komparasi hak janda mati dalam hukum perdata dan hukum islam

advertisement
KOMPARASI HAK JANDA MATI DALAM HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM
Oleh : Fathul qorib
Pendahuluan
Dikalangan masyarakat perkawinan seolah-olah bukan merupakan suatu peristiwa
yang sakral lagi. Kesucian perkawinan seringkali dinodai oleh ketidak setiaan salah satu
pihak, sehingga seringkali pula menyebabkan pihak lainnya menderita dan tidak lagi
merasakan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Pasal 1 Undang-Undang Nomor I
Tahun 1974, perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara seorang pria sebagai
suami dengan seorang wanita sebagai istri. dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga
yang kekal, abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1.
Ketentuan di atas menampakkan bahwa pembentuk Undang-Undang berusaha
membuat suatu perkawinan sebagai peristiwa yang sakral, terbukti dari adanya
pernyataan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, akan tetapi ternyata didalam
prakteknya, banyak kaum pria melakukan perkawinan baru secara diam - diam, baik
secara sah maupun secara Islam (sirri).
Kenyataan di atas menjadikan, bahwa penghargaan antara suami terhadap istrinya
pada umumnya sudah menurun, bahkan keyakinan untuk membentuk rumah
tangga/keluarga yang kekal abadi juga sudah berkurang. Alasan yang dinampakkan
memang logis, bahkan seringkali sesuai dengan alasan kemungkinan dilakukan Poligami
(beristri lebih dari satu), seperti istri mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
istri mandul dan lain sebagainya, tetapi tidak ada pernyataan tegas bagaimana yang terjadi
apabila suami yang sakit atau suami yang mandul. Kebanyakan materi dalam UndangUndang perkawinan lebih mengutamakan kaum pria dan lebih memberikan peluang untuk
berpoligami. Kebaikan dari itu semua, ada juga dalam suatu perkawinan, seorang suami
benar-benar menyayangi istrinya, suami semacam ini tidak akan tenang di akhirat apabila
melihat istrinya tidak bahagia. Suami semacam ini, disamping memikirkan masa depan
anak atau anak-anaknya juga memikirkan masa depan istrinya (andanya). Dari sisi Islam
yang seringkali menempatkan istri “di bawah” derajad suami, didalam hukumnya
menyatakan ketegasannya untuk memasukkan istri sebagai ahli warisnya. Hukum perdata
yang juga memberikan hak kepada seorang istri (janda) sebagai ahli waris suaminya, akan
tetapi apabila dalam keluarga yang bersangkutan terdapat banyak anak kandung,
sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan oleh suami selaku pewaris tidak banyak,
maka bagian untuk jandanya juga terpengaruh.
Seorang istri yang tidak bekerja sendiri, yang kemudian ditinggal mati oleh
suaminya, maka sebenarnya penderitaanlah yang akan dialaminya, karena yang
bersangkutan tetap harus memelihara dan memenuhi kebutuhan anak atau anak-anaknya
secara memadai.
Kedudukan Dan Hak Janda Mati Dalam Hukum Perdata
Yang dimaksud dengan janda mati menurut ketentuan Hukum Perdata, adalah janda
yang ditinggal mati suaminya dalam masa perkawinan atau masih belum bercerai. Apabila
seorang suami meniggal dunia, maka diperlukan langkah-langkah yang berkaitan dengan
1
H. Junaedi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1999, halaman 38
harta kekayaannya (apabila ada) dan harta ini harus dibagi secara adil (sesuai dengan
Porsi) diantara ahli waris agar tidak menyebabkan sengketa antar mereka.
Pada Hukum Perdata terdapat pernyataan sebagai berikut :
“Hukum Waris menurut Undang-Undang (Wettelijke Erfecht) hukum waris (Ab
Intesto) (tanpa testament) (Ab lntestaat Efiecht), sebagai kebalikan dari Testamenter
Erfrecht, yang berarti Hukum Waris menurut Testament, dan masih ada juga istilah yang
dipergunakan dalam Bahasa Belanda, yakni Erfrecht Bij Vesterf) (Hukum Waris karena
kematian)”2.
Dengan demikian dikalangan masyarakat yang tunduk kepada Hukum Perdata ada
tiga macam pewarisan, yaitu tanpa surat wasiat, dengan surat wasiat dan karena kematian.
Apabila seorang suami bercerai dengan istrinya, maka istri tersebut akan menjadi janda
cerai, dan terhadapnya akan memperoleh bagian harta Gono-gini yang diperoleh selama
hidup dengan suaminya itu, akan tetapi untuk harta asal belum tentu. Ini merupakan
pembagian harta tanpa testamen, apabila suami janda yang bersangkutan meninggal dunia,
maka status janda akan menjadi janda mati, dan disamping harta Gono-gini , janda yang
bersangkutan juga memperoleh bagian warisaan atas harta suaminya. Mengenai pewarisan
ini bisa dengan testamen dan bisa pula tidak dengan testamen.
Sesuai dengan ketentuan pasal 833 KUH Perdata, maka “sekalian ahli waris menurut
hukum memperoleh hal milik atas semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia” 3.
Bunyi pasal ini memunculkan adagium yang berbunyi Le Mort Saisit Le Vif, atau yang
meninggal dunia berpegang pada yang masih hidup. Maksudnya adalah bahwa harta
warisan dari si mati akan menjadi tanggungan atau menjadi suatu kewajiban bagi yang
masih hidup untuk mengembangkannya. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
generasi berikutnya, kadangkala juga untuk modal berumah tangga dan lain sebagainya.
Selanjutnya pada pasal 832 KUH Perdata, khususnya tentang pewarisan ab intestato
yang berhak adalah keluarga sedarah dan istri (suami) yang hidup dan apabila semuanya
itu tidak ada, maka yang berhak mewarisi adalah Negara. Dengan demikian, istri
merupakan salah satu ahli waris dan suaminya.
Kedudukan seorang istri untuk menjadi ahli waris suaminya menurut Hukum
Perdata cukup kuat, bahkan pada pasal 852 a KUH Perdata dinyatakan, bahwa : “Bagian
seorang istri (suami), kalau ada anak dari perkawinanya dengan yang meninggal dunia,
adalah sama dengan bagian seorang anak”4.
Bagian seorang istri yang ditinggal mati suaminya, sama dengan bagian warisan
anak atau anak-anaknya, dan apabila tiada anak, maka bagiannya kan menjadi lebih besar
dari itu. Bisa juga dinyatakan, bahwa bagian seorang istri yang ditinggal mati suaminya,
tidak boleh lebih dari bagian terkecil anak-anak yang meninggal dunia. Walaupun
demikian, maka bagian seorang iistri biarpun bagaimana tetap sama dengan bagian anak
atau anak dari keluarga yang meninggal dunia.
Apabila perkawinan yang bersangkutan bukan perkawinan yang pertama, dan pada
perkawinan sebelumnya juga ada anak, maka bagian dari janda tidak boleh lebih dari
bagian terkecil anak atau anak-anak dari pewaris. Bagaimanapun juga seorang janda mati
tidak boleh menerima lebih dari seperempat bagian dari harta waris.
2
Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Bina Aksara, Jakarta, 1998, halaman 34
Ibid.
4 Subekti dan Thitrosudibio, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, halaman 221
3
“Dengan dasar Statsblad tahun 1935 Nomor 486, bagian janda diberikan dengan
maksud memperbaiki kedudukan seorang janda dengan adanya ketentuan yang dibuat,
bagian janda dipersamakan dengan bagian seorang anak”5.
Adanya ketentuan mengenai janda tersebut, penjagan terhadap kedudukan janda
dilakukan dengan memberikan kapada janda tersebut hak mewaris jangan sarnpai
mengurangi kepentingan dan dikurangi oteh kepentingan anak-anak pewaris, yang juga
anak kandung janda, termasuk mendesak dan didesak oleh kepentingan anak pada
perkawinan pewaris sebelumnya.
Khusus untuk janda perolehan harta warisan dari sumai yang meninggal dunia
dapat diperoleh dengan testamen ini berfungsi untuk mewujudkan keinginan suami yang
telah meninggal dunia itu, apabila bersangkutan berkeinginan memberi kepada jandanya
bagian yang lebih banyak atau untuk menghadiahkan barang-barang khusus yang tidak
diinginkannya berpindah kepada orang lain.
Sebagaimana yang disinggung pada pasal 852 a KUH Perdata, maka terdapat usaha
untuk menjaga kepentingan seorang janda dan agar jangan didesak oleh kepentingan anak
atau jangan sampai diganggu ketenangannya di rumah, yang berhubungan dengan barangbarang rumah tangga.
Apabila seorang janda mewaris bersama-sama dengan orang lain, selain dengan
anak-anaknya atau dengan anak-anak dari perkawinan sipewaris yang dahulu atau
keuntungannya, maka janda dapat menarik seluruh atau sebagian dari perabot rumah
tangga didalam kekuasannya.
Dengan demikian nampak sekali bahwa ketentuan hukum perdata sangat
memperhatikan keadaan dan kedudukan janda dalam pewaris setelah ditinggal mati
suaminya yang berkedudukan sebagai pewaris. Secara logika yang dilakukan oleh Hukum
Perdata ini dapat dibenarkan karena walaupun suami telah meninggal dunia, akan tetapi
janda tersebut adalah ibu dari anak atau anak-anak kandung suaminya, kecuali apabila
tidak ada anak, maka keadaan akan menjadi rumit.
Didalam janda cerai hidup juga demikian, karena tidak ada seorangpun yang pada
saat melangsungkan pernikahan mempunyai bayangan akan bercerai, akan tetapi karena
keadaan atau faktor-faktor lain yang menjadi pendorong, baik yang berasal dari luar para
pihak, suami dan atau istri, maupun yang disebabkan oleh ulah pada pihak sendiri. Di masa
sekarang perselingkuhan banyak terjadi, pernikahan kedua dan ketiga juga banyak terjadi,
suami istri hidup serba kekurangan juga banyak ditemui. Disamping itu, tidak jarang bagi
mereka yang bercerai berebut harta Gono-gini. Padahal ada beberapa kedudukan yang
menyebabkan beragamnya koefisien pemabagian harta Gono-gini diantaranya adalah
suami dan istri telah bekerja pada posisi yang cukup baik, suami bekerja, istrinya tidak atau
istri bekerja, suaminya tidak, ditambah dengan ada dan tidaknya anak, lalu siapa yang
harus memelihara anak atau anak-anak setelah perceraian.
Dengan berbagai keadaan di atas, maka pandangan antara Hukun Perdata dan
Hukum Islam dimungkinkan juga berbeda, seperti adanya perkawinan yang sah menurut
Islam, tetapi tidak sah secara Perdata, atau sebaliknya. Didalam perkawinan memang
terdapat harta asal, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri di
samping harta Gono-gini yang diperoleh keduanya selama perkaawinan, akan tetapi kedua
hukum di atas juga memberikan pandangan yang berbeda, misalnya menurut Hukum
5
Perdata, harta asal bisa digabung atau dengan kata lain bisa menjadi harta Gono-Gini,
sedangkan pada hukum lainnya tidak.
Pertimbangan untuk memberikan kepada seorang janda bagian warisan bisa juga
diperimbangkan dari perolehan harta Gono-gini dalam suatu perkawinan. Untuk harta
bersama dalam perkaawinan, yang juga disebut dengan harta Gono-Gini, seringkali terjadi
perlakuan yang kurang adil terhadap pihak yang bersangkutan, karena dalam prakteknya
ada beberapa keadaan yang mempengaruhinya, yaitu :
a.
Suami dan istri bekerja
b.
Suami bekerja, istrinya tidak
c.
Suami tidak bekerja, istrinya bekerja.
Dalam hal suami dan istri bekerja-sebenarnya semua urusan penghidupan adalah
tanggung jawab suami, ditemukan suami bekerja ditempat yang "enak" sedangkan istrinya
tidak, atau sebaliknya justru istrinya yang "kaya" karena memiliki penghasilan yang besar,
sedangkan suaminya tidak.
Apabila sudah demikian, maka permasalahan dalam hal pembagian harta Gono-gini
seringkali semakin kompleks atau berat, padahal seharusnya pihak pemikir
memperhatikan, bahwa didalam suatu perkawinan yang harus bertangung jawab untuk
menghidupi keluarganya haruslah disuami, dengan kata lain apabila si istri berada
dibawahnya atau si istri tidak bekerja, masalah Gono-gini tetap harus menurut ketentuan
atau kebiasaan yang berlaku, sebaliknya apabila suami yang tidak bekerja atau suami
berada di tingkat lebih bawah dari istrinya, maka logis apabila hak suami setelah
perceraian dikurangi, yang disebutkan terakhir ini tidak pernah diperhatikan.
Dengan demikian ada kemungkinan seorang suami yang pengangguran dan
menikah dengan seorang istri yang bekerja ditempat yang "enak" memperoleh harta Gonogini setengah bagian. Ini tidak adil, karena dengan menganggurnya suami, maka ia
seharusnya kehilangan jabatan sebagai Kepala Persatuan suami dan istri.
Dari keseluruhan uraian di atas, maka dapatlah ditarik suatu perhatian, bahwa
peranan suami dan atau istri didalam pengumpulan harta perkawinan ada beberapa
kemungkinan, yaitu suami dan istri sama-sama memiliki peranan dalam pengumpulan
harta perkawinan. Dalam peranan ini, bisa terjadi suami lebih dominan atau si istri yang
lebih dominan. Adakalanya suami saja yang bekerja dan berperan dalam pengumpulan
harta perkawinan, Apabila yang terjadi kenyataan ini, maka permasalahan tidak
seharusnya muncul, karena suami memang bertanggung jawab untuk kehidupan dan
penghidupan keluarganya. Selanjutnya ada pula istri yang berperan dalam pengumpulan
harta perkawinan, sehingga pada keluarga ini hanya istri yang bekerja, dan keadaan seperti
ini banyak ditemukan, baik di pedesaan maupun perkotaan. Banyak suami yang
menganggur, sehingga istrinya terpaksa bekerja untuk memperpanjang kehidupannya.
Tidak seharusnya suami semacam ini diperhitungkan dalam pembagian harta Gono-gini
apabila berlangsung perceraian, karena seharsunyalah suami yang bertanggung jawab.
Kemungkinan-kemungkinan tersebut menyebabkan perbedaan pula pada koefisien
pembagiannya, termasuk pembagian harta asal menurut Hukum Perdata.
Kedudukan Dan hak Janda Mati Menurut Hukum Islam
Menurut Hukum Islam, janda mati adalah seorang istri yang ditinggal mati oleh
suaminya sepanjang belum bercerai. Apabila seorang suami (suku jawa) meninggal, maka
tentunya akan terdapat pula harta kekayaan yang ditinggalkannya, dan harta ini harus
dibagi secara adil terhadap ahli warisnya agar tidak menimbulkan masalah dikemudian
hari.
Istilah Balu ini dapat diartikan sebagai “Pria atau Wanita yang kematian istri atau
kematian suami, jadi bukan sekedar duda atau janda karena perceraian hidup”6.
Dengan demikian, janda adalah orang yang berpisah dengan suaminya, baik karena
kematian dan bisa juga karena perceraian hidup. Yang disebutkan terakhir ini tidak
memunculkan masalah rumit, lain dengan janda karena ditinggal mati, dimana janda yang
hidup lebih lama harus menghidupi anak-anaknya dan memerlukan biaya yang tidak
sedikit, dan biaya ini antara lain juga diambil dari bagian warisan yang diterimanya.
Salah satu pengertian warisan adalah “... soal apakah dan bagaimanakah berbagai
hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu yang meninggal dunia akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup”7.
Menurut Hukum Islam dinyatakan, bahwa yang berhak menjadi ahli waris adalah :
a. Menurut garis bapak-anak (ke bawah) ialah juga anak perempuan, anak perempuan
dari anak laki-laki.
b. Menurut garis anak-bapak (ke atas) ialah bapak, ibu, kakak, dari pihak bapak dan nenek
perempuan dari pihak bapak maupun pihak ibu.
c. Menurut garis. saudara (ke samping) ialah saudara kandung, saudara tiri dari pihak
bapak, saudara tiri dari pihak ibu, juga duda dan janda8.
Menurut Hukum lslam keturunan garis ke atas, ke bawah dan juga saudara-saudara
garis ke samping dapat menjadi ahli waris, bahkan janda dan duda. Dengan demikian, di
samping ketentuan Hukum Perdata, maka didalam ketentuan Hukum Islam kedudukan
janda sebagai ahli waris suaminya sangatlah kuat, bahkan dapat dilakukan bersama-sama
dengan atau anak-anak kandung pewaris.
Selanjutnya ketentuan Hukum Islam juga menyatakan :
a. Bagimu sepertiga dari harta peninggalan istri-istrimu, jika bagi istri-istrimu tidak ada
anak.
b. Bagimu seperempat harta peninggalan istri-istrimu, jika bagi istri-istrimu ada anak.
c. Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu, seperempat dari harta peninggalanmu,
jika bagimu tidak ada anak.
d. Bagi istri-istrimu sebagai janda peninggalanmu, seperdelapan dari harta
peninggalanmu, jika bagimu ada anak9.
Nampaklah, bahwa dalam Hukum Islam janda memperoleh warisan setelah
suaminya meninggal dunia dengan bagian-bagian yang telah ditentukan pula. Bagi seorang
janda akan mendapatkan seperempat bagian dari harta warisan, apabila suami yang
meninggal atau pewaris tidak meninggalkan anak atau memperoleh seperdelapan bagian
harta warisan, apabila suami yang meninggal dunia atau pewaris ada meninggalkan anak.
Selain menentukan status janda, maka dalam Hukum Islam juga ditentukan dengan
tegas (Surat An Nisa') tentang berapa besar bagian yang akan diperoleh janda dalam
pewarisan atau yang akan diperoleh Balu dalam mewarisi istrinya.
6
Hilman Hadikusumo, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1998, halaman 94
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, 1998, halaman 103
8 Ibid., halaman 42
9 Hazarin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadist, Tinta Mas, Jakarta, tanpa tahun, halaman 6
7
Baik Hukum Perdata maupun Hukum lslam, rupanya janda juga menjadi pokok
perhatian didalam pembagian warisan, karena begitu suaminya meninggal dunia maka
janda yang bersangkutan harus rnengurusi hidupnya sendiri dan belum tentu dapat
bekerja untuk mencari nafkah.
Pengertian hukum waris menurut Islam adalah : “Rangkaian peraturan mengenai
pembagian harta warisan orang yang meninggal kepada ahli warisnya berdasar atas
syari’at Islam”10.
Dengan demikian, hukum waris menurut Islam adalah suatu peraturan menurut
ketentuan hukum (syari’at) lslam yang mengatur mengenai pembagian harta warisan
orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Apabila seseorang membicarakan masalah pewarisan, maka orang akan sampai pada dua
masalah utama, yaitu : Pertama, adanya seorang yang meninggal dunia dan Kedua,
meninggalkan orang-orang yang berhak untuk menerima harta kekayaan/peninggalan
tersebut.
Dengan demikian, jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan Warisan adalah
merupakan harta kekayaan yang beralih atau pindah sehubungan dengan meninggalnya
seseorang kepada keturunan atau ahli warisnya, seperti : anak, cucu dan sebagainya.
Disamping itu ahli waris ini dapat terdiri dari saudara-saudaranya atau saudara-saudara
bapak-ibu, atau kepada bapak-ibu sendiri dan walaupun bagaimana, anak kandung
merupakan ahli waris yang utama dalam arti bahwa anak kandung itu berhak sepenuhnya
atas harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Menurut Dzawil Furudl ditentukan ada l0 macam ahli waris perempuan, yang sesuai
tingkatannya, adalah :
a. Anak perempuan,
b. Anak perempuan dari laki-laki dan seterusnya ke bawah berturut-turut dari jurusan
laki-laki,
c. Ibu,
d. Nenek perempuan (ibunya ibu) dan seterusnya berturut-turut dari jurusan perempuan,
e. Nenek perempuan (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas melalui jurusan laki-laki
(ayah),
f. Saudara perempuan yang seibu dan seayah,
g. Saudara perempuan seayah,
h. Saudara perempuan seibu,
i. Istri, dan
j. Orang perempuan yang memerdekakannya.
Dengan demikian, bagian istri adalah :
Asal masalah :
8
3
Bagian istri/janda
1/8
1
Bagian anak
7/8
7
3
Jumlah
8
Asal masalah :
4
3
Bagaian istri
1/4
1
10
Abdul Fakih, Hukum Islam dalam Prespektif
Asal masalah :
3/4
3
3
Jumlah
4
Dalam hal yang ada hanya istri (janda), maka janda yang bersangkutan memperoleh
bagian seperempat, sisanya dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan tingkatannya.
Yang menjadi landasan bagian harta warisan untuk suami (duda) dan istri (janda)
ini, antara lain :
a. Surat An Nisa’ Ayat 12, yang menyatakan : "Bagimu adalah separuh dari apa yang
ditinggalkan istrimu apabila ia tidak mempunyai anak”11.
b. Surat An Nisa’ Ayat 12, yang menyatakan : “Dan bagi dia (istri) adalah seperempat dari
apa yang kamu tinggalkan apabila kamu tidak ada anak dan apabila ada anak, maka
baginya seperdelapan”12.
Sama halnya dengan ketentuaan Hukum Perdata, maka kedudukan dan hak janda
didalam pewarisan Islam juga sangat kuat, bahkan termasuk ahli waris yang mendapatkan
prioritas atau didahulukan pembagiannya.
PERBANDINGAN KEDUDUKAN DAN HAK JANDA MATI
MENURUT HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM
Suatu perkawinan pastilah diharapkan dapat membentuk suatu keluarga atau
rumah tangga kekal, abadi dan sejahtera, walaupun kesemuanya itu dibatasi dengan antara lain- kematian salah satu atau kedua pihak, suami dan atau istri.
Didalam suatu perkawinan selalu diinginkan adanya hubungan yang harmonis
antara suami dengan orang tua dan kerabat istri atau istri dengan orang tua atau kerabat
suami. Harapan yang sama juga diharapkan terjadi terhadap anak-anak dari suami apabila
suami telah pernah menikah dengan istrinya atau anak-anak dari istrinya yang pernah
menikah dengan suaminya yang sekarang.
Perkawinan memang bukan suatu perbuatan yang merupakan syarat saja,
melainkan suatu perbuatan dengan tujuan kebaikan yang abadi. Namun demikian sesuatu
yang ada di dunia ini pasti ada akhirnya, antara lain adalah dengan meninggalnya suami.
Secara ekonomis, bisa saja keadaan ekonomi keluarga termasuk baik, tetapi sebaliknyada
pula yang keadaan ekonominya tidak sebaik pada umumnya suami yang meninggal dunia
bisa saja meninggalkan harta dalam jumlah banyak dalam arti secara ekonomi mampu,
akan tetapi sesuai keadaan ekonomi sekarang seorang suami merupakan orang yang tidak
memiliki harta apapun juga atau justru sebaliknya, meninggalkan hutang dalam jumlah
ynag tidak sedikit. Apabila sudah demikian, maka peran suami yang telah meninggal dunia
tersebut tidak boleh tidak akan diambil alih atau berimbas pada istri (janda mati) yang
ditinggalkannya.
Perbedaan dasar pemikiran dan pandangan dari ketiga hukum yang ada juga berkaitan
dengan masalah kewarisan. Secara garis besar, perbedaan dan persamaan yang ada dapat
dilihat dari bagan berikut ini.
Materi
Hukum Perdata
Hukum Islam
1. Sebutan
Janda
Janda
2. Kedudukan
Mewaris
Mewaris
11
12
Moch Anwar,Fara’idl Hukum Waris dalam Islam dan Masalah – masalahnya, Alikhlas Surabaya, 1999, halaman 10
Ibid, halaman 61
3. Garis
keutamaan
Golongan I
Keutamaan
pertama
4. Dasar hukum
Pasal 852a yang
dikuatkan dengan
staatsblad Tahun 1935
Nomor 486
Qur’an IV : 12
5. Bagian waris
Dapat mewaris
bersama anak kandung
pewaris
6. Gangguan
besarnya bagian
dan kedudukan
dalam mewaris
Tidak ada poligami,
sehingga tidak ada
gangguan kedudukan
7. Adanya pewaris
Harus ada pewaris yang
meninggal dunia
Dapat mewaris
bersama-sama
dengan anak
kandung dan
orang tua
pewaris
Juga bias
terjadi
Poligami yang
mengganggu
kedudukan
janda
Harus ada
pewaris yang
meninggal
dunia
Dengan bagan di atas, maka dapat diketahui perbedaan prinsip atau persamaan
antara kedua hukum yang dapat dipergunakan sebagai dasar pembagian warisan
sebagaimana dikemukakan di atas.
Komparasi Kedudukan dan Hak Janda Mati
Menurut Hukum Perdata dan Hukum lslam.
Walaupun didalam pelaksanaan perkawinan antara laki-laki dan wanita sudah
didasarkan pada kodifikasi Hukum, yaitu dengan Undang-Undang Nomor I Tahun 1974
akan tetapi untuk beberapa hal termasuk pewarisan, penentuan keududukan kerabat,
perbuatan hukum oleh kerabat dan banyak lagi lainnya, masih terdapat beberapa dasar
hukum atau kebiasaan yang dipergunakan masyarakat. Salah satunya adalah yang
dipergunakan dalam menentukan kedudukan Janda Mati (Janda) atau Duda Mati (Balu).
Berikut ini akan dikemukakan perbedaan kedudukan Janda Mati (Janda) menurut Hukum
Perdata dan Hukum Islam.
Kedudukan Janda Dalam Keluarga
Didalam Hukum keperdataan, kedudukan Janda didalam kekeluargaan dikaitkan
dengan kepastian hukumnya, yaitu “bahwa yang bersangkutan harus melangsungkan
pernikahan secara Hukum Perdata, atau dengan menggunakan ketentuan Undang-Undang
Perkawinan atau Undang-Undang Nomor I tahun 1974 sebagai landasan”13.
13
R. Sutojo Prawirohamidjojo, Hukum Kekeluargaan, Universitas Airlangga University Press, Surabaya, 1998, halaman
78
Apabila hal sebagaimana dikemukakan di atas telah dilaksanakan dan dipenuhi
segala persyaratannya, maka kedudukan istri atau janda didalam kekeluargaan cukup kuat
dalam arti apabila tidak ada suami atau suaminya telah meninggal dunia, maka istri atau
janda inilah yang menggantikan posisi suaminya.
Didalam Hukum Islam, selain penggunaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
sebagai landasan pelaksanaan perkawinan juga dikenal adanya perkawinan “sirri”
terhadap istri atau janda hasil perkawinan sirri ini, masyarakat mengakuinya hanya karena
adanya rasa segan dan hormat kepada pihak suami, yang memunculkan masalah adalah
apabila suaminya telah meninggal dunia maka kedudukan janda hasil perkawinan sirri ini
sudah tidak begitu kuat lagi didalam segala hal, apalagi perkawinan sirri ini biasanya
dilakukan karena si suami telah memiliki istri lain yang sah.
Kedudukan istri hasil perkawinan sirri ini cukup kuat terhadap anak-anak
kandungnya akan tetapi dalam bidang lain termasuk kewarisan sama sekali tidak mbmiliki
kedudukan apa-apa secara keperdataan, sedangkan secara keagamaan apabila tidak
didahului dengan istri lain bisa kuat tetapi apabila janda yang bersangkutan adalah istri
yang kedua rnaka kedudukannya tidak kuat lagi.
Kedudukan Janda Dalam Masyarakat
Didalam masyarakat yang menggunakan Hukum Keperdataan sebagai landasan
adalah setiap istri yang memiliki surat nikah yang sah. Sejalan dengan itu, maka hubungan
antara istri dengan anak-anaknya dengan saudara suami juga tidak memunculkan masalah
termasuk pula hal yang sama berkaitan dengan janda yang ditinggal mati suaminya.
Pandangan masyarakat terhadap istri yang sah menurut hukum juga baik dan kuat,
akan tetapi bagi istri yang tidak sah menurut hukum (Nasional), seperti hasil perkawinan
sirri sebagaimana dikemukakan di atas, juga tidak atau sering tidak menjadikan kedudukan
si istri atau janda menjaadi kuat bahkan seringkali justru cemoohan masyarakat yang
muncul.
Kedudukan Janda Dalam Pewarisan
Kedua hukum baik Hukum Perdata maupun Hukum Islam sama sama memberikan
pengakuan terhadap keberadaan janda, sebagaimana yang ditentukan dalam “pasal 652a
maupun Al Qur'an IV : 12”14.
Dengan kata lain, termasuk kedudukannya dalam warisan janda menurut Hukurn
Perdata dan Hukum Islam juga memiliki kedudukan dan bagian yang pasti.
Didalam ketentuan Qur'an : 11, ditentukan Garis-garis Keutamaan bagi ahli waris, yaitu :
a. Garis Kutamaan Pertama, terdiri dari :
1. Anak laki-laki dan anak perempuan pewaris sebagai Dzawul lfaraid atau sebagai
Dzawul lqarabat atau Mawali bagi anak-anak ahli waris golongan ini yang telah
meninggal dunia. (Qur'an IV : 14 a, b, c, Jo. IV : 33a)
2. Orang tua (ayah dan mak) pevraris sebagai Dawul lfara'id (Qur'an IV : IId)
3. Janda dan Duda sebagai Dzawul lfara'id (Qur'an IV : l2)
b. Garis Keutamaan Kedua, terdiri atas:
1. Saudara pewaris laki-laki atau perempuan sebagai Dzawul lfara'id atau Dzawul
lqarabat (Qur'an IV : 12f, IV : 176 Jo.IV : 33a)
14
Isma’il Baisuni, Janda dan Bagiannya dalam Kewarisan, Politeia, Bogor, 1997, halaman 13 dan 24
2. Mak atau Ibu pewaris sebagai Dzawul lfara'id (Qur'an IV : ll f Jo. IV : 12 f, g dan IV :
176)
3. Ayah pewaris sebagai Dzawul lqarabat dalam hal Qalalah (mati semua) (Qur'an IV :
l2 f, g)
4. Janda atau duda sebagai Dzawulfara'id (Qur'an IV : l2)
c. Garis Keutamaan Ketiga, terdiri atas:
1. Mak atau ibu pewaris Dzawulfara'id (Qur'an IV : 11e)
2. Ayah pewaris sebagai Dzawul iqarabat (Qur'an IV : 11 e)
3. Janda atau duda sebagai Dzawul lfaraid (Qur'an IV: l2)
d. Garis Keutarnaan Keempat, terdiri atas :
1. Janda atau duda sebagai Dzawul Ifara'id (Qur'an IV : l2)
2. Mawali untuk mak atau ibu pewaris (Qur'an IV : 11e)
3. Mawali untuk ayah pewaris (Qur'an IV : 11e)15
Nampak bahwa kedua janda atau duda dari pewaris dapat menduduki keseluruhan
garis keutamaan dalam pewarisan dalam situasi dan kondisi tertentu yang
menyebabkannya. Dan semua kedudukan janda atau duda tersebut terletak sebagai
Dzawul lfara'id atau ahli waris yang terdekat dengan pewaris.
Didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau didalam teori
Hukum Keperdataan dalam pewarisan, juga dikenal adanya golongan-golongan dalam
mewaris, yaitu :
a. Golongan Pertama, yang terdiri atas:
1. Anak kandung pewaris atau keturunannya
2. Janda atau duda pewaris
b. Golongan Kedua, yang terdiri atas:
1. Orang tua pewaris
2. Saudara-saudara pewaris atau keturunannya
c. Golongan Ketiga, yang terdiri atas:
1. Nenek dan atau kakek
2. Leluhur lainnya didalam genus ke atas
d. Golongan Keempat, yang terdiri atas : sanak keluarga dalam Genus ke samping sampai
tingkat keenam16.
Nampak bahwa didalam Hukum Perdata, kedudkaan janda berada pada golongan
ahli waris yang pertama, dalam arti kedudukannya didalam warisan keperdataan sangat
kuat setelah anak kandung. Hanya saja apabila anak kandung masih memiliki “Mawali” atau
Waris pengganti, maka janda tidak mungkin memilikinya. Maksudnya, apabila janda yang
bersangkutan sudah meninggal, maka warisan juga tidak ada lagi.
Kedudukan Janda Dalam Perbuatan Hukum
Pada prakteknya, kedudukan seorang istri atau janda dalam melakukan perbuatan
hukum juga bergantunag pada status perkawinan yang ada. Apabila dalam perkawinan
tersebut pelaksanaan tunduk pada ketentuan Hukum Keperdataan, termasuk ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka kekuasaan istri atau janda juga cukup kuat.
15
16
Hazarin, Hukum Kewarisan Bilateral Qur’an dan Hadist, Tinta Mas, Jakarta, 1999, halaman 37
Mudofir Hadi, Hukum Waris Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1999, halaman 43
Dalam Hukum Perdata, sesuai dengan ketentuan pasal 108 dan 110 KUH Perdata
sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 tanggal 05 September
Tahun 1963 Nornor: 1115lP/3292/M/1963, maka seorang istri dalam suatu perkawinan
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dan menghadap dimuka
pengadilan, dengan demikian kekuasaan apabila ia menjadi janda lebih kuat lagi sepanjang
untuk segala sesuatu yang menjadi haknya17. Pada perkawinan keperdataan terdapat tiga
macam harta, yaitu :
1. Harta pribadi suami,
2. Harta pribadi istri dan,
3. Harta persatuan.
Begitu seorang istri menjadi janda, maka ia dapat mempergunakan untuk apapun
harta pribadinya dan setengah dari harta persatuan.
Kesimpulan
Kedudukan janda mati dalam hukum perdata dan hukum islam.
Dalam hukum perdata janda mati adalah janda yang ditinggal mati suaminya dalam
masa perkawinan atau masih belum bercerai sedangkan dalam hukum islam janda mati
adalah seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya sepanjang belum bercerai.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kedudukan janda mati dalam
pewarisan menurut hukum Perdata dan hukum Islam adalah sama-sama mempunyai
kedudukan yang kuat dalam melakukan perbuatan hukum, sesuai dengan ketentuan dalam
hukum perdata maupun hukum islam.
Perbandingan hak janda mati dalam hukum perdata dan hukum islam.
Perbandingan hak janda mati dalam hukum perdata dan hukum islam adalah samasama sebagai ahli waris, melaksanakan perkawinan lagi setelah melaksanakan masa iddah,
namun demikian dalam hukum islam dalam pembagian harta warisan ada ketentuanketentuan yang harus dipenuhi, misalnya apabila janda tersebut mempunyai anak maka
bagiannya adalah spertdelapan sebaliknya apabila tidak mempunyai anak maka bagiannya
adalah seperempat.
17
Iwan Setiawan, Hukum Kekeluargaan dan Waris, Politeia, Bogor, 1998, halaman 78
Download