GUGON TUHON DALAM MASYARAKAT JAWA PADA WANITA

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
GUGON TUHON DALAM MASYARAKAT JAWA
PADA WANITA HAMIL DAN IBU BALITA
DI KECAMATAN TINGKIR KOTA SALATIGA
(Suatu Tinjauan Etnolinguistik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
KHAIRUNNISA NOOR ARIFAH
C0105029
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
NIP 19600101 198703 1 004
PERNYATAAN
Nama
NIM
: Khairunnisa Noor Arifah
: C0105029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Gugon Tuhon dalam
Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota
Salatiga (Suati Tinjauan Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat,
dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini
diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari
skripsi tersebut.
Surakarta, Februari 2011
Yang membuat pernyataan,
Khairunnisa Noor Arifah
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Persembahan penuh cinta untuk:
1.
Bapak & Ibu atas kasih sayang tiada akhir.
2.
Bapak & Ibu mertua atas cinta serta nasihatnasihatnya.
3.
Ayah & Saga atas semua hal terbaik di
dunia.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul Gugon Tuhon dalam masyarakat
Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu
Tinjauan Etnolingustik) dapat selesai. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Soedarno, M.A, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam
menyusun skripsi ini.
2. Drs. Imam Sutarjo, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan
Seni RupaUniversitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
3. Drs. Sujono, M.Hum, selaku pembimbing pertama yang telah memberikan
kesempatan untuk menulis skripsi ini, memberikan banyak bantuan, dorongan dan
ilmu sehingga akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik.
4. Drs. Y. Suwanto, M.Hum, selaku pembimbing kedua dan pembimbing akademik
yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan ilmu dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum, selaku sekretris jurusan yang telah memberikan
banyak motivasi, perhatian, dorongan, dan ilmu selama menimba ilmu.
6. Bapak dan ibu dosen Jurusan Sastra Daerah khususnya dan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa pada umumnya yang telah memberikan ilmunya kepada penulis sehingga
bermanfaat dalam menyusun skripsi ini.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa dan
perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.
8. Seluruh staf dan karyawan Tata Usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis.
9. Ibu Sarmi, ibu Suparmi, ibu Nunik, dan masyarakat Desa Nanggulan yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu, yang telah memberikan banyak bantuan dan informasi
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Mas Bagus, suamiku, yang nrima, sabar, cinta, perhatian, dan semua hal terbaik yang
pernah diberikan, malam-malam begadang untuk menyemangati penulis.
11. Saga Malik Al-Gusha, anakku, atas keajaiban yang bisa bunda percaya. Terima kasih
untuk menjadikan bunda seorang ibu dan selalu belajar banyak hal.
12. Mas Kun, dik Fajri, Doel, Eri untuk support dan penyemangat dalam situasi pelik.
13. Teman-teman angkatan 2005 atas semua bantuan dan pertemanan yang diberikan.
Adik-adik kelas yang selalu membantu penulis.
14. Semua pihak dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya segala puji dan syukur, kuasa serta kemuliaan bagi Allah SWT. Penulis
menyadari banyak ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap
kiranya skripsi ini dapat berguna bagi pembaca sekalian.
Surakarta,
Februari 2011
Penulis.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………………………… i
PERSETUJUAN …………………………………………………………………. ii
PENGESAHAN ………………………………………………………………..… iii
PERNYATAAN …………………………………………………………………. iv
PERSEMBAHAN ……………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR …………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….…. viii
DAFTAR SINGKATAN …………………………………….………………..…. xi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………..….……………..…. xii
ABSTRAK …………………………………………………………………..…… xiii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………….….…
1
A. Latar Belakang ………………………………………………….………… 1
B. Batasan Masalah ……………………………………………….……...….. 8
C. Rumusan Masalah …………………………………………..…….….…… 9
D. Tujuan Penelitian ………………………………………...……….………. 9
E. Manfaat Penelitian ………………………………………...……………… 10
1. Manfaat Teoretis …………………………………………….…..……. 10
2. Manfaat Praktis ………………………………………………………. 10
F. Sistematika Penulisan …………………………………………………….. 12
BAB II KAJIAN TEORI ……………………………………………………….. 13
A. Pengertian Gugon Tuhon …………………………………………………. 13
B. Pengertian Kalimat ……………………………………………………….. 16
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Fungsi Bahasa …………………………………………………………….. 16
D. Pengertian Makna ……………………………………………………….... 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN............................................................ 20
A. Jenis Penelitian …………………………………………………………… 20
B. Data dan Sumber Data …………………………………………………… 21
C. Alat Penelitian ……………………………………………………………. 22
D. Populasi dan sampel ……………………….……………………………... 23
E. Metode Pengumpulan Data ………………………………………………. 24
F. Metode Analisis Data …………………………………………..…………. 24
1. Metode Distribusional ………………………………………………… 24
2. Metode Padan ………………………………………………………… 27
G. Metode Penyajian Hasil Analisis Data ………………………………….... 29
BAB IV PEMBAHASAN ……………………………………………………….. 31
A. Bentuk ……………………………………………………………..……… 31
1. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ sebagai
Penanda Kalimat Larangan ………………………………………….... 31
2. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan
mundhak ‘nanti’ sebagai Penanda Sebab Akibat …………………….. 35
3. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan
ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat ……………………………. 39
4. GT yang Menggunakan Frasa ora ilok ‘tidak pantas’ ………………… 40
5. GT yang Menggunakan kata yen ‘kalau’ yang Berada
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
di Depan Kalimat sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan ………...… 43
6. GT yang Menggunakan Kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang
Berada di Depan Kalimat Sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan
serta Kata mundhak ‘nanti’ Sebagai Penanda Akibat ………………… 48
B.
Fungsi ……………………………………………………………………. 52
1. Pendidikan Kepercayaan ………………………….………………….. 53
2. Pendidikan Etika/Moral ………………………………………………. 56
3. Pendidikan Kesehatan ………………………………………………... 59
C. Makna Gramatikal dan Kultural ………………………………………..... 63
1. Wanita Hamil ……….……………...…………………………………. 63
2. Merawat Bayi …………………………………………………………. 88
BAB V PENUTUP ………………………………………………………….….... 138
A. Simpulan …………………………………………………………….….… 138
B. Saran ………………………………………………………………...……. 139
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..….…. 140
LAMPIRAN …………………………………………………………….……….. 142
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA
A. Daftar Singkatan
1. GT
: Gugon tuhon
2. GTBJ : Gugon tuhon bahasa Jawa
B. Daftar Tanda
1. Tanda ‘…’
: mengapit terjemahan dalam bahasa Indonesia.
2. Tanda
: mengapit pilihan kata yang digunakan pada teknik ganti.
3. Tanda Ø
: menggantikan kata yang dihilangkan pada teknik lesap.
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
A.
Daftar data GTBJ …………………………………………..……………… 142
B.
Data wawancara …………………………………..………….…………… 148
1. Data wawancara 1 ……………………………….…………………… 148
2. Data wawancara 2 ……………………………….…………………… 150
3. Data wawancara 3 ……………………………….…………………… 152
4. Data wawancara 4 ……………………….…………………………… 153
5. Data wawancara 5 …………………………….……………………… 156
6. Data wawancara 6 ………………………….………………………… 162
7. Data wawancara 7 …………………….……………………………… 166
8. Data wawancara 8 ………………….………………………………… 170
9. Data wawancara 9 ………………….………………………..…..…… 172
10. Data wawancara 10 ………………….…………………………..…… 175
11. Data wawancara 11 ………………….…………………………..…… 177
C.
Data Informan …………………………………...………….…………… 183
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Khairunnisa Noor Arifah. C0105029. 2011. Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada
Wanita Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga (Suatu Tinjauan
Etnolinguistik). Skripsi. Jurusan Sastra Daerah. Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Judul penelitian ini adalah Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita
Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Objek yang dikaji dalam
penelitian ini adalah gugon tuhon tentang wanita hamil dan ibu balita yang berkembang
di masyarakat Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga. Data yang dikumpulkan berupa
data lisan yang dikumpulkan dari para nara sumber.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah
bentuk GTBJ? (2) Bagaimanakah fungsi GTBJ? (3) Makna gramatikal dan kultural
GTBJ. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk, fungsi dan
makna gramatikal serta kultural Gugon Tuhon Jawa.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, data dikumpulkan dan dianalisis untuk
kemudian dideskripsikan. Data dikumpulkan berdasarkan interview dengan nara sumber,
yaitu para warga kecamatan Tingkir yang telah melalui kriteria yang ditetapkan. Dari
data-data yang didapat tersebut kemudian dikelompokkan, untuk kemudian dianalisis
bentuk, fungsi, dan maknanya. Metode analisis data yang digunakan untuk penelitian ini
adalah metode distribusional dan metode padan. Teknik lanjutan yang digunakan adalah
teknik ganti dan teknik lesap. Data dibagi dalam unsur-unsur untuk kemudian suatu unsur
tertentu diganti atau dilesapkan untuk mengetahui kadar keintian unsur tersebut.
Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ saja
tidak dapat dipermutasi letaknya, sedangkan kalimat dengan pewatas aja ‘jangan’ dan
frasa ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat dapat dipermutasi letaknya. Begitu pula
kata nek ‘kalau’, yen ‘kalau’, dan mundhak ‘nanti’ tidak dapat dipermutasi karena akan
menghilangkan bentuk dan makna GTBJ, 2) Fungsi GTBJ mencakup kepercayaan,
etika/moral, dan kesehatan, 3) Makna GTBJ dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1) makna gramatikal, dan (2) makna kultural. Makna gramatikal didapat dari korelasi
struktur sedangkan makna kultural diperoleh dari hasil wawancara dengan informan.
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Alah, takhayul!” sebagian besar orang dewasa ini pasti akan berucap demikian
jika diberi nasihat bijak Jawa apalagi jika tidak dijelaskan alasannya. Nasihat-nasihat
seperti “Aja metu wayah wengi, ndhuk!” pasti akan dijawab dengan bantahan. Sering kali
disertai alasan “Ini kan jaman globalisasi, mbok. Setan ora doyan, dhemit ora ndulit!”
padahal maksud nasihat si Mbok, bukan hanya sawan yang akan nyambet, justru setansetan berwujud manusia yang akan mengincarnya. Sebenarnya, banyak sekali petuah
yang orang tua kita berikan kepada kita untuk ajaran hidup, bahkan yang tanpa kita sadari
sekalipun. Namun di zaman yang semakin maju dan berkembang ini, semakin banyak
orang mengabaikan warisan-warisan budaya dari leluhur kita. Mereka menganggap
tradisi budaya Jawa hanya sebagai warisan dan gugon tuhon hanya sebagai takhayul yang
dianggap kepercayaan orang Jawa yang kuno. Dengan antusias orang-orang berseru
mempertahankan, melestarikan, dan mengembangkan budaya Jawa, malah mungkin
sampai ke kancah internasiaonal. Kita memiliki keinginan melestarikan budaya Jawa,
tetapi kita lebih sibuk mempelajari budaya asing. Bahkan kita lebih memilih belajar
bahasa asing daripada bahasa Jawa itu sendiri. Lebih buruk, mungkin hanya sedikit dari
sekian banyak orang Jawa yang memilih menggunakan krama inggil untuk
berkomunikasi dengan orang tuanya. Selain itu banyak orang tua tidak mengajarkan
bahasa Jawa kepada anak cucunya. Sehingga kesalahan ini bukan sepenuhnya salah si
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anak, tetapi kita para orang tua yang lebih bertanggung jawab untuk menurunkan
kekayaan Jawa ini kepada anak cucu kita. Sangatlah aneh jika seorang Jawa bahkan tidak
bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Sering kali karena si anak tidak memahami,
justru kita yang akan menuruti si anak dengan selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Bukan berarti bahasa Indonesia itu buruk, tetapi tanpa kita berusaha berarti kita sudah
mulai mematikan budaya Jawa, karena di sekolah-sekolah pastilah anak-anak sudah
diajarkan berkomunikasai dengan bahasa Indonesia dan bahkan pada beberapa playgroup
menggunakan bahasa Inggris. Tanpa kita sadari, budaya Jawa perlahan mulai luntur dan
hilang dalam kehidupan sehari-hari. Bukan karena pengaruh budaya baru yang memaksa
masuk, tetapi karena kita yang membuangnya. Parahnya kita menolaknya untuk masuk
kembali.
Namun sekarang ini gugon tuhon sudah agak kabur karena banyak hal. Di
antaranya karena perbedaan pola pikir orang zaman dahulu dan zaman sekarang.
Perbedaan ini dapat disebabkan karena perkembangan teknologi yang membuat orangorang modern tidak peka lagi dengan alam dan dirinya sendiri. Dahulu, nenek moyang
kita dalam keterbatasan teknologi pada saat itu, dalam prihatinnya selalu berlatih untuk
menajamkan batin mereka. Gelap dan sepi membuat mereka merenungi diri dan alam.
Hal itu membuat batin mereka tajam dan peka terhadap kehidupan. Semua yang mereka
berikan, ajarkan, lakukan adalah karena mereka mengerti bahwa banyak yang harus
diselaraskan agar semua berjalan dengan semestinya. Nasihat-nasihat yang mereka
berikan ini didapat dari pengalaman mereka selama hidup dan berpikir. Nasihat–nasihat
atau dinamakan gugon tuhon ini diteruskan kepada anak turunnya agar kelak
keturunannya selalu mempunyai akal budi yang baik, tidak seperti hewan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan, mempunyai tatanan untuk membentuk
masyarakat yang berbudi.
Tetapi lalu seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang
memudahkan hidup manusia, semua ketajaman batin itu seolah ikut lenyap. Tradisi yang
diberikan turun-temurun ini perlahan-lahan luntur karena manusia pada zaman
peralihannya tidak peduli dan tidak menganggap hal ini sesuatu yang dapat dijadikan
ilmu hidup, jadi hanya sedikit dari pendukung kebudayaan Jawa yang tetap
mempertahankannya. Karena hal inilah, sekarang sedikit dari para orang tua yang tahu
dan paham tentang gugon tuhon ini, apalagi mewariskannya kepada anak-cucunya.
Penelitian ini berusaha mencari tahu tentang seberapa paham masyarakat di
Kecamatan Tingkir tentang gugon tuhon khususnya gugon tuhon tentang kehamilan dan
merawat balita, bagaimanakah mereka menyikapinya dan apakah mereka masih
menurunkan sastra lisan ini kepada anak-cucunya. Sehingga diharapkan nantinya mereka
mau meneruskannya kepada keturunannya. Selain itu kepada para pemuda agar lebih
dapat mengerti dan memahami tentang gugon tuhon Jawa ini, sehingga sastra lisan ini
dapat dilestarikan.
Gorys Keraf (2001: 1) mendefinisikan bahasa sebagai alat komunikasi antara
anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Sedangkan Saussure (dalam Mansoer Pateda, 2001: 4) mendefinisikan bahasa sebagai
suatu sistem tanda. Tanda-tanda ini saling berhubungan membentuk struktur. Menurut
Wikipedia: bahasa adalah penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga
membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti.
Bahasa memiliki berbagai definisi. Definisi bahasa adalah sebagai berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.
Suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
2.
Suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke
dalam pikiran orang lain
3.
Suatu kesatuan sistem makna
4.
Suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara
bentuk dan makna.
5.
Suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan
dan kalimat).
6.
Suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa diakses pada tanggal 17 April 2010 pukul
12.02 WIB)
Menurut pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan, bahwa bahasa
merupakan alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Bahasa bisa didapat dari alat ucap manusia ataupun melalui sistem tanda. Yang
terpenting adalah bahasa harus dapat dimengerti.
Malinowski mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar,
yaitu pragmatik dan magis (dalam Halliday, 1992: 20). Pragmatik sendiri adalah:
1.
Studi tentang maksud penutur
2.
Studi tentang makna kontekstual
3.
Studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang
dituturkan
4.
Studi tentang ungkapan dari jarak hubungan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan konteks adalah teks yang menyertai teks (Halliday, 1992: 6). Jadi,
ada maksud yang menyertai tuturan. Pragmatik mencakup konteks karena pragmatik akan
menelusur apa yang dimaksud oleh suatu wacana lebih jauh, dengan banyak unsur yang
melatarbelakangi untuk menjelaskan maknanya.
Untuk memaknai GT secara kultural, maka kita harus memahami konteks
budaya Jawa yang sedang dimaksudkan oleh penutur dan mitra tutur, memahami budaya
dan masyarakatnya terlebih dahulu. Barulah kita tahu apa yang sebenarnya sedang
terjadi.
Etnolinguistik sendiri terbentuk dari dua kata, etnologi dan linguistik. Istilah
„etnolinguistik‟ berasal dari kata „etnologi‟ yang berarti ilmu yang mempelajari tentang
suku-suku tertentu dan „linguistik‟ berarti ilmu yang mengkaji seluk-beluk bahasa
keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa yang lahir karena adanya
penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini
antropologi budaya) (Sudaryanto, 1996 : 9).
Masyarakat Jawa adalah salah satu masyarakat yang mempunyai kebudayaan
yang luhur. Kebudayaan atau tradisi ini diwariskan secara turun-temurun oleh nenek
moyang kita hingga sekarang. Masyarakat Jawa mempunyai banyak ajaran kebudayaan
dalam berbagai hal, misalnya ketika seorang wanita melaksanakan tugasnya sebagai ibu,
baik ketika masih mengandung maupun dalam merawat anak. Orang tua Jawa
mempunyai cara yang bijak dalam menyampaikan nasihat-nasihatnya agar anak-anaknya
mau berpikir dan menelaah apa yang dikatakan orang tuanya. Petuah yang dihaluskan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
penyampaiannya ini disebut dengan gugon tuhon. Menurut Purwadi, gugon tuhon yaitu
percaya pada adat dan takhayul (Purwadi, 2004 : 139).
Gugon tuhon berasal dari dua kata „gugon‟ dan „tuhon‟. Kata „gugon‟ berasal
dari kata „gugu‟ yang mendapat akhiran [-an], yang mempunyai arti sifat yang mudah
percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan „tuhon‟ berasal dari kata dasar „tuhu‟
dan mendapat akhiran [-an] yang mempunyai arti sifat yang mudah mempercayai ucapan
orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968 :13). Gugon tuhon yaitu:
Gugon tuhon sebenere ngemu piwulang, nanging piwulang iku ora
cetha, mung sarana disamar, lumrahe wong angger wis dikandakake
ora ilok utawa ora becik banjur pada wedi nerak, mangka larangan
iku tujuane kanggo mulang supaya ora nindakake apa kang kasebut
ing larangan iku (Subalidinata, 1968 : 13)
„Gugon tuhon sebenarnya mengandung ajaran, tetapi ajaran itu tidak jelas,
hanya samara-samar, biasanya jika orang sudah dilarang dengan tidak
pantas atau tidak baik lantas takut untuk melanggar, maka larangan itu
tujuannya untuk mengajar supaya tidak melakukan apa yang disebutkan
dalam larangan tersebut‟ (Subalidinata, 1968 : 13)
Ketika menginjak dewasa, para orang tua mulai banyak memberi bekal nasihat
kepada anak-anaknya untuk mengarungi rumah tangganya, terlebih pada anak gadis
karena wanitalah yang akan mengajarkan moral pada anak ketika anak belum belajar dari
lingkungan luar. Setelah menikah, wanita akan mengemban tugas penting yaitu menjadi
ibu. Semenjak bayi masih dalam kandungan hingga lahir akan ada banyak petuah yang
diberikan dari ibu maupun ibu mertua kepada anak wanitanya. Nasihat-nasihat ini
dimaksudkan agar sang calon ibu selalu menjaga tingkah lakunya agar kelak bayi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilahirkan sehat dan mempunyai moral yang baik. Nasihat ini misalnya aja mateni
kewan, mundhak bocah sing lair kaya kewane „ jangan membunuh hewan, nanti anak
yang lahir seperti hewan itu‟, aja mbunteti leng tikus, mundhak nglairkene angel „ jangan
menutup lubang tikus, nanti melahirkannya sulit‟, aja adus bengi, mundhak kembar
banyu „jangan mandi malam, nanti ketubannya jadi banyak‟, aja nyingkirake barang
nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang (sikil dhisik sing metu) „jangan
menyingkirkan sesuatu menggunakan kaki, nanti bayi yang lahir dari kakinya dahulu‟,
kudu nyingkirake regedan sing tinemu ing ndalan supaya nglairkene lancar ora ana
alangan „harus menyingkirkan kotoran yang ditemukan di jalan supaya melahirkannya
lancar tidak ada halangan‟, bayi kudu digendhong yen surup „bayi harus digendong kalau
magrib‟, yen nggendhong bayi aja disawung „ kalau menggendong anak jangan tidak
memakai selendang‟, dll. Nasihat-nasihat ini walaupun alasan yang disampaikan kurang
masuk akal, namun jika ditelaah lebih lanjut ada alasan yang lebih logis.
Penelitian sebelumnya yang pernah diteliti adalah:
1.
Suwanti, 2008, yang berjudul “Gugon Tuhon Bahasa Jawa” yang mengkaji
tentang bentuk, fungsi dan makna gugon tuhon bahasa Jawa.
2.
Wahyu Adi nugroho, 2010, yang berjudul “Gugon Tuhon Daur hidup Manusia
Jawa di Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah
(Kajian Resepsi Sastra). Skripsi ini tidak hanya mengkaji bentuk-bentuk gugon
tuhon, makna dan fungsinya saja, tetapi juga mengkaji profil masyarakat
Mojolaban dan bagaimana tanggapan mereka tentang gugon tuhon ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Skripsi saudara Suwanti ini mengumpulkan GTBJ yang ada dalam literatur,
kemudian mendeskripsikan bentuk, fungsi dan maknanya. Sedangkan penelitian yang
akan penulis lakukan ini mengumpulkan data dari para informan daerah setempat untuk
mendapatkan ujaran GT yang dimaksud, kemudian menganalisis bentuk, fungsi dan
maknanya. Dalam penelitian Suwanti, bentuk GTBJ ini selalu menggunakan pewatas aja,
frasa ora ilok, dan kata mundhak yang menyatakan hubungan sebab akibat. Sedangkan
dalam penelitian ini bentuknya dapat tidak hanya menggunakan pewatas aja, frasa ora
ilok, maupun kata mundhak saja, namun juga ada kata yen, nek atau tidak meggunakan
semua kata diatas. Penelitian ini diambil dengan alasan :
1.
Penelitian GT dalam Masyarakat Jawa pada Wanita Hamil dan Ibu Balita di
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga ini belum pernah diteliti sebelumnya.
2.
Gugon tuhon masyarakat Jawa ini adalah tradisi yang perlu dilestarikan.
3.
Agar para anak muda penerus tradisi ini mau menerima ajaran ini, maka perlu
dijelaskan makna dari orang tua sehingga para anak muda dapat memahami
budayanya.
4.
Setiap gugon tuhon yang diajarkan mempunyai ajaran yang adiluhung dan
menarik untuk dikaji lebih lanjut.
B.
Pembatasan Masalah
Penelitian yang berjudul “Gugon Tuhon dalam Masyarakat Jawa pada Wanita
Hamil dan Ibu Balita di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga“ ini dikaji menggunakan teori
etnolinguistik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Agar penelitian ini tidak melebar dari masalah perlu diadakan pembatasan
masalah, yaitu pada bentuk, fungsi, makna gramatikal dan makna kultural gugon tuhon
dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan merawat anak.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat menentukan rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah bentuk kalimat gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita
hamil dan ibu balita?
2.
Apakah fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu
balita?
3.
Bagaimanakah makna gramatikal dan makna kultural gugon tuhon dalam
masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, dapat dijelaskan tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Mendeskripsikan bentuk gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil
dan ibu balita.
2.
Mendeskripsikan fungsi gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil
dan ibu balita.
3.
Mendeskripsikan makna kultural dan makna gramatikal gugon tuhon dalam
masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E.
Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat menberikan manfaat secara teoretis dan praktis.
1.
Manfaat Teoretis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan referensi etnolinguistik,
mengenai gugon tuhon dalam masyarakat Jawa pada wanita hamil dan ibu balita.
2.
Manfaat Praktis.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan makna leksikal dan
kultural bagi masyarakat yang bersangkutan sehingga budaya Jawa lebih menarik
untuk dipahami dan dapat membantu penelitian serupa selanjutnya.
F.
Kerangka Pikir
Data gugon tuhon yang diteliti dalam penelitian ini menggunakan data lisan
sebagai data primer dan data tulis sebagai data sekunder. GT biasanya menyatakan
larangan atau dihaluskan menjadi nasihat. Bentuk GT dapat menngunakan pewatas „aja‟ ,
frasa „ora ilok‟ atau tidak menggunakan keduanya sama sekali. Fungsi GT ditelaah dari
pemaknaan yang didapat dari masyarakat. Makna gramatikal adalah makna yang dapat
berubah sesuai dengan konteks pemakaian. Kata tersebut mengalami proses
gramatikalisasi pada pemajemukan, imbuhan dan pengulangan. Sedangkan makna
kultural adalah makna yang menyangkut makna secara kultural suatu budaya tertentu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KERANGKA PIKIR
GTBJ
Lisan
(Data Primer)
G.
FUNGSI
Bentuk GTLBJ
-
-
-
Pewatas aja di depan
Pewatas aja dan mundhak
sebagai penanda sebab
akibat
Pewatas aja dan frasa
ora ilok
Frasa ora ilok
Kata nek atau yen sebagai
penanda
kalimat
perumpamaan
kata nek atau yen dan kata
mundhak dalam satu
kalimat
-
Kepercayaan
Pendidikan
Etika/Moral
Pendidikan
Kebersihan
commit to user
MAKNA
-
Gramatikal
Kultural
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang akan digunakan oleh penulis adalah sbb :
Bab I :
Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan teori, yang meliputi penjelasan dari gugon tuhon, pengertian kalimat,
kalimat imperatif, fungsi, dan makna.
Bab III : Metode penelitian, yang meliputi sifat penelitian, lokasi penelitian, data dan
sumber data, alat penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode
penyajian hasil penelitian.
Bab IV : Analisis data yang memuat tentang analisis dari bentuk, fungsi, makna
gramatikal, dan makna kultural.
Bab V : Penutup, yang berisi tentang simpulan dan saran dari hasil penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretis yang relevan
dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Landasan teori digunakan
sebagai kerangka pikir untuk mendekati permasalahan dan bekal untuk menganalisis
objek kajian.
A.
Gugon Tuhon
Gugon tuhon berasal dari kata ‘gugu’ dan ‘tuhu’. Kata ‘gugu’ mendapat akhiran
–an yang berarti sifat yang mudah percaya kepada ucapan ataupun cerita, sedangkan kata
‘tuhon’ berasal dari kata ‘tuhu’ yang juga mendapat akhiran –an, yang mempunyai arti
sifat yang mudah mempercayai ucapan orang lain (terjemahan dari Subalidinata, 1968:
13). Purwadi mengatakan gugon tuhon yaitu percaya pada adat dan takhayul (Purwadi,
2004: 139). Takhayul berarti percaya pada hantu-hantu atau hal supranatural lainnya.
Oleh karena itu para ahli folklore modern lebih suka menggunakan istilah kepercayaan
rakyat (folk belief) (James Danandjaja, 1984: 153). Padahal takhayul sendiri mencakup
bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga kelakuan (behavior), pengalaman
(experience), ada kalanya juga alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Brunvand
dalam Danandjaja, 1984: 153). Sedangkan dalam kenyataannya, tidak ada seorangpun
yang bagaimanapun modernnya, dapat bebas dari takhayul, baik dalam hal kepercayaan
maupun dalam hal kelakuan (Brunvand dalam Danandjaja, 1984: 154).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Takhayul (atau GT) memiliki beberapa syarat, yang terdiri dari tanda-tanda
(signs), atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada akibatnya (results)
(James Danandjaja, 1984: 154). Sedangkan menurut Dundes, takhayul adalah ungkapan
tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat; beberapa dari syaratnya
bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat sebab (Danandjaja, 1984: 155).
Gugon tuhon dibagi menjadi tiga, yaitu 1) gugon tuhon salugu, 2) gugon tuhon
yang berisi pitutur sinandi, dan 3) gugon tuhon yang berbentuk pepali atau wewaler.
Dalam penelitian ini dikhususkan pada gugon tuhon yang berisi pitutur sinandi. Pitutur
sinandi sendiri berarti kata-kata yang disandikan atau disamarkan.
Gugon tuhon dapat diberi pewatas aja ‘jangan’, seperti :
(1) Aja mateni kewan yen lagi mbobot.
‘Jangan membunuh binatang jika sedang hamil.’
(2) Aja mbampeti leng tikus yen lagi mbobot.
‘Jangan menutup lubang rumah tikus jika sedang hamil.’
Kalimat (1) dan (2) merupakan contoh GTBJ yang menggunakan pewatas aja
‘jangan’. Kalimat (1) mengandung pesan jangan membunuh binatang jika sedang hamil.
Pesan ini berlaku tidak hanya untuk si ibu hamil, tetapi juga untuk suami, karena
dikhawatirkan jabang bayi yang akan lahir bisa menyerupai binatang yang dibunuh
atupun disakiti. Misalnya jika membunuh atau menyiksa kera, si anak bisa mempunyai
bulu yang banyak atau berwajah seperti kera. Sedangkan pada kalimat (2) mempunyai
pesan jangan menutup lubang rumah tikus jika sedang hamil. Seperti pada kalimat (1),
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
aturan ini juga berlaku untuk suami istri. Jika dilanggar, dikhawatirkan si ibu akan
mengalami persalinan yang sulit seperti tertutup jalan lahirnya.
Gugon tuhon juga mempunyai bentuk dengan frasa ora ilok ‘tidak pantas’,
seperti
(3) Ora ilok bayi dilem.
‘Tidak pantas bayi dipuji.’
(4) Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.
‘Tidak pantas bayi dipanggul, nanti berani dengan orang tuanya.’
GTBJ pada kalimat (3) dan (4) merupakan bentuk yang menggunakan frasa ora
ilok ‘tidak pantas’. Pada kalimat (3) terdapat suatu nasihat bahwa tidak baik jika memuji
bayi karena si anak dapat tumbuh menjadi anak yang tinggi hati karena biasa dipuji
dalam keluarganya. Sedangkan pada kalimat (4) mengandung nasihat jika bayi tidak
boleh dipanggul karena selain membahayakan jiwa si bayi, menurut kepercayaan Jawa
hal itu juga akan membuat si bayi akan berani melawan orang tuanya kelak jika dewasa
karena sudah ‘diletakkan’ di atas orang tuanya.
Dilihat dari kalimat (1), (2), (3), dan (4) dapat disimpulkan bahwa GT adalah
pendidikan budi pekerti dalam mendidik anak bahkan sebelum si anak dilahirkan. Sejak
dalam kandungan ikatan batin antara ibu dan anak sudah terikat begitu kuat, maka jika si
ibu mempunyai suasana hati tertentu, besar kemungkinan akan menjadi sifat bayi yang
akan dilahirkan. Orang tua yang sudah tentu pengalaman dalam mendidik anak pasti akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memberi nasihat agar cucu yang akan dilahirkan kelak mempunyai sifat dan budi pekerti
yang luhur.
B.
Kalimat
Salah satu unsur bahasa adalah kalimat. Kalimat adalah bagian terkecil ujaran
atau teks (wacana) yang mengungkapkan pikiran yang utuh secara ketatabahasaan.
Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh
intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya perpaduan atau
asimilasi bunyi (Anton M. Moeliono, 1988: 254).
Kalimat terbentuk dari beberapa unsur: kata, intonasi dan makna. Kalimat tidak
ditentukan dari jumlah suku kata. Dengan begitu, satu kata saja dapat didefinisikan
sebagai kalimat jika disertai dengan intonasi yang benar dan maknanya dapat dimengerti.
C.
Fungsi
Fungsi bahasa yang sangat dasar adalah sebagai alat komunikasi. Dalam
perkembangannya, bahasa mempunyai banyak fungsi sekunder. Bahasa dapat
menjelaskan status, daerah asal, pendidikan, bahkan kepribadian seseorang. Penggunaan
bahasa yang benar harus disertai etika tutur kata, moral yang dikandung, dan disampaikan
dengan sopan-santun. Hal-hal tersebut penting digunakan untuk menciptakan lingkungan
yang baik, dan damai.
Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan
berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan
beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk
melakukan kontrol sosial (Keraf, 2001: 3).
Di bawah ini akan diuraikan mengenai etika, moral, dan sopan-santun.
1.
Etika
Etika berarti ilmu yang mempelajari apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat-istiadat (Bertens, 1997: 4). Semua suku bangsa pastilah mempunyai etika.
Etika ini berkembang sesuai kebudayaan mereka. Di Jawa, etika diatur
berdasarkan banyak hal, salah satunya adalah stratifikasi sosial. Penting untuk
menempatkan diri dalam tataran yang tepat dan menyadari tingkatan mereka,
sehingga manusia Jawa dituntut untuk luwes dan dapat menempatakn diri pada
situasi dan kondisi apapun untuk berbaur dan bertahan di dalamnya.
2.
Moral
Moral adalah kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait
nilai-nilai baik dan buruk (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral diakses pada tanggal
17 April 2010 pukul 12.17 WIB).
Pengertian moral dapat diartikan adat kebiasaan perbuatan manusia yang
dikatakan baik jika sesuai dengan adat kebiasaan budi pekerti. Moralitas adalah
kualitas dalam perbuatan kemanusiaan yang benar atau salah, yang baik atau
buruk. Pada dasarnya moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai
to userpada baik buruknya perbuatan.
manusia, sedangkan moralitascommit
mengacu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan ajaran moral maksudnya ajaran, wejangan, ptokan-patokan, kumpulan
peraturan dan ketetapan baik lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia
harus hidup dan bertindak agar menjadi lebih baik (Franz Magnis-Suseno, 2001:
15).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa moral adalah perbuatan, pikiran
maupun ucapan tentang baik-buruk, benar-salah yang didasarkan pada patokan
keluarga dan masyarakat sekitarnya.
3.
Sopan-santun
Norma sopan-santun adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan
sekelompok manusia di dalam masyarakat dan dianggap sebagai tuntutan
pergaulan sehari-hari masyarakat itu. Norma kesopanan bersifat relative, artinya
apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat,
lingkungan, atau waktu (http://id.wikipedia.org/wiki/Sopan-santun diakses pada
tanggal 17 April 2010 pukul 12.37 WIB).
Sopan-santun diatur menurut tempat, lingkungan, ataupun waktu. Maka norma ini
dapat berubah-ubah. Misalnya berbicara dengan teman tidak akan seformil
dengan orang tua atau orang yang baru dikenal. Atau di Barat, memakai baju yang
terbuka adalah hal yang lumrah terkait privasi dan otonomi tubuh mereka untuk
berekspresi, tetapi jika kita memakainya di Timur, pastilah kita akan kena tegur
atau apesnya dikucilkan masyarakat. Dengan demikian kita harus dapat
menyesuaikan diri dengan sopan-santu yang berlaku di manapun, saat apapun.
Karena dengan itu kita akan dapatcommit
diterima
dan menjadi bagian dari masyarakat.
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D.
Makna
Semantik adalah studi tentang makna. Pengertian makna (sense) dibedakan
dengan arti (meaning) di dalam semantik. Makna adalah pertautan yang ada diantara
unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Makna menurut Palmer (1976: 30)
hanya menyangkut intrabahasa. Makna kultural adalah makna yang terdapat dalam
masyarakat pada sebuah wacana. Namun demikian, makna kultural yang komplek ini
tidak akan dapat dijalankan dengan sempurna jika kita tidak memahami konteks budaya,
mitra tutur dan situasi tutur yang sedang terjadi.
1.
Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang dapat berubah sesuai dengan konteks
pemakaian. Kata tersebut mengalami proses gramatikalisasi pada pemajemukan,
imbuhan dan pengulangan.
2.
Makna Kultural
Makna kultural adalah makna yang berhubungan dengan kebudayaan. Untuk
memaknainya, kita harus memahami konteks dalam suatu budaya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi adalah cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam
melakukan penelitian. Menurut Djajasudarma (1993:1) metode merupakan cara kerja
yang bersistem dalam pelaksanaan suatu kegiatan untuk mempermudah mencapai tujuan
penelitian. Sedangkan metode penelitian adalah semua asas, peraturan dan teknik-teknik
yang perlu diperhatikan dalam usaha pengumpulan data dan dianalisis. Dalam melakukan
suatu penelitian, sebaiknya digunakan suatu metode yang tepat untuk menentukan
langkah – langkah dalam penelitian. Dalam metodologi penelitian ini akan dijelaskan
jenis penelitian, lokasi penelitian, data dan sumber data, alat penelitian, populasi, sampel,
metode pengumpulan data, dan metode analisis data.
A.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai untuk mengkaji GTBJ ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Maksud dari penelitian ini adalah mendiskripsikan dan menjelaskan
fenomena yang muncul tanpa menggunakan hipotesa dan data dianalisis serta hasilnya
berbentuk deskriptif, fenomena yang tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan
antara variable (Aminuddin, 1990: 6).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif terutama berupa kata-kata,
kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka atau frekuensi (H. B.
Sutopo, 2002: 35).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian gugon tuhon ini mengumpulkan data berupa ujaran lisan dan
penyajian datanya berupa deskripsi dari olahan data gugon tuhon tersebut.
B.
Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian itu sendiri, dan bahan yang dimaksud bukan bahan
mentah, melainkan bahan jadi. Atau dengan rumusan lain data pada hakikatnya adalah
obyek sasaran penielitian beserta dengan konteksnya (Sudaryanto,1993:9). Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data lisan yang didapat dari narasumber di
kecamatan Tingkir, Salatiga. Sumber data adalah pencipta atau penghasil data yang
sekaligus tentu saja si penghasil atau pencipta data yang dimaksud, biasanya disebut nara
sumber (Sudaryanto, 1990: 35). Data dan sumber data dibagi dalam dua kelompok, yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun data dan sumber data dalam
penelitian ini:
1. Data dan sumber data primer.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah penduduk terpilih Kecamatan
Tingkir, Kota Salatiga yang dipandang mengetahui dan paham tentang gugon tuhon
kehamilan dan merawat bayi. Sedangkan datanya adalah ujaran tentang gugon tuhon
wanita hamil dan merawat balita.
2. Data dan sumber data sekunder.
Sumber data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku dan literatur yang relevan
dengan penelitian ini. Sedangkan data sekunder dari penelitian ini adalah keteranganketerangan yang diambil dari buku-buku dan literatur yang terkait dengan penelitian
ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sumber data dari penelitian ini adalah penduduk Kecamatan Tingkir, Kota
Salatiga yang memenuhi kriteria yang ditetapkan. Desa ini dipilih karena sebagian besar
penduduknya masih tradisional dengan mempertahankan budaya Jawa. Masih banyak
ajaran GT yang disebarkan secara lisan. Sebagian besar penduduknya masih
mempercayai dan mematuhi GT tersebut. Sumber data lisan berasal dari informan yang
berupa tuturan. Adapun kriteria informan adalah sebagai berikut:
1. Penutur asli bahasa Jawa.
2. Penduduk asli daerah setempat.
3. Berusia 21-70 tahun yang dirasa betul-betul mengerti dan memahami GTBJ.
4. Memahami bahasa dan budaya Jawa.
5. Memiliki alat ucap sempurna.
6. Bisa berbahasa Indonesia.
7. Bersedia menjadi informan atau bersedia diwawancara dan mempunyai waktu
cukup untuk diwawancarai.
Setelah menetapkan kriteria di atas, diperoleh 9 orang informan yang dirasa
dapat dikumpulkan data yang dimaksudkan.
C. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian
ini adalah peneliti sendiri. Alat bantu dalam penelitian terdiri dari bolpoint, tipe-x, buku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
catatan, sedangkan alat bantu elektronik berupa komputer, flasdisk, alat rekam berupa
mp3 player.
D. Populasi dan Sampel
Populasi adalah objek penelitian yang pada umumnya adalah keseluruhan
individu dari segi-segi tertentu bahasa (Edi Subroto, 1991: 32). Adapun populasi dalam
penelitian ini adalah masyarakat yang mengetahui ujaran tentang GTBJ mengenai
kehamilan dan merawat bayi.
Sampel adalah sebagian populasi yang dijadikan objek penelitian secara
langsung yang mewakili populasi atau mewakili populasi secara keseluruhan (Edi
Subroto,1991: 32). Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive
sampling yaitu mengambil sample secara selektif dan benar-benar memenuhi
kepentingan dan tujuan berdasarkan data yang ada (Edi Subroto, 1991: 25). Sampel
dalam penelitian ini adalah ujaran yang mengandung GTBJ yang menyangkut nasihat
untuk wanita hamil dan merawat bayi yang diucapkan oleh informan. Informan diambil
dari masyarakat Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.
Setelah dilakukan penetapan kriteria informan, maka didapatlah beberapa orang
yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini. Sembilan orang informan diambil dari
kecamatan Tingkir secara random, yaitu dari desa Nanggulan, Kalibening, Celong,
Klumpit, dan Ngenthak. Informan-informan tersebut berprofesi sebagai pedagang,
karyawan, bidan, dukun bayi, guru, entertainer, dan ibu rumah tangga.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan suatu
fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Data dikumpulkan dengan metode dasar
yaitu teknik sadap. Untuk mendapatkan data pertama-tama si peneliti harus menyadap
pembicaraan seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto, 1993: 133). Adapun mengenai
teknik lanjutannya menggunakan teknik simak libat cakap (SLC), teknik rekam, dan
teknik catat. Teknik SLC ialah di mana peneliti menyimak pembicaraan calon data dan
berpartisipasi dalam dialog (Sudaryanto, 1993: 134). Pengumpulan data juga
menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth-interviewing). Cara ini bersifat
deskriptif dan eksplanatoris, yaitu peneliti di samping berusaha menjaring informasi
deskriptif mengenai fakta atau fenomena sosiolinguistik (linguistik), juga berupaya
menggali informasi yang berupa penjelasan munculnya fakta atu fenomena tersebut
(Gunawan dalam Mahsun, 2005: 228). Untuk mengabsahkan data yang diucapkan dari
para informan tersebut, maka perlu dilakukan teknik rekam agar data yang diperoleh
dapat dianalisis dengan baik. Selain itu dapat juga dibantu dengan teknik catat untuk
mencatat fenomena yang tidak dapat ditangkap dalam teknik rekam untuk
menyempurnakan pengumpulan data.
F. Metode Analisis Data
Pada penelitian ini penulis akan menganalisis data menggunakan metode
distribusional dan metode padan.
1. Metode Distribusional
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Metode distribusional disebut juga dengan metode agih. Metode distribusional
adalah metode analisis data yang alat penentunya unsur dari bahasa itu sendiri
(Sudaryanto, 1993: 15).
Teknik yang digunakan adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini
digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur
yang bersangkutan dipandang sebagai bagian langsung membentuk satuan lingual yang
dimaksud (Sudaryanto, 1993: 42). Jika unsur yang dilesapkan membuat kalimat menjadi
tidak gramatikal, berarti unsur tersebut mempunyai kadar keintian yang tinggi, sehingga
tidak dapat dihilangkan. Teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik lesap dan teknik
ganti.
Teknik lesap digunakan untuk menganalisis dan mengetahui kadar keintian
unsur yang dilesapkan. Jika hasil dari pelesapan itu tidak gramatikal maka berarti unsur
yang bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi atau bersifat inti: artinya, sebagai
unsur pembentuk satuan lingual, unsur yang bersangkutan mutlak diperlukan
(Sudaryanto, 1993: 42).
Metode distribusional dengan teknik dasar BUL dan teknik lanjutan berupa
teknik lesap dan teknik ganti untuk menganalisis bentuk GTBJ, teknik ganti digunakan
untuk mengatahui kadar keintian suatu unsur yang diganti. Contoh penerapannya sebagai
berikut:
(1)
Aja mateni kewan yen lagi mbobot.
‘Jangan membunuh hewan jika sedang hamil’
(2)
Ora ilok bocah dilem.
‘Tidak pantas bayi dipuji’
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Untuk mengatahui kadar keintian salah satu unsur, salah satu unsur yang
dimaksud dihilangkan atau dilesapkan, yang hasilnya sebagai berikut:
(1a) Ø mateni kewan yen lagi mbobot.
‘Ø membunuh hewan jika sedang hamil’
(2a) Ø bocah dilem.
‘Ø bayi dipuji’
Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa unsur aja ‘jangan’ dan ora ilok
‘tidak pantas’ merupakan unsur inti yang tidak dapat dihilangkan maupun dilesapkan.
Karena jika dihilangkan atau dilesapkan, maka kalimat itu menjadi tidak gramatikal dan
maknanya menjadi berbeda.
Sedangkan jika menggunakan teknik ganti, hasilnya akan menjadi seperti ini:
(1b)
ndeloki
Aja
* mateni
kewan yen lagi mbobot.
ngopeni
melihat
‘ Jangan
*membunuh
hewan jika sedang hamil.’
memelihara
(2b)
digendhong
Ora ilok bocah
disunggi
*dilem
digendong
‘ Tidak pantas anak
dipanggul
‘
*dipuji
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis kalimat (1b) dan (2b) di atas dengan teknik ganti menunjukka
bahwa kalimat tersebut masih berterima namun tidak menunjukkan GT yang dimaksud.
2. Metode Padan
Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji untuk menentukan
identitasa satuan lingual tertentu dengan alat penentu di luar bahasa (Sudaryanto, 1993:
13). Adapun penerapannya antara lain sebagai berikut:
(1)
Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.
Fungsi dari GT ini adalah pelajaran dari dua segi, yaitu pendidikan
etika/moral dan pendidikan kesehatan. Dari segi moral, menurut konsepsi Jawa,
meletakkan anak lebih tinggi dari orang tua atau membiarkan anak memegang
kepala orang tuanya secara tidak langsung mengajarkan anak bahwa kedudukan
anak lebih tinggi daripada orang tua, maka ketika dewasa si anak akan kurang ajar
dengan orangtuanya. Sedangkan dari segi kesehatan, memanggul bayi akan
membahayakan jiwa si bayi karena lemah dalam hal keamanan.
Makna gramatikal : tidak pantas bayi digendong di pundak, nanti berani dengan
orang tuanya.
Makna kultural : orang tua pasti ingin menyenangkan hati anaknya, salah satu
caranya adalah dengan menggendongnya di atas pundak, karena biasanya si anak
akan senang. Tetapi ternyata hal ini tidak diperbolehkan karena menurut nasihat
orang tua Jawa, si bayi kelak akan berani melawan orang tuanya jika sudah
dewasa. Pemaknaan secara kultural yang didapatkan dari masyarakat demikian,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tetapi mungkin ada benarnya juga orang tua memberi nasehat, karena anak kecil
yang banyak bergerak secara tiba-tiba itu mungkin saja terlepas dari pegangan
orang tuanya ketika sedang digendong diatas bahu. Secara logika hal ini
dikarenakan ketika berada di atas bahu, pengamanan dan kecekatan tangan orang
tua berkurang, dan tidak berada dalam jangkauan mata si penggendong, terlebih si
bayi berada di ketinggian jauh diatas tanah, ketika jatuh hal ini bisa berakibat
fatal. Oleh karena itu menggendong diatas bahu tidak diperbolehkan karena dari
segi manapun tidak aman.
(2) Ora ilok bayi disawung.
Fungsi dari GT ini adalah untuk pendidikan kesehatan dan etika/moral.
Menurut orang tua Jawa, menggendong dengan selendang akan mengeratkan
tali batin antara ibu-anak. Maka memang seharusnya seorang ibu menjaga
anaknya dengan sepenuh hati, selalu mendekatkan kepada anaknya agar kelak
ketika si anak dewasa, hubungan antara ibu dan anak tetap erat terjaga.
Sedangkan dari segi kesehatan, hal ini akan menjaga si bayi yang banyak
bergerak agar tidak mudah terlepas dari gendongan bagitu saja.
Makna gramatikal: tidak pantas bayi digendong tanpa selendang.
Makna kultural dalam GT tersebut adalah bahwa kita harus selalu menggendong
bayi dengan memakai selendang (disawung: nggendhong tanpa lendhang)
karena:
1)
Bayi akan terlepas dan jatuh dengan mudah jika tidak diikat ke badan kita.
2)
Menurut orang tua jaman dahulu, menggendong dengan selendang akan
mengikat erat batin si bayi dengan batin kita, sehingga akan selalu ada
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kontak batin yang kuat antara ibu denagn si anak sampai si anak dewasa
kelak.
3)
Oleh orang Jawa, menggendong dengan selendang dipercaya agar si bayi
tidak mudah terlepas dalam artian diambil keatas (meninggal) sewaktuwaktu.
(wawancara dengan ibu Sarmi, tanggal 3 Pebruari 2010)
(3) Ora ilok bayi diajak nyapu.
Fungsi dari GT ini adalah sebagai pendidikan kesehatan. Jika kita sedang
melakukan pekerjaan yang kotor, maka sebaiknya tidak mengajak serta si bayi
karena tentu saja si bayi dapat terkena kotoran yang ditimbulkan. Dalam hal ini
menyapu yang menimbulkan debu dapat mengganggu pernapasan bayi yang
masih rentan. hal ini dapat membuat bayi menjadi asma atau flu, maupun masalah
pencernaan.
Makna gramatikal: tidak pantas bayi diajak menyapu (digendong sambil
menyapu).
Makna kultural dalam GT ini adalah bahwa kita jangan pernah menggendong si
bayi sambil menyapu karena:
1)
Debu yang tersapu akan terhirup si bayi sehingga dapat menyebabkan
gangguan pernapasan si bayi yang masih halus.
2)
Menurut orang tua Jawa, menyapu sambil menggendong bayi akan
menyebabkan si bayi jatuh ketika memanjat kelak jika ia sudah dewasa.
(wawancara dengan ibu Sarmi, tanggal 3 Pebruari 2010)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
G. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian analisis data menggunakan metode deskriptif, formal dan
informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan pada
fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris
hidup pada penutur-
penuturnya (Sudaryanto, 1993: 62).
Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data yang menggunakan
kata-kata sederhana sebagai pembantu dalam memahami hasil analisis data tersebut.
Sedangkan metode formal adalah metode penyajian data dengan mencantumkan
dokumen tentang data sebagai lampiran.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bentuk
Subbab ini akan menganalisis bentuk GT untuk mengetahui kadar keintian suatu
unsur kalimat, kegramatikalan dan berterima tidaknya kalimat tersebut.
1. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ Sebagai Penanda Kalimat
Larangan.
GT yang menggunakan pewatas aja „jangan‟ antara lain: (1) Aja ngombe es
„jangan minum es‟, (2) Aja mateni utawa nyiksa kewan „jangan membunuh atau
menyiksa hewan‟, (3) Aja ngethok rambut „jangan memotong rambut‟, (4) Aja mangan
sing panas-panas „jangan makan yang panas-panas‟, (5) Aja njitheti utawa ndondomi
kathok „jangan minisik atau menjahit celana‟.
Data (1) sampai (5) akan dianalisis menggunakan teknik ganti untuk mengetahui
kadar keintian pewatas aja „jangan‟ sebagai penanda kalimat larangan.
(1a)
*Aja
Ampun
(2a)
*Aja
ngombe es.
„
*Jangan
Jangan
mateni utawa nyiksa kewan.
Ampun
„ *Jangan
membunuh atau menyiksa hewan.‟
Jangan
commit to user
minum es.‟
perpustakaan.uns.ac.id
(3a)
*Aja
digilib.uns.ac.id
ngethok rambut.
„ *Jangan
Ampun
(4a)
*Aja
Jangan
mangan sing panas-panas.‟ * Jangan
Ampun
(5a)
memotong rambut.‟
makan yang panas-panas.‟
Jangan
*Aja njitheti utawa ndondomi kathok.‟ *Jangan menisik atau menjahit celana.‟
Ampun
Jangan
Dari analisis diatas kata aja „jangan‟ tidak dapat diganti dengan kata ampun
„jangan‟ walaupun bermakna sama. Karena jika diganti maka kalimat tersebut menjadi
tidak gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT.
Selanjutnya data (1b) sampai (5b) akan dengan teknik ganti. Adapun yang akan
dianalisis adalah objek dari kalimat GT tersebut.
(1b) Aja ngombe
„Jangan minum
*es
banyu
*es
„
air
„Jangan membunuh atau menyiksa *hewan „
(2b) Aja mateni utawa nyiksa *kewan
kebo
kerbau
„Jangan memotong *rambut „
(3b) Aja ngethok *rambut
kain
(4b) Aja mangan sing
kain
*panas-panas
Jangan memakan yang
kecut-kecut
(5b) Aja njithethi utawa ndondomi
*panas-panas
asam-asam
*kathok
sarung
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Jangan munutup atau menjahit
digilib.uns.ac.id
*celana
sarung
Analisis data (1b) sampai (5b) menunjukkan hasil yang gramatikal namun tidak
berterima serta tidak menunjukkan GT walaupun kata yang digunakan mempunyai arti
yang hampir sama.
Kalimat (1c) sampai (5c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu pewatas aja
„jangan‟ jika digantikan dengan frasa ora ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak baik‟.
(1c)
*Aja
*Ora ilok
* Jangan
ngombe es.
*Tidak pantas
*Ora becik
(2c)
(3c)
(4c)
(5c)
*Aja
minum es.
*Tidak baik
mateni utawa nyiksa kewan. * Jangan
* Ora ilok
*Tidak pantas
*Ora becik
*Tidak baik
*Aja
ngethok rambut.
*Jangan
*Tidak pantas
*Ora becik
*Tidak baik
mangan sing panas-panas.
* Jangan
*Ora ilok
*Tidak pantas
*Ora becik
*Tidak baik
*Aja
njitheti utawa ndondomi kathok.
menyiksa hewan.
memotong rambut.
*Ora ilok
*Aja
membunuh atau
makan yang
panas-panas.
* Jangan
menutup atau
*Ora ilok
*Tidak pantas
menjahit celana.
*Ora becik
*Tidak baik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (1c) samapi dengan (5c) menunjukkan bahwa setelah
pewatas aja „jangan‟ diganti dengan frasa ora ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak
baik‟ hasilnya tetap berterima, gramatikal dan menunjukkan GT. Dengan begitu frasa ora
ilok „tidak pantas‟ dan ora becik „tidak baik‟ dapat menggantikan fungsi pewatas aja
„jangan‟.
Selanjutnya teknik lesap akan digunakan untuk menganalisis data (1d) sampai
(5d). adapun yang akan dianalisis adalah pewatas aja „ jangan‟.
(1d) Ø ngombe es.
„Ø minum es.‟
(2d) Ø mateni utawa nyiksa kewan.
„Ø membunuh atau menyiksa hewan.‟
(3d) Ø ngethok rambut.
„Ø memotong rambut.‟
(4d) Ø mangan sing panas-panas.
„Ø memakan yang panas-panas.‟
(5d) Ø njitheti utawa ndondomi kathok.
„Ø menutup atau menjahit celana.‟
Setelah dinalisis dengan teknik lesap, data (1d) sampai (5d) tetap menunjukkan
kalimat yang gramatikal dan berterima, tetapi bukan merupakan GT. Oleh karena itu
pewatas aja „jangan‟ adalah penenda yang wajib hadir dalam kalimat larangan.
Yang akan dinalisis selanjutnya adalah verba dalam kalimat diatas.
(1e) Aja Ø es.
„jangan Ø es.‟
(2e) Aja Ø kewan.
„jangan Ø hewan.‟
(3e) Aja Ø rambut.
„jangan Ø rambut.‟
(4e) Aja Ø sing panas-panas.
„jangan Ø yang panas-panas.‟
(5e) Aja Ø kathok.
„jangan Ø celana.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (1e) sampai (5e) dengan menggunakan teknik lesap hasilnya
dalah tidak berterima dan tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Namun untuk
nomer (4e) tetap menunjukkan kalimat yang gramatikal dan berima.
2. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ Sebagai
Penanda Sebab Akibat.
GT selain menggunakan kata aja „jangan‟ juga menggunakan kata mundhak
„nanti‟ sebagai kalimat yang akan menjelaskan suatu akibat yang akan terjadi dari suatu
sebab. Kata „nanti‟ di sini bukan menunjukkan kata ganti waktu, namun menunjukkan
akibat dari suatu perbuatan. GT yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya: (6) Aja
nyingkirake apa-apa
nganggo sikil,
mundhak bayine lair
sungsang
„jangan
menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti bayinya lahir sungsang (kakinya keluar
terlebih dahulu)‟ (7) Aja mangan godhong kates, mundhak ari-arine remuk „jangan
makan daun pepaya, nanti ari-arinya hancur‟ (8) Aja turu yen bar nglairke, mundhak
kelindheh „jangan tidur sehabis melahirkan, nanti trans (keadaan tidak sadar hingga dapat
menjadi gila atau meninggal)‟ (9) Aja mangan pedhes, mundhak bayine ana wiji
lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan yang pedas, nanti anaknya ada biji cabainya,
atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟.
Dalam analisis kalimat sebelumnya, pewatas aja „jangan‟ tidak dapat diganti
ataupun dihilangkan karena itu adalah esensi dari kalimat larangan. Maka pada subbab ini
yang akan dianalisis adalah kata mundhak „nanti‟ yang menandakan sebab akibat dari
suatu kalimat. Data (6a) sampi (9a) akan dinalisis menggunakan teknik ganti.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(6a) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, *mundhak
bayine lair sungsang.
mengko
„Jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, *nanti
bayinya lahir sungsang‟
nanti
(7a) Aja mangan godhong kates, *mundhak
ari-arine remuk.
mengko
„Jangan makan daun pepaya,
*nanti
ari-arinya hancur‟
nanti
(8a) Aja turu yen bar nglairke, *mundhak
kelindheh.
mengko
„Jangan tidur sehabis melahirkan, *nanti
trans‟
nanti
(9a) Aja mangan pedhes, *mundhak
bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
mengko
„Jangan makan pedas
*nanti
nanti
anaknya ada biji cabainya, atau matanya
selalu mengeluarkan kotoran‟
Dari hasil analisis diatas, data (6a) sampai (9a) kalimatnya tetap gramatikal dan
berterima, namun kata mundhak „nanti‟ tidak dapat diganti dengan kata mengko „nanti‟
walaupun artinya sama. Maka jika kata mundhak „nanti‟ diganti, kalimat tersebut tidak
akan menunjukkan kalimat GT.
Selanjutnya data (6b) sampai (9b) akan dianalisis objek di belakang kata mundhak.
(6b) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak *bayine
bocahe
commit to user
lair sungsang.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
„Jangan menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti *bayinya
lahir sungsang‟
anaknya
(7b) Aja mangan godhong kates, mundhak
*ari-arine
remuk.
ususe
„Jangan makan daun pepaya, nanti *tembuninya
hancur‟
ususnya
(8b) Aja turu yen bar nglairke, mundhak *kelindheh
keturon
„Jangan tidur sehabis melahirkan, nanti
*trans
„
ketiduran
(9b) Aja mangan pedhes, mundhak *bayine
ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
bocahe
„Jangan makan yang pedas, nanti *bayinya
ada biji cabainya, atau matanya
anaknya
selalu mengeluarkan kotoran‟
Dari analisis data (6b) sampai (9b) diatas, menunjukkan bahwa data (6b), (7b),
(9b) tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak menunjukkan GT yang
dimaksudkan. Sedangkan data (8b) tidak gramatikal, tidak berterima, serta tidak
menunjukkan GT.
Selanjutnya kata mundhak „nanti‟ pada data (6c) sampai (9c) akan dianalisis
dengan menggunakan teknik lesap untuk mengetahui kadar keintian kata tersebut.
(6c) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, Ø bayine lair sungsang „jangan
menyingkirkan apapun memakai kaki, Ø bayinya lahir sungsang (kakinya keluar terlebih
dahulu)‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(7c) Aja mangan godhong kates, Ø ari-arine remuk „jangan makan daun pepaya, Ø ariarinya hancur‟.
(8c) Aja turu yen bar nglairke, Ø kelindheh „jangan tidur sehabis melahirkan, Ø trans
(keadaan tidak sadar hingga dapat menjadi gila atau meninggal)‟.
(9c) Aja mangan pedhes, Ø bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan
yang pedas, Ø anaknya ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟.
Dari hasil analisis diatas dapat dilihat bahwa kata mundhak „nanti‟ jika
dilesapkan menjadi tidak berterima, tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT. Oleh
karena itu dapat disimpulkan kata mundhak „nanti‟ adalah kata yang wajib ada dalam
kalimat larangan yang menunjukkan sebab-akibat.
Selanjutnya verba atau nomina yang berada di belakang kata mundhak „nanti‟
yang akan dianalisis dengan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut:
(6d) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak Ø lair sungsang „jangan
menyingkirkan apapun memakai kaki, nanti Ø lahir sungsang (kakinya keluar terlebih
dahulu)‟.
(7d) Aja mangan godhong kates, mundhak Ø remuk „jangan makan daun pepaya, nanti Ø
hancur‟.
(8d) Aja turu yen bar nglairke, mundhak Ø „jangan tidur sehabis melahirkan, nanti Ø‟
(9d) Aja mangan pedhes, mundhak Ø ana wiji lomboke, yen ora lodhoken „jangan makan
yang pedas, nanti Ø ada biji cabainya, atau matanya selalu mengeluarkan kotoran‟.
Dari data (6d) sampai (9d) setelah dinalisis ternyata hasilnya menunjukkan
bahwa data (7d) dan (9d) berterima namun tidak gramatikal serta tidak menunjukkan GT.
Pada data (6d) menunjukkan hasil yang berterima, namun tidak gramatikal tetapi tetap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menunjukkan GT. Sedangkan pada data (8d) verba setelah kata mundhak „nanti‟ tidak
dapat dihilangkan atau dilesapkan. Karena jika dilesapkan, maka kalimat tersebut
menjadi tidak gramatikal dan tidak berima.
3. GT yang Menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam
satu kalimat.
GT dalam penyampaiannya ada juga yang menggunaka kata aja „jangan‟ pada
awal kalimat dan frasa ora ilok „tidak pantas‟ pada akhir kalimat dalam satu kalimat.
Tetapi kata dan frasa ini tidak dapat dipertukarkan letaknya karena kalimatnya akan
menjadi tidak berterima dan tidak gramatikal.
Data (10a) sampai (12a) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu kata aja
„jangan‟ untuk mengetahui kadar keintian kata tersebut.
(10a) Aja *mincuk
godhong bekas, ora ilok. „Jangan *memincuk
membungkus tidak pantas‟
mbungkus
(11a) Aja
*mbunteti
leng tikus, ora ilok. „Jangan
ngurugi
(12a) Aja
*adus
daun bekas,
*menutup
menutup
wengi-wengi, ora ilok. „Jangan
ngumbahi
*mandi
mencuci
lubang tikus,
tidak pantas‟
malam-malam,
tidak pantas‟
Dari analisis diatas dapat dilihat bahwa data (10a) – (12a) setelah dianalisis
hasilnya tetap gramatikal dan berterima namun tidak menunjukkan kalimat GT.
Lalu data (10b) – (12b) akan dianalisis objek atau adverbia di belakang verba.
Hasilnya adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(10b) Aja mincuk *godhong bekas , ora ilok. „Jangan memincuk *daun bekas , tidak
kertas bekas pantas‟
kertas bekas
(11b) Aja mbunteti
*leng tikus
ora ilok. „Jangan
angin-angin
(12b) Aja adhus
*lubang tikus
, tidak pantas.‟
lubang angin
*wengi-wengi , ora ilok. „Jangan *malam-malam
esuk-esuk
, tidak pantas‟
pagi-pagi
Analisis da (10b) – (12b) diatas menunjukkan jika objek atau adverbianya
diganti, maka kalimat tersebut masih gramatikal dan berterima, namun tidak
menunjukkan GT.
Selanjutnya data (10b) – (12b) diatas akan dilesapkan penanda negasinya untuk
mengetahui kadar keintiannya.
(10b) Ø mincuk godhong bekas, ora ilok. „Ø memincuk daun bekas, tidak pantas‟.
(11b) Ø mbunteti leng tikus, ora ilok. „Ø menutup lubang tikus, tidak pantas‟.
(12b) Ø adhus wengi-wengi, ora ilok. „Ø mandi malam-malam, tidak pantas‟.
Analisis diatas menunjukkan bahwa pewatas aja „jangan‟ jika dihilangkan maka
kalimatnya masih tetap gramatikal, tetapi tidak berterima. Namun begitu masih tetap
menunjukkan kalimat GT. Dengan kata lain tanpa pewatas aja „jangan‟ pun masih tetap
dapat diucapkan dan mitra tutur mengerti bahwa itu termasuk dalam salah satu GT.
4. GT yang Menggunakan Frasa ora ilok ‘tidak pantas’.
Sebagai kalimat perintah yang juga merupakan kalimat larangan, GT juga
menggunakan frasa ora ilok sebagai penandanya. Biasanya frasa tersebut digunakan di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
depan kalimat. Kalimat-kalimat yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain: (13)
Ora ilok nggendhong anak disambi nyapu „tidak pantas menggendong bayi sambil
menyapu‟ (14) Ora ilok bayi dijak ngaca „tidak pantas bayi diajak berkaca‟ (15) Ora ilok
bayi dilem „tidak pantas bayi dipuji‟.
Yang akan dianalisis pertama kali adalah frasa ora ilok „tidak pantas‟ untuk
menentukan kadar keintian penanda negasi tersebut. Data (13a) sampai (15a) akan
dianalisis menggunakan teknik lesap.
(13a)
*ora ilok nggendhong anak disambi nyapu. „*tidak pantas menggendong anak
ora becik
ora oleh
(14a)
(15a)
* ora ilok
tidak boleh
bayi dijak ngaca.
„
*tidak pantas
ora becik
tidak baik
ora oleh
tidak boleh
*ora ilok
sambil menyapu‟
tidak baik
bayi dilem.
„
*tidak pantas
ora becik
tidak baik
ora oleh
tidak boleh
bayi diajak berkaca‟
bayi dipuji‟
Hasil analisis data diatas menunjukkan bahwa jika frasa ora ilok diganti dengan
ora becik atau ora oleh, maka kalimatnya tetap gramatikal dan berterima. Jika diganti
dengan ora oleh, menjadi tidak termasuk dalam GT. Namun ora becik dapat
menggantikan ora ilok dan tetap menjadi GT karena dua frasa tersebut sejajar dan hampir
sama artinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data (13b) sampai (15b) akan dianalisis verba dalam kalimat tersebut dengan
teknik ganti.
(13a) Ora ilok
*nggendhong anak disambi nyapu.
nyangking
„Tidak pantas
*menggendong
anak sambil menyapu „
membawa
(14a) Ora ilok bayi dijak
*ngaca
„Tidak pantas bayi diajak
dandan
(15a) Ora ilok bayi
* dilem
.
*berkaca
„
bersolek
„Tidak pantas bayi
dilokne
*dipuji
.
dikatai
Setelah data (13b) – (15b) dianalisis, hasilnya data (13b) dan (14b) tidak
gramatikal dan tidak berterima. Tetapi pada data (15b) kalimatnya gramatikal, berterima
serta menunjukkan GT.
Selanjutnya data (13c) – (15c) akan dianalisis penanda negasinya, yaitu frasa
ora ilok dengan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut:
(13c) Ø nggendhong anak disambi nyapu „Ø menggendong bayi sambil menyapu‟.
(14c) Ø bayi dijak ngaca „Ø bayi diajak berkaca‟.
(15c) Ø bayi dilem „Ø bayi dipuji‟.
Setelah dianalisis, ternyata data (13c) – (15c) tetap berterima dan gramatikal
serta menunjukkan GT. Dengan kata lain frasa ora ilok tidak wajib hadir dalam tuturan
langsung untuk menangkap maksud si penutur bahwa kalimat tersebut adalah piwulang
untuk dilaksanakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemudian data (13d) – (15d) akan dianalisis objeknya dengan teknik lesap.
(13) Ora ilok nggendhong Ø disambi nyapu „tidak pantas menggendong Ø sambil
menyapu‟.
(14) Ora ilok Ø dijak ngaca „tidak pantas Ø diajak berkaca‟.
(15) Ora ilok Ø dilem „tidak pantas Ø dipuji‟.
Setelah dilesapkan objeknya, ternyata data (13d) gramatikal dan berterima serta
masih menunjukkan GT. Sedangkan (14d) dan (15d) tidak gramatikal, tidak berterima
serta tidak menunjukkan GT.
5. GT yang Menggunakan kata yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai
penanda kalimat perumpamaan.
Dalam GT yang diucapkan secara langsung dari penutur kepada mitra tutur
biasanya ada juga kalimat yang diucapkan dengan kata yen „kalau‟. Tuturan yang
menggunakan kalimat perumpamaan ini antara lain: (16) Yen lelungan aja lali nggawa
dlingo bengle karo gunting „kalau bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan
gunting‟, (17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora
katutan sawan manten „kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga
pengantin, biar tidak diikuti sawan pengantin‟, (18) Yen tilik bayi kudu dijalukne bedhak
bayi „kalau menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi‟, (19) Yen nduwe anak,
apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol „kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki,
pasti rambutnya rontok‟, (20) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka
omah „kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Data (16a) – (20a) akan dinalisis kata penanda kalimat perumpamaannya, yaitu
kata yen „kalau‟. Hasilnya adalah sebagai berikut:
(16a)
*Yen
lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.
* Nek
Umpami
„
*Kalau
bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting‟
*Kalau
Kalau
(17a)
*Yen
* Nek
ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora
katutan sawan manten.
Umpami
„ *Kalau
*Kalau
mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar
tidak diikuti sawan pengantin‟
Kalau
(18a)
*Yen
tilik bayi kudu dijalukne bedhak bayi.
*Nek
Umpami
„
*Kalau
menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi‟
*Kalau
Kalau
(19a)
*Yen
nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodhol.
*Nek
Umpami
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
„
*Kalau
digilib.uns.ac.id
punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok‟
*Kalau
Kalau
(20a)
*Yen
durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah.
*Nek
Umpami
„
*Kalau
belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah‟
*Kalau
Kalau
Dilihat dari hasil analisis diatas dapat disimpulkan bahwa kata nek „kalau‟
dapat menggantikan kata yen „kalau‟ Karena mempunyai arti yang sama dan sejajar.
Sedangkan jika diganti dengan kata umpami „kalau‟, maka kalimat tersebut menjadi tidak
gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT karena kedua kata tersebut
tidak sejajar walaupun mempunyai arti yang sama.
Selanjutnya objek nomina pada data (16b) –(20b) akan dianalisis menggunakan
teknik ganti.
(16b) Yen lelungan aja lali nggawa
*dlingo bengle
karo gunting.
kunir asem
beras kencur
„Kalau bepergian jangan lupa membawa *dlingo bengle
kuyit asam
beras kencur
commit to user
dan gunting.‟
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(17b) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne
*kembang manten , ben ora katutan
keris manten
sawan manten.
kembar mayang
„Kalau mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan
*bunga pengantin
, biar tidak
keris pengantin
kembar mayang
diikuti sawan pengantin.‟
(18b) Yen tilik bayi kudu dijalukne
*bedak bayi
.
minyak telon
„Kalau menjenguk bayi harus dimintakan
*bedak bayi.
„
minyak telon
(19b) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti
*rambute
brodol.
idepe
„Kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti
*rambutnya
rontok.‟
bulu matanya
(20b) Yen durung selapan anake ora oleh digawa metu saka
„
*omah
kamar
latar
„Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari
*rumah
kamar
halaman
commit to user
„
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil analisis data (16b) – (20b) diatas menunjukkan hasil yang gramatikal dan
berterima, namun tidak menunjukkan GT walaupun kata yang diganti memiliki arti yang
sejajar.
Selanjutnya kata yen „kalau‟ pada data (16c) – (20c) akan dianalisis
menggunakan teknik lesap. Hasilnya adalah sebagai berikut:
(16) Ø lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.
„Ø bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan gunting.‟
(17) Ø ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan sawan
manten.
„Ø mengajak bayi ke kondangan harus dimintakan bunga pengantin, biar tidak
diikuti sawan pengantin.‟
(18) Ø tilik bayi kudu dijalukne bedak bayi.
„Ø menjenguk bayi harus dimintakan bedak bayi.‟
(19) Ø nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute brodol.
„Ø punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya rontok.‟
(20) Ø durung selapan anake ora oleh digawa metu saka omah.
„Ø belum 35 hari anaknya tidak boleh dibawa keluar dari rumah.‟
Analisis diatas menunjukkan bahwa jika kata yen
„kalau‟ dilesapkan, maka
kalimatnya tetap gramatikal, berterima dan menunjukkan GT.
Data (16d) – (20d) akan dianalisis verbanya juga menggunkana teknik lesap. Dan
hasilnya adalah sebagai berikut:
(16) Yen lelungan aja lali Ø dlingo bengle karo gunting.
„Kalau bepergian jangan lupa Ø dlingo bengle dan gunting.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(17) Yen ngejak bayi nyumbang kudu Ø kembang manten, ben ora katutan sawan
manten.
„Kalau mengajak bayi ke kondangan harus Ø bunga pengantin, biar tidak diikuti
sawan pengantin.‟
(18) Yen tilik bayi kudu Ø bedak bayi.
„Kalau menjenguk bayi harus Ø bedak bayi.‟
(19) Yen nduwe anak, apameneh yen lanang, mesti rambute Ø.
„Kalau punya anak, apalagi kalau laki-laki, pasti rambutnya Ø.k
(20) Yen durung selapan anake ora oleh Ø metu saka omah.
„Kalau belum 35 hari anaknya tidak boleh Ø keluar dari rumah.‟
Hasil analisis data diatas menunjukkan data (17d), (18d), dan (19d) tidak
gramatikal dan tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Namun data (16d) dan (20d)
tetap berterima dan gramatikal serta bermakna GT.
6. GT yang Menggunakan Kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang Berada di
Depan Kalimat Sebagai Penanda Kalimat Perumpamaan serta Kata mundhak
‘nanti’ Sebagai Penanda Akibat.
Selain GT yang menggunakan kata yen „kalau‟ atau nek „kalau‟ saja, ada juga
yang menggunakan kata mundhak „nanti‟ untuk memberi tahu akibatnya. Kalimatkalimat tersebut antara lain: (21) Nek mangan aja neng ngarep lawang, mundhak
nglairne angel „kalau makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit‟, (22) Yen
mangan aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet „kalau makan jangan memakai
takir, nanti ari-arinya lengket‟, (23) Yen mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ngomong sing ala-ala, mundhak nyawani „kalau datang ke rumah orang yang sedang
hamil tidak boleh berbicara yang buruk-buruk, nanti membawa hal buruk‟, (24) Yen
bayine durung rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden „kalau bayinya belum
dua tahun barang-barangnya jangan dibakar, nanti kulitnya terbakar‟.
Karena pada subbab 5 di atas telah dinalisis bahwa kata yen „kalau‟ dan nek
„kalau‟ adalah sejajar dan dapat saling menggantikan, maka pada subbab ini tidak akan
dianalisis lagi. Pada data (21a) – (24a) di bawah akan dianalisis verbanya untuk
mengetahui kadar keintiannya. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:
(21a) Nek
*mangan
aja neng ngarep lawang, mundhak nglairne angel.
dhahar
„Kalau
*makan
jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit.‟
makan
(22a) Yen
*mangan
aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet.
ngombe
„Kalau
*makan
jangan memakai takir, nanti ari-arinya lengket.‟
minum
(23a) Yen
*mara
neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala,
teka
„Kalau
mundhak nyawani.
*datang
ke rumah orang yang sedang hamil tidak boleh berbicara yang
datang
buruk-buruk, nanti membawa hal buruk.‟
(24a) Yen bayine
*durung
rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
dereng
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
„Kalau bayinya
digilib.uns.ac.id
*belum
dua tahun barang-barangnya jangan dibakar, nanti
terkena herpes.‟
belum
Setelah dianalisis ternyata menunjukkan data (21a) dan (24a) tidak gramatikal
dan tidak berterima karena merupakan ragam bahasa yang berbeda, serta tidak
menunjukkan GT. Sedangkan data (22a) gramatikal dan berterima namun tidak
menunjukkan GT. Pada data (23a) hasil menunjukkan gramatikal dan berterima serta
tetap menunjukkan GT.
Selanjutnya data (21b) – (24b) akan dinalisis objeknya menggunakan teknik
ganti. Dan hasilnya adalah sebagai berikut:
(21b) Nek mangan aja neng ngarep
*lawang
, mundhak nglairne angel.
omah
„Kalau makan jangan di depan
*pintu
, nanti melahirkannya sulit.‟
rumah
(22b) Yen mangan aja nganggo
*pincuk
, mundhak ari-arine kelet.
piring
„Kalau makan jangan memakai
*takir
, nanti ari-arinya lengket.‟
piring
(23b) Yen mara neng ngomahe
*wong mbobot
ora oleh ngomong sing ala-ala,
wong nglairake
„Kalau datang ke rumah
*orang hamil
mundhak nyawani.
tidak boleh berbicara yang
orang melahirkan
buruk-buruk, nanti
membawa hal buruk.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(24b) Yen bayine durung rong taun
digilib.uns.ac.id
*abrakane
aja dibakari, mundhak suleden.
bandhane
„Kalau bayinya belum dua tahun
*barang-barangnya
jangan dibakar, nanti
hartanya
kulitnya terbakar.‟
Setelah dianalisis, data (21b) – (24b) ternyata hasilnya data (22b) dan (24b)
tidak garamatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT. Sedangkan data (21b )
dan (23b) gramatikal, berterima serta tetap menunjukkan GT karena ada GT yang
menyatakan demikian.
Lalu data (21c) – (24c) akan dianalisis penanda kalimat perumpamaannya, yaitu
kata nek „kalau‟ dan yen „kalau‟ menggunakan teknik lesap. Hasilnya dalah sebagai
berikut:
(21c) Ø mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairne angel.
„Ø makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit.‟
(22c) Ø mangan aja nganggo pincuk, mundhak ari-arine kelet.
„Ø makan jangan memakai takir, nanti ari-arinya lengket.‟
(23c) Ø mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala, mundhak
nyawani.
„Ø datang ke rumah orang yang sedang hamil tidak boleh berbicara yang burukburuk, nanti membawa hal buruk.‟
(24c) Ø bayine durung rong taun abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
„Ø bayinya belum dua tahun barang-barangnya jangan dibakar, nanti kulitnya
terbakar‟.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dilihat dari analisis data (21c) – (24c) diatas, dapat disimpulkan jika kata yen
„kalau‟ atau nek „kalau‟ dilesapkan, maka kalimatnya tetap berterima namun tidak
gramatikal, tetapi tetap menunjukkan GT yang dimaksud. Sedangkan data (24c) hasilnya
tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak menunjukkan GT, karena jika kata yen
„kalau‟ dihilangkan maka kalimatnya akan diawali dengan nomina dan bukan verba.
Selanjutnya data (21d ) – (24d) akan dianalisis objeknya dengan teknik lesap.
Hasilnya sebagai berikut:
(21) Nek mangan aja neng ngarep Ø, mundhak nglairne angel.
„Kalau makan jangan di depan Ø, nanti melahirkannya sulit.‟
(22) Yen mangan aja nganggo Ø, mundhak ari-arine kelet.
„Kalau makan jangan memakai Ø, nanti ari-arinya lengket.‟
(23) Yen mara neng ngomahe Ø ora oleh ngomong sing ala-ala, mundhak nyawani.
„Kalau datang ke rumah Ø tidak boleh berbicara yang buruk-buruk, nanti membawa
hal buruk.‟
(24) Yen bayine durung rong taun Ø aja dibakari, mundhak suleden.
„Kalau bayinya belum dua tahun Ø jangan dibakar, nanti kulitnya terbakar‟.
Hasil analisis data (21d) – (24d) diatas menunjukkan bahwa jika objeknya
dilesapkan maka kalimatnya menjadi tidak gramatikal, tidak berterima serta tidak
menunjukkan GT yang dimaksud.
B. Fungsi
Kepribadian Jawa yang introvert membuat masyarakatnya tidak menuturkan
sesuatu yang dimaksud secara eksplisit. Ada beberapa factor yang melatar belakanginya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu ucapan orang tua yang netesi, dan pendidikan agar anaknya bisa menggunakan
akalnya untuk mencerna perkataan orang tuanya, membuat sastra lisan ini menjadi
bersifat kiasan. Adapun fungsi-fungsi GT akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub bab ini.
1. Pendidikan Kepercayaan.
Kejawen dapat digolongkan ke dalam animisme dan dinamisme karena kejawen
mempercayai adanya roh-roh dan nyawa dalam sebuah batu, pohon, hewan dan
benda-benda lainnya. Kejawen mempunyai ritual-ritual atau tradisi khusus sebagai
perwujudan dalam
menghormati roh-roh tersebut. Ucapan syukur itu dilakukan
dalam banyak kesempatan melalui sesuatu yang simbolis. Cara itu dilakukan agar
Tuhan tidak melaknat, roh-roh tidak merasa terganggu lalu marah karena mereka
melakukan kesalahan. Selain itu ada juga yang disebut slametan yaitu pengucapan
syukur kepada Tuhan dan roh-roh halus atas apa yang telah mereka beri untuk
mencapai sesuatau dan pengharapan untuk pencapaian selanjutnya. Namun selain
roh-roh yang menguntungkan ini, roh-roh tersebut bias juga berubah merugikan
karena menurut mereka manusia telah melakukan kesalahan pada mereka. Oleh
karena itu terkadang masyarakat Jawa juga memberikan sesajen atau ritual
pengusiran untuk gejala yang disebut dengan kesurupan.
GT yang termasuk dalam pendidikan religi ini diantaranya:
(1) Pas meteng sangang sasi, yen meh wayahe nglairake kudu diselameti jenang
prucut, pas dina Setu Wage.
Selamatan yang diadakan mempunyai maksud simbolis agar kelahirannya
dapat berjalan dengan cepat, lancar dan selamat. Dengan maksud bersyukur
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepada Tuhan, berbagi dengan sesama, serta memohonkan doa untuk bayi
yang akan dilahirkan serta keselamatan yang telah diberikan.
Jenang prucut sendiri yaitu berupa tepung beras yang diberi santan dan
gula Jawa (disebut jenang abang), lalu di tengahnya diberi pisang Raja yang
sudah dikukus terlebih dahulu.. selanjutnya si calon ibu akan menumpahkan
piring yang berissi jenang prucut ini untuk kemudian diterima si calon ayah
dengan piring pula. Prosesi ini menyimbolkan agar kelahirannya berjalan
dengan lancar dan mudah, dan saat keluar akan diterima oleh sang ayah
dengan suka cita. Acara ini sebaiknya diadakan pada hari Setu Wage, dengan
harapan yen metu ndang gage „kalau keluar agar cepat‟.
(2) Wiwit bayine lahir, aja lali sandhikke didokoki dlingo bengle, kaca pangilon,
jongkat, gunting, karo seblak.
Seperti telah disebutkan di atas, selain menguntungkan untuk masyarakat
Jawa, roh-roh halus ini ada juga yang merugikan bagi kehidupan mereka.
Mereka dipercaya dapat melakukan gangguan-gangguan jika makhlus halusmakhluk halus ini merasa diganggu oleh manusia. Yang sering melihat
penampakan makhluk halus ini sudah tentu bayi yang mana penglihatannya
masih awas dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu bayi diberi „senjata‟
agar ia tidak diganggu oleh roh-roh yang jahat ini. Maka setelah ia lahir, di
samping tempat tidurnya diletakkan dlingo bengle, cermin, sisir, gunting dan
sapu ijuk (sebagai pembersih kasur). Menurut orang Jawa dlingo bengle dapat
mengusir makhluk halus dikarenakan baunya yang sangat sangit, membuat
para makhluk halus tidak suka akan baunya. Jika hal ini tidak bekerja, masih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ada cermin yang akan membuat setan-setan itu takut sendiri jika melihat
wajahnya. Namun kalau masih tidak mempan, sisir dan gunting akan melukai
mereka jika berani mendekat. Sapu ijuk menyimbolkan kakek nenek buyut si
bayi yang sudah meninggal yang akan terus menjaga si bayi dari gangguan
halus. Begitulah kepercayaan masyarakat Jawa jika ada roh-roh halus yang
akan mengganggu.
(3) Yen ngejak bayi nyumbang kudu dijalukne kembang manten, ben ora kena
sawan manten.
Di dalam perayaan pernikahan, biasanya dukun pengantin meminta
bantuan roh-roh melalui mantera yang diucapkan dan ritual-ritual agar
perayaan yang diampunya berjalan dengan lancar. Roh-roh halus yang berada
dalam acara ini bisa saja terlihat oleh bayi yang masih awas atau bahkan dapat
mengikuti si bayi. Oleh karena itu si bayi harus dimintakan bunga yang biasa
dipakai oleh si pengantin yang biasanya berupa bunga Melati untuk kemudian
dilumatkan dan dioleskan di ubun-ubun si bayi. Hal ini dilakukan agar roh-roh
halus yang berniat mengganggu si bayi tidak mengikuti dan melakukan
perbuatannya.
(4) Yen lunga adoh, aja lali nggawa lemah saka batir ben bayine betah.
Jika si bayi akan dibawa pergi jauh dalam waktu yang lama atau dibawa
pindah, disarankan untuk membawa tanah dari tempat dikuburnya tali plasenta
si bayi. Tanah ini dimasukkan ke dalm plastik, untuk kemudian diletakkan di
bawah tempat tidur si bayi di perantauan. Hal ini dilakukan agar si bayi betah,
tidak rewel di manapun dia berada. Menurut orang Jawa, tanah tersebut
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
simbol dari adik spiritual si bayi yang akan terus menjaga kakaknya dari
gangguan halus di manapun dia berada. Selain itu mungkin maksudnya jika
kelak si bayi sudah besar diharapkan agar si anak tidak lupa akan asalnya,
tanah Jawa yang telah memberinya budaya yang luhur ini.
2. Pendidikan Etika/Moral.
Dalam budaya Jawa yang luhur, terselip berbagai pendidikan yang dapat
dijadikan bekal hidup sampai tua. Pendidikan tersebut dituangkan dalam
nasihat/petuah yang diajarkan kepada anak keturunannya. Perilaku Jawa yang halus,
perasa dan sensitif tercermin dari GT sekaligus ajaran yang terkandung di dalamnya
yang dismpaikan dengan sangat halus. Si anakpun akan menangkap maksud orang
tuanya. Apalagi ajaran ini disampaikan agar kualitas keturunannya tidak bobrok dan
tetap mempunyai jiwa Jawa. Etika ini disampaikan dalam banyak aspek kehidupan
yang diselipkan pada etika makan, sopan santun, kemanusiaan dan lain-lain.
Kesemuanya itu untuk menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan sesama,
alam dan kehidupan.
Berikut akan dijelaskan GT yang termasuk dalam pendidikan ini:
(1) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang.
Tuhan menganugerahi kita setiap bagian tubuh kita dengan tugasnya
masing-masing. Tangan kita yang berada di bagian atas tubuh digunakan
untuk melakukan tugas yang bersih dan dapat dilakukan dengan sempurna
karena jempolnya terpisah sehingga dapat menggenggam dengan baik. Kaki
adalah bagian tubuh yang digunakan untuk berjalan, maka dari itu berada di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bawah, hingga semua kotoran menempel padanya dan pekerjaan yang
dilakukan pun terkadang tidak sempurna. Oleh karena itu mengapa untuk
melakukan pekerjaan-pekerjaan kita diharuskan memakai tangan. Karena
lebih sopan dan pasti pekerjaannya akan selesai dengan baik. Terlebih lagi
jika wanita mengangkat kaki di depan umum, bisa dibayangkan ada bagian
tubuh yang tidak seharusnya dilihat umum. Dan tentunya bagi ibu hamil, jika
bertumpu hanya dengan satu kaki karena kaki yang lain sedang bekerja, hal
itu dapat mengurangi keseimbangnnya. Padahal janin masih rawan benturan di
dalam, dapat menyebabkan keguguran pada usia kandungan tertentu atau
kemungkinan cacat jika ia lahir kelak. Oleh karena banyak hal tersebut diatas,
maka orang tua tidak memperbolehkan anaknya yang sedang hamil untuk
menyingkirkan sesuatu dengan kaki dengan pitutur sinandi nanti bayinya
dapat lahir sungsang.
(2) Aja mbunteti leng tikus.
Seperti banyak dijabarkan pada penelitian ini bahwa kehidupan Jawa yang
lekat dengan harmoni kehidupan alam semesta selalu diajarkan agar anak
cucunya tidak pernah lupa akan hal tersebut. Nasihat tersebut dituangkan ke
dalam salah satu GT agar tidak mengganggu kehidupan makhluk lain,
walaupun itu hanya tikus, karena tikus juga makhluk bernyawa ciptaan Tuhan.
Oleh karena itu orang tua kira mengajarkan untuk menghargai nyawa makhluk
lain karena makhluk hidup mempunyai „karma‟ untuk dibalaskan. Percaya
atau tidak, wanita hamil atau suaminya yang menutup lubang rumah tikus
dengan maksud agar si tikus tidak dapat keluar, biasanya persalinannya akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sulit dan si jabang bayi tidak segera keluar. Namun setelah lubang tikus
tersebut dibuka, ajaibnya si jabang bayi segera lahir.
Terlepas dari contoh peristiwa diatas, secara logis mungkin hanya karena
menurut kejiwaan si ibu yang tertekan karena tahu jika mempersulit makhluk
lain adalah kesalahan, hal ini memberikan kita pelajaran bahwa apapun
makhluknya (walaupun hanya hewan), kita turut wajib menjaganya, karena
hidup kita ini secara tidak langsung dibantu oleh makhluk-makhluk lain yang
turut menciptakan keselarasan alam secara berkesinambungan.
(3) Ora ilok bayi dipunji, ndak wani karo wong tuwane.
Dalam hubungan sosial masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi
stratifikasi, penghormatan kepada orang tua adalah hal yang mutlak. Itulah
sebabnya mengapa pada zaman dahulu, menjawab perintah orang tuapun
dianggap suatu hal yang tidak sopan, apalagi bertanya tentang arti dari gugon
tuhon yang disampaikan oleh orang tuanya. Walaupun ini menjadi salah satu
kekurangan dari pendidikan Jawa kuno, tetapi dengan belajar dari kesalahan
masa lalu kita dapat mendidik anak cucu kita dalam pelajaran Jawa modern.
Salah satu nasihat yang menyiratkan agar anak tidak kurang ajar dengan
orang tua adalah dengan tidak boleh menggendongnya di pundak atau
memanggul (bahasa Jawa: dipunji). Menurut orang tua Jawa, jika semasa kecil
ia terbiasa dipunji, nanti ketika dewasa ia akan berani dengan orang tuanya.
Namun jika ditelaah lebih lanjut, hal ini dapat dijelaskan secara psikologis.
Sudah menjadi sifat anak kecil, ia suka permainan yang menantang. Jika ia
sudah menemukan kesenangan dalam permainan itu, maka lain kali ia akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meminta untuk bermain lagi. Sudah menjadi sifat manusia pula, mereka akan
berusaha untuk mendapatkan yang mereka inginkan.
Kepala (bahasa Jawa: mustaka) ialah letak kehormatan seseorang, seperti
halnya mahkota bagi seorang raja. Munji ialah menggendong diatas bahu
dengan si anak kecil berpegangan dengan kepala orang tuanya. Secara
simbolis, ini menandakan jika si anak sudah menginjak kehormatan orang
tuanya. Dengan si anak terbiasa (keranjingan) dengan permainan dipunji,
secara tidak langsung si anak telah terbiasa untuk menakhlukkan orang
tuanya. Alih-alih melarang, mendengar rengekan anaknya, biasanya orang tua
lebih memilih untuk menurutinya. Inilah awalnya si anak belajar untuk
mengalahkan ego orang tuanya, dengan tangisan dan rengekan. Dengan selalu
menuruti keinginan anak, karena hal itu akan menjadi sifat perilakunya hingga
ia dewasa. Lagipula, memunji sangat berbahaya karena berisiko tinggi si anak
bisa jatuh karena pada saat itu posisi badan kita tidak siaga. Dengan
mempertimbangkan banyak alasan diatas, memunji anak memang sangat tidak
disarankan. Itulah mengapa banyak nasihat dalam merawat anak, karena apa
yang dia lihat, pelajari sewaktu kecil akan terus terbawa dan turut menentukan
banyak hal.
3. Pendidikan Kesehatan.
Kehamilan dan merawat bayi sangatlah dekat dengan kesehatan. Semua yang
diajarkan dan dinasehatkan oleh orang tua tidak akan ada artinya jika si bayi dan ibu
tidak sehat, karena kesehatan adalah nyawa dari semua yang akan kita jalani di dunia
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini. Kalau badan kita tidak sehat, pasti pikiran dan harta kita terkuras untuk
merasakan sakitnya. Itulah mengapa ada pepatah mengatakan „kesehatan adalah harta
yang paling berharga‟.
Sejak di dalam kandungan, ibu-ibu dihimbau untuk menjaga kesehtannya, karena
jika ibunya sehat maka bayinya pun akan sehat. Setelah si bayi lahirpun, kesehatan
ibu dan bayi harus selalu dijaga karena berpengaruh pada masa depan mereka.
Menjaga kesehatan ini salah satunya adalah dengan menjaga asupan gizi, mengontrol
konsumsi, dan menjaga kebersihan. Berikut ini akan dijabarkan nasihat apa saja yang
menyangkut pendidikan kesehatan.
a. Pada ibu hamil.
(1) Yen nemu regedan neng ndalan kudu ndang disingkirake.
Sejak
masih
merencanakan
kehamilan,
seorang
ibu
sudah
harus
mempersiapkan diri lahir dan batin. Secara lahir ia sudah harus mengkonsumsi
makanan bergizi dan menjaga tubuh dari segala penyakit. Menjaga kebersihan
wajib hukumnya, agar ia terhindar dari kuman penyakit akibat dari kejorokannya
yang akan mendatangkan sakit untuknya. Tidak heran jika orang tua
menasihatkan
jika
menemukan
kotoran
di
jalan,
ia
harus
segera
menyingkirkannya, agar kelak persalinannya berjalan lancar tidak ada suatu
halangan karena ia sudah menyingkirkan „halangan-halangan‟ di jalannya. Tetapi
sebaiknya setelah menyingkirkan kotoran-kotoran ini ia segera mencuci
tangannya. Jangan sampai kuman malah masuk ke dalam tubuhnya. Dari segi
sosial, jika ia membuang kotoran yang ia temui di jalan, maka ia telah menolong
sesama, yang mana Tuhan melihatnya sebagai perbuatan yang baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(2) Ora ilok wong mbobot adhus wengi-wengi.
Menurut orang Jawa kuna, hali ini dapat mengakibatkan kembar banyu
(volume ketuban dalam rahim melebihi normal sehingga dari luar terlihat
perutnya besar tetapi sebetulnya bayi di dalamnya kecil, dan ketika akan lahir
akan mengeluarkan banyak ketuban). Sebenarnya menurut medis, pecah
ketuban sebelum melahirkan adalah normal (dan harus). Namun ternyata
setelah ditelaah, maksud dari nasehat ini adalah lebih ke arah kesehatan.
Orang normal saja, mandi malam tidak disarankan karena konon dapat
menyebabkan rematik. Apalagi untuk ibu hamil yang sedang dalam misi besar
dan harus menjaga kesehatannya sendiri dan bayi di kandungannya. Salain itu
udara malam dapat meyebabkan paru-paru basah. Pada beberapa orang terlalu
dingin dapat mentebabkan alergi. Apalagi malam yang mana cahaya hanya
sedikit (apalagi zaman dahulu belum ada lampu) menyebabkan kurangnya
penglihatan sehingga dikhawatirtkan si ibu dapat terpeleset. Padahal jika ibvu
hamil terpeleset akibatnya bisa fatal, bisa menyebabkan keguguran atau cacat
pada bayi.
b. Merawat bayi.
Setelah bayi lahirpun, menjaga kesehatan harus terus dilakukan. Malah
seharusnya lebih ketat karena sekarang si bayi sudah berusaha dari badannya
sendiri. Maka ibu-ibu harus lebih teliti dalam merawat bayi dan benda-benda yang
digunakan si bayi.
(1) Yen wengi klambi bayi kudu dilebokne, ngko ndhak bayine nangis wae.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nasihat dari orang-orang di kecamatan Tingkir, jika beranjak malam maka
bayi, baju-bajunya yang sedang dijemur harus masuk ke dalam rumah, jendela
dan pintu harus ditutup. Sangatlah dimengerti alasan-alasan ini karena udara
malam tidak baik untuk kesehatan. Juga untuk baju bayi yang tidak terlihat di
mana letak bahayanya. Karena jika terus dibiarkan berada di luar, embun akan
merasuk ke dalam pakaian bayi yang menyebabkan dingin jika dipakai.
Akibatnya si bayi bisa pilek, masuk angin, atau batuk-batuk. Beda dengan
jaman sekarang yang sudah ada teknologi setrika, jaman dahulu setelah kering
baju langsung disimpan. Jadi si bayi menangis bukan karena bajunya dipakai
mainan di luar, tetapi karena si bayi merasakan sakit dari badannya.
(2) Aja mangan sing pedhes-pedhes.
Aja mangan sing panas-panas.
Seperti telah dijabarkan di atas, asupan makanan dari si ibu sudah tentu
harus dijaga. Selain harus makan makanan yang bergizi, ada beberapa hal yang
harus dihindari seperti tidak boleh makan Durian dan daging kambing karena
akan, menyebabkan kualitas ASI menjadi kurang baik (ASI menjadi panas
pada pencernaan bayi), makan makanan pedas pun harus dihindari karena ASI
yang dihasilkan ikut pedas. ASI yang pedas untuk si bayi seperti halnya juga
orang dewasa makan cabai. Namun pencernaan bayi yang masih halus belum
bisa mencerna rasa pedas. Akibatnya ia akan diare. Diare walaupun tidak
tampak berbahaya namun dapat mengancam jiwa karena diare menguras cairan
tubuh yang jika terus berlanjut dapat menyebabkan kematian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makanan panas pun harus dihindari si ibu karena konon katanya ASI-nya
akan ikut menjadi panas. Menurut orang tua jika ASI-nya panas, nanti si bayi
bisa sariawan yang menyebabkan ia tidak mau makan dan terus menangis
karenanya. Oleh karena itu semua makanan yang dikonsumsi ibu sebaiknya
standar, tidak panas, tidak dingin, tidak banyak garam, tidak banyak gula,
tidak asam ataupun tidak pedas, dengan kata lain hambar atau anyep dalam
bahasa Jawa. Karena makanan yang hambar tadi sebenarnya baik untuk tubuh
karena asupan makanan yang berlebihan tadi dapat merusak tubuh. Itulah
sebabnya makanan bayi juga disarankan bersifat demikian.
C. Makna Gramatikal dan Kultural
Makna leksikal adalah makna dari kata unsur-unsur pembentuknya yang akan
diterjemahkan secara keseluruhan. Sehingga akan membentuk makna yang utuh secara
kalimat. Dalam pembahasan ini, makna leksikal diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Sedangkan makna kultural ialah makna yang didasarkan pada pemaknaan
masyarakat yang menjadi sumber data. Dalam skripsi ini, setiap orang dapat memaknai
setiap gugon tuhon berbeda-beda, tergantung bagaimana pengertian mereka, dan
bagaimana orang tua dan lingkungannya mengajarkan mereka.
1. Gugon Tuhon Wanita Hamil
(1) Aja nyingkirake apa-apa nganggo sikil, mundhak bayine lair sungsang.
Makna gramatikal: jangan menyingkirkan apapun menggunakan kaki, agar
bayinya tidak lahir sungsang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: kata orang tua Jawa, ketika hamil tidak boleh menyingkirkan
sesuatu dengan kaki karena kelak anak yang dilahirkannya akan sungsang, yaitu
keadaan di mana bayi lahir dengan kaki dahulu. Normalnya bayi lahir dengan
kepala dahulu agar memudahkannnya keluar dan tidak membahayakan jiwa ibu
dan bayi. Maka anak lahir sungsang itu sangat dihindari dan tidak diinginkan
orang tua manapu. Seperi informasi dari salah satu nara sumber yang saya tanyai:
Mergone ya anu bayine lancar sing metu. Ya ora sungsang, sing lair sirahe sik.
Yen sungsang nak laire seka sikil sik. „Sebabnya ya agar bayinya lancar yang
keluar. Ya tidak sungsang, yang lahir kepalanya dulu. Kalau sungsang kan yang
lahir kakinya dulu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Maka dari itu, walaupun sedang malas karena perut yang membesar membuat
tidak leluasa bergerak, namun tetap diajurkan untuk memakai tangan jika
menyingkirkan sesuatu. Hal ini dapat dipahami karena:
1) Kaki tidak mempunyai ibu jari terpisah seperti tangan, yang membuat kaki
tidak bisa menggenggam sesuatu, maka jika menyingkirkan benda dengan
kaki sudah pasti tidak sempurna hasilnya. Entah meleset dari sasaran
ataupun tumpah.
2) Dalam keadaan hamil besar, sering kali ibu hamil limbung. Maka
menyingkirkan sesuatu dengan kaki membuat ibu hamil besar hilang
keseimbangan. Jika terjatuh hal buruk dapat membahayakan kesehatan ibu
dan bayi di dalam kandungan.
Mengingat kebersihan yang dihasilkan dan bahaya yang dapat terjadi jika si
ibu hamil melakukan aksi tersebut, maka dapat dimengerti mengapa orang tua
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
melarang kita untuk melakukan hal tersebut, dan memang sebaiknya kita
menurutinya.
(2) Yen nemu regedan neng ndalan, kudu gage disingkirake.
Makna gramatikal: kalau menemukan kotoran di jalan, harus segera disingkirkan.
Makna kultural: menurut orang tua Jawa, dengan membersihkan kotoran yang
kita temui di jalan, itu berarti kita telah membersihkan halangan-halangan yang
akan menghambat kelancaran persalinan. Dan diharapkan bayi yang dilahirkan
akan bersih kulitnya, tidak seperti terkena penyakit kulit. Seorang ibu rumah
tangga yang cukup taat dalam melaksanakan tradisi Jawa ini mengatakan: Ya ben
nak nglairke ki lancar yoan. Resik bayine, ngko nak lair ben selamet, lancar sak
kabehe. „Ya agar kalau melahirkan itu juga lancar. Bersih bayinya, nanti kalau
lahir agar selamat, lancar semuanya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal
5 Januari 2011).
Sebetulnya mungkin hal ini lebih berpengaruh pada kebersihan dan etika
dalam masyarakat. Dengan membersihkan kotoran yang kita temui di jalan
sekalipun bukan di depan rumah kita, hal itu membuat orang lain senang dengan
perbuatan kita yang saling berbuat baik untuk sesama. Dengan begitu, orang lain
pun akan senang untuk membantu kita jika kita menghadapi kesulitan.
Alasan yang kedua adalah jika membersihkan kotoran di jalan atau di sekitar
kita, maka lingkungan kita akan bersih dan secara langsung ataupun tidak akan
menghindarkan kita dari penyakit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(3) Yen nemu pincuk neng ndalan kudu ndang diudhari.
Makna gramatikal: jika menemukan takir di jalan harus segera dilepas lidinya.
Makna kultural: menurut orang tua Jawa, jika wanita yang sedang hamil
menemukan daun bekas yang lidinya masih tersemat di jalan, maka ia harus
segera melepaskan lidi tersebut. Hal itu dilakukan agar kelak persalinannya lancar
dan selamat. Seorang informan yang merupakan seorang ibu rumah tangga dan
masih menjalankan tradisi Jawa mengatakan: Kudu nguculi pincuk neng ndalan.
Ben pada karo kowe nguculi… lancar sing nglairke „Harus melepaskan takir di
jalan. Hal itu sama dengan kamu melepaskan … (semua hambatan) lancar yang
melahirkan‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 januari 2011)
Selain itu dengan melepaskan lidi yang tersemat di jalan, berarti kita telah
menghindarkan orang lain dari kecelakaan. Lidi yang masih tersemat di daun jika
terinjak akan menjadi benda tajam yang melukai. Namun jika sudah terlepas,
maka benda itu tidak lagi membahayakan karena tidak akan menusuk kulit.
Berbuat kebaikan sangatlah dianjurkan, apalagi karena kita seperti menaungi
orang yang „bertapa‟.
(4) Aja njitheti utawa ndondomi kathok.
Makna gramatikal : jangan menjahit celana.
Makna kultural : wanita hamil tidak boleh menjahit atau menambal celana atau
apapun, karena hal itu diyakini dapat menyebabkan persalinan menjadi sulit dan
banyak halangannya karena ia telah menutup jalan lahirnya sendiri. Maka dari itu
ibu yang sedang hamil dianjurkan untuk „berpuasa‟ dahulu dari kegiatan ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemungkinan buruk lain yang mungkin terjadi adalah anak akan lahir dengan
cacat bawaan, biasanya lubang dari tubuh yang seharusnya terbuka malah
tertutup. Entah itu lubang anus yang tetutup, bibir yang sumbing, ataupun cacat
yang lainnya.
Seorang informan mengatakan: Nek umpamane mbobot geh, nek mbobot ki
aja sok ndondomi apa clana ngene iki ta? Aja ndondomi clana ya clana njaba
clana dalem ki aja sok jitheti-jitheti ngono kuwi. Ning ya tenan hla kuwi si anu
kuwi ya genah silite buntet tenan ora duwe silit kuwi. „Kalau seumpama hamil ya,
kalau hamil itu jangan suka menjahit celana dalam maupun celana luar. Jangan
menisik celana begitu itu. Tetapi ya memang betul begitu, itu si anu memang
betul anusnya tidak ada, tidak punya lubang anus‟ (Wawancara dengan mbah
Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Karena kemungkinan buruk yang mungkin terjadi jika melanggar inilah, maka
menjahit dilarang dikerjakan oleh ibu hamil.
(5) Aja mbunteti leng tikus, ora ilok.
Makna gramatikal : jangan menutup lubang rumah tikus, tidak baik.
Makna kultural : wanita hamil dan suaminya tidak boleh menutup lubang rumah
tikus karena dapat berakibat buruk pada saat persalinan, yaitu persalinan yang
sulit karena tertutupnya jalan lahir oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Tetapi hal
ini dapat diatasi kembali agar si jabang bayi segera lahir dengan cara membuka
kembali lubang tikus yang ditutup tadi agar tikusnya tidak tersiksa di dalam tanah
tidak bisa mencari makan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Informan saya mengatakan hal demikian : Hla kuwi si Dwi e nggebug tikus ta
saiki keneke anakke galho kaya kecuwik. Hla ya kana mbunteti, Ngatina nyumpeli
leng tikus saya ora metu-metu. Ndang bali lenge tikus dibukaki kabeh ndang
di…teka kana lek lahir. „Lha itu si Dwi nya memukul tikus kan, sekarang sininya
(menunjuk antara kedua mata) anaknya seperti teriris. Lha ya itu menutupi
lubang, Ngatina menutup lubang tikus malah jadi tidak keluar-keluar. Begitu
lubang tikusnya dibuka semua, sampai sana langsung lahir‟ (Wawancara dengan
mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Bagaimanapun tikus juga makhluk hidup yang butuh udara dan makan. Dan
mengurung tikus di dalam tanah akan menyiksanya. Maka dari itu, ibu hamil dan
suaminya tidak boleh melakukan hal ini. Melakukan hal buruk akan membuat
pikiran ibu hamil terganggu karena merasa bersalah dan terus memikirkannya.
Secara ilmu kesehatan, hal ini akan mempengaruhi kesehatannya yang akan
member efek pada janinnya.
(6) Aja mateni utawa nyiksa kewan.
Makna gramatikal : jangan membunuh atau menyiksa hewan.
Makna kultural : wanita hamil dan suaminya (bojo sakloron) tidak diperbolehkan
membunuh ataupun menyiksa hewan, karena hal ini dipercaya dapat membawa
cacat lahir ataupun petaka hilangnya nyawa si jabang bayi.
Informan saya memberikan informasi berikut :
Aku tau kok Nok sing pertama kuwi, mbahmu kene kuwi biyen ngarep
kono kuwi ana ula ning dhuwur. Hla saiki diuthik-uthik mrembet ning
ngisor ngono kuwi digebug kayu pring. Ulane theksek ta? Anakku ya mati
ning jero tenanan kok Nok. Pamane mithes-mithes apa-apa, nek ana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kodhok apa dipenthung apa digebug sikile tugel tangane tugel ngono ora
entuk. Hla ki Tri Nanggulan kuwi ya buktine ya nggone Mbah Tin kuwi
ta? Kuwi pakne ngarit mbabat kodhok sikile prithil kabeh, lha Tri tangane
ya prithil kabeh, jempolane separo-separo.
„Saya pernah kok, nak yang pertama itu, kakekmu sini itu dulu di depan
itu ada ular di atas. Lalu diutak-atik merambat ke bawah begitu lalu
dipukul dengan kayu bambu. Ularnya langsung mati kan? Anakku juga
mati di dalam betulan kok, nak. Seumpama menggilas sesuatu, kalau ada
katak, apakah terpukul lalu kakinya kakai atau tangannya patah begitu
juga tidak boleh. Lha Tri Nanggulan yang punya mbah Tin itu ya
buktinya. Itu bapaknya menyabit membabat katak sampai tangannya patah
semua, lha Tri juga tangannya patah semua, jempolnya separuh-separuh.‟
(Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010)
Masyarakat lain yang saya tanyai mengatakan :
Mbiyen ki nek omong sok netesi. Asline ya, nek meteng tua ki nithili urang
ra entuk, ngonceki urang ra entuk. Ya omongane wong tua ki sok ngono
kae. Sok kala menga ngono lho. Sebabe ben ora ciri. Ora entuk mateni
kewan, sing lanang ra entuk apa meneh sing wedok sak durunge
ngandhek. Umpama nganti midak coro pa piye „i.. ya Allah Gusti jabang
bayi‟ ngono. Nek ra sengaja no ya ra papa.
„Jaman dulu itu kalau berbicara memang sering terjadi. Sebetulny ya,
kalau hamil tua itu mengupas udang tidak boleh. Ya berbicaranya orang
tua itu sering begitu itu. Sering asal keluar begitu lho. Sebabnya agar tidak
cacat. Tidak boleh membunuh hewan, yang laki-laki tidak boleh apalagi
yang perempuan selama hamil. Seumpama sampai meninjak kecoa bilang,
„I ya Allah Gusti jabang bayi,‟ begitu. Kalau tidak sengaja begitu ya tidak
apa-apa.‟
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Wawancara dengan ibu Tunsiyah pada tanggal 9 mei 2010)
Seorang bidan yang menjadi informan saya mengatakan kalau secara medis
hal itu tidak akan tidak akan menimbulkan dampak negatif kepada si jabang bayi,
tetapi pada kenyataannya di masyarakat, hal itu dapat menyebabkan si bayi lahir
dengan cacat fisik bawaan.
Beliau menceritakan pengalaman pasiennya: Oya, Jawa ki misale pada ibu
hamil, wong bobot ki ora pareng mancing, berburu, matik lele, pokoke mateni
kewan. Iki ana, dadi bapake tukang, bakul lele, matile lele. Bayeke, pucukan
antara irung karo mripat dadi dekok. „Oya Jawa itu misalnya pada ibu hamil,
orang hamil itu tidak boleh memancing, berburu, membunuh lele, pokoknya
membunuh hewan. Ini ada, jadi bapaknya penjual lele, membunuh lele. Bayinya,
ujung antara hidung dengan mata jadi seperti teriris‟ (Wawancara dengan ibu
Suparmi pada tanggal 11 Mei 2010).
Sedangkan dalam Serat Babad Ila-ila 2 yang mengisahkan legenda dalam
tanah Jawa menuliskan awal-mula mengapa tidak dipetrbolehkan membunuh
ataupun menyiksa binatang. Serat ini menceritakan Prabu Jayapurusa memberikan
wejangan kepada Sadya dan Ken Tingkeb, istrinya. Beliau mengatakan:
… Dengarkan baik-baik petuahku ini, dan hendaknya kau jalankan sebaikbaiknya. Sadya selama istrimu Ken Tingkeb mengandung jangan sekalikali kau membunuh segala mkhluk bernyawa. Sebaliknya di masa Kartika
dan kebetulan kau harus menyembelih hewan untuk mengadakan sesaji,
baiklah kau sebut bayi yang dikandung istrimu itu. … (Moelyono
Sastronaryatmo, 1986: 69).
Sedangkan dalam cerita yang lain, Serat Babad Ila-ila 2 menceritakan asal
mula Dewi Hastipraba berbentuk seperti seorang raksasa padahal ibunya adalah
seorang bidadari. Ternyata ketika ibunya hamil, ayahnya sedang terlibat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertempuran dengan gajah Asura. Dalam pertempuran itu, gajah Asura dapat
dibunuh oleh ayahnya. Celakanya, ketika lahir, ia dan saudara kembarnya
berwujud seperti gajah. “Demikianlah timbulnya waril atau ila-ila, manakala
orang mempunyai istri yang sedang mengandung, maka ia dilarang membunuh
apapun juga. Sebab kemarahan yang timbul di dalam hati pasti akan terwujud
dalam bayinya yang akan lahir.” (Moelyono Sastronaryatmo, 1986: 172).
Pada masyarakat modern, hal ini hanya akan disebut coinsiden, sesuatu yang
kebetulan saja terjadi, atau berpikir ini masalah asupan nutrisi si ibu pada saat
hamil atau karena serangan virus. Pada kenyataannya pada masyarakat kita itulah
yang terjadi.
Namun jika ditelaah secara psikologis, membunuh atau menyiksa makluk
hidup adalah hal yang tidak benar, maka si ibu akan terus memikirkannya. Seperti
halnya nasihat „jangan terlalu stress karena akan berpengaruh pada kejiwaan si
jabang bayi‟, maka sesuatu yang mengganggu pikiran ibu akan tersalurkan kepada
bayinya. Terlepas dari keadaan fisik yang terjadi pada si bayi, pikiran yang berat
ini akan mengganggu kejiwaan si bayi.
Faktor yang lainnya adalah kepercayaan kepada leluhur atau perkataan orang
tua. Watak masyarakat kita yang tidak berani membantah orang tua dan menerima
apapun yang dikatakan karena takut akan terjadi sesuatu yang buruk jika
melanggar sangan kuat mengakar. Orang tua jaman dahulu kuat tirakatnya, maka
apapun yang dikatakn kemungkinan besar akan terjadi. Itulah mengapa faktor
kepercayaan menjadi salah satu faktor penting dalam tradisi masyarakat Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(7) Aja ngethok rambut.
Makna gramatikal : jangan memotong rambut.
Makna kultural : saat hamil tidak boleh memotong rambut, karena pada ora ng
Jawa menghilangkan apapun dari sesuatu yang semestinya harus ada akan
mengakibatkan si bayi akan lahir dengan cacat bawaan.
Mbah Ngat, informan yang merupakan seorang dukun bayi memberikan
informasi: Ora entuk ngethok rambut ki merga anake iso gundhul ora duwe
rambut. Tidak boleh memotong rambut itu karena anaknya bisa gundul tidak
punya rambut (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
(8) Aja adus wengi-wengi, ora ilok.
Makna gramatikal: jangan mandi malam-malam, tidak pantas.
Makna kultural: ila-ila tidak boleh mandi pada malam hari menurut orang tua
Jawa adalah karena katanya nanti bisa kembar banyu, yaitu perut yang terlihat
besar sekali padahal bayinya kecil. Hal itu disebabkan karena volume ketuban di
dalam perut melebihi normal, dan ketika saatnya melahirkan air ketuban akan
keluar. Informasi dara nara sumber yang saya dapatkan: Ndhak kembar banyu.
Kembar banyu kuwi nek nglairke ngetokne kawah. Ngko nek kawahe entek
nglairkene angel. „Nanti kembar banyu. Kembar banyu itu kalau melahirkan
mengeluarkan ketuban. Nanti kalau ketubannya habis melahirkannya sulit‟
(Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011)
Sebetulnya hal itu tidak dapat dipastikan karena mandi malam. Volume
ketuban yang berlebihan disebabkan kelainan. Memang pada saat melahirkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
normalnya ketuban harus pecah dahulu untuk melumaskan bayi yang lahir agar
mudah.
Tetapi jika ditelaah lebih lanjut, larangan mandi malam ini dapat
menyebabkan rematik, selain itu angin malam tidak baik, menyebabkan paru-paru
basah. Efek yang lebih ringan dan lebih cepat adalah dapat membuat masuk
angin. Alasan yang lain lagi adalah karena pada malam hari cahaya tidak sebaik
pada siang hari. Apalagi pada jaman dahulu kamar mandi berada di luar atau
bahkan di sungai, sehingga dapat membuat ibu hamil terpeleset. Hal ini tentu
dapat membahayakan si ibu dan janin yang berada di dalam kandungan bisa saja
tidak selamat atau lahir dengan cacat bawaan.
(9) Pas mbobot sangang sasi, dislameti jenang procot, pasarane Setu Wage.
Makna gramatikal: waktu hamil sembilan bulan, dibuatkan selamatan jenang
procot, hari pasaran Sabtu Wage.
Makna kultural: pada masyarakat Jawa mengenal berbagai macam selametan.
Dalam semua daur hidup manusia, sudah pasti ada selametan yang menyertakan
banyak tata cara untuk menyimbolkan sesuatau. Pada kehamilan yang kesembilan
bulan, saat mendekati hari lahir, biasanya diadakan selametan sebagai ucapan rasa
syukur dan doa untuk kelancaran persalinan nanti. Keterangan yang didapat dari
nara sumber:
Ya nak metu ndang cepet, ndang metu ndang gage. Jenang procode kuwi
jenenge sarana nek wong Jawa mbiyen ki ben nglairke ki paringi lancar,
ora neka-neka ngono lho. Jenang procod kwi bubur baning, saka tepung
beras, dikeki werna abang ya oleh, nek wong kene bubur sum-sum. Dikeki
gedhang raja temen.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
„Ya kalau keluar biar cepat, cepat keluar cepat selesai. Bubur procodnya
itu sama dengan sarana untuk orang dahulu agar melahirkannya itu diberi
kelancaran, tidak ada suatu apapun. Jenang procod itu bubur dari tepung
beras, diberi warna merah (dari gula Jawa) juga boleh, kalau orang sini
menyebutnya bubur sum-sum. Diberi pisang raja‟ (Wawancara dengan ibu
Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011)
Dalam slametan ini dibuatkan jenang procod, tepung beras yang diberi warna
merah yaitu tepung beras yang dimasak bersama santan dan gula merah. Lalu
setelah diletakkan dalam piring, di atas bubur tersebut diberi pisang raja yang
telah dikukus. Simbol dari hal ini adalah jenang merah menyimbolkan darah,
sedangkan pisang raja menyimbolkan si jabang bayi. Lalu prosesi yang dilakukan
adalah si calon ibu menumpahkan bubur tersebut yang diterima oleh si calon
bapak dengan piring pula. Hal ini dimaksudkan agar kelahirannya berjalan lancar
tanpa halangan apapun, tanpa operasi, tidak sungsang dan hal-hal buruk lainnya,
dan setelah dilahirkan, sang ayah akan menerima bayi yang lahir dengan suka cita
dan turut ikut bersama merawatnya.
(10)
Aja ngombe es.
Makna gramatikal: jangan minum es.
Makna kultural: mitos yang berkembang di masyarakat bahwa es dapat membuat
bayi membesar, seperti yang dikatakan oleh nara sumber: Mergane engko ndak
bayine gedhe. Gegedhen bayi. Dadine angel. ‟Karena nanti bayinya bisa besar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebesaran bayinya. Jadinya sulit (kalau keluar nanti)‟ (Wawancara dengan ibu
Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Hal ini tidak dapat dipastikan secara medis karena menurut para dokter yang
menyebabkan bayi menjadi terlalu besar semasa di dalam kandungan adalah
karena mengkonsumsi es yang biasanya dicampur dengan air yang mengandung
gula atau sirup. Zat gula inilah yang membuat bayi menjadi besar (gemuk) dan
efeknya terjadi persalinan yang sulit. Selain itu seperti halnya menjaga kesehatan
tubuh untuk tidak mengkonsumsi makanan yang terlalu panas, dingin, manis,
asin, asam dan lainnya, maka hal ini pun juga berlaku untuk ibu hamil. Minum es
tidak diperkenankan karena biasanya es yang dijual di warung-warung dibuat dari
air mentah. Jika diminum dapat menyebabkan pilek. Itulah sebabnya ibu hamil
tidak boleh minum es.
(11)
Aja mangan pedhes-pedhes.
Makna gramatikal: jangan makan (sesuatu yang) pedas-pedas.
Makna kultural: mitos dalam Jawa mengatakan kalau ibu hamil tidak boleh
makan yang pedas karena nanti ketika lahir si bayi akan mempunyai kotoran di
mata. Nara sumber mengatakan: Engko nek bocahe lair ndhak rembes, rembes ki
lodoken matane. Nak wong Jawa ngono kuwi. „Nanti kalau lahir bisa blobokan
(matanya selalu mengeluarkan kotoran) matanya. Kalau orang Jawa begitu itu
(kepercayaan yang dianut)‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nara sumber yang lain memberikan informasi jika semasa hamil suka
memakan makanan yang pedas, maka nanti ketika ia melahirkan ia akan
merasakan panas pada vaginanya. Ia mengatakan: Nek maem pedhes niku kan
panas nek babaran mbak. Nggih, nggen nek vaginanya perih ngoten niku lho.
Kadose nganu… e… cara-carane mpun kadhung digudengan niku rasane sakit
ngoten niku lho. „Kalau makan pedas itu kan panas kalau melahirkan, mbak. Ya
di vaginanya perih begitu lho. Sepertinya rasanya sudah telanjur sakit sekali
begitu itu‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010).
Sebetulnya belum pasti karena itu, namun hal ini tidak diperbolehkan karena
akan mempengaruhi kesehatan si ibu. Si ibu bisa saja terkena diare karena makan
makanan yang pedas. Jika diare, sudah tentu si ibu nutrisi yang dimakan oleh si
ibu tidak akan sampai pada bayinya.
(12)
Aja mangan sing panas-panas.
Makna gramatikal: jangan makan yang panas-panas.
Makna kultural: larangan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang panas-panas,
katanya akan membuat bayi yang dikandung terlahir dengan kulit yang
berkeriput. Informasi yang saya dapatkan: Nggih, nek mimik panas, nek
kekathahen maem panas mangkeh bayine sami kisut-kisut kados kirang sehat
ngoten niku lho mbak. Kados-kados kering ngoten niku lho. Kados teng kriputkriput ngoten nika nek maem mimik panas. „Ya kalau meminum sesuatu yang
panas, kalau kebanyakan makan yang panas nanti bayinya keriput-keriput seperti
kurang sehat begitu itu lho, mbak. Seperti kering begitu itu. Ya seperti keriput
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
begitu itu kalau makan dan minum panas‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada
tanggal 9 Mei 2010).
Sedangkan
masyarakat
yang
lain
menguatkan
dengan
memberikan
keterangan: Ora entuk mangan sing panas-panas engko mergane bayine ndak
kulite njengkerut, kulite kithut-kithut „Tidak boleh makan yang panas-panas
karena nanti kulit bayinya bisa berkeriput-keriput‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi
pada tanggal 5 Januari 2011).
Secara medis seperti halnya larangan untuk tidak mengkonsumsi makanan
yang dingin, asam, pedas dan lainnya, mengkonsumsi makanan yang panas akan
mengganggu metabolisme tubuh si ibu. Hal ini tentu saja cepat atau lambat akan
berpengaruh kepada kesehatan si bayi.
(13)
Aja mangan nanas.
Makna gramatikal : jangan memakan nanas.
Makna kultural : salah satu nasehat untuk ibu hamil dalam hal mengkonsumsi
makanan adalah tidak boleh memakan nanas. Selain karena keras di lambung
yang mana dapat menyebabkan maag (apalagi ibu hamil sangat mudah terserang
maag karena pada masa ini asam lambung akan selalu tinggi), ternyata hal ini juga
dapat membahayakan janin. Seorang informan mengatakan :
Aja maem nanas mengko bayine ndak gudhig wesi kaya kulit nanas,
padahal sebetulnya karena zat yang ada dalam nanas itu melunakkan janin.
Sehingga kalau orang kalau misale hamil makan nanas muda kan isa
keguguran. Orang jaman dulu nggak mau mengatakan seperti itu katanya
mungkin pamali kalau orang hamil dikatakan mengko ndhak keguguran itu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pamali, mengko ndhak keguguran tenan, jadi pake sanepa mengko sikile
bayine gudhigen padahal nggak ada hubungane kulit nanas sama kaki.
Aku makan apa-apa nggak berani akhire bayine nggak sehat. Kalau durian
nggak boleh soale mengandung alkohol. (Wawancara dengan ibu Nunik
pada tanggal 12 Mei 2010).
Dalam ilmu cuisine atau masak-memasak, ada tips bahwa untuk melunakkan
daging yang akan diolah adalah dengan merebusnya bersama nanas atau daun
pepaya. Ternyata dalam dua benda tersebut terkandung enzim yang dapat
melunakkan daging (pada tanaman pepaya disebut enzim papain). Itulah sebabnya
mengapa ibu hamil tidak diperbolehkan mengkonsumsi dua benda ini dalam
jumlah yang berlebihan. Terkadang dalam jumlah terbatas pun dapat memicu
penyakit maag pada penderita maag kronik. Selain itu dapat menyebabkan
keguguran karena enzim tersebut membuat janin yang masih muda menjadi lunak.
(14)
Aja mangan godhong kates.
Makna gramatikal : jangan memakan daun papaya.
Makna kultural : tidak boleh memakan daun papaya secara berlebuhan karena
menurut orang tua Jawa, daun papaya dapat meremukkan ari-ari. Seorang
informan yang masih sangat mempercayai gugon tuhon mengatakan kalau daun
pepaya dapat meremukkan ari-ari, dimana ari-ari adalah hal yang penting untuk
mengantarkan zat makanan dari tubuh ibu ke tubuh bayi. Ia mengatakan : Yen
mangan godhong kates ra entuk mergane ngko ari-arine ndhak remuk. „Kalau
makan daun pepaya tidak boleh, nanti tembuninya remuk‟ (Wawancara dengan
ibu Ru pada tanggal 10 Mei 2010).
Karena trisemester pertama kehamilan masih sangat rawan dan kandungan
belum kuat benar, maka orang tua menyarankan agar tidak mengkonsumsi daun
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pepaya secara berlebihan, karena tanaman pepaya mengandung zat papain yang
dapat
melunakkan
daging.
Sehingga
dikhawatirkan
zat
tersebut
dapat
menggugurkan janin.
(15)
Aja mangan duren.
Makna gramatikal : jangan memakan durian.
Makna kultural : ada banyak pantangan untuk mengkonsumsi beberapa jenis
makanan, karena pada umumnya makanan tersebut dapat mengganggu kesehatan
atau metabolisme. Apalagi pada orang hamil dan menyusui karena sari
makanannya terserap oleh bayi. Salah satunya adalah buah durian yang tidak
boleh dikonsumsi dalam jumlah banyak karena buah ini mengandung kadar
alkohol yang tinggi. Selain dapat menyebabkan kadar asam lambung pada ibu
menjadi berlebihan, pada janinpun efeknya dapa melemahkan bahkan keguguran
jika dikonsumsi berlebihan.
(16)
Yen lelungan aja lali nggawa dlingo bengle karo gunting.
Makna gramatikal: jika bepergian jangan lupa membawa dlingo bengle dan
gunting.
Makna kultural: orang Jawa mempunyai gaman (senjata) untuk melawan makhluk
halus, yaitu dlingo, bengle dan garam. Maka benda-benda ini akan selalu
diikutsertakan dalam hal menjauhkan sengkala. Juga untuk ibu hamil agar dia dan
janin yang dikandungnya tidak diganggu oleh setan-setan yang berada diluar saat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ia bepergian, maka ia wajib membawa dlingo, bengle dan gunting ini. Dlingo
bengle biasanya dipotong kecil dan ditusukkan pada cemiti untuk digunakan
sebagai bros. Ibu Sarmi memberikan keterangan: Kuwi jenenge kanggo tolak
sawan. Tolak sawan kuwi gen aja kena sengkala. Ngerti sengkala? Kwi cara dene
setan ben aja ngganggu ngono lho. „Itu namanya untuk tolak bala. Tolak bala itu
agar tidak terkena sesuatu yang buruk‟ (Wawancara dengan ibu sarmi pada
tanggal 5 januari 2010).
Jadi selama masih hamil dan pada masa menyusui, pada ibu maupun si bayi
harus selalu diberi dlingo bengle agar gangguan gaib tidak mendekat karena pada
masa itu aura manusia sedang lemah.
(17)
Yen bojone meteng, sing lenang ora oleh nggembol endhog.
Makna gramatikal: jika istrinya hamil, yang pria tidak boleh mengkantongi telur.
Makna kultural: ada kepercayaan Jawa yang menyebutkan ketika si istri hamil,
maka si suami tidak boleh mengantungi telur. Menurut mereka hal ini bisa
menyebabkan burung si bayi (jika laki-laki) akan menjadi besar. Selain itu agar
menurut mereka, nanti si anak bisa mempunyai penyakit udun. Ibu Ru yang
merupakan penganut kepercayaan Jawa yang cukup taat mengatakan: Trus yen
bojone meteng sing lenang nggembol ndhok ra entuk. Kuwi masalahe ndhak
konthole ndhak gedhe. Ndak nduwe penyakit udun. „Lalu kalau istrinya hamil,
suaminya tidak boleh mengantungi telur. Itu masalahnya nanti anaknya
kemaluannya bisa besar. Bisa punya penyakit udunan‟ (Wawancara dengan ibu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ru pada tanggal 10 Mei 2010). Oleh karena itu si suami, apalagi si istri tidak
boleh mengantungi sesuatu.
Tetapi jika ditelaah lebih lanjut, mungkin ada nasehat yang lebih dalam dari
para orang tua untuk anak mereka dari gugon tuhon ini. Tidak boleh mengantungi
telur maksudnya antara suami istri tidak boleh menyembunyikan sesuatu dari
pasangannya. Semua harus dibicarakan bersama. Apalagi ibu hamil harus selalu
menjaga pikirannya agar tetap bersih dan tidak kacau, maka berbagi dengan suami
bisa mengurangi bebannya.
(18)
Nek mangan aja neng ngarep lawang, mundhak nglairkene angel.
Makna gramatikal: kalau makan jangan di depan pintu, nanti melahirkannya sulit.
Makna kultural: gugon tugon Jawa mengatakan jika orang hamil makan di depan
pintu, maka kelak ketika melahirkan ia akan mengalami kesulitan, karena ketika
hamil ia membuat penghalang sendiri untuknya. Seorang masyarakat yang saya
tanyai memberikan keterangan: Nggeh kula penging nganu nek maem aja neng
nggon ngarep lawang. Nek maem neng ngarep lawang niku nek ajeng babaran
sok mandek niku lho kula. Maksude nek mau lahir niku nggak jadi. Ngoten niku.
„Ya saya beri tahu kalau makan jangan di depan pintu. Kalau makan di depan
pintu itu nanti kalau mau melahirkan suka berhenti begitu lho, mbak. Maksudnya
kalau mau lahir nggak jadi. Begitu itu.‟ (Wawancara dengan ibu Hana pada
tanggal 9 Mei 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Selain itu, duduk di depan puntu tentu akan sangat mengganggu orang-orang
yang akan keluar-masuk ruangan. Jika tertendang pun, akan menyakitkan orang
yang tertendang, apalagi jika yang tertendang adalah ibu hamil. Kalau ia terjatuh
dengan keras, dikhawatirkan janin dalam kandungannya bisa terganggu
kesehatannya.
(19)
Yen mangan aja nganggo pincuk, nganggo piring wae, mundhak ari-arine
kelet.
Makna gramatikal: kalau makan jangan memakai takir, memakai piring saja, nanti
tembuninya lengket.
Makna kultural: kepercayaan lain yang berkembang adalah larangan untuk makan
menggunakan pincuk (takir). Menurut mereka jika makan menggunakan pincuk
maka ari-arinya bisa lengket, sehingga nanti ari-arinya tidak bisa keluar. Informan
yang ditanyai mengatakan: Terus nek maem pake pincuk, ngertos pincuk nika ta?
Niku mengkih ari-arine, ning niki jaman riyin, ari-arine jadi kelet ngoten niku
lho. Nganu susah. Nggeh, nek maem mboten sah ngagem pincuk, kedah ngangge
piring. „Lalu kalau makan pakai takir, tau takir itu kan? Itu nanti ari-arinya, tapi
ini jaman dahulu, ari-arinya jadi lengket begitu itu lho. Anu susah. Ya kalau
makan tidak usah memakai takir, harus memakai piring‟ (Wawancara dengan ibu
Hana pada tanggal 9 Mei 2010).
(20)
Ora oleh mangan tebu.
Makna gramatikal: tidak boleh makan tebu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: selama hamil, si ibu tidak boleh memakan tebu. Menurut orang
tua Jawa, hal itu dapat menyebabkan kokot kidang. Kokot kidang adalah darah
yang keluar pada saat ia akan melahirkan. Dan darah yang keluar itu membuatnya
merasakan sakit yang sangat. Seorang penganut Jawa yang kental memberikan
informasi: Mangan tebu, soale ngko ndhak kokot kidangen. Gula jawa ra entuk.
Ngko ndhak kokot kidangen. Kokot kidang ki ngetokne getih sithik tur lara.
„Makan tebu, soalnya nanti kokot kidangen. Gula jawa juga tidak boleh, nanti
terkena kokot kidang. Kokot kidang itu mengeluarken darah sedikit tapi sakit‟
(Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 10 mei 2010).
Sedangkan ibu rumah tangga yang sudah tidak terlalu percaya dengan gugon
tuhon, namun masih cukup mengerti tentang tradisi Jawa ini memberikan
keterangan:
Lha nek kebanyaken manis, misalnya dhahar tebu napa ngeten, nika kokot
kidang. Kokot kidang niku nek mpun bededengen sakit, mboten saget
lahir, sing lahir cuma medalke darah. Ngoten niku. Mangkih nek dharahe
telas bededengen malih mangkih nganu kok, medalke dharah malih.
Dadose ngantos dharahe anu mangkih. Sakit nek kokot kidang nek ngoten
niku mbak.
Lha kalau kebanyakan makan manis, misalnya makan tebu atau apa, itu
kokot kidang. Kokot kidang itu kalau kalau sudah telanjur sakit, tidak bisa
lahir, yang lahir Cuma mengeluarkan darah. Begitu itu. Nanti kalau
darahnya habis, keluar darah lagi dan sakit. Jadi sampai darahny. (keluar
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlalu banyak). Sakit kalau kokot kidang itu, mbak. (Wawancara dengan
ibu Hana pada tanggal 9 Mei 2010).
Sebetulnya mengkonsumsi makanan manis memang tidak dianjurkan oleh
dokter pada saat hamil. Karena dapat menyebabkan bayi yang di dalam
kandungan menjadi gemuk, sehingga nantinya ia akan sulit keluar. Persalinan
yang sulit ini tentu akan membahayakan jiwa si ibu dan bayi yang dilahirkannya.
(21)
Yen wis sangang sasi, ngombe minyak blondho saka godhong lumbu terus
mlayu bablas neng lawang.
Makna gramatikal: kalau sudah sembilan bulan, minum minyak kelapa dari daun
talas lalu berlari melewati pintu.
Makna kultural: tata cara ini termasuk dalam rangkaian selametan sembilan bulan
kehamilan. Setelah prosesi jenang procod, dilanjutkan dengan meminum minyak
blondho, yaitu minyak kelapa murni. Minyak tersebut ditempatkan dalam daun
talas untuk kemudian diminum ibu yang sudah mendekati masa melahirkan.
Setelah selesai meminum minyak tersebut, ia harus langsung berlari melewati
pintu. Prosesi tersebut menyimbolkan setelah meminum minyak yang licin dan
diminum dari daun talas yang licin, maka kelahirannya akan mudah. Sedangkan
berlari melewati pintu menyimbolkan pengharapan agar persalinan berjalan cepat
dan lancar secepat dan semudah melewati pintu tersebut.
Ibu Sarmi meberikan keterangan: Jenenge kuwi biasane bubar nggawe bubur
procod ta? Ngombene kaya ngono kuwi. Sak durunge bayinya lair ki kudu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nggawe kaya ngono. Bayine gen lairane gampang. Lebih lancar. Nek dhong
lumbu ki lunyu, minyak ya lunyu, ben nglairkene mak prucut, gen gampang.
„Namanya itu biasanya setelah membuat bubur procod kan? Minumnya seperti
itu. Sebelum bayinya lahir itu harus membuat seperti itu. Bayinya biar lahirnya
gampang. Lebih lancar. Kalau daunt alas itu licin, minyak juga licin, biar
melahirkannya gampang‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
(22)
Yen mara neng ngomahe wong mbobot ora oleh ngomong sing ala-ala,
mundhak nyawani.
Makna gramatikal: kalau datang ke rumah orang hamil tidak boleh berbicara
sesuatu yang buruk, nanti membawa sial.
Makna kultural: kejiwaan ibu hamil haruslah selalu dijaga karena suasana hati ibu
akan mempengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya. Maka ketika
seseorang datang kerumah wanita yang sedang hamil, ia diharuskan menjaga
sikap dan perkataannya. Misalnya ketika tadi tamu tersebut bertemu dengan orang
yang cacat atau melihat suatu kecelakaan, maka ia diharapkan untuk menahan
agar tidak menceritakan hal tersebut kepada wanita hamil.
Seorang nenek yang masih mempercayai gugon tuhon ini mengatakan:
Terus bocah kuwi nek ndelok wong ciri suwing, apa debloh, apa bujel
mripate kuwi amit-amit jabang bayi ki bayine ben ora anu. Engko ndhak
sawanen. Kan sok ana mung dibatin wae. Ndilalah nak mbatin wong
bagus, ayu trus kan ora nular. Neng nak ujug-ujug mbatin uwong kuwi
kok nular? Kuwi turunanku dhewe ana. Turunanku dhewe ana, adhiku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dhewe malah sing nular. Sing wedok gek meteng, sing lanang ki weruh
wong idhiot, “kuwi menungsa apa setan ta?”. Anak‟e wong loro idhiot
kabeh. Loro lanang-lanang. Pancen kudu di … . “Jabang bayi karo
bojoku tangia. Ana wong kok kaya ngono”
„Lalu anak itu kalau melihat orang cacat, atau debloh, atau buta matanya
itu harus mengatakan „amit-amit jabang bayi‟, itu agar bayinya tidak anu
(ikut menjadi cacat). Nanti ikut terkena sialnya. Kan terkadang ada yang
hanya dibatin saja. Ternyata kalau membatin orang ganteng, cantik kan
tidak menular. Tetapi kalau tiba-tiba membatin orang itu kok menular. Itu
saudara saya sendiri ada, adik saya sandii malah yang ketularan. Yang
perempuan baru hamil, suaminya melihat orang idiot, “itu manusia apa
setan sih?”. Anaknya dua orang idiot semua. Dua laki-laki semua.
Memang harus di … “Jabang bayi dan suamiku bangunlah. Ada orang kok
seperti itu‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
Orang Jawa percaya jika seorang wanita hamil memikirkan sesuatu yang
buruk,
maka hal buruk tersebut dapat menular kepada janin yang sedang
dikandungnya. Namun jika hal itu terlanjur terjadi, maka wanita tersebut akan
menangis sambil memohon agar Tuhan tidak memberikan sesuatu yang buruk
kepada bayinya.
Kejiwaan selama hamil sangatlah penting. Maka ketika seorang wanita sedang
hamil, disarankan untuk rileks secara badan dan pikiran. Karena ternyata pikiran
yang terlalu „kencang‟ pun dapat mengganggu kesehatan bahkan membuat
keguguran. Itulah mengapa menjaga suasana hati dan pikiran ketika hamil perlu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan oleh si ibu hamil sendiri, maupun dengan bantuan orang-orang di
sekitarnya.
(23)
Aja nandhu banyu asah-asahan, ora ilok.
Makna gramatikal: jangan menyimpan air bekas mencuci piring, tidak pantas.
Makna kultural: dalam nasehat Jawa, menampung air bekas mencuci piring atau
baju tidak diperbolehkan karena hal itu dapat membuat bayi yang dilahirkannya
akan mempunyai kulit yang tidak bersih (berpenyakitan) dan telinganya selalu
mengeluarkan kotoran (bahasa Jawa: kopokan). Seorang informan mengatakan:
Banyu asah-asahan ditandu ora entuk. Mengko anake ndak carane kopoken. Sakit
kuping kuwi lho. „Air bekas mencuci piring tidak boleh ditampung (dan
disimpan). Nanti anaknya bisa kopokan. Sakit telinga itu lho‟ (Wawancara dengan
ibu Ru pada tanggal 10 Mei 2010).
Selain itu wanita hamil dianjurkan untuk selalu menjaga kebersihan dirinya
dan lingkungannya. Hal ini dilakukan agar kelak ketika melahirkan ia diberi
kemudahan karena selalu menjaga segala sesuatu di sekitarnya menjadi tetap
bersih. Ila-ila untuk tidak menyimpan air bekas mencuci piring adalah agar anak
yang dilahirkannya kelak bersih, tidak keruh seperti air bekas mencuci tersebut,
dan juga agar kelahirannya berjalan lancar karena ia sudah membersihkan segala
sesuatu yang menghalangi jalannya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Gugon Tuhon Merawat Bayi
(1)
Aja turu yen bar nglairke, mundhak kelindheh.
Makna gramatikal: jangan tidur setelah melahirkan, agar tidak trans (keadaan
tidak sadar).
Makna kultural: pada umumnya menjaga orang yang lelah teramat sangat sehabis
melahirkan agar tidak menuruti keinginannya untuk tidur karena :
a. Tidak terlanjur menjadi gila. Karena pada saat melahirkan, tenaga sudah
terkuras dan merasakan sakit yang hebat, sudah pasti si ibu akan merasa
sangat lelah dan hanya ingin tidur. Nah, pada saat tidur ini dikhawatirkan jika
ia mendengar sesuatu yang mengagetkan, maka jiwanya akan tergoncang
karena sentakan pada sarafnya yang mengakibatkan ia menjadi gila.
b. Kekhawatiran kedua adalah karena kelelahan dan sakit yang hebat itu, pada
saat tertidur, si ibu akan keterusan (bablas : bhs Jawa) meninggal karena
sudah tidak punya tenaga untuk bangun.
Wawancara dengan ibu Sarmi akan menjelaskan sebabnya :
Kelindheh itu nanti menyebabkan… ada yang kelindheh keterusan
meninggal, ada kelindeh yang menyebabkan gila. Kelindheh itu kan bedabeda. Ya harusnya kan tidak boleh begitu itu. Kalau habis melahirkan ya
harusnya terjaga. Jarak berapa jam itu. Harusnya ditungguin terus.
(Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 26 Maret 2010).
Sedangkan nara sumber lain mengatakan:
O niku masalahe nganu, nek jaman biyen, jarene widadari sekethi ki jek
ngendhangi nek wong sing bar dhuwe anak turu. Ora kena turu ki merga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
nek keblabasen dituntun karo widadari kuwi. Trus ana ta bar dhuwe anak
nek turu keblabasan sok mati. Mulane nek wong nek bar dhuwe anak
anyar aja turu sek, ya ndedonga saisa-isane, ngono tha Wuk?
„O itu masalahnya begini, kalau jaman dahulu, katanya seratus ribu
bidadari itu masih membujuk-bujuk orang-orang yang sehabis melahirkan
langsung tidur. Tidak bioleh tidur itu karena kalau kebablasan nanti
dituntun oleh bidadari itu. Lalu ada kan yang sehabis melahirkan lalu tidur
malah keterusan meninggal. Makanya kalau orang setelah melahirkan itu
jangan tidur dahulu, ya berdoa sebisa-bisanya kan, nak?‟ (Wawancara
dengan mbah Ngat pada tanggal 11 mei 2010).
Sedangkan informan yang lain memberikan cerita : O, nak kelindheh ki nganu ya,
mas? Nak kelindheh ki piye kaya ibumu kae? Kuwi sok-sok pikirane pas kosong,
ngalamun pa piye. Ngono nek kelindeh ki bablas setres, ibu e iki mbiyen ya
ngono. „O, kalau kelindeh itu anu ya, mas? Kalau kelindeh itu bagaimana ibu
kamu dulu? Itu terkadang pikirannya sedang kosong, ngalamun atau bagaimana.
Kalau kelindeh itu keterusan gila, ibunya ini dulu juga begitu‟ (Wawancara
dengan ibu Tunsiyah pada tanggal 9 Mei 2010).
Maka dalam kepercayaan Jawa, setelah melahirkan ia akan ditunggui oleh
kerabatnya agar ia tidak tertidur. Karena biasanya setelah merasakan sakit dan
kehabisan tenaga, ibu yang baru melahirkan rasanya ingin tidur saja. Oleh karena
alasan-alasan diatas, sebaiknya ibu hamil terjaga dahulu dan berdoa atas
keselamatan yang diberikan Tuhan YME.
(2)
Ora ilok bayi dolanan sikil, mundhak gedhene kesed.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: tidak pantas bayi bermain kaki, nanti besarnya malas.
Makna kultural: kalau seorang bayi sewaktu belum bisa berjalan suka bermain
kaki, dengan mengulum jempol kaki atau memegangi kaki dengan tanggannya,
maka kelak saatnya berjalan akan lebih lama dari waktu normalnya. Jika bayi lain
rata-rata umur setahun sudah berjalan, maka bayi ini setahun lebih baru bisa
berjalan. Seperti kata seorang nara sumber: Bocah ki nek sikile dimut, bocah
mlakune suwe, kesed. Kan sok ana bayi sing dolanan sikil, dimut, kuwi kesed. Ya
wes cara dene ki males. Anak kalau kakinya dikulum itu nanti jalannya lama,
malas. Kan kadang ada bayi yang mainan kaki, dikulum, itu nanti malas. Ya
memang malas. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Mungkin pada saat ia bermain dengan kakinya, hal ini membuat ia lebih asyik
bermain daripada bergerak dan mencoba berjalan seperti kebanyakan anak yang
penasaran dengan dunianya. Maka lebih baik orang tua mengalihkannya dengan
mainan yang merangsang rasa keingintahuan si bayi.
(3)
Yen bayine durung rong taun, abrakane aja dibakari, mundhak suleden.
Makna gramatikal: jika bayinya belum 2 tahun, barang-barangnya jangan dibakar,
nanti berpenyakit kulit.
Makna kultural: anak yang belum berumur 2 tahun segala barang-barangnya
seperti popok, kain yang dipakai sebagai alas, selimut, dan sebagainya tidak boleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibakar. Jaman dahulu mereka memilih untuk menenggelamkannya di sungai.
Masyarakat sekarang yang sudah mengenal popok sekali pakai (pampers) namun
masih konservatif pun memilih membuang popok tersebut di sungai. Walaupun
disinyalir dapat mengotori sungai dan menyebabkan banjir, namun nyatanya
masih ada masyarakat yang melakukan hal ini. Hal ini masih mereka lakukan
karena jika barang-barang tersebut dibakar, nanti kulit pada bayinya akan
terjangkit suatu penyakit yang penampakannya sepintas seperti luka bakar, orang
Jawa menyebutnya sebagai suleden. Namun setelah saya tanyakan kepada
paramedis, ternyata menurut mereka penyakit kulit ini adalah dompo, atau lazim
disebut herpes.
Seorang nara sumber mengatakan: Bocah ben aja kena suleden. Suleden kwi
awake kaya bentuk koreng-koreng ana banyune. Nek pama basa Indonesia kuwi
cangkrangen. „Agar anak tidak terkena penyakit suleden. Suleden itu badannya
seperti ada koreng-koreng dan berair. Kalau bahasa Indonesianya itu
cangkrangen.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Namun jika ditelaah lebih lanjut, mengapa ada larangan membakar baju-baju
bayi yang belum berumur dua tahun, mungkin hal ini disebabkan jika ketika
membakar benda-benda tersebut dan si bayi berada di dekatnya, maka si bayi
dapat terganggu pernapasannya, atau jika terkena mata si bayi, maka akan
menyebabkan belekan atau penyakit mata lainnya.
(4)
Yen mlebu omah ana bayine, utawa tilik bayi, kudu langsung njujug mburi, gen
bayine ora katutan sawan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: kalau masuk rumah yang ada bayinya, atau menjenguk bayi,
harus langsung menuju ke belakang, agar bayinya tidak diikuti setan.
Makna kultural: ada beberapa tata cara adat bertamu untuk menjenguk bayi pada
masyarakat Jawa. Yang pertama-tama saat ia masuk ke dalam rumah yang ada
bayinya, maka mereka harus langsung menuju dapur, tidak boleh berhenti dulu
untuk berbicara dengan bayinya, apalagi menyentuhnya. Pada jaman dahulu orang
yang memasuki rumah ini diharuskan langsung menuju ke dapur untuk lalu
menghangatkan kakinya di abu pembakaran atau kompor tradisional (ngawu-awu
sikil neng pawon). Namun pada masyarakat desa Nanggulan sudah tidak ada yang
melakukan tradisi ini. Pun ketika saya tanyai mengapa dahulu hal ini diterapkan,
mereka tidak tahu karena mereka tidak pernah bertanya kepada orang tuanya.
Mereka hanya ingat tradisi ini masih dijalankan pada jaman ayah ibu atau kakek
nenek mereka. Seorang informan memberi keterangan:
O ya, nek kuwi eneng, tapi yen saiki kan ora eneng pawon enenge kompor,
kuwi wong cara wong tilik bayi kuwi bablas neng pawon sek, neng kamar
mandi wisuh sek. Ngono ki nek ana apa-apa ka njaba mau ben ilang. Ora,
rasah dipanas-panasi sing penting bablas neng kamar mandhi. Ora ana
pawon, neng kamar mandhi wisuh terus neng nggone bayine. Ki ora papa.
„O ya, kalau itu ada, tapi kalau sekarang kan tidak ada tungku, adanya
kompor, itu kalau orang menjenguk bayi itu langsung ke dapu dulu, ke
kamar mandi mencuci kaki tangan dahulu. Begitu itu kalau ada apa-apa
dari luar tadi biar hilang dahulu. Tidak, tidak usah memanaskan kaki yang
penting lasngsung ke kamar mandi. Tidak ada dapur, ke kamar mandi
membasuh tangan-kaki baru menuju ke bayinya. Itu tidak apa-apa.‟
(Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 mei 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Setelah melahirkan, orang-orang yang datang menjenguk bayi atau anggota
keluarga yang datang dari bepergian selalu diharuskan tidak boleh berbicara
dengan si bayi, langsung menuju ke belakang yang merupakan dapur dan kamar
mandi, untuk lalu mencuci tangan, kaki dan muka. Setelah itu baru mereka boleh
mendatangi si bayi. Rupanya bidan yang ditanyai memberikan argumennya:
Jelas. Nek seka bepergian adoh apa tamu teka, fungsine dheknen kon mau
kuwi karepe mungkin wijik. Wijik ki kan untuk membersihkan kuman, nek
ngko nek meh demok bayike ki ben ora tertular. Bayi kan rentan terhadap
kuman. Tapi nek ngilangi sawan ya sebenere ora. Cuma mungkin menjaga
kebersihane. Cuman nak uwong kan muk ngubengi pawon thok uwis
mbalik niliki bayi, itu tidak ngefek. Mungkin karepe wong ndhisik
mungkin nek mlebu pawon, pawon kan dadi siji mbek kamar mandi.
Karepe kon wijik ngono hlo mesthine. Dijupuk gampange thok, mlebu
pawon ngono thok.
„Jelas. Kalau dari bepergian jauh atau tamu datang, fungsinya mereka
disuruh melakukan hal itu maksudnya mungkin membasuh. Membasuh itu
kan untuk membersihkan kuman, agar nanti kalau mau memegang bayinya
biar bayinya tidak tertular (virus, kuman penyakit). Bayi kan rentan
terhadap kuman. Tetapi kalau menhilangkan sawan ya sebetulnya tidak.
Cuma mungkin menjaga kebersihannya. Cuma kan kalau orang Cuma
mengelilingi dapur saja lalu kembali menjenguk bayinya, itu tidak ngefek.
Mungkin maksudnya orang dulu kalau masuk ke dapur, dapur kan menjadi
satu dengan kamar mandi. Maksudnya disuruh membasuh tangan-kaki
begitu lho seharusnya. Diambil gampangnya, disuruh masuk ke dapur
saja‟
(Wawancara dengan ibu Suparmi pada tanggal 11 Mei 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kemungkinan besar maksud orang tua jaman dahulu adalah membersihkan
diri dari kuman yang menempel dulu agar jika ada kuman, penyakit atau virus
tidak tertular pada si bayi yang masih sangat rentan terhadap penyakit.
(5)
Yen ngejak bayi nyumbang, kudu dijalukne kembang manten, ben ora katutan
sawan manten.
Makna gramatikal: jika mengajak bayi kondangan, harus dimintakan bunga
pengantin, supaya tidak diikuti setan.
Makna kultural: ada gugon tuhon yang mengatakan bahwa kalau membawa bayi
ke kondangan, maka ia harus dimintakan bunga yang dipakai oleh pengantin,
biasanya bunga tersebut berupa bunga melati. Lalu bunga tersebut dilumatkan dan
dioleskan (bahasa Jawa: dipupukke) pada ubun-ubun bayi. Hal ini dilakukan agar
si bayi tidak diikuti oleh sawan yang dipakai oleh si dukun pengantin. Biasanya
dalam acara mantenan Jawa, dukun manten yang mengampu acara melakukan
ritual-ritual untuk meminta bantuan roh-roh agar acara selametan pengantin ini
berjalan lancar.
Seorang informan mengatakan : Ya kembang utawa wedhake. Kembang kena,
wedhake ya kena. Wedhake ya di wedhakke raine. Kembange dokokne neng
kuping, gulu, karo sikil barang, ya mbun-mbunan barang. Wedhaka ya nggon
mbun-mbunan barang. Jenenge nggo nolak sawan, ben ora kena sawan manten.
„Ya bunga atau bedaknya. Bunga boleh, bedak juga boleh. Bedakknya ya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibedakkan di mukanya. Bunganya diberikan di telinga, leher, dan kaki juga, ya
ubun-ubun juga. Bedakpun ya di ubun-ubun juga. Namanya untuk menolak
sawan, agar tidak terkena sawan manten‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada
tanggal 5 Januari 2011).
(6)
Yen tilik bayi kudu dijalukne bedhak bayi.
Makna gramatikal: jika menjenguk bayi, harus dimintakan bedak bayi.
Makna kultural: setelah bayi lahir, biasanya para sanak saudara dan tetangga
datang ke rumah untuk menjenguknya. Kebiasaan dari masyarakat Jawa bahwa
jika datang menjenguk bayi yang baru lahir, kalau yang datang menjenguk
membawa bayi atau anak kecil, maka mereka harus dimintakan bedak dari bayi
yang baru lahir tersebut. Bedak itu dioleskan ke muka, telinga, ubun-ubun, tangan
dan kaki „penjenguk kecil‟ tersebut. Hal ini dilakukan dengan harapan mereka
yang mendapat bedak ini dijauhkan dari sawan dan tidak menangis terus seperti
bayi yang baru lahir tersebut.
Informasi yang diberikan oleh seorang nara sumber: Bocahe ben ora rewel
wae. Ora rewel kaya bayine mau terus ngko nek njalukke wedhake, diwedhakke
raine, mbun-mbunane, nggon awake. O ya, gen ketularan nduwe bayi. „Anaknya
agar tidak rewel terus. Tidak rewel seperti bayi tadi terus kalau dimintakan
bedaknya. Dibedakkan di mukanya, ubun-ubunnya, di mukanya. O ya, biar
„ketularan‟ punya bayi (jika ibu yang belum pernah punya anak yang meminta
bedak tersebut).‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan untuk para ibu yang belum hamil, meminta bedak bayi ini
diharapkan agar ia segera „ketularan‟ untuk mendapat momongan juga.
(7)
Ora ilok bayi dijak ngaca.
Makna gramatikal: tidak baik bayi diajak mengaca.
Makna kultural: menurut orang Jawa, bayi tidak boleh diberi kaca atau diajak
mengaca atau melihat bayangannya di kaca, karena dikhawatirkan jika melihat air
ia akan mengikuti bayangannya itu. Orang Jawa mempercayai hal ini karena pada
jaman dahulu tidak ada kamar mandi di dalam rumah, biasanya mereka mandi di
sungai. Untuk anak kecil, sungai bisa serupa lautan karena ia tidak punya daya
jika terhanyut.
Seorang informan memberi pendapat : Dijak ngaca. Bocah kuwi nek dijak
ngaca, weruh bayangane dhewe to Nok? Hla ngko nek weruh banyu kempyarkempyar ngono bocah ngaca kuwi arep nututi bayangane nyemplung nyang
nggon banyu, mulane cah cilik ora entuk sok diajak ngaca. „Diajak mengaca.
Anak itu kalau diajak mengaca, lihat bayangannya sendiri kan, nak? Lha nanti
kalau melihat air yang memantulkan bayangan begitu anak mengaca itu mau
mengikuti bayangannya masuk ke dalam air, makanya anak kecil tidak boleh
diajak mengaca‟ (Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Masyarakat lain memberi pendapat jika bayi tidak boleh diajak berkaca agar
„pengasuh‟ si bayi, yaitu ‟saudara‟ yang menjaganya tidak takut ketika melihat
bayangannya sendiri di cermin. Ia mengatakan: Ora ilok, ngko ndhak wedi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bayangane dhewe. Wedi ki sok girap-girapen mergane sing momong jabang
bayine kuwi mau, kan jabang bayi ki ana sing momong, carane ki ana sing njaga.
Sing wedi ki sing njaga. „Tidak pantas, nanti bisa takut bayangannya sendiri.
Takut itu terkadang terkejut-kejut karena yang mengasuh bayinya tadi, kan bayi
ada yang „mengasuh‟, istilahnya ada yang „menjaga‟. Yang takut itu yang
menjaga‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(8)
Ora ilok bayi dilem.
Makna gramatikal: tidak pantas bayi dipuji.
Makna kultural: seorang bayi tidak boleh dipuji karena dikhawatirkan nanti kelak
ketika ia besar, maka ia akan sombong dan tinggi hati karena semasa kecil ia
terbiasa tahu bahwa dia mempunyai segalanya. Maka biasanya orang tua Jawa
melakukan hal yang sebaliknya, mereka mengatakan “elek elek dhewe bayine”
„bayinya paling jelek‟, hal itu dilakukan agar si anak selalu merasa bahwa ia tidak
mempunyai apa-apa sehingga ia akan selalu rendah hati.
Informasi yang didapatkan dari seorang nara sumber: Ki memang nek wong
mbiyen kuwi ora entuk bayi dilem-lem. Ngko nek dilem-lem ki kadhang sok bocah
ngko nek gedhene dadi kaya bombongan. Kaya wes bagus-bagus dhewe, kaya wes
apik-apik dhewe ngono kuwi. „Itu memang kalau orang jaman dahulu itu tidak
boleh dipuji-puji. Nanti kalau dipuji-puji itu terkadang anak nanti kalau sudah
besar seperti terbentuk menjadi sombong. Seperti sudah paling ganteng, paling
baik begitu lho.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gugon tuhon ini menjadi salah satu pendidikan etika pengasuhan anak, untuk
membentuk kepribadian yang baik. Caranya dalah dengan tidak meninggikan hati
anak tersebut dari semenjak dia bayi. Sesuai dengan kepribadia Jawa yang tidak
suka memamerkan apa yang dipunyainya, maka orang tua Jawa pun mendidik
anaknya dengan terbiasa untuk selalu rendah hati walaupun sebetulnya ia
memiliki sesuatu.
(9)
Tangan bayi aja diambungi, ora ilok, mundhak gedhene njalukan.
Makna gramatikal: tangan bayi jangan diciumi, tidak pantas, nanti besarnya suka
meminta.
Makna kultural: masyarakat Jawa percaya jika semasa kecil si bayi sering diciumi
tangannya oleh orang tuanya, maka ketika besar ia akan menjadi delap, yaitu suka
meminta barang yang dimiliki oleh orang lain, padahal ia sendiri telah
memilikinya. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Delap. Tangan
bocah diambungi ngono kuwi ngko suk nek gedhe delap. Delap ki njalukkan,
mlilikan. Bena neng ngomah panganan turah sembarang ana ki, ning iri karo
kancane. „Delap. Tangan anak sering diciumi itu nantinya kalau sudah besar suka
meminta. Delap itu suka meminta, iri hati. Biarpun di rumah makanan tersisa,
semua ada itu, tetapi iri dengan teman-temannya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi
pada tanggal 5 Januari 2011).
Maka biasanya jika ada yang menciumi seorang bayi, orang tua si bayi akan
melarang orang tersebut untuk melakukan hal itu, dengan dalih gugon tuhon
tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(10)
digilib.uns.ac.id
Klambi bayi aja dikebutne, mundhak bayine kagetan.
Makna gramatikal: baju bayi jangan dikibaskan, nanti bayinya mudah terkejut.
Makna kultural: dalam hal merawat pakaian bayi, selain harus dimasukkan ketika
malam tiba, baju-baju bayi juga tidak boleh dikibaskan. Hal ini tidak boleh
dilakukan karena nanti si bayi bisa sering terkejut ketika mendengar suara yang
sangat pelan sekalipun (bahasa Jawa: girap-girap, kagetan). Seperti yang
dikatakan oleh seorang nara sumber: Ngko ndhak kagetan, girapen jarene. Apa
sithik ndhak girapen jenenge. Nek wong mbiyen ki ana loro, klambi dikebutne
karo bar lahir digebrak. Ning nek saiki klambi bayi ora oleh dikebutne. Nek
digebrak arang-arang. Nek digebrak mungkin sing nggebrak bidane. „Nanti
mudah terkejut (bayinya) girapen istilahnya. Ada sesuatu sedikit langsung
terkejut. Kalau orang dahulu itu ada dua, baju dikibaskan dan digebrak setelah
melahirkan. Tapi kalau sekarang baju bayi tidak boleh dikibaskan. Kalau digebrak
sudah jarang. Kalau digebrak mungkin yang melakukan bidannya‟ (Wawancara
dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Maka ketika mencuci, akan menjemur atau mengangkat jemuran, baju-baju
bayi tidak boleh dikibas-kibaskan. Lebih baik secara pelan-pelan dibersihkan
dengan tangan. Mengibaskan baju bayi tidak diperbolehkan mungkin jika kita
mengibaskan kain dan si bayi berada di dekat kita, maka si bayi akan terkejut
karena suara kibasan baju ini biasanya kuat dan tiba-tiba.
(11)
Yen bayine nangis kena sawan, mbun-mbunane dipupuki dlingo bengle.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: jika bayinya menangis terkena roh halus, ubun-ubunnya
dioleskan dlingo bengle.
Makna kultural: jika seorang bayi menangis terus menerus dan bukan disebabkan
oleh lapar, haus atau sakit dan menurut orang Jawa menangisnya sambil menutup
mata serta tidak mengeluarkan air mata, maka hal itu adalah indikasi bahwa ia
sedang diganggu oleh roh halus yang membuatnya tidak berani melihat, sehingga
matanya selalu dipejamkan. Seperti halnya pengobatan dalam hal yang berkaitan
dengan hal gaib, maka dlingo bengle selalu digunakan dalam pengobatan ini.
Informasi yang dikatakan oleh seorang nara sumber:
Ya kuwi carane kuwi lelembut sing arep ngganggu bocahe kwi lunga.
Dadi tolak bala carane ki. Lha memang kuwi kan (dlingo bengle) gamane
wong mbiyen kan dlingo bengle tandurane. Jaman nenek moyange awak
dhewe. Dlingo bengle kan tidak untuk dimakan. Nek lempuyang, kunir
ngono kan untuk dimakan. Pembawaan dari jaman dahulu kala ki untuk
menolak bala.
„Ya istilahnya roh halus yang akan mengganggu si anak itu pergi. Jadi
istilahnya untuk tolak bala. Ya memang dlingo bengle itu kan senjatanya
ornga jaman dahulu. Jaman nenek moyang kita. Dlingo bengle kan tidak
untuk dimakan. Kalau lempuyang, kunyit begitu kan untuk dimakan.
Pembawaan dari jaman dahulu kala itu untuk menolak bala.‟
(Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(12)
Ora ilok bayi dipunji, mundhak wani karo wong tuwane.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
Makna gramatikal:
digilib.uns.ac.id
tidak pantas bayi dipanggul, nanti berani dengan orang
tuanya.
Makna kultural: bayi tidak boleh dipanggul karena ketika dewasa kelak ia akan
berani melawan orang tuanya. Menurut masyarakat Jawa ketika seorang anak
„ditinggikan‟ (dengan dipanggul), maka berarti orang tua telah meninggikan status
seorang anak lebih dari dirinya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh seorang
informan: Ora entuk dipunjui-punji, dekekne ndhuwure wong tuwa, dipunji ngono
kae ora entuk ngko ndak gedhene ra ngajeni wani karo wong tuwa. Nek cah cilik
ra entuk nek dipunji-punji ngono. „Tidak boleh dipanggul begitu, diletakkan di
atas orang tua. Dipanggul begitu tidak boleh nanti besarnya berani dengan orang
tua. Kalau anak kecil tidak boleh dipanggul-panggul begitu‟ (Wawancara dengan
ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Seorang anak yang sedang suka bermain hanya mengerti bahwa dipanggul
sangatlah menyenangkan. Biasanya jika menurutnya hal itu menyenangkan, maka
ia akan terus meminta tanpa dilarang. Orang tua hanya ingin membuat anaknya
senang, maka tanpa sadar orang tua terus menuruti keinginan anaknya daripada
melihat anaknya menangis. Hal inilah yang tanpa disadari telah mendidik anak
untuk menjadi manja dan berani dengan orang tuanya karena merasa ia selalu
dituruti oleh orang tuanya.
Tetapi memang memanggul seorang bayi sangat lemah dari segi keamanan.
Karena ketika kita memanggul bayi yang belum dapat menyeimbangkan
badannya sendiri, dan kita sedang tidak dalam posisi cekatan, ditambah lagi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
terlalu tinggi dari tanah, maka hal itu membahayakan jiwa si bayi. Badan bayi
yang masih „empuk‟ dan ringkih akan menanggung luka yang sangat berat jika
terjatuh dari tempat setinggi itu dibandingkan dengan orang dewasa yang jatuh
dari jarak yang sama. Oleh karena itu biasanya jika kita memanggul bayi kita,
biasanya orang tua kita akan langsung melarangnya.
(13)
Yen wis wengi, klambi bayi kudu dilebokne, mundhak bayine nangis.
Makna gramatikal: jika sudah malam, baju bayi harus dimasukkan, nanti bayinya
menangis.
Makna kultural: ketika sudah beranjak malam, maka baju-baju bayi yang masih
berada di luar rumah harus segera dimasukkan ke dalam rumah. Kalau tidak
dimasukkan biasanya si bayi akan rewel. Sebagian masyarakat yang dimintai
keterangan mengatakan sebab bayinya rewel adalah karena bajunya yang berada
di luar dipakai mainan oleh sawan-sawan yang berkeliaran. Namun beberapa
masyarakat yang saya tanyai mengatakan kalau mereka menangis dikarenakan
mereka masuk angin karena semalaman bajunya terkena embun yang merasuk ke
dalam baju mereka hingga keesokan harinya. Embun ini membuat mereka masuk
angin karena merasa baju mereka anyep. Seperti yang dikatakan oleh seorang
informan: Cepet masuk anginan. Pakaian bayi ki ora entuk diisiske neng njaba
bengi bocah ndhak kerep masuk angin, kena pilek, watuk pilek ngono kwi. Kwi
marai ora apik. „Sering masuk angin. Pakaian bayi itu tidak boleh dianginanginkan di luar rumah saat malam, nanti anak sering masuk angin, kena pilek,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
batuk pilek begitu. Itu membuat tidak baik.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada
tanggal 5 Januari 2011).
Maka ketika malam menjelang, baju-baju bayi harus segera „diamankan‟ ke
dalam rumah agar si bayi merasa nyaman memakai baju mereka ketika kering
nanti.
(14)
Aja ngombe es.
Makna gramatikal: jangan minum es.
Makna kultural : seperti halnya orang tua yang perlu menjaga metabolisme
tubuhnya agar tetap baik, ibu menyusui yang mana semua yang dimakannya akan
dimakan juga oleh si bayi juga harus menjaga asupan makannya karena
metabolisme bayi masih belum sempurna. Maka ibu menyusui tidak boleh makan
sembarangan, salah satunya tidak diperbolehkan minum es.
Informan saya yang merupakan seorang bidan mengatakan : Terus, mimik es.
Ora entuk mimik es yen nyusoni ya memang iya, otomatis kan aire dingin bisa
nyebabkan pilek. „Lalu minum es. Tidak boleh minum es kalau menyusui ya
memang iya, otomatis kan airnya (ASI) dingin bisa menyebabkan pilek.‟
(Wawancara dengan ibu Suparmi pada tanggal 11 Mei 2010).
Sama dengan ibu hamil, biasanya es yang dibeli di warung terbuat dari air
mentah yang dapat membuat ibu menyusui menjadi pilek. Jika si ibu pilek,
otomatis si bayi yang daya tahan tubuhnya masih rentan pun akan ikut pilek.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Padahal jika si bayi yang pilek tentu akan sangat menyusahkan karena masih sulit
untuk mengatasi pernapasannya. Oleh karena itu sebaiknya ibu menyusui menjaga
asupan konsumsinya agar ibu dan bayi sama-sama sehat.
(15)
Aja mangan pedhes, mundhak bayine ana wiji lomboke, yen ora lodhoken.
Makna gramatikal: jangan makan yang pedas-pedas, nanti bayinya kalau buang
air besar ada biji cabainya, atau kalau tidak matanya akan ada kotorannya.
Makna kultural : kepercayaan orang Jawa, jika si ibu memakan sesuatu yang
pedas, maka si bayi akan merasa kepedasan dan dalam kotorannya akan ada biji
cabainya. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Nek lagi menthili
maem pedhes ki kadhang ngko iso metu neng penthile, wiji lomboke ki mau. Dadi
marakke bocah rembesan. Dadi pancen kwi mau ra dientukke wong tuwa-tuwa
mbiyen. „Kalau sedang menyusui lalu makan makanan pedas itu kadang bisa
keluar lewat ASInya, biji cabainya itu tadi. Jadi membuat anak selalu
mengeluarkan kotoran mata (bahasa Jawa: lodokan). Jadi memang hal itu tadi
tidak diperbolehkan orang tua-orang tua jaman dahulu.‟ (Wawancara dengan ibu
Sarmi pada tanggal 5 januari 2011).
Sebetulnya biji cabai yang dimaksud adalah kotoran pada umumnya yang
sekilas berbentuk seperti cabai. Tetapi secara medis jika si ibu memakan sesuatu
yang pedas apalagi yang sangat pedas, maka pencernaan si ibu akan terganggu.
Jika kesehatan ibu terganggu, maka sedikit banyak hal ini akan mempengaruhi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam mengasuh si bayi. Seorang pakar dalam ilmu teknologi pangan
mengatakan:
Sebenarnya cita rasa pedas yang dikonsumsi ibu menyusui tidak
berdampak secara langsung kepada bayi. Namun sebaiknya memang
dibatasi makanan yang terlalu merangsang, sebab akan berpengaruh pada
kestabilan kesehatan ibu. (Hindah J Muaris dkk. 2005: 144).
Menurut ahli medis, sebetulnya memakan sesuatu itu tidak dilarang, namun
dalam jumlah yang semestinya. Tidak boleh berlebih-lebihan karena hal itu pasti
akan berdampak tidak baik untuk kesehatan.
(16)
Aja mangan sing panas-panas.
Makna gramatikal: jangan makan sesuatu yang panas.
Makna kultural: salah satu gugon tuhon orang tua Jawa jaman dahulu adalah tidak
duperkenankan mengkonsumsi makanan yang masih panas karena akan membuat
si bayi sakit pada mulutnya, seperti sariawan. Seorang informan mengatakan: Nek
nyusoni ngombe panas-panas ki kan ngko banyune susu otomatis dadi panas,
ngko neng pencernaane bayi dadi ora apik. Sering sariawan juga bisa. „Kalau
menyusui minum (atau makan) sesuatu yang panas-panas itu kan nanti ASInya
otomatis jadi panas, nanti pada pencernaan bayi tidak baik. Sering sariawan juga
bisa.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ibu menyusui tidak diperkenankan memakan sesuatu yang masih panas karena
dipercaya nantinya menyebabkan si anak sariawan karena meminum ASI yang
terlalu panas untuknya. Sedangkan jika sampai di pencernaan, akan membuat
metabolisme anak terganggu.
Jika ditelaah lebih lanjut, kalau kita memakan sesuatu yang masih panaspun
tidak baik bagi kesehatan kita. Selain mengganggu metabolisme ibu, meminum
seseuatu yang terlalu panas akan membuat lidah si ibu sariawan (bahasa Jawa:
kecanthang). Jika kesehatan ibu terganggu, maka dalam menjaga asupan gizinya
pun ia tidak akan maksimal.
(17)
Bubar nglairke, yen adus gebyur wuwung.
Makna gramatikal: setelah melahirkan, kalau mandi matanya diguyur.
Makna kultural: gebyur wuwung adalah mengguyur matanya langsung dengan air
dengan keadaan mata terbuka lebar. Menurut mereka ada bahnyak manfaat dari
cara mandi ini seperti yang diungkapkan oleh ibu Sarmi: Nek bar nglairke kudu
gebyur wuwung. Gen padhang mripate. Gen geteh putihe gen aja munggah neng
mripat awak dhewe ben ora cepet lamur. ‟ Kalau setelah melahirkan harus gebyur
wuwung. Agar terang matanya. Biar darah putihnya tidak naik ke mata kita, agar
tidak cepat lamur matanya.‟ (Wawanvcara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5
Januari 2011).
Hal ini dianjurkan oleh orang tua Jawa karena dipercaya dapat membuat darah
putih (yang biasanya naik ke mata setelah seorang wanita melahirkan) tidak jadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
naik ke mata. Darah putih ini akan membuat ibu yang habis melahirkan selalu
awas matanya sampai tua. Selain itu hal ini dilakukan agar wanita yang lelah
sehabis melahirkan selalu segar dan tidak mengantuk ketika saatnya mengasuh
bayi.
(18)
Yen mbanjeli sasi, bayi mundhak akale. Biasane lara karo mencret, ngenthengenthengi.
Makna gramatikal: jika bulan ganjil, bayi meningkat akalnya. Biasanya sakit dan
diare, meringankan.
Makna kultural: ada kepercayaan yang mengatakan jika seorang bayi akan
bertambah akalnya pada saat berumur bulan ganjil hal ini ditandai dengan si bayi
yang sakit tetapi tidak lama. Keterangan dari seorang informan mengatakan:
Mbanjeli ki ya telung sasi sangang sasi kan ganjil, kuwi arep mundhak akale.
Nek arep mundhak akale ki mesti bocahe mencret tur mambune arum ngono lho,
tapi nek masuk angin ambune amis.
Nek mbanjeli sasi ambune biasa tapi
mencret. „Mbanjeli (mengganjili bulan) itu ya tiga bulan sembilan bulan itu kan
ganjil, itu mau bertambah akalnya. Kalau mau bertambah akal itu pasti anaknya
daire tetapi baunya harum begitu lho, tapi kalau masuk angin baunya amis. Kalau
mbanjeli sasi baunya biasa tetapi diare.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada
tanggal 5 Januari 2011).
Secara logis hal ini tidak memungkinkan untuk terjadi, mengapa penambahan
daya nalar bayi terjadi setiap bulan ganjil dan disertai bayi menjadi diare dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sakit. Namun masyarakat Jawa mempercayai hal ini dan menurut mereka memang
betul setiap bulan ganjil bayi mereka sakit yang bukan disebakan oleh suatu
penyakit. Cara mereka mendeteksi sakit yang disebabkan oleh kuman atau karena
mereka akan bertambah akal, adalah jika diare si bayi tidak berbau busuk. Baunya
khas bayi. Jika hal ini tetjadi maka biasanya sakitnya tidak akan lama dan setelah
si bayi sembuh, ia akan bisa melakukan suatu hal yang baru. Entah itu tengkurap,
merangkak, berjalan, berbicara, atau hal yang lainnya.
(19)
Yen nginep neng panggon adoh, aja lali nggawa lemah saka batire. Didokokne
ngisor kasur, ben bayine betah.
Makna gramatikal: jika menginap di tempat jauh, jangan lupa membawa tanah
dari tempat mengubur ari-arinya. Ditaruh di bawah ranjang, supaya si bayi
kerasan.
Makna kultural: ketika seorang bayi akan diajak bepergian yang jauh dari
rumahnya dan dalam kurun waktu yang lama. Biasanya orang tua Jawa akan
mengambil tanah dari tempat dikuburnya ari-ari si bayi, untuk kemudian
dimasukkan ke dalam plastik dan ketika sudah sampai di tempat tujuan, plastik
berisi tanah tersebut akan diletakkan di bawah tempat tidur si bayi di bagian
bawah kepalanya. Keterangan dari seorang informan: Ya bocahe yen lelunga ya
gen kerasan. Ora nangis wae, dadi bocahe nek diejak neng ndi-ndi ra
kemrungsung ngejak bali, nek nggo lemah batir neng ndi-ndi. Ya ra ketung sithik
kuwi nggawa. Lha bocah kan padha wae tanahe digawa, lemah klahirane, sing
momong ya digawa. „Ya kalau bepergian ya biar kerasan. Tidak nangis terus, jadi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
anaknya kalau diajak ke mana-mana tidak tergesa-gesa mengajak pulang, kalau
membawa tanah batir kemana-mana. Ya walaupun cuma sedikit itu membawa.
Anak kan sama saja tanahnya dibawa, tanah kelahirannya, yang „mengasuh‟ juga
dibawa‟ (Wawancara dengan ibu sarmi pada tanggal 5 januari 2011).
Hal ini dipercaya dapat membuat si bayi betah berada di tempat yang jauh dari
kampung halamannya tersebut karena ia membawa serta tanah kelahirannya. Dan
lagipula dengan membawa tanah tersebut berarti ia telah membawa ‟saudara
pengasuhnya‟ untuk turut serta bersamanya.
Selain itu mengajarkan kelak ketika ia dewasa ia akan terus mengenang tanah
kelahirannya, tanah Jawa yang memberinya kehidupan seperti sekrang. Tradisi ini
dapat menjadi semacam pendidikan nasionalisme dini untuk anak agar
mengahargai dan mengingat leluhurnya.
(20)
Pupak puser disimpen, mengko yen gedhe isa dinggo obat yen bayine lara.
Makna gramatikal: tali pusar yang sudah lepas disimpan, nanti kalau besar bisa
dipakai untuk obat kalau bayinya sakit.
Makna kultural: masyarakat Jawa percaya bahwa seseorang bisa mengobati
dirinya sendiri. Ketika ia sedang sakit maka ia bisa mengandalkan dirinya sendiri
untuk menyembuhkannya. Caranya adalah dengan meminum air rendaman tali
pusarnya sendiri yang telah terlepas ketika masih bayi. Pupak puser ini direndam
di dalam air panas, lalu langsung diminum untuk menyembuhkan penyakitnya.
Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Umpama disinggahi,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diprimpenke, misale nek meh arep mbok kanggokke ngompres, kuwi dikumke
pusere kuwi mau, dikeki godhong dhadhap serep dinggo ngompres, umpama
panas ora sida panas. Ngurangi ngono lho. „Kalau disimpan dengan baik,
misalnya kalau mau dipakai mengompres, itu direndamkan pisarnya itu tadi,
diberi daun dadap serep dipakai mengompres, seumpama panas tidak jadi panas.
Mengurangi begitu lho.‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
Sedangkan cara lain yang dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah:
Kethokane puser ta? Kuwi disimpen kena, mbok untal kena. Mbok pangan
nil karo gedhang. Kuwi ngko nek bocahe panas apa nganu ki carane kowe
ngidoni bocahmu, bocahmu wis anyep. Nek disimpen, kan sok-sok ya lali,
ilang. Kuwi umpamane garing. Ngko nek bocahe panas, misale ya laralah,
kuwi dikum. Dikum trus dikompresake. Dikompresake, ngge ngompres.
Ning aku mbiyen tak kon mangan pakne. Ya aku ra tegel. Sok-sok ndhisik
nek panas pa wetenge lara gur diidoni pakne, diklaras alhamdulilah
paringane mari. Tekan sak yahene dadi jaka kuwi. Kuwi ya aja sampek
ilang. Umpamane kon mangan bapake ra papa ibue ra papa. Ya kena
ngge conto tenan, Wahid ki mbiyen ya. Nggur nek lara sitik ngono lara
weteng, apa apa ngono ki diparak mbek pakne, diidoni.
„Potongan ari-ari kan? Itu disipan boleh, kamu telan juga boleh. Kamu
telan dengan pisang. Itu nanti kalau anaknya panas atau apa, caranya nanti
kamu ludahi, anakmu langsung dingin(sembuh). Kalau dismpan kan
terkadang hilang, lupa. Itu kalau kering. Nanti kalau anaknya panas,
misalnya ya sakitlah itu nanti direndam. Direndam lalu dikompreskan.
Kalau saya dulu saya suruh makan bapaknya, saya tidak berani. Terkadang
dahulu kalau panas atau sakit perutnya hanya diludahi bapaknya, diusap,
alhamdulillah diberi selamat. Samapi sekarang menjadi perjaka itu. Itu ya
jangan sampai hilang. Seumpama disuruh makan bapaknya tidak apa-apa,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ibunya juga tidak apa-apa. Ya betul-betul bisa jadi contoh, Wahid itu dulu
juga begitu. Kalau cuma sakit sedikit, sakit perut atau apa begitu datang
kepada bapaknya, diludahi‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11
Mei 2010).
Itulah sebabnya orang tua Jawa selalu menyimpan pupak puser ini agar tidak
sampai hilang. Cara menyimpannya pun tidak boleh sembarangan. Setelah
dikeringkan, pupak puser disimpan didalam plastik atau dibungkus di dalam kain
dan disertakan dlingo bengle di dalamnya. Pupak puser ini dijaga jangan sampai
dimakan oleh binatang-binatang.
Ada lagi cara masyarakat menggunakan pupak puser ini sebagai sarana untuk
penyembuhan, yaitu dengan menelankan sendiri benda ini kepada si bayi, agar
ketika dewasa ia bisa mengoleskan liurnya untuk mengobati sakit atau lukanya.
(21)
Wiwit bayi lair ceprot, aja lali neng kasure didokoki dlingo, bengle, sisir, kaca,
gunting, karo seblak kanggo tolak bala.
Makna gramatikal: dari bayi lahir, jangan lupa di ranjang ditaruh dlingo, bengle,
sisir, kaca, gunting, dan sapu lidi untuk menolak bala.
Makna kultural: selepas melahirkan, disamping tempat tidur bayi harus diletakkan
beberapa benda. Terkadang beberapa masyarakat yang saya tanyai memberikan
keterangan berbeda. Pun tentang maknanya, ada beberapa perbedaan malah ada
yang tidak mengetahui maknanya. Namun sebagian besar menjawab benda wajib
yang harus ada adalah dlingo bengle. Rempah sejenis kunyit dan kencur ini
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menjadi salah satu senjata para ibu untuk tolak bala yang berhubungan dengan
bayi. Menurut mereka, bau dlingo dan bengle yang sangit tidak akan disukai para
makhluk halus. Sedangkan kaca dimaksudkan nanti jika si setan berniat
mengganggu lalu melihat bayangannya sendiri, ia akan takut (itulah mengapa
kacanya tidak boleh diletakkan tertelungkup). Sisir dan gunting dimaksudkan
sebagai senjata jika alat-alat tadi tidak mempan, maka kedua benda ini akan
menyakiti mereka. Sedangkan seblak (kelud bahasa Jawa, atau sapu lidi yang
digunakan
untuk
membersihkan
tempat
tidur,
bukan
untuk
meyapu)
menyimbolkan bahwa kakek nenek buyut si bayi yang sudah meninggal akan
turut menjaga si bayi dari gangguan-gangguan makhluk halus. Seorang informan
memberikan keterangan:
Kuwi mergo demi keamanan ya kuwi mau, bocah gen ra di ganggu gawe
karo barang sing ora ketok. Goi peso, ngilon, jongkat ngono ki ya ngono
mau, barang lelembut sing arep nggodha, carane bocahe ngko isa muring
isa apa ki wis dijaga karo kuwi mau. Ngilon kuwi carane bayangane
ketok, carane lelembut wis wedi sek. Wis ketok bayangane sik jarene, trus
ketok. Umpamane awak dhewe ora weruh, neng kaca kan ketok ya. Kono
arep nganu wae carane neng super market goi kaca, goi emas nek wong
arep nyolong kan ketok sek. Carane ngono nganggo tolak bala. Lha ya
kuwi gunting ya cara peso, gunting ya eneng peso ki wedi cara lelembut
ki wedi. Nek cara wong mantu wae, wong mantu kae nggon dhuit kae ta
kan dokoki jongkat, dokoki kaca, doko‟i bawang lanang ki kanggo tolak
bala, carane tuyul, setan kae mara njupuk dhit wis ra wani. Jarene.
Itu karena demi keamanan ya itu tadi, agar anaknya tidak diganggu
makhluk halus. Diberi pisau, cermin, sisir begitu itu ya itu tadi, makhluk
halus yang mau menggoda, istilahnya anak menjadi rewel, itu tadi sudah
dijaga benda-benda tadi. Cermin itu kalau bayangannya terlihat, lelembut
sudah takut dulu. Sudah terlihat bayangannya dulu katanya, trus terlihat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Seumpamanya kita tidak bisa melihat, di kaca kan kelihatan. Dia mau
mengganggu saja, seperti di supermarket kan diberi kaca, di took emas
juga, kalau orang mau mencuri kan terlihat duluan. Cara begitu itu untuk
tolak bala. Lha ya itu gunting, pisau itu membuat lelembut takut. Kalau
orang mantu saja, di dalam kenclen (tempat menyimpan sumbangan) itu
kan diberi sisir, kaca, bawang, itu untuk menolak bala, tuyul setan itu
kalau mengambil uang tidak berani. Katanya.
(Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
Dalam buku Serat Babad Ila-ila yang mengisahkan tentang sejarah ila-ila
(nasihat) Dewi Sri untuk orang yang mempunyai bayi adalah untuk selalu
menyediakan sesaji untuk tolak bala. Sesaji yang disebut beberapakali itu antara
lain sirih, kaca, kemucing, sapu, dlingo, bengle, tempat sirih, kapur, dan kelud.
Selain itu pelita dalam kamar si bayi tidak boleh padam jika malam, dan ayah si
bayi harus terus berjaga semalaman.
(22)
Bocah yen wis jeblok pisan ora bakal mandhek nganti ping pitu.
Makna gramatikal: anak kalau sudah jatuh sekali tidak akan berhenti sampai tujuh
kali.
Makna kultural: adalah suatu keharusan untuk mengasuh anak dengan hati-hati.
Namun terkadang ada kalanya kita lalai. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa,
ketika si bayi sudah pernah jatuh sekali, maka ia tidak akan berhenti terjatuh
hingga tujuh kali. Seperti yang dikatakan oleh nara sumber: Tuman. Nek
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
keglundhung ya keglundhung terus. Nek durung ping pitu durung mandhek. Nek
wong mbiyen keglundhung pisan langsung gebyur banyu nggone le tiba kuwi
mau. Nek wong mbiyen. Ya ben aja tiba meneh karepe. „Kebiasaan. Kalau jatuh
ya jatuh terus. Kalau belum tujuh kali belum berhenti. Kalau orang jaman dahulu
jatuh sekali langsung diguyur air tempatnya jatuh tadi. Kalau orang jaman dulu.
Ya biar tidak jatuh lagi maksudnya‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal
5 Januari 2011).
Biasanya yang dimaksud dengan „jatuh‟ pada konteks ini adalah jatuh ketika
tertidur atau berada di sutu tempat yang agak tinggi (dari kursi, meja, mainan,
kasur atau dalam gendongan), tetapi bukan ketika ia sedang belajar berjalan.
Untuk mengatasi agar si anak tidak terjatuh lagi dan lagi, biasanya tempat di mana
si anak terjatuh akan disiram dengan air. Cara ini dilakukan karena menurut
mereka tempat itu „panas‟, makanya si anak terjatuh di tempat tersebut.
(23)
Kuku karo rambut bayi ora oleh dikethok sak durunge bayi umur 40 dina.
Makna gramatikal: kuku dan rambut bayi tidak boleh dipotong sebelum bayi
berumur empat puluh hari.
Makna kultural: setelah bayi lahir, biasanya ia akan dikenakan sarung tangan dan
sarung kaki berbentuk bulat. Hal ini dilakukan selain untuk menghangatkan
tangan dan kaki bayi, juga agar kuku bayi tidak melukai kulitnya sendiri jika
tanpa sadar tercakar. Karena sebelum empat puluh hari kuku dan rambut bayi
tidak diperbolehkan untuk dipotong ataupun dicukur. Setelah selametan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
selapanan, barulah rambut bayi dicukur oleh si dukun bayi. Rambut ini kemudian
dikubur di batir, atau jika menggunakan cara Islam boleh juga ditimbang untuk
kemudian dihargai seharga emas dan uangnya dipakai untuk bersedekah.
Masyarakat yang lain mengatakan: Ya kuwi kudune sing ngethok ya pak
mudin ya sok sapa. Bocah kan isih empuk. Lantarane kuku kan ya durung wani,
ijeh mesakake. Iku ra eneng apa-apane. Ra eneng efeke apa-apa, carane ngenengene ora eneng. Ya mung kuku kan carane wis atos, dadine wis wani. „Ya itu
harusnya yang memotong pak modin atau siapa. Bayi kan masih empuk. Karena
kuku kan belum berani, kasian. Itu tidak ada apa-apanya. Tidak ada efek apa-apa,
caranya begini-begini tidak ada. Ya cuma kalau kuku nanti sudah keras, jadinya
sudah berani‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
(24)
Kethokan kuku karo rambut bayi ora oleh dibuwang sak enggon-nggon.
Makna gramatikal: potongan kuku dan rambut bayi tidak boleh dibuang di
sembarang tempat.
Makna kultural: setelah berumur empat puluh hari, barulah kuku dan rambut bayi
boleh dipotong. Namun potongan kuku dan rambut ini tidak boleh dibuang di
sembarang tempat. Benda-benda ini harus dibuang di mana tembuni si bayi
dikubur. Hal ini dilakukan agar apapun yang terlepas dari si bayi dapat menyatu
bersama-sama. Seperti yang dikatakan oleh seorang informan: Dokokke ari-ari.
Nggon batire kuwi mau. Carane nek ana apa-apa ben menyatu karo batire kuwi
mau. Rambut karo kuku kuwi mau. „Ditaruh di tempat mengubur ari-ari. Istilahnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kalau ada apa-apa biar menyatu dengan tempat mengubur ari-arinya tadi. Rambut
dan kukunya tadi‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Sedangkan masyarakat lain mengatakan: Kuwi ya ben dadi siji, bocah paringi
tentrem, ayem, lerep, dadi bocah sing soleh solehah. „Itu ya agar menjadi satu,
anak diberi ketentraman, ketenangan, menjadi anak yang soleh solehah‟
(Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11 Mei 2010).
(25)
Turahan ASI kudu dibuwang neng batir.
Makna gramatikal: sisa ASI harus dibuang di tempat mengubur ari-ari.
Makna kultural: pada sebagian ibu yang produksi ASInya baik, biasanya setelah
melahirkan, ASI sampai mengucur deras dan tidak sempat diminum oleh si bayi.
Agar payudara tidak bengkak, ASI harus dipompa keluar. Sisa ASI yang tidak
terminum oleh si bayi ini tidak boleh dibuang sembarangan. Sisa ASI ini harus
dibuang di tempat di mana tembuni bayi dikubur. Hal ini dilakukan agar ASI ibu
tidak terminum oleh hewan-hewan seperti tikus atau anjing yang tidak sengaja
menemukan sisa ASI ini. Seperti yang dikatakan oleh seorang nara sumber: Ya
ben anu, ben ra ngelak terus. Bocahe dadine ben ayem tentrem. Banyu susu mau
ta, dibwuak neng batir, nek dibuang saenggon-enggon didilati kewan-kewan,
misale kaya asu, kaya kirik ngono kuwi ta. „Ya biar tidak haus terus. Anaknya
jadinya biar tenang tenteram. Air susu tadi kan, dibuang di tempat mengubur ariari, kalau dibuang di sembarang tempat nanti dijilati hewan-hewan, misalnya
seperti anjing begitu itu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(26)
digilib.uns.ac.id
Bayi gek ntes lair kudu digebrak ping telu supayane ora kagetan.
Makna gramatikal: bayi baru lahir harus diberi suara gebrak agar tidak kagetan.
Makna kultural: dalam tradisi Jawa, sesaat setelah bayi lahir ia harus diberi
„kejutan‟ agar sesudahnya ia terbiasa dan tidak mudah terkejut oleh suara yang
pelan. Maka sesaat setelah lahir orang tuanya biasanya membuat suara agak keras
dengan menggebrak tempat tidur di sebelah telinga si bayi sebanyak tiga kali.
Seorang nara sumber mengatakan: Ben ra kagetan memang kudu digebrak.
Kagetan ki misale nek ana apa-apa sitik langsung teng gregap. Glagepan terus.
„Agar tidak mudah terkejut memang harus diberi suara agak keras. Mudah
terkejut itu misalnya kalau ada apa-apa langsung tergopoh-gopoh‟ (Wawancara
dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
(27)
Aja disusoni penthil kopong, ora ilok. Mundhak gedhene sombong.
Makna gramatikal: jangan disusui payudara yang tidak ada ASI nya, tidak pantas.
Nanti besarnya sombong.
Makna kultural: terkadang ibu si bayi tidak bisa menjaga si bayi sendirian
dikarenakan ada kepentingan. Lalu biasanya si bayi ditipkan oleh neneknya atau
sanak saudaranya yang lain. Dan ketika ditinggal ini tidak jarang si bayi menangis
mencari ibunya. Untuk mendiamkannya, terkadang si nenek atau sanak
saudaranya menyusui si bayi dengan payudara yang tidak ada ASInya karena
memang mereka tidak habis melahirkan. Inilah yang dinamakan penthil kopong,
yaitu payudara yang tidak berisi ASI. Hal ini tidak ilok dilakukan karena akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membuat bayi tumbuh menjadi anak yang sombong karena diberi sesuatu yang
kopong (bahasa Jawa: digabuk). Seperti yang dikatakan oleh seorang nara
sumber:
Bocah ngko nek gede ndak sombong. Sombong ki tidak ada kenyataan ki
tapi dibilange kaya wis nduwe ngono lho. Kan jenenge penthil kosong,
botol kosong ki ya ndak boleh diminumke. Ngko ndak bocahe gede ndak
sombong. Jenenge digabuk. Nek wong Jawa jenenge digabug. Digabug ki
carane ra ono buktine tapi diomongke sak nyatane „aku nduwe mobil‟ tapi
nyatane kan ora.
„Anak itu nanti besarnya sombong. Sombong itu tidak ada kenyataannya
tetapi dikatakan sudah punya. Kan namanya penthil kopong, botol kosong
itu juga tidak boleh diminumkan. Nanti kalau besar anaknya sombong.
Namanya digabuk. Kalau orang Jawa disebut digabuk. Digabuk itu tidak
ada buktinya tetapi dikatakan sebetulnya „saya punya mobil‟, tetapi
kenyataannya kan tidak‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5
Januari 2011).
Dalam pembentukan kepribadian anak, ketika si anak terbiasa diberi sesuatu
yang sebetulnya tidak ada hal itu akan membuat ia menjadi anak yang
berkepribadian merasa mempunyai sesuatu padahal ia tahu hal itu tidak ia miliki.
Maka anak harus dididik untuk menerima sesuatu apa adanya sedari dini.
(28)
Sak umpamane lagi nggendong bayi banjur bayine jeblok, jarik sing dinggo
nggendong kudu langsung disuwek kanggo buwang sengkala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: seumpama sedang menggendong bayi lalu bayinya jatuh,
selendang yang dipakai menggendong harus langsung disobek untuk membuang
keburukan.
Makna kultural: biasanya kita menggendong anak kita dengan selendang agar
tidak mudah terlepas. Namun adakalanya orang lalai hingga membuat si bayi
terjatuh. Menurut salah seorang informan, jika hal ini terjadi maka si anak tidak
akan selamat dalam artian akan meninggal entah dalam waktu singkat atau
berselang tahun setelah ia sakit-sakitan (bahkan informan tersebut pada mulanya
enggan menceritakan hal ini karena ia khawatir hal ini akan nyawani, membawa
pengaruh buruk).
Jika hal ini terjadi, salah seorang informan memberitahukan agar si ibu
menyobek selendang yang dipakai ketika si anak terjatuh tersebut untuk
membuang sial yang ditimbulkan oleh selendang tersebut. Karena jika tidak
disobek dikhawatirkan si bayi akan terjatuh kembali jika digendong dengan
selendang tersebut, bahkan akan menyebabkan si bayi meninggal. Ia mengatakan:
Disowek, ya carane ki seumpama bayine tiba, yen disowek ki supaya
bayine kuwi paringi selamet neng ati, ki kaya ngono yen konangan. Tapi
yen ra konangan bocahe ndhak ra paringi selamet. Mbuh jenenge selamet
kuwi tiba pa ra nana. Dadi nek seumpama reti golekne peso apa langsung
diwek, mbok ra ketung kwi ngko di sambung meneh, mboka jarike anyar.
„Disobek, ya seumpama bayinya jatuh, kalau disobek itu supaya bayinya
itu diberi keselamatan, itu seperti itu kalau ketahuan. Tetapi kalau tidak
ketahuan nanti anaknya tidak diberi keselamatan. Entah keselamatan itu
jatuh atau tidak ada (meninggal). Jadi kalau seumpamanya tahu,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
carikanlah pisau atau langsung disobek, walaupun nanti disambung lagi,
walauoun selendangnya baru‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal
5 Januari 2011).
Menurut kepercayaan orang Jawa, jika seorang anak terjatuh dari gendongan
ketika menggunakan selendang, maka biasnya akibatnya akan fatal. Secara logis
hal itu masuk akal karena ketika terjatuh dari selendang, biasanya posisi bayi
sedang duduk. Padahal tulang belakang merupakan pusat saraf dari seluruh tubuh.
Sedangkan masyarakat lain yang mematuhi cara Jawa mengatakan: “Aku wes
tau ya, nggendong adhiku. Ya aku ra ngerti ning aja kuwi. Bocah midun saka
gendongan kuwi sok okeh-okeh ora keno ditututi. Akhire ki lara, mboh sesasi apa
setahun. Dadine aja sampek, pokoke diati-ati.” „Saya sudah pernah ya
menggendong adik saya. Ya saya tidak tau tetapi jangan itu. Anak turun (ia
menghaluskan kata „jatuh‟) dari gendongan itu kebanyakan tidak dapat diikuti
(nyawanya). Akhirnya nanti sakit, entah sebulan atau setahun kemudian.
Pokoknya hati-hati, jangan sampai‟ (Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 11
Mei 2010).
Hal ini menandakan bahwa pada orang yang percaya dan pernah
mengalaminya langsung, kejadian ini sangatlah mengerikan. Maka dalam
mengasuh bayi yang masih sangat aktif dan pergerakannya sulit diprediksikan
orang tua harus sangat hati-hati dan selalu menyediakan pengamanan cadangan
selain dirinya sendiri.
(29)
Yen kena kaya dhompo kuwi sabenere kena sawan, mula kudu langsung diluluri
parutan dlingo bengle.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: kalu terkena dompo itu sebetulnya terkena sawan, maka harus
langsung dibalur parutan dringo bengle.
Makna kultural: dalam bahasa Jawa, dhompo diistilahkan sebagai suleden, suatu
penyakit kulit seperti terbakar dan berisi air yang disebabkan oleh gangguan
makhluk halus. Karena hal ini ditimbulkan oleh makhluk halus, maka orang tua
Jawa akan menggunakan sarana penyembuhan yang selalu digunakan, yaitu
dengan dlingo bengle. Tanaman sejenis umbi-umbian ini akan dihaluskan, boleh
dengan cara diparut atau ditumbuk, untuk kemudian dioleskan ke kulit bayi yang
sakit tersebut. Setelah itu, diharapkan sawan yang mengganggu si bayi segera
pergi dan si bayi lekas sembuh. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
informan: Ya nek wong mbiyen ngono ya ditambani kuwi, dlingo karo bengle.
Haa, ditambakke ditemplek-templekke ngono kwi. Nek wong mbiyen, tambani ya
nggo dlingo bengle. „Ya kalau orang jaman dahulu itu ya diobati dengan itu,
dlingo dan bengle. Iya, ditempel-tempelkan
begitu itu. Kalau orang dulu
diobatinya ya dengan itu‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari
2011).
Karena pengobatan dengan dlingo bengle ini selalu digunakan jika
mempunyai bayi, maka seseorang yang sedang mempunyai bayi dianjurkan untuk
selalu menyimpan dlingo dan bengle ini untuk persediaan saat-saat darurat.
(30)
Ora ilok nggendhong anak disambi nyapu.
Makna gramatikal: tidak pantas menggendong anak sambil menyapu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: debu, bagaimanapun adalah hal yang tidak baik untuk kesehatan
karena dapat mengganggu pernapasan. Ternyata, masyarakat Jawa mempunyai
penafsiran lain yang diturunkan kepada anak cucunya.
Maka mengapa menggendong bayi sambil menyapu adalah pamali, alasannya:
1) Petuah jangan menggendong anak sambil menyapu, terutama anak laki-laki
adalah karena jika kelak ia dewasa, maka si anak akan terjatuh jika memanjat
pohon. Seorang ibu rumah tangga mengatakan: Ya kan ngono kuwi wernawerna. Digendhong barangi ngono kuwi karo disambi nyapu ya ra entuk. Ora
entuk, aja sambi nek cah lanang. Jare nek wong mbiyen kuwi, jare nek menek
apa-apa ngko ndhak tiba. Lha.. Haa, ngko ndak tiba. Dadi ora entuk” Ya kan
begitu itu bermacam-macam. Digendong sambil menyapu juga tidak boleh.
Tidak boleh disambi kalau anak laki-laki. Kata orang dulu itu, katanya nanti
kalau memanjat atau apa bisa jatuh. Lha… iya, nanti jatuh. Jadi tidak boleh.
(Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 17 Pebruari 2010).
2) Secara medis, semua organ bayi masih halus, bahkan bayi baru lahir sistem
pernapasannya belum berjalan secara sempurna. Maka jika si bayi diajak
menyapu, dikhawatirkan debu akan terhirup olehnya, yang akan menyebabkan
terganggunya system pernapasan bayi yang masih halus itu. Maka memang
benar jika ada petuah tidak boleh menggendong bayi sambil menyapu.
Dikarenakan banyaknya alasan tersebut, maka menggendong bayi sambil
menyapu tidak diperbolehkan oleh orang tua Jawa.
(31)
Anake aja disawung, ora ilok.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna gramatikal: anaknya jangan digendong tanpa selendang, tidak pantas.
Makna kultural: menggendong anak dengan tangan saja tanpa ditali dengan
selendang (bahasa Jawa: disawung) tidak diperbolehkan oleh orang tua Jawa
karena beberapa alasan selain alasan keselamatan, yaitu mengikat batin antara ibu
dengan anak agar lebih erat ikatan batinnya.
1) Jika menggendong tanpa selendang, menurut orang jaman dahulu, maka jika
si anak diambil, diminta atau ditarik ke atas oleh Yang Maha Kuasa, maka
akan secara mudah terlepas, beda jika ia terikat dengan hati kita, akan ada
ikatan kuat yang menahannya ketika akan terlepas. Ibu Sarmi mengatakan:
Wong nek disawung wae kuwi wae ora entuk. Ceritane wong mbiyen kuwi,
disawung kuwi, umpama awak dhewe ki digendhong. Nek digendhong
kuwi kan carane dikekep, ditaleni gen kenceng neng atine awake dhewe.
Nek disawung kuwi, sak wayah-wayah carane kuwi dijaluk, diangkat,
ditarik neng ndhuwur kuwi cepet gampange. Tapi nek mbok taleni karo
atimu beda. Nek wong mbiyen ki ngono kuwi. Neng ya salong reti salong
ora aku ki. Kok ya merga apa ngono mbiyen ya tekok salong. Neng
kadhang yo wis ilang, lali.
„Kalau disawung (digendong tanpa selendang) itu saja tidak boleh.
Ceritanya orang jaman dahulu, disawung itu kalau kita digendong. Kalau
digendong itu kan artinya didekap, ditali biar kencang di hati kita. Kalau
tanpa selendang itu, sewaktu-waktu itu ibaratnya diminta, diangkat, ditarik
ke atas itu cepat dan gampang. Tapi kalau kamu tali dengan hati beda.
Kalau orang dulu itu begitu itu. Tapi ya sebagian tau sebagian tidak saya
ini. Karena apa begitu dulu juga hanya sebagian yang ditanyakan. Tapi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kadang juga sudah hilang, lupa‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi tanggal 18
Pebruari 2010).
2) Secara logis, jika kita menggendong bayi yang banyak geraknya tanpa
bantuan selendang, maka dikawatirkan ia bisa terjatuh sewaktu-waktu saat
kita lengah. Maka fungsi selendang adalah sebagai pengaman, semacam
sabuk keselamatan untuk si bayi.
(32)
Yen nduwe anak, apa meneh yen lanang, mesti rambute brodhol.
Makna gramatikal: jika memiliki anak, apalagi laki-laki, pasti rambutnya rontok.
Makna kultural: sepertinya sudah menjadi suatu hal yag lumrah jika bayi bermain
ludah, lalu memain-mainkannya dengan menyembur-nyemburkan keluar. Namun
bagi orang tua Jawa hal ini menjadi semacam pertanda. Biasanya orang tua Jawa
mengatakan kalau setelah melahirkan seorang bayi, maka rambut kita akan
rontok, seperti yang dikatakan oleh seorang informan: Ora lanang ora wedok
asalkan angger dolanan idu mesti brodhol rambute mbokne. Nek wong mbiyen
napa ta ngono kuwi, aku ya ra patia mudheng. Dolanan idu, lek nyemburnyembur ngono kuwi. Aku kuwi telu, dolanan idu lek rambutku entek. „Tidak lakilaki, tidak perempuan asalkan kalau bermain ludah pasti rambut ibunya rontok.
Kalau orang dulu begitu itu kenapa saya juga tidak begitu mengerti. Bermain
ludah lalu disembur-sembur begitu itu. Saya itu tiga, bermain ludah semua lalu
rambut saya habis‟ (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 17 Pebruari
2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sebetulnya setelah melahirkan tidak hanya rambut yang rontok. Setelah
melahirkan apalagi jika menyusui, nutrisi kita akan banyak terserap untuk
pembentukan ASI, secara tidak langsung nutrisi kita ditransfer untuk si bayi.
Apalagi jika anaknya laki-laki, karena anak laki-laki meminum ASI lebih banyak,
sehingga membutuhkan nutrisi lebih banyak dari ibunya, karena ia belum makan
sendiri. Itulah mengapa setelah melahirkan dan saat menyusui kulit kita akan
sedikit kusam, rambut kita rontok, dan kepadatan tulang berkurang walaupun
tidak signifikan.
(33)
Aja nyapu wayah magrib, ora ilok.
Makna gramatikal: jangan menyapu disaat senja, tidak pantas.
Makna kultural: senja dipercaya masyarakat Jawa adalah saat di mana para roh
halus keluar untuk mencari mangsa. Walaupun manusia tidak dapat melihat
mereka namun sesungguhnya mereka berada di sekitar kita. Seperti manusia,
mereka pun ingin dihormati. Jika pada saat senja kita membersihkan debu di
dalam rumah, dikhawartirkan debu-debu itu akan mengenai mereka tanpa sengaja.
Oleh sebab itulah mereka akan marah. Karena orang tua sudah agak tidak
mempan dengan gangguan makhluk halus, maka mereka akan menyasar anak
kecil yang masih sangat rentan. Akibatnya si bayi akan rewel, terkena penyakit
sawan dan lain sebagainya.
Saat senja adalah saat berkumpul keluarga. Biasanya saat ini bayi sedang
istirahat setelah seharian lelah bermain. Oleh karenanya, membersihkan debu di
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalm rumah akan sangat mengganggu penghuni rumah yang sedang beristirahat,
bersantap, maupun berkumpul bersama. Akan lebih baik jika rumah dibersihkan
pada sore hari saat anggota keluarga belum terasa capai betul dan ingin
beristirahat.
(34)
Yen durung selapan, anake ora oleh digawa metu saka omah.
Makna gramatikal: kalau belum 35 hari, anaknya tidak boleh dibawa keluar dari
rumah.
Makna kultural: sejak setelah lahir hingga si bayi berumur tiga puluh lima hari
(selapan), ia tidak boleh dibawa ke luar rumah, harus selalu berada di dalam
rumah, pun dibawa ke halaman rumah juga tidak diperkenankan. Menurut
masyarakat Jawa setelah lahir bayi-bayi masih diiringi oleh widadari seketi
(seratus ribu bidadari), jika bayi-bayi ini berada di luar di mana para setan
mengganggu mereka, dikhawatirkan para bidadari yang menjaga si bayi ini akan
banyak berkurang. Dan setelah itu si bayi akan rewel dan sebagainya karena
diikuti sawan. Maka dari itu saat bayi belum kuat betul untuk menghadapi
„gangguan halus‟, sebaiknya ia tetap berada di dalam rumah. Seperti yang
dikatakan oleh seorang nara sumber:
O.. nek durung selapan, ya kaya bue kae. Kan carane anakmu kan sing
ngisi kan kebak ijeahan. Carane didhampingi bidhadhari-bidhadhari.
Masih banyak selama empat puluh hari. Ra beda kaya wong muggah kaji.
Nak wong bali munggah kaji kan didhampingi malaikat patang puluh.
Ngko nek umpama malaikat patang puluh itu tadi umpama wong mbayi
saiki sedina, saiki wis kurang siji. Sesuk rong dina, sesuk wis kurang siji
meneh. Ijeh pendampingane ijeh nganu, lha nak seandainya jenenge wong
ki, ngko nak wong liwat ki kan werna-werna. Neng ndalan ngono kae ana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sing kuwi, ana sing kuwi, kuwi, kuwi, kan werna-werna. Lha kadhang kan
nggawa setan, nggawa apa.
„O.. kalau belum selapan, ya seperti ibu dulu. Kan istilahnya anakmu
yang mengisi itu masih banyak. Didampingi bidadari-bidadari. Masih
banyak selama empat puluh hari. Tidak beda dengan orang naik haji.
Kalau orang pulang naik haji kan didampingi malaikat empat puluh. Nanti
kalau umpama malaikat empat puluh itu kalau bayi sekarang lahir sehari,
sekarang kurang satu. Besuk dua hari, besuk sudah berkurang satu lagi.
Pendampingannya masih anu (banyak),lha kalau seandainya orang lewat
itu kan bermacam-macam. Di jalan begitu itu ada yang begini, begini,
begini (baik dan buruk), kan macam-macam. Lha terkadang kan
membawa setan, membawa apa‟ (Wawancara dengan iu Sarmi pada
tanggal 17 Pebruari 2010).
Oleh karena itu biasanya seorang bayi baru akan dibawa keluar dari rumah
setelah hari selamatan selapanannanya. Itupun biasanya di latar rumah dahulu.
Setelah itu baru ke jalan-jalan.
Dari segi medis, bayi yang baru lahir masih rentan dari segala aspek tubuhnya.
Seperti pada rumah sakit bayi dimasukkan ke dalm incubator, maka di rumahpun
bayi hendaknya dilindungi dari udara luar yang terkena polusi. System
pernapasan bayi yang masih halus masih belum dapat menerima udara yang
tercemar asap kendaraan, asap rokok dan lain sebagainya yang mungkin saja
dapat menyebabkan penyakit SIDS (Suddent Infant Death Syndrome), yaitu
kematian tiba-tiba karena gangguan udara. Belum lagi kuman dan virus yang
menyebar lewat udara dari orang-orang yang berlalu-lalang di depan rumah kita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Maka, sebaiknya sebelum si bayi terbiasa benar dengan udara di luar perut
ibunya, sebaiknya dilakukan pelatihan bertahap untuk beradaptasi agar ia bisa
menyesuaikan.
(35)
Wayah surup bayine kudu diajak mlebu omah
Makna gramatikal: saat matahari tenggelam bayinya harus dibawa masuk ke
rumah.
Makna kultural mengapa bayi harus „diamankan‟ saat magrib adalah karena
alasan mistis, menurut orang Jawa, yaitu agar bayinya tidak rewel karena
„melihat‟ sesuatu yang tak kasat mata atau malah bisa kesurupan. Orang Jawa
mempunyai waktu „sangat‟ atau dianggap sebagai waktu untuk para roh-roh
berkeliaran pada jam 12 siang, 12 malam dan saat magrib atau „surup‟ (saat
matahari tenggelam). Geertz menuliskan
Jenis pertama yang disebut oleh orang tua itu adalah kesurupan, yang akar
katanya berarti “masuk”, “memasuki sesuatu” tetapi juga mengandung arti
kedua, yakni “waktu matahari terbenam”. Barangkali ini mencerminkan
kepercayaan bahwa saat matahari terbenam adalah waktu yang istimewa
berbahayanya, dalam hubungannya dengan roh-roh, karena, seperti halnya
orang Jawa, roh-roh itu berkeliaran dan mengunjungi teman-temannya
pada saat ini, dan mungkin sekali akan merasuki seseorang di jalan.
(Tetapi pukul dua belas siang dan tengah malam juga luar biasa
bahayanya). (Geertz, 1989 : 24)
Sedangkan informan saya, yaitu ibu Sarmi menuturkan
Ya magrib-magrib tidak boleh digendong di teras trumah, di jalan. Kalau
magrib, kalau anu kan tidak boleh bayi ditaruh (dibawa) di jalan, ditaruh
di luar. Ceritnya kan roh halus kan sedang pulang ke rumahnya masingmasing, dan kalau lewat menyebar seperti itu. Jadi seringnya mampir pada
waktu itu. Saat magrib dan saat luhur biasanya. Luhur itu kan siang jam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dua belas itu, waktu adzan dan magrib. Kalau malam jam dua belas
malam. (Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 26 Maret 2010).
Maka dari itu biasanya menjelang magrib para ibu yang mengasuh anakanaknya di luar saling memberi tahu bahwa senja telah tiba dan segera membawa
anak-anak mereka masuk ke dalam rumah.
Secara ilmu kesehatan, udara malam tidak baik tidak baik bagi kita karena
akan menyebabkan penyakit paru-paru basah. Apalagi jika bayi yang terkena
penyakit ini, sudah tentu akan sangat membahayakan bagi si bayi dan merepotkan
orang tuanya. Maka ketika malam beranjak, sebaiknya bayi dibawa masuk ke
dalam rumah yang hangat untuk segara beristirahat.
Tetapi secara logis, magrib atau saat matahari tenggelam adalah saaat dimana
cahaya mulai menghilang, sehingga berpengaruh pada penglihatan. Apalagi pada
jaman dahulu, belum ada lampu dan listrik seperti saaat ini. Hal itu menyebabkan
kita tidak bisa melihat sesuatu dengan jelas, sehingga kita akan mudah
tersandung, menabrak sesuatu dan lain sebagainya. Itulah mengapa pada saat
pergantian malam lebih baik kita berada di dalam rumah, juga saat itu adalah saat
yang baik untuk beristirahat dan berkumpul bersama keluarga.
(36)
Yen bayine rewel, ngobong bathok klapa disawuri uyah utawa cemiti kanggo
tolak bala.
Makna gramatikal: jika si bayi rewel, membakar bathok kelapa diberi garam atau
cemiti untuk tolak bala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural : menurut orang Jawa, makluk halus sama seperti manusia takut
akan sesuatu yang perih, menyakitkan atau dapat melukai. Oleh karena itu dalam
tradisi pengobatan Jawa hampir selalu melibatkan garam, api, ataupun bau-bauan
yang menyengat. Dalam pengobatan bayi yang diyakini diganggu makluk halus,
biasanya para ibu atau orang tua si bayi akan membakar bathok kelapa yang di
dalamnya ditaburi garam atau cemiti. Membakarnya di luar atau di bagian depan
rumah.
Dukun bayi yang dimintai informasi mengatakan hal berikut :
Uyah ki gamane wong biyen. Bocah rewel bengi ngono kowe ngobong
uyah ning ngarep lawang. Sok-sok bocah nangis sewengi ora meneng,
ngobong uyah diwadhahi apa, disoki lenga apa pa diobong, plethekplethek. Disawurke yen ora ning gendheng ya ning padon omah.
„Garam itu senjatanya orang dulu. Anak rewel kalau malam begitu
membakar garam di depan pintu. Kadang anak mengais semalaman tidak
diam, mambakar garam ditemaptkan di apa, diberi minyak atau apa lalu
dibakar, plethek-plethek (bunyinya). Ditebarkan kalau tidak di genteng ya
di depan rumah.‟
(Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
(37)
Wiwit lair, bayi digawekake tumbak sewu.
Makna gramatikal: mulai dari lahir, bayi dibuatkan tumbak sewu.
Makna kultural : dari sekian banyak alat sebagai sarana untuk tolak bala dalam
tradisi Jawa, salah satunya adalah tumbak sewu ini. Tumbak sewu adalah sapu lidi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang sudah pendek karena lama dipakai, kemudian pada ujung-ujungnya diberi
bawang merah, bawang putih, cabai dsb. Ditemaptkan dengan cara diberdirikan
pada sisi tempat tidur si bayi. Cara ini dipercaya dapat menolak bala setan yang
sering kali mengganggu bayi yang masih awas tetapi lemah.
Seorang dukun bayi yang menjadi informan mengatakan :
Nek bayi ki ya mung nek cara wong biyen digawekke tumbak sewu.
Tumbak sewu kuwi sapu gerang, sapu sing wes cendhak. Sapu sada sing
wis gerang disundhuki brambang, bawang, lombok, dlingo bengkle,
empon-empon sawernane, kuwi jenenge tumbak sewu. Ning nek saiki ya
dho ora laku. Diselehke pojokan ngene ki nggone leh bobok. Dadi sapu
siji saunting. Men tulak balak ora eneng sanding bayi sok ana sing
nggoda ta. Bayi kan luwih awas.
Kalau bayi itu kalau caranya orang dulu dibuatkan tumbak sewu. Tumbak
sewu itu sapu gerangi, yaitu sapu yang sudah pendek karena sering
dipakai. Sapu lidi itu ditusuki bawang merah, bawang putih, cabai, dlingo,
bengle, rempah-rempah seadanya, itu namanya tumbak sewu. Tapi kalau
jaman sekarang sudah tidak ada yang melakukannya. Diletakkan di
pojokan begini ini di sebelah tempat tidur. Jadi sapu satu ikat. Untuk
menolak roh halus di samping bayi. Bayi kan lebih awas (penglihatannya).
(Wawancara dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
(38)
Bubar nglairake nganti puputan, keluargane bayi kudu lek-lekan.
Makna gramatikal: setelah melahirkan hingga terlepasnya ari-ari, keluarge si bayi
harus bergadang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Makna kultural: selepas melahirkan, keluarga si bayi, minimal ayahnya harus
berjaga semalaman dan baru diperbolehkan tidur ketika pagi hari. Menurut
masyarakat yang ditanyai, katanya hal ini dilakukan untuk menjaga agar ketika
tertidur ibu si bayi tidak menindihi badan si bayi. Biasanya karena terlalu letih
setelah melahirkan dan belum terbiasa, bisa saja si ibu secara tidak sadar akan
menindih badan si bayi. Atau dari pengalaman masyarakat, ketika menyusui si ibu
secara tidak sadar menutupi hidung si bayi yang masih mungil, sehingga
menimbulkan hal yang tidak diinginkan.
Seorang masyarakat memberikan keterangan mengenai hal ini:
Lha kuwi masalahe carane wong turu isa kebablasen tindihen. Ya ibune
ya bayine. Ibue terutama, nek bayine ki ra papa. Ning nek wong nduwe
anak kadang ngko netek ta lola laline ngko tangane kadhang temumpang
neng nggon bayine. Hee, dadi perhatian wong tuwa ki ya ana. Menurut
wong kuna wong ndesa. Ngko neteki kadhang karo turu lali. Jeh kudu
diperhatekke wong tuwa. Ngko kadhang neteki terus nindhehi mbumpeti
irunge bocahe. Ngko kan bocahe mesakake.
Lha itu masalahnya caranya orang tidur itu kan bisa keterusan tidak sadar.
Ya ibunya, bayinya juga. Ibunya terutama, kalau bayinya itu tidak apaapa. Tapi kalau orang punya anak nanti kalau manyusui terkadang lupa,
tangannya bisa diatas si bayi. Iya, jadi perhatian orang tua itu juga ada.
Menurut orang kuna, orang desa. Nanti kalau menyusui kadang sambil
tidur terus lupa. Masih harus diperhatikan orang tua. Nanti terkadang
menyusui lalu menutupi hidung anaknya. Nanti kan anaknya kasian.
(Wawancara dengan ibu Ru pada tanggal 10 Mei 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sedangkan dalam literatur Serat Babad Ila-ila 1 yang menceritakan asal mula
legenda dalam tanah Jawa menceritakan bahwa Dewi Sri memberi petuah kepada
Kyai Prigu dan istrinya Ken Sangki, agar Kyai Prigu berjaga semalaman karena
anak yang baru saja dilahirkan istrinya akan digoda sarap sawan. Dewi Sri
memberikan wangsit:
… Hai Kyai Prigu, janganlah aku diberi makan katak. Kalau kalian akan
memberikan sesaji kepadaku, baiklah kalian sajikan sirih ayu, bunga yang
harum dan wangi-wangian,. Jangan lupa sertakan pula dupa, dan pelita
yang terus-menerus menyala.
Kyai, jika kalian sajikan apa yang kukehendaki tadi, pasti kalian akan
mendapat banyak rejeki, lagipula selama satu minggu janganlah Kyai
tidur. Istirhatlah dan tidurlah jika pagi hari, itu kumaksudkan untuk
menjaga anakmu. Kehendakku supaya ia terhindar dari bahaya dan
selamat. (Serat babad ila-ila 1 hal:66).
Dari cukilan literatur di atas dapat disimpulkan bahwa suami dan istri harus
bekerja sama dalam mengasuh si bayi. Jika malam si ayah yang menjaga,
sedangkan jika pagi si ibu yang menjaganya. Hal ini dikarenakan beratnya
mengasuh seorang bayi apalagi bagi orang yang belum terbiasa. Maka kerja sama
dari ayah dan ibu perlu dilakukan agar bayi yang dimiliki sehat dan nantinya
memiliki kepribadian yang baik bagi keluarga dan sesama.
(39)
Ora oleh nekuk dhengkul.
Makna gramatikal: jangan melipat lutut.
Makna kultural: setelah melahirkan hingga beberapa hari setelahnya si ibu tidak
boleh melipat lututnya. Hal ini dilarang karena jika ia melipat lututnya, maka
biasanya kakinya akan timbul varises berupa guratan-guratan urat berwarna biru.
Varises ini muncul karena tekanan menahan berat perut yang di luar biasanya, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
setelah si bayi lahir dengan cepatnya berat badan berkurang. Maka aliran darah
akan sedikit tidak lancar karena perubahan ini. Untuk mengatasinya, perlu
dilakukan pelurusan kaki agar aliran darah menjadi normal kembali.
Seorang nara sumber mengatakan: Ngko ndhak nganu.. varises. Ben suk nak
nduwe anak siji apa telu kuwi ben lancar, varisese ora gedhi-gedhi. Dadine
peredaran dharahe lancar. Dadine kudune slonjor terus. „Nanti bikin varises.
Biar nanti walaupun punya anak satu atau tiga itu lancar, varisesnya tidak besarbesar. Jadinya peredaran darahnya lancar. Jadi harusnya meluruskan kaki terus.‟
(Wawancara dengan ibu Sarmi pada tanggal 5 Januari 2011).
Sedangkan pada jaman dahulu, untuk melancarkan peredaran darah setelah
melahirkan, biasanya si ibu disuruh meletakkan kakinya diatas sebuah karung
yang telah diisi abu hangat. Karena energi panas ini, peredaran darah akan
berjalan lancar sehingga tidak timbul gangguan kesehatan yang berupa
penyumbatan aliran darah.
(40)
Ngubur ari-ari didokoki potelot.
Makna gramatikal: mengubur ari-ari diberi pensil.
Makna kultural : ada banyak macam versi dari tata cara penguburan ari-ari ini.
tetapi secara garis besar semuanya sama, yaitu mengubur ari-ari di halaman depan
atau belakang rumah, lalu diberi penerangan dan bunga selama 40 hari. Seorang
ibu yang berprofesi sebagai guru dan mengaku tidak terlalu mempercayai gugon
tuhon menceritakan pengalamannya :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Nek ari-ari sing di anu memang masih dikasih pensil, biar anaknya pinter.
Pas habis melahirkan kan ari-arinya dicuci bersih, setelah dicuci bersih
dimasukkan kuwali. Nah di dalam kuwali itu diisi hal-hal yang baik.
Pensil supaya anake pinter, buku ben anake gemar membaca, terus bunga
mungkin biar harum, maksudnya nama. Dulu kok dikasih bunga, tapi
ndak tanya itu dikasih kayak gitu. Harapannya supaya anaknya cerdas,
kasih buku kasih pensil, kalu bunga mungkin supaya namanya harum.
Maksudnya dia membawa nama yang baik bagi keluarga, mungkin
harapannya gitu hanya dulu ndak dijelaskan kok nganggo kembang
macem-macem gitu. (Wawancara dengan ibu Nik pada tanggal 12 Mei
2010).
Dari keterangan ibu Nik, dapat disimpulkan bahwa ritual penguburan ari-ari
adalah sesuatu yang dasar dalam rangkaian tradisi mempunyai anak dalam
masyarakat Jawa. Hampir semua informan yang dimintai keterangan selalu
menyebutkan jika mereka masih menjalankan tradisi ini, walaupun mereka
mengaku sudah tidak begitu percaya dengan tradisi gugon tuhon ini.
(41)
Pupak puser anak-anake disimpen, didadeake siji supaya anak-anake rukun.
Makna gramatikal: tali pusar anak-anaknya yang sudah terlepas disimpan,
dijadikan satu supaya anak-anaknya rukun.
Makna kultural: tali pusar yang anak yang sudah terlepas dan sudah dikeringkan
disimpan menjadi satu dengan anak-anaknya yang lain. Menurut kepercayaan
Jawa hal ini dapat membuat anak-anak rukun dengan saudara-saudaranya.
Mungkin hal ini dapat mengingatkan kita bahwa kita harus selalu menjaga anakanak kita dan menyatukan mereka apapun yang terjadi serta memperlakukan
mereka secara adil agar mereka selalu menyayangi saudara-saudaranya sehingga
dapat tetap rukun seperti tali pusar yang disimpan menjadi satu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
(42)
digilib.uns.ac.id
Bocah ki nduwe watak dhewe-dhewe, miturut wetone.
Makna gramatikal: setiap anak itu memiliki watak sendiri-sendiri tergantung hari
kelahirannya.
Makna kultural : seperti halnya bangsa barat dan China, orang Jawa memiliki
horoskop atau penanggalan sendiri. Jika dalam penanggalan barat, watak
seseorang dapat dilihat dari tanggal, hari dan pasaran di mana ia dilahirkan dan
kosmik yang mempengaruhinya, maka dalam sistem horoskop Jawa pun
demikian.
Seorang informan mengatakan : Cah lahir Wage kuwi konyolan, kaku ati
sokan, ora kena tersinggung perasaan. Nek lahir Selasa Kliwon Jumat Kliwon ki
aris kembang angger wong seneng. „Anak lahir (pada pasaran) Wage itu mudah
tersinggung, sulit untuk ramah, tidak boleh tersinggung perasaannya. Kalau lahir
hari selasa kliwon itu aris kembang, semua orang senang padanya‟ (Wawancara
dengan mbah Ngat pada tanggal 11 Mei 2010).
Hari kelahiran adalah hal yang penting untuk diingat dalam urusan ramalmeramal dalam budaya Jawa, karena dari hari itu dapat dilihat watak dan
peruntungannya di masa depan. Maka biasanya seorang dukun yang
berpengalaman dapat membaca watak seseorang hanya dari dari kelahirannya
saja.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah disajikan pada bab sebelumnya,
maka penelitian ini diperoleh suatu simpulan sebagai berikut.
1. Bentuk gugon tuhon bahasa Jawa terdiri dari: 1) GT yang menggunakan pewatas aja
‘jangan’ sebagai penanda kalimat larangan, 2) GT yang menggunakan pewatas aja
‘jangan’ dan mundhak ‘nanti’ sebagai penanda sebab akibat, 3) GT yang
menggunakan pewatas aja ‘jangan’ dan ora ilok ‘tidak pantas’ dalam satu kalimat, 4)
GT yang menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’, 5) GT yang menggunakan kata
yen ‘kalau’ yang berada di depan kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan, 6)
GT yang menggunakan kata nek ‘kalau’ atau yen ‘kalau’ yang berada di depan
kalimat sebagai penanda kalimat perumpamaan serta kata mundhak ‘nanti’ sebagai
penanda akibat. GTBJ yang menggunakan pewatas aja ‘jangan’ saja, dan kalimat
dengan pewatas aja ‘jangan’ dan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ yang terletak dalam satu
kalimat letaknya tidak dapat dipermutasi. Sedangkan kalimat yang hanya
menggunakan frasa ora ilok ‘tidak pantas’ saja letaknya dapat dipermutasi. Pewatas
aja ‘jangan’ tidak dapat diletakkan di belakang nomina. GTBJ yang menggunakan
kaya yen ‘kalau’, nek ‘kalau’, dan mundhak ‘nanti’ letaknya tidak dapat dipermutasi
karena merupakan kalimat yang menunjukkan hubungan sebab akibat.
2. Fungsi gugon tuhon bahasa Jawa memiliki fungsi 1) Pendidikan religi, 2) Pendidikan
etika/moral, dan 3) Pendidikan kesehatan dalam kehidupan masyarakat Jawa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Makna yang terdapat dalam gugon tuhon bahasa Jawa ini adalah makna leksikal dan
makna kultural. Makna leksikal dalam GTBJ ini tidak hanya terbatas pada kata saja,
namun juga mencakup frasa, klausa, dan kalimat. Sedangkan makna kultural didapat
dari para informan.
B. Saran
Penelitian ini hanya meneliti tentang GT pada ibu hamil dan merawat balita
saja, namun sebetulnya kebudayaan Jawa menyimpan banyak nasihat dalam aspek
kehidupan yang lainnya, seperti contohnya dalam hal jodoh, kematian, dan yang lainnya.
Agar dapat melengkapi tujuan dari penelitian ini, yaitu agar para penerus kebudayaan
Jawa dapat mengerti dan memahami budayanya, maka alangkah baiknya jika penelitianpenelitian selanjutnya mengkaji hal tersebut sebagai dokumen tertulis dari dan untuk
masyarakat Jawa sendiri, sehingga nantinya kebudayaan Jawa tidak hilang tergerus
jaman.
commit to user
Download