8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Coliform Coliform

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri Coliform
Coliform merupakan bakteri yang memiki habitat normal di usus
manusia
dan
juga
hewan. Bakteri
Coliform
adalah
bakteri
indikator
keberadaan bakteri patogenik lain. Lebih tepatnya, bakteri Coliform fecal adalah
bakteri indikator adanya pencemaran bakteri patogen. Penentuan Coliform fecal
menjadi indikator pencemaran dikarenakan jumlah koloninya pasti berkorelasi
positif dengan keberadaan bakteri patogen. Selain itu, mendeteksi Coliform jauh
lebih murah, cepat, dan sederhana daripada mendeteksi bakteri patogenik lain.
Bakteri yang termasuk kelompok bakteri Coliform antara lain, Escherichia coli
dan Enterobacter aerogenes (Jay, 1992).
Penyebaran Coliform dari manusia ke manusia yang lain dapat terjadi
melalui jalur fekal oral yaitu dengan cara manusia memakan makanan atau
minuman yang telah terkontaminasi feses manusia maupun feses hewan. Infeksi
Coliform pada manusia seringkali disebabkan oleh konsumsi makanan produk
hewan yang tercemar, misalnya daging dan susu (Balia et al., 2011).
Bakteri kelompok Coliform meliputi bakteri berbentuk batang,
negatif, tidak membentuk spora, dan dapat
Gram
memfermentasi laktosa dengan
memproduksi gas dan asam pada suhu 37°C dalam waktu kurang dari 48 jam.
Adapun bakteri E. coli selain memiliki karakteristik seperti bakteri Coliform
pada umumnya juga dapat menghasilkan senyawa indol di dalam air pepton
8
9
yang mengandung asam amino triptofan, serta tidak dapat menggunakan
natrium sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon (Fardiaz, 1993).
Arnia dan Efrida (2007) berpendapat, bahwa kontaminasi bakteri Coliform
dapat melalui tangan penjual, pemotongan yang tidak higiene sehingga bakteri
dari alat pemotong dapat berpindah ke daging, dari kemasan yang kurang steril,
dari air yang digunakan untuk membersihkan daging atau alat pemotong yang
kemungkinan sudah tercemar dan dari daging itu sendiri karena habitat dari
bakteri Coliform ini adalah di usus hewan, serta banyak penyebab lainnya.
2.2 Bakteri Escherichia coli
Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich
pada tahun 1885 yang diisolasi dari feses bayi. E. coli termasuk ke dalam filum
Proterobacteria, kelas Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, famili
Enterobacteriaceae, genus Escherichia. Bakteri E. coli berbentuk batang pendek,
Gram negatif, tidak berspora, motil dengan flagella peritrichous, berukuran 0,4 –
0,7 µm x 1,4 µm, beberapa strain mempunyai kapsul, bersifat fakultative anaerob,
memfermentasi laktosa, dan tumbuh optimum pada suhu 37°C (Merck, 1992).
Escherichia coli adalah kuman oportunis yang banyak ditemukan di dalam
usus besar manusia maupun hewan sebagai flora normal. Escherichia coli tidak
dapat memproduksi H2S, tetapi dapat membentuk gas dari glukosa, menghasilkan
tes positif terhadap indol, dan memfermentasikan laktosa. Bakteri ini dapat
tumbuh baik pada suhu antara 7°C – 46°C, jika berada di bawah temperatur
10
minimum atau sedikit di atas temperatur maksimum E. coli tidak segera mati,
melainkan berada dalam keadaan dormant (Schiegel dan Schmidt, 1984).
Escherichia coli memiliki antigen O tersusun dari komplek polisakaridaphospolipid dengan fraksi protein yang tahan terhadap pemanasan, sehingga
antigen O dikenal sebagai antigen permukaan yang tahan panas (heat-stable).
Antigen K merupakan antigen kapsul atau amplop. Antigen K terletak di atas
antigen O dan mencegah antigen O kontak dengan antibodi O, tersusun dari
lipopolisakarida Antigen fimbria terletak pada fimbria (phili), yang merupakan
penonjolan pada dinding sel dan tersusun dari protein. Antigen H merupakan
antigen flagela, protein dan tidak tahan panas (Michael et al., 1989).
2.3 Escherichia coli O157
Escherichia coli O157 adalah bakteri yang mempunyai peran cukup
penting dalam penyakit zoonosis yang disebarkan melalui makanan. Meskipun
secara normal E. coli terdapat pada saluran pencernaan baik manusia maupun
hewan, tetapi E. coli O157 adalah strain yang virulen berasal dari hewan sapi dan
domba (Arthur et al., 2010). Beberapa jenis bahan pangan dapat bertindak sebagai
perantara terjadinya infeksi E. coli O157, tetapi biasanya bahan pangan yang
berperan sebagai foodborne disease tersebut adalah bahan pangan yang berasal
dari hewan sapi. Bahan pangan tersebut antara lain daging sapi dan susu. E. coli
sejak muncul outbreak diare berdarah yang pertama kali disebabkan oleh
Escherichia coli O157 pada tahun 1982, maka sejak itulah hewan ruminansia
11
yang sehat terutama sapi diketahui dalam saluran pencernaannya merupakan
reservoir bagi E. coli O157 (Marler, 2005).
Escherichia coli O157:H7 adalah bentuk mutan dari E. coli yang biasanya
ditemukan di saluran pencernaan ternak sapi, domba, kambing, babi bahkan ayam.
E. coli O157:H7 dalam saluran pencernaan hewan tidak menyebabkan hewan
tersebut menderita sakit. Tetapi hewan yang dalam saluran pencernaannya
terdapat bakteri E. coli O157:H7 maka hewan tersebut adalah sebagai carrier,
yang dapat menyebarkan bakteri ini baik ke hewan lain maupun ke manusia.
Sebagai bakteri yang bersifat patogen, E. coli O157:H7 memiliki beberapa faktor
virulen yang membantu bakteri menyerang induk semangnya yaitu saluran
pencernaan manusia. Shiga-like toxin (SLT) atau shiga toxin yaitu Stx1 dan Stx2
adalah salah satu faktor virulen dari E. coli O157:H7 yang utama (Mainil dan
Daube, 2005).
Toksin yang dihasilkan oleh E. coli O157:H7 dalam lumen usus manusia
dapat masuk ke lapisan usus bagian lebih dalam, akibat adanya faktor virulen
yang lain yaitu intimin. Faktor virulen intimin dapat menyebabkan munculnya
attaching dan effacing lesions sehingga terjadi locus of enterocyte effacement
(LEE) (Arthur et al., 2010). Bakteri EHEC menghasilkan faktor protein EspA dan
EspB yang dapat membantu terjadinya penempelan pada epitel usus, dengan
dibantu adanya gene eae yang terdapat pada bakteri EHEC. Setelah bakteri EHEC
berhasil menempel pada epitel usus dan menimbulkan lesi maka bakteri dan
toksin yang telah dihasilkan dalam lumen usus dapat menembus ke bagian lapisan
yang lebih dalam dan menembus lapisan endothel sehingga masuk ke dalam aliran
12
darah. Faktor virulen hemolysin (hlyA) dikode oleh adanya faktor plasmid yang
terdapat di dalam bakteri EHEC. EHEC yang menempel pada sel epithel akhirnya
menyebabkan terjadinya attaching dan effacing lesion yang diikuti dengan
lepasnya mikrophili serta terjadinya bentuk perlekatan pedestal, kemudian Shiga
toksin yang telah dihasilkan akan masuk ke bagian yang lebih dalam dan
meninggalkan lumen sehingga menyebabkan efek sistemik (Haryadi, 1996).
Selain disebarkan oleh ternak sapi melalui daging dan susunya, bakteri E.
coli O157:H7 juga dapat ditularkan dari manusia yang telah terinfeksi ke manusia
yang lainnya. Penyebaran bakteri E. coli O157:H7 peroral pernah dilaporkan
terjadi infeksi secara waterborne pada kolam renang yang terkontaminasi. Pada
tahun 2001 di Ohio juga telah dilaporkan kejadian airborne infection yang berasal
dari dinding dan debu sebuah bangunan dimana manusia yang disekitar bangunan
tersebut terinfeksi oleh bakteri E. coli O157:H7 (Bettelheim, 2004).
2.4 Sapi Bali
Gambar 1. Sapi bali
13
Sapi bali (Bibos sondaicus) merupakan hasil domestikasi banteng liar
(Bibos Banteng) yang mempunyai kekhasan tertentu bila dibandingkan dengan
sapi lainnya. Sapi bali memiliki daya adaptasi tinggi pada daerah dataran tinggi,
berbukit dan dataran rendah (Kadarsih, 2004). Sapi bali merupakan salah satu
ternak yang banyak dimanfaatkan tenaga pekerja pertanian oleh petani di daerah
perkebunan kelapa sawit, sapi bali dimanfaatkan untuk mengangkut alat dan hasil
kebun kelapa sawit (Dwatmadji et al., 2004). Selain berfungsi sebagai sebagai
sarana keagamaan dan sebagai sarana hiburan (makepung) (Batan, 2006).
Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan sapi asli
Pulau Bali. Sapi bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena
mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak
kerja di sawah dan ladang, persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis
positif tinggi pada persilangan, daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan
persentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Yupardhi, 2009).
Bali merupakan daerah penyebaran utama sapi bali, sedangkan daerah
penyebaran lainnya di Indonesia adalah Sulawesi, Kalimantan, Lampung,
Bengkulu, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Selain di Indonesia
sapi bali juga dapat ditemukan di beberapa negara seperti di Timor Leste,
Malaysia dan Australia (Kadarsih, 2004).
Sapi diketahui sebagai reservoir utama dari Verocytotoxin-producing
Escherichia coli O157, sekaligus sebagai sumber penularan utama ke manusia.
Dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2005)
menggunakan uji aglutinasi VTEC-RPLA pada feses sapi dan daging sapi berhasil
14
mengidentifikasi terhadap ke-7 isolat E. coli O157:H7 (hasil isolasi dari 92
sampel feses sapi), dan 4 isolat asal daging sapi (hasil isolasi dari 89 sampel
daging sapi), menunjukkan bahwa sebanyak 3 dari 7 isolat asal feses sapi
(42,86%), dan 1 dari 4 isolat asal daging (25%) positif menghasilkan Shiga like
toxin 1 (VT1). Dan 4 dari ke-7 isolat asal feses sapi (57,14%) dan 1 dari 4 isolat
asal daging sapi (25%) positif menghasilkan Shiga like toxin 2 (VT2).
2.5 Kecamatan Mengwi
Kecamatan Mengwi memiliki luas wilayah sekitar 82 km2, dengan
ketinggian mencapai 350 meter di atas permukaan laut. Rata-rata curah hujan di
Kecamatan Mengwi sekitar 2.029,0 mm hingga akhir tahun 2013 dan suhu ratarata relatif tinggi yaitu diantara 26°C dan 37°C. Lahan pertanian sawah di
Kecamatan Mengwi merupakan penggunaan lahan terbesar, di sana masyarakat
lebih mengandalkan pekerjaan di sektor pertanian. Terlihat dari komposisi
penggunaan lahan di sana paling banyak (56,20%) digunakan untuk lahan
pertanian sawah (Badan Pusat Statistik Badung, 2013).
Kecamatan Mengwi secara administratif terdiri atas 15 desa dan 5
kelurahan, yaitu Desa Cemagi, Desa Munggu, Desa Pererenan, Desa
Tumbakbayuh, Desa Buduk, Desa Abianbase, Desa Sempidi, Desa Sading, Desa
Lukluk, Desa Kapal, Desa Kekeran, Desa Mengwitani, Desa Mengwi, Desa
Gulingan, Desa Penarungan, Desa Baha, Desa Werdi Bhuana, Desa Sobangan,
Desa Sembung, dan Desa Kuwum.
15
Kecamatan Mengwi merupakan daerah agraris yang sebagian besar
penduduknya bekerja di sektor pertanian, padi sawah menjadi komoditi utama
dalam pertanian di Kecamatan Mengwi. Selain sebagai petani, biasanya
masyarakat Kecamatan Mengwi juga memelihara sapi. Jumlah sapi di Kecamatan
Mengwi pada tahun 2013 mencapai 7.417 ekor sapi (Badan Pusat Statistik
Badung, 2013). Sistem pemeliharaan ternak sapi para petani di Kecamatan
Mengwi masih cukup tradisonal, yaitu rata-rata sapi tidak dikandangkan dengan
baik. Ada yang dikandangkan namun kebersihan atau sanitasi kandang yang
buruk, feses sapi banyak yang menumpuk di sekitar kandang dan baru dibersihkan
hingga beberapa hari.
Sumiarto (2002) membuktikan terjadinya keterkaitan antara infeksi VTEC
dengan kebersihan ternak yaitu ternak yang kotor berpeluang 2,38 kali lebih besar
untuk terinfeksi VTEC bila dibandingkan dengan ternak yang bersih. Di samping
itu Kudva et al. (1996) menunjukkan bahwa tingginya infeksi VTEC pada ternak
disebabkan oleh beberapa faktor termasuk pakan, tingkat stres, kepadatan ternak,
kondisi geografis, dan musim. Kondisi geografis Kecamatan Mengwi yang berada
di ketinggian 350 meter di atas permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata
sepanjang tahun 2013 mencapai sekitar 2.029,0 mm. Kecamatan Mengwi
mempunyai suhu yang relatif tinggi yaitu 26°C sampai 37°C. Dari data geografis
kecamatan Mengwi dapat disimpulkan bahwa letak geografis Kecamatan Mengwi
dapat menjadi faktor yang mendukung pertumbuhan bakteri E. coli. Escherichia
coli dapat tumbuh optimum pada suhu 37°C dan pH optimum pertumbuhannya
antara 7,0 sampai 7,5 (Holt et al., 1994).
Download