BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
ANAK, KEJAHATAN SEKSUAL DAN PENDIDIK
2.1
Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Mengkaji permasalahan-permasalahan tentang perlindungan hukum
terhadap anak, terlebih dahulu kita harus memahami apa yang dimaksud dengan
anak. Setelah memahami apa yang dimaksud dengan anak barulah kita dapat
memahami perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban dan hak-hak
anak sebagai korban kejahatan seksual.
2.1.1
Pengertian Anak
Berdasarkan konsideran UU Perlindungan Anak, dikatakan
ahwa anak
adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat
harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa
anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,
memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.24
Berdasarkan Pasal 1 Optional Protocol to the Sale of Children, Child
Prostitution, and Child Pornography (2000) atau Protocol Opsional terhadap
Konvensi Hak Anak Mengenai Perdagangan Anak, Pelacuran Anak dan
Pornografi Anak (2000), yang selanjutnya disebut Kovensi Hak Anak,
mendefinisikan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18
24
Nasir Jamil, 2013, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar grafika, Jakarta, h. 8.
22
23
tahun kecuali berdasarjan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan
bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.25
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
Pasal 3, 4 dan 5 mengatur bahwa anak adalah anak yang belum mencapai 18
tahun, namun khusus usia anak yang dapat diajukan atau diproses oleh hukum
melalui sistem peradilan anak yakni anak yang usianya telah mencapai 12 tahun
tetapi belum mencapai 18 tahun, sedangkan dalam Pasal 1 nomor 2 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak disebutkan bahwa
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah
kawin.
Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana di letakan dalam
pengertian seorang anak yang belum dewasa, sebagai orang yang mempunyai
hak-hak khusus dan perlu mendapatkan perlindungan menurut ketentuan hukum
yang berlaku. Pengertian anak dalam hukum pidana menimbulkan aspek hukum
positif terhadap proses normalisasi anak dari prilaku menyimpang untuk
membentuk kepribadian dan tanggung jawab untuk anak tersebut. Pengertian anak
dalam hukum KUHP dapat dilihat dari Pasal 287 KUHP, dalam Pasal disebutkan
bahwa anak dibawah umur adalah apabila anak tersebut belum mencapai usia 15
tahun.
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, terdapat dalam Bab I Ketentuan Umum. Pasal 1 angka 5
menyebutkan “anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan
25
Rover, C. De, 2000, To Serve And To Protect, Raja Grafindo Persada, Jakarta h. 369.
24
belum menikah, termasuk anak yang masih ada dalam kandungan apabila hal
tersebut adalah demi kepentingannya”.
Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan
bangsa tergantung pula dengan baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah
kewajiban bersama, agar anak dapat tumbuh berkembang dengan baik dan dapat
menjadi pengemban risalah peradaban bangsa ini. Berkaitan dengan hal tersebut,
maka penting bagi kita mengetahui hak-hak anak.
Konstitusi Indonesia, UUD NRI 1945 sebagai norma hukum tertinggi telah
menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pencantuman hak anak dalam batang tubuh konstitusi, maka bisa diartikan bahwa
kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal penting yang harus
dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan sehari-hari.26
Lebih lanjut pengaturan hak-hak anak di Indonesia saat ini, juga diatur
secara khusus dalam UU Perlindungan Anak dan keputusan presiden Nomor 36
Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Pasal 1 butir 12 UU
Perlindungan Anak, disebutkan bahwa hak anak adalah bagian dari hak asasi
manusia ang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,
masyarakat, negara, pemerintah dan pemerintah daerah. Slain itu hak anak juga di
atur dalam Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 dan 18 UU
Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak tersebut merupakan bentuk
26
Nasir Jamil, op.cit, h. 12
25
konsentrasi dari pelaksanaan Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi oleh
Indonesia.
Peratifikasian Konvensi Hak-Hak Anak berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On the Right of The Child
( Konvensi tentang Hak-Hak Anak / KHA ), maka sejak tahun 1990 tersebut
Indonesia terikat secara hukum untuk melaksanakan ketentuan yang termaksud di
dalam Konvensi Hak-Hak Anak.27
2.1.2
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Menjadi Korban
Perlindungan hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap
hukum agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat penegak
hukum dan juga bisa berarti perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap
sesuatu. Perlindungan hukum juga dapat menimbulkan pertanyaan yang kemudian
meragukan keberadaan hukum. Hukum sejatinya harus memberikan perlindungan
terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena setiap orang
memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum. Setiap aparat penegak hukum
jelas wajib menegakkan hukum dan dengan berfungsinya aturan hukum, maka
secara tidak langsung pula hukum akan memberikan perlindungan terhadap setiap
hubungan hukum atau segala aspek dalam kehidupan masyarakat yang diatur oleh
hukum itu sendiri.
Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
27
Nasir Jamir, op.cit, h. 13
26
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hakhak yang diberikan oleh hukum.28
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan
kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat
preventif maupun dalam bentuk yang bersifat represif, baik yang secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.
Perlindungan terhadap korban tindak pidana kejahatan seksual adalah suatu
kegiatan pengembangan hak asasi manusia dan kewajiban hak asasi manusia.
Perhatian dan perlindungan terhadap korban tindak pidana kejahatan seksual
harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman
gangguan mental, fisik, dan sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai
kemampuan untuk memelihara, membela serta mempertahankan dirinya. Korban
tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi juga mengalami penderitaan
secara psikis. Adapun penderitaan yang diderita korban sebagai dampak dari
kejahatan seksual dapat dibedakan menjadi :
1. Dampak secara fisik,
2. Dampak secara mental,
3. Dampak dalam kehidupan pribadi dan sosial.
28
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 53
27
Usaha dalam perlindungan terhadap anak dari tindak pidana kejahatan
seksual tersebut terkandung didalam UU Perlindungan Anak yang dapat
disimpulkan sebagai berikut :
a.
Pasal 76D menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
persetubuhan dengan atau dengan orang lain.
b.
Pasal 76E menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan
kekerasana atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
untuk melakukan atau membiarkan diakukan perbuatan cabul.
c.
Pasal 76I menyatakan bahwa setiap orang dilarang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau
turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual
terhadap anak.
Bentuk perlindungan terhadap anak diatas merupakan suatu bentuk atau
usaha yang diberikan oleh KUHP dan UU Perlindungan Anak kepada anak agar
anak tidak menjadi korban dari suatu tindak pidana kejahatan seksual, maka usaha
yang dilakukan menurut Pasal 69A UU Perlindungan Anak yang memberikan
perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual meliputi :
a.
Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai
kesusilaan,
b.
Rehabilitas sosial,
28
c.
Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan,
dan
d.
Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat
pemeriksaan mulai dari pendidikan, penuntutan, sampai dengan
pemeriksaan di persidangan.
Selain itu terdapat juga hak-hak anak yang menjadi korban tindak pidana
kejahatan seksual antara lain :
a.
Hak untuk dilayani karena penderitaan mental, fisik dan rohani atau
penyimpangan prilaku sosial.
b.
Hak untuk didahului dalam proses pemeriksaan penerimaan laporan,
pengaduan, dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan.
c.
Hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari
akibat laporan dan pengaduan yang diberikan.
d.
Hak untuk mendapatkan penjelasan mengenai kejahatan yang
dilakukan terhadap diri anak.
e.
Hak untuk mendapat perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang
mengancam, menganiaya, dan memeras yang menimbulkan kerugian
material dan spiritual.
f.
Hak untuk memohon ganti kerugian atas penderitaan yang dialami
oleh anak.
g.
Hak untuk memohon persidangan tertutup.
h.
Hak untuk didampingi oleh pengacara atau penasihat hukum.
i.
Hak untuk mendapat fasilitas-fasilitas persidangan.
29
Upaya perlindungan terhadap anak perlu secera terus-menerus di upayakan
demi tetap terpeliharanya kesajetraan anak, mengingat anak merupakan salah satu
aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa di kemudian hari. Kualitas
perlindungan terhadap anak hendaknya memiliki derajat atau tingkat yang sama
dengan perlindungan terhadap orang-orang yang berusia dewasa, dikarenakan
setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum.
2.2
Kejahatan Seksual
Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus pidana, pembicaraan mengenai
hukum pidana pun semakin menjadi sorotan. Salah satu kasus pidana yang
jumlahnya mengalami peningkatan adalah tindak pidana kejahatan seksual.
Pelaku tindak pidana kejahatan seksual tidak terbatas pada umur, jenis kelamin
maupun tingkat strata sosial. Pada kasus kejahatan seksual, anak-anak merupakan
golongan yang paling rentan menjadi korban.
2.2.1
Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaar feit, namun
demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaar feit.
Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan arti terhadap istilah
strafbaar feit menurut persepsi dan sudut pandang mereka masing-masing.29
Strafbaar feit, terdiri dari tiga suku kata yakni, straf yang diterjemahkan sebagai
pidana dan hukum, kata baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan
untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan
perbuatan. Strafbaar feit menurut pendapat Simons ialah kelakuan (handeling)
29
Wirjono Prodjodikoro, 2011, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Refika
Aditama, Bandung, h. 59
30
yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung
jawab. Sedangkan menurut pendapat Van Hamel, strafbaar feit adalah kelakuan
orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.30
Wirjono Prodjodikoro, menterjemahkan istilah strafbaarfeit sama dengan
tindak pidana yakni suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum
pidana. Simons, merumuskan bahwa strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tindakan
yang menurut rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang
dapat dihukum.
Muljatno, seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
menganggap lebih tepat dipergunakan istilah perbuatan pidana, yakni sebuah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai dengan ancaman
(sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan
tersebut.31
Lebih jauh Moeljatno menjelaskan antara larangan dan ancaman ada
hubungan yang sangat erat, oleh karenanya kejadian tidak dapat dilarang jika yang
menimbulkan bukan orang, maka dalam hal ini orang tidak dapat diancam pidana
jika bukan karena perbuatan yang ditimbulkan olehnya. Dan untuk menyatakan
hubungan yang erat dipakailah istilah perbuatan, sebuah pengertian yang abstrak
yang menunjukkan kepada dua keadaan yang konkrit yaitu, pertama adanya
kejadian-kejadian tertentu dan kedua adanya orang yang berbuat yang
30
31
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakaarta, h. 61
Moeljatno, op.cit, h. 63
31
menimbulkan kejadian itu. Sedangkan untuk dapat dikatakan adanya perbuatan
pidana menurut Moeljatno harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Perbuatan
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)
c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).
Berdasarkan hal diatas, dalam hal dilarang dan diancamnya perbuatan
pidana, yaitu berdasarkan asas legalitas yang terkandung di dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang dimana suatu asas yang menentukan bahwa tidak ada suatu perbuatan
yang dilarang dan diancam pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan.
Suatu tindakan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah
memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana itu sendiri. Adapun unsur-unsur dari
tindak pidana, yaitu :
1. Unsur formal meliputi :
a. Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak
berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia.
b. Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan
dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah
mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu
kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka
tidak ada tindak pidana.
32
c. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP
mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana
yang telah dilakukan.
d. Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan
yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang
melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu
dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat
perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan
yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat
yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
e. Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak
sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar
dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
2.
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum,
yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan
yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi
rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum,
maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana.
Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua
macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang
terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi :
33
a. Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan
manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338
KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP).
b. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik
material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya
pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan
lain-lain.
c. Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana itu
harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan
dengan tegas dalam perumusan.
Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana, beberapa tindak pidana
yang untuk mendapat sifat tindak pidanya itu memerlukan hal-hal objektif yang
menyertainya, seperti penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan
(Pasal 281 KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP).
Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.
Unsur yang memberatkan tindak pidana. Hal ini terdapat dalam delik-delik
yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu,
maka ancaman pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang
(Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun,
jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat ancaman pidana diperberat lagi
menjadi pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
34
Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana. Misalnya dengan sukarela
masuk tentara asing, padahal negara itu akan berperang dengan Indonesia,
pelakunya hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).
Tindak pidana juga mengenal adanya unsur subjektif, unsur ini meliputi :
a. Kesengajaan (dolus), dimana hal ini terdapat di dalam pelanggaran
kesusilaan (Pasal 281 KUHP), perampasan kemerdekaan (Pasal 333
KUHP), pembunuhan (Pasal 338).
b. Kealpaan (culpa), dimana hal ini terdapat di dalam perampasan
kemerdekaan (Pasal 334 KUHP), dan menyebabkan kematian (Pasal
359 KUHP), dan lain-lain.
c. Niat (voornemen), dimana hal ini terdapat di dalam percobaan atau
poging (Pasal 53 KUHP)
d. Maksud (oogmerk), dimana hal ini terdapat dalam pencurian (Pasal
362 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), penipuan (Pasal 378
KUHP), dan lain-lain
e. Dengan rencana lebih dahulu (met voorbedachte rade), dimana hal
ini terdapat dalam membuang anak sendiri (Pasal 308 KUHP),
membunuh anak sendiri (Pasal 341 KUHP), membunuh anak sendiri
dengan rencana (Pasal 342 KUHP).
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut
melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak
pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar,
35
berdasarkan Pasal 50, Pasal 51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri
meliputi :32
a. Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undangundang.
b. Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus
diatur dalam sebuah undang-undang tetapi juga dengan perasaan
keadilan dalam masyarakat.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis
pidana yang tercantum dalam Pasal 10. Ada dua macam jenis pidana yakni pokok
dan pidana tambahan. Jenis- jenis pidana pokok menurut Pasal 10 Kitab Undangundang Hukum Pidana ialah sebagai berikut :
a. Pidana mati
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda.
Adapun bentuk pidana tambahannya dapat berupa :
a. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu dan
c. Pengumuman keputasan hakim.
Dalam kaitan jenis-jenis pidana, pemerintah berkali-kali merumuskan
perubahan atau penyempurnaan melalui rancangan KUHP, misalnya dalam
rancangan KUHP Tahun 1982-1983 disebutkan adanya pidana pemasyarakatan,
32
Law Community, “PENGERTIAN HUKUM PIDANA DAN TINDAK PIDANA,
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA, SYARAT MELAWAN HUKUM, KESALAHAN,
PERCOBAAN (POOGING), GABUNGAN TINDAK PDANA (SAMENLOOP) DAN
PENYERTAAN”, Law Community, https://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukumpidana/ diakses pada tanggal 18 januari 2016
36
tetapi dalam naskah rancangan KUHP baru (hasil penyempurnaan tim intern
Departemen Kehakiman), pidana kemasyarakatan tidak ada, yang ada adalah
pidana kerja sosial. 33
2.2.2
Pengertian Tindak Pidana Kejahatan Seksual
Kejahatan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi sasaran hingga menimbulkan reaksi negatif: rasa malu, marah,
tersinggung dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban kejahatan.
Kejahatan seksual terjadi ketika pelaku mempunyai kekuasaan yang lebih dari
pada korban. Kekuasaan dapat berupa posisi pekerjaan yang lebih tinggi,
kekuasaan ekonomi, "kekuasaan" jenis kelamin yang satu terhadap jenis kelamin
yang lain, jumlah personal yang lebih banyak. 34
Rentang kejahatan seksual ini sangat luas, meliputi: main mata, siulan nakal,
komentar yang berkonotasi seks, humor porno, cubitan, colekan, tepukan atau
sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan tertentu atau isyarat yang bersifat
seksual, ajakan berkencan dengan iming-iming atau ancaman, ajakan melakukan
hubungan
seksual
sampai
perkosaan.
Kejahatan
juga
dapat
berupa
komentar/perlakuan negatif yang berdasar pada gender, sebab pada dasarnya
kejahatan seksual merupakan kejahatan gender, yaitu kejahatan yang didasarkan
atas gender seseorang, dalam hal ini karena seseorang tersebut adalah
perempuan.35
33
Bambang Waluyo, 2009, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 10.
Abu Huraerah, 2009, Kekerasan Terhadap Anak Jakarta, Nuansa, Jakarta, 72
35
Wahid Abdul, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas
Hak Asasi Perempuan), Refika Aditama, Bandung, h. 40
34
37
Pelaku kekerasan seksual yang biasanya merupakan keluarga dekat,
misalnya: teman dekat, kekasih, saudara, ayah (tiri maupun kandung), guru,
pemuka agama, atasan, dan lainnya. Dalam banyak kasus lainnya, perkosaan
dilakukan oleh orang-orang yang baru dikenal dan semula nampak sebagai orang
baik-baik yang menawarkan bantuan, misalnya mengantarkan korban ke suatu
tempat. Kejahatan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja, seperti di bus,
pabrik, supermarket, bioskop, kantor, hotel, trotoar, dsb baik siang maupun
malam.
Kejahatan seksual di tempat kerja seringkali disertai dengan janji imbalan
pekerjaan atau kenaikan jabatan. Bahkan bisa disertai ancaman, baik secara
terang-terangan ataupun tidak. Kalau janji atau ajakan tidak diterima bisa
kehilangan pekerjaan, tidak dipromosikan, dimutasikan, dsb. Kejahatan seksual
bisa juga terjadi tanpa ada janji atau ancaman, namun dapat membuat tempat kerja
menjadi tidak tenang, ada permusuhan, penuh tekanan, dan sebagainya. Hampir
semua korban kejahatan seksual adalah perempuan tidak memandang status sosial
ekonomi, usia, ras, pendidikan, penampilan fisik dan agama.
Dalam rumusan UU Perlindungan Anak tidak menggunakan istilah
perkosaan tetapi menggunakan istilah kejahatan seksual. Istilah kejahatan seksual
digunakan karena jauh lebih luas dari istilah perkosaan, karena di dalam kejahatan
seksual dapat dimasukan berbagai bentuk perbuatan lainnya yang berkaitan
dengan seksualitas seseorang seperti perbuatan cabul, kejahatan seksual dan lainlain.
38
Sedangkan istilah yang digunakan dalam KUHP adalah kejahatan terhadap
kesusilaan, tidak menggunakan istilah kejahatan seksual (sexual violence) yang
diartikan sebagai perbuatan pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat
dilakukan terhadap laki-laki ataupun perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan
menyebabkan masyarakat terutama aparat hukum sering terjebak dalam
menempatkan pasal-pasal kesusilaan semata-mata sebagai persoalan pelanggaran
terhadap nilai-nilai budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan
dengan nafsu perkelaminan (birahi), bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa
seseorang. Dalam KUHP kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam BAB XIV,
sedangkan pasal yang mengatur tentang kejahatan seksual terdapat dalam Pasal
281 sampai dengan 296.
Secara umum unsur - unsur tindak pidana kejahatan seksual terdiri dari dua
unsur, yaitu unsur-unsur yang bersifat objektif dan unsur-unsur yang bersifat
subjektif. Adapun penjelasan tentang unsur-unsur tersebut adalah sebagai
berikut:36
a.
Unsur Objektif
Yang dimaksud dengan unsur objektif adalah: semua unsur yang berada di
luar keadaan batin manusia atau si pembuatnya, yakni meliputi 37 :
1.
Perbuatan manusia, yaitu: suatu perbuatan atau tingkah laku manusia
yang terdiri dari perbuatan nyata / tingkah laku aktif (bandelen). atau
perbuatan yang tidak nyata / tingkah laku pasif (nalaten) yang
36
Adami Chazawi, 2014, Pembelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 83.
37
ibid, h.86
39
merupakan unsur mutlak penyebab terjadinya tindak pidana. Adapun
yang dimaksud dengan tingkah laku aktif adalah suatu bentuk yang
untuk mewujudkan atau untuk melakukannya diperlukan gerakan
nyata, misalnya: perbuatan bersetubuh (Pasal
287 KUHP) dan
perbuatan sodomi/ homoseksual (Pasal 292 KUHP). Sementara itu
yang dimaksud dengan tingkah laku pasif (nalaten) adalah suatu
bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu, yang
seharusnya seseorang itu dalam keadaan tertentu harus melakukan
perbuatan aktif dan dengan tidak berbuat demikian, seseorang itu
disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Contoh
dari perbuatan negatif atau tingkah laku pasif (nalaten) yaitu: tidak
melaporkan pada yang berwajib, sedangkan ia mengetahui ada dua
orang yang berlawanan jenis dan tidak terikat perkawinan sedang
melakukan perbuatan persetubuhan atau orang yang sesama jenis
sedang melakukan perbuatan sodomi (homoseksual) terhadap anak di
bawah umur.
2.
Akibat perbuatan
yaitu: akibat yang ditimbulkan dari wujud
perbuatan yang telah dilakukan. Dan akibat ini perlu ada supaya si
pembuat dapat dipidana. Misalnya: kehilangan masa depan korban
atau kehamilan yang tidak dikehendaki oleh korban sehingga korban
mengalami trauma.
3.
Keadaan - keadaan tertentu. Keadaan - keadaan yang dimaksud boleh
jadi
terdapat
pada
waktu
melakukan
perbuatan.
Misalnya:
40
ditemukannya pakaian yang berserakan serta tidak dikenakan oleh
pemiliknya karena sedang melakukan persetubuhan.
4.
Sifat melawan hukum dan sifat yang dapat dipidana. Suatu perbuatan
dikatakan melawan hukum apabila bertentangan dengan undangundang. Melawan hukum merupakan suatu sifat yang tercela atau
terlarangnya suatu perbuatan, dimana sifat - sifat tercela tersebut dapat
bersumber pada undang - undang (melawan hukum formil) dan dapat
bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Sedangkan
sifat dapat dipidana artinya: bahwa perbuatan itu harus dipidana.
b.
Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada
keadaan batin orangnya.38 Atau dengan kata lain perbuatan itu harus
dipertanggung jawabkan kepada orang yang telah melakukan pelanggaran
tersebut. Hanya orang yang dapat dipertanggung jawabkan yang dapat
dipersalahkan. Jikalau orang yang melakukan pelanggaran itu adalah orang yang
kurang sempurna akalnya atau sakit jiwanya (gila) maka perbuatan tersebut tidak
dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dan oleh karena itu tidak dapat
dipersalahkan. Hal ini telah dijelaskan dalam Pasal 44 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan
atau terganggu karena penyakit, maka tidak dipidana”. Oleh karena itu, suatu asas
pokok dari hukum pidana adalah tidak ada pidana (hukuman) tanpa ada kesalahan
38
ibid, h. 90
41
dan setiap kesalahan yang telah dilakukan haruslah dapat dipertanggung jawabkan
oleh pelaku.
Adapun mengenai kasus tindak pidana pelecehan seksual, juga mempunyai
beberapa unsur baik unsur objektif maupun unsur subjektif seperti yang tercantum
dalam Pasal 287 KUHP, yaitu :
Pasal 287 KUHP ayat (1), yang bunyinya: “Barang siapa bersetubuh dengan
seorang perempuan di luar perkawinannya, padahal diketahuinya atau sepatutnya
harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas,
atau ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun”.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, dapat dirincikan unsur - unsur
sebagai berikut:
1.
Unsur – unsur Objektif :
a.
Perbuatannya: bersetubuh
Unsur bersetubuh merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana
persetubuhan terhadap anak di bawah umur, hal ini disebabkan apabila perbuatan
persetubuhan tidak terjadi maka perbuatan tersebut belumlah dapat dikatakan
telah terjadi perbuatan persetubuhan. Sebagaimana yang telah dikemukan oleh
S.R Sianturi bahwa untuk dapat diterapkan Pasal 287 KUHP adalah apabila
persetubuhan itu benar-benar telah terjadi yakni apabila kemaluan laki-laki telah
masuk ke dalam kemaluan si perempuan sedemikian rupa yang secara normalnya
dapat mengakibatkan kehamilan. Dan jika kemaluan si laki-laki hanya sekedar
42
menempel di atas kemaluan perempuan maka perbuatan tersebut tidak dapat
dipandang sebagai persetubuhan melainkan hanya perbuatan pencabulan.
b.
Objek: perempuan diluar kawin.
c.
Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas
waktunya dikawin.
2.
Unsur Subjektif :
Dalam tindak pidana pelecehan seksual yang dijelaskan oleh Pasal 287
KUHP ayat (1) hanya terdapat satu unsur subjektif, yaitu: “barang siapa”. Yang
dimaksud dengan “barang siapa” dalam Pasal 287 KUHP bukanlah ditujukan
kepada semua orang, tetapi hanya untuk orang yang berjenis kelamin laki-laki
saja. Sedangkan orang yang berjenis kelamin perempuan tidak termasuk dalam
pengertian “barang siapa”. Hal ini dapat dikaitkan dengan bunyi Pasal 287 itu
sendiri yaitu:
“Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan,
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”. Jadi tidaklah mungkin
“barang siapa” tersebut ditujukan kepada orang yang berjenis kelamin perempuan.
Letak patut dipidana pada kejahatan Pasal 287 ini adalah pada umur anak yang
masih di bawah umur atau belum waktunya untuk kawin. Yang tujuannya untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan hukum anak dari perbuatanperbuatan yang melanggar kesusilaan.
43
Adapun pengertian belum waktunya untuk dikawin adalah belum waktunya
disetubuhi, dan indikator belum waktunya disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan
secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya yang masih wajah
anak-anak atau juga tubuhnya yang masih kecil, seperti tubuh anak-anak pada
umumnya, belum tumbuh buah dada atau yang lainya.
Secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang
bermain-main seperti pada umumnya anak-anak yang masih di bawah umur. Dan
yang dimaksud dengan perempuan di luar kawin adalah: perempuan yang bukan
isterinya, atau dengan kata lain antara laki-laki yang melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang masih di bawah umur tersebut tidak terikat dalam
perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
yang menurut Undang-Undang tersebut bahwa perkawinan yang sah adalah:
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau
kepercayaan. Selain itu, Undang-Undang juga mengatur tentang batasan umur
dalam sebuah perkawinan. Maksudnya seorang perempuan baru diberi izin untuk
melakukan perkawinan apabila umurnya sekurang-kurangnya telah mencapai 16
tahun Pasal 7 ayat (1).
2.3
Pendidik
Aktivitas pendidikan pada hakikatnya selalu berlangsung dengan melibatkan
unsur subyek atau pihak-pihak sebagi aktor penting. Subyek penerima adalah
peserta didik sedangkan subyek pemberi adalah pendidik. Seseorang yang
menginginkan menjadi pendidik maka ia dipersyaratkan mempunyai kriteria yang
di inginkan oleh dunia pendidikan. Orang yang merasa terpanggil untuk mendidik
44
maka ia mencintai peserta didiknya dan memiliki perasaan wajib dalam
melaksanakan
tugasnya
disertai
dengan
dedikasi
yang
tinggi
atau
bertanggungjawab.
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen yang dimaksud dengan guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selain itu menurut Pasal 1
angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang dimaksud dengan pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Proses pendidikan pada dasarnya ialah guru bertugas mendidik dan
mengajar peserta didik agar dapat menjadi manusia yang dapat melaksanakan
tugas kehidupannya yang selaras dengan kodratnya sebagai manusia yang baik
dalam kaitan hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Tugas
mendidik berkaitan dengan transformasi pengetahuan dan keterampilan kepada
peserta didik.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 20
disebutkan bahwa tugas guru adalah :
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran serta
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
45
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan ,
teknologi, dan seni;
c. Bertindak obyektif dan tidak deskriminatif atas dasar pertimbangan jenis
kelamin, agama , suku, ras, dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang
keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik
guru serta nilai-nilai agama dan etika;
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kasatuan bangsa.
Download