Perbandingan Angka Kejadian Flebitis pada Pemasangan Kateter

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Flebitis
2.1.1
Pengertian
Flebitis merupakan inflamasi pada pembuluh darah
vena yang ditandai dengan adanya daerah yang nyeri,
bengkak, streak formation dan atau terabanya Venous cord
(Gorski, 2007: 265). Insiden flebitis meningkat sesuai
dengan lamanya pemasangan jalur intravena, komplikasi
cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan
tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan,
pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner & Suddarth,
2002: 289).
Flebitis merupakan inflamasi pada tunika intima
pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai
komplikasi pemberian terapi infus. Peradangan didapatkan
dari mekanisme iritasi yang terjadi pada endhothelium tunika
intima vena, dan perlekatan tombosit pada area tersebut
(INS, 2006; Ariyanto, 2011).
10
11
2.1.2
Klasifikasi Flebitis
Flebitis
diklasifikasikan
berdasarkan
faktor
penyebabnya yaitu flebitis kimiawi, flebitis mekanik, flebitis
bakteri dan flebitis post infus (INS, 2006; Ariyanto, 2011);
2.1.2.1 Chemical Phlebitis (Flebitis Kimiawi)
Kejadian flebitis ini dihubungkan dengan bentuk
respon yang terjadi pada tunika intima vena, flebitis ini
disebabkan oleh bahan atau zat kimia yang mengakibatkan
reaksi peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat
dari jenis cairan yang diberikan atau bahan material kateter
yang digunakan.
pH darah normal adalah antara 7,35 – 7,45 dan
cenderung basa (Horne & Swearingen, 2001). pH cairan
yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 (netral).
Namun, pada kondisi tertentu diperlukan larutan dengan
konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya
karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf.
Larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid
yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat
flebitogenik (INS, 2006; Ariyanto, 2011).
Menurut Hartono (2006), osmolalitas merupakan
konsentrasi partikel per total volume perlarut, dengan kata
lain osmolalitas merupakan konsentrasi sebuah larutan atau
12
jumlah partikel yang larut dalam suatu larutan. Osmolalitas
diukur dengan satuan miliosmol per kg air (mOsm/kg H2O).
Konsentrasi plasma darah orang yang sehat adalah 285 ±
10 mOsm/kg H2O. Larutan sering dikategorikan sebagai
larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan
osmolalitas
total
larutan
tersebut
dibanding
dengan
osmolalitas plasma.
Menurut La Rocca (1998), Larutan isotonik adalah
larutan yang memiliki osmolaritas total sebesar 280-310
mOsm/L, misalnya; cairan Ringer Laktat (RL), NaCl 0,9%
dan Dekstrosa 5% (D5), kombinasi Dekstrosa 5% dan NaCl
0,2%, kombinasi Dekstrosa 5% dan NaCl 0,3%. Larutan
yang memliki osmolaritas kurang dari itu disebut hipotonik,
misalnya: NaCl 0,33%, NaCl 0,45% dan Dekstrosa 2,5%.
Sedangkan
yang
melebihi
disebut
larutan
hipertonik,
misalnya; Dekstrosa 10%, NaCl 3%, NaCl 5%, Dekstrosa
10%, Dekstrosa 20%, Dekstrosa 50%, Dekstrosa 70%,
kombinasi Dekstrosa 5% dan Ringer Laktat, kombinasi
Dekstrosa 5% dan NaCl 0,45%, kombinasi Dekstrosa 5%
dan NaCl 0,9%, kombinasi Dekstrosa 10% dan NaCl 0,9%.
Selain berpengaruh pada status fisik, tonisitas juga
berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah.
Dinding tunika intima vena akan mengalami trauma pada
13
pemberian
larutan
hiperosmoler
yang
mempunyai
osmolaritas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih lagi dengan
pemberian tetesan cairan yang cepat pada pembuluh vena
yang kecil. Cairan isotonik akan menjadi lebih hiperosmoler
apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi
(INS, 2006; Ariyanto, 2011). Semakin tinggi osmolaritas
cairan (makin hipertonis), maka akan semakin mudah terjadi
iritasi, trauma atau kerusakan pada dinding vena. Dan hal ini
akan menyebabkan komplikasi lokal dan atau komplikasi
sistemik, seperti: flebitis, trombophebitis, dan tromboemboli.
Untuk pemberian terapi intravena jangka panjang, larutan
hipertonis harus melalui vena sentral karena aliran darahnya
cepat
sehingga
resiko
terjadinya
kerusakan
dinding
pembuluh vena lebih kecil.
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap
salah
satu
pemberian
mengurangi
penyebab
cairan
iritasi
utama
dengan
pada
kejadian
kecepatan
dinding
flebitis.
Pada
rendah
dapat
pembuluh
darah.
Penggunaan material kateter juga berperan pada kejadian
flebitis, bahan kateter yang terbuat dari polivinil klorida atau
polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi flebitis lebih
besar dibanding bahan yang terbuat dari silikon atau
poliuretan (INS, 2006; Ariyanto, 2011).
14
Selain cairan infus dan material dari kateter intravena,
jenis obat yang diberikan secara intravena juga berpengaruh
dalam kejadian flebitis. Obat yang dapat menyebabkan
peradangan vena yang berat antara lain: Kalium Klorida,
Vancomysin, Amphotrecin B, Sefalosporins, Diazepam,
Midazolam dan obat untuk kemoterapi (Mulyani, 2011).
Pada pemberian obat secara intravena yang semula
berbentuk
serbuk
dan
kemudian
diencerkan
dengan
aquades (4 ml atau 6 ml), perlu diperhatikan kepekatan dan
kesempurnaan campuran. Obat yang terlalu pekat dapat
menghambat aliran infus dan partikel yang tidak larut
sempurna juga akan berkontribusi dalam kejadian flebitis.
2.1.2.2 Mechanical Phlebitis (Flebitis Mekanik)
Flebitis
mekanik
sering
dihubungkan
dengan
pemasangan atau penempatan kateter intravena. Hal ini
disebabkan oleh karena perbedaan ukuran dan elastisitas
vena. Ukuran dari kateter intravena juga mempengaruhi
kejadian flebitis,
pemasangan kateter intravena yang
berukuran besar (bernomor kecil) pada vena yang kecil akan
menyebabkan trauma pada tunika intima vena dan dapat
menyebabkan flebitis. Fiksasi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan
kateter
intravena
bergeser
dan
15
mengakibatkan trauma pada dinding tunika intima vena, hal
ini dapat menyebabkan flebitis (O’Grady et al, 2002).
Penempatan kateter pada area fleksi lebih sering
menimbulkan kejadian flebitis, oleh karena pada saat
ekstremitas digerakkan kateter yang terpasang dapat
bergeser dan menyebabkan trauma pada tunika intima.
Selain faktor di atas, lama pemasangan kateter intravena
juga merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan
flebitis. Semakin lama pemasangan kateter intravena resiko
insidensi kejadian flebitis akan semakin meningkat. O’Grady
et al, 2002 dan Royal College of Nursing menganjurkan
penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi
potensi infeksi.
2.1.2.3. Bacterial Phlebitis (Flebitis Bakterial)
Flebitis bakterial adalah peradangan vena yang
berhubungan
dengan
adanya
kolonisasi
bakteri.
Berdasarkan artikel Pheripheral Intravenous Therapy: key
risk and Implications for Practice (Ingram P & Lavery I,
2005), kuman yang sering dijumpai pada pemasangan
kateter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negatif.
16
Tabel 2.1. Kuman Pathogen yang Sering Ditemukan di
Aliran Darah
Prosentase Infeksi yang
Terjadi
Organisme
Coagulase-negative staphylococci
30-40
Stapylococcus aureus
Enterococcus species
Pseudomonas aeruginosa
Candida
Enterobacter species
Acinetobacter
Serratia
5-10
4-6
3-6
2-5
1-4
1-2
<1
Sumber: Ingram P & Lavery I, 2005.
Terjadinya flebitis bakterial dapat menjadi masalah
yang lebih serius, karena flebitis bakterial dapat menjadi
faktor predisposisi dari komplikasi sistemik yaitu septisemia.
Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian flebitis bakteri
antara lain :
a.
Tehnik cuci tangan yang tidak baik.
b.
Tehnik
aseptik
yang
kurang
pada
saat
penusukan.
c.
Tehnik pemasangan kateter yang buruk.
d.
Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2006;
Ariyanto, 2011)
e.
Kurang atau tidak dilakukan perawatan infus.
f.
Faktor pasien, seperti: usia, jenis kelamin,
kondisi dasar dari sakit yang dialami. (Mulyani,
2011)
17
2.1.2.4 Post Infus Phlebitis (Flebitis Post Infus)
Flebitis post infus adalah peradangan pada vena yang
terjadi 48-96 jam setelah pelepasan infus. Faktor-faktor yang
berperan dengan kejadian flebitis post infus, antara lain:
a.
Teknik pemasangan kateter intravena yang tidak baik.
b.
Pada pasien dengan retardasi mental.
c.
Kondisi vena yang tidak baik.
d.
Pemberian cairan yang hipertonik atau terlalu asam.
e.
Ukuran kateter intravena yang terlalu besar pada vena
yang kecil. (INS, 2006; Ariyanto, 2011).
2.1.3
Skala Flebitis
Dalam menentukan kejadian flebitis, dapat dilihat pada
tabel skala flebitis di bawah ini.
Tabel 2.2. skala flebitis
Manifestasi klinis
Tempat
pemasangan
tampak sehat
Skala
infus
Salah satu gejala yang muncul:
• Sedikit nyeri dekat tusukan
IV, atau
• Kemerahan
pada
area
tusukan IV
Dua dari gejala yang mungkin
muncul:
• Nyeri pada area tusukan IV
• Eritema
• Bengkak
Semua tanda muncul dan
meluas:
• Nyeri sepanjang kateter IV
• Eritema
• Indurasi (pengerasan)
0
1
Manejemen
Tidak ada tanda dari
flebitis.
Observasi kanula
Kemungkinan
gejala
pertama dari flebitis.
Observasi kanula
Tahap awal flebitis.
Pindah kanulasi
2
3
Flebitis tahap menengah.
Pindahkan kanulasi
Pertimbangkan
pengobatan
18
Semua tanda muncul dan
meluas:
• Nyeri sepanjang kateter IV
• Eritema
• Indurasi (pengerasan)
• Venous cord teraba
Semua tanda muncul dan
meluas:
• Nyeri sepanjang kateter IV
• Eritema
• Indurasi (pengerasan)
• Venous cord teraba
• Pyreksia (demam)
4
5
Flebitis tahap akhir dan
awal dari tromboflebitis.
Pindahkan kanulasi
Pertimbangkan
pengobatan
Tromboflebitis
tahap
akhir.
Lakukan pengobatan dan
ganti tempat tusukan IV
Sumber: Royal College of Nursing, 2010
2.1.4
Kelompok yang Rentan Terkena Flebitis
Menurut Ingram P dan Lavery I (2005), kelompok yang
beresiko dan rentan mengalami flebitis sebagai berikut:
a.
Orang yang sudah tua.
b.
Neonatus dan anak yang masih sangat muda.
c.
Pasien yang bingung atau pasien dengan demensia.
d.
Pasien dengan gangguan komunikasi, contoh: stroke,
tidak sadar atau pingsan.
e.
Pasien dengan diabetes, kanker, penyakit pembuluh
darah perifer, fenomena Raynaud (menyebabkan
spasme arteri, membahayakan sirkulasi perifer dan
mengurangi aliran darah pada pembuluh vena),
Sindrom Vena Cava Superior (pengurangan tekanan
pada
vena
yang
mungkin
akan
menyebabkan
kebocoran pada tusukan intravena) dan pasien
19
dengan abnormalitas darah atau masalah pada
sirkulasi.
f.
Pasien yang mendapat pengulangan pemasangan
infus dan atau injeksi
(mungkin karena trombosis
pembuluh darah dan keterbatasan jumlah vena yang
dapat diakses). Ini dapat juga terjadi pada pasien
dengan penyalahgunaan zat kimia.
2.2
Letak Pemasangan Infus
2.2.1 Pemasangan infus
Pemasangan infus merupakan langkah awal untuk
memulai
terapi
intravena.
Berikut
adalah
prosedur
pemasangan infus beserta rasionalnya, yang diambil dari
buku Fundamental Keperawatan edisi ke 4 (selengkapnya
ada dilampiran 1, tabel 2.3).
2.2.2
Tangan Dominan dan Tangan Nondominan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh NassajiZavareh M dan Ghobarani R (2007), pemasangan kateter
intravena di ekstremitas atas beresiko lebih kecil daripada di
ekstremitas bawah. Pada ekstremitas atas dapat dipilih
tangan kanan atau tangan kiri untuk digunakan sebagai
tempat insersi kateter intravena. Kata “dominan” menurut
KBBI (2008), dapat diartikan sebagai sesuatu yang sangat
20
menentukan karena kekuasaan dan pengaruh. Sedangkan
kata nondominan adalah lawan dari kata dominan. Sehingga
dapat diartikan bahwa tangan dominan adalah tangan yang
lebih berpengaruh dan sering digunakan untuk melakukan
aktivitas, karena lebih nyaman dan kuat. Tangan dominan
lebih kuat oleh karena pola pembiasaan yang dilakukan.
Sedangkan tangan nondominan dapat diartikan sebagai
tangan yang jarang digunakan karena faktor kurang
nyaman.
Dalam Potter & Perry (2006), untuk letak pemasangan
infus
dirokemendasikan
dilakukan
pada
tangan
nondominan. Hal ini berkaitan dengan pembatasan aktivitas
jika dilakukan pada tangan dominan. Tangan dominan
menjadi pilihan kedua setelah tangan nondominan, karena
pemasangan infus pada tangan dominan lebih beresiko
mengurangi keadekuatan dari balutan. Hal ini disebabkan
oleh
gerakan
yang
mungkin
terjadi.
Berkurangnya
keadekuatan dari balutan dapat menyebabkan kateter
intravena bergeser dan mengakibatkan injuri atau trauma
pada tunika intima. Injuri atau trauma pada tunika intima ini
dapat berkembang menjadi flebitis oleh pengaruh dari faktor
kimia, faktor mekanik dan faktor bakterial (INS, 2006;
Ariyanto, 2011).
21
2.2.3
Sistem Pembuluh Darah
Pembuluh darah dibagi menjadi 3 kategori besar,
yaitu; arteri, vena dan kapiler. Pembuluh darah arteri
merupakan pembuluh darah yang menyalurkan darah dari
jantung ke seluruh tubuh (sistemik). Pembuluh darah vena
merupakan pembuluh darah yang menyalurkan darah dari
sistemik kembali ke jantung. Pembuluh kapiler merupakan
pembuluh
darah
yang
kecil,
yang
menjadi
tempat
perpindahan zat antara pembuluh darah dengan sel atau
jaringan.
Menurut Bloom & Fawcett (2002), pembuluh darah
vena dan arteri terdiri dari tiga lapisan, yaitu; tunika
adventisia, tunika media dan tunika intima. Tunika adventisia
merupakan lapisan terluar dari pembuluh darah, yang
berupa jaringan ikat. Tunika media merupakan lapisan yang
berada di antara tunika adventisia dan tunika intima, tunika
media tersusun oleh otot polos dan jaringan serabut lain
yang melingkari pembuluh darah dengan serabut saraf
untuk
vasodilatasi
dan
vasokonstriksi.
Tunika
intima
merupakan lapisan terdalam dari pembuluh darah dan
tersusun oleh sel-sel endhotelial tunggal. Dalam tunika
intima terbentuk pori-pori karena adanya celah antar sel
endhotelial. Pembuluh kapiler hanya terdiri tunika intima,
22
dan
oleh
karena
pori-pori
tersebut
mengakibatkan
perpindahan zat antara pembuluh darah kapiler dengan sel
atau jaringan menjadi mudah. Ketebalan dari ke tiga lapisan
pembuluh darah ini tergantung dari lokasi pembuluh darah
berada.
Secara fundamental kenapa pembuluh darah vena
menjadi pintu masuk untuk memberikan terapi berupa obat,
nutrisi, cairan dan elektrolit adalah karena pembuluh darah
vena mengalir menuju ke jantung, sehingga jantung dapat
memompakannya ke sistemik. Pembuluh darah vena
mempunyai tunika media yang lebih tipis daripada pembuluh
darah arteri, sehingga kurang kuat dan mudah kolaps.
Dalam pembuluh darah vena terdapat katub-katub yang
tersusun dengan jarak tertentu untuk mencegah aliran balik
darah ke bagian sebelumya karena adanya gaya gravitasi.
Gambar 2.1 Mikroskopik Anatomi Vena
Sumber: http://www.vascular-web.com.asp/samples/sample104.asp.
23
Pembuluh darah vena pada ekstremitas atas yang
dapat digunakan untuk memulai terapi intravena adalah
vena pada Metakarpal, vena Sefalika dan vena Basilika
(Royal College of Nursing, 2010).
Gambar 2.2 Anatomi Vena pada Ekstremitas Atas
Sumber: Royal College of Nursing, 2010
Sumber: http://nursing411.org/Courses/MD0553_Intravenous_Infusions/203_Intravenous_Infusions.html
24
Pemilihan Letak pemasangan dan pergantian infus
pembuluh darah menurut Royal College of Nursing (2010):
a.
Pemilihan
lokasi
untuk
akses
pembuluh
darah
sebaiknya mengkaji kondisi pasien, usia dan diagnosa,
kondisi
pembuluh
darah,
peralatan
infus
yang
digunakan sebelumnya dan tipe serta durasi dari
terapi, begitu pula dengan potensi komplikasi yang
diakibatkan oleh peralatan yang digunakan.
b.
Vena yang sebaiknya digunakan adalah vena yang
berada dorsal dan pada ekstremitas atas (lengan
tangan) termasuk Metakarpal, Sefalika dan Basilika.
c.
Vena di ekstremitas bawah sebaiknya tidak digunakan
(pada dewasa)
karena beresiko terjadi emboli dan
tromboflebitis.
d.
Pemilihan lokasi sebaiknya mengkaji kerusakan pada
vena sebelum dan sesudah pemasangan.
e.
Pemilihan lokasi sebaiknya dimulai dari area distal
pada ekstremitas atas, kemudian kanulasi berikutnya
pada area proksimal dari kanulasi sebelumnya.
f.
Pemilihan lokasi alternatif karena terjadi infiltrasi atau
ekstravasasi oleh cairan infus pada ekstremitas
sebaiknya mengkaji tipe cairan infus, pH cairan,
25
osmolaritas, perkiraan cairan yang diinfuskan
dan
kondisi vena.
g.
Ketika dilakukan penekanan untuk menghasilkan
distensi
vena
harus
berhati-hati
karena
dapat
membahayakan aliran darah arteri.
h.
Manset pada alat pengukur tekanan darah dan
tourniket sebaiknya tidak dipasang pada ekstremitas
tempat pemasangan infus.
i.
Pemilihan lokasi kanulasi sebaiknya menghindari area
fleksi, meskipun ini tidak selalu dapat dilakukan dalam
kondisi kegawat-daruratan, misalnya ketika resusitasi
dan vena pada antekubital direkomendasikan.
26
2.3
Kerangka Konsep
Kerangka
teori
menggambarkan
bahwa
secara
kepustakaan kejadian flebitis disebabkan oleh faktor kimia,
faktor mekanik, faktor bakterial dan faktor lain. Kerangka
konsep dari kejadian flebitis adalah sebagai berikut:
Gambar 2.3 Kerangka Teori
Terapi Intravena
Tangan dominan
Tangan nondominan
Faktor Penyebab Flebitis:
1. Faktor Kimiawi:
a. Cairan Infus (pH, Osmolaritas)
b. Obat yang diberikan secara IV
c. Material kateter IV
2. Faktor Mekanik:
a. Lokasi vena yang terpasang
kateter IV
b. Ukuran kateter.
c. Fiksasi
d. Lama pemasangan.
e. Teknik pemasangan.
3. Faktor Bakteri:
a. Teknik aseptik.
b. Peralatan infus yang tidak steril.
c. Perawatan balutan
4. Faktor Post Infus:
a. Kondisi vena.
b. Teknik pemasangan.
c. Pasien retardasi mental
5. Faktor Lain:
a. Faktor Host (usia, jenis kelamin,
diagnosa medis).
b. Status nutrisi.
Sumber: INS, 2006; Ariyanto, 2011
Flebitis
27
Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Tangan dominan
- Vena yang terpasang
kateter IV
- Ukuran kateter intravena
- Jenis kelamin
Flebitis
Tangan nondominan
-
Lama pemasangan
Cairan infus
Obat IV
Diagnosa Medis
Usia
-
pH dan Osmolaritas
Material Kateter IV
Fiksasi
Faktor bakterial
Faktor post infus
Status nutrisi
Keterangan:
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
2.4
Hipotesis
Menurut Sugiyono (2010), hipotesis diartikan sebagai
jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.
Terdapat dua macam hipotesis, yaitu hipotesis nol (Ho) dan
hipotesis alternatif (Ha). Hipotesis nol diartikan sebagai tidak
adanya perbedaan antara parameter dengan statistik, atau
28
tidak adanya perbedaan antara ukuran populasi dan ukuran
sampel. Hipotesis alternatif merupakan lawan dari hipotesis
nol.
Dalam penelitian ini, hipotesis yang ditetapkan adalah
sebagai berikut:
a.
Hipotesis nol: tidak ada perbedaan angka kejadian
flebitis pada pemasangan kateter intravena pada
tangan dominan dengan nondominan di Rumah Sakit
Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.
b.
Hipotesis alternatif: ada perbedaan angka kejadian
flebitis pada pemasangan kateter intravena pada
tangan dominan dengan nondominan di Rumah Sakit
Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.
Download