2. Teori Sastra Islam dalam Perspektif Shalih Adam Baylu

advertisement
TEORI SASTRA ISLAM DALAM
PERSPEKTIF
SHALIH ADAM BAYLU
oleh :
Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S.
Bahan Ajar Matakuliah Sastra Islam pada
Program Studi Ilmu Sastra Arab
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2011
1. Pendahuluan
Sastra Islam adalah isu akademik yang
tidak mudah untuk dijabarkan karena
mengandung makna yang kompleks dan
berpontensi polemik.
Pada fakta masyarakat sastra di dunia
Islam pada umumnya terdapat dua
kecenderungan pandangan tentang sastra
Islam, yaitu kecenderungan puritanistik dan
kecenderungan liberalistik.
Kelompok pertama mewakili para ahli
sastra dan sastrawan yang
berpandangan bahwa sastra Islam
harus mengacu pada tauhid
(keimanan), akhlak, dan sejarah Islam
dengan segala dimensinya.
Kelompok kedua mewakili para ahli
sastra dan sastrawan yang
berpendapat bahwa sastra Islam
harus kontekstual-substansialistik
yang membawa misi kemanusiaan
dan kebudayaan secara universal
sesuai dengan hakikat Islam itu
sendiri yang bersifat universal.
Madzhab pertama diwakili oleh para
sastrawan Muslim yang berpikiran tidak
terlalu menghiraukan paradigma dan
paham-paham Barat yang memandang
bahwa sastra adalah bagian kecil dari
ajaran Islam yang berfungsi ibadah dan
dakwah Islam kepada masyarakat luas.
Madzhab kedua adalah para sastrawan
Muslim yang telah menimba ilmu dan
pengalaman di negara-negara Barat,
memandang bahwa sastra Islam itu
harus dibebaskan dari simbol-simbol
tekstual dan personal dalam wujud
karya sastranya.
Kedua madzhab sastra Islam tersebut
mempunyai argumentasi ilmiah masing-masing
yang kuat, yang secara sosio-kultural hidup dan
berkembang di dunia sastra.
Madzhab pertama lebih cocok disebut madzhab
klasik-puritanistik kerena menempatkan sastra
sebagai sarana ibadah dan dakwah Islam yang
berfungsi mengajak manusia untuk
menjalankan ajaran-ajaran agama.
Madzhab kedua lebih tepat disebut madzhab
modern-liberalistik karena bahan sastra bisa apa
saja, termasuk fakta sosial umat Islam yang
hidup dan berkembang di alam kemodernan.
2. Teori Sastra Islam dalam Perspektif
Shalih Adam Baylu
Baylu (1985:51-79) menulis buku berjudul
“Min Qadhâyâ al-Adabil-Islâmy” yang
diterbitkan oleh penerbit Dârul-Manârah
yang berpusat di Jeddah, Arab Saudi.
Intisari sastra Islam yang ditulis oleh Baylu
ini dipaparkan sesuai dengan sudut
pandang dan paradigma yang dianutnya.
Jika dilihat dari tulisannya tentang sastra
Islam, Baylu memiliki pandangan yang
moderat
Tidak mudah bagi pemerhati sastra untuk
merumuskan definisi tentang teori sastra
Islam kecuali dengan merujuk pada definisi
sastra secara umum karena
bagaimanapun juga teori sastra Islam tak
dapat dipisahkan dari konsep sastra
secara universal. Artinya, secara
konseptual, teori sastra Islam adalah
bagian dari teori sastra umum (Baylu,
1985)
Menurut Sayyid Qutb dalam bukunya “anNaqdul-Adabi, Ushûluhu wa Manâhijuhu”
(lihat Baylu, 1985) disebutkan bahwa teori
sastra Islam lebih cenderung pada ungkapan
yang indah tentang pengalaman dan perasaan
pengarang. Karya sastra, dalam perspektif teori
sastra Islam, adalah karya seni yang
mengungkapkan akal manusia dan
kehidupannya yang muncul dari perasaan
seorang seniman, yaitu ungkapan yang
terpancar dari kehidupan manusia dan alam
serta kehidupan antara manusia yang satu
dengan manusia lainnya.
Teori sastra Islam bersandar pada dua bagian
yang tidak mungkin ada tanpa keduanya,
yaitu :
1. Pengalaman perasaan seseorang.
Pengalaman yang dimaksud adalah perasaan
seorang sastrawan yang mampu memberikan
suatu pengaruh, atau mampu menggugah daya
khayalnya sehingga mendorong untuk
mengungkapkan perasaan tersebut dengan
gaya bahasa yang indah dan menggugah jiwajiwa orang lain.
2. Ungkapan yang menggambarkan perasaan
tersebut dengan bentuk yang indah.
Pengungkapan perasaan tersebut diungkapkan
dalam bentuk puisi, maka dinamakan sastra
puisi.
Usaha-usaha percobaan dalam melahirkan
karya sastra Islam tidak akan terwujud
selama tidak memenuhi syarat-syarat
penting berikut ini:
1. Unsur-unsur sastra yang dimiliki penyairnya
harus matang, unsur-unsur itu jelas terdapat
dalam benaknya sehingga membedakan
dirinya dengan yang lain.
2. Pikiran dan daya imajinasi pengarang
membantunya dalam menyusun dan
merekatkan unsur-unsurnya, memisahkan satu
bagian dengan bagian yang lainnya sehingga
tampak menjadi suatu yang seimbang bagi
setiap anggota pada tempat yang semestinya.
3.Termasuk hal yang penting dan mesti
muncul dalam diri pengarang adalah
kejujuran dan kesederhanaan jiwa
pemiliknya
4.Sastrawan hendaknya memiliki nilai
manfaat bagi kehidupan orang
banyak. (Baylu, 1985).
Percobaan itu tidak akan sempurrna dan
tidak akan memenuhi tujuan dalam
memberikan pengaruh pada perasaan hati
manusia selama ia belum
menyempurnakan penggambaran sastra
dengan bentuk dan gaya bahasa.
Bentuk-bentuk karya sastra adalah alat
yang langsung untuk memindahkan puisipuisi dan gambaran-gambaran yang
tersusun dalam jiwa penyair ke dalam jiwa
pembaca.
Hal yang juga amat penting yang
harus diperhatikan oleh pengarang
atau penyair adalah menjaga
gramatika bahasa Arab dan kaidahkaidah dasar berbahasa Arab karena
kecacatan karya sastra Islam
(kasidah, kisah, drama, dan lain-lain)
akan sangat tampak ketika
pengarang tidak mengindahkan
gramatika bahasa Arab.
Jika pengarang berhasil mencipta karya
sastra Islam seperti yang disyaratkan
tersebut (misalnya yang bertema sosial,
politik kenegaraan, keagamaan, dan lainlain), maka ia dapat dikatakan sebagai
pengarang yang baik dan pantas
mendapatkan penghargaan dari
pembacanya. Sebaliknya, jika pengarang
itu tidak mampu memproduksi karya sastra
Islam yang baik, maka ia sedang menjalani
kejatuhannya sendiri sebagai sastrawan
Muslim (Baylu, 1985).
Dalam terminologi sastra non-Islam,
sastra sering dijadikan wahana oleh
para pengarangnya untuk menipu
dirinya sendiri, misalnya mereka tidak
mempeduli-kan keindahan bahasa,
mendeskripsikan sastra hanya dari
satu sisi.
Dalam konteks ini, sastra Islam harus
dihidupkan dalam pergaulannya
dengan sastra umum (sastra dunia)
sehingga terjadi saling interaksi dan
dialog positif antara keduanya.
Menurut Sayyid Qutb, sastra Islam itu harus
mengungkapkan pikiran dan perasaan
masyarakat Islam secara jujur melalui kekuatan
pengarangnya. Oleh karena itu, seorang
sastrawan Muslim harus benar-benar ahli dalam
pengetahuan agama Islam agar karya sastra
yang dihasilkannya memuat misi Islam.
Menurut Muhammad Qutb, sastra Islam adalah
suatu gambaran yang indah tentang semesta,
kehidupan, manusia, dan semua wujud alam
semesta ini. Para penulis dan peneliti lain juga
telah memberi definisi sastra Islam yang hampir
sama, yang semuanya tidak keluar dari garis
bakunya kecuali hanya pada beberapa kata dan
ungkapan saja (Baylu, 1985).
3. Sastra Islam dan Ruang
Lingkupnya
Ruang lingkup pembahasan sastra Islam
tidaklah sempit seperti dibayangkan oleh
sastrawan Muslim. Jadi, sastra Islam tidak
dibatasi pada pengulangan kata yang indah
atau terbatas pada pidato saja, melainkan
meluas pada masalah-masalah
kemanusiaan dengan segala aspeknya.
Hal ini didasarkan pada satu asumsi bahwa
Islam memberi keleluasaan untuk
memperbaiki segala aspek kehidupan yang
meliputi langit dan bumi, dunia dan akhirat,
manusia dan alam semesta.
Jadi, perbincangan tentang sastra
Islam itu luas di hadapan para
sastrawan hingga meliputi semesta
dan segala eksistensi semua mahluk
Allah. Sastrawan diibaratkan seperti
kamera yang memotret dunia ini
dengan gambar yang benar yang
hasilnya sama persis dengan
gambaran umat Islam, begitulah
sastra Islam (Baylu, 1985).
Apabila seorang sastrawan melihat
semesta ini dengan segala sesuatu yang
ada dengan perasaan seorang Muslim, lalu
diungkapkanlah dengan bahasa yang
indah dan misi Islami yang lurus, maka
tidak ada kesalahan bagi sastrawan itu
untuk mencipta karya-karyanya
berdasarkan etika Islam.
Berdasarkan pemikiran di atas, seorang
sastrawan dapat mencipta karya sastra
dengan modal realitas alam semesta
sebagai objeknya. Misalnya, ia dapat
membicara-kan tentang tabiat langit dan
bumi serta segala yang ada di antara
keduanya seperti matahari, bintangbintang, dan bulan.
Semua gambaran tabiat pada alam semesta ini
di belakangnya terdapat kekuasaan Allah swt
dan kemahakuasaan-Nya dalam mencipta dan
mengaturnya seperti firman-Nya :
"Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi,
pergantian malam dan siang, kapal yang berjalan di
lautan membawa barang-barang yang berguna untuk
manusia, dan air yang diturunkan Allah dari langit lalu
dengan air itu Allah menghidupkan bumi setelah
matinya, dan menumbuhkan segala yang melata, dan
hembusan angin, iringan awan yang berjalan di antara
langit dan bumi adalah tanda-tanda kekuasaan Allah
bagi orang-orang yang berakal" (Q.S.Al-Baqarah:164).
"Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi
bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah).
dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana"
(Q.S. Al-Hadid:1).
“Lalu dia berkata kepadanya, yakni kepada
langit dan kepada bumi : "Datanglah kamu
keduanya menurut perintah-Ku dengan suka
hati atau terpaksa". keduanya menjawab :
"Kami datang dengan suka hati" (Q.S.
Fusshilat:11).
"Dan dan tak ada suatu pun melainkan
bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu
sekalian tidak mengerti tasbih mereka.
Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun" (Q.S. Al-Isrâ:44).
Download