PERBEDAAN KADAR GULA DARAH PADA PEROKOK AKTIF DAN

advertisement
PERBEDAAN KADAR GULA DARAH PADA PEROKOK AKTIF DAN
PEROKOK PASIF DI KECAMATAN MADYOPURO TAHUN 2015
Oleh
Nugroho Tristyanto
Akademi Analis Kesehatan Malang
ABSTRAK
Perokok aktif dan pasif berhubungan dengan peningkatan resiko intoleransi
glukosa. Kandungan rokok dapat mengakibatkan peningkatan sementara glukosa darah
dengan cara merusak sensitivitas organ dan jaringan terhadap aksi insulin. Asupan nikotin
dapat meningkatkan kadar hormon seperti kortisol, yang dapat mengganggu efek insulin.
Penelitian ini dirancang untuk meneliti perbandingan kadar gula darah pada perokok aktif
dan perokok pasif di Kecamatan Madyopuro tahun 2015. Data dari 32 orang perokok
aktif dan 32 orang perokok pasif yang diambil secara consecutive sampling diperoleh dari
pengisian kuisioner dan pemeriksaan kadar gula darah puasa dengan metode stik.
Hasilnya adalah nilai rerata kadar gula darah puasa kelompok perokok aktif adalah 112,7
(SD 35,8) mg/dL , sedangkan rerata kadar gula darah puasa kelompok perokok pasif
adalah 107,8 ( SD 18,6 ) mg/dL . Dengan uji Mann Whitney, didapatkan nilai p=0,317.
Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar gula darah kelompok
perokok aktif dan perokok pasif.
Kata Kunci : Perokok aktif, perokok pasif, kadar gula darah, Madyopuro.
PENDAHULUAN
Merokok merupakan kebiasaan yang sangat umum di kalangan masyarakat,
bahkan bagi golongan tertentu sudah merupakan gaya hidup. Kebiasaan merokok dapat
ditemukan pada berbagai golongan usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Saat ini
banyak anak-anak dan remaja yang sudah menjadi perokok aktif (Novitasari, 2014).
Menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan bahwa terdapat 300
juta perokok di negara maju, sedangkan di negara berkembang mendekati 3 kali lipat
yaitu sebanyak 800 juta. WHO melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu dari 5
negara yang terbanyak perokoknya di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok yang tinggi.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 prevalensi perokok di Indonesia
sebanyak 29,2% dan pada data Riskesdas 2012 prevalensi perokok di Indonesia telah
menjadi 34,7%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan prevalensi perokok di
Indonesia. Perokok berasal dari berbagai kelas sosial, status serta kelompok umur yang
berbeda ( Djokja, 2013).
Perilaku merokok merupakan perilaku yang sangat merugikan dilihat dari
berbagai aspek. Dari bidang kesehatan, pengaruh bahan-bahan kimia yang dikandung
rokok seperti nikotin, CO (karbonmonosida) dan tar, dapat menimbulkan berbagai
penyakit (Martini, 2014). Efek yang ditimbulkan dari kebiasaan merokok sangat banyak,
salah satunya merokok dapat mengakibatkan peningkatan sementara glukosa darah.
Selain itu, merokok juga dapat merusak sensitivitas organ dan jaringan terhadap aksi
insulin. Asupan nikotin dapat meningkatkan kadar hormon seperti kortisol, yang dapat
mengganggu efek insulin (Leoni, 2012).
23
DM merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan kadar glukosa
darah (gula darah) melebihi nilai normal (Utami, 2014). Hal tersebut terjadi jika sel beta
pada pulau langerhans pankreas mengalami kerusakan, sehingga jumlah insulin yang
disekresikan berkurang dan menyebabkan timbulnya hiperglikemia, yaitu konsentrasi
glukosa darah melebihi kisaran normal, 60-120 mg/dl (Anugrah, 2013).
Data dari Global status report on Noncommunicable Diseases (NCD) World
Health Organization (WHO) DM menempati peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian.
International Diabetes Federation (IDF) memperhitungkan angka kejadian DM di dunia
pada tahun 2012 adalah 371 juta jiwa, tahun 2013 meningkat menjadi 382 juta jiwa dan
diperkirakan pada tahun 2035 DM akan meningkat menjadi 592 juta jiwa. Di Indonesia
angka kejadian DM termasuk urutan terbesar ke-7 dunia yaitu sebesar 7,6 juta jiwa
sedangkan angka kejadian penderita ulkus diabetikum sebesar 15% dari penderita DM.
Bahkan angka kematian dan amputasi masih tinggi yaitu sebesar 32,5% dan 23,5%
(Utami, 2014).
Berdasarkan data dari Coronary Artery Risk Development in Young Adults study,
merokok aktif dan pasif berhubungan dengan peningkatan resiko intoleransi glukosa.
Studi ini dilakukan selama 15 tahun, dimulai dari tahun 1985 dengan 1.386 current
smokers, 621 mantan perokok, 1.452 bukan perokok dengan pajanan pasif, dan 1.113
bukan perokok yang tidak terpajan secara pasif. Insiden intoleransi glukosa, yakni kadar
glukosa darah minimal 100 mg/dl atau menggunakan agen antidiabetik oral, tertinggi
terjadi pada current smokers (21,8%), disusul oleh bukan perokok tapi terpajan secara
pasif (17,2%), kemudian bekas perokok (14,4%), dan yang terendah pada bukan perokok
yang tidak terpajan secara pasif (11,5%) (Suparmin, 2010).
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai Perbedaan Kadar Gula Darah pada Perokok Aktif dan
Perokok Pasif Usia 20-40 Tahun di Kecamatan Madyopuro Malang Tahun 2015.
Tinjauan Pustaka
Definisi rokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm
dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah di cacah.
Rokok merupakan salah satu produk industri dan komoditi internasional yang
mengandung sekitar 300 bahan kimiawi (Ambarwati, 2014). Rokok merupakan salah satu
olahan tembakau dengan menggunakan bahan ataupun tanpa bahan tambahan. Rokok
dengan bahan tambahan berupa cengkeh disebut rokok kretek, sedangkan rokok tanpa
bahan tambahan cengkeh disebut sebagai rokok putih. Selain salah satu olahan tembakau,
rokok juga merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan
bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat (Batubara, 2013).
Kandungan rokok
Komponen toksik utama yang terdapat dalam asap rokok, yaitu :
1. Karbonmonoksida merupakan gas racun yang tidak berwarna dan tidak berbau.
Karbonmonoksida dapat menyebabkan berkurangnya pengiriman dan pemanfaatan
oksigen pada jaringan tubuh.
2. Nikotin merupakan senyawa yang diserap ke dalam sistem pembuluh darah melalui
paru-paru dan selanjutnya disirkulasikan ke otak dalam waktu yang sangat cepat serta
dapat menyebabkan penurunan kadar hormon testosteron.
3. Tar merupakan bahan karsinogenik yang tidak sederhana, tetapi merupakan campuran
yang sangat kompleks yang dapat menyebabkan berbagai penyakit diantaranya
24
kanker, penyakit jantung, bronchitis, gangguan kehamilan, dan impotensi (Batubara,
2013).
Definisi Gula Darah
Glukosa merupakan karbohidrat terpenting untuk penyediaan energi di dalam
tubuh sebab semua jenis karbohidrat, baik monosakarida, disakarida maupun polisakarida
yang dikonsumsi oleh manusia akan terkonversi menjadi glukosa di dalam hati. Glukosa
ini kemudian akan berperan sebagai salah satu molekul utama bagi pembentukan energi
di dalam tubuh (Suparmin, 2010).
Kadar glukosa di dalam darah dimonitor oleh pankreas. Bila konsentrasi glukosa
menurun karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, pankreas
melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel di hati. Kemudian sel-sel ini
mengubah glikogen menjadi glukosa (proses ini disebut glikogenolisis). Glukosa
dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga meningkatkan kadar gula darah (Mashudi,
2011).
Metabolisme Glukosa dalam Tubuh
Beberapa organ dalam tubuh manusia, seperti otak, sangat tergantung pada
glukosa sehingga jumlah glukosa di dalam tubuh harus dijaga agar tetap normal. Sel beta
pankreas, pada keadaan normal, dalam hal ini insulin, mengatur glukosa sedemikian rupa
sehingga kadar glukosa di dalam darah tetap terjaga, baik dalam keadaan puasa maupun
sesudah makan (Leoni, 2012).
Menurut Powers (2003), setelah makan, insulin :
a. Memungkinkan glukosa masuk ke sel untuk digunakan sebagai energi atau disimpan
b. Memungkinkan lemak masuk ke sel untuk digunakan sebagai energi atau disimpan
c. Memungkinkan protein digunakan untuk memperbaiki sel-sel, organ, dan otot
Jika insulin tidak tersedia atau tidak dapat melakukan tugasnya :
a. Glukosa dalam darah tetap
b. Lemak dalam darah tetap
c. Protein tidak digunakan untuk memperbaiki sel-sel, organ, dan otot
Insulin
Insulin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan sel β pulau Langerhans
dari proinsulin. Insulin mengandung dua rantai, yaitu rantai A yang terdiri dari 21 asam
amino dan rantai B yang mempunyai 30 asam amino. Strktur insulin berbagai spesies
berbeda dalam susunan asam aminonya. Perbedaan tersebut tidak menyebabkan
perbedaan aktivitas biologis, tetapi menyebabkan perbedaan imunologik (Suparmin,
2010).
Sekresi insulin diatur ketat dengan tujuan untuk mendapatkan kadar glukosa
darah yang stabil, baik sesudah makan maupun selama puasa. Pengaturan kadar glukosa
darah ini dicapai melalui koordinasi peran berbagai nutrien, hormon saluran cerna,
hormon pancreas, dan neurotransmitter otonom (Suparmin, 2010).
Diabetes Militus
Diabetes Melitus (DM) adalah kondisi abnormalitas metabolisme karbohidrat
yang disebabkan oleh defisiensi insulin. Hal tersebut terjadi jika sel beta pada pulau
langerhans pankreas mengalami kerusakan, sehingga jumlah insulin yang disekresikan
berkurang. Hal tersebut menyebabkan timbulnya hiperglikemia, yaitu konsentrasi glukosa
darah melebihi kisaran normal, 60-120 mg/dl (Anugrah,2013).
25
DM biasa disebut dengan the silent killer karena penyakit ini dapat menjadi
penyebab berbagai penyakit seperti hipertensi, stroke, jantung koroner, gagal ginjal,
katarak, glaukoma, kerusakan retina mata yang dapat membuat buta, impotensi, gangguan
fungsi hati, luka yang lama sembuh mengakibatkan infeksi hingga akhirnya harus
diamputasi terutama pada kaki (Azhara, 2014).
Tipe Diabetes Militus
Ada beberapa jenis Diabetes Mellitus yaitu Diabetes Mellitus Tipe I, Diabetes
Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional :
a. Diabetes Militus Tipe 1
Pada DM Tipe 1, sel-sel beta pancreas yang dalam keadaan normal menghasilkan
hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses autoimun. Sebagai akibatnya,
penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah.
b. Diabetes Militus Tipe 2
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai oleh
kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau
ganguan fungsi insulin (resistensi insulin).
c. Diabetes Militus Tipe Gestasional
DM gestasional adalah DM yang timbul selama kehamilan, meliputi 2 % hingga 5 %
dari keseluruhan DM (Soegondo, et al, 2007).
Tanda dan Gejala Diabetes Militus
Diagnosis pada DM dipastikan bila :
A. Terdapat keluhan khas DM (poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya) disertai dengan satu nilai pemeriksaan glukosa
darah tidak normal ( glukosa darah sewaktu = 200 mg/dl atau glukosa darah puasa =
126 mg/dl )
B. Terdapat keluhan khas yang tidak lengkap atau terdapat keluhan tidak khas (lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi, pruritus) disertai dua nilai pemeriksaan
glukosa darah tidak normal ( glukosa darah sewaktu = 200 mg/dl dan/atau glukosa
darah puasa =126 mg/dl yang diperiksa pada hari yang sama atau pada hari yang
berbeda)
Tabel 1. Gula Kadar Gula Darah Puasa dan Sewaktu
Kadar Gula
Darah Sewaktu
(mg/dl)
Kadar Gula
Darah Puasa
Plasma Vena
Bukan DM
<110
Belum pasti DM
110-199
DM
>200
Darah Kapiler
Plasma Vena
<90
<110
90-199
110-125
>200
>126
(mg/dl)
Darah Kapiler
<90
90-109
>126
Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah yang dilakukan di laboratorium dengan metode
oksidasi glukosa atau o-toluidin memberiksan hasil yang lebih akurat. Oleh karena itu
untuk menentukan diagnosis DM disarankan pemeriksaan kadar glukosa laboratorium.
Seringkali pemeriksaan darah dilakukan dengan uji strip, dengan metode enzimatik.
Pemeriksaan dengan cara ini dapat dilakukan dengan lebih cepat, mudah dan cukup
akurat walaupun relative agak mahal dibandingkan dengan cara kimia basah. Bila cara
tersebut dilakukan secara benar melalui prosedur yang baku maka hasilnya cukup baik
untuk evaluasi pengobatan. Dengan adanya uji strip glukosa baik yang menggunakan
26
glukometer maupun secara kasat mata, memungkinkan pasien melakukan pemeriksaan
kadar glukosa sendiri dirumah. Sehubungan dengan cara pengambilan sampel darah,
perlu diperhatikan bahwa kadar glukosa plasma atau serum 10-15% lebih tinggi
dibandingkan kadar glukosa darah biasa. Dibandingkan dengan pemeriksaan glukosa
urin, pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung.
Pemeriksaan kadar glukosa darah dengan uji strip menggunakan glukometer lebih baik
dibanding tanpa glukometer karena informasi yang diberikan lebih obyektif kuantitatif
(Soegondo, 2007)
Cara pengukuran glukosa darah yaitu pengambilan setetes darah dari ujung jari
tangan, aplikasi darah tersebut pada strip pereaksi khusus, dan kemudian darah tersebut
dibiarkan pada strip selama periode waktu tertentu biasanya antara 45-60 detik sesuai
ketentuan pabrik. Beberapa produk, darah diapus dari strip (dengan menggunakan kapas
atau tissue sesuai ketentuan pabrik). Bantal pereaksi pada strip akan berubah warnanya
dan kemudian dapat dicocokkan dengan peta warna pada kemasan produk atau disisipkan
ke dalam alat pengukur yang memperlihatkan angka digital kadar glukosa darah sewaktu
ataupun pengambilan glukosa darah puasa. Pemeriksaan glukosa darah sewaktu adalah
pengambilan glukosa darah tanpa persiapan bertujuan untuk melihat kadar glukosa darah
sesaat sebelum puasa dan tanpa pertimbangan waktu setelah makan, dilakukan untuk
penjajakan awal pada klien yang diduga DM sebelum dilakukan pemeriksaan yang benarbenar dipersiapkan. Sedangkan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa adalah
pemeriksaan gula darah saat klien puasa 12 jam (gula darah puasa atau nuchter) atau 2
jam puasa setelah makan (postprandial). Pemeriksaan glukosa darah toleransi adalah
pemeriksaan kadar gula darah puasa (sebelum diberi glukosa 75 gram oral), 1 jam setelah
diberi glukosa dan 2 jam setelah diberi glukosa. Pemeriksaan ini bertujuan untuk toleransi
tubuh terutama insulin terhadap pemberian glukosa dari waktu ke waktu pada klien
dengan DM. Cara pengukuran gula darah ini merupakan salah satu cara untuk melakukan
pemantauan terhadap angka kadar glukosa darah, masih dalam batas normal ataukah
sudah terjadi hiperglikemia atau hipoglikemia (Smeltzer & Bare,2002)
Hubungan Merokok dengan Kadar Glukosa Darah
Terpapar asap rokok adalah merokok atau sering berada di dekat perokok.
Merokok adalah salah satu faktor risiko terjadinya DM Tipe 2. Asap rokok dapat
meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh rokok (nikotin) merangsang kelenjar adrenal
dan dapat meningkatkan kadar glukosa (Latu, 1983).
Sejumlah studi telah memeriksan hubungan antara merokok dan insiden
abnormalitas glukosa dan telah menunjukkan bahwa merokok berasosiasi dengan
intoleransi glukosa, kelainan glukosa puasa, dan diabetes militus tipe 2. Ada 25 studi
yang dipublikasikan dalam rentang waktu 1992 hingga 2006. Jumlah peserta setiap studi
terbentang dari 630 hingga 709.827, sehingga berjumlah total 1,2 juta peserta. Selama
periode follow up yang berkisar antara 5 hingga 30 tahun, telah dilaporkan sebanyak
45.844 kasus baru diabetes. Hasil analisis data menunjukkan perokok aktif mempunyai
resiko 44% lebih tinggi untuk menderita diabetes tipe 2 dibandingkan dengan bukan
perokok. Analisis lebih lanjut menunjukkan adanya hubungan antara dosis merokok dan
diabetes. Perokok berat (merokok 20 batang atau lebih dalam sehari) mempunyai resiko
61% lebih tinggi untuk terkena diabetes. Perokok ringan memiliki risiko 23% lebih tinggi
untuk terkena diabetes.Asosiasinya juga lebih lemah untuk perokok pasif (resiko terkena
diabetes meningkat 23%) ( Willi C, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Houston dari Birmingham Veteran Affairs
Medical Centre, Alabama, AS menyatakan bahwa perokok pasif memungkinkan
menghisap racun sama seperti perokok aktif. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa
27
perokok aktif memilik risiko 22% lebih tinggi untuk terserang DM Tipe 2 dibanding
orang yang tidak merokok, sedangkan pada perokok pasif ditemukan memiliko risiko
17% lebih tinggi untuk terserang diabetes dibanding dengan yang tidak terpajan
(Rmexpose dalam Irawan, 2010).
Akan tetapi, sebuah penelitian cross sectional untuk mengetahui hubungan antara
penggunaan alcohol dan merokok terhadap intoleransi glukosa menunjukkan bahwa
merokok sama sekali tidak berhubungan dengan intoleransi glukosa. Studi ini dilakukan
pada 3038 pria yang berusia 75 gram. Studi ini menyimpulkan bahwa merokok tidak
memperburuk toleransi glukosa ( Sakai Y, 2006).
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan bersifat observasional dengan desain cross sectional analitik
yaitu penelitian yang mempelajari hubungan antara faktor risiko dengan efek melalui
pendekatan dan observasi atau pengumpulan data dalam satu waktu.
Populasi dalam penelitian ini adalah perokok aktif dan perokok pasif usia 20-45
tahun di Desa Madyopuro. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara Consecutive
sampling, yaitu merekrut semua subjek yang memenuhi kriteria tertentu. Menurut
Sastroasmoro, (2006), consecutive sampling merupakan jenis non-probability sampling
yang paling baik dan paling sering digunakan dalam studi klinis.
Kriteria Subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini adalah :
 Pria / Wanita
 Berusia 20-45 tahun
 Perokok aktif atau perokok pasif
 Tidak memiliki riwayat diabetes mellitus
Langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
1. Permohonan izin untuk melakukan penelitian
2. Penentuan besar sampel
3. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi secara consective sampling
4. Memberikan penjelasan dan meminta persetujuan subjek melalui informed consent
5. Pengumpulan data dari pengisian kuisioner dan pengukuran kadar glukosa darah puasa
menggunakan teknik tindik jari
6. Mengolah data
7. Melaporkan hasil peneliti
Variabel Penelitian
Variabel dependen
: Kadar Glukosa Darah
Variabel independen
: Perokok aktif dan perokok pasif
Definisi merokok adalah sebagai berikut :
a. Menurut WHO, definisi perokok aktif adalah mereka yang menghisap atau menghirup
asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok setiap hari/hampir setiap hari selama
minimal 6 bulan selama hidupnya dan masih merokok saat penelitian dilakukan
b. Perokok adalah orang yang saat survei memiliki kebiasaan merokok dalam bentuk
apapun baik setiap hari maupun kadang-kadang dan telah merokok minimal sebanyak
100 batang rokok sepanjang hidupnya.
c. Perokok pasif adalah orang yang terpapar secara pasif dengan asap dan minimal 100
batang rokok di lingkungannya.
Keterangan : 100 batang rokok kira-kira sama dengan merokok satu batang rokok
per hari selama 3-4 bulan, atau merokok kadang-kadang selama 1 tahun.
28
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dari hasil
pengukuran kadar glukosa darah pada subjek dan kuisioner.
Untuk analisis data kadar glukosa darah yang merupakan data numeric,
digunakan uji untuk 2 kelompok tidak berpasangan, yakni uji t tidak berpasangan. Jika
syarat uji parametric tidak terpenuhi, maka digunakan uji alternative, yakni Mann
Whitney. Uji hipotesis ini akan dilakukan dengan program SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Dari 32 sampel kelompok perokok aktif dan 32 sampel kelompok perokok pasif,
diperoleh sebaran data sebagai berikut :
Tabel 2. Penggolongan Kelompok Usia pada Sampel
Kelompok Usia
Perokok
Aktif (n, %)
20 – 25 tahun
6 (18,8 %)
26 – 30 tahun
9 (28,1 %)
31 – 35 tahun
6 (18,8 %)
36 – 40 tahun
4 (12,5 %)
41 – 45 tahun
7 (21,8 %)
Total
32 (100%)
Sumber: data diolah
x Gula Darah
± SD
107,5 ± 8,6
108,4 ± 12,3
102 ± 14,1
96,5 ± 14,1
126,7 ± 57,4
Perokok
Pasif (n, %)
5 (15,6 %)
2 (6,3 %)
5 (15,6 %)
9 (28,1 %)
11 (34,4 %)
32 (100%)
x Gula Darah
± SD
100 ± 4,6
110 ± 21,2
109 ± 19,9
101.5 ± 5,5
110,9 ± 20,5
Tabel 2 menunjukkan bahwa 9 orang dari 32 sampel perokok aktif berusia 26-30
tahun. Pada kelompok perokok pasif, 11 orang dari 32 orang perokok pasif berada dalam
rentang usia 41-45 tahun. Rerata usia kelompok perokok aktif pada penelitian ini adalah
32,9 (SD 8,2) tahun, sedangkan kelompok perokok pasif adalah 35,8 (SD 7,9) tahun.
Rata-rata kadar gula darah tertinggi pada perokok aktif terdapat pada 7 rentan usia 41 –
45 tahun yaitu 126,7 (SD 57,4), sedangkan rata-rata kadar gula darah tertinggi pada
perokok pasif juga terdapat pada rentan usia 41-45 tahun yaitu 110,9 ± 20,5.
Tabel 3. Penggolongan Tingkat Pendidikan pada Sampel
Pendidikan
Tidak Sekolah
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Perguruan Tinggi
Total
Sumber: data diolah
Perokok
Aktif (n, %)
0 (0%)
1 (3%)
6 (19%)
15 (47%)
10 (31%)
32 (100%)
x Gula Darah
± SD
94
103,8 ± 14,9
115, 5 ± 40,8
105,5 ± 7,8
Perokok
Pasif (n, %)
0 (0%)
12 (37%)
9 (28%)
5 (16%)
6 (19%)
32 (100%)
x Gula Darah
± SD
105,4 ± 17,6
108,3 ± 18,3
106,8 ± 11,0
104,2 ± 11,0
Tabel 3 menunjukkan dari 32 perokok aktif, jumlah tertinggi berdasarkan tingkat
pendidikan yaitu tamat SMA sebesar 15 orang, dan rata-rata kadar gula darah tertinggi
pada perokok aktif 115,5 ± 40,8 juga pada tingkat pendidikan tamat SMA. Sedangkan
pada perokok pasif, jumlah tertinggi yaitu tamat SD sebesar 12 orang, dan rata-rata kadar
gula darah tertinggi pada perokok pasif 108,3 ± 18,3 yaitu pada tingkat pendidikan tamat
SMP.
29
Tabel 4. Penggolongan Aktifitas Fisik pada Sampel
Aktifitas Fisik
Perokok
Aktif (n, %)
Ringan
Sedang
Berat
Total
Sumber: data diolah
x Gula Darah
7 (22%)
15 (47%)
10 (31%)
32 (100%)
± SD
102 ± 5,7
109,1 ± 11,1
115,6 ± 51,0
Perokok
Pasif (n, %)
5 (16%)
26 (81%)
1 (3%)
32 (100%)
x Gula Darah
± SD
100 ± 4,6
108,6 ± 16,4
94
Tabel 4 menunjukkan dari 32 sampel perokok aktif, 15 diantaranya memiliki
aktifitas sedang, sedangkan rata-rata kadar gula darah tertinggi 115,6 ± 51,0 memiliki
aktifitas berat. Pada perokok pasif, dari 32 sampel 26 diantaranya juga memiliki aktifitas
sedang dan rata-rata kadar gula darah tertinggi 108,6 ± 16,4 juga memiliki aktifitas fisik
sedang.
Tabel 5. Penggolongan Berat Badan pada Sampel
Berat Badan
Perokok
Aktif (n, %)
≤ 25 Kg
0 (0 %)
≤ 50 Kg
3 (9,4 %)
≤ 75 Kg
23 (71,9 %)
≤ 100 Kg
6 (18,7 %)
Total
32 (100%)
Sumber: data diolah
x Gula Darah
± SD
96,3 ± 2,1
104,1 ± 11,8
137,2 ± 58,7
Perokok
Pasif (n, %)
x Gula Darah
± SD
0 (0%)
12 (37,5 %)
19 (59,4 %)
1 (3,1 %)
32 (100%)
101,9 ± 11,4
109,3 ± 17,3
100
Frekuensi (orang)
Tabel 5 menunjukkan bahwa 41 orang dari 64 orang sampel mempunyai berat
badan ≤ 75 Kg. Rerata berat badan perokok aktif pada penelitian ini adalah 63,9 (SD
11,2) Kg, sedangkan kelompok perokok pasif adalah 54,7 (SD 10,9) Kg.
Nilai rata-rata kadar gula darah tertinggi pada perokok aktif yaitu 137,2 ± 58,7
memiliki berat badan ≤ 100 Kg dan nilai rata-rata kadar gula darah tertinggi pada perokok
pasif yaitu 109,3 ± 17,3 memiliki berat badan ≤ 75 Kg.
20
15
10
5
0
< 15
16 - 20
21 - 25
26 - 30
Lupa
Usia Mulai Merokok (tahun)
Gambar 1. Diagram Usia Mulai Merokok pada Sampel
Diagram 1 menunjukkan bahwa mayoritas sampel (27 orang) mulai merokok
pada usia ≤ 20 tahun. Rerata usia mulai merokok pada kelompok perokok aktif adalah 16
( SD 2,5) tahun. Dari 32 orang perokok aktif, tiga orang lupa kapan ia mulai merokok.
30
Frekuensi (orang)
12
10
8
6
4
2
0
3
6
7
9
16
19
Jumlah Rokok Per Hari (Batang)
Gambar 2. Diagram Jumlah Rokok yang Dikonsumsi Per Hari
Diagram 2 menunjukkan bahwa 11 orang dari 32 orang sampel perokok aktif
mengonsumsi 16 batang rokok perharinya. Rerata jumlah rokok yang dikonsumsi per hari
adalah 10,5 (SD 5,8).
Tabel 6. Uji Normalitas Data Kolmogorov-Smirnov untuk Kadar
Gula Darah pada Perokok Aktif dan Perokok Pasif
Status Merokok
Perokok Aktif
Perokok Pasif
Sumber: data diolah
x Gula Darah ± SD
112,7 ± 35,8
107,8 ± 18,6
Kolmogorov
Smirnov (p)
0.000
0.000
Signifikasi
Mann Whitney
Kelompok perokok aktif memiliki nilai rata-rata kadar gula darah lebih tinggi dari
pada kelompok perokok pasif, yaitu 112,7 dengan nilai standar deviasi 35,8. Analisis data
kadar gula darah puasa kelompok perokok aktif dan perokok pasif menunjukkan bahwa
sebaran data kadar gula darah pada kelompok perokok aktif dan perokok pasif tidak
normal (nilai p < 0,05).Karena sebaran data tidak terdistribusi normal, maka uji yang
digunakan adalah uji non parametrik Mann Whitney. Ternyata didapatkan nilai p = 0,317
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya perbedaan kadar gula darah pada perokok aktif dan perokok pasif. Penelitian
ini dilaksanakan pada penduduk desa Madyopuro Kabupaten Malang. Jumlah
keseluruhan subjek penelitian ini adalah sebanyak 64 orang subjek yang terdiri dari 32
perokok aktif dan 32 perokok pasif yang memenuhi kriteria dalam pengambilan sampel
penelitian.
Berdasarkan data yang didapat, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna kadar glukosa darah pada perokok aktif dan perokok pasif (p = 0,317). Hasil ini
bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Houston dari Birmingham, Veteran
Affairs Medical Centre, Alabama, AS yang menyatakan bahwa perokok pasif
memungkinkan menghisap racun sama seperti perokok aktif. Penelitian tersebut
mendapatkan bahwa perokok aktif memilik risiko 22% lebih tinggi untuk terserang DM
Tipe 2 dibanding orang yang tidak merokok, sedangkan pada perokok pasif ditemukan
memiliko risiko 17% lebih tinggi untuk terserang diabetes dibanding dengan yang tidak
terpajan (Rmexpose dalam Irawan, 2010). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa
31
merokok aktif berhubungan dengan peningkatan resiko intoleransi glukosa. Penelitian
dari Willi, et.al juga menunjukkan hasil yang serupa.
Menurut Journal of the American Medical Association menyatakan bahwa
merokok dan diabetes memang saling terkait sebab merokok dapat menyebabkan diabetes
dan merokok akan memperparah penyakit gula seseorang. Namun, penelitian yang telah
dilakukan tidak sejalan dengan teori yang ada karena selain Kebiasaan merokok penyakit
diabetes militus juga dipengaruhi banyak faktor salah satunya umur, tingkat pendidikan,
berat badan dan aktifitas fisik.
Penelitian antara umur dengan kejadian diabetes mellitus menunjukan adanya
hubungan yang signifikan. Kelompok umur > 40 tahun pada kelompok perokok aktif dan
perokok pasif memiliki rata-rata kadar gula darah yang lebih tinggi dari pada kelompok
umur < 40 tahun.. Penelitian Iswanto (2004) juga menemukan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara umur dengan kejadian diabetes mellitus. Selain itu, studi yang dilakukan
Sunjaya (2009) juga menemukan bahwa kelompok umur yang paling banyak menderita
diabetes mellitus adalah kelompok umur 45-52 (47,5%). Peningkatan diabetes risiko
diabetes seiring dengan umur, khususnya pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan
karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Adanya proses
penuaan menyebabkan berkurangnya kemampuan sel β pankreas dalam memproduksi
insulin (Sunjaya, 2009). Selain itu pada individu yang berusia lebih tua terdapat
penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot sebesar 35%. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan kadar lemak di otot sebesar 30% dan memicu terjadinya resistensi insulin.
Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit Diabetes
Melitus. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan memiliki banyak
pengetahuan tentang kesehatan. Dengan adanya pengetahuan tersebut oarang akan
memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya (Irawan, 2010). Pendidikan sebagian
besar responden kelompok perokok aktif adalah tamat SMA, sedangkan kelompok
perokok pasif adalah tamat SD. Berdasarkan analisis hubungan antara pendidikan dengan
kejadian DM, didapatkan kesimpulan yang didapat adalah tidak ada hubungan yang
signifikan antara pendidikan dengan kejadian DM.
Jenis pekerjaan juga erat kaitannya dengan kejadian DM. Pekerjaan seseorang
mempengaruhi tingkat aktivitas fisiknya. Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah.
Glukosa akan diubah menjadi energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik
mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan
berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh
tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak
mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM
(Kemenkes,2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki aktivitas fisik sedang dan berat, namun rata-rata kadar gula darah pada perokok
aktif tertinggi terdapat pada aktifitas berat dan rata-rata kadar gula darah perokok pasif
tertinggi terdapat pada aktifitas sedang. Hasil tersebut bertentangan dengan teori yang
ada, faktor resiko lain seperti umur dan berat badan juga mempengaruhi hasil kadar gula
darah seseorang.
Penelitian menurut Sunjaya (2009) menemukan bahwa individu yang mengalami
obesitas mempunyai risiko 2,7 kali lebih besar untuk terkena diabetes mellitus
dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami obesitas. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya aktivitas fisik serta tingginya konsumsi karbohidrat, protein dan lemak yang
merupakan factor risiko dari obesitas. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya Asam
Lemak atau Free Fatty Acid (FFA) dalam sel. Peningkatan FFA ini akan menurunkan
translokasi transporter glukosa ke membrane plasma, dan menyebabkan terjadinya
resistensi insulinpada jaringan otot dan adipose (Teixeria-Lemos dkk,2011). Pada
32
penelitian ini, responden pada kelompok perokok aktif dan perokok pasif yang memiliki
berat badan lebih dari lebih dari 75 Kg memiliki nilai rata-rata kadar gula darah yang
lebih tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pada penelitian ini telah dilakukan uji kadar gula darah pada perokok aktif dan
perokok pasif di Kecamatan Madyopuro dengan menggunakan uji Mann Whitney
didapatkan hasil bahwa tidak ditemukannya perbedaan yang bermakna pada kadar gula
darah pada perokok aktif dan perokok pasif didaerah Madyopuro dengan didapatkan nilai
p=0,317 (p > 0,05).
Saran
Dalam penelitian ini, masih terdapat faktor perancu yang belum terantisipasi,
untuk itu diharapkan dapat dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan cara
mengidentifikasi faktor-faktor perancu yang dapat membuat hasil penelitian tidak valid.
Faktor gaya hidup selain merokok, seperti olahraga, minum kopi, dan konsumsi alkohol,
serta pola makan juga dapat berpengaruh.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati. Ayu Khoirotul U. Fifit Kurniawati1. Tika Diah K1. Saroh Darojah.
2014.Media Leaflet, Video dan Pengetahuan Siswa SD Tentang Bahaya
Merokok (Studi Pada Siswa SDN 78 Sabrang Lor Mojosongo Surakarta). Vol.10
No. 1 : 7-13.
Anugrah, Suriyanti Hasbullah, Suarnianti. 2013. Hubungan Obesitas, Aktivitas
Fisik,Dan Kebiasaan Merokok Dengan Penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 Pada
Pasien Rawat Jalan RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Vo. 1 No. 6.
Batubara, Immanuel Van Donn. Benny Wantouw. 2013. Pengaruh Paparan Asap Rokok
Kretek Terhadap Kualitas Spermatozoa Mencit Jantan (MUS MUSCULUS).
Jurnal e-Biomedik (eBM). Vol. 1. No. 1 :330-337.
Djokja, Rizki Mulyana, B. S. Lampus, Christy Mintjelungan, 2013. Gambaran Perokok
Dan Angka Kejadian Lesi Mukosa Mulut Di Desa Monsongan Kecamatan
Banggai Tengah. Jurnal e-GiGi (eG). Vol.1. No. 1 : 38-44.
Irawan, Dedi 2010. Prevalensi Dan Faktor Risiko Kejadian Diabetes Militus Tipe 2 Di
Daerah Urban Indonesia
Latu, Jeanne. 1983. Menafsirkan Hasil Tes Laboratorium. Cermin Dunia Kedokteran
No.30 1983 : Halaman 3 – 6.
Leoni, Astrine Permata. 2012. “Hubungan Umur, Asupan Protein, dan Faktor Lainnya
dengan Kadar Gula Darah Puasa pada Pegawai SATLANTAS dan DUMDA di
POLRESTA DEPOK tahun 2012”. Skripsi. Depok: Fakultas Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia.
Martini, Sih, 2014. Makna Merokok pada Remaja Perokok (Smoking Meaning In Young
Women Smokers). JURNAL Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Vol. 3.
No. 2.
Mashudi.2011. “Pengaruh Progressive muscle Relaxation Terhadap Kadar Glukosa
Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Jambi”.Tesis. Depok : Fakultas Indonesia.
33
Novitasari, M.K., Vonny Wowor, Wulan P. J. Kaunang, 2014. Gambaran Tingkat
Pengetahuan Siswa Sma Negeri 1 Manado Tentang Dampak Merokok Bagi
Kesehatan Gigi Dan Mulut. Jurnal e-GiGi (eG). Vol.2. No. 2.
Sakai Y, Yamaji T, Tabata S, Ogawa S, Yamaguchi K, Mineshita M, et al. Relation of
alcohol use and smoking to glucose tolerance status in Japanesemen. Diabetes
Research and Clinical Practice. 2006 Jul; 73(1): 83-8
Smeltzer,S.C., & Bare, B.G.(2002).Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner &
Suddarth (Vols 2 edisi 8) (H.Y Kuncara,Andri Hartono, Monica Ester, Yasmin
Asih, Penerjemah.). Jakarta : EGC.
Soegondo, S., Soewondon, P., & Subekti, I.(Ed).(2007).Penatalaksanaan diabetes
terpadu :Sebagai panduan penatalaksanaan diabetes militus bagi dokter dan
educator. Jakarta :FK-UI.
Suparmin, Siskawati. 2010. “Beda Kadar Glukosa Darah pada Perokok dan Bukan
Perokok Tembakau Usia 20-60 Tahun di Salemba Tahun 2009-2010”. Skripsi.
Jakarta : Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia.
Utami, Desni Tri. Darwin Karim. Agrina. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus dengan Ulkus Diabetikum. Vol 1. No. 2.
Willi C, Bodenmann P, Ghali WA, Faris PD, Cornuz J. Active Smoking and the Risk of
Type 2 Diabetes. JAMA.2007,298(22): 2654-64.
34
Download