BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pencatatan perkawinan

advertisement
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk
menunjuk sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di
bawah tangan, kawin syar'i, kawin modin, dan ada juga yang disebut kawin kiyai.1
Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material telah memenuhi
ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut Jo pasal 10
ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975.2
Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan
yang tidak dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan
PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena
tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan
hukum
yang
tidak
dikehendaki
oleh
undang-undang,
karena
terdapat
kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak
tercatat termasuk perkawinan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1)
KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan perkawinan bukan sebagai
syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban
perkawinan.3 Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat
1
Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta : Pustaka Dinamika,
2002, hlm. 110.
2
Ibid. hlm. 110.
3
http://www.gatra.com / Kompilasi-Hukum-Islam. Diakses tanggal 25 Oktober 2013.
29
nikah bagi perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat
adalah sah, tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa
pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang peradilan agama.4
Aqad pada perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan
terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan
tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam Pasal 2 ayat 2 UndangUndang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan tidak
tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun
perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka
dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya
Pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).5
Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk
menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan
hukum. Perkawinan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender.
Perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap
perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan. Pernikahan
apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah.
Masalahnya jika perkawinan harus tercatat maka kaum pria merasa
keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami
prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita
4
5
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 7 ayat (3).
Ibid.
30
perkawinan tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak
menuntut harta, juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban
suami. Kondisi ini dianggap dilematis, disatu pihak keharusan pencatatan
perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak perkawinan tidak tercatat
merugikan kaum wanita dan anak.
Kenyataan yang ada sekarang ini, anak Indonesia terdapat tiga (3) macam
status kelahirannya, yaitu : (1) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah; (2) Anak yang lahir di luar perkawinan; (3) Anak yang lahir
tanpa perkawinan (anak hasil zina)6.
1. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah adalah
anak yang lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti
prosedur Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak
yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan antara lain:
a. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1),
yaitu: "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah".7
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42,
yaitu : " Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah ".8
c. Pasal 2 ayat (1), yaitu : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".
6
Http://www.anak-lahir-diluar-nikah.makalah.org. Diakses tanggal 25 Oktober 2013.
Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, Pasal 28-B.
8
Ibid. Pasal42.
7
31
d. Pasal 2 ayat (2), yaitu : "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku".9
Dijelaskan pula dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dalam BAB IX tentang Kedudukan Anak Pasal 42 bahwa
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”
Sedangkan Pasal 43 dijelaskan bahwa:
“(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.”
Pasal 44
“(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan, oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan
anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.10
2. Anak yang lahir di luar perkawinan
Anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak yang lahir dari
perkawinan
yang
dilakukan
menurut
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya. Pengertian ini menunjukkan adanya perkawinan, dan jika
9
Ibid. Pasal 2.
Ibid. Pasal 44.
10
32
dilakukan menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian sah dalam
perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan. Dengan
demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah secara materiil,
namun karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di
Kantor Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri).
Anak yang dilahirkan ”diluar perkawinan” karena perkawinannya hanya
memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, dan tidak memenuhi Pasal 2
ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus
dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan
perkawinan yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat 1 saja, maka
perkawinan itu disebut ”luar perkawinan”, oleh karena itu pasal 43 ayat 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan itu tidak berdiri
sendiri, sangat berkaitan dengan adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh
pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur
pada pasal 2 ayat 2. Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan,
karena perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda
sekali antara luar perkawinan dengan tanpa perkawinan. Analoginya bandingkan
dengan kata-kata : saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya ada tetapi saya tidur
di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh
karena itu jika disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu sudah dilakukan
33
minimal sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, itulah yang disebut "luar perkawinan", sedangkan perzinaan
sama sekali tidak tersentuh dengan ”perkawinan”.11
3. Anak yang lahir tanpa perkawinan
Anak yang lahir tanpa perkawinan adalah anak yang dilahirkan dari
hubungan antara pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan. Inklusif anak
yang lahir atas pertemuan ovum dengan sperma dari pasangan suami istri yang
menikah secara sah keberadaan anak melalui Bayi Tabung, namun anak tersebut
ketika dalam masa kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang sah.
Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil.
Pemahaman yang keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 terutama terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar perkawinan”
membawa kepada perdebatan panjang.
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya
tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah
secara materiil tapi tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa
perkawinan orang tuanya atau anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki
dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang tidak
sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak zina).
11
Http://www.anak-lahir-diluar-nikah.makalah.org. Diakses tanggal 25 Oktober 2013.
34
4.1
Kedudukan Anak Di Luar Nikah Dalam Mendapatkan Warisan
Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Aturan mengenai Perkawinan dan mewaris yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Dalam Pasal 852 KUHPerdata
dinyatakan antara lain bahwa ahli waris adalah anak-anak atau sekalian keturunan
mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua
orang tua, kakek nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam
garis lurus keatas dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada
perbedaan antara kelahiran lebih dahulu.12
Dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal
terlebih dahulu, si istri atau suami yang hidup paling lama dipersamakan dengan
seorang anak yang sah dari yang meninggal. Berdasarkan ketentuan diatas berarti
anak-anak keturunan berhak mewaris dari orang tua atau kakek-nenek dan
keluarga sedarah dengan jumlah bagian yang sama. Begitu pula istri, memiliki
hak dan besaran warisan seperti halnya anak sah.
Secara umum untuk semua WNI, ada hukum positif yang berlaku yaitu UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang juga memiliki kaitan dengan masalah
warisan, karena adanya ketentuan mengenai harta bersama. Di dalam UU
Perkawinan diatur tentang Harta Benda Dalam Perkawinan pada Pasal 35, yang
menyatakan:13
1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
12
13
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 852.
Ibid. Pasal. 35.
35
2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Ini artinya, bahwa:14
a. Selama masa perkawinan Bapak dan Ibu, sekalipun hanya Bapak saja
yang bekerja mencari nafkah dan mengumpulkan harta, maka Ibu-pun
berhak atas setengahnya dari harta perolehan Bapak tersebut, begitu pula
sebaliknya.
b. Dan jika mau dibagi “warisan bapak”, maka yang dimaksud dengan
warisan bapak di dalam UU Perkawinan ini, adalah setengah (1/2) dari
seluruh harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan Bapak
dan Ibu, ditambah:
b.1. Harta Bawaan Bapak (jika ada). Ini adalah harta yang diperoleh
beliau sebelum masa pernikahan dengan Ibu.
b.2. Juga bisa jadi Bapak memperoleh hadiah dari seseorang, dari
keluarganya atau lembaga, maka itu juga bisa dimasukkan ke
dalam harta warisan bapak.
b.3. Satu lagi adalah warisan yang diperoleh Bapak dari Pihak
keluarganya, maka harta warisan tersebut dimasukkan kedalam
kelompok harta warisan bapak, yang akan dibagikan kepada semua
ahli warisnya.
14
Hukumonline.com, Tanya Jawab Hukum Waris dan Anak, (Jakarta : Penerbit Kataelha,
2010), hlm. 49.
36
Dan untuk yang beragama Islam, dikhususkan lagi pengaturannya dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mengatur mengenai Harta Bersama yang
menyatakan:15
a. Pasal 85:
Adanya
harta
bersama
dalam
perkawinan
itu
tidak
menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.
b. Pasal 86:
1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
isteri karena perkawinan.
2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai
penuh olehnya.
3) Pasal 87:
(a) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak
menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(b) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.
Pasal-pasal KHI tersebut berarti:16
15
Kompilasi Hukum Islam. Pasal. 85-87.
37
a. Sekalipun ada Harta Bersama dalam Perkawinan, tetapi bisa saja ada
harta masing-masing, yang bisa berupa harta bawaan sebelum
perkawinan, harta warisan yang diperoleh setelah perkawinan, ada
hadiah yang diterima salah satu pihak ketika dalam perkawinan, atau
bisa juga karena diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan.
b. Bahwa terhadap harta-harta pada poin a, tidak ada percampuran, dan
masing-masing berhak mengakuinya sebagai harta pribadinya. Dan
berhak bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.
Jika ada ahli waris yang meminta dilakukannya pembagian warisan bapak,
maka hanya harta milik bapak sajalah yang bisa dibagikan terlebih dahulu. Yang
milik ibu, dipisahkan. Secara teknis memang agak repot, jika ingin dibagikan
langsung, karena terkadang Ibu tidak memiliki uang untuk menguangkan harta
bagian bapak, sehingga yang bisa dilakukan adalah menjual harta bersama bapak
dan ibu, kemudian hasilnya dibagi dua. Bagian ibu diserahkan kepada ibu
pemanfaatannya. Apakah akan dibelikan rumah pengganti, atau untuk
peruntukkan lainnya. Sekalipun ibu sudah menerima ½ dari harta bersama, beliau
masih berhak atas bagian dalam kedudukannya sebagai istri (sebesar 1/8 dari harta
warisan bapak, jika ada anak). Sesuai dengan ketentuan Hukum Islam yang
berlaku.17
Sementara, jika kita mengacu kepada Hukum Islam (yang bukan hukum
positif yang sudah berlaku di Indonesia), yang tidak mengenal konsep harta
bersama, maka jika bapak meninggal dan harta tersebut adalah harta pencarian
16
17
Ibid, hlm. 52.
Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, (Bandung : Refika Aditama, 2012), hlm.11.
38
bapak, selama hidupnya, maka harta tersebut bisa dibagikan, dengan memastikan
terlebih dahulu, dilunasinya utang-utang beliau, juga dikeluarkannya hak ibu,
misalnya dalam hal Ibu anda pernah dihadiahi sesuatu ketika bapak masih hidup.
Atau ada harta ibu yang tercampur di dalamnya, misalnya apakah itu hadiah, atau
warisannya.
Adapun mengenai bagian masing-masing ahli waris, setelah dipisahkannya
harta warisan bapak, yang akan dibagi, harus didata siapa saja ahli warisnya.
Apakah bapak masih memiliki orang tua kandung (Kakek dan Nenek), kalau
masih, maka merekapun berhak menjadi ahli waris Bapak. Jika ada anak-anak
maka bagiannya masing-masing 1/6. Tetapi, untuk Ibu-nya Bapak, ada catatan:
Pertama, apabila Pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan, atau cucu
laki-laki keturunan anak laki-laki; Kedua, apabila Pewaris memiliki saudara yaitu
dua orang saudara atau lebih. Selain itu Istri, jika ada anak-anak, maka bagiannya
1/8. Dan masing masing anak mendapatkan sisanya setelah dipotong bagian
Kakek/Nenek dan Ibu, dengan pembagian laki-laki dan perempuan 2:1.18
Anak hasil di luar nikah termasuk anak yang tidak memiliki bapak yang
legal, maka dia di “bin” kan ke ibunya. Anak hasil di luar nikah tidak ada
hubungan saling mewarisi dengan bapak biologisnya karena bapak biologis bukan
bapaknya.
Anak hasil diluar nikah yang diakui menurut Pasal 272 KUHPerdata adalah
anak yang dilahirkan seorang ibu tetapi tidak dibenihkan seorang pria yang berada
dalam ikatan perkawinan yang sah dengan ibu anak tersebut, dan tidak termasuk
18
Ibid, hlm. 12.
39
kelompok anak zina atau anak sumbang. Artinya bahwa seseorang dinyatakan
anak luar nikah yaitu anak-anak yang lahir di luar ikatan perkawinan atau anak
yang lahir akibat zina.
Anak luar kawin dapat mewarisi sepanjang anak tersebut memiliki
hubungan hukum dengan pewaris. Hubungan hukum yang dimaksud dalam hal ini
adalah pengakuan dari si pewaris, sehingga dengan demikian anak luar kawin
tersebut akan disebut dengan anak luar kawin diakui. Sebab anak luar kawin yang
mendapat warisan hanya anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya.
Amanat yang tercantum dalam Pasal 284 KUHPerdata disebutkan, bahwa: 19
“Pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami atau istri atas
kebahagiaan anak luar kawin, yang sebelum kawin telah olehnya dibuahkan
dengan orang lain dari istri atau suaminya, tak akan merugikan baik bagi
istri atau suami maupun bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka”.
Jadi berdasarkan Pasal 284 tersebut kembali ditekankan bahwa seorang
suami atau istri yang mengakui anak luar kawinnya tidak boleh merugikan istri
dan anak-anak dari perkawinan pada waktu pengakuan dilakukan. Namun perlu
juga diingat bahwa berdasarkan Pasal 285 KUH Perdata, walaupun anak luar
kawin telah diakui dan berhak atas warisan dari orang tua yang mengakuinya,
tetapi ayah atau ibu si anak luar kawin tidak mewarisi harta dari orang yang
mengakui.
Dalam pembagian warisan, anak luar nikah yang diakui mewaris dengan
semua golongan ahli waris. Besar bagian yang diterima tergantung dengan
golongan mana anak luar nikah tersebut mewaris, atau tergantung dari derajat
19
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook).www.lbh.htm download tgl 26
November 2013
40
hubungan kekeluargaan dari para ahli waris yang sah. Kedudukan anak diluar
nikah yang diakui dalam pewarisan berada pada golongan pertama.
Menurut Pasal 863 KUH Perdata:
“Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau
suami istri, maka anak luar kawin yang diakui mewarisi 1/3 bagian, dari
mereka yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak
sah.”
Dari hasil wawancara dengan ibu Miranda Moki, S.Ag selaku panitra hukum
muda di Pengadilan Agama Gorontalo dijelaskan bahwa anak hasil di luar nikah
tidak mendapatkan warisan dari ayahnya namun ia hanya mendapatkan warisan
dari ibunya, namun untuk anak hasil di luar nikah mendapatkan pengakuan dari
ayahnya maka ia bisa mendapatkan warisan dari ayah sama seperti keturunan
yang sah.20
Sedangkan dari hasil wawancara dengan bapak Drs. Mukhlis, MH selaku
hakim di Pengadilan Agama Gorontalo dikatakan bahwa anak hasil di luar nikah
tidak mendapatkan warisan dari bapak biologisnya, namun jika bapak biologisnya
ingin membagikan harta warisan hanya bisa dilakukan melalui wasiat.21
Menurut peneliti anak diluar nikah bisa mendapatkan warisan apabila diakui
oleh ayah biologisnya. Pengakuan anak diluar nikah tersebut dapat dilakukan
dengan suatu akta otentik atau melakukan perkawinan yang sah secara hukum
terlebih dahulu.
20
Miranda MOki. Panitera Hukum Muda Pengadilan Agama Gorontalo. Wawancara 13 November
2013
21
Mukhlis. Hakim Pengadilan Agama Gorontalo. Wawancara 13 November 2013
41
4.2
Perlindungan Hukum Anak Di Luar Nikah
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang
sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram
(nasab) antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak
yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi
ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain. Seorang anak dapat
dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari
perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah,
tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau
anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan
ibunya.
Dengan
demikian
membicarakan
asal
usul
anak
sebenarnya
membicarakan anak yang sah.
Tampaknya fikih menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan
dengan anak yang sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas
berkenaan dengan anak yang sah, namun dilihat dari definisi ayat-ayat al-Qur'an
dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah adalah anak yang lahir oleh
sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai anak zina
(walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Secara
implisit al-Qur'an, 23/ 5-6 menyatakan:
“Yang artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka
42
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (QS. al-Mu'minun: 56).”22
Selanjutnya di dalam surah al-Isra', 17/ 32 juga dijelaskan:
“Yang artinya: Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah
perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan (QS. al-Isra': 32).” 23
Larangan-larangan al-Qur'an di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap
orang menjaga kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan
dampak terburuk dari pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya
adalah akibat dari pelanggaran larangan-larangan Allah tersebut. Selanjutnya,
kendatipun fikih tidak memberikan definisi yang tegas tentang anak yang sah,
namun para ulama mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah.
Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak
sah. Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah, kemudian istri
mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan
anak itu apabila (a) Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan, (b)
melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa
perceraian.
Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah
menetapkannya selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah alAhqaf: 15 yang artinya:
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
22
23
Kementrian Agama R.I, Al-Quran dan Terjemahannya, Kementrian Agama R.I, Jakarta
Ibid. QS. al-Isra': 32.
43
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa
dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku,
tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang
saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada
Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
(QS. al-Ahqaf: 15).”24
Selanjutnya di dalam surah Luqman: 14, Allah SWT. berfirman:
“Yang artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang
ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan
bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah
kembalimu (QS. Luqman: 14).”25
Dalam surah al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah
mengandung dan menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat
Luqman dijelaskan batas maksimal menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi
masa hamil yang paling sedikit adalah 30 puluh bulan dikurangi 24 bulan sama
dengan enam bulan.
Informasi ini diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama yang
menafsirkan bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu
mengandung dan menyapih adalah 30 bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa
menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna membutuhkan waktu dua
tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu 30-24 = 6
bulan di dalam kandungan. Pendapat ini agaknya disepakati oleh ahli fikih yang
diperoleh dengan menangkap dalil isyarah al-Qur'an. Bahkan Wahbah al-Zuhaily
menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan hukum yang sahih.
24
25
Ibid. QS. al-Ahqaf: 15.
Ibid. QS. Luqman: 14.
44
Jika dianalisis pandangan fikih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah
dipahami bahwa anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel
telur (ovum) oleh sperma yang terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi
ini haruslah terjadi di dalam perkawinan yang sah. Dari sinilah penetapan anak
sah tersebut dilakukan. Dengan demikian Hukum Islam menegaskan bahwa
seorang anak supaya dapat dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya,
anak itu harus lahir sekurang-kurangnya enam bulan sesudah pernikahan atau di
dalam tenggang 'iddah selama empat bulan sepuluh hari sesudah perkawinan
terputus.
Mengenai tenggang waktu ini ada aliran di antara ahli fikih yang
berpendapat seorang anak lahir setelah melampaui tenggang 'iddah sesudah
perkawinan terputus, adalah anak sah dari bekas suaminya asal dapat dianggap
bahwa kelahirannya disebabkan oleh perbuatan bersetubuh antara bekas suami
istri itu. Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, ditetapkanlah tenggang
waktu maksimun selama empat tahun, asal saja nyata bahwa dalam waktu empat
tahun tadi ibunya tidak ada mengeluarkan kotoran.
Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari enam bulan sejak masa
perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan kekerabatannya dengan
bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. la hanya memiliki
hubungan nasab dengan ibunya saja. Disinilah perbedaannya, antara pandangan
figh dengan dengan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, oleh karena
pandangan figh tidak mengenal pencatatan nikah, maka pengertian luar
perkawinan sama pengertiannya dengan zina, sedangkan Undang-undang
45
Perkawinan Indonesia karena mengharuskan pencatatan, maka tidak dapat di
samakan antara luar perkawainan dengan zina. Luar perkawinan di Indonesia
menurut figh adalah sah sedangkan zina menurut pandangan figh adalah tidak
pernah tersentuh dengan istilah perkawinan.
Dalam pasal 28-B ayat 1 Undang-undang Dasar Tahun 1945 berbunyi :
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah“. 26 Kata-kata “melanjutkan keturunan“ apapun pengertian
pasti terjemahan konkritnya adalah “ anak “ yakni kehadirannya melalui
pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik berdasarkan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, yang keberadaannya harus
dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal ini dipertegas dengan Pasal 42
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi: “anak
yang sah” adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah.27
Pasal ini tidak termasuk yang dilakukan uji materiil oleh MK, oleh karena
itu keberadaannya masih eksis dan keberlakuannya masih harus dipedomani, jika
menurut putusan MK memandang tidak tepat jika menetapkan bahwa anak yang
lahir dari suatu kehamilan karena lembaga seksual di luar perkawinan, hanya
memiliki hubungan dengan ibunya, itu sudah benar tetapi tidak dapat melepaskan
diri dari Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 42 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974.
Oleh karena putusan MK tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan
pasal-pasal tersebut diatas, maka kata-kata anak diluar perkawinan tidak dapat
26
27
Ibid. Pasal 28-B ayat 1.
Ibid. Pasal 42.
46
dikatakan anak hasil perzinahan, karena anak hasil perzinahan bertentangan
dengan kedua pasal tersebut diatas, begitu juga jika yang dimaksudkan oleh
undang-undang adalah “zina“ maka bahasanya jelas yaitu zina, bukan luar
perkawinan, seperti tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu berbunyi “ Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah
berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.“28 Pasal itu jelas membedakan
antara zina dengan luar perkawinan, Oleh karena itu tidak pada tempatnya jika
kata-kata anak luar pekawinan dimaknai dengan anak hasil perzinahan.
Penyelesaian
hak-hak
dan
kewajiban-kewajiban
sebagai
akibat
meninggalnya seseorang diatur oleh hukum waris, dan hukum waris yang akan
dipergunakan sebagai dasar untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini
adalah hukum kewarisan Islam. Peraturan atau sistem waris yang diajarkan Islam
merupakan sistem yang adil dan selaras dengan fitrah serta realitas kehidupan
rumah tangga dan kemanusiaan pada setiap kondisi. Sistem waris yang ditetapkan
dalam Islam, atas dasar kemanusiaan berupaya mengayomi asal pembentukan
keluarga dari jiwa yang satu. Keistimewaan hukum Islam dalam masalah waris
seluruhnya tampak jelas di hadapan mata laksana benda yang terlihat di siang
hari. Islam menyampaikan hak-hak waris kepada orang-orang yang memang
berhak menerimanya (mustahiqqin).
Dalam hukum Islam, istilah ilmu waris dikenal dengan ilmu faraidh.
Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah-masalah pembagian harta
28
Ibid. Pasal 44 ayat (1).
47
warisan. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna almafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah
ditentukan kadarnya.
48
Download