memiliki peningkatan kesadaran moral, akhlak, dan jiwa nasionalisme yang
tinggi. Kurikulum Pendidikan akuntansi berbasis MAKNA di bidang pendidikan akuntansi merupakan suatu
keniscayaan untuk dapat dilakukan di Indonesia guna mewujudkan pembebasan pendidikan akuntansi dari
dominasi kapitalisme barat.
12
Pendidikan berbasiskan MAKNA merupakan suatu pendidikan yang bersifat menerima realitas yang
ada pada lingkungannya. sehingga berupaya memenuhi tanggung jawabnya dalam rangka memanusiakan
manusia. Hal itu dilakukan dengan cara mendidik anak didikannya melalui pengetahuan keprofesian, moral,
akhlak, dan nasionalisme serta mengajarkannya agar kelak menerima segala tugas-tugas yang dianugrahkan
Allah SWT (sebagai Khalifah) padanya dengan penuh rasa tanggung jawab baik pada diri, masyarakat, alam
dan Allah SWT dimanapun dia berada. Pendidikan berbasiskan MAKNA akan berupaya mengembangkan ilmu
pengetahuan sesuai dengan konteks yang ada dilingkungannya.
Pendidikan MAKNA merupakan suatu keniscayaan pada PPAk untuk mewujudkan pembebasan
pendidikan profesi akuntansi di indonesia. Oleh karena pendidikan MAKNA berorientasi pada pemahaman
realitas diri manusia dan dirinya sendiri serta tanggungjawabnya pada Sang Khalik, manusia, dan
lingkungannya. Hakikat pendidikan berbasiskan MAKNA ini sebagai upaya untuk menjadikan perilaku
individu agar tetap memiliki nilai-nilai berdasarkan agama, filsafat, ideologi, dan budaya yang kuat, sehingga
tidak terkontaminasi dengan ideologi, dan budaya luar yang tentunya tidak sama dengan ideologi dan budaya
sendiri.
Pendidikan berbasiskan MAKNA pada PPAk merupakan solusi untuk membebaskan pendidikan PPAk
dari nilai kapitalis, antroposentris, pragmatis, dan hedonis (KAPH) ke arah pendidikan akuntansi yang
memiliki nilai moral, akhlak, dan jiwa nasionalisme. Pendidikan PPAk berbasiskan MAKNA diharapkan akan
menghasilkan akuntan-akuntan profesional yang memiliki peningkatan kesadaran ketuhanan, kemanusiaan,
dan lingkungan sebagai outcomenya. Harapannya akuntan yang dihasilkan adalah akuntan yang berupaya
memenuhi tanggung jawabnya sebagai khalifah di muka bumi sesuai dengan tugasnya (di bidang akuntansi)
demi kemaslahatan makhluk di bumi.
13
REFERENSI
Amernic, J., & Craig, R. 2004. Reform of Accounting Education in the Post-Enron Era: Moving Accounting
"Out of the Shadows". ABACUS, 40 (3), 342-378.
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian (Penerjemah, Trans.). 2010: PT. Rineka Cipta.
Dewantara, K. H. 1977. Karya Ki Hadjar Dewantara (Penerjemah, Trans.). Yogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa.
Drikarya. 1950. Driyarkara Tentang Pendidikan (Penerjemah, Trans.). Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Ekasari, K. 2012. Rekonstruksi Pendidikan Akuntansi di Tingkat Pendidikan Tinggi Vokasi Melalui
Epistemiligi 3ling. Unpublished Disertasi, Universitas Brawijaya, Malang.
Fahrudin. 2013. Implementasi Pendidikan Nilai Keimanan Berbasis Tasawuf Sebagai Upaya Membentuk
Karakter. Unpublished Tesis, Universitas Brawijaya.
Freire, P. 2007. Politik Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (Penerjemah, Trans.).
Yogyakarta: REaD (Research, Education, and Dialogue). Pustaka Pelajar Offset.
Fuad, I. 2005. Dasar-dasar Kependidikan (Penerjemah, Trans.). Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
IX, P. A. 2008, Kamis, 5 Juni. Ki Hadjar Dewantoro. Rubrik Opini harian Kedaulatan Rakyat.
Mardalis. 1999. Metode Penelitian (Penerjemah, Trans.). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Mayper, A., Pavur, R., Merino, B., & Hoops, W. 2005. The Impact of Accounting Education on Ethical values:
An Institutional Perpective. Accounting and the Public Interest, 5, 32-55.
Mulawarman, A. D. 2008. Akuntansi Berbasis CInta: Lepas dari Hegemoni Korporasi Menuju Pendidikan
yang Memberdayakan dan Konsepsi Pembelajaran Yang Melampaui. Ekuitas, 12 (2), 142-158.
Murtiningsih, S. 2004. Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire (Penerjemah,
Trans.). Yogyakarta: Resist Book.
Nata, A. 2003. Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam (Penerjemah, Trans.). Jakarta: Raja Garafindo
Persada.
Nuryatno, M. A. (Ed.). 2014. Urgensi Filsafat Pendidikan dalam Pusaran Pragmatisme (1 ed.). Yogyakarta:
AR-Ruzz Media.
14
Rudge, L. T. 2008. Holistic Education: An Analysis of Its Pedagogical Application. . Retrieved 22/10/2015:
Subagyo, A. 1999. Studi Kelayakan: Teori dan Aplikasi (Penerjemah, Trans.). Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Triyuwono, I. 2008. Se Laen, Sang Pembebas Sistem Pendidikan Akuntansi. . IAI KAPD.
Truan, F., & Hughes, H. 1999. Tradition or Enlightenment: Philosophical choice in Accounting Academia.
journal of Accounting Education, 17, 23-34.
15
Download