Newsletter - Ikatan Sosiologi Indonesia

advertisement
Halaman 1
Newsletter
IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI)
INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA)
Edisi No 2 Tahun 2012
TOKOH SOSIOLOGI INDONESIA
DARI REDAKSI
Iwan Gardono. S Ph.D (Sosiologi Transformatif)
REVIEW SOSIOLOGIS INDONESIA
Bertemu kembali dengan Newsletter Ikatan Sosiologi Indonesia,
kali ini redaksi akan mengupas mengenai sebuah komunitas sosiologi
yang berupaya mengkaji perkembangan aktual dari keadaan
masyarakat Indonesia secara periodik, komunitas ini bernama Review
Sosiologis tentang Indonesia (RSI). RSI akan menjadi salah satu acuan
yang berguna bagi kalangan sosiolog dan komunitas-komunitas ilmiah
dalam memotret keadaan masyarakat Indonesia pada periode yang
sedang berjalan maupun memahaminya sebagai sebuah
perkembangan sejarah.
Beragam peristiwa penting dan persoalan terjadi di tengah
kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir
Indonesia mencatat beberapa perkembangan yang menarik. Namun
di tengah pertumbuhan-pertumbuhan positif tersebut, masyarakat
juga menghadapi berbagai paradoks dari keadaan tersebut. Hal inilah
yang mendasari para sosiolog Indonesia untuk mengintrepetasi ulang
paradoks-paradoks sosial dalam kacamata Indonesia yang berubah.
Sebagai langkah konkrit dari keberadaan RSI, telah diadakan
PERTEMUAN Review yang pertama di kampus IPB dengan
pembahasan masalah aktual dan faktual di Indonesia, meliputi:
1. Sosiologi Transformatif (dipresentasikan oleh Dr. Iwan Gandono
Sujatmiko.
2. Sistem Sosial Indonesia (ipresentasikan oleh Profesor Paulus
Wirutomo)
3. Review Sosiologi Indonesia dari Perspektif Gender (dipresentasikan oleh Profesor Keppi Sukesi)
Akhir kata, saya dan seluruh pengurus Ikatan Sosiologi
Indonesia mengucapkan terima kasih kepada sosiolog sekalian, atas
peran serta dan partisipasinya dalam membangun Indonesia yang
lebih baik.
Iwan Gardono Sujatmiko, Ph.D adalah seorang
pakar di bidang Sosiologi Politik. Ia dilahirkan di Bandung, pada
21 Maret 1956. Latar belakang pendidikannya adalah S1 di
jurusan Sosiologi dan meraih gelar Ph.D (S3) diraih tahun 1992
di Harvard University, Cambridge, Amerika. Beberapa judul
penelitian dan publikasi yang telah dibuatnya adalah: “Stratifikasi
Sosialdan Mobilisasi Sosial di Indonesia”, “Studi Evaluasi
Program IDT di 27 Propinsi”, “Stratifikasi Sosial dan Mobilisasi
di Depok” .Karya ilmiah lain yang telah dihasilkannya antara
lain: “Demokrasi Pasca Pemilu” yang dimuat dalam Jurnal
Sosiologi Masyarakat No.11 Tahun 2002; “Refomasi Politik dan
Kedaulatan Rakyat”, dimuat dalam Jurnal Visi, volume II, No.1
April-juni 2002; “HiperCorruption dan Strategi Pemberantasan
Korupsi”, yang dimuat dalam jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.2
No.1, Januari 2002.
Dalam refleksi dan evaluasi masyarakat, Iwan Gardono S.
Ph.D melihat peran para aktor dan kebijakan untuk tahu sejauh
mana ideologi terlaksana dalam masyarakat.Realitas dalam
masyarakat Indonesia ini dapat dilihat dalam tiga lapisan. Lapis
terbawah adalah struktur dan mekanisme hubungan kekuasaan
dan mengalami proses kerja sama, kompetisi, dan konflik. Proses
ini terjadi pada dimensi spasial (pusat-daerah), vertikal
(antarlapisan masyarakat atau masyarakat dengan negara), dan
horizontal (suku, agama, ras, gender).
Pada lapisan kedua terdapat berbagai aktor yang dapat
membuat ideologi dan kebijakan guna mengelola dinamika kerja
sama, kompetisi untuk mencapai cita- cita bersama. Dalam
lapisan ini ini peran elite (penyelenggara negara dan kelompok
yang mempunyai kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya) sangat
menentukan peristiwa yang terjadi pada lapisan atas, yakni kerja
sama, kompetisi, dan konflik.Realitas sosial yang berlapis ini bisa
dijelaskan dengan perspektif realisme kritis (Roy Bhaskar, 1978).
Happy Reading !
Salam Sosiologi
Dr. Drajat Tri Kartono
Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia
Redaksi. Rifqi Khairul Anam
DAFTAR ISI:
Dari Redaksi
1
Tokoh Sosiologi Indonesia
Kegiatan ISI
1
Dr. Iwan Gardono. S
1
Profesor Paulus Wirutomo
2
Profesor Keppi Sukesi
3
4
Sosiologi transformatif memberikan penekanan pada sistem
dan proses sosial dalam mekanisme koreksi stratifikasi sosial
dalam masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan sosial yang
terlalu lebar. Namun, sebenarnya sosiologi mempu memberikan
tawaran solusi mengenai hubungan antar kelas yang lebih adil
dimana dapat membuka hubungan vertical dan horizontal dalam
masyarakat. Sosiologi dapat menjadi alat transformasi sosial di
mana terjadi perubahan pola kekuasaan dalam masyarakat.
Halaman 2
Newsletter
IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI)
INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA)
Edisi No 2 Tahun 2012
Prof. Paulus Wirutomo (Sistem Sosial Indonesia)
Jika kita Flashback, Reformasi 1998 telah menghasilkan pola
perubahan dalam masyarakat, misalnya pembatasan kekuasaan
presiden menjadi dua periode berturut-turut. Secara spasial juga terjadi
perubahan di mana kekuasaan daerah menjadi lebih besar meski masih
lebih menguntungkan para elite. Demikian pula secara horizontal,
berbagai golongan, seperti perempuan maupun minoritas lain, telah
mendapat kesempatan lebih besar. Jika dilihat secara vertikal, ada
perubahan dalam hubungan masyarakat dengan negara di mana
kekuasaan lembaga legislatif dan parpol lebih besar dalam pembuatan
kebijakan negara.
Namun, secara vertikal, Reformasi 1998 belum menghasilkan
perubahan signifikan, masih terjadi kesenjangan antara desa dan kota,
misalnya perbaikan warga desa melalui land reform yang baru
terlaksana kurang dari 1 juta hektar daripada sasaran 8 juta hektar.
Selain itu, secara vertikal, golongan mayoritas, yakni petani, buruh,
sektor informal, atau ”Indonesia bagian bawah” yang berjumlah sekitar
60 persen, belum terwakili secara nyata dalam kehidupan bernegara.
Sebenarnya pada awal kemerdekaan telah terjadi terobosan di mana
Presiden Soekarno dengan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1946
telah memberi jatah kepada ”golongan-golongan besar”, yakni petani
dan buruh masing-masing sebanyak 40 kursi atau total 16 persen
dalam KNIP/”parlemen” (lihat Deliar Noer dan Akbarsyah, 2005). Hal
ini melengkapi penambahan bagi wakil dari parpol, daerah, dan
golongan minoritas non-WNI, yakni Tionghoa, Arab, dan Belanda.
Upaya ini dituduh sebagai politisasi dalam ratifikasi perjanjian
Linggarjati. Namun, yang penting, terlihat bagaimana ada upaya
peningkatan representasi atau kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Selama ini konsep kebhinekaan sering lebih bersifat agama dan
kesukubangsaan (horizontal dan spasial), bukan vertikal atau
pelapisan/kelas masyarakat. Untuk mengatasi ini, parpol dan ormas
perlu lebih banyak meningkatkan representasi golongan besar ini
dalam organisasi dan kebijakan mereka.
Transformasi warga negara
Setelah satu dekade reformasi, sebenarnya warga negara merasa
bahwa setelah pemilu, mereka bukan lagi menjadi warga negara
dengan kekuasaan besar, tetapi turun menjadi warga kota, warga desa,
atau warga pabrik yang kurang diingat atau dilupakan. Harapan bahwa
organisasi parpol atau ormas yang aktif mewakili mereka tidak
terlaksana. Dalam keadaan ini, mereka menjadi sendiri lagi, tidak
berdaya menghadapi negara, perusahaan, atau organisasi masyarakat.
Namun, dalam era reformasi telah terjadi perkembangan baru di mana
warga negara dapat mengalami transformasi sehingga lebih dapat
berdaya guna.
Maka perlulah kiranya transformasi soial melalui pencantuman
kelompok-kelompok sosial dalam konstitusi menjadi lebih
representative dan sensitive pada keragaman kelompok tersebut. Hal
itu disertai dengan rekomendasi kebijakan untuk memperbaiki
kelompok tersebut. Namun hanya sedikit konstitusi yangs ecara tegas
dan sistematika mengajukan kebijakan transformasi tersebut melalui
affirmative action dan redistributive policy
Prof. Paulus Wirutomo adalah pakar
di bidang Sosiologi Pendidikan. Dilahirkan di Solo, 29 Mei 1949.
Beliau menyelesaikan pendidikan S1 Sosiologi di FISIP UI pada
tahun 1976. Mendapatkan gelar Master dalam bidang Social
Planning di University College of Swansea Wales, Inggris tahun
1978. Gelar Doktor Sosiologi Pendidikan didapatkan pada tahun
1986 di State University of New York at Albany, USA. Hasilhasil karya ilmiah yang telah di pubilkasin adalah Paulus
Wirutomo (2005), “Pengembangan Nilai Strategis”, Lokakarya
Sekjen Depdagri, Paulus Wirutomo (2005), “Pendidikan Anak
Remaja” Seminar Labschool, Paulus Wirutomo (2004),
“Kebijakan Perlindungan Sosial Korban Kekerasan” Seminar
Depsos, Paulus Wirutomo (2004), “konstruksi Jaringan Pranata
Sosial untuk Penguatan Ketahanan Sosial” Seminar di Wantanas,
Paulus Wirutomo (2004),
Prof. Paulus Wirutomo mengajukan pertanyaan mendasar
dalam kaitannya dengan Sistem Sosial Indonesia (SSI)
yaitu”benarkah kita merupakan suatu bangsa?”. Menjawab
pertanyaan tersebut disusun buku SSI untuk memberikan
gambaran secara komprehensif, historis, sistemik dan analitik
tentang masyarakat Indonesia.
Sistem sosial Indonesia menekankan pada masalah bagaiman
unsure-unsur yang ada di dalam masyarakat tersebut terintegrasi,
integrasi dibagi menjadi dua yaitu Integrasi Sosial yang menunjuk
pada proses dimana unsure-unsur dalam suatu masyarakat
(kelompok sosial, satuan daerah, institusi sosial) saling
berhubungan secara intensif dan harmonis. Integrasi Nasional
lebih mengacu pada proses menyatunya unsure-unsur tadi secara
formal dan legal kedalam suatu Nation-State.
Secara sosiologis, sekurang-kurangnya ada tiga sifat dari
integrasi (sosial maupun integrasi nasional), yaitu: integrasi
normative, integrasi fungsional dan integrasi koersif (paksaan).
Integrasi normative merupakan hasil dari harapan normative
(normative expectation) yang mengkondisikan para anggota
masyarakat sepakat pada nilai-nilai dasar dan cita-cita yang sama.
Integrasi normative memiliki unsur kesamaaan dengan solidaritas
mekanis yang diungkapkan oleh Durkheim yaitu adanya
kesadaran kolektif bersama (collective conscience). Tetapi tidak
sekuat itu.
Selanjutnya ada Integrasi Fungsional, yaitu integrasi yang
didasarkan pada kerangka perspektif fungsional, tetapi
penekanannya pada ketergantungan fungsional pada masyarakat
yang memiliki differensiasi sosial atau tingkat spesialisasi yang
semakin tinggi. Konsep ini terkait dengan solidaritas organic dari
Durkheim. Integrasi fungsional tidak berjalan dengan baik bila
salah satu unsure lainnya tidak memiliki fungsi yang berarti.
Halaman 3
Newsletter
IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI)
INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA)
Sedangkan yang terakhir adalah Integrasi Koersif yang muncul
bukan sebagi hasil dari kesepakatan normative maupun ketergantungan
fungsional atas unsurnya, tetapi merupakan hasil dari kekuatan yang
sanggup mengikat individu-individu atau unsur0unsur masyarakat
secara paksa.
Kondisi integrasi normatif di Indonesia saat ini masih controversial
dikarenakan consensus terhadap norma dasar (UUD 45) masih belum
mantap meskipun dalam beberapa kasus identitas kebangsaan kita
sudah mulai terbentuk tetapi sayangnya tanpa kebanggaan, hal-hal
tersebut harus menjadi kajian bersama agar solidaritas dan toleransi
diantara masyarakat Indonesia tidak terus merosot. Di lain pihak
Kondisi Integrasi Fungsional juga mengalami kemerosotan, hal ini
ditandai dengan daerah tidak mampu mengembangkan potensi
alamnya untuk pembangunan lokal, kesenjangan ekonomi antar
kelompok dan daerah amat mencolok, Kelompok tertentu (7% dari
semua jumlah penduduk) menguasai hampir semua semua fungsi
perekonomian. Sebelum otonomi semua sumber kekuasaan dan
sumber ekonomi dikuasai Jawa (khususnya Jakarta). 60-70% dari
seluruh uang yang beredar di negeri ini ada di Jakarta, militer diberi
“dwi fungsi” sehingga semua kedudukan strategis dimonopoli militer.
Kondisi integatif koersif di Indonesia dapat dilihat ketika awal
rezim orde baru didukung oleh consensus nasional untuk menjaga
stabilitas nasional dengan menggunakan pendekatan security approach
yang menjadi akar dari tindakan-tindakan koersif rezim ini selama
berkuasa. Pemerintahan Orde Baru bahkan bukan hanya menggunakan
military violence tetapi juga ideological violence (hegemoni) melalui
berbagai penataran dan indoktrinasi di birokrasi, masyarakat luas
sampai pendidikan di sekolah.
Dengan berbagai kondisi integrasi yang ada membuat ikatan
primordial antara kelompok-kelompok keagamaan dan etnisitas
sebetulnya bisa dipersatukan oleh rasa nasionalisme terhadap bangsanegara asalkan kondisi ekonomi tidak mengecewakan. Sedangkan,
istilah nasionalisme sendiri adalah ekspresi perasaan sebangsa. Dengan
demikian, dapat dikatakan nasionalisme dan integrasi di Indonesia
sesungguhya adalah integrasi sosial, dimana masyarakat dari suatu
daerah memperjuangkan dan memiliki sense of belonging tatkala
keberadaan etnis dan kelompoknya berperan dan diterima secara luas
di Indonesia bahkan menjadi kebudayaan nasional –bukan intergrasi
nasional, dimana kesatuan dan persatuan bangsa akibat sense of
belonging yang telah terpatri dan kesadaran akan tergabung dalam
suatu bangsa sehingga timbul supreme loyalty yang membuat orang
siap mati untuk membelanya.
Saat ini, modal yang dimiliki untuk membangun integrasi adalah
nilai tradisional bangsa ini, misalnya di budaya Jawa dimana rasa
kelompok lebih diutamakan dibanding kepentingan pribadi dan
masuknya moderenisme telah mengikis nilai-nilai tersebut. Disamping
itu, ada salah satu mental orang Indonesia cukup berpengaruh terhadap
struktur sosial, yaitu orang Indonesia tidak menuntut egaliterisme.
Padahal keadilan sosial juga merupakan salah satu faktor pembentuk
integrasi bangsa. Sebut saja Singapura, negara yang memiliki kondisi
lebih rawan karena semua komponen etnis dan rasial warganya
(Melayu, Cina, India) berasal dari berbagai negara di sekitarnya, tetapi
berkat pengelolaan intergrasi sosial-budaya-ekonomi dan politik yang
baik dan mensejahterakan, negara ini dapat dikatakan nationalizing
state yang berhasil.
Edisi No 2 Tahun 2012
Prof. Dr. Ir. Hj. Keppi Sukesi, MS (RSI Perspektif
Gender)
Prof. Dr. Ir. Hj. Keppi Sukesi,
MS.adlah dosen Jurusan Fakultas Pertanian dan Dosen Program
Magister Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas
Brawijaya. Prof Keppi melihat melihat banyak bias gender dalam
masyarakat sehingga hal ini menjadi substansi kajian dalam
sosiologi yang beliau geluti.
Isu gender sebenarnya merupakan isu yang relatif baru bagi
masyarakat sehingga seringkali menimbulkan berbagai penafsiran
dan tanggapan yang sering kurang tepat tentang gender.
Pemahaman mengenai gender menjadi sesuatu yang sangat
penting artinya bagi semua kalangan, baik dalam pemerintahan,
swasta, masyarakat maupun keluarga. Melalui pemahaman yang
benar mengenai gender diharapkan secara bertahap diskriminasi
perlakuan terhadap perempuan dapat diperkecil sehingga
perempuan dapat memanfaatkan kesempatan dan peluang yang
diberikan untuk berperan lebih besar dalam berbagai aspek
kehidupan. Seringkali gender disamaartikan dengan seks, yaitu
jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sex sendiri berarti
pembedaan jenis kelamin berdasarkan faktor – faktor biologis
hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki – laki dan
perempuan dimana ini berlaku secara universal dan tidak bisa
dipertukarkan. Kodrat diartikan sebagai sifat bawaan biologis
sebagai anugrah tugas yang mahaesa menyang yang tidak dapat
berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat
pada pria dan wanita.
Pada masyarakat pedesaan yang masih buta gender meningkatkan
diskriminasi gender yang ada. Pada masyarakat konsep gender
tergantung budaya masyarakat tersebut tinggal sehingga gender
bisa berubah – ubah berdasarkan pemahaman yang dalam
masyarakat sehingga membentuk suatu konsep yang mutlak
mengenai gender. Jadi konsep gender meliputi sifat dan perilaku
yang melekat pada laki – laki dan perempuan yang
dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender
tersebut tergantung budaya dimana manusia tinggal sehingga
mempengaruhi perilaku yang dilakukan oleh masyarakatnya
dalam setiap sendi kehidupannya dan membuat perbedaan dalam
pembagian kerja yaitu adanya pembagian kerja secara seksual.
Halaman 4
Newsletter
IKATAN SOSIOLOGI INDONESIA (ISI)
INDONESIA SOCIOLOGICAL ASSOCIATION (INASA)
Pemahaman konsep gender yang dimiliki oleh kaum perempuan di
masyarakat desa bahwa manusia laki – laki adalah manusia yang tidak
punya kesalahan dimata wanita, wanita menafsirkan bahwa laki – laki
ditakdirkan menjadi pemimpin di muka bumi dan wanita hanya
menjadi orang yang menemani laki – laki. Dari apa yang terjadi di
dusun tersebut menyebabkan paham patriarki yang terus meningkat di
masyarakat.
Pokok permasalahan dalam gender adalah masyarakat yang salah
menginterpretasikan gender dalam konteks agama dimana memang
secara kodrati ada pembedaan tetapi yang menjadi permasalahan
kontruksi sosial di masyarakat. Karena masyarakat dusun badut
terkontrusi bahwa laki – laki adalah makhluk yang superior dan wanita
adalah makhluk yang lemah. Pemahaman gender yang keliru tersebut
juga menyebabkan perempuan di daerah tersebut menerima apa saja
yang terjadi pada kaum perempuan. Wanita hanya mampu bekerja di
sektor domestik dikarenakan paham fatalistik, perempuan menganggap
cukuplah menjadi ibu rumah tangga dan bukan persoalan rigid
mengenai pendidikan karena pada akhirnya menuju dapur juga.
Pandangan ini berpengaruh penting ketika kita membicarakan
mengapa bias gender tradisional suka berubah. Ini merupakan ciri
pokok masyarakat terorganisir sepanjang garis patriarkal di mana ada
ketidaksetaraan (unequal) hubungan gender antara laki-laki dan
perempuan. Menolak ketidakadilan gender (gender inequalities)
merupakan sesuatu yang sangat mengancam karena berarti menolak
seluruh struktur sosial; dan kini kita akan menelaah sebagian aspek dan
dan sistem ini serta melihat bagaimana strukturnya, yang memberi
hak-hak istimewa kepada laki-laki dengan mengorbankan perempuan :
menjunjung tinggi perbedaan gender (gender differnces)
Sebenarnya tidak ada lingkungan budaya yang membatasi definisi
sosial gender atas adanya perbedaan biologis antar jenis kelamin.
Namun karena dalam setiap budaya ada fungsi-fungsi universal yang
harus dilaksanakan seperti mengasuh anak, mencari nafkah,
mengambil keputusan, mengisi peran sebagai pemimpin, maka ada
peran-peran sosial yang kemudian dikaitkan pada gender tertentu.
Meskipun hal ini tidak berarti bahwa ada fungsi tertentu yang harus
dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, tetapi kalau suatu peran
sudah dikaitkan dengan salah satu gender maka peran tersebut diberi
makna simbolis tertentu. Kemauan politik pemerintah untuk
mewujudkan kemitrasejajaran yang pada dasarnya merupakan sarana
untuk kesetaraan hubungan gender masih perlu didukung oleh
program-program dan tindakan nyata.
Karena itu agar ketidakadilan sosial yang ada dalam masyarakat dapat
berkurang maka diperlukan kesadaran kepada pembuat kebijakan agar
dapat membuat kebijakan yang memberi kesetaraan terhadap
perempuan dalam pembangunan atau women in development.
Edisi No 2Tahun 2012
KEGIATAN ISI
Pada hari Jum’at 19 Oktober 2012 dengan bertempat di
Aula BAU Universitas Muhammadiyah Malang, Ikatan Sosiologi
Indonesia bekerja sama dengan jurusan sosiologi UMM akan
mengadakan Konferensi Nasional Ikatan Sosiologi Indonesia.
Bertemakan “rethinking sosiology”: mengkaji kembali
konstribusi sosiologi dalam kontek indonesia yang berubah”.
Kegiatan ini bertujuan :
1. Menghimpun pemikiran, pengalaman dan inovasi
sosial dalam Sosiologi dan kontribusi dalam
Pembangunan Nasional
2. Tahapan awal dalam perumusan Sosiologi Indonesia
3. Menyediakan forum Nasional untuk silaturahmi dan
bertukar pikiran pada Sosiologi dan praktisi Sosiologi
seluruh Indonesia
4. Sarana konsolidasi organisasi ISI Nasional
Acara ini diikuti oleh berbagai Peserta yang berasal dari
sekitar 21 Instansi Perguruan Tinggi dan Perguruan tinggi yaitu
LIPI. Peserta dari jawa dan Luar jawa yaitu dari Gorontalo,
Menado, Lampung, Makasar, Ambon, Flores NTT. Sebagai
pembicara kunci Prof. Dr. Haryono Suyono selaku Ketua Dewan
Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial
Konferensi ini merupakan sebuah forum ilmiah bagi para
sosiolog maupun intelektual dari berbagai disiplin lain dalam
rumpun ilmu-ilmu sosial serta para praktisi yang mempunyai
perhatian terhadap isu-isu sosiologis. Forum ini akan menjadi
sebuah awal dari langkah-langkah para akademisi dan praktisi
sosiologis di dalam mengembangkan disiplin sosiologi yang
dapat mengatasi dilema-dilema serta pertanyaan-pertanyaan kritis
dari perkembangan sosiologi di Indonesia sebagaimana diuraikan
di atas.
Melalui diskusi-diskusi tentang beragam subyek
permasalahan, kita berbagi dan mendiseminasikan pemikiran dan
temuan-temuan empirik sosiologis yang telah begitu kaya digali
melalui berbagai studi.
Diskusi sosiologis meliputi beragam subyek permasalahan,
bebarapa Sub tema yang akan diangkat sebagai bahan diskusi
antara lain:
1.
Korupsi dan Moralitas Pemerintahan;
2.
Konflik dan Kekerasan antar golongan;
3.
Insentif demografi, Gerontologi dan kesejahteraan
keluarga;
4.
Kemiskinan,dan Ketimpangan;
5.
Ekonomi Informal dan Krisis Ekonomi;
6.
Konstitusi dan transformasi Sosial;
7.
Dinamika Komunitas Keagamaan;
8.
Bencana dan Krisis Lingkungan Hidup;
9.
Pendidikan dan karakter Bangsa;
10.
Teori dan Metode Sosiologi;
11.
Multi kulturalisme dan Kebudayaan Indonesia;
12.
Globalisasi, Media dan kajian Poskolonialisme;
13.
Gender dan Perubahan Sosial;
14.
Gerakan Sosial;
Download