1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasak Adi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sasak Adi1 yang dikenal sebagai kota seribu masjid memiliki tipikal historis
yang sangat hirarkhis dan agamis tentang praktik keagamaan dalam kehidupan
masyarakat Sasak di Lombok Timur. Dalam menjalankan praktik keagamaan
tersebut, masyarakat Sasak bukan berorientasi pada nilai seperti yang terdapat pada
masyarakat egaliter pada umumnya. Akan tetapi orientasi mereka adalah hirarkhis
yang berbasis pada kehidupan patron yaitu Tuan Guru (Kyai).
Pola praktik keagamaan tersebut dapat mengakibatkan kuatnya pengagungan
terhadap simbol personal Tuan Guru sebagai public figure. Jika terjadi penentangan
terhadap simbol personal tersebut berarti sebagai penentangan terhadap kelompok
agama. Sebaliknya dengan munculnya fanatisme terhadap figur Tuan Guru telah
mengkonstruksi posisi agama Islam menjadi prioritas dalam kehidupan masyarakat
Sasak. Masyarakat Sasak selalu “ngiring” Tuan guru melalui pengajian dan kegitan1
Sasak Adi sebutan untuk masyarakat Sasak di Lombok Timur dan masyarakat Lombok
Barat dikenal dengan sebutan Lombok Mirah. Pembagian dua wilayah ini muncul ketika kerajaan
Madjapahit menguasai pulau Lombok yang ketika itu pulau Lombok dikenal dengan sebutan Lombok
Mirah Sasak Adi. Lombok Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari kakawin Nagarakertagama
(Desawarnana), sebuah kitab yang memuat tentang kekuasaan dan pemerintahan kerajaan Madjapahit.
Kata “Lombok” dalam bahasa kawi berarti lurus atau jujur, “Mirah” berarti permata, “Sasak” berarti
kenyataan dan “Adi” berarti yang baik (utama). Hal ini berarti bahwa Lombok Mirah Sasak Adi berarti
kejujuran adalah permata kenyataan yang baik. Sedangkan nama Sasak dan Lombok terkait secara
makna filosofis Sasak berarti bambu yang dijadikan sebuah rakit dan Lombok berarti lurus dan
konsisten. Makna filosofis ini sebagai kearipan lokal harus dijaga dan dilestarikan oleh keturunannya.
Lihat; Muhammad Harfin Zuhdi dkk. 2011. Lombok Mirah Sasak Adi. Penyunting Daud Gerung .
(Jakarta: Imsak Press), p.4 dan 52. Sedangkan istilah kota seribu masjid merupakan sebutan yang
digunakan pemerintahan Orde Baru dalam menjalankan strategi politiknya di NTB khususnya di pulau
Lombok. Sebutan ini seperti halnya sebutan Tapel Kuda untuk menyebut kota Jawa Timur.
1
2
kegiatan keagamaan lainnya baik di madrasah maupun masjid di lingkungan pondok
pesantren.
Praktik keagamaan tersebut telah termanifestasi dalam kehidupan seharihari. Hampir di setiap desa terdapat masjid yang bertingkat dengan sejumlah pondok
pesantren dari berbagai ormas Islam. Ormas itu antara lain; organisasi
Marakittaklimat, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama) dan NW (Nahdatul
Wathan). Dari sejumlah ormas-ormas Islam yang berkembang di Lombok Timur
adalah organisasi NW yang berpusat di Pancor, bahkan ormas NW ini merupakan
ormas Islam terbesar di wilayah Propensi NTB.
Fenomena praktik keagamaan tersebut mengambarkan bahwa hubungan
ormas Islam (terutama organisasi NW) dengan masyarakat Sasak bersifat integral
atau tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian membahas orientasi keagamaan
masyarakat Sasak berarti membahas orientasi keagamaan warga NW karena orientasi
mereka sebagian besar berbasis pada organisasi NW. Sedangkan praktik keagamaan
di pondok pesantren organisasi NW telah menjadi kekuatan dan keunggulan sebagian
etnis tersbesar masyarakat Sasak. Dalam dinamikanya, kekuatan keagamaan tersebut
telah dijadikan sebagai peluang politik dan sumber legitimasi oleh elite politik lokal.2
2
Beberapa alasan elite politik yang menempatkan agama sebagai sumber legitimasi.
Pertama, agama adalah energy yang dahsyat untuk menopang kehendak kuasa dan agama dapat
mensakralkan dunia propan. Menurut Berger; agama adalah payung suci (the sacred canopy) yang
dijadikan instrument mencari legitimasi dalam memperkokoh kekuasaan. Kedua, menurut Bellah
bahwa agama merupakan keprihatinan manusia paling dasar (the ultimate concern) yang menyebabkan
semua tindakan manusia menjadi suci. Ketiga, patron keagamaan mempunyai daya tarik yang kuat di
mata masyarakat mistis dan posisi patron sangat menentukan. Keempat, agama begitu menyebar di
dalam kehidupan masyarakat, sehingga agama menjadi sumber daya politik yang efektif. Zainuddin
3
Di era pemerintahan Orde Baru terutama Reformasi, praktik keagaman itu
terkonstruksi dalam berbagai bentuk ritual, properti dan representasi lambang ke
dalam arena kekuasaan. Pemerintahan Reformasi melakukan konsolidasi dengan
tokoh personal Tuan Guru yang menjadi pendiri dan pengasuh pondok pesantren,
terutama dalam merekonstruksi Perda (Peraturan Daerah) sebagai kebijakan publik.
Perda tersebut berhasil menumbuhkan kesadaran masyarakat dan menjadi instrumen
solutif untuk pembangunan ekonomi yang efektif dan berkelanjutan. Pada tahun 2003
muncullah implementasi Perda Zakat Profesi No. 9 Tahun 2002 (selanjutnya disebut
Perda Zakat Profesi) sebagai memorandum Bupati sebelumnya pada tahun 2002.
Praktik keagamaan Perda Zakat Profesi tersebut terkait dengan pemotongan
Gaji guru/PNS secara merata dan otomatis sebesar 2,5 % sebagai kometmen bersama
antara Pemerintah Daerah dengan para Guru/PNS. Mobilitas persoalan Perda Zakat
Profesi sangat riskan karena berada dalam persimpangan jalan. Satu sisi merupakan
upaya struktural yang berada dalam ruang administrasi pemerintahan publik sebagai
modal sosial (instrumen kemanusiaan) dalam membangun masyarakat Sasak. Di sisi
lain berada dalam kondisi masyarakat terbelah akibat konflik genealogis antar elite
NW yang saling bertaring memperebutkan posisi kekuasaan.
Mobilisasi praktik keagamaan Perda Zakat Profesi dalam periode pertama
tahun 2003-2005 (periode pembebabasan kemiskinan) sangat berhasil. Mobilitas
keagamaan tersebut yang semula bergerak di Kabupaten sebagai “pilot proyek” telah
Maliki “ Taklik Elite Pemburu Kuasa” dalam Basis. No.03-04, Tahun Ke 53, Maret-April 2004 (
Yogyakarta: Kanisius),p. 35.
4
meluas ke pedesaan dan terbentuklah Bazdes (Bandan Amil Zakat Desa). Dalam
periode ini telah dapat dikumpulkan dana yang cukup fantastis untuk ukuran zakat di
tingkat Kabupaten karena distribusi dana Perda Zakat Profesi dapat menimalisir
persoalan kemiskinan. Implikasinya persoalan Perda Zakat profesi menjadi “icon”
yang fenomenal dan under coever, sehingga mobolitas persoalan Perda Zakat Profesi
sebagai percontohan nasional.
Proses mobilisasi Perda Zakat Profesi yang fenomenal tersebut berkembang
menjadi arena pertarungan perebutan posisi antar elite NW.
Posisinya menjadi
sesuatu yang debatable karena telah terjadi gesekan politik antar elite NW, sehingga
dapat mengkonstruksi munculnya polarisasi kelompok elite NW antara pendukung
dan penolak penerapan Perda Zakat Profesi. Penolakan masyarakat Sasak tersebut
menjadi persoalan yang sangat fenomenal karena terjadi perubahan eksistensi Perda
Zakat Profesi. Dari upaya struktural yang berada dalam ruang administrasi publik
telah menjadi persoalan kelompok elite NW.
Eksistensi penolakan terhadap penerapan Perda Zakat Profesi ini menjadi
persoalan yang sangat penting. Penolakan tersebut bukan bersifat liner, tetapi bersifat
dialektik jika dikaitkan dengan pemahaman upaya struktural yang dapat
mempengaruhi proses perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Sasak. Hal ini
menimbulkan distingsi strategi politik kelompok elite NW dalam melakukan proses
dominasi kelompok elite terhadap penolakan Perda Zakat Profesi. Implikasinya, dapat
mengakibatkan munculnya hostile behavior antar kelompok kekuatan sosial.
5
Berdasarkan eksistensi persoalan penolakan terhadap Perda Zakat Profesi
tersebut, terdapat beberapa ketertarikan penulis. Pertama, berkaitan dengan aspek
sosiopolitik terhadap munculnya drama kekuasaan yang dimainkan para elite NW di
balik penolakan penerapan Perda Zakat Profesi itu. Persoalan ini menjadi urgen
dalam rangka menganalisis kepentingan politik yang menjadi faktor kekuatan devide
society akibat konflik genealogis antar elite di tubuh organisasi NW. Kedua, berkaitan
dengan strukturisasi yaitu munculnya dualisme kepemimpinan di tubuh NW yang
memiliki kekuatan dan budaya yang sama, tetapi mereka memiliki persepsi
kepentingan yang berbeda dengan peran yang antagonis.
Konteks persoalan ini sangat spesifik. Walaupun secara makro merupakan
konteks nasional, tetapi persoalan tersebut merupakan sesuatu yang baru bagi ilmu
pengetahuan khususnya sosiologi. Hal ini disebabkan oleh munculnya kekuatan sosial
yang berada di luar struktur dapat mempengaruhi struktur yang mengendalikan
penerapan Perda Zakat Profesi itu. Kemudian hal tersebut berkembang ke persoalan
pristise sosial devide society secara sustainable akibat dari munculnya konflik
genealogis antar elite yang terjadi di tubuh organisasi NW. Dalam kondisi ini, posisi
masyarakat Sasak yang sebagian besar warga organisasi NW hanya bersifat taken
granted (menerima). Mereka gampang digerakkan oleh kekuatan kelompok elite NW
yang saling bertarung memperebutkan posisi pimpinan NW dan hal ini menjadi
persoalan yang menarik untuk dijadikan topik penelitian.3
3
Saifuddin Azwar menegaskan bahwa cirri-ciri topik yang baik adalah urgen untuk diteliti,
membuahkan sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan dan
6
1.2. Permasalahan Penelitian
Pembahasan tentang pokok permasalahan lebih menyoroti uraian tentang
perebutan posisi antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi yang
memiliki tipikal yang khas dan latar historis. Berdasarkan uraian pembahasan dalam
latar belakang di atas, dapat dikemukakan pertanyaan penelitian4 yang dijadikan
persoalan dasar dalam penelitian; Mengapa terjadi reproduksi konflik genealogis
antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi No. 9 Tahun 2002 di
Lombok Timur ?
Pertanyaan dasar penelitian ini sebagai strategi analisis dalam penelitian.
Hal ini penting dalam rangka mengungkap akar persoalan dalam memahami realitas
makna yang tersembunyi (the hidden transcrift of reality) di balik persoalan akar
konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi kajian studi ini. Pertanyaan dasar penelitian
tersebut sangat umum. Dengan demikian sulit untuk dioperasionalkan dalam mencari
jawaban yang berkaitan dengan persoalan akar konflik massa tentang Perda Zakat
Profesi tersebut.
Dalam rangka mempertajam analisis uraian dalam menjelaskan persoalan
akar konflik Perda Zakat Profesi tersebut diperlukan pertanyaan teknis. Pertanyaan
teknis tersebut lebih bersifat operasional dalam memberikan jawaban penelitian.
bermanfaat untuk masyarakat dan aktual. Lihat; Saifuddin Azwar. 2013. Metode Penelitian
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 13.
4
Permasalahan penelitian merupakan problematik penelitian yang berisi tentang
pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dijadikan kerangka untuk mencari jawaban atas problemaproblema penelitian. Lihat; A.F. Chalmers. 1983. Apa itu yang Dinamakan Ilmu: Suatu Penilaian
tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya . Terjemahan Verhaaa S.J. (Jakarta: Hasta Mitra).p,
47.
7
Kemudian
untuk
mensistematiskan
dan
mempertajam
pemahaman
dalam
menjelaskan persoalan pokok (utama) tersebut dapat dikemukakan beberapa
pertanyaan teknis sebagai berikut.5
a. Mengapa terjadi reproduksi konflik genealogis antar elite dalam perebutan posisi
pimpinan di tubuh organisasi NW ?
b. Bagaimana tranformasi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik
Perda Zakat Profesi yang berkembang di Lombok Timur ?
c. Bagaimana dinamika dan implikasi reproduksi konflik genealogis dalam arena
konflik Perda Zakat Profesi terhadap perebutan posisi antar elite di tubuh NW ?
1.3 . Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut;
a. Mengetahui dinamika proses reproduksi konflik genealogis antar kelompok
elite yang saling memperebutkan posisi pimpinan NW dalam arena konflik
Perda Zakat Profesi di Lombok Timur.
b. Menelaah tentang akar-akar relasi kuasa yang mengakibatkan meluasnya
persoalan reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik
Perda Zakat Profesi.
c. Menganalisis strategi kekuatan politik antar elite NW dalam perebutan posisi
kekuasaan dalam arena konflik Perda Zakat Profesi.
5
John W. Creswell (1994), Research Design: Qualitative & Quantitatif Approaches
(Thousand Oaks, California: SAGE Publication),p. 71 & 145.
8
Analisis kajian studi sosiopolitik dalam uraian ini diharapkan dapat
mengkonstruksi sesuatu yang baru bagi ilmu pengetahuan. Hal ini karena kajian
tersebut mengungkap makna drama kekuasaan yang dimainkan para elite NW dibalik
proses dinamika konflik Perda Zakat Profesi. Kajian sosio-politik tentang konflik
Perda Zakat Profesi belum pernah ada dibahas sebelumnya baik kajian akademik
maupun non akademik. Hasil penelitian sebelumnya hanya bersifat parsial (lihat
Tinjauan Pustaka).
Dalam bahasan hasil penelitian sebelumnya kajian sosiopolitik belum pernah
dilakukan. Hasil penelitian sebelumnya, tidak menyentuh ke akar konflik yang
menjadi persoalan konflik Perda Zakat Profesi. Di samping itu makna proses dibalik
terjadinya reproduksi konflik genealogis antar elite yang saling memperebutkan
posisi dalam arena konflik Perda Zakat Profesi belum pernah diungkap secara
konprehensip. Sedangkan hal ini sangat penting untuk menemukan the hidden
transcrift of reality yang berkaitan dengan akar-akar persoalan konflik Perda Zakat
Profesi tersebut.
Secara akademik, penelitian ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan
kajian komprehensip tentang aspek sosio-politik yang ikut mewarnai dalam proses
pertarungan antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi tersebut. Dalam
dinamikanya, masing-masing elite yang memiliki distingsi strategi politik saling
membawa massa dan saling mendominasi dengan prilaku yang saling bermusuhan
(hostile behavior). Hostile behavior dapat mempertebal penguatan kelompok
solidaritas antar elite NW yang saling bertarung dalam perebutan posisi pimpinan
9
NW. Melalui kajian studi ini akan mampu mempertajam khasanah pengetahuan
akademik, khususnya sosiologi konflik mengenai proses dinamika pertarungan
perebutan posisi yang terjadi dibalik munculnya persoalan konflik Perda Zakat
Profesi. Sedangkan pengembangan makna reproduksi konflik genealogis antar elite
dalam arena konflik Perda Zakat Profesi menjadi gambaran kebijakan Pemerintah
Daerah dalam merekonstruksi Perda sebagai kebijakan publik (public policy). Selain
itu juga Pemerintah Daerah dapat merekonstruksi keseimbangan human security
dalam kerangka reproduksi konflik elite yang terjadi di daerah lainya.
1.4. Tinjauan Pustaka
(Review Studi Terdahulu)
Studi-studi kajian terdahulu yang berkaiatan dengan penelitian reproduksi
konflik belum banyak dilakukan oleh peneliti, baik nasional maupun lokal. Studi
kajian tentang reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda
Zakat Profesi merupakan kajian studi elite (salah satu varian studi konflik).6 Hasil
studi terdahulu yang berkaitan dengan reproduksi konflik belum pernah dilakukan
dan hasil penelitian studi terdahulu hanya berkaitan dengan persoalan studi konflik
antara lain; Robert Van Niel (1960) meneliti tentang Munculnya elite modern di
Indonesia, Heather Sutherland (1979) tentang Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi.
6
Studi elite= merupakan bidang studi yang menarik. Lihat; Suzanne Keller.1995.
Penguasa dan Kelompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern. Terjemahan Zahara
D. Noer (Jakarta: Raja Grapindo Persada), p. 5 dan 24. T.B. Bottomore. 2006. Elite dan Masyarakat.
Terjemahan Abdul Haris dan Sayid Umar (Jakarta: Akbar Tanjung Institute),p. 115 dan Mohtar
Mas’eod,Colin Mac Andrews. 2000. Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press),p. 77. Lihat pula; W.F. Werheim.2009. Elite vs Massa (Yogyakarta: LIBRA),p.1.
10
Donal K. Emmerson (1976) tentang Corak dan Tradisi Elite Tradisional dan Sartono
Kartodirdjo (1981) tentang Elite dalam Perspektif Sejarah.
Studi-studi terdahulu tersebut di atas, tidak memfokuskan kajiannya pada
persoalan konflik secara spesifik, sehingga kajian studinya tidak membongkar
peranan massa yang menjadi kekuatan elite yang saling mendominasi dalam
pertarungan perebutkan posisi kekuasaan. Kemudian penelitian studi-studi terdahulu
tersebut diikut oleh peneliti lokal lainnya yang meneliti studi konflik secara spesifik
yang meneliti studi konflik secara spesifik, baik di aras nasional maupun lokal.
Penelitian konflik di aras lokal semakin meningkat sejak bergulirlnya sistem
pemerintahan Reformaasi tahun 1999 di daerah Indonesia.
Studi-studi terdahulu yang berkaitan dengasn penelitian konflik lokal di
wilayah Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB) dapat dilihat dalam penelitian Badrun
AM (2004 )7 dan Safruddin (2005)8. Sedangkan hasil penelitian yang berkaitan
dengan persoalan reproduksi konflik di NTB adalah hasil penelitian Saiful Hamdi
(2011)9. Hasil kedua penelitian konflik antara Badrun AM dengan Safruddin
menggunakan pendekatan kajian penelitian yang berbeda.
7
Badrun AM meneliti tentang Akar-Akar konflik di Bumi Sasak . Penelitian Badrun AM
tersebut melihat konflik di masyarakat Sasak dalam analisis historikal sinkronik. Kemudian
meletakkan dimensi sejarah sebagai kausa prima terhadap masa kini. Beragam konflik sosial yang
muncul belakangan sebagai efek dari background sejarah (memiliki hubungan kausalitas didaktik
terhadap cara pandang masyarakat masa kini). Badrun AM.2004. Garis Tepi Masyarakat NTB
Membongkar Nalar Sosial, Budaya dan Pembangunan di NTB (Mataram, inSKRIP), P. 68.
8
Penelitian Safruddin memfokuskan pada konflik yang terjadi di tubuh organisasi NW.
Penelitian Safruddin tersebut berupa tesis S 2 Sosiologi UGM tahun 2005 yang belum dipublikasikan.
9
Penelitian Saiful Hamdi tentang reproduksi konflik dan kekuasaan berupa desertasi
program Perbandingan Agama UGM. Akan tetapi desertasi tersebut belum dipublikasikan.
11
Safruddin mengkaji konflik yang terjadi di tubuh NW secara parsial (tidak
konprehensip) dan lepas dari persoalan konflik masyarakat Sasak yang terjadi tempo
dulu. Hasil penelitian Safruddin tidak bersentuhan dengan konsep reproduksi konflik.
Sedangkan Badrun AM mengkaji konsep konflik yang terjadi di dalam masyarakat
Sasak di pulau Lombok secara imparsial (konprehensip). Badrun AM menegaskan
bahwa konflik yang terjadi di pulau Lombok bersifat kausalitas. Konflik yang terjadi
di suatu daerah tidak bisa dipisahkan dengan konflik yang terjadi di daerah lainnya.
Seperti anatara laian; konflik 171, konflik Pamswakarsa, konflik NW dan konflik
antar kampung bersifat dialektis yang memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas).
Dalam bahasannya, kedua peneliti konflik di atas belum bersentuhan dengan
konsep reproduksi konflik. Kedua peneliti tersebut memfokuskan pada peran massa
dan mengabaikan tentang peran elite, terutama peran elite di pusat-pusat
pemerintahan. Hal ini dapat mengakibatkan fakta konflik yang telah dibahasnya tidak
bisa terungkap secara imparsial (konprehensip). Akan tetapi jika dikaitkan dengan
fakta konflik pada masyarakat Sasak terdapat hubungan yang integral antara fakta
konflik tempo dulu dan fakta konflik masa kini.
Kedua fakta konflik tersebut harus diletakkan sejajar atau sebagai simpul
analisis untuk menemukan karakter yang segaris, sehingga ditemukan bentuk khas
konflik di bumi Sasak. Begitu juga tentang dinamika konflik yang terjadi, rentetan
konflik tempo dulu dapat mengkonstruksi beragam konflik masa kini. Dengan
demikian harus dibedah untuk menemukan kecendrungan lain dari peta konflik
tersebut misalnya munculnya penelitian
reproduksi konflik dalam kehidupan
12
masyarakat Sasak di pulau Lombok. Sehubungan dengan munculnya penelitian
reproduksi konflik
tersebut berawal dari munculnya penelitian Pierre Bourdieu
tentang reproduksi kelas di masyarakat Prancis pada tahun 1979. 10 Melalui teori
reproduksi kelas, Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa satu generasi dari suatu
kelas memastikan dapat mereproduksi dirinya dan meninggalkan hak isimewanya
kepada generasi berikutnya.
Berbeda dengan peneliti konflik Badrun AM dan Safruddin tersebut di atas,
Saiful Hamdi (2011) telah melakukan penelitian tentang reproduksi konflik.11 Hasil
penelitian Saiful Hamdi tersebut membahas uraian hubungan persoalan reproduksi
konflik dengan kekuasaan. Penelitian Saiful Hamdi membahas tentang peran elite
yang menempatkan organisasi NW sebagai arena perebutan kekuasaan antar elite.
Akan tetapi
penelitian Saiful Hamdi tersebut bersifat internal, sehingga hanya
menyelidiki tentang peran elite dalam menopang aktivitas program dakwah di
organisasi NW.
Studi-studi kajian terdahulu tersebut terkesan secara liner dalam analisisnya.
Dalam analisisnya tidak ada hubungan interaktif antar elite di lembaga-lembaga lain.
Studi kajian terdahulu tidak ada yang menyelidi secara detail narasi dari kelompokkelompok solidaritas yang saling mendominasi dalam mendukung salah satu elite
dalam melakukan pertarungan perebutan posisi pimpinan NW. Studi terdahulu telah
10
Hasil Penelitian Pierre Bourdeu dalam masyarakat Perancis telah dipublikasikan dalam
buku karyanya yang paling terkenal dengan judul La Distinction Critique Sociale du Jugement
(1979). Kemudian karya Pierre Bourdeu tersebut diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan judul
Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste (1984).
11
Hasil penelitian Saiful Hamdi berupa naskah desertasi di Perbandingan Agama
Universitas Gadjah Mada dan belum dibukukan.
13
mengabaikan peran elite di pusat- pusat pemerintahan yang menjadi pertarungan
perebutan kekuasaan. Hal ini menyebabkan kajiannya tidak berhubungan dengan
persoalan Perda (Peraturan Daerah) yang menjadi kebijakan publik (public policy).
Begitu juga dengan studi kajian Saiful Hamdi (2011) tentang reproduksi
konflik dan kekuasaan NW di Lombok Timur. Penelitian Saiful Hamdi tersebut
memfokuskan pada peran elite dalam persoalan konflik dan mengabaikan peran
massa. Penelitian Saiful Hamdi tersebut tidak melihat hubungan elite dan massa
secara dialektik yang memiliki hubungan prilaku yang bermusuhan (hostile behavior)
dalam membela salah satu elite yang saling memperebutkan kekuasaan. Oleh karena
itu analisisnya tidak megungkapkan tentang distingsi dominasi massa di arena
permaian sosial.
Hasil studi-studi penelitian terdahulu tersebut di atas, tidak melihat aspeks
sosio-politik yang sangat kental dalam mewarnai dinamika politik masyarakat Sasak
di Lombok Timur. Dalam analisisnya studi terdahulu tidak membahas tentang peran
elite yang dapat menjangkau pusat-pusat pemerintahan. Analisisnya tidak
bersinggungan dengan persoalan distingsi dominasi antar elite di pusat-pusat
Pemerintahan. Hal ini menyebabkan bahasannya tidak bersinggungan dengan
persoalan politik Pemerintah Daerah Lombok Timur, terutama yang berkaitan dengan
persoalan
penerapan Perda (Peraturan Daerah) yang menjadi kebijakan publik
(public policy).
Studi-studi penelitian terdahulu secara makro tidak bersinggungan dengan
persoalan konflik Perda Zakat Profesi yang dapat membawa Lombok Timur menjadi
14
under couver. Hasil penelitian tentang Reproduksi konflik Genealogis Antar Elite
Dalam Arena Konflik Perda Zakat Profesi ini dapat mempertajam analisis studi
konflik sebelumnya yang menggunakan perspektif teoritik sebagai alat analisis.
Melalui penjelasan perspektif teoritik ini diharapkan dapat menjelaskan realitas
makna yang tersembunyi dibalik munculnya persoalan pokok reproduksi konflik
dalam arena konflik Perda Zakat Profesi sebagai fakta empiris.
1.5. Perspektif Teori
Perspektif teoritik ini tidak bisa dipisahkan dengan penelitian karena terdapat
hubungan yang integral antara teori dengan penelitian. Di samping itu hubungan
keduanya tidak bersifat kursif (paksaan). Fakta tidak bisa memaksa teori dan teori
tidak bisa memaksa fakta. Hubungan keduanya telah ditegaskan oleh Pierre Bourdieu
bahwa theory without empirical research is empty, empirical research without theori
is blind (teori tanpa penelitian empiris adalah hampa, penelitian empiris tanpa teori
adalah kosong).12
Dalam mengabstraksi perspektif teori konflik yang digunakan sebagai
landaaan terori, penulis melakukan uji teoritik,13 baik sebagai teori utama maupun
sebagai back up teory. Penulis juga menolak argumen yang menjadi perspektif teori
12
Pierre Bourdieu dalam Arizal Mutahir. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu Sebuah
Gerakan Untuk Melawan Dominasi ( Bantul, Yogyakarta: Kreasi Wacana),p. 192. Bandingkan dengan
Donal K. Emmerson,”Kesimpulan Pedoman Pengelolaan Aspek Manusia dalam Penelian Masyarakat”
dalam Koentjaraningrat dan Donal K. Emmerson (Ed.) 1985. Aspek Manusia dalam Penelitian
Masyarakat (Jakarta: Gramedia), p. 286.
13
Ada beberapa alasan; metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Dalam
penelitian kualitatif biasanya mengekplorasi berbagai teori untuk didialogkan dengan berbagai fakta
lapangan, sehingga bisa dilihat kepekaan teoritik antara keduanya.
15
tersebut dengan mengetengahkan penjelasan berasarkan realitas empiris melalui
uraian-uraian penjelasan dalam analisis teoritis di bab selanjutnya.
1.5.1. Pendekatan Perspektif Teori Konflik
Perspektif teori konflik muncul sebagai antithesis terhadap analisis teori
fungsional. Teori konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Berbeda
dengan teri fungsional yang menekankan pada fungsi dari elemen-elemen pembentuk
struktur. Teori konflik melihat bahwa setiap struktur memiliki berbagai elemen yang
berbeda dan elemen-elemen itu memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan
yang berbebeda pula. Perbedaan tersebut memberikan sumbangan bagi terjadinya
disintegrasi dan konflik. Konflik ada dimana-mana dan setiap struktur terbangun di
dasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.14
Perspektif teori konflik berakar dari pemikiran Karl Marx yang memandang
masyarakat terdiri dari dua bagian, kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai.
Berkaitan dengan hal ini, persoalan intensitas reproduksi konflik genealogis antar
elite dalam arena Perda Zakat Profesi cukup relevan jika dipahami melalui
pendekatan konflik (conflict approach) dengan menggunakan perspektif teori
konflik.15 Hal ini berkaitan dengan `intensitas reproduksi konflik tersebut yang
mengalami beberapa tahapan periodesasi; Pertama, konflik Perda Zakat Profesi
berawal dari perbedaan pendapat. Kedua,
14
unjuk rasa atau demonstrasi tanpa
Damsar dan Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group),p. 55.
15
Pendekatan konflik merupakan pendekatan struktural yang meliputi teori Structuralist
Marxist teori Structuralist Non Marxist. Lihat; Nurhadiantomo.2004. Konflik-Konflik Sosial PRI Non
PRI & Hukum Keadilan Sosial (Surakarta: Muhammadiyah University Press),p.27
16
kekerasan (a protest demonstration) dan ketiga, kerusuhan (riot) yaitu demontransi
yang diwarnai dengan kekerasan.
Pendekatan konflik termasuk ruang lingkup tataran tradisi makro (seperti
pendekatan struktural fungsinal) yang lebih banyak melihat struktur dan kultur,
sehingga berkembang ke dua arah yaitu teori struktural fungsional (memandang
masyrakat selalu stabil dan statis) dan teori struktural konflik (memandang
masyarakat tidak stabil dan selalu berubah).16 Pendekatan teori konflik memiliki dua
sudut pandang. Kelompok teoritik pertama memandang bahwa konflik merupakan
kawasan yang bisa dihindari melalui kajian resolusi konflik dengan problem solving
dan kelompok tradisi kedua memandang bahwa konflik sebagai kawasan yang hanya
bisa dikelola dan senantiasa muncul dalam kehidupan masyarakat.17
1.5.2. Penjelasan Perspektif Teori Konflik
Penjelasan teori konflik yang digunakan dalam hal ini merupakan antithesis
dari perspektif teori struktural fungsional memandang bahwa konflik tersebut sebagai
kawasan yang harus dikelola. Penjelasan teori konflik ini dipusatkan pada persolanpersoalan yang diabaikan oleh perspektif teori struktural fungsional yang meliputi
antara lain; Pertama, berkaitan dengan konflik dan kontradiksi yang bersifat internal
yang menjadi sumber perubahan sosial. Kedua, reaksi dari suatu system social
16
Ada dua tradisi pikir dalam Sosiologi yang memiliki dasar asumsi dalam menelaah suatu
fenomena sosial berbeda yaitu tradisi makro (lebih melihat struktur dan kultur) dan tradisi mikro
seperti teori interaksionalisme simbolik (lebih banyak melihat interaksi yang terjadi dalam individu
dengan lingkungan sosialnya). Lihat; Sunyoto Usman. 1996. Sosiologi Lingkungan Pembahasan
Tentang Lingkungan dan Prilaku Sosial (belum diterbitkan),p. 63 dan 68. Lihat pula, Sunyoto Usman.
2012. Sosiologi Sejarah, Teori dan Metodologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 54-56.
17
Muryanti Damar Dwi Nugroho I Rokhiman. 2013. Teori Konflik & Konflik Agraria Di
Pedesaan (Yoyakarta: Kreasi Wacana),p. 5.
17
terhadap perubahan yang dating dari luar. Ketiga, suatu sistim sosial di dalam waktu
yang panjang dapat mengalami konflik-konflik social yang bersifat visious circle.
Keempat, perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian
yang lunak dan terjadi secara revolusioner.18
Munculnya perspektif teori konflik karena memandang bahwa perspektif
teori struktural fungsional sebagai pendekatan yang bersifat reaksioner, sehingga
dianggap tidak memberi tempat dan kurang mampu manganalisis terhadap masalahmasalah di atas. Kondisi ini dapat mengakibatkan bagian-bagian tertentu dari sistem
sosial tersebut menjadi disfungsional, suatu hal yang mengakibatkan timbulnya
ketegangan sosial. Apa bila faktor luar tersebut cukup kuat untuk mempengaruhi
bagian di atas tanpa diikuti oleh penyesuaian dari bagian lain, maka disfungsi dan
ketegangan tersebut akan berlangsung secara kumulatif serta mengundang terjadinya
perubahan social yang bersifat revolusioner.
Penjelasan perspektif teori konflik pecah menjadi dua yaitu struktural marxis
dan struktural non marxis,19 dari sisi kemudian berkembang varian-varian teori
konflik salah satunya adalah teori elite. Roderick Martin mengungkapkan bahwa teori
elite sebagai varian teori konflik, tidak berkembang ke satu arah, tetapi pecah ke
beberapa arah; Pertama, perspektif yang mengikuti pemikiran teori klas Karl Marx
yang dikenal dengan varian teori demokrasi elitis. Kedua, perspektif yang mengikuti
analisis teori elite pluralis klasik Laswell, Truman, Dahl, terutama gaya Pareto dan
18
19
Nasikun. 2013. Sistem Sosial Indonesia (Yogyakarta: Ombak),p. 17.
Ibid.,p. 18.
18
Mosca yang dikenal dengan teori sirkulasi elite. Ketiga, varian teori elite yang
mengikuti perspektif teori elite neo pluralis Charles Wright Mills dan G. William
Domhoff yang dikenal dengan varian teori oligarki elite.20
Dalam rangka menganalisis konflik Perda Zakat Profesi yang menjadi
kajian studi digunakan penjelasan teori elite dan teori reproduksi kelas. Dalam hal ini
teori elite Vilfredo Pareto ditempatkan sebagai teori utama. Sedangkan sebagai back
up teory digunakan teori reproduksi kelas Pierre Boudeu dan teori ini digunakan
untuk melengkapi analisis teori utama. Walaupun satu rumpun, kedua teori tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda, tetapi memiliki hubungan dialektis dalam
menganalisis fakta yang dijadikan fokus persoalan.
Teori Vilfredo Pareto tersebut memfokuskan analisisnya pada persoalan
yang berkaitan dengan perputaran elite (the circulation of the elite) yang bersumber
dari munculnya proses dekay (pembusukan). Penjelasan analisisnya ini berbasis pada
pendekatan ide dasarnya bahwa struktur dapat mempengaruhi individu. Sedangkan
pendekatan teoritik Pierre Bourdieu tersebut memfokuskan analisisnya pada
perebutan posisi kekuasaan yang menempatkan kontestasi budaya sebagai arena
pertarungan. Berdasarkan ide dasarnya bahwa struktur dapat mempengaruhi individu
dan individu dapat mempengaruhi struktur. Analisis penjelasan Vilfredo Pareto
melalui teori sirkulasi elite memfokuskan pada peran elite sebagai pengendali
20
Untuk mengetahui varian teori konflik, lihat; Roderick Martin. 1990. Sosiologi
Kekuasaan. Terjemahan Herry Joediono (Jakarta: Rajawali), p. 278. Bandingkan dengan: Richard T.
Schaeper. 2003. Sosiology (America: Mc Graw-Hill),p. 439-440.
19
konflik21 dengan pendekatan mekanis dan ahistoies. Berbeda dengan analisis Pierre
Bourdieu yang menggunakan pendekatan non mekanis dan ahistories sangat simplitis
(sederhana).22 Penjelasan abstraksi dan eksplorasi tentang perspektif kedua teori
tersebut terutama berkaitan dengan persoalan dialektika dari aspek reproduksi konflik
yaitu the circulation of the elite dan perebutan posisi kekuasaan.
1.5.2.1. Penjelasan Perspetif Teori Elite Pareto
Tentang The Circulation of Elite
Berdasarkan konsep dasarnya, teori elite (salah satu varian teori konflik)
mengungkapkan bahwa negara sebagai aspek kekuasaan elite, sehingga struktur dapat
mempengaruhi individu. Fokus analisis kajian teori elite berkaitan dengan kelompok
elite yang dapat menjangkau pusat kekuasaan. Bertitik tolak dari hal tersebut analisis
teori elite memandang bahwa munculnya proses the circulation of elite (pergantian
elite) bermuara dari munculnya proses dekay (pembusukan) dalam kehidupan. Proses
the circulation of elite itu dapat mengkonstruksi tumbuhnya pertarungan perebutan
posisi kekuasaan anatar elite karena tidak ada elite pemegang kekuasaan itu
menyerahkan kekuasaannya pada para elite lain.
Analisis teori sirkulasi elite tersebut menerangkan bahwa distribusi
kekuasaan berada di tangan elite (minoritas). Dalam pergantian elite sangat
dipengaruhi oleh situasi yang berkembang. Situasi dan sistem korup, memungkinkan
figure unskilled (moyoritas) menaiki jenjang elite berkuasa (the governing elite) yang
21
Pengendali konflik = Vilfredo Pareto menyebutnya dengan istilah “elite”. Sedangkan
Pirre Bourdeu menyebutnya dengan istilah “agent”.
22
K.J. Veeger.1993. Op.cit., p. 85.
20
memegang kekuasaan dan berdampat politik.23 Analisis teori tentang sirkulasi elite
sebagai kritikan terhadap teori Karl Marx yang mengungkapkan bahwa distribusi
kekuasaan merata (pluralis). Di samping itu teori elite menolak pandangan tentang
kedaulatan rakyat dan mereka sepakat bahwa negara dan masyarakat sipil ditandai
oleh pembagian kekuasaan.24
Kajian perspektif teori elite tentang the circulation of the elite tersebut
selalu berbasis pada pokok persoalan kelompok elite yang dapat menjangkau pusat
kekuasaan. Hal ini muncul karena rakyat tidak mempunyai akses dalam formulasi dan
implementasi kebijakan publik. Analisis kajian ini bertumpu pada konsep dasar
analisis teori elite bahwa di dalam kelompok penguasa terdapat elite penguasa dan
tandingan.25 Kelompok elite berposisi sebagai penguasa (yang memerintah) yang
dapat mengendalikan massa di tataran grassroot (yang diperintah). Hubungan
keduanya sangat kompleks, sehingga
posisi teori elite terpecah-pecah menjadi
banyak varian.26 Banyak jebakan dalam menganalisisnya, sehingga perlu ditentukan
tentang relevansi teori.
23
Vilfredo Pareto dalam Zainuddin Maliki. 2010. Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan
Transformasi Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada Univeriity Press), p. 98 dan 102.
24
Ibid.p. 64-65.
25
Teori elite berbeda dengan teori lainnya dalam memandang tentang motif penyebab
konflik. Pertama, teori hubungan masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu
masyarakat. Kedua, teori negoisasi prinsip menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi
yang tidak selaras dan perbedaan pandangan aktor-aktor yang mengalami konflik.
26
Ilmu Sosiologi yang seharusnya mempelajari masyarakat telah sibuk mempertahankan
eksistensinya dan sibuk membuat bermacam-macam teori. Teori dibuat silih berganti antara satu teori
dan teori lain yang bersifat parsial (lepas). Masing-masing teori tidak pernah dikembangkan secara
mendalam dan menganalisis masyarakat dari tampak samping. Lihat; Munir Fuady. 2011. Teori-Teori
dalam Sosiologi Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group),p. 22-23.
21
Analisis teori elite tentang the circulation of the elite tersebut dipengaruhi
oleh kekuatan sosial yang berkembang pada suatu era tertentu. Hal inilah yang
menyebabkan munculnya varian yang beragam dalam analisis kajian teori elite.27
Dalam analisisnya, masing-masing tokoh teori elite menggunakan unit analisis,
menyusun proporsi dan pendekatan yang berbeda. Dengan menggunakan dua
pendekatan analisis teori elite pada prakteknya sulit dilakukan. Untuk peristiwa
tertentu didekati dengan cara tertentu pula. Berdasarkan relevansi teori tersebut,
terdapat tiga pendekatan dalam analisis teori yaitu systems theory, group theory,
fungsional process theory, institutionalism theory dan elite theory. Akan tetapi dari
sekian analisis teori yang paling relevan dengan persoalan fenomena konflik Perda
Zakat Profesi adalah elite theory.28
Relevansi teori elite dalam menjelaskan proses the circulation of the elite
bertautan dengan analisis kajian teori elite yang dibangun di atas persepsi keberadaan
27
Analisis kajian teori marxis lebih memfokuskan kepada analisa klas dan peninjauan ulang
peran negara. Sedangkan analisis teori elite lebih melihat kehidupan politik dari kacamata komunitas
nasional dan menaruh perhatian pada pengaruh bebas institusi politik dengan sistem pemerintahannya.
Lihat;Zainuddin Maliki. 2010. Sosiologi Politik Makna Kekuasaan dan Transformasi Politik
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press),p.xii
28
Analisis teori sistem (systems theory) bersifat umum dan kurang fokus pada bagaimana
keputusan dibuat dan dikembangkan. Sedangkan kebijakan publik merupakan aksi reaksi dari system
politik. Analisis teori group (goup theory,) mengungkapkan bahwa kebijkan publik sebagai perjuangan
kelompok yang merupakan kenyataan dalam kehidupan politik. Teori ini memusatkan perhatian pada
salah satu unsur penggerak utama dalam pembentukan kebijakan. Fungsional process theory
memusatkan perhatian pada bermacam aktivitas proses fungsionsl yang terjadi dalam proses
kebjakan.Teori kelembagaan (Institutionalsm theory) sering diidentikkan dengan kajian ilmu politik
yang tertua. Dalam analisisnya memusatkan pada kelembagaan (eksekutif, legislative, yudikatif dan
partai politik). Elite theory memandang bahwa kebijakan publik dianggap sebagai nilai dan pilihan
elite Pemerintah tidak ditentukan oleh massa melalui permintaan dan tindakan mereka. Akan tetapi
ditentukan oleh elite yang mengatur dan dipengaruhi oleh instansi dari pejabat.
22
elite di pusat-pusat kekuasaan.29 Peranan elite tidak dapat dielakkan dari aspek
kehidupan politik yang serba kompleks dalam mengendalikan kebijakan publik.
Dalam konteks ini, teori elite sangat relevan jika dihubungkan dengan persoalan
konflik yang berkembang di daerah Indonesia, terutama Lombok Timur. Hal ini
karena sistem politik Presidentil di Indonesia merupakan lahan subur bagi studi dan
analisis teori elite.
Penjelasan teori elite tentang the circulation of the elite tersebut selalu
berkaitan dengan peran elite. Hal ini tidak bisa lepas dari peran massa dalam
mengendalikan kebijakan publik karena elite yang mengendalikan konflik
memerlukan legitimasi massa sebagai kekuatan modal. Tanpa legitimasi massa, para
elite politik lokal tidak akan memperoleh kerjasa dan dukungan. Para elite tersebut
akan termarjinalisasi (terpinggirkan). Massa akan mengalihkan dukungannya pada
elite yang lain dan kegagalan memperoleh legitimasi massa berarti berakhirnya
peranan sebagai elite yang sedang berkuasa.
Sehubungan dengan hal tersebut Berghe mengungkapkan bahwa analisa
teori elite berkaitan dengan kondisi-kondisi yang tengah berkembang pada
masayarakat majemuk. Dengan demikian bahwa pendekatan paling relevan adalah
pendekatan konflik dengan tidak menafikkan kerangka acuan lain yang relevan untuk
29
Salah satu parameter terkonstruksinya sebuah teori selalu dipengaruhi oleh latar belakang
pribadi dan sosial sang teoretisi terhadap teori sosial yang dikemukakannya. Teori yang diajukan oleh
seseorang teoretisi juga tidak terlepas dari latar belakang pribadi dan sosial sang teoretisi. Lihat;
Ramlan Surbakti dalam Bagong Suyanto, M Khusna Amal (Ed.). 2010. Anatomi dan Perkembangan
Teori Sosial (Malang: Aditya Media Publishing),p. xvi
23
melengkapi kekurangan pendekatan teori konflik. Munculnya peristiwa konflik tidak
bisa lepas dari pengaruh unsur-unsur sosial budaya.30
Analisis teori elite tersebut relevan sejauh masih berhubungan dengan
distribusi kekuasaan dan konsep kepentingan.31 Dalam analisis teori elite terdapat
berbagai varian teori. Setiap varian teori memiliki unit analisis dengan berbagai
pendekatan tersendiri yang spesifik sebagai entry point dalam menjelaskan fenomena
sosial. Masing-masing variannya memiliki kelemahan dan superioritas yang spesifik
(lihat uraian dalam theorical discourses). Analisis varian teori elite yang dijadikan
bahan rujukan penjelasan tentang the circulation of the elite dalam fenomena konflik
yang dijadikan kajian studi digunakan teori sirkulasi elite Vilfredo Pareto.
Dalam menjelaskan persoalan the circulation of the elite, terdapat persamaan
dan perbedaan analisis teori sirkulasi elite dalam menjelaskan tentang peran elite dan
struktur kekuasaan. Persamaan pandangan Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto
berkaitan dengan konsep munculnya sirkulasi elite. Mereka menolak pandangan
tentang kedaulatan rakyat yang diungkapkan oleh teori demokrasi elitis. Sedangkan
keduanya berbeda pandangan tentang basis untuk kekuasaan elite.32
30
P.J. Bouman. 1982. Sosiologi Fundamental (Jakarta: Djambatan),p. 48-49.
Roderick Martin.1990. Sosiologi Kekuasaan.Terjemahan Herry Joediono (Jakarta:
Rajawali),p.278. R.A. Wallace and A. Wolf. 1990. Contemporary Sociological Theory (Engledwood
Cliffs: Prentice Hall),p. 81-82 dan T.B Bottomore, 2006. Op.cit, p.vi. Lihat pula; Vilfredo Pareto
dalam K.J. Veeger. 1993. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat
Dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi (Jakarta; Gramedia),p. 241.
32
Mosca menyangkal bahwa kaum elite pasti memiliki keunggulan (superiority). Sedangkan
Pareto lebih militant tentang superiority kaum elite dari karakter psikologis dan pribadi yang sesuai
dengan pemerintahan. Lihat; Keith Faulks. 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis. Terjemahan:
Helmi Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media),p.65.
31
24
Analisis Mosca tidak setajam Vilfredo Pareto dalam membahas idealisme
dan humanisme serta pandangan terhadap masalah-masalah penggunaan kekuatan.
Penjelasan Mosca lebih menekankan pada persoalan the ruling class dan Vilfredo
Pareto lebih terkonsentrasi pada penjelasan tentang persoalan the circulation of the
elite. Analisis teori Vilfredo Pareto menggunakan pendekatan sosio-psikologi yang
berbasis pada masyarakat yang berkeseimbangan. Dalam analisisnya tersebut,
Vilfredo Pareto menggunakan konsep residues dan derivation dengan menampilkan
tipologi the foxes dan lion.33
Analisis Vilfredo Pareto menolak pandangan teori marxis dan liberalis
tentang hubungan negara dengan masyarakat sipil. Menurut para teoretisi elite, kedua
teori tersebut mengandung ancaman logika egalitarian (semua orang sederajat) yang
mengabaikan realitas sejarah.34 Teori elite memandang bahwa setiap masyarakat
terbagi dalam dua katagori. Elite yang memerintah (governing elite) dan massa (non
elite) yang diperintah. Kajian teori elite menyodorkan argumen bahwa sebagian besar
rakyat bersifat apatis dan buta informasi tentang kebijakan publik. Dalam analisis
33
Dalam analisis politik, khususnya mengenai persoalan elite dan struktur kekuasaan, antara
lain dapat dikaji melalui pendekatan teori elitis dan teori pluralis. Terdapat berbagai pandangan
tentang kehadiran dan keberadaan elite. Pareto dan Mosca: karena both necessary and desirable.
Robert Michels: karena kompleksitas organisasi social yang tumbuh dalam masyarakat. C.Wright
Mills: sebagai sesuatu yang ikut melestarikan penindasan dan memperlebar kesenjangan sosial.
Pandangan teori elite bertentangan dengan pandangan teori pluralis.Teori pluralis menolak anggapan
bahwa kekuasaan berkonsentrasi pada kelompok elite. Sebaliknya lebih percaya bahwa kekuasaan
tersebar merata ke berbagai macam kelompok dalam masyarakat. Lihat: Sunyoto Usman.1996.
Sosiologi Lingkungan: Pembahasan Tentang Lingkungan dan Prilaku Sosial. p.78.
34
Keith Faukls. 2010. Sosio Politik Pengantar Kritis. Terjemahan Helmi Mahadi dan
Shohifullah (Bandung: Nusa Media), p.64.
25
kajian teori elite, posisi rakyat tidak diperhitungkan. Segala bentuk kebijakan hanya
untuk mengokohkan status golongan elite.
Vilfredo Pareto berpandangan bahwa dalam menganalisis dikotomi
masyarakat sebagai akibat objektif dari hukum, meliputi beberapa kategori; Pertama,
memadang masyarakat yang terdiri dari individu-individu berbeda-beda (tidak sama
kemampuannya). Kedua. memadang bahwa masyarakat terbagi dalam dua kelas
(lapisan) yaitu lapisan minoritas atau elite (yang memerintah) dan lapisan mayoritas
atau massa (yang diperintah). Kelas minoritas mendominasi mayoritas dan
menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati
keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu. Kelas mayoritas diatur dan
dikendalikan kelas minoritas. Secara ideologis minoritas (elite) sebagai pembela
konservatif dari tertib politik yang sudah mapan.
Analisis perspektif teori tentang the circulation of the elite tersebut, baik
Mosca maupun Pareto sama-sama konsentrasi pada peran elite dan struktur
kekuasaan. Analisis keduanya telah mengabaikan peran massa. Sedangkan Mosca
dalam menjelaskan formulasi politik lebih tertarik pada representasi (perwakilan)
sebagai versi khusus dan mekanisme stabilitas sosial.35 Menurut pandangan analisis
teori elite politik, baik analisis Vilfredo Pareto maupun Gaetano Mosca dianggap
telah gagal dalam menjelaskan bagaimana dan mengapa elite baru bisa memperoleh
sumber daya kekuasaan yang dibutuhkan untuk memerintah.36 Pandangan analisis
35
36
Ibid. p. 67.
Ibid. 68.
26
teori tentang the circulation of the elite yang berkembang di Eropa tersebut telah
mendapat kritikan dari teori oligarki elite (teori elite politik) yang dipelopori oleh
Charles Wright Mills di Amerika. Sebaliknya, analisis teori sirkulasi elite gaya
Mosca kurang relevan untuk menjelaskan persoalan the circulation of the elite. Hal
ini karena analisis Gaetano Mosca terlalu fokus pada aspeks perjuangan klas (the
ruling class).
1.5.2.2. Penjelasan Perspetif Teori Reproduksi Kelas
Bourdieu Tentang Perebutan posisi Kekuasaan
Penjelasan perspektif teori reproduksi kelas Pierre Bourdieu digunakan
untuk menganalisis realitas sosial yang berkaiatan dengan pertarungan perebutan
posisi kekuasaan. Gagasan dasar Pierre Bourdieu untuk menyenbatani antara teori
dan tindakan yang mengkristal dalam beberapa konsep utama yaitu habitus, kapital,
arena, distinction, kekuasaan simbolik dan kekerasan smbolik.37 Analisis teori
reproduksi kelas Pierre Bourdieu berbasis pada ide dasarnya bahwa struktur dapat
mempengaruhi individu dan individu dapat mempengaruhi struktur. Hal ini yang
menempatkan teori reproduksi kelas yang dikembangkan Pierre Bourdieu
diklasifikasikan dalam rumpun teori strukritasi. Teori strukturisasi ini membahas
tentang kondisi yang mengharapkan kontinyuitas atau perubahan struktur dengan
menjadi reproduksi di dalam sistem sosial.
37
Konsep habitus berkaitan dengan konsep arena perjuangan (champ). Konsep arena
perjuangan sangat menentukan karena dalam semua masyarakat ada yang menguasai dan dikuasai.
Lihat; Haryatmoko. 2014. “Pierre Bourdeu Teori dan Penerapannya” dalam Seminar Sehari di
Gedung Pasca Sarjana Universitas Gdjah Mada pada tanggal 29 Januari 2014,p. 1 dan 6.
27
Dalam penjelasannya tentang pertarungan perebutan posisi, Pierre Bourdieu
mengaitkan dengan konsep struktur modal. Dunia sosial digambarkan dalam bentuk
ruang dengan beberapa dimensi yang berdasarkan pada prinsip diferensi dan
distribusi. Setiap pelaku ditempatkan pada suatu posisi atau kelas tertentu yang
terdekat dan para pelaku menempati posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua
dimensi: Pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki. Kedua, sesuai dengan
bobot komposisi keseluruhan modal mereka. Diantara berbagai macam modal
tersebut, modal ekonomi dan budaya memiliki relevansi dalam menentukan
pemberian kriteria diferensiasi bagi lingkup masyarakat yang sudah maju.38
Selanjutnya Pierre Bourdieu mengaitkan dengan konsep tipologi kelas
sosial. Pierre Bourdieu menyusun masyarakat melalui beberapa kriteria: Pertama
dalam dimensi vertikal; dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku,
antara pemilik modal besar, ekonomi dan budaya. Kedua dalam susunan masyarakat
menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang
memiliki modal ekonomi lebih besar dengan mereka yang memiliki modal budaya
lebih besar. Berdasarkan dua pembedaan tersebut dapat dijelaskan kehasan masingmasing kelas sosial yang terkait dengan kategori sosio professional.
Pendekatan Pierre Bourdieu tentang pertarungan perebutan posisi kekuasaan
menolak konsepsi pengelompokan masyarakat yang dibagi dalam kelas sosial
antagonis atas dasar kriteria ekonomi (Karl Marx). Pierre Bourdieu tidak mengikuti
38
Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa: Landasan Teoritis
Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu” dalam Basis No.11-12, Tahun Ke 52, NopemberDesember.p.`12
28
analisis sosial dalam kerangka strata sosial yang berdasarkan pada kekuasaan, prestise
dan kekayaan (Max Weber). Pierre Bourdieu mengusulkan pendekatan dalam
kerangka lingkup sosial dan medan perjuangan sosial (champ).39 Kemudian ia
menegaskan bahwa dalam semua masyarakat selalu ada hubungan dominasi yang
menguasai dan dikuasai. Hubungan dominasi tergantung pada situasi, kapital dan
strategi pelaku yang muncul melalui strategi dominasi yang sangat beragam.
Sedangkan posisi pelaku di dalam lingkup kelas sosial tergantung pada kepemilikan
jumlah besarnya dan dan struktur mereka. 40
Sehubungan dengan penjelasan pertarungan perebutan posisi kekuasaan,
Pierre Bourdieu mengusulkan suatu visi pemetaan hubungan kekuasaan dalam
masyarakat dengan mendasarkan pada logika posisi dan kepemilkan kapital.
Pemetaaan hubungan kekuasaan di dasarkan atas kepemilikan kapital-kapital dan
komposisi kapital tersebut. Dalam menjelaskannya menggunakan konsep drama
perebutan posisi kekuasaan dengan pendekatan struktural genetik. Pertama, dalam
unit analisis Pierre Bourdieu telah memusatkan perhatiannya pada praktik kekuasaan.
Kedua, menggunakan logika permainan sosial dalam menjelaskan praktik dominasi
kekekuasaan melalui kajian drama perebutan kekuasaan.41
39
Medan perjuangan merupakan hasil dari proses otonomisasi yang lama dan dipahami
sebagai medan kekuatan. Ia menjadi tempat perjuangan antar individu dan antar kelompok. Ibid.p. 14.
40
Ibid.p. 6 dan10.
41
Permainan Sosial merupakan mekanisme reproduksi hubungan dominasi antar individuindividu dan kelompok-kelompok. Sistem dominasi berekspresi di semua praktik kultural. Hubungan
kekuasaan yang tidak setara diterima sebagai sesuatu yang syah. Lihat; Pierre Bourdieu, dalam
Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa” dalam Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke
52, Nopember-Desember, p.5 dan Randal Johnson (Ed.) “Pengantar Pierre Bourdieu Tentang Seni,
29
Pendekatan teoritis Pierre Bourdieu sebagian besar adalah upaya
menggambarkan bahwa apa yang dikatakan dan dilakukan orang pada dasarnya
adalah sesuatu yang lain daripada sekadar refleksi dari apa yang terjadi di benak
mereka (sekedar produk struktur sosial dan struktur material).42 Melalui analisis
pendekatan struktural genetik, Pierre Bourdieu mengkritisi politik pencitraan terhadap
fenomena penguasaan dan kekerasan simbolik yang berlangsung di setiap rejim yang
berkuasa. Kemudian ia merintis kerangka investigatif dan terminologi dengan
mengungkapkan peran modal ekonomi, budaya, sosial dan simbolik serta konsep
habitus dan ranah. Tujuannya untuk mengungkapkan proses dinamika relasi kuasa
dalam kehidupan sosial.
Pierre Bourdeu menawarkan suatu teori mengenai kelas yang mereproduksi
kebudayaan dan kebudayaan yang mereproduksi kelas. Pierre Bourdeu memposisikan
semua praktik kebudayaan pada konteks hubungan kekuasaan dan konflik social.43
Pierre Bourdieu mengkonseptualisasikan keseimbangan struktural antara kekuasaan
dan praktik para pemain. Kemudian dimafestasikan ke dalam tiga konsep yaitu
habitus, kapital dan ranah (lapangan sosial). Pierre Bourdieu menempatkan konsep
Sastra dan Budaya” dalam Pierre Bourdieu . 2010. Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian Sosiologi
Budaya. Terjemahan: Yudi Santoso ( Bantul Yogyakarta: Kreasi Wacana), p. vii dan ix
42
Lihat; Peter Jackson “Pierre Bourdieu” dalam Jenny Edkins-Nick Vaaughan
Williams(Ed.). 2010. Teori-Teori Kritis Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional.
Terjemahan: Teguh Wahyu Utomo (Yogyakarta: Baca),p. 139.
43
Ibid. p.xii. Praktek bagi Pierre Bourdieu sebagai hasil hubungan dialektik antara struktur
dan agen yang dapat dijelaskan dengan menggunakan rumus struktural generatif; (Habitus x Modal) +
Ranah=Praktek. Konsep habitus ini menjadi batu pijakan, apresiasi dan aksi tentang pikiran. Dalam
hubungannya dengan strategi energi, habitus tersebut merupakan basis generatif dan kunci reproduksi
agen (elite) dalam menciptakan arena. Lihat; Pierre Bourdieu dalam Haryatmoko. 2003. “Menyingkap
Kepalsuan Budaya Penguasa”, Basis, Nomer 11-12, Tahun ke 52, p. 8-9 dan 11
30
habitus dan ranah dijadikan konsep kunci dan konsep modal dijadikan sebagai
perluasan kajiannya.44
Berdasarkan hal tersebut Pierre Bourdieu menegaskan bahwa masyarakat
bukan sesuatu yang memiliki status dengan hubungan yang serba teratur dan
harmonis, tetapi sesuatu yang dinamis. Masyarakat merupakan cerminan dari medan
pertarungan antar agen untuk memperkuat posisi masing-masing. Aktor yang sudah
kuat akan berupaya mempertahankan posisinya. Aktor yang berada di pinggiran akan
berusaha untuk merebutnya. Pertarungan antar agen dalam suatu ranah tidak bisa
menimbulkan kekacauan yang dapat menghancurkan tatanan sosial. Pertarungan antar
aktor untuk memperebutkan posisi dalam suatau ranah merupakan kontestasi wacana
dan gaya hidup dari para aktor. Setiap tindakan sosial selalu terkait “kepentingan”
(interested) yang tidak semata-mata materi, bahkan individu-individu tertentu tidak
sadar akan kepentingan mereka sendiri, sehingga imbalan atas tindakan tersebut
justru bukan pendapatan materiil. Dalam segmen masyarakat tertentu masih
berkembang pola hubungan “ekonomi pertukaran hadiah” yang secara tipikal masih
mengakar dalam relasi sosial yang luas.
Analisis teori mengenai formasi kelas yang digagas Pierre Bourdieu
memusatkan perhatian pada relasi kuasa. Analisis teori ini digunakan sebagai alat
analisis untuk membahas interaksi sosial dalam komunitas pesantren organisasi.
44
Konsep dasar analisis Pierre Bourdieu sebagai kritikan terhadap teori strukturalis dan teori
konflik yaitu berkaitan dengan “permainan sosial” yang difokuskan pada relasi sosial yang meliputi
formasi kelas sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan oposisi agensi versus
struktur telah tidak memadai dalam menjelaskan realitas sosial. Lihat; Achmad Fedyani Saifuddin
“Membaca Teori Pierre Bourdeu: Suatu Catatan Pengantar” dalam Fauzi Fashri. 2007. Penyimpangan
Kuasa Simbol Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdeu (Yogyakarta: Juxtapose), p. xi-xii
31
terutama yang berhubungan dengan pertarungan perebutan posisi kekuasaan. Analisis
Pierre Bourdieu sangat signifikan dalam upaya memahami dan menganalisis
kesenjangan sosial budaya, ekonomi dan politik yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Analisis teorinya sangat bermanfaat dalam melihat secara kritis tentang
terjadinya represi dan kekerasan simbolik dan kekesan simbolik dilakukan oleh rejim
dan kelompok yang berkuasa terhadap masyarakat kelas bawah. Sedangkan kelas
dominan terus mempereproduksi struktur yang menguntungkan posisinya.
Dalam analisis teori kelasnya Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa
pertarungan perebutan posisi kekuasaan dapat mengkonstruksi relasi kuasa. Pierre
Bourdieu membangun konsep kelas tidak dikaitkan dengan kepemilikan alat produsi
(properti). Akan tetapi lebih terkait dengan masalah habitus, ranah dan selera.
Disamping itu juga pengelompokan kelas berdasarkan kesamaan posisi dan selera.
Hal inilah berkaitan dengan munculnya solidaritas bangsawan ketika terjadi konflik
genealogis antar elite NW. Solidaritas bangsawan ini mendukung Raihanun yang
mempunyai suami dari keluarga bangsawan. Sedangkan lingkungan kelas sosial
memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan seseorang untuk memainkan
permainan; kelas sosial dominan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk
mempertahankan selera mereka dan menentang selera orang yang berada pada kelas
yang lebih rendah.
Berkaitan dengan hal tersebut Pierre Boudieu mengusulkan pendekatan
dalam kerangka lingkup sosial dan medan perjuangan sosial (champ). Analisis
konsep ruang seperti ini memungkinkan untuk dapat menganalisis posisi kelompok-
32
kelompok elite. Pelaku yang memiliki modal lebih mampu dan intensif mendominasi
medan perjuangan.45 Dalam hubungannya dengan konsep reproduksi. Analisis Pierre
Bourdieu menghubungkan dengan konsep keluarga. Ia menganalisis bahwa keluarga
menjadi basis strategi pokok dan subjek utama strategi reproduksi. Sedangkan
reproduksi sosial merupakan mekanisme reproduksi hubungan dominasi antar
individu dan kelompok. Beragamnya strategi reproduksi sosial akan memicu
perubahan struktur-struktur sosial.
Pierre Bourdieu menjelaskan tentang pertarungan perebutan kekuasaan
berhubungan dengan fenomena konflik yang dikaitkan dengan aktor konflik. Pelaku
konflik berusaha mempertahankan atau menambah jenis dan besarnya modal. Strategi
pelaku konflik diarahkan untuk mempertahankan dan memperbaiki posisi social dan
keluarga menjadi tempat bagi akumulasi modal dan tempat pewarisan antar
generasi.46 Analisis teori Pierre Bourdieu tentang peran keluarga menjadi elemen
penting jika dikaitkan penanaman doktrin secara generasi antar kelompok keluarga
elite NW yang saling mendominasi dalam perebutan posisi di arena konflik Perda
Zakat Profesi. Pierre Bourdeu menegaskan bahwa posisi dominan melestarikan status
quo dan posisi yang didominasi mengubah distribusi, aturan main dan posisinya.
Analisis penjelasan Pierre Bourdieu tersebut sebagai alat analisis dalam
mengungkap aspeks sosio-politik yang ikut mewarnai dalam proses dinamika
45
Pierre Bourdieu, dalam Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa”
dalam Basis, Nomor 11-12, Tahun Ke 52, Nopember-Desember, p. 15.
46
Strategi Investasi Ekonomi= upaya untuk mempertahankan dan menambah modal.
Sedangkan strategi investasi simbolik=upaya untuk meningkatkan pengakuan sosial. Tujuannya untuk
mereproduksi persepsi dan penilaian yang mendukung kekhasannya. Ibid.
33
pertarungan perebutan posisi kekuasaan. Hal ini diharapkan dapat mengungkap
tentang drama kekuasaan yang dimainkan oleh kelompok elite dan realitas makna
yang tersembunyi dibalik pertarungan perebutan posisi diungkap secara dialektis.
Pertama, masalah makna dan tindakan kelompok elite yang terlibat dalam
pertarungan perebutan posisi tersebut. Kedua, gejala kontestasi kekuasaan dalam
reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat
Profesi. Ketiga, posisi elite yang menjadi agent dan aktor dalam persoalan reproduksi
konflik genealogis antar elite tersebut sebagai kelompok dominan. Kelompok elite
tersebut dapat mendominasi dalam praktek kekuasaan yang beroperasi dalam konflik
yang dijadikan arena pertarungan perebutan posisi.
1.5.3. Aplikasi Analisis Teori
Pareto dan Bourdieu.
Aplikasi anlisis teori Vilfredo Pareto dan Pierre Bourdieu berkaitan dengan
konsep yang ditawarkan oleh Pareto dan Bourdeu. Konsep Pareto meliputi konsep;
dekaying prosess, equilibrium, logis dan non logis, residu aktif (produktif) dan residu
konservatif dan konformistis (the persistence of aggregates) dan konsep the foxes, the
lion. Sedangkan konsep yang ditawarkan Bourdeu meliputi empat konsep yaitu
habitus, modal, arena dan distingsi (membedakan) dalam makanan, selera dan
budaya.
Aplikasi analisis teori Pareto tentang the circulation of the elite bersumber
dari munculnya konsep dekaying process (proses pembusukan). Dalam aplikasinya,
Pareto menggunakan pendekatan sosio-psikologi terhadap persoalan the circulation
34
of the elite, tetapi Pareto telah mengabaikan aseks-aspeks event politic di balik
pergantian elite yang kemudian menimbulkan fenomena konflik. Dalam realitasnya
bahwa konflik bersifat kompleks, sehingga fenomena konflik tidak bisa lepas dari
peristiwa yang terjadi di sekitarnya.
Aplikasi teori Pareto dalam menyoroti tentang ekuilibrium (keseimbangan)
terlalu sederhana. Melalui pendekatan mikanik ahistori Pareto menjelaskan bahwa
masyarakat dengan asumsi bahwa pada dasarnya masyarakat bersifat conservative.
Tindakan masyarakat mengarah pada keseimbangan dan tidak ada hubungannya
dengan kesadaran. Dalam analisisnya bahwa tindakan resistensi bersifat irrasional.
Kemudian muncul dari proses mekanis (otomatis), sehingga konflik yang terjadi,
hanya bersifat sementara (masa peralihan saja). Pada hal konflik itu bukan sederhana
seperti yang diungkapkan Pareto, tetapi muncul dengan multi faktor yaitu dominant
factor dan tigering factor.
Dalam menganalisis konsep logis (rasional) dan non logis (irrasional) dalam
tindakan individu dan kolektif, Pareto terlalu mekanis dan liner dalam melihat
tindakan tersebut dan sebagian besar tindakan manusia bersifat non logis, pada hal
tindakan manusia sangat dialektis. Selanjutnya Pareto mengungkapkan bahwa
tindakan manusia non logis tersebut muncul dari residu-residu (endapan). Akan tetapi
pandangan Pareto ini telah mengabaikan events (kejadian-kejadian) di sekitarnya.
Seperti yang iungkapkan oleh Agus Comte bahwa kejian sosiologis tidak bisa berdiri
sendiri, tetapi selalu dipengaruhi oleh kejadian lainnya.
35
Selanjutnya aplikasi analisis teori Pareto tentang kehidupan politik the foxes
dan the lion. Bagi Pareto konsep the lion digunakan untuk menyebut kaum elite yang
merebut kekuasaan dengan memakai kekuatan pisik. Kelompok the lion (kuat) ini
beroperasi dalam situasi dan kondisi negara tidak stabil. Sedangkan kelompok the
foxes (cerdik) biasanya beroperasi dalam kondisi negara sedang stabil dan kelompok
the lion bisa berubah menjadi kelompok the foxes tergantung pada situasi. Pareto
menjelaskan persoalan kehidupan politik dengan liner pada hal persoalan kehidupan
politik tersebut sangat dialektis.
Berbeda dengan aplikasi analisis teori Pierre Bourdieu yang menggunakan
analisis pendekatan structural genetic melalui kajian non micanic ahistory. Dalam
analisisnya Pierre Bourdeu menggunakan empat konsep yaitu habitus, modal, arena
dan strategi reproduksi. Bagi Bourdeu untuk merubah kehidupan berorganisasi harus
ada perubahan struktur dengan menggunakan simpel-simpel habitus karena habitus
dapat mengatasi dikotomi kehidupan sosial. Dalam menjelaskan konsep habitus
tersebut Bourdeu menggunakan analisis yang sangat realistis dan simple, pada hal
kehidupan sosial itu sangat kompleks.
Aplikasi analisis teori Bourdeu tentang penempatan modal di arena.
Bourdeu menegaskan bahwa manusia hidup dalam berbagai arena. Bagi Bourdeu
modal budaya menjadi modal yang menentukan di arena, tidak seperti analisis Karl
Marx yang menempatkan modal ekonomi menjadi prioritas utama untuk menguasai
arena. Akan tetapi analisis Bourdeu tentang strategi penempatan modal terlalu simpel,
sehingga mengabaikan modal ekonomi dan sosial yang bergerak dalam arena.
36
Kendati kedua teori Pareto dan Bourdieu memiliki kelemahan dan
keunggulan, tetapi kedua teori ini serumpun dan menyori tentang peran elte (istilah
Pareto: elite dan istilah Bourdieu: Agen) dalam fenomena konflik. Kedua teori
tersebut terjalin hubungan simbiotis yaitu saling melengkapi dalam menjelaskan
kajian studi. Analisis kajian diarahkan untuk mengungkap realitas makna yang
tersembunyi dalam konflik massa tentang Perda Zakat Profesi sebagai representasi
dari konflik genealogis NW. Penjelasan kedua teori ini belum komprehensif dalam
menganalisi persoalan pokok yaitu perebutan posisi pimpinan NW.
1.5.4. Integrasi Perspektif Teori Pareto
Dengan Teori Bourdeu
Teori Pareto dan teori Bourdieu merupakan teori elite yang memusatkan
perhatian pada peran penguasa atau elite (Pareto) dan agen (Bourdieu). Munculnya
kedua teori elite ini berada dalam periode yang berbeda dengan fokus analisis yang
berbeda pula. Fokus analisis Pareto menggunakan pendekatan sosio-psycologi dan
fokus analisis Bourdieu menggunakan pendekatan sosio-kultural. Walaupun demikian
kedua teori tersebut memiliki titik temu dalam menganalisis resistensi terhadap
persoalan konflik yang dikendalikan oleh penguasa.
Dalam analisisnya Pareto lebih terfokus pada peran elite dalam konflik.
Konflik bersifat sementara dan hanya pengulangan saja sedangkan munculnya
resistensi hanya dipandang sebagai perjuangan untuk mengembalikan keseimbangan.
Pandangan Bourdieu lebih memfokuskan pada peran agen dan massa sedangkan
37
resistensi sebagai upaya strategi penempatan kapital untuk memenangkan
pertarungan perebutan kekuasaan di arena kontestasi.
Kedua analisis perspektif teori itu menggunakan konsep strukturisasi yang
berbasis pada realitas (fakta sosial) yaitu struktur dapat membentuk individu dan
individu dapat membentuk struktur. Kedua teori sama-sama memandang bahwa
munculnya proses strukturisasi tidak bergerak dalam ruang hampa. Pareto
berpandangan bahwa struktur masyarakat (sistem sosial) yang ditegakkkan oleh
individu-individu senantiasa mengarah kepada keseimbangan yaitu pemeliharaan
keseimbangan atau pemulihan keseimbangan setelah terjadi pergolakan (konflik).47
Bagi Pierre Bourdieu bahwa pembentukan sosial distrukturkan melalui serangkaian
arena yang terorganisasi secara hirarkhis dan strukturnya ditentukan oleh relasi-relasi
diantara posisi-posisi yang ditempati oleh agen di arena.48
Kedua analisis aplikasi teori, baik Vilfredo Pareto maupun Pierre Bourdieu
memiliki kelemahan dalam menjelaskan persoalan reproduksi konflik genealogis
dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Untuk melengkapi aplikasi analisis teori
sirkulasi elite Pareto dan teori reproduksi kelas yang dikembangkan oleh Pierre
Bourdeu perlu diketengahkan analisis penjelasan fakta berdasarkan realitas empiris.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Bourdeu sebelumnya bahwa teori tanpa penelitian
empiris adalah kosong dan penelitian empiris tanpa teori adalah hampa.
47
KJ. Veeger.1993. Realitas Sosial atas hubungan individu-Individu Masyarakat Dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi (Gramedia Pustaka Utama), 73.
48
Randal Johnson (Ed.) 2010. Pierre Bourdieu Arena Produksi Kultural Sebuah Kajian
Sosiologi Budaya. Terjemahan Yudi Santoso (Yogyakarta: Kreasi Wacana),p. xix-xx.
38
1.5.5. Penjelasan Konflik Perda Zakat Profesi
Berdasarkan Realitas Empiris
Penjelasan konflik Perda Zakat Profesi berdasarkan realitas empiris
dimaksudkan untuk mempertajam dan melengkapi kelemahan penjelasan analisis
teori sirkulasi elite Vilfredo Pareto dan teori yang dikembangkan oleh Pierre
Bourdeu. Penjelasan teori elite oleh Vilfredo Pareto hanya menyoroti motif-motif
konflik secara mikanis dan ahistoris dengan pendekatan sosiopsikologi sebagai entry
point dan mengoperasionalkan melalui konsep residu dan sentimen. Akan tetapi
analisis teori Pareto tidak menjelaskan tentang reproduksi konflik karena konflik
bersifat sementara dan hanya bersifat pengulangan dari hal yang sama.
Pandangan Pierre Bourdieu merupakan antithesis dari pandangan Vilfredo
Pareto. Pierre Bourdieu dengan pendekatan struktural genetik menjelaskan tentang
arena sebagai medan pertempuran para prilaku sosial. Oleh karena itu melalui
pendekatan sosiokultural dan kajian historis, Pierre Bourdeu mengungkapkan bahwa
konflik hanyalah permainan sosial. Bagi Pierre Bourdieu persoalan konflik sangat
dialektik, sehingga berlangsung lama dan dipengaruhi oleh aspeks budaya dan hal ini
mengakibatkan terjadi reproduksi budaya.
Bertitik tolak dari pandangan kedua teori tersebut dapat diungkapkan bahwa
persoalan konflik muncul dengan multi faktor, sehingga konflik bersifat imparsial.
Persoalan munculnya konflik tidak bisa berdiri sendiri karena selalu dipengaruhi oleh
peristiwa-peristiwa yang lain. Oleh karena itu intensitas konflik sangat tergantung
39
dari kekuatan sosil yang ikut mewarnainya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya
proses dinamika konflik melalui tahapan-tahapan.
Dalam rangka melengkapi penjelasan teori Vilfredo Pareto dan teori Pierre
Pellix Bourdieu tersebut tentang hidden transcrift of reality dalam fenomena konflik
tersebut digunakan penjelasan realitas empiris. Penjelasan realitas empiris merupakan
teori-teori kecil untuk melengkapi dan menyempurnakan penjelasan teori Vilfredo
Pareto dan Pierre Bourdieu. Penjelasan realitas empiris seperti yang diuraikan
dibawah ini melalui empat tahapan.
Pertama, keunggulan dan kekuatan sebuah organisasi merupakan sumber
energi modal dari organisasi. Keunggulan dan kekuatan berubah menjadi potensi
konflik ketika muncul sistem dualisme dalam kepemimpinan. Kedua, ketika muncul
potensi konflik, masing-masing kelompok elite berupaya memperkuat modal. Mereka
masuk ke ranah publik untuk mengkonstruksi jaringan politik, sehingga terjadi
konflik genealogis NW. Walaupun konflik tersebut bersifat potensial (laten), tetapi
sudah terdapat benih yang membawa konflik ke arah manifes. Ketiga, ketika objek
yang diperebutkan semakin nyata (ada benda yang diperebutkan dan upaya dukungan
publik) maka konflik laten berubah menjadi konflik manifes. Pada tingkat ini masingmasing jaringan sosial sudah memperebutkan objek konflik. Keempat, mencari arena
konflik baru dan kemudian konflik berkembang ke arah reproduksi konflik.
Melalui penjelasan teoritik kedua pemikir yaitu Pareto dan Bourdieu,
realitas empiris yang terjadi bahwa konflik Perda Zakat Profesi bersumber pada
konflik genealogis antar elite yang berada dalam organisasi NW sebagai organisasi
40
keagamaan terbesar di NTB. Relatitas konflik genealogis antar elite NW berbentuk
struktur genealogis yang berlangsung secara turun temurun dan selalu tereproduksi
dalam soal apapun yang menyangkut kepentingan antara dua kelompok elite yang
memiliki kekuatan kapital yang sama untuk untuk menggalang masa politik.
1.6. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberi penjelasan, penafsiran dan
pemahaman tentang perebutan posisi kekuasaan antar elite NW yang menjadi sumber
reproduksi konflik genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi.
Melalui kajian metode penelitian dapat menemukan bahan informasi yang berguna
untuk menjelaskan makna dibalik munculnya persoalan konflik Perda Zakat Profesi
yang menjadi kajian studi. Secara metodologis penulis mencoba menggali informasi
dengan memahami dari dalam (from within) dengan cara menjadikan diri sebagai
bagian dari subjek sekaligus objek penelitian. Hal ini diarahkan untuk memperkaya
bahan informasi yang berkaitan dengan munculnya persoalan pokok konflik Perda
Zakat Profesi.
1.6.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan menempati posisi penting dalam penelitian karena penelitian
sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan oleh peneliti dan baik tidaknya
sebuah penelitian tergantung pada pendekatan yang digunakannya. Pendekatan dalam
penelitian ini tidak bisa lepas dari persoalan yang berkaitan dengan analisis fokus
penelitian. Analisis fokus penelitian ini lebih diarahkan untuk menyoroti pertarungan
41
perebutan posisi antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Pertarungan
tersebut berbasis pada persoalan ekonomi dan masuk pada arena politik.49
Penjelasan pertarungan perebitan posisi tersebut, peneliti menggunakan
kajian studi sosiopolitik dan dianalisis berdasarkan metode penelitian kualitatif
(qualitative research).50 Agar tidak terjebak dalam persoalan parsial dalam
menjelaskannya, metode ini menyiratkan penekanan pada proses dan makna yang
dikaji.51 Metode penelitian kualitatif merupakan kegiatan yang tersusun atas sejumlah
wawasan, disiplin, dan wasasan filosofis sejalan dengan kompleksitas pokok
permasalahan yang diteliti.
Penggunaan metode penelitian kualitatif tersebut didasari atas beberapa
alasan; Pertama, yang dikaji dalam penelitian ini adalah makna dari suatu tindakan
atau apa yang ada dibalik tindakan seseorang, sehingga the hidden transcrift of reality
di balik perebutan posisi yang menjadi fokus kajian studi dapat terungkap secara
obyektif. Kedua, metode penelitian kualitatif memberikan peluang bagi pengkajian
mendalam terhadap suatu fenomena. Hal ini karena setiap tindakan sosial (social
action) terdapat makna dan motif tindakan, sehingga dalam mengkajinya melalui
49
Karl Marx berpandangan bahwa pergulatan manusia yang paling utama dan pertama
adalah pergulatan untuk memenuhi kebutuhan materialnya. Pergulatan tersebut membawa manusia
dengan alam sebagai pemenuhan kebutuhan. Manusia melakukan transformasi alam dengan kegiatan
produksi. Hubungan sosial yang terkonstruksi didalamnya adalah hubungan antara dua kelompok
kelas social yaitu kelas yang penguasai dan kelas yang tidak menguasai alat-alat produksi. Lihat;
Faruk. 2013. Pengantar Sosiologi Sastra Dari Strukturalisme Genetik Sampai Post Modernisme
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 25-26.
50
Qualitative research = menghadirkan realita bukan fakta karena fakta bukanlah realita.
Dalam operasionalnya qualitative research menganalisis sesuatu yang kecil tetapi mendalam.
Berbeda dengan Quantitative research yang dalam operasionalnya menganalisis fakta yang dangkal
dan melebar ke samping. Sedangkan hubungan antar fakta berdasarkan hubungan kausalitas .
51
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. 2009. Han book of Qualitative Research.
Terj. Dariyatno dkk. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),p. 6.
42
analisis pemahaman (imperative understanding). Ketiga, penelitian tentang prilaku di
dalam masyarakat sangat memungkinkan menggunakan penelitian kualitatif karena
yang dikaji berkaitan dengan fenomena yang tidak bersifat eksternal, tetapi berada
dalam diri masing-masing individu yang menjadi subyek penelitian. Keempat, proses
tindakan yang di dalamnya terkait makna subyektif harus dipahami dalam kerangka
“ungkapan”, sehingga perlu dipahami dari kerangka metode penelitian kualitatif dan
salah satu pendekatannya adalah case study.
Berdasarkan
keempat
alasan
tersebut
penelitian
ini
menggunakan
pendekatan case study (studi kasus). Melalui pendekatan case study, penelitian ini
akan menjawab pertanyaan “how” dan “wy” sebagai upaya penting dalam strategi
penelitian untuk mendapatkan realitas makna yang tersembunyi. 52 Oleh karena
melalui pendekatan Case study ini dapat diberikan gambaran descriptive analitict
secara komprehensif, intens, rinci dan mendalam tentang pokok-pokok permasalahan
yang bersifat kontemporer.53 Analisis diarahkan untuk menjelaskan persoalan
pertarungan perebutan posisi yang menjadi fokus studi.
Analisis tersebut mengungkap persoalan yang berhubungan dengan motif
tindakan (akar konflik) melalui metode pemahaman interpretatif. Seperti antara lain
dalam bentuk empati yaitu usaha peneliti untuk menghayati pengalaman subyek-
52
Robert K .Yin. Studi Kasus Desain dan Metode (Jakarta: Rawali Press ), p.13-14. Lihat
pula: Cesar M. Mercado.1977. How to Conduct Social Science Research: A guide in Preparing
Research Proposals and Thesis Manuscripts (Manila: PI GAMMA MU University of the
Philippines),p. 12-13 dan Bungin.2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosifis dan
Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Jakarta: Raja Grafindo Persada),p. 21.
53
Burhan Bungin.2003. Op.cit. p. 20.
43
subyek yang diteliti yang berkaiatan dengan persoalan konflik sebagai fakta sosial.54
Hal ini karena persoalan konflik Perda Zakat Profesi muncul dari hasil akomulasi
sosiopolitik devide society akibat konflik genealogis antar elite NW. Dalam
menganalisisnya, pembahasan diawali dari munculnya the circulation of elite sampai
reproduksi konflik genealogis antar elite NW dalam arena konflik Perda Zakat.
1.6.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di dua tempat yaitu Pancor dan Anjani, Selong
Kabupaten Lombok Timur Propensi Nusa Tenggara Barat (NTB). Kedua tempat
tersebut merupakan pusat PBNW (Pengurus Besar Nahdlatul Wathan). Dalam
realitasnya, kedua tempat tersebut merupakan pusat aktivitas organisasi NW dalam
melakukan dakwah, baik aktivitas dahwah dalam aspek kultural keagamaan maupun
struktural politik sekaligus keduanya menjadi tempat pengumpulan data penelitian.
Seperti yang terlihat dalam gambar 1 dibawah ini.
Gambar; 1
Peta Pusat Lokasi Penelitian
54
Weber dalam Faruk.2013. Loc.cit.,p. 20
44
Munculnya perpecahan PBNW tersebut berlangsung sejak Muktamar NW
tahun 1998 di Praya Lombok Tengah. Hal ini telah menjadi sumber munculnya
reproduksi konflik genealogis antar elite yang saling bertarung memperebutkan posisi
dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Persoalan konflik ini tidak muncul dari
faktor tunggal, tetapi multi faktor dengan dialektika sosiopolitik yang sangat
komplek, sehingga dalam proses pengumpulan data-data, dilakukan dengan tahapan
penelitian.
1.6.3. Tahap-Tahap Penelitian
Tahapan penelitian dilakukan dengan teknik kolaborasi (kombinasi). Penulis
beranjak dari aktivitas observasi terlibat (participant observation), sesuai dengan
pendekatan case study dalam metode penelitian kualitaif yang penulis gunakan.
Untuk mengkroscek keabsahan data observasi tersebut, dilakukan langkah-langkah
penyatuan (incorporation) melalui metode wawancara mendalam (indepth interview)
dengan informan. Dalam rangka melengkapi data primer (hasil observasi dan
wawancara),
penulis
menggunakan
data-data
dokumentasi
(studi
pustaka).
Penggunaan teknik dokumentasi ini sebagai pilihan metodologis yang dapat
memberikan akses lebih maksimal dengan hasil yang optimal. Teknik penelitian ini
agak fleksibel, sesuai dengan corak analisis metode penelitian kualitatif melalui
pendekatan case study (ex post facto).55
55
Studi yang bersifat retrospektif (ex post facto), bekerja mundur, mempergunakan data
yang telah di catat. Lihat; Abdul Aziz S.R., “Memahami Fenomena Sosial Melalui Studi Kasus” dalam
Burhan Bungin. 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta; Raja Grafindo Persada),p. 20.
45
Sesuai dengan tahapan-tahapan penelitian tersebut, dalam teknik kolaborasi
penulis menggabungkan metode penelitian lapangan dan perpustakaan. Penelitian
lapangan dilakukan melalui teknik observasi partisiapasi dan wawancara mendalam.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data-data primer. Penelitian perpustakaan
dilakukan dengan teknik dokumentasi dan catatan personal yang ada relevansinya
dengan pokok-pokok permasalahan. Data yang diperoleh dari hasil library research
tersebut sebagian besar berupa buku-buku dan dokumentasi. Sedangkan data
dokumentasi telah dimasukkan dalam daftar lampiran. Penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan data-data skender (pelengkap). Teknik kolaborasi tersebut digunakan
untuk keabsahan data agar lebih objektif dalam mengalisis data yang diperoleh dari
field research dan library research. Data yang diperoleh dari hasil library research
untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil field research.
Tahap pertama, dilakukan dengan teknik observasi partisipan melalui
observasi sistematis dan intensif. Hal ini sebagai suatu metode riset yang
dikarekterisasikan oleh sebuah interaksi sosial intensif antara peneliti dengan actor
yang terlibat dalam sebuah milieu sosial tertentu. Teknik observasi tersebut menjadi
teknik utama karena ilmu dikonstruksi melalui metode obsrvasi yang diharapakan
dapat mencapai ke suatu teori empirisis yang dapat menjelaskan permasalahan.
Melalui observasi partisipan dapat dikumpulkan dalam suatu cara yang sistematis.
Tahapan kedua, dilakukan teknik Indepth interviewing (wawancara
mendalam) yang dilakukan melalui pelacakan (probing) untuk mendapatkan data
lebih dalam, utuh dan rinci. Sedangkan pengungkapannya disesuaikan dengan
46
konteks yang ada melalui informan dan penentuan informan dalam depth interview
merupakan aspek penting. Wawancara dilakukan dengan sistem classter yang
digunakan untuk memudahkan pemahaman informasi untuk mengkroscek data.
Penentuan informan berdasarkan orang yang sudah dikenal dan ada
keterlibatan langsung dalam reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda
Zakat Profesi. Penentuan informan dapat diklasifikasi menjadi tiga klaster sesuai
dengan dukungan politiknya terhadap elite NW yang berkonflik. Pertama, informan
yang pro Rauhun (R1) yang melolak penerapan Perda Zakat Profesi. Kedua, informan
pro Raihanun (R2) yang menjadi pendukung setianya. Ketiga, informan yang
menempati posisi netral. Posisi dan statusnya informan dilakukan klasifikasi secara
konprehensif yaitu dari kelompok toga (tokoh agama), toma (tokoh masyarakat),
birokrat dan guru-guru masyarakat grassroad yang terlibat langsung dalam konflik
(lihat daftar informan).
Pada tahapan ketiga, dipergunakan teknik penelitian perpustakaan. Penelitian
perputakaan tersebut dilakukan untuk melengkapi data yang diperoleh dari hasil
observasi dan wawancara berupa dokumentasi yang meliputi; buku, majalah, jurnal
dan koran. Personal documents (dokumen perorangan) merupakan materi-materi
yang dicatat dengan ungkapannya sendiri. Seperti antara lain; catatan harian, surat
pribadi, otobiografi. Dari dokumen perorangan memungkinkan dikaji segi-segi
masyarakat, peristiwa dan keadaan yang teramati secara langsung.
Dokumen-dokumen personal akan mengungkapkan bagaimana seseorang
individu telah mengalami keberhasilan ataupun kegagalan dan bagaimana
47
pengalaman tersebut mempengaruhi tindakannya. Observasi partisipan telah
memungkinkan peneliti untuk mengobservasi pandangan (features) subyektif yang
beraneka ragam dalam kehidupan seseorang seperti emosi, motif dan makna. Dengan
demikian peneliti dapat mengobservasi bagaimana aktivitas-aktivitas harian seorang
individu yang dipengaruhi faktor dari luar dapat mempengaruhi kehidupan sosial.
1.6.4. Analisis Data
Analisis data dilaksanakan terus menerus sejak awal sampai akhir
penelitian. Hal ini diharapkan dapat menghasilkan temuan penjelasan empiris untuk
melengkapi penjelasan teori yang digunakan. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan pola penalaran deduktif. Agar lebih sistematis dan mendalam dalam
menjelaskannya digunakan langkah penelitian sebagai berikut.
Pertama, peneliti berupaya menemukan tema “tentatif” yang muncul dari
topik-topik pembicaraan dengan informan. Kedua, Informan kunci tidak diikat oleh
suatu konsep tertentu. Peneliti menggunakan konsep yang efektif berdasarkan batasan
research setting. Sedangkan teknis analisis data dilakukan secara bertahap, seperti
yang tertera dalam skema 2 di bawah ini;
Skema; 2
Teknis Analisis Data
Pengumpulan
Data
Display Data
Reduksi data
Penarikan
Kesimpulan/ verifikasi
48
Dalam skema 2 tersebut dijelaskan bahwa dalam analisis pengumpulan data
terhadap setiap informasi dilakukan langkah-langkah kroscek data. Langkah kroscek
ini dilakukan melalui komentar responden yang berbeda untuk mengggali validitas
informasi. Kemudian kroscek data dikategorisasikan berdasarkan kepentingan
penelitian. Dalam kroscek data, setiap kategori data dikaji
dan dimintakan dari
responden kemudian diuji silang dengan responden lain. Kroscek dilakukan untuk
memperkecil subjektifitas dan meningkatkan objektivitas permasalahan. Di samping
itu hasil kroscek data yang telah didapatkan perlu direduksi dan dimasukkan dalam
pola, kategori, fokus sesuai dengan permasalahan.
Hasil reduksi data tersebut perlu di display secara tertentu. Hal ini dilakukan
agar masing-masing pola, kategori, fokus atau tema yang hendak dipahami tentang
duduk persoalannya dapat disimpulkan dengan pemahaman yang baik. Melalui proses
kroscek siklus inilah konstruksi kesimpulan penelitian dapat dibuat. Tujuannya untuk
memperkokoh dan memperluas bukti yang dijadikan landasan pengambilan
kesimpulan tersebut. Di dalam kroscek pengujian data dilakukan terhadap interpretasi
atas penjelasan sebelumnya dalam uraian logis dan kasusal. Hal ini bertujuan untuk
memproleh bukti penguat kesimpulan dari berbagai sumber.
Adapun mekanisme penelitian dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut; Pertama, reduksi data. Peneliti melakukan penyederhanaan, pengabstrakkan
dan transformasi data kasar yang muncul dalam field note. Hal ini dilakukan sebelum
mengumpulkan bahan empirik. Peneliti mereduksi bahan yang didapat dari informan,
49
sehingga dapat diperoleh kategori-kategori tematik melalui simbol.56 Tujuannya agar
diperoleh temuan-temuan tematik
yang lebih
rinci
dan dianalisis
secara
komponensial.
Kedua, display (sajian) data. Setelah data direduksi kemudian disajikan
(material empiric display) dalam bentuk bahan dapat terorganisir. Kemudian peneliti
membuat bentuk ringkasan yang terstruktur. Hal ini dilakukan dengan menjelaskan
masing-masing komponensial pada setiap domain. Dengan demikian memudahkan
proses analisis dalam mengangkat makna yang tersembunyi dibalik realitas. Agar
memudahkan pemahaman, analisis dilakukan dengan mengacu pada perumusan
masalah. Analisis data ini dilakukan dengan mendepkripsikan data dalam bentuk
narasi yang disusun secara logis dan sistematis. Tujuannya untuk menjawab setiap
permasalahan. Kemudian dirumuskan temuan konsep dan makna dari reproduksi
konflik elite di Lombok Timur itu.
Ketiga, verifikasi data. Peneliti melakukan penafsiran terhadap makna dari
sajian bahan empirik (material empiric display). Dalam verifikasi, peneliti mencatat
keteraturan, pola-pola dan penjelasan archetype (contoh yang sempurna) yang
diperoleh
dari
subjek
penelitian.
Verifikasi
dilakukan
bersamaan
dengan
berlangsungnya proses pengumpulan bahan empirik. Kemudian dikonfirmasikan
dengan informan tentang catatan yang ada (informasi baru) melalui diskusi dan
56
Simbol=alat untuk memperluas penglihatan dan memperdalam pemahaman yang
berfungsi daya merangsang imajinasi dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan relasi. Sebuah simbol
pada mulanya adalah sebuah benda, tanda atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali
dan “arti” yang sudah dipahami. Lihat; F.W. Dillistone . 2002. The Power of Symbols.Terjemahan: A.
Widyamartaya.(Yogyakarta: Kanisius),p. 20-21, 127 dan 197.
50
seminar sesuai dengan perkembangan di lapangan. Tujuannya sebagai bahan
crossceck melalui penelusuran data. Proses verifikasi ini memperkecil kekuarangan
peneliti dengan memberikan pembatasan dan memverifikasi bahan empirik yang ada.
1.6.5. Kendala Penelitian
Ken teknik pengumpulan data ini berkaitan dengan persoalan kesulitan yang
muncul selama dalam penelitian tentang reproduksi konflik genealogis antar elite
dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Sehubungan dengan hal tersebut pada
sementara orang, istilah penelitian dan peneliti digambarkan terlampau “angker”.
Gambaran ini tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Dengan adanya
penemuan dan pemahaman fakta-fakta penelitian, sedikit banyak mengurangi hal-hal
gelap yang tidak diketahui sebelumnya.57 Proses memahami fakta penelitian selalu
melibatkan penafsiran berdasarkan pengalaman manusia (the interpretative
perspective of human experience).58 Proses pemahaman fakta-fakta tersebut, terdapat
beberapa kesulitan yang penulis temukan. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya
keterbatasan dalam pengumpulan data baik dalam penelitian lapangan (observasi dan
wawancara) maupun dalam penelitian perpustakaan (dokumtasi).
Keterbatasan pengumpulan data dalam observasi berkaitan dengan
karakteristik (hirarkhis, sensitif, normatif, dan isolatif) yang berkembang dalam
komunitas pesantren. Walaupun sudah terdapat surat ijin penelitian, tetapi banyak
57
John W.Best.Op.cit.,p. 33-34.
Fakta = berbeda dengan kenyataan. Fakta berada dalam pikiran, lebih mengacu pada
sesuatu (terbentuk dari kesadaran seiiring dengan pengalaman) daripada kenyataan exact. Sesuatu yang
tergambar dalam pikiran secara langsung memiliki hubungan timbal balik dengan kenyataan.
Kenyataan mengacu pada fakta. Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan (Malang: Bumi
aksara(,p. 1-3.
58
51
dilakukan secara privasi tanpa diketahui sebelumnya jika hal tersebut berkaitan
dengan aspeks prilaku. Persoalan semakin komplek jika melakukan observasi yang
berkaitan dengan persoalan prilaku konflik.
Observasi yang berkaitan dengan persoalan konflik dalam kehidupan
pondok pesantren, khususnya pondok pesantren NW merupakan sesuatu yang
sensitif, isolatif (tertutup) dan hampir tidak terungkap, bahkan sengaja dibumieskan.
Hal ini karena persoalan konflik tersebut merupakan sesuatu yang sangat “tabu”.
Persoalan konflik yang terjadi dalam pondok pesantren NW bertautan dengan “aib”.
Hal ini berarti bahwa jika membongkar sesuatu konflik berarti telah membongkar aib
pondok pesantren NW. Jika ada yang membeberkan konflik tersebut berarti tidak
mengerti “unggah ungguh” dan dianggap sembrono serta akan kuwalat. Oleh karena
itu sebagai “otokritik” ketika peneliti melakukan observasi, persoalan kesemapatan
dan penempatan diri selalu menjadi nafas dan persoalan penting untuk menemukan
dan memahami data yang dibutuhkan.
Dalam melakukan wawancara yang berkaitan dengan komunitas pesantren
bukanlah isu sensitif dan mereka sangat terbuka. Ketika wawancara itu berbenturan
dengan dengan persoalan prilaku, terutama tentang prilaku konflik, kebanyakan
wawancara dengan informan menjadi sedikit tertutup atau hanya memberikan
jawaban yang sifatnya normatif. Wawancara ini terutama ketika dilakukan oleh
informan yang menempati posisi-posisi yang bersentuhan langsung dan berada dalam
dilingkaran komunitas pesantren. Hal ini telah menyulitkan peneliti untuk
memperoleh data yang mendalam.
52
Berbeda ketika melakukan wawancara dengan informan dalam kelompok
akademisi, aktivis santri dan beberapa aktor-aktor konflik (komunitas pesantren dan
non pesantren) tetap terbuka dalam memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti.
Data yang didapatkan ini mengandung bias cendekiawan, hal ini menyulitkan bagin
peneliti untuk melakukan verifikasi data. Untuk memvalidasi data peneliti terus
berusaha untuk menguranginya melalui tindakan kroscek (cek silang) dengan
beberapa informan lain.
Keterbatasan dalam teknik pengumpulan data berikutnya berkaitan dengan
persoalan peneliti dalam melakukan teknik dokumentasi dan catatan personal. Untuk
mendapat data yang berasal dari dokumentasi memang peneliti cukp hati-hati, apalagi
peneliti berasal dari luar komunitas pesantren yang selalu dicurigai. Dokumen lama
yang di cari sulit ditemukan, sehingga menyulitkan bagi peneliti. Oleh karena itu
peneliti sering menggunakan “media permaianan” untuk mendapatkan data, baik data
wawancara dengan informan maupun data dokumentasi.
Dalam rangka mengatasi keterbatasan teknik pengumpulan data, peneliti
menyiapkan berbagai teknik dan instrumen yang digunakan sebagai media
komunikasi dengan informan, terutama informan kunci. Beberapa teknik yang
dilakukan peneliti berikut ini; Pertama, memanfaatkan momen informan. Misalnya
perayaan agama Islam seperti salah satunya momen bulan maulud dan hari lebaran
untuk bertemu dengan informan kunci. Kedua, memanfaatkan keluarga dan melalui
keluarga informan peneliti menyelinap dalam keperluan yang dimunculkan oleh
keluarga informan. Ketiga, peneliti menggunakan media catur.
53
Ketika informan itu adalah para pejabat (Bupati dan wakil Bupati), peneliti
menghadap dengan menyiapkan program panitia catur kemudian menyiapkan
pertanyaan yang berhubungan denga konflik Perda Zaka Profesi. Hal ini dilakukan
untuk mengindari munculnya kesan adanya interogasi dan kecurigaan, sehingga
peneliti tidak terancam dan tujuan penelitian dapat berjalan dengan mulus tanpa
menimbulkan persoalan baru dalam penelitian ini. Agar uraian hasil penelitian ini
lebih terperinci, komprehensif
(imparsial) dan tidak terjebak dalam persoalan
keterbatasan tersebut uraian dirangkai melalui sistematika penulisan.
1.7. Sistematika Penulisan
Dalam rangka mensistematiskan bentuk penulisan, penulis menganalisis
berdasarkan uraian dalam bab per bab yang dirangkai menjadi enam bab. Proses
uraian penulisan diawali dengan bab I sebagai bab pendahuluan dan diakhiri dengan
bab VI sebagai bab penutup. Bab pendahuluan digunakan sebagai entry point dalam
membuka pengetahuan tentang pentingnya persoalan penelitian dan posisi kebaruan
yang dikaji dengan kajian studi terdahulu. Bab pendahuluan tersebut berisi uraian
tentang latar belakang, permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan
pustaka (review studi terdahulu), perspektif teori dan metode penelitian.
Uraian tentang Bab II membahas tentang persoalan kekuatan ekonomi,
politik, kultural keagamaan dan potensi konflik di tubuh organisasi NW. Kekuatan
dan keunggulan NW tersebut merupakan kekuatan daerah Lombok Timur sebagai
kota “seribu masjid”. Hal ini telah ikut mewarnai dan mempengaruhi persoalan
pertarungan perebutan posisi pimpinan NW dalam arena konflik Perda Zakat Propesi
54
yang menjadi focus kajian studi. Kekuatan dan keunggulan organisasi NW tersebut
telah dapat memberikan kontribusi terhadap eksistensi organisasi NW. Akan tetapi
ketika muncul dualisme kepemimpinan (dua PBNW) di tubuh organisasi NW dapat
mengakibatkan munculnya devide society.
Hal ini menyebabkan
kekuatan dan
keunggulan NW tersebut menjadi potensi konflik sekaligus sebagai akhir uraian di
bab II. Kemudian untuk menjawab pertanyan penelitian, penulis uraikan dalam bab
III, IV, dan babV.
Bab III menguraikan tentang terjadinya reproduksi konflik genealogis antar
elite yang saling bertarung memperebutkan posisi pimpinan di tubuh NW. Dalam hal
ini uraian berawal dari munculnya konflik genealogis dalam keluarga NW kemudian
hal tersebut meluas ke organisasi NW. Akan tetapi intensitas konflik genealogis NW
hanya terjadi dalam internal organisasi NW dan ketika itu intensitas konflik tersebut
belum meluas ke masyarakat Sasak. Sedangkan status PBNW (Pengurus Besar
Nahdlatul Wathan) masih bersifat tunggal dan orientasi keagamaan warga NW masih
menggunakan paradigma sami‟naa wa atha‟naa (kami mendengar dan kami patuh).
Adapun uraian di bab III di akhiri dengan pembahasan mengenai munculnya eliteelite politik lokal yang memanfaatkan konflik genealogis tersebut sebagai politic
opportunity. Mereka saling menanam benih-benih kepentingan politiknya untuk
mereproduksi kekuasaan dan sejak itu NW telah menjadi instrumen dan arena eliteelite politik lokal.
Bab IV menguraikan tentang tranformasi konflik genealogis antar elite NW
dalam arena konflik Perda Zakat Profesi. Uraian bab IV tersebut berawal dari
55
munculnya dualisme kepemimpinan PBNW di tubuh organisasi NW di awal
pemerintahan Reformasi bergulir di Lombok Timur. Sejak itu organisasi NW telah
terbelah dan memiliki dua pusat aktivitas dakwah yaitu di Pancor (dikuasai oleh
Rauhun) dan di Anjani (dikuasai oleh Raihanun). Begitu pula warga NW, birokrasi
dan masyarakat Sasak di Lombok Timur berada dalam devide society. Rangkaian
uraian di bab IV diakhiri dengan uraian perubahan arena pertarungan perebutan posisi
pimpinan antar kelompok elite NW. Dari arena organisasi NW ke arena konflik Perda
Zakat Profesi. Dalm proses peralihan arena tersebut, masing-masing kelompok elite
NW saling mendominasi dengan hostile behavior. Hal ini menyebabkan persoalan
reproduksi konflik genealogis tersebut semakin kompleks dalam konflik Perda Zakat
Profesi yang menjadi arena pertarungan.
Bab V menguraikan tentang bagaimana dinamika dan implikasi reproduksi
konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat Profesi terhadap perebutan posisi
antar elite di tubuh NW. Analisis uraian tersebut berbasis pada persoalan kekuatan
elite NW (diluar struktur) di dalam struktur kebijakan public (public policy).
Kekuatan elite di luar struktur tersebut dapat mengendalikan konflik Perda Zakat
Profesi yang berkembang di Lombpok Timur. Uraian selanjutnya adalah implikasi
terhadap posisi kelompok kekuatan politik antar kedua elite NW untuk melakukan
dominasi kekuasaan
dalam konflik Perda Zakat Profesi yang dijadikan arena
pertarungan. Sehubungan dengan persoalan implikasi tersebut dapat diungkapkan dua
pokok persoalan yang berkaitan dengan rivalitas dan loyalitas warga NW yang saling
mendominasi kekuasaan. Hal ini dapat mengkonstruksi munculnya dua kelompok
56
solidaritas antar elite NW dengan prilaku yang saling bermusuhan (hostile behavior)
yaitu saling bela bantel (saling bela kelompok).
Bab VI sebagai bab penutup yang membahas tentang kesimpulan yang
berisi uraian tentang realita bukan fakta sebagai jawaban penelitian. Analisis uraian
dalam bab VI ini lebih menyoroti tentang the hidden transcrift of reality dibalik
munculnya persoalan reproduksi konflik genealogis dalam arena konflik Perda Zakat
Profesi. Kemudian pembahasan di bab VI ini juga dirangkai dengan uraian tentang
rekomendasi akademik. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap uraian tentang
berbagai pendekan dan saran tindak yang berkaitan dengan persolan resolusi konflik
genealogis antar elite dalam arena konflik Perda Zakat Profesi.
Download