BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KAJIAN TEORI 1. Tatalaksana

advertisement
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI
1. Tatalaksana Tuberkulosis
a. Penemuan Kasus Tuberkulosis
Penemuan kasus merupakan elemen penting dalam strategi
DOTS. Penemuan kasus dipengaruhi oleh faktor individual (perilaku
mencari pengobatan), sosial (akses menuju layanan kesehatan) dan
biomedik (kapabilitas diagnostik) (Shargie et al., 2006). Deteksi kasus
hanya dapat ditingkatkan dengan mengatasi keterlambatan dalam
penemuan kasus. Keterlambatan dapat terjadi pada tingkat pasien atau
sistem kesehatan. Keterlambatan sistem pelayanan kesehatan meliputi
keterlambatan
sistem
kesehatan,
diagnostik
dan
pengobatan
(Courtwright et al., 2010).
Metaanalisis oleh Li et al. tahun 2013 menunjukkan bahwa
wanita cenderung mengalami keterlambatan diagnosis dibandingkan
pria. Kecenderungan pasien untuk mengunjungi ahli pengobatan
tradisional merupakan faktor risiko tertundanya diagnosis TB.
Kurangnya pengetahuan pasien mengenai TB (gejala, cara penularan
dan fasilitas pengendalian TB) menyebabkan tertundanya diagnosis
TB. Stigma juga berhubungan dengan tertundanya diagnosis TB.
Faktor dari sistem kesehatan yang menyebabkan tertundanya
diagnosis TB antara lain akses menuju fasilitas kesehatan,
keterbatasan sumber daya untuk melakukan penegakan diagnosis TB
(seperti kurangnya fasilitas untuk pemeriksaan sputum dan foto
toraks), kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai TB dan
kesalahan diagnosis. Umur bukanlah faktor penyebab keterlambatan
diagnosis TB, pasien berusia lebih dari 60 tahun atau lebih tidak
menunjukkan
peningkatan
risiko
keterlambatan
dibandingkan individu yang lebih muda (Li et al., 2013).
diagnosis
6
Penemuan pasien bertujuan untuk mendeteksi kasus TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB,
pemeriksaan fisik dan laboratorium, menentukan diagnosis dan
menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat
dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya
kepada orang lain. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang
memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas
kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu
melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan keluhan TB. Penemuan
pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien
TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna
akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan
TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan
penularan TB yang paling efektif di masyarakat (PDPI, 2011;
Kemenkes RI, 2013b). Strategi penemuan kasus TB meliputi:
1) Passive case finding (PCF)
Passive case finding merupakan kegiatan mendeteksi
penyakit TB aktif di antara pasien simtomatik yang mendatangi
layanan kesehatan (Golub et al., 2005). Penemuan pasien TB
secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan
kesehatan yang didukung dengan penyuluhan secara aktif baik
oleh petugas kesehatan maupun masyarakat untuk meningkatkan
cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan
dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi
keterlambatan pengobatan (Depkes RI, 2011; Tim Field Lab
UNS, 2013).
2) Enhanced case finding (ECF)
Enhanced case finding membuat populasi waspada akan
gejala TB (melalui publisitas dan pendidikan) dan mendorong
7
populasi untuk mendatangi fasilitas kesehatan (Golub et al.,
2005). Enhanced case finding menggunakan informasi kesehatan
atau pendidikan untuk memberikan informasi tentang jenis
perilaku mencari kesehatan yang sesuai ketika orang mengalami
gejala TB. Jenis penemuan kasus ini dapat dikombinasikan
dengan peningkatan akses ke layanan diagnostik (WHO, 2013b).
3) Active case finding (ACF)
Active case finding menitikberatkan penemuan kasus TB
dibandingkan
menunggu
individu
bergejala
TB
datang
memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan (Eang et al., 2012).
Active case finding bertujuan untuk menghilangkan penghalang
dalam deteksi kasus awal, salah satunya adalah keterlambatan
individu mendatangi fasilitas kesehatan (Lorent et al., 2014).
Active case finding dan ECF mengidentifikasi dan mendekatkan
pengobatan pada individu dengan TB yang belum memeriksakan
diri ke fasilitas kesehatan. Active case finding dan ECF
mendeteksi dan mengobati pasien TB lebih awal. Perbedaan
utama antara ACF dan ECF adalah tingkat interaksi langsung
dengan populasi target. Active case finding melibatkan kontak
tatap muka dan evaluasi di tempat. Penemuan secara aktif pada
masyarakat umum dinilai tidak cost efektif. Penemuan secara aktif
dapat dilakukan terhadap (Depkes RI, 2011):
a) Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB
seperti pada pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency
Virus (HIV).
b) Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan,
lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang
hidup pada daerah kumuh serta keluarga atau kontak pasien
TB terutama mereka yang dengan TB BTA (+).
8
c) Pemeriksaan terhadap anak di bawah lima tahun pada
keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut
apakah
diperlukan
pengobatan
TB
atau
pegobatan
pencegahan.
d) Kontak dengan pasien TB resistan obat.
4) Intensified case finding (ICF)
World
Health
Organization
pada
tahun
2004
merekomendasikan bahwa individu dengan HIV, kontak rumah
tangga dan kelompok yang berisiko tinggi terjangkit HIV harus
menjalani screening TB secara reguler di setiap saat mereka
mendatangi layanan kesehatan (National AIDS Manual, 2013).
Passive case finding melalui strategi DOTS tidak lagi dianggap
sebagai respons adekuat terhadap kenaikan tingkat insidensi TB
di dalam populasi epidemik HIV umum. Intensified case finding
bertujuan untuk menyediakan deteksi kasus awal sehingga
meningkatkan kesempatan kelangsungan hidup pada individu
yang terinfeksi TB (Elden et al., 2011). Intensified case finding
merupakan sebuah aktivitas yang direkomendasikan WHO yang
bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan kasus TB sedini
mungkin di antara individu dengan HIV yang biasanya
menggunakan kuesioner sederhana mengenai tanda dan gejala
TB. Intensified case finding bukan berarti menegakkan diagnosis
TB namun ICF merupakan langkah awal menegakkan diagnosis
(National AIDS Manual, 2013). Intensified case finding adalah
screening reguler pada semua individu dengan HIV atau berisiko
terinfeksi HIV untuk gejala dan tanda yang dilanjutkan segera
dengan diagnosis dan pengobatan (Kranzer et al., 2010).
World Health Organization telah merekomendasikan
screening TB menggunakan serangkaian pertanyaan sederhana,
namun kebijakan WHO tidak benar-benar menyebutkan apa saja
9
yang
seharusnya
ditanyakan.
Tenaga
kesehatan
harus
menanyakan pasien dengan HIV apakah mereka saat ini
mengonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT), jika tidak, gunakan
checklist sederhana yang menanyakan apakah mereka memiliki
gejala TB seperti batuk, demam, keringat malam, kehilangan
berat badan, limfadenopati dan lain-lain. Jawaban positif
menunjukkan bahwa pasien tersebut bisa jadi terjangkit TB dan
harus mendapatkan evaluasi diagnostik untuk TB (atau dirujuk ke
pusat pelayanan diagnosis TB). Sejumlah ahli mengeluhkan jika
panduan itu terlalu ambigu dan merekomendasikan alat screening
TB terstandardisasi pada individu dengan TB (National AIDS
Manual, 2013).
5) Pelacakan Kontak
Pelacakan kontak telah menjadi praktek standar selama
berpuluh-puluh tahun di negara berpenghasilan tinggi dengan
insidensi TB pada populasi umum rendah. Pelacakan kontak
melibatkan penilaian klinik, foto toraks, evaluasi mikrobiologi
sputum atau pemeriksaan untuk mendeteksi latent tuberculosis
infection (LTBI), seperti tuberculin skin test (TST) atau
interferon-γ release assay (IGRA). Pelacakan kontak mulai
dikembangkan pada kondisi terbatasnya sumberdaya sebagai
program nasional mencari metode baru untuk meningkatkan
deteksi kasus (Fox et al., 2013a).
Pengobatan adekuat dan follow-up dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas akibat TB di antara individu yang baru
saja terinfeksi sehingga mengurangi penularan selanjutnya.
Strategi pelacakan kontak yang seragam belum dikembangkan.
Salah satu strategi yang digunakan adalah prinsip stone-in-thepond yaitu stratregi yang mengkategorikan kontak sebagai risiko
tinggi, sedang atau rendah berdasarkan penilaian kemungkinan
10
penularan
(Duarte,
2011).
Prinsip
stone
in
the
pond
mengidentifikasi logis lingkaran kontak dengan mengurangi
kedekatan kontak yang akan membentuk lingkaran yang
konsentris. Pengujian dilanjutkan dari lingkaran dalam ke
lingkaran luar sampai tidak lagi ditemukan hasil positif. Prinsip
stone in the pond dapat dilihat pada gambar 1 (Goverment of
Western Australia Departement of Health, 2012).
Gambar 1. Prinsip Stone in the Pond
(Goverment of Western Australia Departement of Health, 2012)
b. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat
antituberkulosis (PDPI, 2011; WHO, 2013a). Banyak faktor yang
berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TB antara lain
kepatuhan, status sosial ekonomi penderita dan peran petugas
kesehatan di pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Kepatuhan
pengobatan TB merupakan hal yang sangat penting, namun masih
banyak para penderita TB yang berhenti di tengah jalan karena
11
menganggap penyakitnya sudah sembuh. Hal ini dapat disebabkan
karena pengetahuan yang masih kurang dan persepsi/cara memandang
penyakit TB masih negatif (Pasek dkk., 2013). Kepatuhan pengobatan
yang rendah disebabkan oleh kurangnya informasi maupun hambatan
ekonomi dan sosial. Efek samping pengobatan juga mempengaruhi
kepatuhan pengobatan pasien TB (CORE Group, 2008).
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung. Seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO) diperlukan untuk menjamin keteraturan
pengobatan. Pengawas Menelan Obat sebaiknya adalah petugas
kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat dan lain-lain. Pengawas
Menelan Obat juga dapat berasal dari kader kesehatan, guru,
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), tokoh masyarakat lainnya
atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO antara lain mengawasi
pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat
teratur, mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota keluarga
pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk
segera memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan (Depkes
RI, 2011; Lupitayanti dan Putra, 2012). Pengobatan tuberkulosis
dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut (PDPI, 2011):
1) Obat anti tuberkulosis harus diberikan dalam bentuk kombinasi
beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai
dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OATKDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOTS) oleh seorang PMO.
3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap
12
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi
BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien
mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
c. Indikator Keberhasilan Program Pengendalian Tuberkulosis
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan pengendalian TB
digunakan beberapa indikator. Beberapa indikator keberhasilan
program pengendalian TB secara Nasional antara lain (Depkes RI,
2011; Kemenkes RI, 2015):
1) Case Detection Rate (CDR)
Case detection rate adalah prosentase jumlah pasien baru BTA
positif yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru
BTA positif yang diperkirakan pada suatu populasi di wilayah
tersebut.
Case
Detection
Rate
menggambarkan
cakupan
penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut. Target
CDR nasional minimal 70 %.
2) Success Rate (SR)
Success rate adalah prosentase kasus baru BTA positif yang
sembuh plus pengobatan lengkap di antara kasus baru TB paru
BTA positif yang diobati. Target SR nasional minimal 85 %.
2. Program Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
Tujuan program pengendalian TB nasional di Indonesia adalah
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan
masyarakat.
Pengendalian
TB
dilaksanakan
dengan
menggunakan strategi DOTS dan memperhatikan strategi Global Stop TB
partnership. World Health Organization mengembangkan strategi
13
pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS pada awal tahun
1990-an. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan
dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya TB kebal obat ganda (Kemenkes RI, 2013b; Depkes
RI, 2011).
Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB paru
yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha
menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya
melalui pemeriksaan mikroskopik. Setiap penderita harus diawasi
(observed) dalam menelan obatnya yaitu obat ditelan didepan seorang
pengawas, inilah yang dikenal sebagai DOTS (Pasek dkk., 2013). Strategi
DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu (Depkes RI, 2011):
a. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan
pendanaan.
b. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang
terjamin mutunya.
c. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi
pasien.
d. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
e. Sistem monitoring pencatatan dan pelaporan yang mampu
memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program.
Tantangan pencapaian MDG di Indonesia cukup berat, salah
satunya adalah prevalensi TB di Indonesia masih tinggi (Reviono dkk.,
2013). Stop TB Partnership dan WHO mengembangkan Stop TB Strategy
yang menyatukan strategi DOTS dalam suatu kerangka kerja yang
menyertakan elemen lain yang penting bagi pencegahan, diagnosis dan
pengobatan TB. The stop TB strategy dilihat pada tabel 1 (WHO, 2006).
14
Tabel 1. The Stop TB Strategy
The Stop TB Strategy
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS





Komitmen politik dengan meningkatkan dan menyokong pendanaan
Case detection melalui bakteriologi dengan kualitas terjamin
Standardisasi pengobatan, dengan supervisi dan dukungan pasien
Suplai obat-obatan yang efektif dan sistem manajemen
Sistem pengawasan dan evaluasi, dan pengukuran dampak
2. Merespons masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
 Implementasi aktivitas kerja sama TB/HIV
 Mencegah dan mengendalikan TB resisten obat
 Memperhatikan tahanan, pengungsi dan kelompok risiko tinggi lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
 Berpartisipasi aktif dalam usaha untuk memperbaiki kebijakan, pendanaan sumber
daya manusia, pemberian pelayanan dan sistem informasi
 Membagikan inovasi yang memperkuat sistem
 Mengadaptasi inovasi dari bidang lain
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan
 Pendekatan publik-publik dan public–private mix (PPM)
 International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
 Advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial
 Partisipasi masyarakat dalam pelayanan TB
 Piagam pasien untuk pelayanan TB
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
 Penelitian operasional berdasarakan program
 Penelitian untuk mengembangkan diagnosis baru, obat-obatan dan vaksin
Keterangan : TB: tuberkulosis, DOTS: Directly Observed Treatment Shortcourse, MDR: multi drugs resistance, HIV: human
immunodeficiency syndromme.
(WHO, 2006)
Penerapan strategi DOTS di Indonesia pada awalnya hanya
dilaksanakan di Puskesmas, seiring berjalannya waktu strategi DOTS
mulai dikembangkan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) dan
rumah sakit baik pemerintah maupun swasta. Hasil survei prevalensi TB
tahun 2004 melaporkan bahwa pola pencarian pengobatan sebagian besar
pasien TB ketika pertama kali sakit adalah rumah sakit sehingga
mengikutsertakan rumah sakit untuk melaksanakan strategi DOTS
15
menjadi sesuatu yang penting yang memberikan kontribusi berarti
terhadap upaya penemuan pasien TB. Upaya perluasan strategi DOTS ke
rumah sakit merupakan tantangan besar bagi Indonesia dalam
mengendalikan TB (Depkes RI, 2011).
3. Kader Kesehatan
a. Definisi Kader Kesehatan
Community health workers (CHW) adalah pembantu kesehatan
masyarakat yang dipilih, dilatih dan bekerja di masyarakat. Definisi
CHW harus memperhatikan norma-norma sosial dan budaya maupun
adat istiadat setempat untuk memastikan penerimaan masyarakat.
Community health workers di Indonesia dikenal dengan istilah kader
kesehatan. Kader kesehatan merupakan anggota masyarakat di mana
mereka bekerja, harus dipilih oleh masyarakat, bertanggung jawab
kepada masyarakat, didukung oleh sistem kesehatan tetapi tidak harus
menjadi bagian dari organisasi dan memiliki waktu pelatihan yang
lebih singkat dibandingkan pekerja professional (WHO, 2007). Kader
kesehatan
adalah
seorang
yang
karena
kecakapannya
atau
kemampuannya diangkat, dipilih dan atau ditunjuk untuk memimpin
pengembangan kesehatan disuatu tempat atau desa (Wahyudi, 2010).
Kader kesehatan masyarakat merupakan anggota masyarakat
yang menyediakan layanan terkait kesehatan di komunitas mereka
(Perry and Zulliger, 2012). Kader adalah setiap orang yang dipilih
oleh masyarakat dan dilatih untuk menangani masalah-masalah
kesehatan perorangan atau masyarakat serta bekerja dalam hubungan
yang amat dekat dengan tempat-tempat pemberian pelayanan
kesehatan (WHO, 2007).
Partisipasi aktif kader dalam program Community TB Care
merupakan ujung tombak di lapangan (Amiruddin, 2013). Kader TB
juga diharapkan dapat melakukan upaya promotif untuk mencegah
16
penularan ke masyarakat. Media yang diajarkan dalam upaya promotif
yaitu (Arini, 2012):
1) Penyuluhan
kelompok
digunakan
untuk
meningkatkan
pengetahuan dan sikap kelompok masyarakat melalui berbagai
metode dan media penyuluhan
2) Diskusi
Kelompok
(DK)
digunakan
untuk
meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap kelompok masyarakat untuk
menanggulangi masalah TB melalui diskusi kelompok
3) Kunjungan rumah digunakan untuk meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap agar keluarga mau berubah perilakunya
sehubungan dengan TB
4) Konseling digunakan untuk membantu menggali alternatif
pemecahan masalah TB dalam suatu keluarga.
b. Pelatihan Kader Kesehatan
Kader kesehatan sebelum
melaksanakan tugasnya
perlu
mendapatkan pelatihan sehingga tujuan yang hendak dicapai dengan
terbentuknya kader TB dapat terwujud, diantaranya peningkatan
penjaringan suspek untuk meningkatkan CDR pada program
pengendalian
TB.
Pelatihan
tersebut
diantaranya
memberi
pengetahuan pada kader TB tentang penyakit TB, gejalanya dan cara
pencegahannya. Kader TB tersebut juga dilatih untuk melakukan
penjaringan suspek melalui rujukan yang tersistem (Arini, 2012).
Kader kesehatan harus dibina, dituntun serta didukung oleh para
pembimbing yang lebih terampil dan berpengalaman (Wahyudi,
2010).
Kader kesehatan mendapatkan pelatihan formal oleh sistem
kesehatan atau program kesehatan. Pelatihan kader kesehatan
biasanya hanya beberapa hari atau tidak lebih dari 6 bulan. Kader
kesehatan tidak mendapatkan sertifikat profesional formal. Kader
17
kesehatan menerima gaji, insentif atau bekerja secara sukarela (Perry
and Zulliger, 2012).
c. Tugas Kader Kesehatan
Tugas seorang kader kesehatan masyarakat sangat bervariasi dan
berbeda-beda pula antara satu tempat di banding tempat lainnya atau
antara satu negara dibandingkan negara lainnya (WHO, 2008). Kader
kesehatan masyarakat melaksanakan kegiatan TB berbasis masyarakat
yang bergantung pada konteks nasional dan lokal (WHO, 2013b).
Kader
merupakan
kunci
keberhasilan
program
peningkatan
pengetahuan dan keterampilan bidang kesehatan dalam masyarakat
(Trisnawati,
2008).
Keberadaan
kader
di
masyarakat
dalam
pengendalian kasus TB paru sangat strategis karena kader dapat
berperan sebagai penyuluh, membantu menemukan tersangka
penderita secara dini, merujuk penderita dan sekaligus pengawas
menelan obat bagi penderita TB paru secara langsung. Kader juga
mampu menghilangkan stigma sosial terkait TB (Ravichandran,
2004).
Kader kesehatan masyarakat dapat menyediakan DOTS,
berperan
sebagai
pendukung
pengobatan,
advokasi
untuk
meningkatkan program TB, berperan sebagai pendidik kesehatan dan
melakukan kunjungan rumah. Mereka melakukan kunjungan dari
pintu ke pintu untuk pelacakan kontak, penemuan kasus dan
menindaklanjuti kasus putus berobat (CORE, 2013).
Kader kesehatan ditugaskan untuk mendeteksi pasien bergejala
dan memfasilitasi pengumpulan dahak di rumah, untuk memastikan
kepatuhan pengobatan dan membantu pengobatan pasien di klinik
kesehatan. Keterlibatan kader kesehatan dalam program berbasis
masyarakat untuk deteksi kasus, kepatuhan pengobatan dan fasilitasi
DOTS
dapat
meningkatkan
tingkat
penyelesaian
pengobatan,
18
menyediakan akses pelayanan yang baik dan mengurangi beban biaya
pasien dan keluarganya (Perry and Zulliger, 2012).
4. Konsep Pelacakan Household Contact
a. Istilah dalam pelacakan kontak
Pelacakan kontak untuk TB merupakan sebuah bentuk deteksi
kasus aktif yang memerlukan evaluasi sistemik kontak dari pasien TB
untuk menemukan penyakit aktif atau infeksi TB laten. Household
contact sering dipilih untuk pelacakan kontak karena mereka
mengalami pajanan berkepanjangan dan berbagi faktor risiko
lingkungan dengan indeks kasus sehingga memiliki risiko infeksi TB
terbesar (Fox et al., 2012). Pelacakan household contact adalah
screening dan pengobatan anggota household dari seseorang yang
terdiagnosis TB aktif (Kasaie et al., 2014).
Definisi pasti untuk household contact belum ada. Definisi
household contact adalah anggota keluarga maupun bukan anggota
keluarga yang tinggal serumah dengan indeks kasus selama lebih dari
2 minggu dalam jangka waktu 3 bulan sebelum terdiagnosisnya indeks
kasus (Jia et al., 2014). Definisi household bervariasi dan harus
disesuaikan dengan konteks lokal. Di antara household terdapat
tingkatan pajanan, mulai dari pemakaian tempat tidur yang sama
dengan kasus indeks sampai bertempat tinggal pada halaman yang
sama tapi tidak dalam ruangan tertutup yang sama. Hitungan jumlah
pajanan, diperkirakan sebagai waktu yang dihabiskan bersama kasus
indek, sangat subjektif. Untuk alasan ini, periode infeksius bagi kasus
indeks ditetapkan pada 3 bulan sebelum permulaan pengobatan
dibanding bergantung pada ingatan kasus indeks mengenai waktu
dimulainya gejala. Periode 3 bulan merupakan panduan umum,
periode infeksius yang pasti bisa lebih singkat atau lebih panjang (TB
Care I, 2015). Beberapa istilah dalam pelacakan kontak menurut
WHO dapat dilihat pada tabel 2 (WHO, 2012).
19
Tabel 2. Beberapa istilah dalam pelacakan kontak
Istilah
Kasus indeks
(index case)
Kontak
Household contact
Kontak dekat
(Close contact)
Pelacakan kontak
Identifikasi dan
prioritisasi kontak
Evaluasi klinik
kontak
Definisi
Kasus TB baru atau rekuren yang pertama
teridentifikasi dari semua umur pada sebuah rumah
tangga (household) spesifik atau kondisi serupa
lainnya dimana seseorang berisiko terpajan.
Seseorang yang telah terpajan dengan sebuah kasus
indeks.
Seseorang yang berbagi tempat tinggal tertutup yang
sama selama satu malam atau lebih atau selama
periode yang sering atau berkepanjangan pada siang
hari selama 3 bulan sebelum permulaan dari episode
pengobatan saat ini.
Seseorang di luar household namun berbagi sebuah
ruangan tertutup, seperti tempat berkumpul sosial,
tempat kerja, selama periode waktu panjang pada
siang hari dengan kasus indeks selama 3 bulan
sebelum permulaan episode pengobatan saat ini.
Sebuah proses sistematis ditujukan untuk
mengidentifikasi kasus TB yang sebelumnya tidak
terdiagnosis di antara kontak dari seorang kasus
indeks. Pada beberapa keadaan, tujuannya juga
menguji LTBI untuk mengidentifikasi kandidat
untuk pengobatan preventif. Penyelidikkan kontak
terdiri atas 2 kompenen, yaitu identifikasi dan
prioritisasi kontak serta evaluasi klinik.
Sebuah proses sistematis untuk mengidentifikasi
kontak dengan TB atau kontak yang berisiko
mengalami TB. Untuk tujuan rekomendasi ini,
definisi identifikasi dan prioritisasi kontak termasuk
wawancara dengan kasus indeks untuk mendapatkan
nama dan usia kontak dan penilaian risiko kontak
mengalami TB (biasanya berdasarkan adanya gejala
yang sesuai dengan TB), untuk menentukan siapa
saja yang memerlukan evaluasi klinik.
Keterangan: semua kasus indeks harus dinilai dengan
kriteria di atas untuk menentukan apakah pelacakan
kontak harus dilakukan. Pelacakan kontak biasanya
tidak dilakukan untuk kasus indeks dengan TB
ekstraparu, kecuali anak usia <5 tahun. Pelacakan
kontak untuk kasus indeks anak usia <5tahun
dilakukan untuk mengidentifikasi kasus sumber..
Sebuah proses sistematik untuk diagnosis atau
menyingkirkan TB aktif di antara kontak. Evaluasi
klinik dilakukan jika hasil identifikasi dan prioritisasi
kontak menunjukkan sebuah risiko mengalami TB.
Untuk tujuan rekomendasi ini, definisi evaluasi
20
klinik kontak meliputi penilaian gejala yang sesuai
TB. Keterangan: Tujuan pemeriksaan kontak adalah
menemukan kasus TB yang sebelumnya belum
terdiagnosis. Tujuan evaluasi klinik adalah untuk
mendiagnosis atau menyingkirkan TB, dan pada
beberapa keadaan, untuk mengidenifikasi dan
mengobati LTBI. Pendekatan yang digunakan
bergantung pada sumber daya dan keadaan, namun
pada semua kondisi, kontak harus diwawancarai
untuk menentukan apakah mereka memiliki gejala
yang konsisten dengan TB, dan mereka harus
dievaluasi lebih lanjut jika ditemukan gejala
Keterangan: TB: tuberkulosis, LTBI: latent tuberculosis infection.
(WHO, 2012)
b. Tujuan Pelacakan Kontak
Tujuan pelacakan kontak adalah diagnosis awal dan pengobatan
kontak yang tertular penyakit sehingga memutuskan penularan dan
mengurangi morbiditas dan mortalitas pada individu terpengaruh (Fox
et al., 2012).
Tujuan utama pelacakan kontak adalah mengidentifikasi kasus
TB, dengan asumsi jika diagnosis bisa ditegakkan lebih awal akan
meminimalisasi penularan di masyarakat dan perkembangan penyakit
pada kasus yang baru saja ditemukan. Pelacakan kontak juga
menemukan kandidat untuk pengobatan LTBI. Tujuan lain pelacakan
kontak adalah penyelidik kontak dapat bertindak penghubung (liaison)
utama antara layanan kesehatan dan pasien atau masyarakat pada
umumnya. Penyelidik kontak juga mengidentifikasi isu lain yang
mengganggu kepatuhan pengobatan pasien, maupun kebutuhan akan
dukungan sosial tertentu (TB Care I, 2015).
c. Panduan untuk Pelacakan Kontak
American
Thoracic
Society
(ATS)
pada
tahun
1976
mempublikasikan panduan singkat mengenai pelacakan, evaluasi
diagnostik dan pengobatan kontak TB. Pelacakan kontak dan
pengobatan kontak yang terinfeksi merupakan komponen penting
dalam strategi pengendalian TB namun panduan nasional belum
21
pernah diperbarui sejak tahun 1976. The Centre for Disease Control
and Prevention (CDC) tahun 2005 memperbarui panduan mengenai
pelacakan pajanan TB, transmisi dan pencegahan kasus TB di masa
depan melalui pelacakan kontak (CDC, 2005). The Centre for Disease
Control
and
Prevention
merekomendasikan
identifikasi
dan
menawarkan pengobatan bagi semua close contact dari seseorang
dengan TB aktif (Tornee et al., 2005).
d. Pertimbangan dalam Melakukan Pelacakan Kontak
The World Health Organization merekomendasikan pelacakan
kontak di negara berpenghasilan rendah dan sedang pada dua populasi
risiko tinggi yaitu anak usia <5 tahun dan individu yang terinfeksi
HIV, atau saat indeks kasus memiliki karakteristik: TB paru dengan
pengecatan sputum positif, multidrug-resistant TB (MDR-TB) atau
extensively drug resistant TB (XDR-TB), infeksi HIV atau anak usia
<5 tahun (WHO, 2012).
Pelacakan kontak harus dipertimbangkan jika indeks pasien
terkonfirmasi atau terduga memiliki TB paru, laringeal atau pleural.
Pelacakan direkomendasikan jika pengecatan sputum mikroskopis
menemukan BTA. Jika BTA tidak ditemukan pada 3 pemeriksaan
sputum, pelacakan tetap direkomendasikan jika radiografi dada
menunjukkan adanya kavitas di paru. Pelacakan kontak juga harus
dipertimbangkan jika radiografi dada konsisten dengan TB paru.
Peyelidikan kontak dari individu dengan BTA positif atau kultur
positif dan TB kavitas disusun sebagai prioritas tertinggi. Waktu
dimulainya pelacakan kontak bergantung pada ketersediaan sumber
daya yang dialokasikan (CDC, 2005).
Waktu terjadinya transmisi dalam hubungannya dengan
pelacakan kontak masih belum jelas. Sebagian besar transmisi
household mungkin terjadi sebelum pelacakan kontak sehingga
pelacakan mungkin terlambat, sebaliknya pelacakan kontak mungkin
22
terjadi sebelum anggota household memiliki waktu cukup untuk
mengalami TB aktif (Kasaie et al., 2014).
e. Pelacakan Household Contact
1. Wawancara dan identifikasi kontak
Saat pelacakan kontak dimulai, kasus indeks harus diwawancarai
sesegera mungkin setelah diagnosis (biasanya dalam 1 minggu)
untuk mendapatkan nama anggota household. Wawancara
idealnya dilakukan oleh seseorang yang berbicara dengan bahasa
yang sama dengan pasien indeks dan terbiasa dengan konteks
sosial dan budaya. Jika pasien indeks sudah meninggal, pelacakan
bisa dilakukan jika informasi dapat dikumpulkan dari anggota
keluarga. Informasi yang diperoleh dari wawancara harus tercatat
pada formulir terstandar (WHO, 2012).
2. Menentukan algoritma screening dan evaluasi klinik
Algoritma yang tepat untuk screening kontak dan diagnosis TB
harus
dibuat.
Uji
screening
membedakan
orang
dengan
kemungkinan tinggi memiliki TB aktif dibandingkan mereka yang
tidak mungkin memiliki TB aktif. Individu dengan uji screening
positif akan menjalani evaluasi klinik dan uji diagnostik untuk
mengkonfirmasi atau menyingkirkan TB. Uji screening yang biasa
digunakan antara lain (TB Care I, 2015):
-
Screening untuk batuk yang berlangsung lebih dari 2 minggu
-
Screening untuk gejala yang sesuai dengan TB, termasuk
batuk, hemoptisis, penurunan berat badan, demam, keringat
malam.
-
Radiografi dada
Uji diagnostik yang digunakan antara lain (TB Care I, 2015):
-
Pengecatan sputum mikroskopi
-
Kultur sputum
-
Uji molekular cepat, seperti Xpert MTB/RIF
23
Pemilihan algoritma screening untuk pelacakan kontak dipengaruhi
oleh faktor berikut ini (TB Care I, 2015):
a) Tujuan pelacakan kontak
Diagnosis penyakit aktif saja dibandingkan identifikasi
penyakit aktif dan LTBI memerlukan pendekatan screening
yang berbeda.
b) Model pelacakan kontak yang digunakan
Ketersediaan dan kemudahan uji screening sangat ditentukan
oleh
tempat
dilakukannya
screening,
sebagai
contoh
screening yang dilakukan oleh kader kesehatan di lapangan
(rumah atau tempat kerja kasus indeks) akan lebih melibatkan
screening gejala. Sementara screening yang dilakukan di
fasilitas kesehatan akan melibatkan foto toraks atau uji
lainnya. Uji diagnostik juga sangat ditentukan oleh
kemampuan diagnostik fasilitas kesehatan lokal.
c) Biaya
Biaya
meliputi
biaya
untuk
pemeriksaan
(peralatan,
perbekalan, staf) maupun biaya operasional dalam melakukan
screening.
d) Akurasi dan hasil algoritma
Pertimbangan harus memperhatikan sensitivitas (kemampuan
untuk mendeteksi TB pada pasien dengan TB) dan spesivitas
(kemampuan untuk menyingkirkan TB pada pasien tanpa TB)
uji screening dan diagnostik yang digunakan. Karakteristik
pemeriksaan akan menentukan proporsi kasus prevalen yang
akan terdeteksi dan proporsi hasil positif palsu pada
screening maupun evaluasi klinik sehingga memiliki dampak
penting pada biaya pelacakan kontak.
24
3. Memilih model untuk pelacakan kontak
Terdapat beberapa cara untuk melakukan pelacakan kontak, yaitu
(WHO, 2012; TB Care I, 2015):
a) Pelacakan kontak aktif - kunjungan rumah tangga
Panduan WHO sangat menyarankan kunjungan rumah tangga
(pelacakan kontak aktif) sebagai pendekatan yang paling
bermanfaat.
Kunjungan
rumah
tangga
menyediakan
pengecekan informasi yang didapat dari kasus indeks tentang
jumlah orang yang tinggal serumah maupun struktur fisik dan
sosial
dari
rumah.
Kunjungan
rumah
tangga
juga
menumbuhkan hubungan yang lebih kuat antara petugas
kesehatan, keluarga dan masyarakat. Pada pendekatan ini,
seseorang
yang
melakukan
pelacakan
kontak
harus
mengunjungi rumah dari kasus indeks untuk mengidentifikasi
household
contact,
melakukan
wawancara
dan
mengembangkan daftar prioritas untuk evaluasi klinik. Semua
orang bergejala, orang dengan infeksi HIV atau berisiko
terinfeksi HIV dan anak-anak di bawah 5 tahun harus dirujuk
untuk
evaluasi
klinik.
Kunjungan
rumah
menekankan
pentingnya identifikasi dan evaluasi kontak dan dapat
memastikan pandangan akurat mengenai keadaan pajanan.
Seorang visitor dapat membuat penilaian lingkungan dari
tempat tinggal dan menyediakan konsultasi dan pendidikan
mengenai gejala yang harus segera mendapat bantuan medis.
Kunjungan rumah juga memberikan kesempatan untuk
identifikasi kebutuhan dukungan sosial.
b) Pelacakan kontak pasif - undangan kontak
Jika kunjungan rumah tangga sulit dilaksanakan maka
pendekatan lain yang bisa dilakukan adalah undangan kontak
(pelacakan kontak pasif), dimana kontak diundang untuk
mendatangi pusat layanan kesehatan oleh kasus indeks untuk
25
evaluasi. Modifikasi lain dari pendekatan ini adalah meminta
kasus indeks untuk memberitahukan anggota rumah tangga
agar mengunjungi pusat layanan kesehatan jika mereka
mengalami gejala yang sesuai dengan TB.
4. Melakukan kunjungan rumah tangga
Jika sumber daya manusia mencukupi, orang yang melakukan
pelacakan kontak harus mengunjungi rumah kasus indeks untuk
memastikan bahwa semua kontak diwawancarai dan dirujuk untuk
evaluasi jika ada indikasi. Kunjungan rumah akan memungkinkan
pandangan yang lebih akurat dari kondisi pajanan yang sebenarnya
(WHO, 2012). Kunjungan rumah tangga sangat dianjurkan.
Kunjungan harus sesegera mungkin dilaksanakan setelah kasus
indeks teridentifikasi, idealnya dalam waktu satu minggu.
Kunjungan harus dijadwalkan dan dilakukan pada saat sebagian
besar anggota rumah tangga berada di rumah. Jika ditemukan
individu bergejala, maka mereka harus dibawa ke pusat layanan
kesehatan secepatnya, ditemani oleh kader kesehatan (TB Care I,
2015). Pelacakan kontak TB dapat dilihat pada gambar 2.
26
.
Gambar 2. Pelacakan Kontak TB
Keterangan:
SS+: sputum smear positive; M/XDR-TB: multiple/extensive drug resistant
tuberculosis; PLHIV: persons living with human immunodeficiency virus.
* Bergantung pada kebijakan dan sumber daya.
(TB Care I, 2015)
5. Pengawasan dan evaluasi
Data mengenai pelacakan kontak harus dikumpulkan dalam format
terstandar. Program pengendalian TB harus mengevaluasi
efektivitas
proses
pelacakan
kontak
dan
mengembangkan
intervensi untuk memperbaiki pelaksanaan. Evaluasi berkelanjutan
pada kasus aktif yang ditemukan dan individu dengan LTBI harus
dilakukan untuk menentukan apakah intervensi menghasilkan hasil
27
yang diharapkan. Pengumpulan data untuk pelacakan kontak
memiliki beberapa tujuan. Pengumpulan sistematik data akan
memungkinkan analisis hasil pelacakan kontak secera keseluruhan
dan untuk kelompok tertentu dan kondisi epidemiologis tertentu.
Data yang dikumpulkan dalam formulir indikator pelayanan
bermanfaat untuk evaluasi tujuan pelaksanaan program (TB Care
I, 2015)
6. Persetujuan dan Kerahasiaan
Mempertahankan
kerahasiaan
selama
pelacakan
kontak
merupakan tantangan karena hubungan sosial di antara kasus
indeks dan kontaknya. Kasus indeks dan kontaknya harus
diperlakukan dengan hormat dan kerahasiaan harus dijaga.
Panduan program yang ada harus menaati asas kerahasiaan dan
persetujuan (WHO, 2012; TB Care I, 2015).
7. Susunan Kepegawaian dan Pelatihan
Pelacakan kontak harus termasuk dalam aktivitas rutin dari
program pengendalian TB. Pada kondisi dimana penyelidian
kontak belum pernah dilakukan, tersedianya pegawai untuk
melakukan fungsi pelacakan kontak akan memudahkan proses.
Seseorang yang melaksanakan pelacakan kontak antara lain
pekerja kesehatan, kader kesehatan atau mantan pasien TB.
Pekerja kesehatan yang melakukan screening pada kasus indeks
dan melakukan pelacakan kontak harus terbiasa dengan kondisi
sosial dan budaya masyarakat tempat mereka bekerja. Mereka
harus dilatih mengenai pentingnya pelacakan kontak dalam
pengendalian TB dan kemampuan wawancara, pengumpulan data
maupun pentingnya follow-up dan pelaporan (WHO, 2012).
Workshop pelatihan harus dilakukan bagi semua anggota staf
yang ikut berperan dalam pelacakan kontak. Anggota staf yang
telah memiliki pengalaman mengenai pelacakan kontak dapat
28
berperan serta dalam diskusi dan membuat masukan tentang
bagaimana meningkatkan proses. Pelatihan akan lebih efektif jika
memiliki fokus praktis, memberi kesempatan untuk berperan serta
dan pengenalan aktivitas dan dokumentasi terkait program
pelacakan kontak. Materi workshop pelatihan dapat dilihat pada
tabel 3 (TB Care I, 2015).
Tabel 3. Materi pelatihan
a. Latar belakang dan alasan pelacakan kontak
b. Penjelasan mengenai strategi lokal untuk pelacakan kontak:
- Menggambarkan model pelacakan kontak dan algoritma untuk
screening.
- Mendiskusikan strategi untuk mengidentifikasi kontak risiko tinggi,
berdasarkan faktor risiko klinik.
- Mendiskusikan strategi untuk kunjungan rumah, membujuk kontak
untuk menerima screening, termasuk peran serta dan diskusi kasus.
- Memilih algoritma untuk follow-up dan pengobatan kontak dengan
hasil abnormal.
- Mendiskusikan bagaimana mengatasi hambatan partisipasi dalam
screening.
- Presentasi materi promosi kesehatan yang akan membantu staf
membujuk kontak untuk berpatisipasi dalam screening.
c. Pendekatan praktis untuk keberhasilan pelacakan kontak:
- Menyajikan pelajaran dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di
negara setempat
- Menyajikan studi kasus dari negara lainnya, jika dapat diterapkan
d. Pengawasan dan evaluasi
- Menjelaskan prosedur pelaporan dan pengawasan.
e. Isu pendanaan dalam pelacakan kontak
(TB Care I, 2015)
B. KERANGKA TEORITIS
Kerangka teoritis adalah dukungan dasar teoritis sebagai dasar
pemikiran dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi peneliti.
Kerangka teoritis adalah bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan
penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan pokok masalah yang
29
ada dalam penelitiannya. Kerangka teoritis penelitian dapat dilihat pada
gambar 3.
Individu dengan
gejala TB
Memeriksakan diri ke
fasilitas kesehatan
Passive case
finding
Diagnosis TB BTA (+)
Tertunda atau
terlewatkannya diagnosis
TB pada sebagian
individu
Temuan pasien TB paru
BTA (+) rendah
Tertundanya
pengobatan TB
Penularan TB di
masyarakat tetap tinggi
Faktor dari pasien:
- Rendahnya pengetahuan
tentang gejala TB
- Stigma
- Jenis kelamin wanita
- Kecenderungan untuk
mendatangi ahli
pengobatan tradisional
- Kemiskinan
Faktor dari sistem
kesehatan:
- akses menuju fasilitas
kesehatan
- keterbatasan sumber
daya untuk melakukan
penegakan diagnosis
TB
- kurangnya
pengetahuan tenaga
kesehatan mengenai
TB
- kesalahan diagnosis.
Gambar 3. Kerangka Teoritis
Keterangan: TB: tuberkulosis, BTA: basil tahan asam
C. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
Kerangka konsep penelitian adalah dasar pemikiran dari penelitian yang
disintesakan dari fakta-fakta, observasi dan telaah kepustakaan. Kerangka
konsep memuat teori, dalil atau konsep-konsep yang dijadikan dasar dalam
penelitian. Uraian dalam kerangka berpikir menjelaskan hubungan dan
keterkaitan antara variabel penelitian yang dijelaskan secara mendalam dan
30
relevan dengan permasalahan yang diteliti sehingga dapat dijadikan dasar
untuk menjawab permasalahan penelitian.
Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan dengan menggunakan
strategi DOTS. Penemuan pasien BTA positif pada strategi DOTS
menggunakan metode PCF dengan promosi aktif. Banyak individu dengan
TB aktif tidak mengalami gejala TB khas pada tahap awal penyakit. Passive
case finding menyebabkan terlewatkannya atau tertundanya diagnosis TB
pada sebagian orang sehingga temuan pasien TB BTA (+) masih rendah.
Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya temuan pasien TB BTA (+)
adalah faktor dari pasien antara lain rendahnya pengetahuan tentang gejala
TB, stigma, jenis kelamin wanita, kemiskinan, mendatangi ahli pengobatan
tradisional dan faktor dari sistem kesehatan antara lain akses menuju fasilitas
kesehatan, keterbatasan sumber daya untuk melakukan penegakan diagnosis
TB, kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan mengenai TB dan kesalahan
diagnosis.
Diperlukan strategi penemuan kasus baru untuk meningkatkan CDR TB
paru, salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah pelacakan household
contact dari pasien TB paru BTA (+). Penelitian ini bertujuan mengetahui
peran pelacakan household contact dalam meningkatkan CDR TB paru
dibandingkan metode passive case finding saja. Kerangka konseptual
penelitian dapat dilihat pada gambar 4.
31
Individu dengan
gejala TB
Memeriksakan diri ke
fasilitas kesehatan
Passive case
finding
Diagnosis TB
BTA (+)
Pelacakan household contact
dari pasien TB paru BTA (+)
Tertunda/terlewatkannya
diagnosis TB pada individu
di lingkungan sekitar pasien
TB BTA (+)
Temuan pasien TB paru
BTA (+) meningkat
Pengobatan TB
meningkat
Faktor dari pasien:
- Rendahnya pengetahuan
tentang gejala TB
- Stigma
- Jenis kelamin wanita
- Kecenderungan untuk
mendatangi ahli
pengobatan tradisional
- Kemiskinan
Faktor dari sistem
kesehatan:
- akses menuju fasilitas
kesehatan
- keterbatasan sumber
daya untuk melakukan
penegakan diagnosis
TB
- kurangnya
pengetahuan tenaga
kesehatan mengenai
TB
- kesalahan diagnosis.
Penularan TB di
masyarakat menurun
Gambar 4. Kerangka konseptual penelitian
Keterangan:
: Area Penelitian.
: Bukan Area Penelitian.
TB: tuberkulosis, BTA: basil tahan asam
32
D. HIPOTESIS
Berdasarkan kerangka berpikir diatas diajukan hipotesis kerja penelitian
sebagai berikut:
1. Terdapat peran pelacakan household contact oleh kader kesehatan
dalam meningkatkan case detection rate TB dibandingkan metode
passive case finding saja.
Download