8 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Perilaku

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Perilaku Sopan Santun
a. Perilaku
Perilaku menurut Sujiono (2009: 126) merupakan bagian dari budi
pekerti yang dapat membentuk sikap terhadap manusia, tuhan, diri sendiri,
keluarga, masyarakat, bangsa dan alam sekitar. Pendapat senada juga
dikemukakan dalam Teori Behaviors, Skinner (1953) bahwa seluruh
perilaku umat manusia dapat dijelaskan atau diamati sebagai respon yang
terbentuk dari berbagai stimulus
yang pernah diterimanya dari
lingkungannya (Sujiono, 2009: 140).
Sunardi (Adisusilo, 2014: 1) berpendapat bahwa perilaku
merupakan sinonim dari aktivitas, reaksi, aksi, kinerja, atau reaksi. Secara
umum perilaku adalah apa yang dilakukan dan dikatakan seseorang.
Berdasarkan beberapa pernyataan yang telah disajikan di atas,
maka dapat diambil kesimpulan tentang perilaku. Perilaku adalah bagian
dari budi pekerti yaitu cerminan kepribadian seseorang yang membentuk
sikap yang tampak dalam perbuatan dan interaksi terhadap orang lain
dalam lingkungan sekitarnya.
Perilaku anak usia dini mencakup moral, disiplin, sikap beragama,
sosial, emosi dan konsep diri. Pengembangan moral pada anak usia dini
berkaitan dengan Pendidikan Karakter yang diajarkan di sekolah.
Pendidikan Karakter memberikan kesempatan untuk mengembangkan
perilaku moral pada anak.
Moral berasal dari bahasa Latin Mores yang artinya tata cara,
kebiasaan dan adat. Menurut Hurlock moralitas adalah kebiasaan yang
terbentuk dari standar sosial yang juga dipengaruhi dari luar individu
(Utami, dkk., 2013: 483). Pendapat lain dari Immanuel Kant moral adalah
8
9
kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah
kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita (Utami, dkk.,
2013: 483).
Berdasarkan
pendapat
beberapa
para
ahli
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa moralitas adalah sistem kepercayaan, penghargaan,
dan ketetapan tentang perbuatan benar dan salah yang terbentuk dari
kebiasaankebiasan dari standar sosial yang dipengaruhi dari luar individu
atau sesuai dengan harapan masyarakat atau kelompok sosial tertentu.
Pendidikan moral akan berhasil apabila pendidikan itu dilakukan
sesuai dengan tahapan perkembangan moral anak. Perilaku moral tidak
diperoleh begitu saja, melainkan harus ditanamkan. Hal ini dikarenakan
pada saat lahir anak belum memiliki konsep tentang perilaku anak yang
baik dan tidak baik. Selain itu, pemahaman anak tentang mana yang benar,
bertindak untuk kebaikan bersama, dan menghindari hal yang salah belum
dikembangkan dalam diri anak. Awalnya anak berperilaku hanya karena
dorongan naluriah saja yang seolah tak terkendali. Atas dasar tersebut
maka pada diri anak harus ditanamkan perilaku moral yang sesuai dengan
standar yang berlaku dalam kelompok masyarakat di mana ia tinggal
(Utami, dkk., 2013: 484).
Pada usia 4-6 tahun anak mulai menyadari dan mengartikan bahwa
sesuatu tingkah laku ada yang baik dan tidak baik. Pada usia 4
tahun perkembangan moral anak semakin luas di usia ini
pengetahuan anak tentang nilai dan norma sebagai dasar perilaku
moral berkembang luas. Anak belajar mengetahui tentang apa yang
seharusnya ia lakukan dalam berinteraksi dengan teman-teman dan
guru mereka di sekolah (Utami, dkk., 2013: 484)
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
usia 4-6 tahun anak mulai menyadari dan mengartikan bahwa sesuatu
tingkah laku ada yang baik dan tidak baik. perkembangan moral anak
semakin luas di usia ini pengetahuan anak tentang nilai dan norma sebagai
dasar perilaku moral berkembang luas. Anak belajar mengetahui tentang
apa yang seharusnya ia lakukan dalam berinteraksi dengan teman-teman
dan guru mereka di sekolah sehingga anak dapat membedakan apa yang
10
berlaku di rumah dan di sekolah, hal ini membuat anak agar dapat berlaku
sopan dimanapun ia berada.
b. Sopan Santun
1) Pengertian Sopan Santun
Secara etimologis sopan santun berasal dari dua kata, yaitu kata
sopan dan santun. Keduanya telah digabung menjadi sebuah kata
majemuk. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sopan santun dapat
diartikan sebagai berikut: Sopan artinya hormat dengan tak lazim
(akan, kepada) tertib menurut adab yang baik. Atau bisa dikatakan
sebagai cerminan kognitif (pengetahuan). Sedangkan santun artinya
halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan, sabar;
tenang. Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan
pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan).
Zuriah (2007: 139) mengatakan bahwa sopan santun yaitu
norma tidak tertulis yang mengatur bagaimana seharusnya bersikap
dan berperilaku. Sopan santun merupakan istilah bahasa jawa yang
dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang menjunjung tinggi
nilai-nilai unggah-ungguh.
Sopan santun menurut Taryati (Zuriah 2007:71) adalah suatu
tata cara atau aturan yang turun-temurun dan berkembang dalam suatu
budaya masyarakat, yang bermanfaat dalam pergaulan dengan orang
lain, agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian, hormatmenghormati menurut adat yang telah ditentukan. Adisusilo (2014: 54)
berpendapat bahwa sopan santun adalah peraturan hidup yang timbul
dari hasil pergaulan sekelompok orang. Sopan santun terbentuk oleh
kebiasaan masyarakat di daerah tertentu maka pada umumnya tidak
tertulis, tetapi menjadi kebiasaan lisan saja, yang jika dilanggar akan
mendapat celaan dari masyarakat, tetapi jika ditaati akan mendapat
pujian dari masyarakat.
Axia dan Baroni (2009) berpendapat bahwa, “Politeness is a
complex linguistic means used to maintain good interactions with
11
other people” (hlm. 918). Kesopanan adalah suatu alat yang digunakan
untuk memelihara interaksi yang baik dengan orang lain.
Brown dan Levinson (Kightley, 2009: 512) mendefinisikan
kesopanan
sebagai
sejumlah
strategi
yang
dirancang
untuk
melestarikan atau memperoleh citra diri dan keinginan untuk dihargai
publik. Peran dari kesopanan adalah untuk memelihara suatu hubungan
yang harmonis antar pribadi sepanjang interaksi tersebut (Sukarno,
2010: 60).
Berdasarkan
beberapa
pendapat
tersebut
dapat
ditarik
kesimpulan bahwa sopan santun merupakan istilah bahasa Jawa yang
dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang menjunjung tinggi
nilai-nilai menghormati, menghargai, dan berakhlak mulia dan
dianggap sebagai tuntunan pergaulan sehari-hari masyarakat itu.
2) Implementasi Perilaku Sopan Santun pada Anak Usia Dini
Upaya pembisaan sikap sopan santun agar menjadi bagian dari
pola hidup seseorang yang dapat dicerminkan melalui sikap dan
perilaku keseharian. Sopan santun sebagai perilaku dapat dicapai oleh
anak melalui berbagai cara.
Keberhasilan pendidikan sopan santun ditentukan oleh berbagai
faktor lingkungan yang mengelilinginya, baik faktor intern maupun
ekstern. Dikatakan demikian karena pendidikan sopan santun tidak
dapat berdiri sendiri dan selalu berkaitan dengan hal lainnya.
Kemungkinan berkaitnya sopan santun dalam keluarga akan kelihatan
dalam perilaku di masyarakat, dan pendidikan di masyarakat akan
berkaitan dengan pendidikan di sekolah.
Implementasi perilaku sopan santun pada anak usia dini
menurut Yus (2011:55) meliputi:
a) Kebiasaan anak mengucapkan salam
Cara mengajarkan kebiasaan mengucapkan salam kepada anak
yaitu dengan menyambut kedatangan anak di gerbang sekolah
12
sambil mengucapkan salam dan ketika masuk kelas guru
membiasakan mengucapkan salam.
b) Kebiasaan anak berdoa dengan tertib
Untuk mengajarkan kebiasaan berdoa dengan tertib kepada anak,
guru dapat mengajak anak untuk berdoa sebelum dan sesudah
kegiatan pembelajaran dan sebelum dan sesudah makan dan
minum.
c) Kebiasaan anak bertutur kata yang baik
Agar anak memiliki tutur kata yang baik, guru mengajarkan anak
mengucapkan terima kasih, memberikan bimbingan ketika anak
mulai berkata kasar dan berteriak ketika proses pembelajaran
maupun bermain.
d) Kebiasaan anak bertingkah laku yang baik
Menanamkan sikap dan perilaku yang baik kepada anak, guru
dapat melakukannya dengan membiasakan anak mencium tangan
orang yang lebih tua ketika berjabat tangan, menerima sesuatu
dengan tangan kanan, mengucapkan terima kasih ketika diberi
sesuatu dan permisi ketika lewat di depan orang yang lebih tua.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
menanamkan pembelajaran sopan santun harus mengacu pada
indikator yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak sehingga
anak benar-benar siap menerima pembelajaran perilaku sopan santun
tersebut.
3) Penilaian Perilaku Sopan Santun
Sopan santun adalah perilaku yang halus dan baik dari sudut
pandang tata bahasa ataupun cara berperilaku terhadap orang lain.
Indikator dalam Tingkat Pencapaian Perkembangan untuk kelompok B
dalam mengenal perilaku baik/ sopan dan buruk menurut Pusat
Kurikulum-Balitbang Departemen Pendidikan Nasional (2007) adalah
sebagai berikut: a) bersikap ramah, b) meminta tolong dengan baik, c)
berterima kasih jika memperoleh sesuatu, d) berbahasa sopan dalam
13
berbicara (tidak berteriak), e) mau mengalah, f) mendengarkan orang
tua/ teman berbicara, g) tidak mengganggu teman, h) memberi dan
membalas salam, i) menutup mulut dan hidung bila bersin/ batuk, j)
menghormati yang lebih tua, k) menghargai teman/ orang lain, l)
mendengarkan dan memperhatikan teman berbicara, m) mengucap
salam, dan n) menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang
lebih tua.
Indikator dari perkembangan nilai-nilai agama dan moral
dalam tingkat pencapaian perkembangan mengenal perilaku baik/
sopan dan buruk pada kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan
Pringkuku adalah: a) bersikap ramah, b) berbahasa sopan dan meminta
tolong dengan baik, dan c) mengucap salam. Indikator tersebut telah
disesuaikan dengan kondisi dan situasi sekolah masing-masing serta
kebutuhan anak didik yang didasarkan Permendiknas nomor 58 tahun
2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini.
Berdasarkan beberapa indikator tersebut, penilaian sikap sopan
santun mengacu pada tiga indikator dalam tingkat pencapaian
perkembangan mengenal perilaku baik/ sopan dan buruk. Hal tersebut
telah disesuaikan dengan silabus kurikulum kelompok B yang
digunakan pada TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku. Indikator
tersebut adalah sebagai berikut:
a) Bersikap ramah
Diamati ketika proses pembelajaran dan dihitung dari jumlah anak
yang mampu mendengarkan guru/ teman berbicara, tidak
mengganggu teman, dan mau berbagi dengan teman.
b) Berbahasa sopan dan meminta tolong dengan baik
Diamati ketika proses pembelajaran dan dihitung dari jumlah anak
yang mampu bertutur kata sopan (tidak berteriak dan mengucap
kata kasar), meminta tolong dengan baik, dan berterima kasih juka
menerima sesuatu dari orang lain.
14
c) Mengucap salam
Diamati ketika proses pembelajaran dan dihitung dari jumlah anak
yang mampu memberi salam, menjawab salam, dan berdo’a
dengan tenang dan khusyu’.
2. Hakikat Metode Sosiodrama
a. Hakikat Metode
Metode berasal dari bahasa latin yaitu “method” yang berarti jalan.
Pengertian tersebut senada dengan pendapat dari Adisusilo (2014: 86)
yang menyatakan bahwa metode adalah jalan atau cara dalam mencapai
sesuatu, sedangkan menurut Asril (2010: 2), metode merupakan cara
menyampaikan materi agar sampai pada tujuan. Pendapat lain dari Yus
(2011: 133) menyatakan bahwa metode merupakan cara yang berfungsi
untuk mencapai tujuan kegiatan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa metode adalah cara, jalan, petunjuk untuk melaksanakan suatu
kegiatan yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan kegiatan.
b. Metode Sosiodrama
Kata drama adalah suatu kejadian atau peristiwa dalam kehidupan
manusia yang mengandung konflik kejiwaan, pergolakan, clash atau
benturan antara dua orang atau lebih. Metode sosiodrama merupakan
metode mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada peserta didik
tentang pembelajaran tertentu (Anitah, 2009: 112).
McLennan (2011) berpendapat, “Sociodrama is a step-by-step tool
of creative, dramatic exploration that uses role-playing and improvisation
to help participants explore, analyze and resolve everyday social issues”
(hlm. 407). Sosiodrama adalah langkah kreatif, eksplorasi dramatis yang
menggunakan bermain peran dan improvisasi untuk membantu peserta
mengeksplorasi, menganalisis dan menyelesaikan isu-isu sosial sehari-hari.
Menurut Bennet (Romlah, 2001: 22), sosiodrama adalah permainan
peranan yang ditunjukkan untuk memecahkan masalah sosial yang timbul
15
dalam hubungan antar manusia. Dalam sosiodrama individu akan
memerankan suatu peranan tertentu dari situasi masalah sosial.
Mareno (Kellermann, 2006:1), berpendapat bahwa sosiodrama adalah
suatu pengalaman grup sebagai satu jalan utuh untuk eksplorasi sosial dan
transformasin konflik antar kelompok. Pendapat lain dari Winkel dan
Hasturi (2004: 67), sosiodrama merupakan salah satu teknik dalam
bimbingan kelompok yaitu role playing atau teknik bermain peran.
Sosiodrama merupakan dramatisasi dari persoalan-persoalan yang dapat
timbul dalam pergaulan dengan orang lain, tingkat konflik-konflik yang
dialami dalam pergaulan sosial.
Hughes (Riojas-Cortez, 2000: 1) mendefinisikan permainan
sosiodrama yaitu suatu jenis permainan yang melibatkan kelompok dan
masing-masing anggota kelompok memerankan suatu peran yang
dimainkan. Permainan sosiodrama merupakan salah satu jenis dari pretend
play. Smilansky (Riojas-Cortez, 2000: 1) juga mengemukakan bahwa
permainan sosiodrama sangat berperan dalam perkembangan kreatifitas,
inteligensi, keterampilan sosial dan perkembangan bahasa.
Riojas-Cortez (2001) berpendapat “Sociodramatic play is a
mediation tool that children use for learning and is also a vehicle that can
assist teachers to learn about their students” (hlm. 35). Permainan
sosiodrama adalah suatu alat penyelesaian masalah yang digunakan anak
untuk belajar dan juga sebagai sarana yang dapat membantu para guru
untuk belajar tentang siswanya.
Metode sosiodrama merupakan metode mengajar dengan cara
mempertunjukkan
kepada
peserta
didik
tentang
masalah-masalah
hubungan sosial, untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Masalah
hubungan sosial tersebut didramatisasikan oleh peserta didik di bawah
pimpinan guru.
Melalui metode sosiodrama guru ingin mengajarkan cara-cara
bertingkah laku dalam hubungan antar sesama manusia. Cara yang paling
baik untuk memahami nilai sosiodrama adalah mengalami sendiri
16
sosiodrama, mengikuti penuturan terjadinya sosiodrama dan mengikuti
langkah-langkah guru pada saat memimpin sosiodrama (Anitah, 2009:
112).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
metode sosiodrama dalam kegiatan pengembangan anak usia dini adalah
suatu kegiatan memainkan peran dalam suatu cerita, yang menuntut kerja
sama di antara pemerannya, cerita pada umumnya diangkat dari kehidupan
sehari-hari di masyarakat.
c. Penerapan Metode Sosiodrama dalam Meningkatkan Perilaku Sopan
Santun Anak Usia Dini
Sujiono (2009: 121) mengemukakan anak usia dini belajar melalui
active learning, metode yang digunakan adalah memberikan pertanyaan
pada anak dan membiarkan berpikir atau bertanya pada diri sendiri,
sehingga hasil belajar yang didapat merupakan konstruksi anak tersebut.
Karena pada dasarnya anak memiliki kemampuan untuk membangun dan
mengkreasi pengetahuan sendiri, sehingga sangat penting bagi anak untuk
terlibat dalam proses belajar.
Salah satu metode yang dianggap efektif untuk meningkatkan
perilaku sopan santun pada anak usia dini adalah sosiodrama. Sosiodrama
memungkinkan anak untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang
lain. Karena antara usia 4-6 tahun interaksi antar teman sebaya meningkat
(Marhar, 2011: 21). Seorang anak yang mampu mengatasi permasalahan
emosinya diharapkan menjadi individu yang lebih percaya diri, tahu
kelemahan dan kelebihan sehingga mereka siap menghadapi tantangan di
jamannya. Dengan demikian diharapkan metode sosiodrama dapat
meningkatkan perilaku pada anak usia dini.
Peran yang dilakukan oleh anak pada teknik sosiodrama,
memberikan pengalaman langsung bagaimana anak berperilaku. Hal ini
sesuai pula dengan ciri berpikir anak usia dini yang dikemukakan oleh
Semiawan (Marhar, 2011: 14) antara lain realisme, yaitu kecenderungan
17
yang kuat untuk menanggapi segala sesuatu dengan hal yang riil atau
nyata.
Teknik sosiodrama juga disesuaikan dengan usia anak 4-6 tahun.
Tema yang diangkat berupa lingkungan kehidupan sehari-hari anak.
Melalui teknik sosiodrama, guru akan berdiskusi dengan anak, perilaku
yang perlu ditumbuh-kembangkan pada interaksi sosial. Di samping halhal tersebut, dengan teknik sosiodrama anak akan belajar norma-norma
kelompok.
Menurut Hughes (Ashiab, 2007: 200), tema permainan sosiodrama
untuk anak usia dini digolongkan ke tiga kategori: keluarga, karakter, dan
peran fungsional. Peran keluarga pada umumnya melukiskan ibu, bapak,
saudara kandung, dan binatang kesayangan. Peran karakter adalah pada
umumnya bersifat khayal, sebagai contoh, menjadi ninja kura-kura, atau
seorang puteri. Peran fungsional adalah selalu digambarkan dalam kaitan
dengan rencana tindakan yang spesifik; sebagai contoh, suatu anggota
pemadam api mempunyai suatu peranan tertentu. Peran yang fungsional
tidak menggambarkan perilaku hanyalah identitas yang permanen karakter
tersebut. Pada intinya, permainan sosiodrama melibatkan emosi anak,
pemikiran dan dunia eksternal mereka; yang merupakan permainan sosial
di mana anak-anak menggunakan kreativitas dan imajinasi mereka dan
mengambil peran yang berbeda ketika mereka menganggap dirinya sesuai
dengan situasi tersebut yang menyertakan penggunaan dari khayalan dan
simbolisme.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wright, Diener, dan Kemp
(2012), permainan sosiodrama di awal masa kanak-kanak meningkatkan
peluang untuk interaksi dan kerja sama/ kolaborasi, membantu
perkembangan sosial dan pengembangan emosional ketika anak-anak
menggunakan drama untuk memecahkan permasalahan, berhadapan
dengan konflik, menaklukkan ketakutan, mengadopsi perspektif yang
baru, mengatur emosi, dan ketrampilan pengaturan diri.
18
Gerungan (Budiningsih, 2008: 65) menyatakan sesungguhnya
individu mematuhi norma-norma kelompok sebagai normanya sendiri
sudah dialaminya sejak dini. Pada mulanya seorang anak mengidentifikasi
dirinya dengan orang-orang tertentu seperti orang tua, guru maupun
kawannya. Perencanaan teknik sosiodrama yang sistematis akan
membantu interaksi sosial anak, terutama tema pembelajaran yang sesuai
karakteristik anak.
Langkah-langkah pelaksanaan sosiodrama untuk anak usia dini
sebagaimana diambil dari pendapat Anitah (2011: 112) diuraikan sebagai
berikut:
1) Guru terlebih dahulu memperkenalkan sosiodrama dengan ikut serta
memainkan kejadian sederhana bersama seorang atau dua orang anak
dalam tema sopan santun.
2) Guru membacakan cerita dan anak mendengarkan.
3) Guru menunjuk beberapa orang anak untuk melaksanakan tugas
memerankan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut.
4) Guru meminta anak yang telah ditunjuk untuk latihan dan mempelajari
perannya masing-masing
5) Guru menetapkan dengan jelas masalah dan peranan yang harus
dimainkan oleh anak. Bila sosiodrama baru diadakan pertama kali,
guru memilih anak yang kiranya dapat melakukan tugas itu. Pada
kesempatan berikutnya, barulah guru menyuruh anak secara sukarela
kemudian guru menetapkan peranan mereka masing-masing.
6) Guru menetapkan peranan pendengar. Seorang atau dua orang anak
yang bertindak kurang bersungguh-sungguh dapat merusak suasana
kelas dan karenanya akan merusak sosiodrama.
7) Guru menyarankan kalimat pertama agar sosiodrama segera dapat
dimulai, selanjutnya dapat diteruskan dengan bebas.
8) Guru menghentikan sosiodrama pada detik-detik masalah diskusi
umum. Guru menanyakan pendapat pemain tentang penyelesaian itu.
19
9) Guru memberi kesempatan kepada pendengar (peserta didik lain)
untuk memberikan pendapat atau mencari pemecahan dengan cara-cara
lain, kemudian diambil keputusan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui
langkah-langkah tersebut melalui sosiodrama dapat meningkatkan sopan
santun dan diharapkan anak dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam
memecahkan suatu permasalahan tentang perilaku sopan santun.
d. Kelebihan dan Kelemahan Metode Sosiodrama
Kelebihan metode sosiodrama menurut Anitah (2011: 115) yaitu:
1) mengembangkan kreativitas peserta didik, 2) menumbuhkan bakat
peserta didik dalam seni drama, 3) peserta didik lebih memperhatikan
pelajaran karena menghayati sendiri, 4) memupuk keberanian berpendapat
di depan kelas, 5) melatih peserta didik untuk menganalisis masalah dan
mengambil kesimpulan dalam waktu singkat. Sedangkan kelemahannya
adalah: 1) adanya kurang kesungguhan para pemain menyebabkan tujuan
tak tercapai, dan 2) pendengar sering menertawakan tingkah laku pemain
sehingga merusak suasana.
Mansyur (Sagala, 2003: 213) mengemukakan kebaikan metode
sosiodrama ialah: 1) murid melatih dirinya untuk melatih, memahami, dan
mengingat bahan yang akan didramakan; 2) murid akan terlatih untuk
berinisiatif dan berkeratif. Pada waktu bermain drama para pemain dituntut
untuk mengemukakan pendapatnya sesuai dengan waktu yang tersedia; 3)
bakat yang terpendam pada murid dapat dipupuk sehingga dimungkinkan
akan muncul atau timbul bibit seni dari sekolah. Jika seni drama mereka
dibina dengan baik kemungkinan besar mereka akan jadi pemain yang baik
kelak; 4) kerja sama antar pemain dapat ditumbuhkan dan dibina dengan
sebaik-baiknya; 5) anak memperoleh kebiasaan untuk menerima dan
membagi tanggung jawab dengan sesamanya, dan 6) bahasa lisan murid
dapat dibina menjadi bahasa yang baik agar mudah dipahami orang lain.
Sedangkan kelemahan teknik sosiodrama, antara lain: 1) sebagian besar
anak yang tidak ikut bermain drama mereka menjadi kurang aktif; 2)
20
banyak memakan waktu, baik waktu persiapan dalam rangka pemahaman
isi bahan pelajaran maupun pada pelaksanaan pertunjukkan; 3)
memerlukan tempat yang cukup luas, jika tempat bermain sempit
menyebabkan gerak para pemain kurang bebas, dan 4) kelas lain sering
terganggu oleh suara pemain dan para penonton yang kadang-kadang
bertepuk tangan dan sebagainya.
Nurcholis (2007: 152), juga mengungkapkan kelebihan metode
sosiodrama antara lain: 1) melatih peserta didik untuk berkreatif dan
berinisiatif, 2) melatih peserta didik untuk memahami sesuatu dan mencoba
melakukannya, 3) memupuk bakat peserta didik yang memiliki bibit seni
dengan baik melalui sosiodrama yang sering dilakukannya dalam metode ini ,
4) memupuk kerja sama antar teman dengan baik, dan 5) membuat peserta
didik merasa senang, karena dapat terhibur oleh fragmen teman-temannya.
Sedangkan kekurangannya antara lain: 1) pada umumnya yang aktif hanya
yang berperan saja, 2) cenderung dominan unsur kreasinya daripada kerjanya,
karena untuk berlatih sosiodrama memerlukan banyak waktu dan tenaga, 3)
membutuhkan ruangan yang cukup luas, 4) sering mengganggu kelas di
sebelahnya.
Dari uraian mengenai kelebihan dan kelemahan dari metode
sosiodrama
tersebut,
dapat
disimpulkan
bahwa
semua
metode
pembelajaran pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan yang
dimiliki metode sosiodrama lebih banyak daripada kekurangannya,
sehingga apabila metode ini diterapkan dalam proses belajar mengajar,
peneliti menduga bahwa metode ini akan memberikan pembaharuan dalam
pembelajaran siswa akan lebih aktif, tidak merasakan bosan dan jenuh
ketika belajar, siswa lebih memahami tentang materi pelajaran yang telah
disampaikan, akan tetapi dalam proses pembelajaran dengan menggunakan
metode ini juga dibutuhkan guru yang kreatif dan inovatif sehingga
metode ini dapat diterapkan dengan lebih maksimal.
21
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Deni Anggreini (2013) dalam penelitian
yang berjudul: “Penerapan Metode Sosiodrama untuk Meningkatkan Perilaku
Saling Menghormati pada Kelompok A2 TK Mentari Nusa PG Lestari Nganjuk.”
Hasil penelitian diperoleh bahwa metode sosiodrama memiliki dampak positif,
yaitu dapat meningkatkan keterampilan anak dalam memainkan drama, selain itu
juga dapat melatih anak untuk berperilaku saling menghormati dengan menunggu
giliran dengan sabar, hal ini dapat dilihat dari peningkatan ketuntasan belajar anak
dalam setiap siklus yang terus meningkat. Peningkatan dalam hal produk dapat
dilihat dari perbandingan ketuntasan perilaku saling menghormati pada tahap
pratindakan dengan pascatindakan siklus III. Ketuntasan perilaku saling
menghormati pada tahap pratindakan sebesar 50,00 %. Ketuntasan perilaku saling
menghormati pada silkus III sebesar 86,21 %. Jadi, terjadi peningkatan ketuntasan
perilaku saling menghormati sebesar 36,21 %. Berdasarkan penelitian tersebut
dapat disimpulkan bahwa metode sosiodrama dapat meningkatkan perilaku saling
menghormati pada kelompok A2 TK Mentari Nusa PG Lestari Nganjuk.
Penelitian Deni Anggreini (2013) ini mempunyai kesamaan dengan
penelitian ini, yakni sama-sama menggunakan metode sosiodrama. Perbedaannya
yakni, dalam penelitian Deni Anggreini (2013) meningkatkan perilaku saling
menghormati, sedangkan penelitian ini meningkatkan perilaku sopan santun anak.
Dwi Wulan Ari Haryanti (2014) dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan
Metode Sosiodrama untuk Meningkatkan Hubungan Sosial Anak Usia Dini di
Bustanul Athfal Aisyiyah Tirto 2 Salam Magelang Jawa Tengah Tahun Ajaran
2013-2014”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode sosiodrama dapat
digunakan untuk meningkatkan hubungan sosial anak, terbukti dengan adanya
peningkatan keaktifan peserta didik dalam berhubungan sisoal, bercakap-cakap,
bermain bersama. Sebelum dilakukan tindakan, hubungan sosial peserta didik di
sekolah hanya mencapai 40,2 %, setelah dilakukan siklus pertama keaktifan dalam
berhubungan sosial peserta didik meningkat menjadi 65,4 %, sedangkan pada
siklus kedua keaktifan hubungan sosial peserta didiknya meningkat menjadi 87 %.
22
Penelitian Dwi Wulan Ari Haryanti (2014)
ini mempunyai kesamaan
dengan penelitian ini, yakni sama-sama menggunakan metode sosiodrama.
Perbedaannya yakni, dalam penelitian Dwi Wulan Ari Haryanti (2014)
meningkatkan hubungan sosial anak, sedangkan penelitian ini meningkatkan
perilaku sopan santun anak.
Rumbiani (2013) dalam penelitian yang berjudul “Menanamkan Sopan
Santun Pada Anak Usia 5-6 Tahun di Taman Kanak-Kanak Bhayangkari 2”.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan melalui hasil yang di
peroleh setelah diadakan analisis data bahwa: 1) Perencanaan pembelajaran dapat
dikategorikan “baik”, antara lain: menentukan materi tema dan sub tema,
menyesuaikan dengan materi pembelajaran, menyiapkan media jenis-jenis media
dari bahan alam, merancang pedoman observasi dan penilaian kemampuan anak.
2) Pelaksanaan pembelajaran dengan kategori “baik”, antara lain: melaksanakan
pijakan lingkungan, melaksanakan pijakan sebelum main, melaksanakan pijakan
saat main, selanjutnya melaksanakan pijakan setelah main yakni memberikan
penguatan tentang kegiatan yang telah diberikan. 3) Respon anak terhadap
pembelajaran menanamkan perilaku sopan santun: anak sudah dapat bersikap
sopan santun pada saat makan, anak dapat menyapa teman dengan sopan, anak
dapat mengucapkan terima kasih saat diberikan pertolongan atau diberikan
sesuatu.
Penelitian Rumbiani (2013) ini mempunyai kesamaan dengan penelitian
ini, yakni sama-sama meneliti tentang perilaku sopan santun pada anak usia 5-6
tahun di TK. Perbedaannya yakni, dalam penelitian Rumbiani (2013)
menggunakan metode bercerita, sedangkan penelitian ini menggunakan metode
sosiodrama.
C. Kerangka Berpikir
Kondisi awal pembelajaran ini didasarkan dari hasil pengamatan di TK
Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016 diperoleh bahwa
perilaku sopan santun pada kelompok B masih rendah dengan. Terbukti dari 18
anak di kelompok B, hanya 7 anak (38,9%) yang dapat dikategorikan berkembang
23
sangat baik dalam berperilaku sopan santun sesuai dengan tingkat pencapaian
perkembangan nilai agama dan moral. Sedangkan sisanya 11 anak (61,1%)
dikategorikan belum berkembang. Guru menggunakan metode pembelajaran yang
masih konvensional sehingga kurang memberikan banyak contoh perilaku yang
dapat diteladani dan tidak dapat diteladani. Pembelajaran pengenalan perilaku
sopan santun pada anak didik, selama ini masih menggunakan metode ceramah
sehingga kurang terjalin komunikasi interaktif antara guru dan anak. Anak sulit
untuk memahami, menangkap dan menerapkan sikap yang mencerminkan
perilaku sopan santun.
Berdasarkan kondisi awal yang terjadi di dalam proses pembelajaran di
TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016, maka
dilakukan tindakan dalam peningkatan perilaku sopan santun pada kelompok B
TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016 dengan
menerapkan metode Sosiodrama. Metode sosiodrama merupakan metode
mengajar dengan cara mempertunjukkan kepada peserta didik tentang masalahmasalah hubungan sosial, untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, dengan
diterapkannya metode pembelajaran ini, diharapkan perilaku sopan santun pada
kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016
dapat meningkat. Pelaksanaan tindakan ini dilakukan antara peneliti dengan guru
kelas dan dilaksanakan pada siklus I, siklus II dan dilanjut siklus ke-n.
Kondisi akhir dalam penelitian ini adalah dengan penerapan metode
sosiodrama pada kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun
ajaran 2015/2016 diduga dapat meningkatkan perilaku sopan santun anak.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1:
24
Kondisi
Awal
Tindakan
Guru mengajar dengan
metode pembelajaran
konvensional
Guru menerapkan metode
sosiodrama
Perilaku sopan
santun rendah.
Siklus I
(Pengenalan konsep
dan aplikasi metode
sosiodrama tema
sopan santun di
rumah)
Siklus II
(Aplikasi metode
sosiodrama tema
sopan santun di
sekolah)
Kondisi
Akhir
Diduga melalui penerapan
metode sosiodrama
perilaku sopan santun
kelompok B meningkat
Siklus ke-n
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di
atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:
Penerapan metode sosiodrama dapat meningkatkan perilaku sopan santun
kelompok B TK Negeri Pembina Kecamatan Pringkuku tahun ajaran 2015/2016.
Download