pencitraan dalam novel sepatu dahlan

advertisement
PENCITRAAN DALAM NOVEL SEPATU DAHLAN
(Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel Sepatu Dahlan Karya
Khrisna Pabichara)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
Leni Cahyani
NIM: 108051000183
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H./2013 M.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT, dan kesejahteraan serta kedamaian semoga
dilimpahkan kepada mahlukNya yang paling mulia dan sebaik-baik manusia,
yakni Nabi Muhammad SAW, para keluarga beliau, para sahabat beliau yang
mulia, dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan kebaikan hingga hari
pembalasan.
Dalam penelitian skripsi ini, peneliti menyadari benar bahwa tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak terkait, peneliti tidak dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, petunjuk dan motivasi yang
diberikan, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan
gelar Strata Satu (S1) di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam,
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM), Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) Dr. Arief
Subhan, M.A, Wakil Dekan I Drs. Wahidin Saputra, M.A, Wakil Dekan II
Drs. Mahmud Jalal, M.A, dan Wakil Dekan III Drs. Study Rizal LK, M.A.
2. Drs. Jumroni, M.Si dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan dan
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.
ii
3. Bintan Humeira, S.Sos, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan, petunjuk, dan pemikirannya kepada peneliti. Juga
menyemangati peneliti untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Khrisna Pabichara selaku peneliti novel Sepatu Dahlan dan Yunarto
Wijaya, S.IP., MM sebagai narasumber pengamat politik yang sudah
meluangkan waktunya dan memberikan kesempatan untuk wawancara
terkait penelitian novel Sepatu Dahlan.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
mendidik serta memberikan beragam ilmu. Semoga ilmu para dosen
dibalas dengan ruang yang tak terhingga.
6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah membantu peneliti dalam hal administrasi selama
perkuliahan dan penelitian skripsi ini.
7. Orang tua tercinta IbuSutiyah dan Bapak Cecep Sahara atas kesabaran dan
kepercayaan mereka yang tak henti-hentinya mendoakan, memberi
dukungan moril maupun materil, semangat dan motivasi kepada peneliti.
8. Teman-teman KPI F,C,D 2008 dan teman-teman seperjuangan lainnya
yang tak henti-hentinya menularkan semangat berjuang untuk skripsi.
Semoga silaturahmi kita akan tetap terjaga nantinya, dan suatu saat bisa
bertemu dan berkumpul kembali untuk mengenang kebersamaan kita.
Amin .
9. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian skripsi ini
iii
Peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
bantuan yang diberikan dan mohon maaf atas segala kekhilafan yang terjadi
selama ini. Harapan peneliti semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua,
terutama bagi teman-teman mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya bagi peneliti sendiri. Amin
Jakarta, 4 Oktober 2013
Leni Cahyani
iv
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arifin, Anwar. Komunikasi Politik Filsafat, Paradigma, Teori, Tujuan Strategi
dan Komunikasi Politik Indonesia, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2011.
____________. Opini Publik, Jakarta: Gramata Publishing, 2010.
Badara, Aris. Analisis Wacana Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana
Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Danial, Akhmad. Iklan Politik Tv, Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde
Baru, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2009.
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta:
LkiS,2006.
Firmanzah, Marketing Politik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Hasan Lubis, Hamid. Analisis Wacana Pragmatik, Bandung: Angkasa, 1993.
Heryanto, Gun gun. Komunikasi Politik Di Era Industri Citra, Jakarta: PT
Laswell Visitama, 2010.
________________. Handout Perkuliahan Matakuliah Komunikasi Politik
________________. dan Farida, Ade rina. Komunikasi Politik, Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2011.
Keraf, Gorys. Komposisi Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Ende-Flores:
Nusa Indah. 1980.
Kurnia Syah Putra, Dedi. Media dan Politik Menemukan Relasi antara Dimensi
Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Kusmayadi, Ismail. Think Smart Bahasa Indonesia, Bandung : Media Grafindo
Pratama, 2006.
Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2007.
Margaretha, Selu Kushendrawati. Hiperrealitas dan Ruang Publik:sebuah
analisis cultural studies, Jakarta: penaku, 2011.
Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan analisis wacana, dalam PELLBA,
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
108
109
Rachmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005.
Sobur, Alex. Dr. M.Si,. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Sumardjo, Jakob Dan Saini K.M, Apresiasi Kesusastraan, Jakarta : Penerbit
Gramedia, 1986, cet. Ke-1.
Sutrisno. Metodologi Research, Jogjakarta: Andi Offset, 1989.
Wijana. Dasar-dasar Pragmatik, Yogyakarta: ANDI, 1996.
Data Internet
AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”,
http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/perspektif-teori-kritis-dankultur.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib
Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,” artikel diakses pada 30
oktober 2013 dari http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikitcatatan-perspektif-kritis,html.
Kamaruddin, “Komunikasi Politik dan Pencitraan,” artikel diakses pada 06
januari
2013
dari
http://kamaruddinblog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html,
Shinta Kusuma, “Pencitraan Bukan Kamuflase”, artikel diakses pada Tanggal 17
september
2013
Pukul
15:41
wib.
Dari
http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/00
1/001/134.
Widodo S Jusuf, Dahlan Iskan Jangan Menapaki Jejak SBY, artikel diakses pada
Tanggal
17
september
2013
Pukul
15:41
wib
dari
http://politik.kompasiana.com/2012/03/26/dahlan-iskan-janganmenapaki-jejak-sby-445181.html.
Yasraf Amir Piliag, Simulacra Politik, http://www.unisosdem.org, diakses pada 2
juni 2013. 14.37 wib.
Lain-lain
Akmal Fauzi, “Kajian Pencitraan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota Tangerang Selatan” (Tangerang Selatan: Saung Kecapi,2013)
DAFTAR ISI
ABSTRAK .........................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .......................................................................................
ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................
5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
6
D. Manfaat Penelitian ......................................................................
6
E. Metodologi Penelitian .................................................................
7
F. Tinjauan Kepustakaan ................................................................. 12
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Media Massa Dalam Perspektif Kritis ........................................ 16
B. Analisis Wacana .......................................................................... 17
C. Citra Politik (Political Image)..................................................... 31
BAB III
BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN SINOPSIS NOVEL
SEPATU DAHLAN
A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara ............................................. 39
B. Karya-Karya Khrisna Pabichara ................................................. 41
1. Karya Fiksi Khrisna Pabichara.............................................. 41
2. Karya Non-Fiksi Khrisna Pabichara ..................................... 42
C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan .................................... 43
1. Latar Belakang Terbitnya Novel Sepatu Dahlan .................. 43
2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan ............................................. 45
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN
v
A. Analisis Wacana Kritis Pencitraan dalam Novel Sepatu Dahlan
Karya Khrisna Pabichara Dilihat dari Analisis Teks .................. 52
B. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Kognisi Sosial .. 88
C. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Konteks Sosial . 94
D. Interpretasi................................................................................... 97
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 105
B. Saran ............................................................................................ 107
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 108
LAMPIRAN
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk ......................................... 26
2. Tabel 2. Struktur Model Analisis Wacana Van Dijk .................................... 28
3. Tabel 3. Temuan Teks Pada Novel Sepatu Dahlan ...................................... 89
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan teknologi sangatlah pesat seiring melihat
manusia zaman sekarang yang kini sudah memasuki masyarakat informasi.
Beragamnya teknologi sudah menjadi santapan sehari-hari bagi kehidupan
manusia. Media misalnya, sebagai alat informasi menjadi sangat penting pada
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ini dikarenakan kebutuhan yang besar
dari masyarakat akan informasi. Informasi menjadi sesuatu yang sangat berharga
bagi masyarakat. Tidak terkecuali yang terjadi pada media tulisan atau cetak yang
merupakan bagian dari media massa itu sendiri.
“Beragamnya media massa, khususnya media cetak sangat memperkaya
dunia baca bagi masyarakat. Semua pesan dari media massa dikonsumsi
oleh masyarakat sebagai bahan informasi dan referensi bagi wawasan ilmu
pengetahuan mereka. Karena pada dasarnya media adalah saluran dimana
seseorang dapat menyatakan gagasan, isi jiwa atau kesadarannya atau
dengan kata lain media adalah alat untuk menyampaikan gagasan.”1
Atar Semi dalam bukunya mengatakan sastra merupakan salah satu karya
seni yang bermediakan bahasa. Sastra telah menempati dimensi ruang dan waktu
dalam peradaban manusia. Kehadiran sastra tidak dapat ditolak, bahkan
kehadirannya telah dianggap sebagai suatu karya kreatif yang mempunyai nilai,
hasil imajinasi, dan emosi sehingga dapat diterima sebagai realitas sosial budaya.2
1
2
Anwar Arifin, Opini Publik (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), h. 116.
Atar Semi, Metode Penelitian Sastra (Bandung : Penerbit Angkasa , 1993 ), h. 1.
2
Sastra merupakan media komunikasi yang menyajikan keindahan, memberikan
makna terhadap kehidupan atau pemberian pelepasan ke dunia imajinasi.3
Dalam era globalisasi ini, media komunikasi merupakan aspek penting
dalam edukasi publik dalam hal ini edukasi politik publik. Selain melalui media
massa harian seperti surat kabar, media buku saat ini merupakan media informasi
yang sangat disukai. Buku mengenai riwayat orang-orang penting di dunia telah
banyak digunakan untuk menyampaikan informasi dengan berbagai macam
bentuk dan dikemas secara baik. Hal itu dilakukan untuk dapat mencapai sasaran
khalayaknya dengan baik dan harus mempertimbangkan dengan cermat dan tepat.
Dalam suatu informasi, bahasa merupakan unsur yang terpenting, bahasa tidak
hanya mencerminkan realitas tetapi juga bisa menciptakan suatu realitas. Tentu
saja dalam hal ini adalah novel.
“Novel adalah salah satu bentuk karya sastra atau karya seni yang
mengandung unsur estetika. Hal lain berkaitan dengan isi cerita, sikap
yang dideskripsikan dalam novel mampu mengubah sikap hidup seseorang
dan memberikan sebuah persepsi terhadap seseorang, mengingat hal itu
tentunya novel dapat dimanfaatkan menjadi sarana yang efektif untuk
membentuk suatu image dengan sebuah pendekatan yang baru.”4
Novel juga merupakan seni menulis kata-kata yang indah. Itulah kelebihan
dari salah satu karya sastra, ia menyodorkan lebih dari sekedar pemberian
pengetahuan. Karya sastra seperti novel bisa langsung masuk ke dasar
penghayatan yang paling halus dalam diri manusia lewat bahasa, alur cerita,
imajinasi yang dirangkai sedemikian rupa. Dalam hal ini sebuah novel menjadi
medium dalam pembentukan citra dimana sebuah realita direalisasikan dalam
3
Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk
Perguruan Tinggi, (Magelang: Indonesiatera, 2003), h. 2.
4
Yunarto Wijaya, wawancara, Selasa, 16 April 2013.
3
berupa karya imajinatif. Seperti yang dikemukakan Baudrillard, bahwa kita hidup
dalam era simulakra. Dimana batas antara realitas dan citra telah melebur.
Novel dapat memberikan peranan yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat, di mana keberadaanya turut membantu perubahan sosial, karena
novel tidak hanya sekedar bacaan hiburan saja, tetapi di dalamnya terkandung
pelajaran, pengajaran, serta tingkah laku dan pola-pola kehidupan masyarakat.
Sehingga hal demikian dapat dengan mudah khalayak terasuki oleh citra yang
dibuat tidak sebagaimana adanya.
Di Indonesia buku yang mengupas profil pelaku sejarah, politik, budaya
dan sebagainya banyak beredar di pasaran. Buku-buku tersebut mengupas tokohtokoh penting yang ada di Indonesia. Termasuk buku dengan berbagai macam alur
cerita yaitu novel Sepatu Dahlan. Novel yang salah satunya berfungsi sebagai
media komunikasi kini menjadi medium alternatif bagi para politisi untuk
melakukan pencitraan, meningkatkan popularitas dan meningkatnya elektabilitas
pemilih. Cara ini menjadi efektif karena sebagian isi dari novel mengandung
hiburan dan dapat menarik minat pembaca.
Berkaitan dengan hal ini, Noura Books yang menerbitkan novel Sepatu
Dahlan pandai memilah sosok yang kisah hidupnya dapat dijadikan sebuah novel.
Bersamaan Dahlan Iskan di mana Dahlan merupakan salah satu tokoh yang
sedang naik daun di tengah masyarakat dengan kebijakan politiknya dan
kepribadiannya yang sederhana. Maka CEO dari Noura Books ini membukukan
kisah hidup Dahlan kecil dengan harapan selain untuk menghibur seperti lazimnya
4
sebuah novel juga untuk mendapat keuntungan profit dari terbitnya novel Sepatu
Dahlan.5
Novel
Sepatu
Dahlan
adalah
karangan
Khrisna
Pabichara
yang
menceritakan masa lalu menteri BUMN, Dahlan Iskan. Novel yang memaparkan
mengenai profil seorang tokoh politisi merupakan novel yang bertujuan salah
satunya adalah untuk menunjukkan citra tokoh tersebut. Selain itu novel dengan
konsep seperti ini merupakan buku yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi
tokoh tersebut. Bahkan untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan
seorang tokoh Dahlan Iskan yang notabenenya adalah publik figur sebagai
Menteri BUMN. Karena terkait dengan citra yang baik, dengan sendirinya akan
meningkatkan popularitas dan elektabilitas politisi, begitupun sebaliknya.
Sehingga tidak salah politisi melakukan pertarungan pencitraan di dunia politik.
Novel yang mengupas aspek-aspek kehidupan sosial seseorang terkait
dengan kehidupan kesehariannya dan menceritakan proses perjuangan hidupnya,
serta hal-hal lain yang ada di sekitarnya merupakan suatu media sosialisasi publik
yang sangat efektif. Oleh karenanya, saat ini buku maupun novel yang
menceritakan profil seseorang seperti autobiografi maupun biografi saat ini
banyak bermunculan.
Melihat kisah yang digambarkan dari perjuangan dan pengorbanan yang
dialami Dahlan, peneliti melihat bahwa teks tersebut dibentuk berdasarkan
kebutuhan dan informasi apa yang akan disampaikan kepada khalayak media,
sehingga dikemas melalui sebuah tulisan. Hal itulah yang mendorong keinginan
peneliti untuk meneliti lebih jauh cara penyajian suatu pesan dalam novel yang
5
Wawancara Peneliti dengan Suhindrati Shinta (Penyunting Novel Sepatu Dahlan) di
Kantor penerbit Noura Books, pada 30 Agustus 2013.
5
juga terkait pencitraannya sendiri. Dan mengingat saat ini kesadaran publik
mengenai politik pencitraan semakin meningkat. Sehingga, novel yang ditulis
Khrisna Pabichara ini menjadi novel best seller yang pernah ditayangkan dalam
program Kick Andy Foundation dan diminati oleh para pembaca.
Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini diberi judul “Pencitraan
dalam Novel Sepatu Dahlan” (Studi Analisis Wacana Kritis dalam Novel
Sepatu Dahlan Karya Khrisna Pabichara).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dalam novel Sepatu Dahlan terdapat banyak pencitraan yang ditekankan
ke dalam teks oleh Khrisna Pabichara. Kemampuannya menciptakan citra
terhadap sosok Dahlan dapat menunjukkan eksistensi tokoh Dahlan Iskan, bahkan
untuk meningkatkan popularitas, berkaitan dengan seorang Dahlan Iskan yang
notabenenya adalah aktor politik.
2. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis memberikan batasan masalah pada
pencitraan tokoh Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna
Pabichara. Peneliti merumuskan batasan pencitraan tokoh Dahlan Iskan yang
mencakup seluruh isi cerita yang terdiri dari 32 bab dan 369 halaman.
3. Rumusan Masalah
Mengacu pada batasan masalah di atas, maka peneliti membuat rumusan
masalah sebagai berikut :
6
Bagaimana wacana pencitraan dilihat dari segi teks, kognisi sosial dan
konteks sosial yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna
Pabichara?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui wacana pencitraan Dahlan Iskan dari segi teks, kognisi
sosial dan konteks sosial dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara
D. Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dari segi akademis dan praktis, yaitu:
1.
Akademis
Untuk pengembangan ilmu komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat
menjadi tambahan referensi, dan peningkatan wawasan akademis terutama tentang
analisis wacana, dengan fokus kepada analisis wacana karya sastra, sehingga
secara umum dapat bermanfaat dan memberikan konstribusi bagi kajian
komunikasi penyiaran islam.
2.
Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi pelengkap dan
bahan perbandingan bagi penelitian serupa yang telah ada, dan memberikan
inspirasi dan kontribusi bagi para peminat karya sastra dalam menerapkan sebuah
gagasan dan mampu memberikan pengetahuan mendasar terkait dengan
pengemasan pencitraan melalui sebuah karya sastra bagi masyarakat.
7
E. Metodologi Penelitian
1.
Paradigma penelitian
Peneliti menggunakan paradigma kritis dalam penelitian tentang politik
pencitraan Dahlan Iskan dalam novel Sepatu Dahlan. Aliran ini sebenarnya tidak
dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat ideologically Oriented
Inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai
orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi: Neo Marxisme,
materialisme, feminisme, Freireisme, partisipatory inquiry, dan paham-paham
yang setara. 6
Dilihat dari ontologis paham paradigma ini sama dengan post positivisme
yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical realism) yang tidak dapat
dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Oleh karena itu untuk mengatasi
masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan dialog dengan
transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. 7
Secara epistimologis hubungan antara pengamat dengan realitas yang
menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,
aliran ini lebih menekankan subjektifitas dalam menentukan suatu ilmu
pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut
campur dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. 8
“Paradigma kritis ini sebenarnya ingin mengoreksi pandangan
konstruktivis yang dianggap kurang sensitif pada proses produksi dan
reproduksi makna yang terjadi secara historis ataupun institusional.
Analisis wacana dalam paradigma kritis ini menekankan pada konstelasi
kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna.
6
Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial
(Yogyakarta; PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 41.
7
Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, h. 41.
8
Norman K. Denzin, dan Egon Guba, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, h. 41-42.
8
Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan
secara bebas sesuai pikirannya.”9
Bahasa ini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri
si pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun
berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, ataupun
strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana kritis digunakan
untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa.10
2.
Metode penelitian
Pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif,
riset ini bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam-dalamnya melalui
pengumpulan data dalam wawancara.11 Pendekatan kualitatif menurut Kirk dan
Miller bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan
sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia, baik
dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.12
Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.13
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Teori yang digunakan adalah Teori Wacana Kritis (Critical
9
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lks, 2001), h.
6.
10
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 6.
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis: Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Perdana
Media Group, 2006), h. 58.
12
Nurul Hidayati, Metodologi Penelitian Dakwah dengan Pendekatan Kualitatif
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet ke 1, h. 7.
13
Lexy J. Moeleng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1993), Cet ke 10, h. 3.
11
9
Discourse) model Teun A. Van Djik. Adapun level yang diteliti menurut level
CD Van Dijk, yaitu level segi teks, level segi kognisi sosial, dan level segi
konteks sosial.
Menurut Lexy J. Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dipahami oleh subjek
penelitian, seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Penelitian
ini dilakukan secara holistik dan dengan cara deskriptif dan dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.14
Dalam skripsi ini penelitian akan dilakukan dengan menggunakan analisis
wacana dari Teun Van Dijk dengan perspektif analisis paradigma kritis yang
berpandangan bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Komunikasi tidak
bisa dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi
berlangsungnya komunikasi.15Analisis wacana Teun A Van Dijk menggambarkan
wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks
berita tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Dalam mengadakan
penelitian wacana novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara, selain
menganalisis teks, juga diperlukan analisis kognisi sosial dan konteks sosial.
Menurut Stuart Hall, titik penting dalam memahami media menurut
paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan, karena
makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, melainkan pada praktik
14
Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, h. 6.
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: Lkis
Yogyakarta, 2001), h. 48.
15
10
pemaknaan. Dari analisis teks akan diteliti elemen-elemen dari struktur mikro,
suprastruktur, dan struktur makro yang terdiri dari tema, latar, detil, maksud,
bentuk kalimat, pra anggapan, koherensi, kata ganti, leksikon, grafis dan ekspresi
yang digunakan wartawan dalam pemberitaanya. Dengan meneliti hal-hal
tersebut, akan diungkap representasi bahasa yang berperan dalam membentuk
makna mengenai subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu dan strategi-strategi
di dalamnya.
Dimensi kedua yang dipakai dalam penelitian ini adalah kognisi sosial.
Paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan media dalam keseluruhan
struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat yang pada
akhirnya posisi tersebut memengaruhi berita, bukan pencerminan dari realitas
sebenarnya.16 Hal ini diasumsikan dengan meneliti kesadaran mental individu
pengarang dalam membuat teks.
Dimensi ketiga yang diteliti adalah konteks sosial. Dalam aspek konteks
sosial akan diteliti kondisi masyarakat (tren yang sedang berkembang dalam
masyarakat) yang memengaruhi keluarnya suatu pemberitaan yang disajikan
wartawan, karena pada umumnya sebuah pemberitaan yang keluar di media massa
mengacu kepada suatu fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat.
3.
Subjek dan Objek Penelitian
Adapun subjek penelitian ini adalah penulis novel Sepatu Dahlan yaitu,
Khrisna Pabichara sedangkan objek dari penelitian ini hanya fokus pada isi dalam
novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.
4.
Teknik Pengumpulan Data
16
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 32.
11
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara
teks/ dokumen research. Sebagai metode ilmiah penelitian ini digunakan untuk
memperoleh data dalam bentuk pengamatan dan pencatatan dengan sistematis
fenomena yang diselidiki.17 Dalam hal ini, melalui wawancara peneliti
mempunyai tujuan untuk menggali secara mendalam terkait proses pemaknaan
dan pemaknaan itu sendiri dari narasumber.
Peneliti mewawancarai penulis novel Sepatu Dahlan, yaitu Khrisna
Pabichara. Dan untuk memperkuat petunjuk secara garis besar tentang proses dan
isi wawancara peneliti juga mewawancarai pengamat politik yaitu Yunarto
Wijaya, SIP., MM dan penyunting novel Sepatu Dahlan Suhindrati Shinta.
5.
Teknik Analisis Data
“Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan ke dalam kategori,
menjabarkan dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang
lain.”18
Dalam menganalisis data peneliti menggunakan analisis wacana
dibandingkan analisis lainnya. Analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan
dalam komunikasi.19 Dalam penelitian ini peneliti menggunakan model Teun A
Van Dijk yang menggambarkan wacana dalam 3 dimensi, yaitu teks, kognisi
sosial, dan konteks sosial. Alasan peneliti menggunakan analisis wacana karena
penelitian ini tidak hanya membahas teks semata, namun juga dapat melihat
bagaimana suatu pesan disampaikan melalui kata, frasa, kalimat ataupun bentuk
metafora apa yang disajikan juga terdapat makna ideologi dalam produksi teks.
17
Sutrisno, Metodologi Research (Jogjakarta: Andi Offset, 1989), h. 192.
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, cv. 2010), h. 89.
19
Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 48.
18
12
6.
Teknik Penulisan
Penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk, yang
diterbitkan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance).
F. Tinjauan Kepustakaan
Dalam penyusunan penelitian ini, terdapat beberapa skripsi yang
dijadikan tinjauan pustaka, diantaranya:
1.
Analisis Wacana Pesan Moral Dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea
Hirata. Skripsi ini ditulis oleh Siti Aminah, mahasiswi fakultas Ilmu Dakwah
Dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Skripsi ini
menggunakan model wacana Van Djik yang menggambarkan sturuktur
pragmatik atau struktur kebahasaan dalam novel laskar pelangi (LP). Novel
yang sangat fenomenal beberapa tahun lalu dengan penjualan terbaik di
Indonesia .
2.
Analisis wacana citra perempuan dalam tabloid nova edisi khusus kecantikan
tanggal 21-27 november 2011. Skripsi ini ditulis oleh Tiara Mustika,
mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Konsentrasi
Jurnalistik. Skipsi ini menekankan kepada artikel-artikel tabloid nova yang
dapat membentuk pemikiran khalayak mengenai permasalahan seputar makna
kecantikan perempuan dan kriteria apa yang harus dimiliki perempuan agar
dapat dikatakan cantik.penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
analisis kritis.
3.
Analisis wacana sinetron Dewi Fortuna oleh Mira Khairunnisa, Fakultas
FISIP UI Depok tahun 1992. Penelitian ini dilakukan dengan dasar bahwa
13
media massa melalui program-programnya dapat membuat khalayak untuk
berpikir mengenai hal apapun kepada pemikiran yang diarahkan media
massa, termasuk citra mengenai perempuan yang ideal. Skripsi ini mencoba
meneliti pembentukan citra perempuan ideal tersebut oleh media massa
dengan cara menganalisis wacana-wacana yang terdapat dalam sinetron yang
berjudul Dewi Fortuna.
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas penelitian ini memiliki karakter
yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari latar belakang dan analisis yang berbeda
dari penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dan
penelitian yang penulis lakukan diharapkan memberi tambahan atau pelengkap
dari penelitian yang dilakukan sebelumnya.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan
dalam penulisan ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan penulisan,
dimana masing-masing dibagi ke dalam sub-sub dengan rincian sebagai berikut:
Pada bab satu peneliti akan menguraikan latar belakang masalah yang
menjadi alasan peneliti melakukan penelitian terhadap novel Sepatu Dahlan, juga
batasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegiatan penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka, kajian teori dan sistematika penulisan.
Adapun pada bab dua peneliti menguraikan teori-teori yang menjadi
landasan dalam kerangka pemikiran dalam penelitian, diantaranya pembahasan
mengenai media massa dalam perspektif kritis, selanjutnya pengertian analisis
wacana, analisis wacana Teun A. Van Dijk yang terdiri dari tiga level analisis,
yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial, selanjutnya pada bab ini juga
14
membahas tentang pengertian citra, media massa dalam pencitraan, dan
simulakra.
Sedangkan pada bab tiga ini berisi biografi (riwayat hidup) penulis yaitu
Khrisna Pabichara yang meliputi sejarah singkat Khrisna Pabichara, Karyakaryanya dan ringkasan cerita novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara.
Selanjutnya pada bab empat berisi hasil analisis dan temuan peneliti yang meliputi
Analisis wacana kritis pencitraan Dahlan dalam novel Sepatu Dahlan dilihat dari
analisis teks yang meliputi struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro,
analisis wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari kognisi sosial, analisis
wacana kritis novel Sepatu Dahlan dilihat dari konteks sosial.
Bab terakhir pada penelitian ini berisi penutup yakni, kesimpulan dan
saran. Peneliti berharap dapat mendeskripsikan hasil dari penelitian dan
menguraikan data secara baik. Sehingga beberapa uraian penting yang peneliti
berikan dari hasil penelitian ini akan dirangkum dalam bahasan kesimpulan.
Selanjutnya untuk menyempurnakan penelitian ini peneliti menyisipkan saransaran agar menjadi bahan pertimbangan tentang bahasan peneliti yang telah
diangkat sebagai pokok permasalahannya.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Media massa dalam perspektif kritis
Perspektif kritis berasal dari asumsi-asumsi teori Marxis. Pendekatan kritis
meneliti kondisi sosial serta membongkar tatanan kekuasaan. Teori tradisional
cenderung bersifat netral, ia hanya menyediakan diri sebagai alat untuk
menganalisis secara teknis setiap hal dan keadaan termasuk masyarakat. Maka
teori kritis ini bertujuan memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari
masyarakat
yang
irasioanal,
selain
itu,
memberikan
kesadaran
untuk
pembangunan masyarakat rasional yang mana merupakan tempat manusia untuk
memuaskan
semua
kebutuhan
dan
kemampuannya.
Sebagaimana
yang
diungkapkan Marx Horkheimer.1
Bebarapa teoritisi kritis berpendapat bahwa orang bisa bertahan
dari
gempuran pengaruh media dan bahwa media menyediakan sekian banyak ruang
publik di mana kekuatan elite dominan mampu secara efektif dikritisi secara
maksimal. Dalam perdebatan teoritis ini memang harus
diperlihatkan sejauh
mana pendekatan kritis dan kultural ini dibandingkan dengan penelitian yang
bersifat empirik positivistik.2
Teori kritis secara klasifikatif dapat digolongkan pada kelompok aliran
Neo Marxis, namun dalam perdebatan filosofis ada yang menganggap bahwa teori
1
Damar Fery Ardiyan, “sedikit catatan: Perspektif Kritis,”
http://banyulanang.blogspot.com/2011/04/sedikit-catatan-perspektif-kritis,html. artikel diakses
pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.
2
AG Eka Wenats Wuryanta, “perspektif teori kritis dan kultur komunikasi massa”,
http://ekawenats.blogspot.com/2010/05/perspektif-teori-kritis-dan-kultur.html. diakses pada
tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.
15
16
kritis teori yang bukan Marxis lagi. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran
Marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx
(Frankfurter Schule). Media dalam konteks teori kritis selalu berhubungan dengan
ideologi dan hegemoni. Hal ini berkaitan dengan cara bagaimana sebuah realitas
wacana atau teks ditafsirkan dan dimaknai dengan cara pandang tertentu.3
“Penelitian media massa lebih diletakkan dalam kesadaran bahwa teks atau
wacana dalam media massa mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa
pada manusia. Seluruh aktifitas dan makna simbolik dapat dilakukan dalam
teks media massa. Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang
bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat
kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang
memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan
idea, kepentingan atau ideologi tertentu eklas tertentu. Pada titik tertentu
teks media pada dirinya sudah bersifat ideologis.”4
Teori kritis melihat bahwa media tidak lepas dari kepentingan, terutama
sarat kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas
lainnya. Dalam artian ini media menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat.
Konsekuensinya logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media bersifat pada
dirinya bias atau terdistorsi.
Proses pemberitaan tidak bisa dipisahkan dengan proses politik yang
berlangsung dan akumulasi modal yang dimanfaatkan sebagai sumber daya. Ini
merupakan proses interplay yang mana proses ekonomi politik dalam media akan
membentuk dan dibentuk melalui proses produksi, distribusi dan konsumsi media
tersebut. Ini berarti bahwa apa yang terlihat pada permukaan realitas belum tentu
menjawab masalah yang ada. Apa yang nampak dari permukaan harian belum
3
Litlejohn (2002), dalam artikel: AG, Eka Wenats wuryanta, “teori kritis dan varian
paradigmatis dalam ilmu komunikasi,” http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-danvarian-paradigmatis.html. diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.
4
AG. Eka Wenats Wuriyanta, “teori kritis dan varian paradigmatis dalam ilmu
komunikasi,”
http://ekawenats.blogspot.com/2006/06/teori-kritis-dan-varian-paradigmatis.html.
diakses pada tanggal 30 september 2013, pukul 14:37 Wib.
16
17
tentu mewakili kebenaran realitas itu sendiri. Teori kritis pada akhirnya selalu
mengajarkan kecurigaan dan cenderung selalu mempertanyakan realitas yang
ditemui, termasuk di dalamnya teks media itu sendiri.
B. Analisis wacana
1. Konsep Analisis Wacana
Dalam suatu studi terhadap media, terdapat beberapa pendekatan yang
dapat digunakan, yaitu analisis isi, analisis framing, analisis semiotika, dan
analisis wacana. Posisi keempatnya sama-sama berada dalam pembahasan
terhadap isi media, khususnya dengan, metodologi kualitatif. Perbedannya adalah
pendekatan analisis isi hanya bertujuan melihat peristiwa apa yang diberitakan
pada suatu media (to find what), sementara kegiatan pendekatan lainnya melihat
bagaimana wartawan memandang suatu peristiwa (to find how). Seiring
perkembangannya, analisis isi dinilai memiliki banyak keterbatasan untuk
menganalisis isi pesan, terutama dalam menyingkap tingkat ideologis suatu
media.
Sementara seperti yang Alex Sobur katakan bahwa dengan analisis
framing, analisis semiotika, dan analisis wacana, dapat dipahami bahwa isi media
itu dipengaruhi oleh berbagai komponen dalam institusi media itu sendiri.5
Rincinya, analisis isi hanya melihat apa yang tertulis dalam teks media. Analisis
semiotika meneliti tanda-tanda yang terdapat dalam bahasa atau gambar. Analisis
framing membedah cara-cara atau ideologi media dalam mengonstruksi fakta
dengan melihat bagian-bagian yang ditonjolkan, dihilangkan, dan arah suatu
pemberitaan. Sedangkan analisis wacana melihat bagaimana cara media/
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 3.
17
18
wartawan
mewacanakan
suatu
berita,
dengan
meneliti
struktur
dan
kesinambungan suatu teks. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
pendekatan analisis wacana.
Istilah wacana secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta
wac/wak/vak, artinya „berkata‟ atau berucap‟. Kata tersebut mengalami
perkembangan menjadi wacana. Jadi kata wacana dapat diartikan sebagai
perkataan atau tuturan. Istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para
linguis di Indonesia sebagai terjemahan istilah dari bahasa inggris discourse. Kata
ini diturunkan dari dis (dan/dalam arah yang berbeda) dan currere (lari).6
Dalam buku Alex Sobur dituliskan pengertian wacana menurut Ismail
Maharimin, yakni sebagai kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut
urut-urutan yang teratur dan semestinya, komunikasi buah pikiran, baik lisan
maupun tulisan, yang resmi dan teratur.7 Sedangkan menurut Roger Flower dalam
buku Eriyanto mengatakan wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang
dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di
dalamnya; kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau
representasi dari pengalaman.8
Mengenai pengertian analisis wacana, Alex Sobur berpendapat bahwa
wacana merupakan studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau telaah
mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.9
6
Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, dalam PELLBA
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 3.
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 10.
8
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media , h. 2.
9
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h.75.
18
19
Pembahasan wacana pada segi lain adalah membahas bahasa dan tuturan
itu harus di dalam rangkaian kesatuan situasi penggunaan yang utuh. Analisis
wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks dari pada penjumlahan unit
kategori, dasar dari analisis wacana adalah interpretasi, karena analisis wacana
merupakan bagian dari metode interpretatif yang mengandalkan pengamatan dan
penafsiran peneliti.10
Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana dalam bahasa. Pandangan
pertama dituturkan kaum positivism-empiris, menurutnya analisis wacana
menggambarkan tata tuturan kalimat, bahasa, dan pengertian bahasa. Pandangan
kedua disebut sebagai konstruktivisme, yang menempatkan analisis wacana
sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu.
Pandangan ketiga, disebut sebagai paradigma kritis yang menekankan pada
konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna, di
mana bahasa dipahami sebagai reprentasi yang berperan dalam membentuk subjek
tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya.11
Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran bebas dan netral. Media
justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi
kelompok yang tidak dominan.12 Pandangan ini melihat bagaimana kedudukan
wartawan dan media yang bersangkutan dalam keseluruhan proses berita.
2. Analisis Wacana dalam Paradigma kritis
Menurut Eriyanto, dalam khasanah studi analisis tekstual analisis wacana
masuk dalam paradigma kritis dimana paradigma kritis ini melihat pesan sebagai
10
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks (Yogyakarta: LkiS,2006), cet. Ke-
7, h. 337.
11
Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), h. 19-20.
12
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 3-6.
19
20
pertarungan kekuasaan, sehingga teks dipandang sebagai bentuk dominasi dan
hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain.13
Sebagaimana dikutip Alex Sobur dalam bukunya Analisis Teks Media,
paradigma kritis menurut Stuart Hall bukan hanya mengubah pandangan
mengenai realitas yang dipandang alamiah tersebut, tetapi juga berargumentasi
bahwa media adalah kunci utama dari pertarungan kekuasaan tersebut, melalui
mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan
menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. Sedangkan menurut Stephen W.
Littlejohn paradigma kritis yaitu, perkembangan teori komunikasi massa yang
didsasarkan pada tradisi kritis Eropa (Marxis) cenderung memandang media
sebagai alat ideologi kelas dominan.14
Fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses pengiriman
pesan kepada khalayak, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai
produksi dan pertukaran pesan pada saat berinteraksi dengan masyarakat yang
bertujuan untuk memproduksi makna tertentu.
Paradigma kritis melihat bahwa media bukanlah saluran yang bebas dan
netral. Media justru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk
mendominasi kelompok yang tidak dominan. Paradigma kritis melihat
komunikasi dan proses yang terjadi di dalamnya haruslah dengan pandangan
holistik. Menghindari konteks sosial akan menghasilkan distorsi yang serius.
Paradigma kritis bersifat holistik dan bergerak dalam struktur sosial ekonomi
masyarakat. Karena menurut pandangan kritis, komunikasi tidak dapat dilepaskan
13
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 21-22.
Alex sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 144-145.
14
20
21
dari
kekuatan-kekuatan
yang
ada
yang
mempengaruhi
berlangsungnya
komunikasi.
Menurut Eriyanto ada beberapa pertanyaan yang muncul dari sebuah
paradigma kritis, yaitu siapakah (orang/kelompok) yang menguasai/mengontrol
media? Kenapa ia mengontrol? Dan Apa keuntungan yang didapat oleh
seseorang/kelompok tersebut dengan mengontrol media? Pihak manakah yang
tidak dominan?, sehingga tidak bisa mempunyai akses dan kontrol terhadap media
bahkan hanya menjadi objek pengontrolan?15 Pertanyaan tersebut menjadi penting
karena paradigma ini percaya bahwa media adalah sarana di mana kelompok
dominan
dapat
mengontrol
kelompok
yang
tidak
dominan
bahkan
mengelompokkan mereka dengan menguasai dan mengontrol media.
3. Pengertian Analisis Wacana Kritis
Sebagaimana dikutip Eriyanto dalam bukunya analisis wacana menurut
Michael Foucault sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep
atau efek). Wacana dapat dideteksi karena sistematis suatu ide, opini, konsep, dan
pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga memengaruhi
cara berpikir dan bertindak tertentu.16 Berdasarkan hal tersebut analisis wacana
yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha
mengungkap kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang
digunakan dalam wacana.
Dari beberapa pengertian wacana yang disampaikan di atas, analisis
wacana kritis lebih mengerucut. Dalam pendekatan kritis memandang bahasa
selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek
15
16
Alex sobur, Analisis Teks Media, h. 24.
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h.65.
21
22
serta berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Analisis
wacana kritis yang juga menggunakan pendekatan kritis menganalisis bahasa
tidak saja dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks
untuk tujuan dan praktik tertentu. Analisis wacana kritis menggali secara
mendalam unsur-unsur yang terdapat dalam suatu wacana.
Mengutip Fairclough dan Wodak dalam Analisis Wacana yang ditulis Aris
Badara mengatakan bahwa analisis wacana kritis adalah bagaimana bahasa
menyebabkan kelompok sosial yang bertarung dan mengajukan ideologinya
masing-masing. Berikut disajikan karakteristik penting dari analisis kritis17 :
a. Tindakan. Wacana dapat dipahami sebagai tindakan (actions) yaitu
mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Seseorang berbicara
menulis, menggunakan bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan
orang lain.
b. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana
seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana dipandang produksi dan
dimengerti dan dianalisis dalam konteks tertentu.
c. Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak dapat
dimengerti tanpa menyertakan konteks.
d. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan.
Wacana dalam bentuk teks, percakapan atau apapun tidak di pandang sebagai
sesuatu yang alamiah wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan
kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan adalah salah satu kunci
hubungan antara wacana dan masyarakat.
17
Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media,
h. 29-32.
22
23
Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis
karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau
pancaran ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi adalah medium melalui mana
kelompok dominan memerkuasai dan mengomunikasikan kepada khalayak
kekuasaan yang mereka miliki sehingga absah dan benar.18
4. Model Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana ini memiliki beberapa model analisis, yaitu model Roger
Fowler dkk., model Theo Van Leeuwen, model Sara Mills, model Teun A. Van
Djik dan model Norman Fairclough. Secara singkat, perbedaan kelima model
tersebut dapat dilihat pada tiga tingkatan analisis wacana: 1) analisis mikro, yang
mempelajari unsur bahasa pada teks, 2) analisis makro, yang menganalisis
struktur sosial, ekonomi, politik dan budaya masyarakat, dan 3) analisis meso,
yaitu analisis pada diri individu sebagai pemroduksi teks dan juga analisis pada
sisi khalayak sebagai konsumen teks. Pada model analisis Roger Flower dkk.,
Theo van Leeuwen, dan Sara Mills, analisisnya hanya dipusatkan pada analisis
mikro dan analisis makro tanpa mengikutsertakan analisis meso. Ketiga analisis
tersebut memiliki kekuatan praktik sosial dan politik yang tercipta dalam
masyarakat.
Sebagaimana dikutip Eriyanto, Sara Mils dalam konsepnya lebih melihat
pada bagaimana aktor ditampilkan dalam teks. Posisi-posisi ini dalam arti siapa
yang menjadi subyek penceritaan dan siapa yang menjadi obyek penceritaan akan
menentukan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna diperlakukan dalam
teks secara keseluruhan. Selain itu juga diperhatikan bagaimana pembaca dan
18
Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media,
h. 34.
23
24
penulis ditampilkan dalam teks dan bagaimana pembaca diidentifikasikan dirinya
dalam penceritaan teks.19
Adapun Theo Van Leeuwen memusatkan analisisnya terutama pada
keterkaitan antara analisis di tingkat mikro dengan analisis di tingkat makro.
Ia mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang
dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana.20
Sementara, pada model Van Dijk dan Farchlough, selain memasukkan
analisis mikro dan makro, terdapat juga analisis meso yang melihat bagaimana
suatu konteks diproduksi dan dikonsumsi. Sehingga dapat dipahami bahwa di
antara lima model analisis wacana, analisis Van Dijk dan Fairclough memiliki
kelebihan di antara tiga analisis lainnya. Namun, model yang paling banyak
dipakai adalah model analisis Van Dijk yang dapat mengelaborasikan elemenelemen wacana sedemikian rupa sehingga dapat digunakan secara lebih praktis
dan dapat diterapkan pada berbagai bentuk wacana.
Kognisi sosial yang diperkenalkan Van Dijk, diadopsi dari ilmu psikologi
sosial. Kognisi sosial ini digunakan untuk menjelaskan struktur dan proses
terbentuknya suatu teks. Dalam metodenya Van Dijk menggunakan metode
penafsiran dalam memahami suatu teks. Metode penafsiran ini mempunyai
kelebihan yaitu peneliti tidak hanya dapat melihat makna yang terdapat dalam
suatu teks semata, tetapi juga dapat menyelami makna yang tersirat dalam teks
tersebut.
5. Analisis Wacana Teun A. Van Djik
“Critical discourse analisyst (CDA) has become the general label for a
study pf text and talk, emerging from critical linguistics, critical semiotics
and in general from sosio-politically conscious and oppositional way of
investigating language, discource and communication”.21
19
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 200-201.
Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, h. 171.
21
Teun Van Dijk. Aims of Critical Discource Analisyst (Japan: Discourse. 1995), h. 7.
20
24
25
“Discourse analysis is concerned with the study of relationship between
language and the contexts in which it is used. Discourse analysist study
language in use: written texts of all kinds, like speech and spoken data from
conversation to highly institutionalized forms of talk”.22
Dari dua pernyataan di atas dapat dipahami bahwa analisis wacana kritis
bermula dari linguistik kritis, semiotika kritis dan kesadaran sosiopolitik dan
merupakan sisi lain penelitian mengenai bahasa, wacana dan komunikasi.
Penelitian ini berfokus pada hubungan antara bahasa dan konteks. Konteks dalam
analisis wacana Van Dijk berfokus pada aspek bahasa non-verbal, aspek sosial
dan aspek situasional dari kegiatan komunikasi, misalnya latar belakang sejarah
dan politik, situasi di mana teks tersebut diproduksi dan sebagainya:
Menurut Van Djik, wacana dapat berfungsi sebagai suatu pernyataan
(assertion), pertanyaan (question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat).
Wacana juga dapat digunakan untuk mendeskriminasi atau mempersuasi orang
lain untuk melakukan diskriminasi.23 Van Dijk menggambarkan bahwa wacana
mempunyai tiga dimensi yang terdiri dari teks, kognisi sosial dan konteks sosial
yang digabungkan ke dalam suatu kesatuan analisis.
Skema penelitian dan metode analisis wacana Van Dijk dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 1.
Skema Penelitian dan Metode Van Dijk
Struktur
Metode
Teks
Critical Linguistic
Menganalisis
bagaimana
wacana
yang
digunkan
22
strategi
untuk
Teun Van Dijk, Handbook of Discourse Analysist (Amsterdam: academic press, 1988),
h. 1.
23
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 71.
25
26
menggambarkan
seseorang
atau
peristiwa tertentu. bagaimana strategi
tekstual
yang
dipakai
untuk
memarjinalkan
suatu
kelompok,
gagasan atau peristiwa tertentu.
Kognisi Sosial
Menganalisis
bagaimana
Wawancara mendalam
kognisi
penulis dalam memahami seseorang
atau peristiwa tertentu yang akan
ditulis.
Konteks Sosial
Studi Pustaka, Penelusuran sejarah, dan
Menganalisis bagaimana wacana yang
wawancara
berkembang dalam masyarakat, proses
produksi dan reproduksi seseorang atau
peristiwa digambarkan.
Sumber: Eriyanto24
a. Teks
Teun A. Van Dijk membuat kerangka model analisis wacana, ia melihat
suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing masing bagian
saling mendukung. Van Djik membaginya kedalam tiga tingkatan:
1. Struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang
dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks. Tema wacana ini bukan
hanya isi, tetapi juga sisi tertentu dari suatu peristiwa.
2. Superstruktur adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan elemen
wacana itu disusun dalam teks secara utuh.
24
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.
26
27
3. Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan
menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang dipakai
dan sebagainya.25
Struktur/elemen yang dikemukakan Van Djik ini dapat digambarkan sebagai
berikut26:
Tabel 2
Struktur model analisis Wacana Van Dijk
Struktur wacana
Struktur Makro
Superstruktur
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Hal yang diamati
TEMATIK
(Tema yang dikedepankan
dalam suatu berita)
SKEMATIK
(Bagaimana pendapat disusun
dan dirangkai?)
SEMANTIK
(Makna yang ingin ditekankan
dalam teks berita)
SINTAKSIS
(Bagaimana
pendapat
disampaikan?)
STILISTIK
(Pilihan kata apa yang
dipakai?)
RETORIS
(Bagaimana dan dengan cara
apa penekanan dilakukan?)
Elemen
Topik (Tema dalam novel
Sepatu Dahlan)
Skema (struktur tiga
babak,
yaitu:
awal,
konflik, resolusi)
Latar, Detil, Maksud,
Pranggapan, nominalisasi
Bentuk
Kalimat,
Koherensi, Kata ganti
Leksiskon
Grafis,
Ekspresi
Metafora,
b. Kognisi Sosial
Van Dijk meneliti teks dari sisi lain yang tidak dilihat oleh penelitian
wacana lainnnya, yaitu unsur kognisi sosial, yang meneliti bagaimana suatu teks
diproduksi dengan memperhatikan latar belakang kepercayaan, pengetahuan,
prilaku, norma, nilai dan ideologi yang dianut wartawan sebagai bagian dari suatu
25
26
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.73-74
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 228-229
27
28
grup. Dalam kerangka analisis Van Djik, perlu ada penelitian mengenai kognisi
sosial yang meneliti kesadaran mental wartawan, dalam hal karya sastra maka bisa
dikatakan kesadaran mental pengarangnya dalam membentuk teks dalam
karyanya. Dalam pandangan Van Djik, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada
struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan
sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna
tersembunyi dari teks, maka dibutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial.
Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna,
tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa.27
Dalam hal ini diperhatikan bagaimana suatu teks diproduksi dan
bagaimana cara ia memandang suatu realitas sosial sehingga dituangkan ke dalam
sebuah tulisan tertentu dalam dimensi kognisi sosial yang memiliki hubungan erat
dengan proses pembuatan teks dimana peristiwa atau informasi yang hendak
ditonjolkan, ditutup- tutupi, waktu, kejadian, dan lokasi, keadaan yang relevan
atau perangkat yang dibentuk dalam struktur teks.
c. Konteks sosial
Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan
konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi, konteks sangat
penting untuk menentukan makna dari suatu tujuan. Konteks sosial berusaha
memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi
pemakaian bahasa.
Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata-mata
dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik
27
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 260.
28
29
berkomunikasi suatu acara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan
dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang.
Dalam pandangan Van Djik, teks itu dapat di analisis dengan
menggunakan elemen tersebut. Untuk memperoleh gambaran dari elemen struktur
wacana (teks) di atas, berikut adalah penjelasan secara singkat:
1) Tematik
Elemen tematik menunjukkan pada gambaran umum dari suatu teks.
Secara harfiah tema berarti “sesuatu yang diuraikan”, yaitu suatu amanat
utama yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.28 Tema bisa juga
disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.29
2) Skematik
Skematik menggambarkan bentuk wacana umum yang disusun dengan
sejumlah kategori seperti pendahuluan, isi, kesimpulan, pemecahan masalah,
penutup, dan sebagainya. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagianbagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan
arti.30
Struktur skematik memberikan tekanan pada bagian mana yang didahulukan
dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk
menyembunyikan informasi penting.
28
Gorys Keraf, Komposisi; Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, (Ende-Flores: Nusa
Indah. 1980), h. 107
29
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 229
30
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 232.
29
30
3) Semantik
Semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan
lingual, baik leksikal (unit semantik terkecil) maupun makna gramatikal
(makna yang terbentuk dari gabungan satuan-satuan kebahasaan).31
4) Sintaksis
Menurut Pateda dalam buku Analisis Teks Media yang ditulis oleh Alex
Sobur, Secara etimologis, kata sintaksis berasal dari kata yunani (sun=
„dengan‟ + tattein= „menempatkan‟). Jadi secara etimologis berarti
menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau kalimat.
Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk
beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase.32
Sintaksis bisa juga diartikan
sebagai tata bahasa yang membahas hubungan antar kata dalam
tuturan/kalimat.
5) Stilistik
Stilistik menitikberatkan pada style (gaya bahasa) yaitu cara yang
digunakan pengarang untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan
bahasa sebagai sarana.
6) Retoris
Retoris adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau
menulis. Misalnya dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik), atau
bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat
31
Wijana, Dasar-dasar Pragmatik, (Yogyakarta: ANDI. 1996), h. 1.
Alex sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 80.
32
30
31
dengan bagaimana pesan itu disampaikan kepada khalayak.33 Strategi retoris
juga muncul dalam
bentuk
interaksi,
yakni
bagaimana pembicara
menempatkan/memposisikan dirinya diantara khalayak.
C. Citra Politik (Political Image)
Rachmat Kriyantono dalam bukunya yang berjudul Teknik Praktis Riset
Komunikasi menyatakan bahwa citra merupakan “mental pictures” yang dibentuk
akibat terpaan stimulus.34 Citra merupakan sebuah persepsi tentang suatu realitas
dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas yang ada. Citra terbentuk
berdasarkan informasi yang diterima.35 Menurut Nimmo (1978), citra adalah
segala hal yang berkaitan dengan keseharian seseorang menyangkut pengetahuan,
perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah
seiring dengan perjalanan waktu.36 Jalaluddin Racmat menyatakan bahwa citra
membentuk berdasarkan informasi yang kita terima. Media massa bekerja untuk
menyampaikan informasi untuk khalayak dimana informasi tersebut membentuk,
mempertahankan atau mendefinisikan citra.37
Politik citra merupakan penggambaran tentang suatu tokoh dalam situasi
dan kondisi apa saja baik politik, sosial, budaya dan lain-lain. Dimana ia berperan
aktif dalam kegiatan politik dan dapat membentuk image diri menjadi sesuatu
yang ia inginkan. Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut
Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi
33
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 83-84
34
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana. 2007), h.
350.
35
Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h.
223.
36
Kamaruddin, Komunikasi Politik dan Pencitraan, http://kamaruddinblog.blogspot.com/2010/10/komunikasi-politik-dan-pecitraan.html, artikel diakses pada 06 januari
2013, pukul 11:17
37
Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi, h. 224.
31
32
realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang
memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili
kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak
harus memiliki tautan logis.38
Dari definisi-definisi tersebut di atas maka citra itu pada intinya bisa
disimpulkan:
1. Kesan yang timbul karena pemahaman akan suatu kenyataan
2. Citra merupakan kesan atau impresi seseorang terhadap sesuatu.
3. Citra merupakan persepsi yang terbentuk dalam benak manusia
4. Citra adalah pencapaian tujuan dari kegiatan PR, Citra sesuatu yang abstrak
tidak dapat diukur dalam ukuran nominal, tapi dapat dirasakan, dan bisa
diciptakan.39
Citra di dalam politik lebih dari sekedar strategi untuk menampilkan
kandidat kepada para pemilih. Tetapi juga berkaitan dengan kesan yang dimiliki
oleh pemilih baik yang diyakini sebagai hal yang benar atau tidak. Artinya citra
lebih dari sekedar pesan yang dibuat oleh kandidat ataupun gambaran yang dibuat
oleh pemilih tetapi citra merupakan negoisasi, evaluasi, dan konstruksi oleh
kandidat dan pemilih dalam sebuah usaha bersama.
Pada dasarnya praktek politik pencitraan merupakan strategi bagi politisi
untuk mendapatkan dukungan dan perolehan suara. Melalui berbagai media dapat
membantu mengemas secara signifikan citra aktor dengan mengkostruksi
38
Gun gun Heryanto, Komunikasi Politik; Di Era Industri Citra (Jakarta:Lasweel
Visitama, 2010), h. 51
39
Akmal Fauzi, “Kajian Pencitraan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Tangerang Selatan” (Tangerang Selatan: Saung Kecapi, 2013), h. 11.
32
33
masyarakat agar dapat memberikan efek positif. Hal itu dilakukan untuk
mendapatkan kekuasaan dengan kekuatan media dalam memproduksi citra politik.
Di masa lampau, bahkan hingga saat ini pun, politik selalu mendapatkan cap
buruk. Padahal sesungguhnya semua orang berpolitik, bahkan ketika sikapnya
adalah „tidak berpolitik‟ itu adalah suatu bentuk keputusan politik.40 Dengan
membanjirnya informasi yang diterima konsumen politik, masing-masing partai
politik (dan politisi) perlu memikirkan strategi yang dapat menentukan
kemenangan. Ketika semua partai politik (dan politisi) melakukan hal yang sama,
yaitu membeberkan rancangan program kerja mereka, makai partai politik (dan
politisi) membutuhkan „image‟ untuk membedakan satu partai politik dengan
partai politik lainnya.41
Terdapat beberapa hal yang terkait dalam strategi pembangunan image
politik, antara lain:42
1. Waktu
Untuk membangun image dibutuhkan waktu yang relatif lama karena
masyarakat dan media perlu merangkai satu-persatu pesan dan aktivitas
politik untuk kemudian dimaknai dan dibentuk pemahaman umum atas image
politik.
2. Konsistensi
Membangun image membutuhkan konsistensi dari semua hal yang
dilakukan partai politik (dan politisi) bersangkutan untuk mencegah ambiguitas
40
Firmanzah, Marketing Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 229
Firmanzah, Marketing Politik, h. 230
42
Firmanzah, Marketing Politik, h. 232
41
33
34
atau inkonsistensi dalam hal-hal yang dilakukan yang membuat image yang
terekam di kalangan publik menjadi tidak utuh.
3. Kesan dan Persepsi
Image politik adalah kesan dan persepsi publik terhadap apa saja yang
dilakukan partai politik (dan politisi) sehingga mereka harus mampu
menempatkan kesan, citra, dan reputasi olitik mereka dalam benak masyarakat.
Hal ini menjadi sangat sulit karena masyarakat memiliki derajat kebebasan
(degree of freedom) yang cukup tinggi untuk mengartikan semua informasi yang
mereka terima.
4. Kesadaran
Image politik terdapat dalam kesadaran publik yang berasal dari memori
kolektif masyarakat. Masyarakat dan publik adalah entitas yang aktif dan dinamis.
Penilaian-penilaian yang berlangsung di masyarakat inilah yang dapat
memunculkan kesan dan image politik.
D. Simulacra Politik
Simulasi (simulation) adalah proses penciptaan bentuk nyata melalui
model-model yang tidak mempunyai asal-usul atau referensi realitas, sehingga
memampukan manusia membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi
tampak nyata. Sedangkan simulakra (simulacra) adalah sebuah duplikasi dari
duplikasi, yang aslinya tidak pernah ada, sehingga perbedaan antara duplikasi dan
asli menjadi kabur.43
Pemikiran Jean Baudrillard masih lekat dengan pemikiran Marshall
McLuhan dalam mengkaji fenomena media, dalam membentuk masyarakat
43
Selu Margaretha Kushendrawati, Hiperrealitas dan Ruang Publik: Sebuah Analisis
Cultural Studies (Jakarta; Penaku, 2011), h. 88.
34
35
konsumen. The Simulation dan simulacra adalah konsep yang penting dalam
menjelaskan
efek
media,
konsep
yang
diusung
oleh
Baudrillard
ini
mengasumsikan apa yang dibangun oleh media akan menjadi kenyataan. Terlebih
lagi ketika kenyataan hasil konstruksi media lebih nyata dari kenyataan yang
sesungguhnya sehingga menjadi populer konsep hyperrealitas.
Begitu besarnya pengaruh media terhadap pembentukan realitas, efek
media terasa sangat kuat terhadap khalayak. Dampak histeris yang dapat dilihat
secara kasat mata ketika khalayak dan seorang tokoh yang dikonstruk oleh media
melakukan meet and great seolah-olah tokoh itu layak dipuja dan diidolakan.
Menurut Baudrillard penjelasan di atas adalah manusia hidup dalam era
ketidaknyataan, kehidupan yang dijalani melebihi dari aturan normal bagi
kebanyakan orang, media telah memanipulasi melalui perkembangan teknologi
komunikasi. Baudrillard memudahkan para peneliti melihat fenomena komunikasi
berbasis teknologi informasi. Seperti fenomena tentang masyarakat informasi dan
realitas simbolik media. Budaya elektronik memudahkan media membangun opini
kepada khalayak sehingga mudah berkembang.44
Politik pencitraan pada dasarnya adalah merupakan simbiosis antara
strategi politik dengan teknik pencitraan yang di dalamnya ada pengemasan
terhadap sesuatu objek pelaku politik baik itu perorangan (tokoh politik) maupun
kelompok
(partai
politik).
politik
pencitraan
digunakan
dalam
rangka
mempengaruhi persespi, perasaan, pilihan dan keputusan politik tertentu.45
44
Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik; Menemukan Relasi antara Dimensi
Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 113-114.
45
Yasraf Amir Piliag, “Simulacra Politik”, http://www.unisosdem.org, diakses pada
tanggal 2 juni 2013, pukul 14:37 wib.
35
36
Pendekatan
politik
pencitraan
secara
esensial
digunakan
untuk
menciptakan ketersambungan atau kontinuitas antara realitas dan citra politik.
namun dalam imagologi politik, pendekatan pencitraan juga bisa digunakan untuk
hal sebaliknya, dimana bila terjadi diskontinuitas antara citra politik dan realitas
politik. dalam hal ini pencitraan digunakan untuk menciptakan realitas kedua
(second reality) yang didalamnya terdapat kebenaran yang dimanipulasi. Sehingga
realitas yang digambarkan lewat pencitraan (realitas virtual) seolah-olah
merupakan realitas sebenarnya (realitas aktual). Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa politik pencitraan merupakan interprestasi dari simulasi realitas
(simulakra).
Jean Baudrillard dalam simulations (1981) mengatakan bahwa simulakra
adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses
penjungkirbalikan
tanda
yang
menciptakan
kekacauan,
turbulensi,
dan
indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Simulakra politik adalah
penggunaan tanda dan citra dalam politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya
citra telah terputus dari realitas yang direpresentasikan sehingga didalamnya
bercampur aduk antara yang asli/palsu, realitas/fantasi, kenyataan/fatamorgana,
citra/realitas yang menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas
(masquerade of reality).46
46
Yasraf Amir Piliag, “Simulacra Politik”, http://www.unisosdem.org, diakses pada 2
juni 2013, pukul 14:37 wib.
36
BAB III
BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN
SINOPSIS NOVEL SEPATU DAHLAN
A. Riwayat Hidup Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara atau yang biasa disapa Daeng Marewa adalah asli
orang indonesia, ia lahir di Sulawesi Selatan, tepatnya di daerah
Borongtammatea kabupaten Jeneponto 89 kilometer dari Makassar, pada
tanggal 10 november 1975. Beliau merupakan putra kelima dari tujuh
bersaudara dari sepasang petani Yadli Malik Daeng Ngadele dan Shafiya
Djumpa yaitu seorang pendongeng spesial bagi anak-anak dan cucu-cucunya.
Khrisna yang memiiki hobi gemar membaca ini mulai merantau sejak
SMA untuk menimba ilmu di sekolah SMKI Negeri Ujung Pandang, dengan
mengambil jurusan teater. Lantaran jurusan yang dipilihnya, membuat hobi
membaca semakin meningkat bahkan menambahkan hobi baru: gila menulis.
Namun sangat disayangkan menimba ilmu di SMKI tidak ditamatkan lantaran
masa sekolah selama empat tahun engan diteruskan olehnya. Saat duduk di
kelas tiga, beliau pindah kemudian melanjutkan pendidikannya ke SMA
Muhammadiyah Sungguminasa, Kabupaten Gowa. Meskipun demikian
aktivitas berteater tetap dilakoninya. Bersamaan dengan itu pula Daeng
Marewa begitu biasa dipanggil oleh orang-orang terdekatnya mendirikan
sebuah Teater Tutur di tanah kelahiran, Kabupaten Jeneponto bersama tiga
temannya, Agus Sijaya Dasrum, Syaripuddin D, dan Syaifullah Marewa.
39
40
Group Teater yang dibuatnya sering diundang untuk mengisi acara drama dan
teater rakyat di TVRI Stasiun Ujung Pandang.
Kegiatan berkesenian itu agak berkurang sejak pemilik hobi gila
menulis ini melanjutkan pendidikan dengan jurusan akutansi
yang
ditekuninya, dengan biaya pendidikan yang ditanggung oleh sebuah lembaga
perbankan. Maka, beliau mengabdi selama tiga tahun untuk mendalami
akutansi. Setelah kontrak kerja usai, Juni 1997, pendiri Teater Tutur ini
memutuskan berhenti dan merantau ke tanah Jawa. Bogor menjadi pilihan
saya. Hingga saat ini bersama keluarga, saya masih menetap di Bogor.1
Penyuka prosa ini merupakan ayah dari dua orang putri, berprofesi
sebagai penyunting lepas dan aktif dalam berbagai kegiatan literasi. Terobsesi
menjadi penulis sejak kecil ini mengatakan, ‘jika ada mimpi, cita-cita, atau
harapan terbesar dalam hidup saya, pasti ‘menulis’ jawabannya.’ Sejak
duduk di sekolah menengah beliau kerap membayangkan buku yang
dianggitnya bisa terpajang disalah satu toko buku. Lalu, pada 1997 tahun
mulanya Khrisna merantau ke pulau Jawa dan meninggalkan tanah kelahiran,
Makassar dengan mengusung harapan besar menjadi penulis. Menekuni hobi
sebagai penulis merupakan kenyataan tidak semudah yang terbayangkan.
Hingga akhir 2003, tak satupun penerbit yang menerbitkan buku puisi
karyanya. Dengan menerima jawaban dari penerbit bahwa kumpulan puisi tak
laku di pasar buku, bahkan gubahan penyair ternama sekalipun. Pernyataan
tersebut tidak membuatnya putus asa, bahkan akibat penolakan-penolakan itu
1
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013.
41
membuat gairah pemimpi menjadi seorang penulis ini terbakar semakin
membara. Hingga kemudian ia beralih sejenak ke dunia non-fiksi.
Pada tahun 2007, akhirnya lahirlah buku pertama yang berjudul 12
Rahasia Pembelajar Cemerlang. Membuatnya seolah bertemu jodoh, setelah
sepuluh tahun menunggu untuk dapat melihat hasil karyanya terpajang di
sebuah toko buku. Selama sepuluh tahun itu pula, beliau berkutat di dunia
pendidikan dan perbukuan, seorang trainer dan motivator pengembangan
kecakapan belajar ini juga semakin aktif menulis esai, cerpen dan puisi di
media, juga bergiat sebagai penulis dan penyunting di Kayla Pustaka. Dalam
bersastra, ia bergiat di Kosakata, Komunitas Mata Aksara dan Kmunitas
Planet Senen. Dengan demikian buku demi buku berlahiran.
Karya-karyanya atau buku-buku yang telah diterbitkan yaitu sejak
April 2013, penyuka prosa ini sudah menggait 16 buku. Fiksi dan non-fiksi.
Karya fiksi yang berupa kumpulan puisi, cerita pendek, dan novel. Sedangkan
non-fiksi selalu terkait dengan pengembangan kecakapan belajar. Sebagai
berikut.
B. Karya-karya Khrisna Pabichara
1. Karya-karya fiksi Khrisna Pabichara
a. Di Matamu [Tak] Ada Luka (Kumpulan Puisi, 2004)
b. Mengawini Ibu (Kumpulan Cerpen: Kayla Pustaka, 2010)
c. Gadis Pakarena (Kumpulan Cerpen: Dolphin, 2012)
d. Berumah Di Negeri Angin (Puisi)
42
e. Hikayat Para Perindu (Puisi, 2011)
f. Seseorang Bernama Cinta (Puisi)
g. Semesta Cinta (Puisi)
h. Setitik Embun Menggantung di Sudut Matamu (Puisi, 2011)
i. Sakramen Rindu (Puisi)
j. Tuhan Mengirimkan Kamu Untuk Kurindui (puisi)
k. Revolusi Berkomunikasi
l. Baby Learning: Cahaya Cinta Cahaya Mata
m. Kolecer dan Hari Raya Hantu
n. Pepatu Dahlan (Novel: Noura Books, 2012)
o. Surat Dahlan (Novel: Noura Books, 2013)
2. Karya-karya non-fiksi Khrisna Pabichara
a. 12 Rahasia Pembelajar Cemerlang (Kolbu, 2007)
b. Rahasia Melatih Daya Ingat (Kayla Pustaka, 2010)
c. Kamus Nama Indah Islami (Zaman, 2010)
d. 10 Rahasia Pembelajar Kreatif (Zaman, 2013)
Yang menginspirasi pengarang dalam penulisan semua hasil karya
yang telah ada adalah dari segala juru. Kadang lahir dari peristiwa yang
diamati selama berhari-hari, kadang hanya terpantik dari sekelebatan peristiwa
atau cerita. Terdapat sebuah cerpen yang di anggit oleh penulis novel Sepatu
Dahlan ini tersebab dari sebuah berita yang ia tonton di televisi, tentang
seorang anak yang „mengawini‟ ibu tirinya. Namun sebagian cerpen yang di
gubah olehnya selalu berhubungan dengan tradisi dan adat Bugis- Makasar.
43
Seperti halnya cerpen yang di tulisnya berjudul Kedai Kopi Ceu Enah,
ditulis setelah beliau menyaksikan fenomena gurandil sebutan bagi penebang
emas liar di Gunung Pongkor, Kabupaten Bogor. Dengan meneropong hal-hal
di luar, kenangan dari tanah leluhur selalu berkaitan dengan tradisi atau
kearifan lokal daerah tertentu. Karena hal demikian terlintas inspirasi untuk
menulis cepen tersebut. Begitu pula dengan tulisan non fiksi. Penulis trilogi
Novel Sepatu Dahlan ini biasanya mendapatkan ide karena dipicu oleh
pengalaman sehari-hari, baik yang disaksikan maupun yang dialaminya
sendiri. Seperti pada karyanya yang berjudul Rahasia Melatih Daya Ingat.
Buku itu dutulisnya setelah beliau menyaksikan sendiri betapa lucu dan
mirisnya nasib kawan yang menderita penyakit lupa yang akut. Begitu pula
dengan Kamus Nama Indah Islami. Buku tersebut lahir tersebab sering
diminta untuk mencari atau memberi nama bagi bayi yang baru lahir.
“Bagi saya, ide itu laksana bintang liar. Saya harus berusaha untuk
mencari, memburu, dan menangkapnya. Setelah itu, mengandangkannya
lewat tulisan.”
C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan
1. Latar Belakang Terbitnya Novel Sepatu Dahlan
Novel Sepatu Dahlan muncul dari sebuah ide atau gagasan yang
dilontarkan oleh Dede Ridwan, CEO Noura Books. Sebuah lini penerbitan
Mizan Group. Hal itu dimulai dari perbincangan ringan Dede Ridwan
dengan Khrisna Pabichara pada pertengahan Desember 2011. Ide itu lantas
ditawarkan penulisannya kepada Khrisna Pabichara dalam percakapan
ringan di cipete.
44
Melihat kisah seseorang yang gigih dalam memperjuangkan
harapan dan cita-citanya dengan segala keterbatasan dan situasi yang
membelit hidup Dahlan membuat Khrisna tanpa berpikir panjang
menerima
tawaran
tersebut
kemudian
membukukannya.
Khrisna
merancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau memoar, melainkan
dibentuk dalam sebuah novel. Dengan banyaknya informasi terkait sumber
cerita mengenai Dahlan Iskan maka novel ini ditulis oleh Khrisna secara
berangkai sebagai novel trilogi.
Novel yang berdasarkan kisah dari seorang pejuang ditulis Khrisna
dengan beberapa peristiwa yang benar-benar terjadi dalam kehidupan
nyata. Namun sebagaimana lazimnya sebuah novel Khrisna mengolah atau
meracik
beberapa
peristiwa,
tokoh,
dan
latar
alur
dengan
imajinasi.Meskipun Khrisna menulis novel sepatu Dahlan pure imajinasi
yang berlatar dari kisah nyata. Namun cerita yang dikemasnya
menghasilkan suatu daya tarik sendiri bagi peneliti maupun pembaca. Hal
itu dapat memancing pembaca untuk membentuk persepsi sendiri atas
kisah yang telah disampaikan mengenai kehidupan Dahlan Iskan.
Berdasarkan hal tersebut novel Sepatu Dahlan terbit dalam berupa
kisah trilogi. Bersamaan dengan hal itu, Khrisna ingin berbagi kabar
kepada pembaca perihal ada seseorang yang begitu semangat berjuang
dengan harapan dan kesungguhan dalam menjalani kehidupannya dan
mampu dengan ketabahan dan keikhlasan melampau situasi yang melilit
hidupnya. Hal lain Khrisna ingin menyampaikannya dengan lebih bewarna
45
yaitu, memperhitungkan latar, alur, konflik dan karakter tokoh Dahlan
Iskan dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Kemudian
semua dileburkan ke dalam sebuah cerita.
2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan
Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang laki-laki
bernama Dahlan (tokoh utama dalam kisah ini). Kisahnya berawal dari
sebuah desa kecil di Kebon Dalem, Magetan. Sebuah perkampungan kecil
di antara perkebunan tebu yang mayoritas penduduknya hidup kekurangan.
Tidak ada listrik ataupun fasilitas lainnya. Saat malam datang rumahrumah itu hanya berhias lampu teplok yang tentunya tidak seterang lampu
zaman sekarang ini. Perjalanan kehidupan yang diwarnai dengan rasa lapar
terus-menerus sudah menjadi keseharian hidup keluarga Dahlan Iskan
dimasa kecilnya.
Tiwul adalah makanan keseharian mereka karena hanya itu yang
mampu mereka beli. Melihat pekerjaan mereka yang hanya nyabit, nguli
nandur, dan ngangon domba. Memang sepertinya hanya itulah yang
mampu mereka jangkau dari pada bebutiran beras.
Kehidupan
mendidiknya dengan keras. Baginya rasa perih dan lapar adalah sahabat
baik yang enggan pergi. Begitu pula dengan lecet dikakinya, hal tersebut
merupakan bukti perjuangan dalam meraih ilmu. Namun, semua itu tidak
menyurutkan semangat Dahlan untuk tetap bersekolah. Meskipun setiap
hari dia harus berjalan berkilo-kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki.
Tak pernah Dahlan kecil merasakan nikmatnya bersekolah dengan
memakai sepatu.
46
Tak hanya itu, sejak kelas 3 Sekolah Rakyat sepulang dari sekolah,
selain sebagai pengembala domba-domba keluarga, masih banyak
pekerjaan yang harus dilakukannya demi sesuap nasi tiwul. Tak jarang
anak seusianya harus membanting tulang, sehingga kehilangan saat-saat
bermain bersama temannya. Di bawah terik matahari yang menyengat,
yang sering membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi
masih harus bekerja lagi. Ia harus bekerja tidak hanya untuk kebutuhannya
saja, tapi juga untuk membantu keluarganya. Ia bekerja sebagai kuli nyeset
dan kuli tandur. Tidak hanya nguli nyeset dan nguli tandur, ia juga melatih
tim voli anak-anak juragan tebu.
Rumah atau lebih tepatnya disebut gubuk keluarga Dahlan Iskan
berlantai tanah. Yang jika musim hujan lantai menjadi basah dan lembab.
Kalau musim kemarau tiba terasa panas dan berdebu. Di atas lantai tanah
itulah, dengan menggelar tikar, Dahlan dan adiknya Zain biasanya
memejamkan mata. Tidur dengan sangat lelap. Sedangkan dinding
rumahnya dari sisa-sisa batu bata merah yang tak terpakai dan sudah
dibuang oleh pemiliknya. Di rumah itu tak ada perabot apapun, termasuk
ranjang, maupun kasur, selain sebuah lemari kecil tua, yang dipakai untuk
menyimpan peralatan dapur dan peralatan membatik sang ibu. Sedangkan
pakaian keluarga itu yang hanya ada beberapa pasang. Sudah cukup
digantungkan di paku yang ditancapkan pada dinding rumah. Walaupun
demikian, Dahlan selalu beranggapan hidup dalam kemiskinan itu, ia sama
sekali tidak merasa menderita. Karena ia menjalani hidup itu dengan apa
47
adanya. Sambil tetap bekerja keras dengan disiplin yang tinggi.
Kedisiplinan yang selalu diterapkan dari bapak. Ia selalu menanamkan
dalam pikirannya bahwa “Hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa
adanya.” Karena hati yang lapang dan sifat yang sabar, hidup serba
kekurangan, semua itu tidak membuat Dahlan putus asa. Ia tidak
merasakan keriangan masa kanak–kanaknya hilang. Ketegasan dan
kelembutan hati seorang ibu, membuatnya bertahan. Persahabatan yang
murni menyemangatinya untuk terus berjuang.
Sepatu. Itulah benda yang paling diidam-idamkan, paling mewah,
sekaligus paling tak terbelikan oleh Dahlan Iskan di kala itu. Orangtuanya
yang miskin, ayah hanya bekerja sebagai buruh tani (mengerjakan sawah
orang lain), dan sekali-kali menjadi kuli bangunan, sedangkan sang ibu
sekali-kali menerima pesanan membatik, tidak mampu untuk membelikan
Dahlan sepasang sepatu, bekas sekalipun. Meskipun mereka tahu anak
laki-lakinya itu sejak lama sangat menginginkannya. Tak jarang, Dahlan
terpaksa menelan air liurnya sendiri ketika melihat ada teman-temannya
yang memakai sepatu yang dinilainya bagus. Disertai dengan mimpimimpi indahnya suatu waktu kelak bisa memakai dan mempunyai sepatu.
Ibu, sosok yang baik hati dan sabar itu, sangat disayang oleh
Dahlan. Pernah suatu ketika saat ibu Dahlan sakit, dan harus dirawat di
rumah sakit, Zain dan Dahlan lapar karena tidak ada makanan di rumah.
Terpaksa Dahlan mencuri tebu di kebun yang dijaga oleh mandor Komar.
Namun, nasib baik sedang tidak berpihak ia tertangkap dan harus
48
menanggung malu. Semenjak itulah ia selalu berusaha tidak mencuri
meskipun perut menahan rasa sakit karena lapar. Sakit yang diderita
ibunya semakin parah sehingga tidak dapat terselamatkan. Ibunya
meninggal saat Zain dan Dahlan lama menunggu kepulangan Ayah yang
membawa ibunya kembali ke rumah. Kehidupan Dahlan semakin terpuruk
setelah ditinggal Ibunya. Harapan untuk mendapatkan sepasang sepatu
yang selalu diutarakan kepada ibunya semakin pupus. Karena lebih banyak
kebutuhan yang mendesak dan sangat perlu dibandingkan sepasang sepatu.
Selain sepatu, Dahlan juga sangat mendambakan sebuah sepeda.
Agar dia tidak perlu lagi berjalan kaki pergi-pulang sejauh 12 kilometer
untuk sekolah, di bawah terik matahari yang menyengat. Yang sering
membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi masih harus
bekerja lagi, nguli nyeset.
Dari kerja kerasnya itu Dahlan selalu mendambakan akan mampu
membeli sepasang sepatu baginya dan adiknya, Zain. Tetapi, selalu saja
tidak kesampaian, karena belum juga duitnya cukup terkumpul, selalu ada
keperluan lain yang jauh lebih penting. Membeli gula, garam, beras,
minyak goreng, dan sebagainya. Namun demikian, kemiskinan bagi
Dahlan
bukan halangan untuk menuntut ilmu dan meraih impiannya.
Keinginan bersekolah di sekolah idamannya. SMP Magetan tak bisa ia
rasakan, bukan karena ia tak bisa bersekolah di Magetan, lantaran larangan
dari bapak. Bapak melarang karena faktor biaya dan jarak bersekolah yang
49
terlalu jauh. Hingga bapak meimnta Dahlan untuk bersekolah di Pesantren
Takeran, karena banyak keluarga yang memang di sekolahkan di sana.
Dahlan pun masuk ke Pesantren Takeran dengan melewati masa
orientasi yang menyenangkan terutama dengan kata-kata sambutan yang
bijak dari Ustad Ilham yang membuat Dahlan merasa bersalah karena telah
memandang remeh Pesantren ini. Sejarah pesantren Takeran tak bisa
dipisahkan dengan pelarian Pangeran Diponegoro, Kyai Hasan Ulama
bersama sahabatnya Kyai Muhammad Ilyas yang mendirikan Pesantren
Takeran pada tahun 1430 H. sejarah pesantren takeran juga tidak lepas dari
sejarah Kiai Mursid yang mengubah nama pesantren Takeran menjadi
Pesantren Sabilil Muttaqien yang ditahan oleh FDR yang didampingi oleh
sahabatnya Imam Faham dan tidak kembali lagi.
Di pesantren itu pula Dahlan mengikuti tim bola voli di sekolahnya
dan menjadi peserta unggulan. Pernah suatu ketika, Dahlan bersama teman
satu tim mewakili sekolahnya dalam kejuaraan bola voli kemudian
berhasil menjadi juara. Yang pada awalnya Dahlan dan teman-temannya
sempat putus asa karena dalam pertandingan tersebut diwajibkan memakai
sepatu, sedangkan Dahlan tak memiliki sepatu. Namun ia dan teman setim
tidak menyerah begiu saja. Pertandingan tetap dijalaninya. hingga tak
disangka karena prestasi yang bagus dalam bola voli Ia dipercayai menjadi
ketua tim voli Pesantren Takeran. Demikian pula ia menjadi pelatih voli
anak-anak juragan tebu. Untuk menambah tabungannya dengan upah yang
tak seberapa. Dengan kepolosan, ketekunan, kerajinan, ketakwaan yang
50
dimiliki oleh Dahlan. Iapun terpilih sebagai pengurus ikatan santri yang
baru, yang harus memegang amanat yang dibebankan olehnya.
Menjalankannya dengan pesan dari Kiai Irsjad bahwa untuk menjadi
pemimpin santri itu harus tawaduk, harus rendah hati, karena menjadi
pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang berhak memerintah
sekehendak hati, melainkan jadi pelayan bagi orang-orang yang
dipimpinnya. Kemudian harus tawakal. Karena dunia ini hanya
persinggahan semata. Jabatan adalah amanat yang dilimpahkan kepada
kita, kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban. 2
Kehidupan telah mendidik Dahlan kecil dengan keras. Hidup
kekurangan, mengharukan, menyedihkan telah dirasakannya. Ketegasan
sang ayah dan kelembutan seorang ibu, membuatnya tetap bertahan.
Persahabatan yang murni menyemangatinya untuk terus berjuang untuk
meraih impiannya. Mendapatkan sepatu dan sepeda menjadi cita-cita
besarnya. Baginya kemiskinan bukan untuk ditakuti ataupun disesali.
Hingga akhirnya keinginan itu bisa tercapai, dari hasil jeri payah dan kerja
keras Dahlan dapat membeli sepasang sepatu untuknya bekaspun tak jadi
masalah, sehingga Dahlan juga dapat membelikan adiknya Zain sepasang
sepatu.
Tiba hari kelulusan para santri Pesantren Takeran membuat Dahlan
bersedih karena takut kehilangan sahabat pejuang yang begtu murni, yang
saling mendukung, selalu menghadapi bersama-sama, selalu memberikan
2
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, Noura books, Jakarta, 2012. Hal. 158
51
semangat juang, sahabat yang selalu memberikan kisah penuh canda dan
tawa. Ketika malam hari Arif berkunjung ke rumah Dahlan dengan sepeda
melaju dengan sangat cepat untuk menyampaikan surat penting dari Aisha.
Wanita yang ia sukai sejak duduk di sekolah menengah. Namun Dahlan
tak pernah memiliki nyali untuk mengatakan perasaan itu kepada Aisha.
Surat yang isinya mengatakan bahwa Aisha juga menaruh hati pada
Dahlan, dan ia meminta Dahlan untuk menunggunya selama tiga tahun
karena setelah lulus Aisha melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta.
Sepintas Dahlan merenung dan berpikir meminta izin kepada bapaknya
untuk merantau ke Samarinda tempat kakaknya. Keinginan itu direstui
oleh bapak Dahlan. Meskipun berat karena Dahlan harus meninggalkan
adiknya Zain yang begitu amat disayanginya.
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN
A. Hasil Temuan Penelitian
Dalam analisis teks, peneliti memfokuskan pada strategi wacana serta
teknik penulisan yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa tertentu,
dengan cara menguraikan struktur kebahasaan secara makro (tematik),
superstruktur (skematik), dan mikro (semantik, sintaksis, stilistik dan retoris).
Novel Sepatu Dahlan setebal tiga ratus enam puluh halaman dirangkai
oleh Khrisna Pabichara dengan alur yang terdiri atas satu prolog dari halaman
satu sampai halaman sembilan, tiga puluh dua episode dari halaman tiga belas
sampai halaman tiga ratus lima puluh sembilan dan epilog dari halaman tiga
ratus enam pulu empat sampai halaman tiga ratus enam puluh sembilan. Tidak
kesemua judul terkait secara langsung tentang pencitraan Dahlan Iskan.
Melainkan pula terdapat kisah yang menceritakan sosok Dahlan terkait dengan
lingkungan di sekitar. Peneliti menganalisis dan mengkategorikan kalimatkalimat yang terkait secara langsung dengan sosok Dahlan melalui cerita
novel tersebut. Hal tersebut dilakukan karena penelitian ini merupakan
penelitian dengan tujuan utamanya adalah untuk menganalisa penggambaran
pencitraan Dahlan Iskan sebagai tokoh utama dalam Novel Sepatu Dahlan.
Secara lebih jelas, analisis teks wacana kritis Novel Sepatu Dahlan
mengenai pencitraan yang terbangun atas novel tersebut dapat dijelaskan
secara rinci pada masing-masing sub bab di bawah ini melalui elemen analisis
teks model Van Dijk.
52
53
1. Struktur makro
Unsur global dari wacana disebut tematik. Tema merupakan gagasan
inti dari suatu teks yang menggambarkan apa yang ingin disampaikan oleh
seorang penulis kepada pembaca melalui tulisannya dalam melihat atau
memandang suatu peristiwa. Tema dalam suatu karya fiksi atau novel
merupakan gagasan sentral yang menjadi dasar penulisan sebuah karya dan
dalam tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat penulis kepada
pembaca melalui tulisannya. Secara keseluruhan, Novel Sepatu Dahlan
menceritakan tentang perjalanan kehidupan Dahlan kecil. Kisah tersebut
diawali dengan prolog kemudian mengkisahkan perjuangan hidup Dahlan
kecil yang tinggal di Perkampungan, Desa Kebon Dalem Magetan sampai
lulus sekolah menengah dan setelah itu berencana merantau. Namun, di akhir
cerita novel ini terdapat epilog yang membangunkan dan mengkisahkan cerita
baru berupa sebuah mimpi baru bagi Dahlan.
a. Mimpi Dan Cita-cita
Tema
secara
umum
pada
Novel
Sepatu
Dahlan
adalah
menguraikan tentang Mimpi dan Cita-cita. Tema tersebut diuraikan
penulis dalam bentuk masalah sosial, khususnya kemampuan seseorang
untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan menempuh
berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan bagaimana upaya yang
dilakukan Dahlan kecil untuk meraih mimpi dan cita-citanya berupa sepatu
dan sepeda. Dan bagaimana Dahlan kecil dengan lincahnya menggapai
visi hidupnya. Tidak pernah takut bermimpi untuk meraih cita-cita
54
setinggi-tingginya. Akan tetapi yang menarik di sini adalah seolah Dahlan
paham betul efek dari kerja kerasnya untuk masa depannya. Padahal masa
itu adalah masa bermain Dahlan, yang seharusnya tidak terlalu jauh
berfikir tentang visi dan misi hidupnya, akan tetapi Dahlan berimajinasi
diluar batas anak seusianya.
Mengenai sepatu dan sepeda yang menjadi mimpi dan cita-cita
terlihat dalam penggalan berikut ini.
“Tak ada salahnya bermimpi punya sepatu, tetapi jangan karena
mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus asa. Hidup ini keras,
kamu harus berjuang sendiri”
“Meskipun Ibu pasti menyadari bahwa aku memang sejak dulu ingin
sepatu, dan keinginan itu semakin bertambah setelah aku menginjak
usia remaja. Dengan sepatu itu, kakiku tidak perlu melepuh atau lecetlecet. Meski begitu, aku tak berharap Ibu atau Bapak akan
membelikan sepatu untukku. Kemiskinan telah mengajari kami bahwa
banyak yang lebih penting dibeli dibanding sepatu.”1
Kemahiran penulis novel dalam merangkai teks terangkai dalam
setiap kalimatnya yang ia tulis. Seperti kegigihan Dahlan kecil yang
tertulis
di
dalam
teks,
sangat
terasa
dimata
pembaca
novel.
Menggambarkan betapa keinginan Dahlan dalam mewujudkan cita-citanya
untuk memiliki sepatu dan sepeda. Teks tersebut juga menggambarkan
betapa kemandirian Dahlan semenjak kecil karena ia ingin mewujudkan
cita-citanya tanpa dibantu orang tuanya.
“Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak disebut
cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di
kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpimimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya.
Dulu aku sering bertanya-tanya bagaimana rasanya orang-orang
berjalan dengan sepatu, dan bertekad kelak aku harus bisa beli sepatu.
1
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, (Jakarta Noura Books PT. Mizan Publika), h. 40-41
55
Harus. Dulu aku juga sering memikirkan enaknya memperpendek
jarak tempuh dengan sebuah sepeda, dan kupikir akan sangat
menghemat waktu dibanding jalan kaki, hingga aku sangat
meninginkan sebuah sepeda.”
“Aku pernah nguli nandur berhari-hari, berharap dari upahnya aku
bisa membeli sepasang sepatu. Namun, ketika upah itu kuterima, ada
barang lain yang mesti ditebus dan itu jauh lebih mendesak dibanding
sepatu seperti beras, tepung singkong, cabai, gula, atau minyak tanah.
Aku ikut nguli nyeset dan berharap dari upahnya aku bisa punya
sepeda, tetapi ada saja yang terjadi sehingga upah itu tak pernah
dipakai membeli sepeda.”2
Kegigihan, cita-cita yang tinggi yang dimiliki Dahlan menjadi nilai
tersendiri bagi penulis novel dalam mengolah kata-kata, yaitu Khrisna
Pabichara. Ia mengatakan usaha yang dilakukan Dahlan kecil sama halnya
yang ia lakukan sejak kecil dalam menggapai sebuah mimpi, jeri payah,
semangat, dan pantang menyerah. Kesamaan latar belakang menjadi daya
tarik sendiri untuk penulis. Alasan inilah yang membuat Khrisna antusias
dalam menulis tentang kehidupan Dahlan. Hal demikian tercakup pada
hasil wawancara sebagai berikut.
“secara pribadi saya menyukai pemikiran dan terobosan Dahlan Iskan
yang kerap dituturkan lewat tulisan-tulisan di media. Saya juga ingin
berbagi kabar kepada pembaca perihal ada seseorang yang begitu
gigih memperjuangkan harapan dan cita-cita sederhananya. Bahkan
dengan segala keterbatasan, mampu melampau situasi yang membelit
dan melilit hidupnya. Hal lain, masa kecil Dahlan Iskan rada mirip
dengan masa kecil saya. Kami lahir dan besar dari keluarga sederhana,
sebut saja miskin- yang buat makan saja amat susah. Kami juga samasama mengembala kambing, bedanya hanya pada ternak piaraan: pak
Dahlan menggembala kambing, saya menggembala kerbau. O ya,
kami juga sama-sama nyeker kalau ke sekolah. Ini saya maksud
dengan ada kemiripan latar masa lalu. Kalaupun ada perbedaan, lebih
lantaran Dahlan Iskan sekarang sudah kaya. Saya, belum. Hehe”3
2
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 337-338
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013.
3
56
b. Kesederhanaan
Topik lain yang disajikan dalam tema sentral di atas adalah mengenai
kehidupan yang sederhana. Tema hidup sederhana tersebut merupakan
serangkaian alur cerita yang menggambarkan kondisi kehidupan keluarga
Dahlan kecil. Dahlan dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba
kekurangan, begitu pula dengan rumahnya yang berlantai tanah. Jika musim
hujan datang lantai selalu basah dan ketika musim kemarau lantai akan selalu
berdebu. Disisi lain ada cerita menarik yang yang menggambarkan betapa
serba kekurangannya Dahlan saat kecil. Disitu diceritakan Dahlan kecil hanya
memiliki satu celana pendek dan satu baju, tapi masih memiliki satu sarung.
Diceritakan dalam novel bahwa sarung yang Dahlan miliki bisa jadi apa saja.
Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan sampai
menjadi alat untuk menakut-nakuti. Dimana kisah mengenai kehidupan
Dahlan digambarkan Khrisna seperti di bawah ini;
“Pakaian misalnya, aku hanya punya sepasang dan itu alamat akan
jadi bahan ejekan bagi murid-murid lain yang rata-rata punya orang
tua yang mampu membelikan mereka banyak pakaian.”4
Teks ini menjelaskan kondisi kehidupan Dahlan yang sederhana, yang
hidup dalam kemiskinan, Dahlan nampak terlihat kekurangan semenjak kecil,
tidak pernah membayangkan memiliki pakaian lebih, untuk makan sehari-hari
saja belum tentu bisa. Seperti teks yang peneliti temui sebagai berikut.
“sebatang pohon mangga yang rimbun tepat berada di tengah
halaman. Jelang musim hujan, mangga itu adalah rezeki berlimpah
4
h. 21-22
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, (Jakarta Noura Books PT. Mizan Publika),
57
bagi kami;buah pengganjal perut. Di dekat pagar, tiga pohon kelapa
gading berjajar dengan rapi. Tingginya sekitar lima meter. Kelapa
gading yang di tengah itu sering mengancam nyawa adikku.”5
Dalam teks di atas dijelaskan bahwa ketika musim hujan tiba adalah
rezeky yang berlimpah bagi Dahlan karena mendapatkan buah mangga.
Artinya buah mangga itu menjadi makanan pengganjal perut Dahlan dan
Adiknya disaat lapar. Selain itu yang digambarkan sederhana dalam
kehidupan Dahlan peneliti temukan dalam teks sebagai berikut.
“Rumahku. Seperti rumah lainnya di kampung ini, berlantai tanah.
Jika musim hujan tiba, akan lembab dan basah. Setiap kemarau
datang, lantai tanah itu panas dan berdebu. Di sana, di lantai tanah
yang lembab atau berdebu itu, aku dan adikku menggelar tikar setiap
malam. Ajaibnya, kami selalu bisa mendengkur dengan nikmat”6
Melalui tulisannya, Khrisna melukiskan secara fakta kondisi
kehidupan yang di alami Dahlan kecil. Penggambaran hidup sederhana Dahlan
kecil yang disampaikan penulis dalam tulisannya mencerminkan tokoh dengan
sosok figur yang sederhana. Dengan adanya figur Dahlan dalam novel,
Khrisna menggambarkan fenomena sebagian kehidupan rakyat kalangan
bawah, mulai dari masalah ekonomi maupun pendidikan. Hal yang
menyangkut tema hidup sederhana juga terdapat dalam kalimat sebagai
berikut.
“Sejak Ibu meninggal, Bapak jarang di rumah. Setiap malam tiba,
dengan lampu teplok di tangan, beliau ke sawah bengkok yang dia
garap. Kadang pulang setelah malam larut, kadang beberapa saat
sebelum subuh berkumandang, lalu pergi lagi. Aku dan Zain juga
sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan,
pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu
untuk menyambit rumput. Embun masih tersisa di daun rumput yang
5
6
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 44
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 42
58
kami sabit itu, tapi kami harus berlomba dengan matahari. Setiba di
rumah, tak ada sarapan pagi. Paling sekedar teh hangat dari air yang
dijerang Bapak..”7
Gambaran kehidupan Dahlan yang sederhana dapat dilihat pada teks di
atas yang menjelaskan tidak ada sajian istimewa untuk dihidangkan, hanya
sekedar air teh hangat yang disediakan oleh bapak Dahlan. Sederhana yang
dimiliki Dahlan tidak hanya sederhana dalam kehidupannya, mulai dari
pakaian, kondisi rumah, bahkan untuk makan sehari-hari tak pernah terlihat
istimewa.
c. Perjuangan
Tema selanjutnya menguraikan arti perjuangan seseorang. Berbeda
dengan tema sebelumnya, tema perjuangan yang dipaparkan Khrisna
menjelaskan seorang anak dusun yang berjuang. Bagaimana perjuangan
Dahlan kecil demi mendapatkan pendidikan, susah payah yang ia dapatkan
semasa sekolah hingga perjuanganya mendapatkan sepasang sepatu untuk
digunakannya saat bersekolah. Kisah Dahlan dalam novel ini bertujuan untuk
membangkitkan semangat setiap orang yang membacanya karena berisi pesan
moral yang sangat kuat. Salah satunya adalah bahwa setiap orang berhak atas
keberhasilan dalam hidupnya. Tidak peduli dia lahir dari keluarga miskin
sekalipun.
Keras dan pahitnya perjuangan hidup Dahlan kecil untuk tetap terus
menuntut ilmu dan bersekolah. Baginya, pendidikan adalah hal yang tidak bisa
tergantikan dengan harta kekayaan manapun, siapa yang ingin sukses maka ia
7
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 163
59
harus siap menjadi sosok terdidik walau sesulit apapun perjuangan yang ia
hadapi. Baginya rasa perih karena lapar adalah sahabat baik yang enggan
pergi. Begitu pula dengan lecet di kakinya, bukti perjuangan dan kegigihan
dalam meraih ilmu. Bagaimana tidak, ia harus berjalan berkilo-kilometer
untuk bersekolah tanpa alas kaki. Semua itu tak membuat Dahlan putus asa,
justru ia terus termotivasi untuk terus belajar dan menggapai cita-citanya. Hal
tersebut tercakup dalam teks berikut.
“Ibu yang sedang asyik membatik terkejut dan segera mendatangiku.
“Capek, le”?
Capek banget, Bu,” keluhku sambil membaringkan badan,
memejamkan mata.
“tidur dulu sebentar.”
Aku menggelengkan kepala. “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit
lagi.”
“tapi kamu kan baru pulang, le?
„ini hari pertama, Bu. Kata bapak, nanti juga terbiasa.”
Ibu tersenyum dengan manis, “iya…”8
Teks di atas menunjukkan bahwa Dahlan adalah anak yang suka
bekerja keras. Ketika sepulang sekolah ia tetap menjalankan tugasnya
menyabit rumput. Meskipun lelah, ia tetap bekerja. Seperti saat ibu menyuruh
Dahlan istirahat, namun ia tetap bekerja. Kutipan lain adalah sebagai berikut;
“keputusan sudah ditetapkan. Tak boleh ada bantahan atau sanggahan.
Tapi, aku bukan orang yang gampang menyerah.”9
“Hari pertama di Pesantren Takeran memang telah mengobati
kekecewaan hatiku karena gagal melanjutkan sekolah di tempat
impian. Namun, ketika dalam perjalanan pulang, alam menghadirkan
kejutan yang tak kalah menyiksa. Matahari tepat berada di ubun-ubun,
panas membara. Bayang-bayang memendek. Aku berjalan kaki
sepanjang enam kilometer dengan perut keroncongan. Keringat
bercucuran di dahi, leher, dan punggung. Kerongkongan yang kering
terasa terbakar. Waktu berlalu amat lambat. Setiba di rumah, aku
8
9
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 39-40
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 20
60
terkapar. Tak berdaya karena haus dan lapar. Pandangan berkunangkunang, kesadaran menipis, dada sesak, dan napas tersengal-sengal.”10
Pada teks di atas Khrisna mengungkapkan secara fakta, ini didasarkan
penelitian penulis ketempat-tempat dimana dulu Dahlan menjalani hidupnya.
Berjalan enam kilometer, mengembala domba, berjalan ditengah-tengah
perkebunan tebu dan bergesekan dengan daun tebu tanpa alas kaki. Inilah
sebagian penelitian penulis terhadap kisah perjuangan dari seorang Dahlan
untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Khrisna terjun langsung ke
lapangan untuk merasakan apa yang dirasakan Dahlan ketika itu. Ini dilakukan
agar penulis bisa merasakan apa yang dialami Dahlan, dan apa yang di tulis
dalam novel dengan kejadian aslinya tidak jauh berbeda.
Khrisna menguraikan sosok Dahlan Iskan, tokoh utama dalam novel
Sepatu Dahlan dengan berbagai upaya suka cita yang dilewati Dahlan kecil
dalam menempuh perjalanan ke sekolah yang setiap harinya dialami ketika
pulang dan pergi ke sekolah. Hal demikian dapat menunjukkan citra sebagai
pejuang bagi tokoh Dahlan tersebut.
Teks yang menguraikan Dahlan Iskan sebagai sosok pekerja keras juga
terdapat pada penggalan kalimat berikut.
“sungguh aku ingin mengatakan bahwa selama ini tak ada waktu
luang agar aku bisa belajar dengan tenang. Setelah salat subuh sudah
harus menyabit rumput, terus ke sekolah, setelahnya menyabit rumput
lagi, lalu belajar mengaji, ngangon domba, dan tatkala malam sudah
menyelimuti Kebon Dalem tak mungkin lagi belajar karena gelap
gulita. Tapi, lidahku sekonyong-konyong kelu, tak mampu
mengatakan apa pun.”11
10
11
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 39
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 19
61
Kalimat di atas diuraikan kembali oleh Khrisna pada bab ke tujuh yang
berjudul „senyum ibu‟ pada cerita novel sepatu Dahlan.
“Matahari belum terbit waktu aku pulang nyabit rumput untuk dombadombaku. Biasanya setelah salat Subuh aku bertualang ke pematangpematang sawah atau jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit
rumput. Setelah itu, baru berangkat ke sekolah yang letaknya tak
seberapa jauh dari Kebon Dalem, tepatnya di Kampung Bukur, di
seberang Sungai Kanal.”12
“Aku dan Zain juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersamasama ke tegalan, pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas
ladang tebu untuk menyambit rumput. Embun masih tersisa di daun
rumput yang kami sabit itu, tapi kami harus berlomba dengan
matahari.”13
Dalam teks di atas Khrisna menyampaikan sejarah perjuangan yang
dialami Dahlan, kerja keras setiap hari, setiap pagi sehabis shalat subuh
Dahlan selalu bekerja menyabit rumput setelah itu ia berangkat ke sekolah.
Tak hanya itu, sepulang belajar, masih banyak pekerjaan yang harus
dilakukanya demi sesuap nasi tiwul. Mulai dari nguli, nyeset, nguli nandur,
sampai melatih tim voli anak-anak juragan tahu.
Usaha yang dilakukan
Dahlan diselipkan Khrisna dalam bab satu dan bab tujuh yang menceritakan
tentang usaha kerja keras untuk menyambung hidupnya. Hal itu dilakukan
dengan semangat hidup dan keyakinan atas kekuasaan Allah SWT, Dahlan
terus tumbuh menjadi sosok pejuang yang sukses.
d. Kedisiplinan
Tema selanjutnya menerapkan sebuah kedisiplinan. Dahlan selain
dapat dikenal sebagai figur yang sederhana, ia juga dapat dikenal sebagai
sosok yang disiplin. Meskipun terlahir dalam kondisi keluarga serba
12
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 74-75
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 163
13
62
kekurangan, namun Dahlan terdidik dengan keras, pendidikan dan
kedisiplinan selalu diterapkan dalam dirinya. Sejak kecil Dahlan selalu dididik
agar selalu disiplin. Baik dalam segi waktu, sikap, maupun hal-hal yang
berkaitan dengan kedisplinan. Hal tersebut dideskripsikan oleh penulis pada
bab ke lima dalam novel sepatu Dahlan yang berjudul „berhenti merawat
luka‟.
“Hari ini aku memakai kemeja baru. Kata Ibu, hadiah dari Bu Mantri
karena aku rajin membantu Ibu. Andai saja hadiahnya sepatu. Aku
segera mengusir angan-angan tentang sepatu itu sebab hanya akan
menambah perih di hati dan lecet di kaki. Tibalah aku di depan papan
pengumuman yang terpajang di dinding kantor. Belum seorang pun
santri yang datang. Baru aku seorang. Dan, ini hal yang biasa bagiku.
Di rumah, Bapak sangat ketat melatih kami soal disiplin, begitulah
cara kami menghargai waktu.”14
“seperti aturan-aturan lain di rumahku, larangan itupun tak boleh
dilanggar. Kedisiplinan bapak itu telah mengkristal di hatiku.”15
Memiliki sikap disiplin dalam bekerja dan dalam hal apapun terserap
pada tokoh Dahlan sejak kecil dalam novel Sepatu Dahlan. Dan apa yang di
tuangkan Khrisna mengenai Dahlan dalam novel tersebut tergambar tokoh
dengan karakter yang disiplin. Ini tertulis di dalam bab yang ada dalam novel.
e. Persahabatan
Tema lain yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan adalah tema
mengenai sebuah persahabatan. Hal tersebut mengacu pada kisah persahabatan
semasa remaja Dahlan. Sebenarnya selain dua hal tersebut, persahabatan juga
mewarnai harti-hari Dahlan kecil. Betapa persahabatan membuat segala hal
menjadi mudah jika dipikirkan bersama. Tak ada yang tak bisa jika seluruh
14
15
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 53
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h.114
63
sahabat bersatu padu. Bahkan dalam kenakalan pun mereka bersatu, kompak.
Kadang dalam persahabatan ada perselisihan, tapi itu membuat persahabatan
yang ada kian kental.
Persahabatan yang tulus anak-anak miskin dilukiskan penulis dengan
baik. Hal tersebut diuraikan penulis dalam teks berikut.
“tiga laki-laki dan dua perempuan di hadapanku seperti sepakat
memandang ke masa silam. Kadir baru saja merampungkan lagu yang
dia dendangkan, lagu yang dia gubah sendiri syairnya. Lagu tentang
persahabatan sejati tanpa memandang asal muasal. Lagu yang
diilhami oleh persahabatan kami, arif, Imran, Maryati, Komariyah, dia
dan aku, dan berharap persahabatan kami tidak berakhir hingga di sini,
di masa-masa akhir Madrasah Aliyah Pesantren Sabilil Muttaqien.”16
“Tuhan memberkati hidupku lewat pertemuan dan pertemanan yang hebat.”17
Khrisna menceritakan peritiwa persahabatan yang digambarkan oleh
tokoh-tokoh dalam novel Sepatu Dahlan mengacu pada bagaimana seseorang
harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah dan
menghadapi situasi tertentu. Persahabatan yang didasari dari saling
menghargai, saling mengormati adalah hal bijak yang seharusnya dilakukan
manusia sebagai makhluk sosial. Sesungguhnya sebagai makhluk sosial
realitanya kita tidak dapat hidup sendiri. Dengan demikian dapat tercipta sikap
toleransi dan rasa persaudaraan yang lebih kental dan kuat.
f. Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan juga menjadi tema yang peneliti tuangkan dalam
Novel Sepatu Dahlan. Hal ini mengacu pada hal-hal yang dialami Dahlan
Iskan sepanjang hidupnya. Khrisna menyelipkan kisah Dahlan kecil banyak
16
17
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 340
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 344
64
memberikan ajaran dan perilaku yang dapat diterapkan oleh teman-temannya.
Setiap manusia memiliki kisah hidup yang berbeda. Namun, kisah yang
berbeda tidak membuat seseorang menyerah akan kehidupan yang lebih baik.
Sosok Dahlan Iskan yang digambarkan dalam hal demikian terdapat pada
kutipan sebagai berikut.
“Meski warga Kebon Dalem miskin, anak-anak atau remaja seusiaku
semuanya bersekolah. Bagi penduduk Kebon Dalem, kemiskinan
bukan halangan untuk menuntut ilmu.”18
Hal demikian terdapat pula dalam teks yang disampikan penulis dalam
bab ke enam yang berjudul „Gitar Kadir‟ berupa pesan yang disampaikan.
“Kalau tidak ada guru, berusahalah belajar sendiri. Belajar tidak harus
di bawah sorot mata guru.”19
Hal lain yang dilukiskan penulis mengenai nilai pendidikan terdapat dalam
kutipan sebagai berikut.
“Tak ada kegembiraan bagi setiap pencoba selain keberhasilan pada
percobaan pertama yang dia lakukan.”20
Hal tersebut diungkapkan kembali oleh Khrisna dalam teks sebagai berikut.
“kita dapat menjadi orang yang merasa tidak beruntung karena lahir di
tengah-tengah keluarga miskin, bermimpi ketiban rezeki semacam
„durian runtuh‟ agar bisa membeli benda-benda idaman, atau
membayangkan hal-hal lain yang menggiurkan seperti nasib baik
anak-anak orang kaya. Tapi kita dapat juga memilih menjalani hidup
dengan wajar dan penuh keriangan, berusaha membantu orang tua
sedapat mungkin, meraih segala yang didamba dengan keringat
sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan.”21
18
Khrisna Pabichara,
Khrisna Pabichara,
20
Khrisna Pabichara,
21
Khrisna Pabichara,
19
Sepatu Dahlan, h. 15
Sepatu Dahlan, h. 105
Sepatu Dahlan, h. 115
Sepatu Dahlan, h. 248
65
Kutipan di atas diuraikan Khrisna dengan tujuan untuk memberikan
sebuah pesan yang dapat ditiru dari sosok seorang pemimpin „Dahlan Iskan‟
dalam kisah liku hidupnya. Hal tersebut dipuji oleh Putra Nababan sebagai
berikut;
“bahwa kesederhanaan, kerendahan hati, dan kerja keras yang
dibarengi keteguhan hati, bukanlah sekedar gebrakan. Tapi itu semua
adalah bentuk ucapan syukur pak Dahlan terhadap apa yang pernah
dilalui dan sudah dicapainya.”22
2. Superstruktur
Skematik merupakan teks atau wacana umumnya yang mempunyai
alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana
bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk
kesatuan arti. Secara struktur, bangunan novel telah lengkap dan pembaca
secara jelas disodorkan pada suatu nilai pemahaman, bahwa dalam hidup
seseorang harus selalu dapat mensyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan.
Struktur bangunan pada novel ini sebagaimana novel pada umumnya dengan
menggunakan tiga struktur babak yakni: awal, konflik dan resolusi yang
dikemas dalam alur maju-mundur.
a. Babak Awal. Khrisna Pabichara membangunnya lewat pendeskripsian di
awal cerita dengan memulai cerita dari tahap tengah. Mengisahkan
seorang tokoh Dahlan melalui sebuah prolog tentang operasi cangkok liver
terhadap tokoh Aku yang menjadi tokoh utama dalam novel. Ketika
operasi akan dimulai, mimpi membawanya ke masa lalu di Kebon Dalem.
22
Putra Nababan, Wakil Pemimpin Redaksi dan Penyiar Seputar Indonesia RCTI. Pujian
untuk sepatu Dahlan.
66
Tokoh Aku dalam novel ini adalah Dahlan kecil. Dahlan lahir di Kebon
Dalem, Kampung kecil dengan enam rumah yang berada saling berjauhan
di daerah Takeran, Magetan. Bersama keluarga dan teman-temannya
Dahlan diwarnai dengan suka duka. Keluarga Dahlan terdiri dari Bapak,
Ibu, Zain (Adik kandung Dahlan). Bapak setiap hari pergi ke sawah untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ibu sehari-hari membatik dan
mengajari perempuan-perempuan di Kampungnya membatik, Mbak Atun
dan Mbak Sofwati sedang bekerja dan kuliah, sedangkain Zain masih
kecil. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dengan tiga angka merah di
izajah, Dahlan Ragu untuk melanjutkan sekolah di SMP favorit, SMP
Magetan karena niatnya seolah dihalangi oleh sang Bapak. Hingga
akhirnya Dahlan memilih melanjutkan sekolah di Tsanawiyah Takeran.
Ibu Dahlan memiliki hubungan yang erat dengan kerabat-kerabat di
sekolah tersebut. Kedua kakaknya pun pernah bersekolah di sana.
Dahlan menikmati masa-masa sekolahnya di Tsanawiyah Takeran. Setiap
hari dia harus menempuh perjalanan sekolah sejauh enam kilo meter
dengan jalan kaki, itupun tanpa alas kaki sehingga membuat kakinya
sering lecet dan melepuh. Tapi semangat bertahan Dahlan mampu
mengatasi hal tersebut.
Di Tsanawiyah Takeran dan di kampungnya, Dahlan mendapatkan
persahabatan bersama teman-temannya, Kadir, Maryati, Imam, Arif,
Komariyah, dan Aisha. Di sekolah, Dahlan terpilih sebagai ketua tim Voli,
67
pengurus ikatan Santri, dan mendapat nilai yang baik. Senyuman Bapak
yang bangga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Dahlan.
b. Babak Konflik. Pendeskripsian munculya konflik tokoh Aku di dalam
novel ini adalah Dahlan kecil. Dahlan tumbuh di Kebon Dalam, kampung
kecil dengan enam rumah saling berjauhan di daerah Takeran, Magetan.
Bersama keluarga dan teman-temannya, kehidupan Dahlan diwarnai
dengan suka duka. Keluarga Dahlan terdiri dari Bapak, Ibu, Zain (adik
kandung Dahlan), Mbak Atun dan Mbak Sofwati (kedua-duanya adalah
kakak kandung Dahlan). Bapak setiap hari pergi ke sawah untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga, Ibu sehari-hari membatik dan
mengajari perempuan-perempuan di kampungnya membatik, Mbak Atun
dan Mbak Sofwati sedang bekerja dan kuliah, sedangkan Zain masih kecil.
Setelah lulus dari Sekolah Rakyat (SR) dengan tiga angka merah di izajah,
Dahlan ragu untuk melanjutkan sekolah ke SMP favorit, SMP Magetan
karena niatnya seolah dihalangi oleh sang Bapak. Hingga akhirnya, Dahlan
memilih melanjutkan sekolah di Tsanawiyah Takeran. Ibu Dahlan
memiliki hubungan yang erat dengan kerabat-kerabat di sekolah tersebut.
Kedua kakaknya pun pernah bersekolah di sana.
Dahlan menikmati masa-masa sekolahnya di Tsanawiyah Takeran. Setiap
hari dia harus menempuh perjalanan ke sekolah sejauh enam kilometer
dengan jalan kaki, itupun tanpa alas kaki sehingga membuat kakinya
sering lecet dan melepuh. Tapi semangat bertahan Dahlan mampu
mengatasi hal tersebut. Sebelum berangkat sekolah, Dahlan biasa nyabit
68
rumput untuk domba-domba peliharaannnya. Sepulang sekolah, Dahlan
ngangon domba dan dia juga sering kuli nyeset dan kuli nandur. Dahlan
sebenarnya ingin membeli sepatu dan sepeda, dua benda yang menjadi
impiannya. Akan tetapi uang yang ada terpaksa selalu digunakan untuk
membeli keperluan makan. Ketikapun lapar, Dahlan sudah terbiasa
menjalani kehidupan dengan perut melilit yang membuat perih. Pernah
suatu ketika Dahlan terpaksa mencuri tebu karena dia dan adiknya
kelaparan, tetapi Dahlan kedapatan mencuri oleh anak buah Mandor
Komar dan harus menjalani hukuman mondok. Hal tersebut menjadi
pelajaran bagi Dahlan untuk menjalani hidup dengan jujur dan kerja keras.
Petuah-petuah sang Bapak, yang juga sering memberikan dongengdongeng kepada anak-anak kampung di langgar dan kelembutan sang Ibu
membuat Dahlan mampu menjalani hidup dengan kesabaran dan semangat
bertahan hidup. Ketika sang Ibu meninggal dunia karena menderita
penyakit aneh, Dahlan merasakan kesedihan dan kehilangan. Tidak ada
lagi kelembutan sang Ibu yang dapat membelainya. Dahlanpun merasakan
kehilangan lagi setelah Mbak Atun memutuskan untuk pergi ke
Kalimantan. Tapi Dahlan tetap bertahan dan melanjutkan kehidupan
bersama Bapak dan Zain. Di Tsanawiyah Takeran dan di kampungnya,
Dahlan mendapatkan persahabatan bersama teman-temannya, Kadir,
Maryati, Imran, Arif, Komariyah, dan Aisha. Di sekolah, Dahlan terpilih
sebagai ketua Tim Voli, Pengurus Ikatan Santri, dan mendapat nilai yang
terbaik. Senyuman sang Bapak yang bangga menjadi kebahagiaan
69
tersendiri bagi Dahlan. Puncaknya, ketika Tim Voli Tsanawiyah Takeran
yang mengikuti Turnamen Voli memperebutkan piala bergilir Bupati
Magetan melaju ke babak final melawan tim favorit juara, SMP Magetan.
Meskipun, syarat harus bersepatu sempat menjadi hambatan, dengan
bantuan dari para santriwati yang membelikan sepatu untuk Dahlan
akhirnya dia bersama teman-teman setim, Dirham, Imran, Fadli, Rahmat,
Suparto, Arif, Zainal, dan Rizki berhasil memenangkan turnamen. Hal
tersebut menjadi kebanggaan keluarga dan sekolah hingga Dahlan
memiliki pekerjaan baru untuk mengumpulkan uang demi mengejar
impiannya, sepatu dan sepeda yaitu melatih tim voli anak-anak juragan
tebu.
Novel ini juga bercerita tentang pembantaian massal terhadap simpatisan
PKI di sumur Soco, Cigrok, dan Dusun Dadapan. Ayah Kadir meninggal
ketika Kadir masih dalam kandungan karena dituduh sebagai anggota
Laskar Merah, bentukan Front Demokrasi Rakyat. Untungnya, Ibu Kadir
yang sedang mengandung Kadir berhasil melarikan diri ke rumah
kakeknya. Banyak orang terdahulu di Kebon Dalem yang menjadi korban
pembantaian massal tersebut.
Dengan hasil jerih payahnya sendiri, melatih voli anak-anak juragan tebu,
Dahlan berhasil mengumpulkan uang untuk menebus cicilan sepeda dari
Arif dan berhasil membeli dua pasang sepatu, satu untuknya dan satu lagi
untuk adiknya, Zain. Akhirnya impian Dahlan terwujud, Sepeda dan
Sepatu.
70
c. Babak Resolusi. Penyelesaian akhir cerita yang dipaparkan Khrisna
dalam Novel Sepatu Dahlan dimulai ketika Dahlan memutuskan untuk
kuliah karena respon terhadap surat yang diberikan Aisha. Perjumpaan
Dahlan dengan Aisha dimulai ketika Dahlan dan Kadir bernyanyi di
halaman sekolah dan sosok gadis berambut panjang itu memandangi
Dahlan, peristiwa jatuhnya Dahlan dan Maryati dari sepeda ke selokan,
sosok gadis itu juga muncul kembali dalam pandangannya.
Dahlan mendapatkan surat dari Aisha yang isinya setelah tiga tahun lagi
Aisha akan menunggu di Takeran setelah keduanya lulus sarjana muda.
Dahlan tidak ingin merasakan kehilangan lagi. Sudah cukup bagaimana
rasanya Ibu dan Mbak Atun meninggalkan Dahlan. Di akhir cerita ini
Dahlan harus meninggalkan Zain dan ayahnya.
Dengan penyelesaian akhir cerita, kemudian dituliskan kembali dalam
sebuah epilog mengenai berhasilnya operasi cangkok liver terhadap tokoh
Aku.
3. Struktur Mikro
a. Semantik
Semantik adalah makna yang ingin ditekankan dalam teks dari
hubungan antar kalimat, hubungan antar proposisi yang membangun
makna tertentu dalam bangunan teks. Elemen-elemen semantik adalah
sebagai berikut:
1) Latar
71
Merupakan bagian teks yang bisa mempengaruhi semantik (arti
kata) yang ingin ditampilkan. Novel Sepatu Dahlan mengambil tiga
latar. Yang pertama latar tempat, ia mengambil latar di sebuah
pedesaan yang disebut dalam novel ini adalah “Desa Kebon Dalem”
yang mana merupakan desa tempat tinggal Dahlan semasa kecil.
Sebuah kampung kecil dengan enam buah rumah yang letaknya saling
berjauhan. Latar yang kedua adalah latar suasana, yang digambarkan
pengarang dengan suasana kedaerahan. Pengarang menggambarkan
suasana pada Novel Sepatu Dahlan seperti yang dialami tokoh Dahlan
Iskan ketika dirinya menghadapi suatu peristiwa. Sehingga suasana
yang menegangkan, menyakitkan, menyenangkan, memprihatinkan
dan mengharukan diceritakan dalam novel ini. Sedangkan yang ketiga
adalah latar waktu, pengarang menunjukkan setting waktu dalam
Novel Sepatu Dahlan berupa hari. Situasi pada pagi, siang, sore dan
malam hari, selain itu pengarang juga menunjukkan setting tahun dan
jam pada Novel Sepatu Dahlan. Mengenai latar tersebut terdapat pada
kutipan sebagai berikut.
“Kebon Dalem. Itulah kampung kelahiranku. Sebuah kampung
kecil dengan enam buah rumah, atau sebut saja gubug, yang
letaknya saling berjauhan.”23
“Hari itu di bawah rindang trembesi di halaman gedung
berbentuk huruf U, aku membayangkan nasib baru yang akan
digariskan Tuhan untukku.”24
23
24
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 13
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, hal. 156
72
Dengan latar tempat, suasana dan waktu tersebut pengarang
memberikan gambaran tentang keadaan di mana tokoh-tokoh dalam
Novel Sepatu Dahlan diceritakan dengan berbagai kegiatan religius
yang dilakukan di Desa Kebon Dalem. Dengan kegiatan anak-anak
desa yang selau giat berangkat mengaji pada saat malam hari. Tidak
hanya tempat di pedesaan, novel ini juga menjelaskan secara jelas
kondisi madrasah tempat Dahlan bersekolah tsanawiyah, serta cerita
ketika Dahlan bersama sahabatnya telah lulus menempuh pendidikan
di Pesantren Takeran.
Pemberian latar semacam ini akan membentuk kesadaran
pembaca bahwa berbagai kegiatan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
dalam novel tersebut khususnya tokoh Dahlan telah menunjukkan
perjalanan hidupnya dengan berbagai rintangan, harapan dan keinginan
yang sederhana menjadi sebuah mimpi dan cita-cita besar. Sehingga
pembaca memahami bahwa hidup dengan kesederhanaan, kemiskinan
bukan halangan untuk berani bermimpi bahkan untuk mewujudkannya.
Kemudian novel ini juga menunjukkan bukti sejarah bangsa
Indonesia ketika berada di bawah pengaruh komunismenya. Lalu
menunjukkan tempat- tempat kegiatan pemerintahan berlangsung.
Kutipan yang menunjukkan latar tersebut adalah sebagai berikut.
“lalu, pada pertengahan September 1948, di Madiun, berdirilah
sebuah negara, Republik Soviet Indonesia. Negara itu didirikan
oleh FDR. Dan, siapa saja yang berani menentang pendirian negara
baru itu akan “diamankan”. Bupati magetan, R. Soedibjo, dengan
sengit menentang, akibatnya dia langsung “diamankan” oleh
73
Laskar Merah. Sebagai pengganti, FDR memilih seorang kader
militan PKI, Soebandi, sebagai Bupati Magetan”25
“Dan, tibalah kami di sumur tua Cigrok yang berada di tengahtengah tegalan dengan batang-batang ketela yang tumbuh liar,
semak belukar dan rumput-rumput setinggi lutut, juga beringin
besar yang terkenal keramat.”26
2) Detil
Berhubungan
dengan
kontrol
informasi
yang
ditampilkan
komunikator atau pengarang. Pengarang akan menampilkan secara
berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik.
Sebaliknya ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit, hal yang
merugikan dirinya. Dalam novel Sepatu Dahlan, pengarang banyak
menampilkan informasi yang menguntungkan kedudukannya. Salah
satunya adalah detil mengenai perjalanan hidup tokoh utamanya Dahlan
Iskan. Dan salah satu yang ditampilkan pengarang dalam jumlah sedikit
informasi yang merugikan dirinya terdapat dalam kutipan sebagai berikut.
“aku tercenung sendiri setelah menjawab dengan suara yang agak
tinggi. Ya, aku baru saja mengalami pengalaman menarik
tertangkap basah mencuri tebu untuk kali pertama. Namun, lapar
adalah pengalaman lain yang jauh lebih menjengkelkan.”27
“aku berjalan kembali ke arah kampung berharap bisa tiba di sana
sebelum beduk Magrib terdengar. Zain pasti sudah letih
menungguku. Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan buah
yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik
Bapak, apalagi milikku. Ini kebun bengkok, milik pak lurah.
Kedapatan mencuri pisang pasti lebih “mengerikan” ketimbang
mencuri tebu. Nanang pernah merasakannya, dia dihukum kuli
macul Cuma-Cuma selama satu minggu. Selain itu ada banyak
bayangan mengerikan dikepalaku, tapi bertahan hidup memang
penuh risiko. Jadi, aku kuatkan hati dan memutuskan untuk
25
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 65
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 68
27
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 91
26
74
mengambil setandan pisang itu. Gagang parang yang tadi terselip
rapi di punggung telah berpindah ke tanganku.”28
3) Maksud
Melihat apakah teks yang dibuat oleh pengarang disampaikan
secara eksplisit (langsung) atau implisit (tidak langsung). Elemen maksud
dalam novel sepatu dahlan banyak yang disampaikan secara implisit. Salah
satu teks yang terdapat dalam cerita itu adalah mengenai penjelasan
tentang pemahaman dari suatu istilah. Seperti terdapat pada kutipan
sebagai berikut ini:
“Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak di
sebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anakanak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha
meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar
aku memilikinya. Kalaupun ada anak-anak lain yang punya
mimpi berbeda, pasti Kadirlah orangnya. Dia bermimpi punya
gitar dan dia korbankan seekor domba kesayangannya demi
mewujudkan mimpi itu. Barangkali mimpi anak-anak miskin di
mana-mana sama, sederhana. Manakala mimpi itu sudah
kupenuhi, anehnya aku merasa ini bukan akhir dari keinginan
yang hendak kupenuhi. Ada mimpi baru, mimpi yang tiba-tiba
saja ingin kupenuhi, bisa makan setiap kali perut melilit-lilit
karena kelaparan. Mimpi ini, mungkin, seperti sepatu dan
sepeda, juga sederhana. Tak ada yang aneh, apalagi ajaib.”29
Dari kutipan di atas sangat jelas bahwa informasi yang terdapat dalam
teks tersebut disajikan secara tidak langsung. Dengan begitu hubungan antara
pengarang dengan pembaca adalah hubungan yang tidak langsung dan tersirat.
Makna yang diterima pembaca bisa jadi berbeda. Dalam kalimat tersebut
seakan keinginan atau mimpi dari kalangan bawah berbeda dengan kalangan
menengah apalagi kalangan atas.
28
29
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan h. 95
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, hal. 338
75
Dan dari kalimat tersebut seakan menandakan bagi kalangan bawah
bermimpi itu enggan terlalu tinggi, dengan melihat kehidupannya yang
sederhana maka memiliki mimpi yang sederhana pula. Berbeda dengan
kalimat yang menyatakan
Kadir memiliki mimpi yang berbeda yang
disampaikan secara eksplisit bahwa yang dilakukan Kadir dengan menjual
domba maka ia bisa mewujudkan mimpinya. Dalam hal ini menunjukkan
bagaimana
pengarang
menggunakan
praktik
bahasa
tertentu
untuk
menonjolkan perbedaan pada kutipan tersebut.
b. Sintaksis
Sintaksis adalah bagian dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk
beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase. Dalam hal ini menerangkan tentang
bagaimana pengarang menggunakan kalimat dalam menampilkan sosok
sebagai suatu citra yang positif maupun negatif dilakukan dengan
memanipulasi menggunakan sintaksis (kalimat). Dalam memanipulasi kalimat
dilakukan seperti dengan pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian
kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang
kompleks atau sebagainya.
Terkait
dengan novel
Sepatu
Dahlan dimana penelitian ini
memfokuskan pada sosok Dahlan Iskan dalam novel tersebut, sintaksis dalam
teks tersebut dapat dilihat pada koherensi, bentuk kalimat, maupun kata ganti
sehubungan dengan pencitraan Dahlan yang terbentuk, dapat dilihat pada teks
di bawah ini.
1) Koherensi
76
Merupakan pertalian antar kata/ kalimat, biasanya dapat diamati
dengan memakai kata penghubung (konjungsi): dan, atau, tetapi, namun,
seperti, karena, meskipun, jika, demikian pula, agar, dan sebagainya. Hal
tersebut terlihat pada kutipan sebagai berikut:
“Siapa pun bisa tenang hidup bergelimang harta, meski hati mereka
miskin iman, tapi aku tidak akan menjadi orang seperti itu. Lagi
pula, tak seberapa penting bagiku harta kekayaan itu, sebab yang
selama ini memenuhi kepalaku hanya dua: sepatu dan sepeda. Itu
saja.”30
Penempatan kata „tapi‟, „lagi pula‟, dan „sebab‟ pada kutipan
paragraf di atas mempunyai fungsi sebagai konjungsi (kata penghubung)
antar kalimat yang satu dengan kalimat yang lainnya. Fungsi dari kata
penghubung „tapi‟ pada paragraf di atas merupakan kata penghubung yang
menunjukan adanya bertentangan dalam suatu konteks, dalam kalimat di
atas, dimana kata-kata yang menunjukan suatu pertentangan apabila
Dahlan hidup berlimpah harta tidak menjadi orang yang miskin hati.
Penulis menyampaikan makna dalam keterangan penegasan bahwa aku
tidak akan seperti itu. Dan kata konjungsi „lagi pula‟ yang diletakkan
diawal kalimat kedua digunakan sebagai kata yang memiliki makna lain.
Dalam konteks di atas dapat dilihat suatu hal yang dipertentangkan.
Sedangkan kata „sebab‟ merupakan kata penghubung yang
menjelaskan keterangan bahwa kalimat tersebut menjadi penegas bahwa
harta kekayaan bukan hal yang penting yang harus kita fikirkan terlalu
jauh bagi kita untuk memikirkan kekayaan harta. Namun hal-hal yang
30
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 32
77
dikatakan dapat berbeda dengan realisasi yang ada. Koherensi dalam
kutipan di atas yang disampaikan Khrisna lebih menonjolkan pada hal
tersebut.
2) Bentuk Kalimat
Merupakan sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis.
Menjelaskan tentang proposisi-proposisi yang diatur dalam satu rangkaian
kalimat. Maksudnya, proposisi-proposisi mana yang akan ditempatkan di
awal atau akhir kalimat. Hal tersebut dapat dilihat pada kalimat di bawah
ini.
“Aku sangat menghormati Bapak, mungkin karena takut atau
memang suka, terlepas dari sikap taatnya terhadap aturan-aturan
yang dibuatnya.”31
Aku sangat menghormati Bapak,
S
P
O
mungkin karena takut atau memang suka, terlepas dari sikap taatnya
K
terhadap aturan-aturan yang dibuatnya
Bentuk kalimat pada teks di atas menunjukkan susunan subjek
(yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Teks dengan bentuk
kalimat seperti di atas menentukan makna yang dibentuk oleh susunan
kalimat yaitu menggambarkan akan sikap Dahlan terhadap orang tuanya.
Kalimat tersebut disampaikan dengan mendeskripsikan situasi yang ada.
Kata “mungkin karena takut atau memang suka” menunjukkan bahwa
sikap taatnya terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh bapaknya dilakukan
dengan rasa takut dan patuh terhadap bapaknya.
31
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 17
78
Hal serupa juga dapat dilihat dalam teks berikut.
“aku tidak ingin mempermainkan lelaki pendiam yang kukagumi
kesetiaannya ini. Aku hanya ingin berbagi hening dengan Subuh dan
kesetiaan Bapak yang diam-diam kucemburui, mengira-ngira apakah
aku bisa sesetia itu terhadap sesuatu.”32
Aku tidak ingin mempermainkan lelaki pendiam yang kukagumi
kesetiaannya ini.
Dalam teks di atas tergambarkan akan sikap Dahlan yang
dilakukan dengan tujuan agar tidak mengecewakan bapaknya dan
berkeinginan untuk setia terhadap sesuatu yang dilakukan. Sikap-sikap
tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu strategi bentuk pencitraan
yang dilakukan Dahlan.
3) Kata Ganti
Dalam penelitian ini, fokus perhatian ditujukan pada sosok Dahlan
kecil meskipun tidak terlepas dari hal-hal yang sangat dekat dengan diri
Dahlan. Kata ganti terhadap Dahlan menunjukkan penggambaran Khrisna
sebagai narator dalam novel Sepatu Dahlan. Khrisna menyebut Dahlan
dalam novel Sepatu Dahlan sebagai “aku”. Hal tersebut terdapat pada teks
berikut.
“sewaktu kecil, aku tak pernah membayangkan suatu ketika akan
terbaring di kamar operasi dan menunggu detik-detik menegangkan
seperti sekarang. Sewaktu kecil, aku tidak pernah berpikir
sejenakpun bahwa liver bisa dipotong dan didonorkan kepada
orang lain. Sayangnya, hal ini tak mungkin dilakukan kepada ibu.
Bukan semata karena teknologi dan ilmu kedokteran, tapi karena
kalaupaun memungkinkan, kami tak punya biaya untuk operasi
32
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 25-26
79
walaupun rumah dan seluruh isinya dijual. Sewaktu kecil, aku yak
tahu bahwa liver yang dipotong itu bisa tumbuh kembali dengan
baik dalam waktu tak terlalu lama. Sekarang, hari ini, di kamar
operasi, segera kumasuki gerbang kelahiran baru, jauh dari tanah
kelahiran pertama, Kebon Dalem.”33
Melalui kata ganti “aku” tersebut, Khrisna membahasakan dirinya
sebagai narator, tanpa mengurangi rasa hormat Khrisna terhadap Dahlan
Iskan, Khrisna dengan cara menyebutkan Dahlan Iskan sebagai aku.
Kata ganti lain yang digunakan dalam novel Sepatu Dahlan adalah
kata ganti “kami” dalam mengungkapkan kisah Dahlan dalam cerita ini.
Kata “kami” dalam penggalan kalimat ini seolah-olah Dahlan bercerita
tentang keadaan dirinya dan keluarganya pada saat itu. Dan penulis
berperan sebagai narator atau pencerita. Contoh kata ganti “kami” serta
penulis sebagai narator terlihat pada kutipan sebagai berikut:
“Matahari semakin rebah. Air Sungai Kanal mengalir dengan
tenang. Di sungai inilah dulu aku mulai mengajari Zain berenang,
tubuhnya di ayun-ayunkan oleh Kadir dan Nanang lalu
dilemparkan ke dalam sungai, menunggui dia gelagapan-timbultenggelam dengan tangan menggapai-gapai tak beraturan ke udara.
Di sungai ini pula kami belajar cara mengatasi keterbatasan.
Mencari ikan, memandikan ternak, berleha-leha dengan tokohtokoh wayang, bermain luncur-luncuran, dan belajar menikmati
kemiskinan.”34
c. Stilistik
Stilistik adalah cara yang digunakan penulis untuk menyatakan
maksud melalui pilihan kata yang digunakan. Dalam menyajikan cerita,
penulis menggunakan bahasa tertentu sebagai sarana. Gaya bahasa yang
33
34
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 2
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 346
80
digunakan penulis dalam Novel Sepatu Dahlan menunjukkan sosok dengan
kepribadian yang dimiliki Dahlan Iskan. Gaya bahasa yang digunakan penulis
terdapat dalam kutipan sebagai berikut:
“keesokan harinya, sebelum matahari terbit, aku sudah menyusuri
jalan raya Takeran. Sisa-sisa hujan dan embun membuat permukaan
batu-batu menjadi licin. Sudah dua kali aku terpeleset, terjengkang,
dan nyaris jatuh. Lumpur dan bebatuan beberapa kali nyaris
membuatku celaka. Sekarang, aku lebih hati-hati..”35
Dari kutipan paragraf di atas penulis menggunakan gaya bahasa yang
mencakup pilihan kata yang digunakan seorang sastrawan yang terdapat dalam
sebuah karya sastra. Pilihan kata dalam kalimat di atas menunjukkan bahwa
Dahlan adalah anak yang tidak mudah berputus asa. Hidup dalam kemiskinan
tidak membuat Dahlan berputus asa. Meskipun sekolah tanpa alas kaki dan
banyak rintangan yang dia hadapi. Sebagai penulis, Khrisna mengunakan gaya
bahasa, yang pada dasarnya digunakan untuk menunjukkan akan sikap,
perbuatan, maupun segala hal yang dapat dikenal dari figur Dahlan Iskan. Hal
itu ditemukan dalam hasil wawancara dengan penulis novel Sepatu Dahlan;
“saya menulis Sepatu Dahlan dengan bahasa sederhana dan berharap
mudah dicerna oleh siapa saja. Tua-muda, laki-laki-perempuan,
orangtua-anak, guru-murid, dan lain-lain. nah ini terkait dengan gaya
menulis. saya, dengan sadar, menggunakan sudut pandang orang
pertama agar lebih “menggigit”. Tentu saja, saya memperhitungkan
latar, alur, konflik, dan karakter agar bisa membetot emosi
pembaca.”36
d. Retoris
35
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 37
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013.
36
81
Retoris adalah gaya yang diungkapkan pengarang untuk menyatakan
sesuatu dengan sebuah intonasi dan penekanan dalam bentuk tulisan.
1) Grafis
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang
ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang dapat diamati dari teks.
Elemen grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain
dibandingkan tulisan lain. Misalnya, pemakaian huruf tebal, cetak miring,
pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar
(kapital) termasuk di dalamnnya adalah pemakaian caption, raster, grafik,
gambar, atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan.37
Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar, atau
tabel untuk mendukung gagasan, serta pemakaian angka-angka yang
diantaranya untuk mensugestikan kebenaran dan ketelitian. Secara lebih
detil, elemen grafis dalam analisis wacana Novel Sepatu Dahlan terdapat
pada kutipan berikut :
“Aku ingin seperti lelaki pemilik kapak yang berhenti mengiba
atau mengharapkan belas kasihan orang lain. Sampai hari ini mimpi
bersepatu masih menghantui tidurku, dan aku harus berusaha
sekuat tenaga untuk mengupayakannya sendiri. Aku takkan
bersedih lagi. Kemiskinan bukan untuk ditangisi. Hidup bagi orang
miskin sepertiku, harus di jalani apa adanya.”38
Kalimat tersebut ditonjolkan dalam Novel Sepatu Dahlan dalam
bentuk dan ukuran huruf lebih kecil dengan bentuk italic untuk
menekankan kepada pembaca pentingnya kalimat tersebut. Pengarang juga
37
38
Eriyanto, Analisis Wacana, h. 257-259
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 147
82
menginginkan pembaca menaruh perhatian lebih pada statement yang
disampaikan di awal juga di tengah cerita. Kalimat “aku ingin seperti
lelaki pemilik kapak yang berhenti mengiba atau mengharapkan belas
kasihan orang lain” memberikan efek kognitif, pengarang menyampaikan
pesan
dalam
bentuk
intonasi
untuk
mensugestikan
kepada
khalayak/pembaca pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian
mana yang tidak.
2) Metafora
Elemen lain dari retoris yaitu metafora. Kalimat yang mendukung
kiasan, ungkapan sehari-hari, pepatah, nasihat agama, semuanya
digunakan pengarang dalam suatu wacana untuk memperjelas pesan
utama, agar orang yang membaca akan mudah mengingat dan memahami
isi pesan tersebut. Metafora berusaha membandingkan dua hal yang
dinyatakan secara eksplisit. Pada Novel Sepatu Dahlan pengarang
menyampaikan pesan tidak hanya lewat teks tetapi berupa kiasan yang
mengandung muatan informasi sebagai ornamen untuk menguatkan pesan
utama. Berikut kutipannya :
“ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat”.
“sumber bening ora bakal nggolek timbo”39
Kalimat tersebut mengandung elemen metafora dan lazim
digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang ingin hidup kaya
harta dan takut hidup melarat. Pesan yang disampaikan melalui kalimat di
atas dalam novel Sepatu Dahlan adalah jangan berlebihan meminta banyak
39
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 31
83
harta namun kita miskin iman lebih baik hidup miskin tetapi tetap
beriman, karena kaya tanpa iman atau miskin dengan iman itu bukan
sebuah pilihan.
Siapa saja bisa bertahan hidup meskipun dalam belitan kemiskinan,
hanya saja orang miskin punya banyak keterbatasan, terutama yang terkait
dengan uang. Dalam hal ini, Khrisna Pabichara mempertegas sosok dan
perilaku Dahlan Iskan dalam kehidupannya yang berubah, tak lagi sesulit
dulu untuk mendapatkan sepatu, tak lagi harus menahan saat kelaparan.
Keadaan yang berubah menunjukkan suatu hal yang dilakukan Dahlan
Iskan selalu bersyukur atas apa yang didapati.
Elemen metafora lain juga dapat dilihat dalam kutipan sebagai
berikut.
“Biasanya, setelah salat subuh aku bertualang ke pematangpematang sawah atau jalanan pembatas ladang tebu untuk menyabit
rumput. Setelah itu, baru berangkat ke sekolah yang letaknya tak
seberapa jauh dari Kebon Dalem, tepatnya di kampung Bukur, di
seberang Sungai Kanal.”40
Terkait dengan analisis wacana mengenai pencitraan Dahlan Iskan
dalam Novel Sepatu Dahlan, kutipan di atas merupakan bagian dari
elemen metafora yang terkait dengan sosok
Dahlan Iskan. Istilah
bertualang, wacana mengenai pencitraan tokoh Dahlan merupakan bagian
yang menunjukkan majas metafora yang bermakna perjuangan Dahlan
Iskan dengan sosok pekerja keras dalam perjalanan hidupnya.
3) Pengingkaran
40
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 74-75
84
Elemen
pengingkaran
lain
tersebut
dari
retoris
adalah
menggambarkan
pengingkaran.
suatu
pernyataan
Elemen
yang
berkebalikan. Artinya, penulis mengungkapkan suatu pernyataan yang
kemudian digambarkan seolah-olah hal tersebut sejalan dengan pola pikir
penulis padahal yang diinginkan penulis adalah hal yang berkebalikan.
Khrisna tidak banyak melakukan suatu pengingkaran dalam novel ini.
Karena
Khrisna
menyampaikannya
secara
terang-terangan
terkait
pencitraan sosok Dahlan dalam Novel Sepatu Dahlan. Adapun elemen
tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini;
“Akhirnya, matahari mulai terbenam, dan aku belum menemukan
apa pun. Aku sudah coba menangkap ikan di Sungai Kanal, tetapi
menjelang Magrib seperti ini sangat susah menagkap satu-dua ekor
ikan. Aku juga sudah menyisir pohon-pohon mangga di tepi sungai,
tak ada yang berbuah. Aku membuka baju karena keringat di bagian
punggung membuat baju itu terasa lengket di kulit. Angin
mengeringkan keringatku. Aku menahan gigil dan kesedihan yang
kualami. Telah kucoba melakukan apa yang seharusnya kulakukan.
Kalaupun aku tak menemukan apa-apa, setidaknya aku telah
berusaha. Itu saja. Aku berjalan kembali ke arah kampung berharap
bisa tiba di sana sebelum beduk Magrib terdengar. Zain pasti sudah
letih menungguku. Tiba-tiba aku melihat sebatang pisang dengan
buah yang sudah layak ditanak atau dibakar. Pisang itu bukan milik
Bapak, apalagi milikku. Ini kebun bengkok, milik Pak Lurah.
Kedapatan mencuri pisang pasti lebih “mengerikan” ketimbang
mencuri tebu.”41 Hal. 94-95
Dalam kutipan di atas, Khrisna menyampaikan mengenai tindakan
yang dilakukan Dahlan ketika itu. Dahlan, tokoh dalam novel itu
diceritakan telah melakukan tindakan mencuri. Namun oleh penulis, sosok
Dahlan digambarkan sebagai orang yang sadar dalam mencuri. Hal ini
dapat kita lihat dalam kutipan di bawah ini.
41
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 94-95
85
“Tulang-tulangku terasa lemas, lutut gemeteran, dan bayangan
peristiwa memalukan di ladang tebu kembali terputar di benakku.
Apa aku mesti melakukan kesalahan yang sama dalam satu hari,
demi dua perut yang sedang tak kuat menanggung lapar? Tidak , aku
tidak akan mencuri lagi. Maka, kubatalkan niat menebang pohon
pisang itu. Aku berlari, terus berlari. Napas mulai ngos-ngosan,
tersengal-sengal, dan azan Magrib mengentak-entak gendang telinga.
Aku masih berlari dan baru berhenti setelah tiba di jalanan di depan
rumah. Dengan napas tersengal-sengal dan tubuh lunglai, aku
memasuki halaman rumah. Tiba-tiba terdengar suara seseorang
berseru memanggil namaku. Komariyah sedang berjalan ke arahku
dengan tangan memegang sesuatu yang ditutupi dengan kain batik.
Titipan ibuku.
Apa itu?
Nasi tiwul, ikan teri, dan sambel terasi.”42
Kesadaran
Dahlan
yang
cepat
merupakan
tindakan
yang
memberikan image positif terhadap khalayak atau pembaca. Niat buruk
yang terlintas dibenaknya membuat tokoh utama dalam trilogi novel ini
dapat mempelajari kembali kesalahan yang pernah dilakukan. Dengan
melihat pernyataan kisah Dahlan tersebut, peneliti mengartikan bahwa teks
di atas hanya fiksi agar membangun citra positif di tengah mata pembaca.
Artinya cerita yang ditulis adalah hipperealita yang dilakukan oleh penulis.
Kesimpulan secara keseluruhan dari hasil temuan peneliti dalam
novel ini meliputi beberapa pencitraan. Peneliti merangkum temuan
pencitraan, temuan teks dan penjelasannya dalam tabel berikut:
Tabel 3. Temuan Teks pada novel Sepatu Dahlan
Temuan pencitraan
Sederhana
42
Temuan Teks
“Rumahku. Seperti rumah
lainnya di kampung ini,
berlantai tanah. Jika musim
hujan tiba, akan lembab dan
basah. Setiap kemarau
Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 95-96
Keterangan
Pada teks ini tokoh
Dahlan digambarkan
dengan sosok yang
sederhana. Sederhana
disini nampak pada sejak
86
datang, lantai tanah itu
panas dan berdebu. Di sana,
di lantai tanah yang lembab
atau berdebu itu, aku dan
adikku menggelar tikar
setiap malam. Ajaibnya,
kami selalu bisa
mendengkur dengan
nikmat” h. 42
Disiplin
Pekerja keras
“Pakaian misalnya, aku
hanya punya sepasang dan
itu alamat akan jadi bahan
ejekan bagi murid-murid
lain yang rata-rata punya
orang tua yang mampu
membelikan mereka banyak
pakaian. h. 21-22
kecil, Dahlan yang
dibesarkan dilingkungan
pedesaan dangan serba
kekurangan, begitu pula
dengan rumahnya yang
berlantai tanah. Jika
musim hujan datang
lantai selalu basah dan
ketika musim kemarau
lantai akan selalu
berdebu.
Sederhana yang dimiliki
Dahlan tidak hanya
sederhana dalam
kehidupannya, mulai dari
pakaian, kondisi rumah,
bahkan untuk makan
sehari-hari tak pernah
terlihat istimewa.
“Hari ini aku memakai
kemeja baru. Kata Ibu,
hadiah dari Bu Mantri
karena aku rajin membantu
Ibu. Andai saja hadiahnya
sepatu. Aku segera
mengusir angan-angan
tentang sepatu itu sebab
hanya akan menambah
perih di hati dan lecet di
kaki. Tibalah aku di depan
papan pengumuman yang
terpajang di dinding kantor.
Belum seorang pun santri
yang datang. Baru aku
seorang. Dan, ini hal yang
biasa bagiku. Di rumah,
Bapak sangat ketat melatih
kami soal disiplin, begitulah
cara kami menghargai
waktu.” h. 53
“Ibu yang sedang asyik
membatik terkejut dan
Pada teks ini,
kedisiplinan memang
diterapkan oleh sang
ayah, hal ini di paparkan
oleh penulis tentang
kedisiplinan dahlan,
terutama dalam soal
waktu. Dikatakan dalam
novel bahwa ia orang
pertama yang datang ke
sekolah berdiri didepan
papan pengumuman.
Penulis novel melakukan
penekanan tokoh dahlan
yangdisiplin dengan kata
“sangat ketat”. Kita dapat
membayangkan betapa
kerasnya sang ayah
dalam menerapkan
kedisiplinan bagi anakanaknya (Dahlan).
Teks ini menunjukkan
bahwa Dahlan Iskan
87
segera mendatangiku.
“Capek, le”?
Capek banget, Bu,” keluhku
sambil membaringkan
badan, memejamkan mata.
“tidur dulu sebentar.”
Aku menggelengkan
kepala. “Ndak ada waktu,
Bu. Harus nyabit lagi.”
“tapi kamu kan baru pulang,
le?
„ini hari pertama, Bu. Kata
bapak, nanti juga terbiasa.”
Ibu tersenyum dengan
manis, “iya…” h. 39-40
“Kesunyian itu manis,
seperti sekarang. Di tepi
sungai, bersandar pada
sebatang pohon jawi,
bermandikan cahaya
matahari senja. Aku
mengamat-amati kedua
tanganku, tangan ini telah
bekerja amat keras meski
anak-anak lainpun bekerja
tak kalah kerasnya”. h. 147
“sungguh aku ingin
mengatakan bahwa selama
ini tak ada waktu luang agar
aku bisa belajar dengan
tenang. Setelah salat subuh
sudah harus menyabit
rumput, terus ke sekolah,
setelahnya menyabit rumput
lagi, lalu belajar mengaji,
ngangon domba, dan tatkala
malam sudah menyelimuti
Kebon Dalem tak mungkin
lagi belajar karena gelap
gulita. Tapi, lidahku
sekonyong-konyong kelu,
tak mampu mengatakan apa
pun.” h. 19
adalah anak yang suka
bekerja keras. Artinya
Dahlan berperilaku
menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai
hambatan belajar dan
tugas, dan dapat
menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
Karakter pekerja keras
tertanam sejak kecil
dimana ketika sepulang
sekolah Dahlan harus
tetap menjalankan
tugasnya menyabit
rumput. Bekerja keras
yang seharusnya tidak
dirasakan Dahlan pada
usianya saat itu.
Meskipun lelah, ia tetap
bekerja. Seperti saat ibu
menyuruh Dahlan
istirahat, namun ia tetap
bekerja.
Pada teks di samping,
Khrisna menyampaikan
sejarah perjuangan yang
dialami Dahlan kecil,
kerja keras setiap hari,
setiap pagi sehabis shalat
subuh Dahlan selalu
bekerja menyabit rumput
setelah itu ia berangkat
ke sekolah, Tak hanya
itu, sepulang belajar,
masih banyak pekerjaan
yang harus dilakukanya
demi sesuap nasi tiwul.
Mulai dari nguli, nyeset,
nguli nandur, sampai
melatih tim voli anakanak juragan tahu.
88
Bersahabat/komunikatif “Tuhan memberkati
hidupku lewat pertemuan
dan pertemanan yang
hebat” h.344
Bersahabat yang peneliti
temukan pada sosok
Dahlan merupakan
tindakan yang
memperlihatkan rasa
senang berbicara,
bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain.
Amanah
Pada teks ini sosok
Dahlan dapat dikenal
sebagai tokoh yang
mampu memegang
amanah, dalam arti sosok
yang penuh tanggung
jawab. Sikap dan
perilaku Dahlan dalam
melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan
terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan,
dan sebagainya.
Berita terpilihnya aku
sebagai pengurus Ikatan
Santri ternyata sudah
didengar oleh bapak. Itu
kuketahui tak lama setelah
tiba di rumah. Tidak seperti
biasanya, bukan zain yang
menjawab salamku. Tapi,
Bapak. Biasanya, siangsiang begini beliau sudah
tidak ada di rumah, kecuali
karena alasan khusus yang
penting dan mendesak.
Jawabannya aku tahu dari
mata beliau yang berbinarbinar. “jabatan itu amanat,
le,” ujar bapak sambil
mengelus kepalaku sewaktu
aku mencium punggung
tangannya. „tirulah sifat
kakakmu, sofwati, jujur dan
disiplin.” H. 163
Ketika nama pengurus di
sebut satu per satu, aku lihat
Bapak menengadah dengan
mata berbinar-binar,
bercahaya. Hatiku bergetar,
sangat terharu. Saban hari
bapak bekerja keras demi
anak-anaknya, dan selama
ini aku lebih sering
merepotkan ketimbang
membahagiakannya. Tapi
hari ini, karena aku,
putranya, Bapak berdiri
dengan punggung lebih
tegak. Senyum seolah tak
Bagi Dahlan selama ini
ia lebih sering
merepotkan bapak
ataupun
mengecewakannya tp
dalam teks ini ada
tindakan yang
menunjukkan sikap yang
mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu
berguna bagi masyarakat
dengan amanah yang dia
dapat bahwa Dahlan
dipercayai mampu
menjadi pemimpin yang
amanah. s
89
mau lepas dari sepasang
bibirnya, apalagi sewaktu
kiai Irsyad menjabat
tanganku dan menepuk
pundakku. h. 165
B. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Kognisi Sosial
Novel Sepatu Dahlan terbit berdasarkan keinginan penerbit mizan
(noura books) yang menantang salah satu penulis untuk menguraikan kisah
hidup semasa remaja Dahlan Iskan. Penulis ingin menyampaikan hal-hal yang
terkait dengan kehidupan masa kecil Menteri BUMN. Namun penulis tidak
ingin menyampaikannya secara biasa seperti pada media cetak lainnya.
Namun lebih berwarna. Penulis menyampaikan ha-hal tersebut dengan bahasa
dirinya, yang ringan, sederhana dan menggelitik dengan beberapa sentilan
yang disampaikan.
Hal di atas tercakup dalam hasil wawancara peneliti dengan penulis
novel Sepatu Dahlan yaitu, Khrisna Pabichara.
“Gagasan awal penulisan septu dahlan bukan berasal dari saya. Ide
penulisan itu pertama kali dilontarkan oleh Deden Ridan, CEO
Noura Books, sebuah lini penerbitan Mizan Group, lantas
ditawarkan penulisannya kepada saya. Lewat perbincangan ringan di
Cipete pada pertengahan Desember 2011, saya terima tantangan itu.
Lalu, saya rancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau
memoar melainkan novel. Sebagaimana lazimnya novel, ada
beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur yang murni imajinasi. Ada
juga nukilan peristiwa yang benar-benar terjadi, tetapi saya olah dan
racik sedemikian rupa supaya renyah dibaca.”43
43
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013.
90
Pada analisis kognisi sosial difokuskan bagaimana sebuah teks
diproduksi, dipahami, ditafsirkan, disimpulkan, dan dimaknai oleh penulis.
Proses terbentuknya teks ini tidak hanya bermakna bagaimana suatu teks itu
dibentuk, proses ini juga memasukkan informasi yang digunakan untuk
menulis dari suatu bentuk wacana tertentu.
Terkait dengan kognisi sosial, pemahaman penulis sangat berpengaruh
terhadap sesuatu yang dituangkan ke dalam cerita Sepatu Dahlan. Dalam
wawancara yang dilakukan peneliti, pada tanggal 05 April 2013, peneliti
menemukan beberapa jawaban terkait pandangannya terhadap pembuatan
novel yang terinspirasi dari salah satu tokoh Menteri. Pada penulisan Novel
Sepatu Dahlan penulis bertindak sebagai pengamat yang menjelaskan
peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan pikiran para pelaku
cerita.
Dalam menentukan tema dan gagasan atau fakta yang dipilih untuk
ditulis, peneliti yang dalam hal ini dilakukan oleh penulis novel Sepatu Dahlan
diberikan kebebasan serta merta ide yang akan dituangkan. Namun gagasan
awal penulisan novel Sepatu Dahlan pertama kali diperintahkan oleh Deden
Ridwan sebagai praktisi di dunia perbukuan CEO Noura Books. Dalam
wawancara ditemukan di café housen culinary adalah sebagi berikut:
“Gagasan penulisan Sepatu Dahlan bukan berasal dari saya. Ide
penulisan itu pertama kali dilontarkan oleh Deden Ridwan, CEO
Noura Books- sebuah lini penerbitan Mizan Group, lantas
ditawarkan penulisannya kepada saya. Saya terima tantangan itu.
91
Lalu, saya rancang buku itu bukan dalam bentuk biografi atau
memoar, melainkan novel.”44
Menurut pakar politik yang peneliti wawancarai novel Sepatu Dahlan
dikategorikan sebagai novel yang mengandung unsur pencitraan politik. ini
terkait isu kenaikan Dahlan Iskan ikut serta dalam pencalonan presiden tahun
2014 yang akan datang. Maka dari itu peneliti mengkaitkan novel ini sebagai
salah satu alat pencitraan Dahlan Iskan. Hal itu terungkap dalam hasil
wawancara peneliti dengan pengamat politik dari
Charta politik, sebagai
berikut;
“saya sih percaya ya dalam novel itu jelas ada sebuah pencitraan.
Kita lihat dari sisi momentum, memang ada 2014 ketika namanya
mulai disebut-sebut sebagai salah satu capres atau cawapres dan
munculnya buku ini juga pada masa-masa sudah mulai munculnya
nama dia sebagai capres atau cawapres. Saya yakin sekali bahwa itu
bagian dari kesadaran bahwa dia mungkin memiliki peluang menjadi
capres atau cawapres. Mungkin ketika ini tidak berhasil menjadi
sebuah bentuk pencitraan yang bersifat politik minimal dia bisa
melakukan grand sebagai seorang tokoh, dia bisa menginspirasikan
kehidupan dia di sisi lain yaa dengan berbagai macam silih yang
pernah dia alami.”45
Namun beberapa pembaca lain menganggap novel ini adalah sebuah
karya sastra, sebuah fiksi, novel semata yang melukiskan kisah kehidupan
seseorang. Di lihat dari judulnya Sepatu Dahlan itulah pembaca dihadapkan
pada suatu istilah yang menarik minat pembacanya. Pada bab per bab
diceritakan bahwa Sepatu Dahlan merupakan sebuah mimpi besar yang ingin
digapai dalam kisah hidup Dahlan Iskan ketika masa kecilnya di mana ia
44
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013.
45
Wawancara Peneliti dengan Yunarto Wijaya (Pengamat Politik) di kantor Catra
Politik, pada 16 April 2013.
92
merupakan tokoh utama dalam novel tersebut, dan novel ini merupakan kisah
nyata dari kehidupan Dahlan Iskan.
Tokoh Dahlan dikisahkan dalam novel ini selalu bermimpi ingin
memiliki sepatu untuk bersekolah karena keinginannya untuk membeli tidak
mungkin diraihnya ketika itu. Sehingga judul tersebut bisa diartikan bahwa
„Sepatu‟ itu sebagai mimpi atau cita-cita besar dalam hidupnya. Dengan harus
bekerja setelah pulang sekolah untuk membantu orang tua, dan membesarkan
adik kemudian berangkat kesekolah tidak menggunakan sepatu. Keadaan
kehidupan yang membatasi keinginannya untuk membeli sepatu dan sepeda.
Secara mendalam informasi yang digunakan penulis dalam merangkai
alur cerita kehidupan tokoh Dahlan Iskan dalam novelnya juga untuk
mengenal karakter tokoh berdasarkan pengalaman diri sebagai penulis yang
mengamati dengan menginap di kediaman Dahlan selama tiga hari dua malam
lalu bertransformasi menjadi keluarga inti Dahlan. Khrisna Pabichara
menyajikan tulisan dengan alur kisah mundur ( sorot-balik/ flash back).
Khrisna memutuskan diri untuk terbang ke surabaya dan menginap di
rumah Dahlan dalam beberapa hari untuk mengamati beragam hal yang
dilakukan Dahlan. Dimulai pada saat berbincang santai, berdiskusi, nonton
televisi, menerima tamu, hingga pada saat makan bersama dalam satu meja.
Hal tersebut terdapat dalam wawancara sebagai berikut;
“untuk mengenal karakter tokoh utamanya, awal februari lalu saya
memutuskan untuk terbang ke surabaya dan menginap di kediaman
Pak Daklan. Selama tiga hari dua malam saya bertransformasi
menjadi keluarga inti Dahlan, kemudian saya melihat dan mencatat
apa yang dilakukan Dahlan. Mulai dari berbincang santai, nonton
93
televisi, berdiskusi, menerima tamu, hingga makan bersama dalam
satu meja.”46
Sebagai penulis yang melakukan pengamatan secara intents, menginap
di kediaman Dahlan kemudian berbincang dengannya merupakan pintu masuk
untuk mendapatkan segala hal yang berkaitan dengan penulisan novelnya.
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti melihat bahwasannya
ada ikatan emosional antara Dahlan Iskan dengan Khrisna Pabichara. Ini
terbukti dari kegiatan Khrisna selama tiga hari di rumah Dahlan Iskan mulai
dari kegiatan yang kecil hingga makan malam satu meja bersama keluarga
Dahlan Iskan. Peneliti menyimpulkan bahwa Khrisna bukan hanya sebagai
penulis Sepatu Dahlan di dalam keluarganya. Tetapi terlihat adanya kedekatan
lebih dari sekedar relasi yang ia tunjukkan dalam kunjungannya selama tiga
hari di rumah Dahlan Iskan. Kedekatan di atas juga peneliti temukan dalam
kutipan hasil wawancara dengan penulis novel Sepatu Dahlan sebagai berikut.
“semua perbincangan saya catat dan saya rekam dalam ngobrol
santai mengenai banyak hal. Makanya saya harus menseleksi banyak
dari perbincangan saya dengan beliau untuk menjadi bahan
penulisan novel ini.” 47
Dalam pegamatannya, Khrisna tidak hanya diam di kediaman Dahlan,
dia juga mendatangi kota-kota lain yang pernah ditinggali Dahlan dalam
perjalanan hidupnya. Di antaranya, kota kelahiran Dahlan Magetan, lalu
Madiun, Ponorogo, Kertosono, Ngawi, dan Samarinda. Di kota-kota tersebut,
46
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013.
47
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013.
94
Khrisna berburu informasi tentang sosok yang akan ditulis. Baik dari saudara
kandung, sahabat, hingga teman-teman angkatan Dahlan saat bersekolah.
“bermacam pengalaman menarik yang saya alami ketika saya
menggali data di desa-desa yang pernah ditinggali Dahlan, karena
saya ingin menggambarkan Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan
sosok malaikat yang turun dari langit.”48
Hal lain yang peneliti temukan adalah penilaian penulis terhadap sosok
Dahlan dimana Khrisna ingin mengungkapan kisah Dahlan dengan apa
adanya, agar cerita yang ditunjukkan dalam novel menjadi lebih menarik.
Namun di akhir kalimat Khrisna mengatakan dahlan bukanlah sosok malaikat
yang turun dari langit. Menurut peneliti kalimat diatas membuat persepsi baru
untuk peneliti dan khalayak bahwa Dahlan Iskan selama ini bagai seorang
malaikat penyelamat yang hadir membawa perubahan.
Adanya keinginan menampilkan cerita yang natural dan apa adanya
tentang sosok Dahlan juga dikatakan oleh pihak penerbit. Ini dikatakan oleh
Suhindrati Shinta sebagai penyunting novel Sepatu Dahlan.
“Kita kan misinya pingin membuat buku yang menarik, dan kita
ingin mas Khrisna itu menampilkan pak Dahlan yang apa adanya.
Artinya bukan menampilkan pak Dahlan yang bagus-bagusnya ajah.
Kalo dia melakukan apa yang keliatannya jeleknya itu diungkapkan.
Intinya yang paling utama ya tetep supaya orang terinspirasi. Jadi
kita nerbitin novel tentu saja sangat ingin orang terinspirasi hal-hal
baik jadi misalnya kalo novel trailer itukan kadang-kadang misinya
hiburan aja. Dan kalo novel-novel inspiratif seperti ini ya tujuannya
supaya orang-orang terinspirasi.. oh pak Dahlan aja bisa gimana
ceritanya kamu juga bisa jadi ya tujuannya itu. Pas pembuatan kita
diskusi sama penulisnya gimana caranya novelnya itu menarik, gak
ngebosenin, dan teknik awal penulisan novelnya gimana, kita juga
48
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan)
di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013
95
ingin menampilkan apa adanya. Tentang Human gitu loh, bukan
dewa.”49
Penulis dan penerbit lagi-lagi mempunyai pemikiran yang sama dalam
penulisan novel ini, yaitu menampilkan alur cerita yang apa adanya dalam
novel. Sehingga terkesan lebih menarik dan lebih nyata saat dibaca khalayak.
Namun dalam akhir kutipan kalimat wawancara dengan Shinta, ia
menyebutkan kalimat tentang „human gitu loh, bukan dewa‟, ini sama halnya
dengan apa yang dikatakan Khrisna diakhir kutipan wawancara „Dahlan
sebagai sosok apa adanya. Bukan sosok malaikat yang turun dari langit‟.
Menurut peneliti dari kedua kutipan di atas mempunyai makna yang sama.
Yaitu tidak ingin melebih-lebihkan sosok Dahlan Iskan. Seperti yang peneliti
katakan di atas, bahwasanya kutipan-kutipan ini mengandung makna
sebaliknya. Yaitu sosok Dahlan sebagai malaikat dan sosok Dahlan sebagai
dewa.
C. Analisis Wacana Kritis Pencitraan Dilihat dari Konteks Sosial
Terkait dengan konteks sosial maka berdasarkan teks pada Novel
Sepatu Dahlan dapat diketahui bagaimana pencitraan dan relasi kuasa yang
dibangun dan berkembang dalam masyarakat melalui proses produksi dan
reproduksi pesan. Peristiwa yang digambarkan melalui penelusuran maupun
studi pustaka. Bangunan teks dalam konteks sosial ini, menjadi suatu
bangunan berpikir terkait pencitraan Dahlan Iskan.
49
Wawancara Peneliti dengan Suhindrati Shinta (Penyunting Novel Sepatu Dahlan) di
Kantor penerbit Noura Books, pada 30 Agustus 2013.
96
Dalam penelitian ini, konteks sosial dilihat melalui studi pustaka. Hal
yang terlihat adalah masyarakat sangat terinspiratif, sangat termotivasi pada
sosok Dahlan Iskan. Hal tersebut menjadi suatu hal yang sangat penting dalam
penelitian ini. Faktor Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN merupakan hal
penting untuk disorot. Terkait dengan penelitian ini, Novel Sepatu Dahlan
menyajikan wacana pencitraan yang cenderung positif. Hal tersebut terkait
dengan konteks sosial yang berkembang dimasyarakat.
Terbitnya novel ini bagian dari salah satu dari bentuk pencitraan dari
berbagai media yang ada pada saat ini. Banyak buku-buku yang menerbitkan
tentang sosok penguasa yang ada di negeri ini. Ini dilakukan agar masyarakat
dapat mengenal lebih dekat sosok penguasa yang nantinya akan tampil
dihadapan publik. Buku-buku yang diterbitkan menceritakan sosok penguasa
yang baik hati, bijaksana, ramah dan sederhana juga berbagai penghargaanpenghargaan yang mereka dapatkan. Itulah yang menjadi senjata utama dari
terbitnya buku-buku yang ada saat ini.
Begitupula dengan terbitnya novel Sepatu Dahlan. Menurut peneliti
isinya tidak jauh berbeda dari buku-buku biografi tokoh penguasa yang ada
saat ini, hanya saja pengemasannya yang berbeda. Isinya dikemas lebih ringan
dari yang sudah terbit sebelumnya yaitu dalam berbentuk novel agar lebih
menarik untuk dibaca oleh khalayak.
Teks dalam novel Sepatu Dahlan, menunjukkan bahwa Khrisna secara
langsung mendeskripsikan kisah Dahlan Iskan berdasarkan realitas yang
ditemui, yang dirangkai dalam suatu alur cerita melalui novel tersebut. Hal-hal
97
positif maupun negatif dari cerita yang menyedihkan kemudian mengharukan
disampaikan Khrisna melalui novel Trilogi Sepatu Dahlan yang mudah
dipahami dan berkembang dimasyarakat.
Dengan hal demikian nampak bahwa media memiliki kebebasan dalam
berpendapat. Hal apa saja dapat dituangkan dalam berbagai media seperti yang
dilakukan penulis Khrisna Pabichara melalui novel Sepatu Dahlan.
D. Interpretasi
Berdasarkan penelitian di atas, keseluruhan penjelasan dari analisis
wacana baik yang meliputi analisis teks, kognisi sosial maupun konteks sosial,
masing-masing memberikan makna tersendiri. Secara teks, analisis wacana
mengenai pencitraan Dahlan Iskan disampaikan banyak mengandung suatu
pengungkapan realitas mengenai sikap, perbuatan maupun segala hal terkait
kehidupannya.
Sosok Dahlan Iskan dikenal sebagai menteri BUMN yang pandai
membangun suatu pencitraan yang baik. Seperti yang ditulis widodo dalam
situs kompasiana pada 12 maret 2012 mengatakan bahwa Dahlan Iskan
namanya
mulai
membuming diperbincangkan
dikalangan
masyarakat
berkaitan dengan citra yang dibentuknya. Misalnya Dahlan Iskan yang
melakukan gebrakan dengan membuka pintu tol yang menjadi biang keladi
kemacetan beberapa waktu lalu. Orang pun lantas menilai sosok Dahlan Iskan
sebagai pribadi yang tegas, berani, dan action-oriented.50 Melihat tindakannya
itu secara tidak langsung dapat memberikan asosiasi bahwa Dahlan Iskan
50
Shinta Kusuma, Pencitraan Bukan Kamuflase, dikutip dari pesona.com.
http://www.pesona.co.id/refleksi/refleksi/pencitraan.bukan.kamuflase/001/001/134. di akses pada
Tanggal 17-09-2013 Pukul 15:41 wib.
98
membangun citra diri yang positif dengan gambaran seseorang tentang
ulahnya yang menjadi perhatian publik.
Widodo juga mengatakan Dahlan Iskan pandai mengkilapkan citra dari
tokoh yang biasa menjadi luar biasa, segala aktifitas tentang Dahlan
diceritakan dalam berbagai media. Hal lain juga ditulis widodo tentang
wacana pencapresan Dahlan mengemuka menyusul pernyataan Ketua DPP PD
Bidang Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan DPP PD, Ulil Abshar
Abdalla. Menurut Ulil, Dahlan berpotensi dan punya kapasitas maju pada
Pilpres 2014.51
Berdasarkan sumber kantor berita antara yang diposting melalui berita
satu.com, bahwa salah satu lembaga survei menyebutkan posisi rating Dahlan
Iskan berada pada urutan ke-8 dengan raihan 3,6 persen, berada di bawah
Mahfud MD yang dipilih 5,4 persen responden. Sementara posisi pertama
capres pilihan responden ditempati Jokowi dengan 18,1 persen, disusul
Prabowo Subianto 10,9 persen, dan Wiranto 9,8 persen.
Pada urutan keempat, ditempati mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla 8,9
persen, disusul Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie 8,7 persen
dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri 7,2 persen. Namun, dibawah
Dahlan Iskan ada nama Hatta Rajasa yang dipilih 2,9 persen responden disusul
51
Widodo S Jusuf, Dahlan Iskan Jangan Menapaki Jejak SBY, dikutip dari
kompasiana.com. http://politik.kompasiana.com/2012/03/26/dahlan-iskan-jangan-menapaki-jejaksby-445181.html. Tanggal 17-09-2013 Pukul 15:41 wib.
99
Rhoma Irama sebesar 1,7 persen, Muhaimin Iskandar 1,1 persen persen dan
Anas Urbaningrum 0,5 persen. .52
Sosok Dahlan Iskan dalam strategi pencitraan menjadi suatu hal
tersendiri dalam kehidupan berpolitik. Kisah hidup sosok Dahlan Iskan dalam
novel Sepatu Dahlan menjadi tokoh yang inpiratif bagi khalayak pembaca. Hal
tersebut bermaksud membentuk citra Dahlan sebagai tokoh yang gigih,
pantang menyerah, disiplin dan beriman.
Secara kognisi sosial, makna yang dapat dipetik dalam novel Sepatu
Dahlan memberikan pengalaman pribadi yang memberikan keuntungan bagi
Khrisna Pabichara sebagai penulis Novel Sepatu Dahlan. Hal tersebut
tercakup dalam hasil wawancara peneliti dengan penulis sebagai berikut;
“tentu ada manfaat yang saya dapatkan dari sepatu Dahlan. Salah
satunya, royalti. Semakin banyak yang beli novel ini, semakin
banyak royalti yang saya dapat. Tetapi jangan lupa, ada sumbangan
wajib bernama pajak penghasilan sebesar 15% daro royalti itu yang
saya dermakan pada negara. Selain itu, tiap satu buku yang terjual
disumbangkan sebesar Rp. 1.000 demi “gerakan Septu untuk anak
Indonesia”. Gerakan ini terjalin atas kerja sama antara penerbit
dengan Kick Andy Foundation.”
Akan tetapi pengalaman tersebut menjadi pemahaman tersendiri pada
masyarakat mengenai realitas melalui kacamata penulis. Melalui profesi
sebagai penulis informasi dapat tergali lebih dalam dan mendetail. Oleh
karena itu, novel Sepatu Dahlan ini dapat diungkap secara kritis dan lugas.
Cara pandang penulis yang mengamati kisah perjuangan hidup Dahlan Iskan
52
Berita Antara di posting melalui http://www.beritasatu.com/nasional/109048-soalcaprescawapres-2014-dahlan-malumalu-mau.html di akses pada tanggal 02 oktober 2013 pukul
15:52 wib.
100
menjadi pendeskripsian yang ada sebagai suatu pembuka wacana masyarakat
agar lebih terbuka dan luas.
Hubungan antara Dahlan Iskan dengan Khrisna Pabichara tidak lain
hanyalah sebatas tokoh dalam novel dan seorang penulisnya. Dalam proses
produksinya Dahlan Iskan tidak bercampur tangan dari ide awal penulisan
sampai terbitnya novel Sepatu Dahlan. Artinya Dahlan sama sekali tidak
memberikan arahan dan masukan dalam penentuan konsep dan ide cerita
sepenuhnya dilakukan oleh penulis.
Khrisna Pabichara menjelaskan kepada peneliti mengenai penentuan
penulisan novel Sepatu Dahlan dalam hasil wawancara sebagai berikut;
“tidak seorangpun yang turut mencampuri penulisan novel Sepatu
Dahlan. Termasuk Dahlan Iskan. Bahkan, beliau tidak membaca
manuskrip novel ini. Dengan kata lain, tidak ada yang mengarahkan
atau mengatur-atur saya dalam penulisan novel ini. Tidak ada pula
yang menegaskan mana yang boleh dan apa yang tidak boleh ditulis.
Saya bebas sebebas-bebasnya. Pihak penerbitpun hanya terlibat
dalam proses penyuntingan: memberikan saran apabila ada yang
dianggap butuh tambahan atau perbaikan. Selebihnya tidak ada.”53
Khrisna menyampaikan bahwa menulis novel tersebut bukanlah
dengan tujuan pembentukan citra atau sebuah novel pesanan. Namun asusmi
peneliti melihat proses yang dilakukan khrisna memiliki kompetensi
menciptakan
karakter
yang
baik
terhadap
sosok
Dahlan
untuk
menampilkannya di depan publik. Asumsi ini peneliti temukan dalam proses
pembuatan novel dengan waktu yang singkat dan dengan data kisah hidup
Dahlan kecil yang didapat dengan mudah.
53
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013
101
Secara konteks sosial, menunjukkan makna bahwa proses kehidupan
politik merupakan hal yang penuh dengan berbagai macam cara maupun
strategi dalam proses pemenangannya. Proses untuk memperoleh kekuasaan
dan kemudian mempertahankan kekuasaan tersebut dilakukan melalui
berbagai cara baik yang positif maupun negatif. Salah satu proses yang ada
merupakan proses pencitraan, dimana efeknya tidak dapat dirasakan sekejap
mata melainkan melalui berbagai proses dan waktu yang cukup panjang.
Keterbukaan informasi menjadikan proses tersebut menjadi suatu hal yang
lebih kompleks.
Novel Sepatu Dahlan merupakan salah satu cara pencitraan Dahlan
Iskan yang mempunyai tujuan sasaran pasar tersendiri di khalayak. Dalam
novel Sepatu Dahlan, sosok Dahlan menjadi sosok yang sangat sederhana
dikemas dengan cerita yang sangat dramatis dan menarik. Begitu pun dengan
buku-buku biografi Dahlan Iskan lainnya yang muncul setelah terbitnya novel
Sepatu Dahlan mempunyai sasaran pasar tersendiri di khalayak. Seperti, Surat
Dahlan, Dahlan Iskan Juga Manusia, (certwit) Dahlan Is Dahlan Can dan lain
sebagainya.
Buku-buku tentang biografi seseorang saat ini menjadi media politik
yang efektif bagi mereka yang ingin menarik perhatian dan mempunyai citra
baik di mata khalayak. Ini terbukti dengan beredarnya sosok-sosok baru dalam
buku biografi. Seperti, Chairul Tanjung Si Anak Singkong, Jokowi Spirit
Bantaran Kali Anyar, Mahmud Md Terus Mengalir, dan lain sebagainya.
102
Berbagai hal yang disampaikan penulis merupakan penggambaran
yang melahirkan fenomena seolah-olah seperti yang digambarkan atau
dicitrakan dari bangunan pencitraan Khrisna yang mengarah pada hiperealitas.
Artinya, segala hal yang digambarkan maupun dilukiskan murni cara pandang
Khrisna terhadap sosok Dahlan Iskan mencakup pilihan bahasa, dari kata
hingga paragraf. Hasil dari proses tersebut merupakan sebuah wacana atau
realitas yang membentuk opini massa, massa cenderung apriori, dan opini
massa cenderung sinis melihat sisi positif dan negatif sejalan yang
disampaikan Khrisna. Akan tetapi hal tersebut tidak serta merta terjadi
dikarenakan faktor internal pembaca sendiri.
Khrisna membangun sebuah teks dengan muatan simulakra dan
hiperrealitas ke dalam novel Sepatu Dahlan dengan cukup jelas dalam novel
Sepatu Dahlan simulakra tersebut ditunjukkan melalui bahasa yang mampu
menciptakan sosok figur Dahlan Iskan. Sebagaimana simulakra merupakan
penampakkan sesuatu yang tak sebagaimana adanya. Dalam hal ini, Khrisna
melukiskan beberapa peristiwa, tokoh, dan latar alur dengan imajinasi.
Sebagaimana lazimnya sebuah novel, dan instrumen tersebut terklarifikasi
dalam salah satu bentuk media simulakra.
Hal demikian secara tak langsung dapat menunjukkan konsep yang
disitilahkan Baudrillard sebagai hiperrealitas atau sesuatu yang melampaui
kenyataan. (menjelaskan tentang hiperealitas) Namun, dalam sebuah novel hal
tersebut menjadi mungkin untuk digambarkan melalui imajinasi dengan
103
berlatar kisah nyata. Novel Sepatu Dahlan ini mengandung muatan
hiperrealitas yang menyangkut beberapa hal.
Pertama, sebuah cerita yang direalisasikan dari sebuah kisah nyata
mampu dirangkai sedemikian rupa dengan melakukan riset yang berlangsung
cepat selama satu setengah bulan. (jelaskan karena dengan waktu yang
sedemikian singkat, ada halnya bahwa dalam novel itu banyak hasil imajinatif
penulis). Kemudian dengan melihat konteks latar cerita ketika Dahlan kecil
yang kondisinya jauh berubah dengan sekarang. Konsep simulakra dengan
novel ini sangat erat kaitannya, dimana simulakra merupakan realita yang
dilebih-lebihkan. Begitu pun dalam novel, yang mana novel merupakan karya
fiksi dimana isinya boleh saja tidak mencerminkan realita lebih banyak
menceritakan fiksi dari pada fakta. Walaupun ada sebagian alur cerita dalam
novel yang nyata. Dalam hal ini adalah novel sepatu dahlan yang diangkat dari
kisah nyata Dahlan Iskan semasa kecil. Ditambah dengan imajinasi penulis
yang mana novel memiliki ruang imajinasi sehingga penulis mengembangkan
sebuah cerita novel ini menjadi menarik dan dramatis. Ini penulis sampaikan
dalam wawancara dengan peneliti.
“sebagaimana lazimnya novel, ada beberapa peristiwa, tokoh, dan
latar-alur yang murni imajinasi. Ada juga nukilan peristiwa yang
benar-benar terjadi, tetapi saya olah atau racik sedemikian rupa
supaya renyah dibaca. Jika seluruh bagian dalam Sepatu Dahlan
persis sebagaimana fakta sebenarnya, tentu bukan novel bentuknya.
Bisa biografi, bisa memoar. Dengan kata lain novel ini berlatar kisah
nyata.”54
54
Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café
Housen Cullinary, pada 5 April 2013
104
Kedua, muatan hiperrealitas yang terdapat dalam novel Sepatu Dahlan
dapat dilihat melalui sudut pandang (khalayak/pembaca). Seperti yang kita
ketahui Dahlan Iskan yang demikian dapat dikenal sebagai figur yang mampu
meraih mimpinya dengan segala keterbatasan ekonomi dalam hidupnya.
Hingga hal yang dicapai saat ini Dahlan memiliki ratusan media, menjadi
Dirut PLN dan menjabat sebagai Menteri BUMN. Hal tersebut sulit
direalisasikan dalam kehidupan nyata.
Merujuk pada baudrillard bahwa penggunaan tanda dan citra dalam
politik, sedemikian rupa, yang di dalamnya citra telah terputus dari realitas
yang direpresentasikan sehingga didalamnya bercampur aduk antara yang
asli/palsu,
realitas/fantasi,
kenyataan/fatamorgana,
citra/realitas
yang
menggiring dunia politik ke arah penopengan realitas (masquerade of reality).
novel ini menyajikan antara fakta dan imajinasi penulis sudah sulit dibedakan.
Dengan demikian cerita tentang Dahlan Iskan yang ada dalam novel sudah
sulit dibedakan mana yang realitas dan mana yang fantasis si penulis, mana
yang asli dan mana yang palsu, mana yang citra dan mana yang realitas.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam Analisis Wacana Kritis (Critical Dicourse Analisis / CDA), wacana
tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa dianalisis tidak hanya dari aspek
kebahasaan saja, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks disini
berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan oleh peneliti mengenai
pencitraan Dahlan Iskan terkait dalam novel Sepatu Dahlan, maka dapat disimpulkan
bahwa proses pemaknaan atas pesan yang disampaikan, yaitu melalui struktur teks
(makro, superstruktur, dan struktur mikro), dan dalam kognisi sosial dan konteks
sosial dalam novel Sepatu Dahlan. Dalam novel tersebut dapat menjadi suatu sarana
pembentuk citra diri terhadap tokoh Dahlan yang dibangun oleh Khrisna. Meskipun
Khrisna menyampaikan bahwa menulis novel tersebut bukanlah dengan tujuan
pembentukan citra atau sebuah novel pesanan. Namun asusmi peneliti melihat proses
yang dilakukan Khrisna memiliki kompetensi menciptakan karakter yang baik
terhadap sosok Dahlan untuk menampilkannya di depan publik. Asumsi ini peneliti
temukan dalam proses pembuatan novel dengan waktu yang singkat dan dengan data
kisah hidup Dahlan kecil yang didapat dengan mudah.
Dari analisis data yang telah peneliti lakukan tersebut ditemukan melalui
analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk dengan tiga level analisis. Sebagai berikut:
105
1) Dilihat dari segi teks, Novel Sepatu Dahlan yang diteliti ini menunjukkan adanya
pencitraan dengan mengidentifikasikan kisah pengalaman hidup Dahlan Iskan
dengan penekanan makna dan pemilihan kata atau kalimat yang ditonjolkan
mengenai sosok Dahlan Iskan seperti: sosok yang sederhana, disiplin, pekerja
keras, bersahabat/ komunikatif, dan amanah.
2) Dari segi kognisi sosial, penulis novel ini memahami bahwa terlepas dari tipisnya
perbedaan antara fakta dan fiksi, tidak ada kisah hidup Dahlan yang dilebihkan
dan dikurangkan, namun dalam hasil wawancara terlontar kalimat tentang
‘human gitu loh, bukan dewa’, ini sama halnya dengan apa yang dikatakan
Khrisna diakhir kutipan wawancara ‘Dahlan sebagai sosok apa adanya. Bukan
sosok malaikat yang turun dari langit’. Menurut peneliti dari kedua kutipan di
atas mempunyai makna yang sama. Yaitu tidak ingin melebih-lebihkan sosok
Dahlan Iskan. Seperti yang peneliti sudah jelaskan pada bab IV bahwasanya
kutipan-kutipan ini mengandung makna sebaliknya. Yaitu sosok Dahlan sebagai
malaikat dan sosok Dahlan sebagai dewa. Ini berdasarkan pengamatan penulis
novel selama pembuatan novel ini.
3) Dari segi konteks sosial, melihat maraknya fenomena tindakan politik pencitraan
akhir-akhir ini di masyarakat Indonesia banyak tokoh publik yang melakukan
pencitraan dalam pertarungan di dunia politik melalui media massa cetak. Seperti
buku biografi yang ditulis oleh Wartawan SKH Kompas: Antonius Wisnu
Nugroho yang berjudul Pak Beye dan Politiknya, autobiografi maupun novel.
Publikasi yang dilakukan pada tokoh-tokoh tersebut dilakukan melalui media
massa maupun media sastra.
106
Saran
Berdasarkan dengan penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang
dapat menjadi saran baik kepada segenap akademisi Fakultas Ilmu Komunikasi,
khususnya Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta bagi peminat novel khususnya pecinta karya sastra:
1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan menggunakan metode analisis wacana
yang beragam di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan agar bisa
mengkaji lebih dalam dan mendapat perhatian lebih guna memperkaya khasanah
keilmuan komunikasi.
2. Bagi masyarakat ini bisa menjadi gambaran dalam melakukan pencitraan yang
menggunakan media massa maupun media sastra.
3. Semoga hal-hal yang baik dalam penelitian ini menjadi masukan yang dapat
mengembangkan karya sastra seperti novel yang sarat dengan nilai-nilai positif
yang tertuang di dalamnya agar dapat diserap dengan baik.
107
Download