membangun iklim investasi ala thailand

advertisement
MEMBANGUN IKLIM INVESTASI ALA THAILAND
Investor Daily, Oktober 2006
Oleh: Bin Nahadi dan Djoko Retnadi
Ekonom pada The Indonesia Economic Intelligence
Kestabilan makro ekonomi Indonesia yang ditandai dengan menurunnya tingkat
suku bunga SBI, stabilnya nilai tukar rupiah, serta naiknya IHSG ternyata tidak serta
merta memberi dampak positif terhadap ekonomi riil. Jika kondisi ini berlarut-larut maka
ini akan mengakibatkan fenomena buble economy yang menjadi sebab awal berulangnya
tragedi krisis 1997.
Membaiknya indikasi makro yang tidak diikuti menggeliatnya sektor riil serta
tidak berfungsinya secara baik peran bank sebagai lembaga intermediasi menandakan ada
sesuatu yang kurang beres dengan iklim investasi di negeri ini. Ukuran paling objektif
dari tingkat kondusifitas iklim investasi adalah nilai bersih Penanaman Modal Asing
(PMA) atau net cash flow Foreign Direct Investment.
Baru-baru ini Bank Dunia mempublikasikan laporannya yang berjudul Doing
Business 2007: How to Reform tentang kemudahan menjalankan bisnis tahun 2006 yang
menempatkan Indonesia di urutan 135 dari 170 negara di dunia. Kondisi ini lebih buruk
dari tahun sebelumnya yaitu pada urutan 131. Untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik
Indonesia hanya menempati urutan 20 dari 23 negara dan hanya lebih baik dibanding
Kamboja, Laos dan Timor-Leste.
Kondisi tersebut jauh berbeda dengan Thailand, negara tetangga yang juga
merasakan dampak krisis ekonomi 1997. Thailand menempati peringkat 18 untuk dunia
dan 3 untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik setelah Singapura dan Hong Kong. Uniknya
hantaman badai krisis tidak pernah membuat negeri gajah putih itu mengalami kasus
negative cash flow atau capital flight seperti yang dialami Indonesia dari tahun 1998
sampai dengan 2003 (tabel 1). Dan mungkin kondisi inilah yang menjadi salah satu resep
mujarab segera pulihnya perekonomian Thailand dari krisis.
Tabel 1: Net Cash Flow FDI
(US$ million)
Negara
Indonesia
Thailand
1997
4677,0
3895,0
1998
-241,0
7315,0
1999
-1866,0
6103,0
Sumber : Asian Development Bank
2000
-4550,0
3366,0
2001
-2977,0
3892,0
2002
145,0
953,0
2003
-597,0
1949,0
2004
1022,7
1412,0
Faktor Kunci Investasi
Berbeda dengan penanaman modal secara tidak langsung melalui pasar modal
atau pasar uang, FDI membutuhkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih mendalam.
Ini terkait dengan sifat investasinya yang permanen dengan melibatkan jumlah dana yang
sangat besar dan untuk jangka waktu yang panjang bahkan tidak terbatas (going concern),
disamping juga adanya risiko-risiko tambahan seperti resiko nilai tukar dan resiko
kebijakan politik ekonomi. Membandingkan iklim investasi antara Indonesia dan
Thailand dapat didiagnosa dari berbagai faktor berikut, yaitu, pertama, Birokrasi.
Studi Bank Dunia sangat jelas dan rinci menggambarkan ruwetnya rantai
birokrasi Indonesia, dari prosedur untuk memulai bisnis baru, pengurusan lisensi,
registrasi properti, pengurusan ekspor-impor bahkan prosedur untuk pembayaran pajak.
Buruknya kondisi birokrasi ditandai dengan berlimpahnya prosedur dan dokumen, yang
pada akhirnya berakibat pada panjangnya waktu proses yang mesti dilewati (Tabel 2).
Seperti ditunjukkan dalam tabel dibawah hampir semua aspek dalam ilustrasi
menunjukkan bahwa tidak ada kondisi yang ada di Indonesia lebih baik dibandingkan
dengan Thailand atau kawasan regional secara umum. Panjangnya rantai birokrasi bisa
jadi menjadi momok terbesar bagi para investor ketika ingin menanamkan modalnya di
Indonesia.
Pemerintah sudah berusaha memangkas birokrasi dengan mengeluarkan
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 yang memusatkan penanaman modal pada
BKPM pusat (one roof service), akan tetapi Keppres tersebut memiliki kendala yuridis
dan teknis. Secara yuridis Keppres tersebut bertentangan dengan UU No 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, karena dalam pasal 11
ayat 2 UU No. 22 tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa penanaman modal adalah
salah satu kewenangan yang ada pada pemerintah daerah kabupaten dan kota.
Jadi sebenarnya, keberadaan Keppres ini dapat menjadi batal demi hukum karena
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Secara teknis Keppres No. 29 tersebut
memunculkan masalah baru, yaitu tidak adanya koordinasi dengan pemerintah daerah.
Dalam banyak kasus calon investor yang sudah disetujui oleh BKPM tidak serta merta
dapat segera memulai bisnisnya karena harus berurusan kembali dengan Pemda dan
seluruh stakeholders di daerah. Fenomena ini tak dapat dipisahkan dari euforia otonomi
daerah yang mendorong pemda untuk berlomba-lomba mencari celah untuk menaikkan
pandapatan asli daerahnya dengan menambah antrian tambahan meja yang mesti dilewati
oleh investor tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih besar.
Hal ini sangat berbeda dengan kasus yang terjadi di Thailand. Seluruh urusan
perijinan investasi diselesaikan di satu tempat yakni Board of Investment yang
berkedudukan di pusat, sedang daerah lebih dalam posisi pasif.
No
1
2
3
4
5
Deskripsi
Izin bisnis baru
Pengurusan Lisensi
Pembayaran Pajak
Dokumen Impor
Penegakan Kontrak
Tabel 2. Prosedur Investasi
Indonesia
Thailand
12 prosedur / 97 hari
8 prosedur / 33 hari
19 prosedur / 224 hari
9 prosedur / 127 hari
52 jenis / 576 jam
46 jenis / 104 jam
10 prosedur / 30 hari
12 prosedur / 22 hari
34 prosedur / 570 hari
26 prosedur / 425 hari
Kawasan
8,2 prosedur / 46,3 hari
17,6 prosedur / 147 hari
29,7 jenis / 290,4 jam
9,3 prosedur / 25,9 hari
31,5 prosedur / 477 hari
Sumber: Bank Dunia
Kedua, Biaya Investasi. Berbelit-belitnya rantai birokrasi bukan hanya berakibat
pada lamanya waktu proses transaksi tapi lebih dari itu menyebabkan ekonomi berbiaya
tinggi. Selain disebabkan memang adanya biaya-biaya yang secara resmi ditetapkan,
ditambah munculnya biaya yang timbul akibat hilangnya kesempatan-kesempatan
ekonomi (opportunity cost), rusaknya mentalitas aparat menjadi menyebabkan birokrasi
menjadi lahan subur untuk tumbuhnya segala bentuk pungutan liar.
Sebagai ilustrasi, calon investor harus mengeluarkan biaya sebesar 83,4% dari
income per capita untuk dapat memperoleh ijin usaha di Indonesia. Angka tersebut jauh
di bawah biaya yang dibutuhkan untuk memulai bisnis di Thailand yang hanya sebesar
5,8% income per capita (Tabel 3). Tren yang sama juga terjadi untuk pengurusan lisensi,
biaya perekrutan, biaya pesangon, dan registrasi properti. Hanya tarif pajak efektif saja
yang di Indonesia lebih rendah dibanding Thailand, itu pun ternyata “dikompensasi” oleh
lebih banyaknya dokumen dan lebih lamanya proses pembayaran yang mesti dilalui.
Besarnya modal minimal yang harus ditanamkan sebesar 83,4% income per
capita juga menjadi salah satu entry barrier yang menyebabkan enggannya para investor
menanamkan modalnya di Indonesia, dibanding Thailand yang tidak mensyaratkan sama
sekali.
No
1
2
3
4
3
5
6
Deskripsi
Izin bisnis baru
Minimum Modal
Biaya Perekrutan
Biaya Pesangon
Pembayaran Pajak
Impor
Penutupan bisnis
Tabel 3. Biaya Investasi
Indonesia
86,7% income per capita
83,4% Income per capita
10,0 % dari gaji
108,3 minggu gaji
37,2% dari laba bersih
$675 per kontainer
18,0% dari aktiva
Thailand
5,8% income per capita
0 % Income per capita
5,2 % dari gaji
54,3 minggu gaji
40,2% dari laba bersih
$1.042 per kontainer
36,0% dari aktiva
Kawasan
42,8% income per capita
60,3 Income per capita
9,4 % dari gaji
41,7 minggu gaji
42,2% dari laba bersih
$1.037 per kontainer
23,2% dari aktiva
Sumber: Bank Dunia
Ketiga, insentif. Variabel penting lainnya yang mempengaruhi iklim investasi
adalah insentif. Dilihat jenisnya insentif ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
insentif pajak dan non pajak. Meski terdapat banyak kesamaan antara insentif yang
ditawarkan di Indonesia dan Thailand, namun ada beberapa hal penting yang sangat
berbeda.
Secara umum pemerintah Thailand lebih berani menawarkan insentif bukan hanya
secara kuantitas tapi juga secara kualitas. Sebagai contoh dari sisi perpajakan, Thailand
lebih “nekad” dengan berani memberikan pembebasan atas PPh Badan (tax holiday)
selama 3 sampai 8 tahun tergantung zona dan privileges-nya. Sedangkan pemerintah
Indonesia “hanya” mampu menawarkan insentif dalam bentuk cadangan pajak investasi
(investmen tax allowance) yaitu pengurangan atas Pendapatan Kena Pajak (taxable
income) sebesar 30% dari nilai investasi yang direalisasikan. Insentif yang diberikan oleh
pemerintah Thailand lebih “to the point” dimana untuk memperolehnya tidak harus
melewati potensi birokrasi yang terbelit-belit lagi seperti yang ditawarkan oleh
pemerintah Indonesia.
Selain insentif umum seperti yang ditawarkan pemerintah Indonesia yaitu insentif
kepada pabrikan produk berorientasi ekspor dan insentif untuk daerah berikat,
Pemerintah Thailand juga menawarkan bentuk insentif lain yaitu insentif regional dan
insentif industri. Insentif regional ditawarkan untuk mendorong pemerataan daerah
penanaman investasi yaitu dengan dengan menawarkan insentif lebih banyak kepada
daerah-daerah yang tertinggal.
Untuk hal ini pemerintah Thailand membagi daerah invesatsinya menjadi 4
zona/area berbeda. sebagai contoh adalah insentif perpajakan di atas, untuk zone 4 yang
meliputi 22 provinsi investor diberikan tax holiday selama 8 tahun. Sementara itu,
insentif industri diberikan khusus untuk sektor-sektor yang menjadi prioritas seperti
sistem transportasi dasar, fasilitas umum, perlindungan lingkungan, dan pengembangan
teknologi.
Untuk sektor-sektor tersebut investor mendapat tax holiday selama 8 tahun dan
pembebasan pajak tanpa melihat lokasi/area, bahkan untuk mempromosikan investasi
berbasis cluster (clustering-based investment) yang biasanya untuk industri-industri
strategis, Pemerintah Thailand memberikan skema paket insentif yang disesuaikan
dengan karakter industri. Selanjutnya, untuk mendorong peran serta swasta dalam
pembangunan infrastruktur, Pemerintah Thailand juga menawarkan insentif berupa
tambahan pengurangan atas Pendapatan Kena Pajak sebesar 25% dari biaya-biaya untuk
pengembangan infrastruktur untuk area 3 dan 4, kemudian tax exemption selama 8 tahun
untuk PMA di sektor infrastruktur dimanapun lokasinya, dan juga pembebasan bea
impor atas mesin dimanapun areanya.
Catatan Akhir
Paparan kondisi iklim investasi di atas menuntut semua pihak khususnya
pemerintah untuk melakukan reformasi regulasi dan birokrasi dengan tujuan untuk
memotong rantai birokrasi dan mengurangi biaya tinggi, paling tidak seperti yang
dilakukan Thailand.
Secara regulasi, ada tiga alternatif solusi yang dapat ditempuh pemerintah, yaitu
pertama, segera diterbitkannya produk hukum yang lebih menjamin untuk lebih
menguatkan posisi Kepres No. 29 tersebut. Implementasinya dapat berupa penerbitan
Peraturan Pemerintah atas pasal 11 UU No 22 tahun 1999 tersebut atau dibuat Undangundang Penanaman Modal baru yang isinya menegaskan sistem pelayanan satu atap ini,
sehingga landasan hukumnya cukup kuat untuk diimplementasikan dalam sistem
pemerintahan baik pusat maupun daerah.
Alternatif kedua, berkebalikan dengan alternatif pertama, yaitu perlunya
penegasan penerapan Keppres No. 29 dengan memberi porsi yang lebih besar ke
pemerintah daerah. Dalam hal ini pemerintah pusat hanya bertindak sebagai pengawas.
Alternatif ketiga, membagi porsi wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah berdasar nilai investasi atau target industri.
Selanjutnya, Pemerintah perlu mengeluarkan paket kebijakan investasi yang
ramah investor dengan mempertimbangkan segala aspek seperti perpajakan, aturan
ketenagakerjaan, kepastian dan penegakan hukum.
Download