7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Pedaging (Ayam Broiler

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ayam Pedaging (Ayam Broiler)
Ayam pedaging digolongkan kedalam kelompok unggas penghasil daging,
artinya dipelihara khusus untuk menghasilkan daging. Umumnya memiliki ciriciri sebagai berikut: kerangka tubuh besar, pertumbuhan badan cepat,
pertumbuhan bulu yang cepat, lebih efisien dalam mengubah ransum menjadi
daging. Ayam pedaging adalah galur ayam hasil rekayasa genetik yang memiliki
karakter ekonomis dengan ciri khas pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging,
masa panen pendek, dan menghasilkan daging berserat lunak, timbunan daging
baik, dada lebih besar dan kulit licin (Rasyaf, 2008).
Berbagai macam strain ayam ras pedaging telah beredar dipasar Indonesia
memiliki daya produktifitas relatif sama, artinya seandainya terdapat perbedaan,
perbedaannya tidak mencolok atau sangat kecil. Adapun jenis strain ayam ras
pedaging yang banyak beredar di pasaran adalah: Super 77, Tegel 70, ISA, Kim
cross, Lohman 202, Hyline, Vdett, Missouri, Hubbard, Shaver Starbro, Pilch,
Yabro, Goto, Arbor arcres, Tatum, Indian river, Hybro, Cornish, Brahma,
Langshans, Hypeco-Broiler, Ross, Marshall”m”, Euribrid, A.A 70, H&N, Sussex,
Bromo, CP 707 (BPP Teknologi, Kementrian Riset dan Teknologi, 2000)
Pemeliharaan ayam pedaging meliputi management (pengelolaan usaha
peternakan), breeding (pembibitan), feeding (pakan ternak). Faktor ini selain
mempengaruhi pertumbuhan ternak juga mempengaruhi kesehatan ternak yang
diakibatkan oleh agen infeksius maupun non-infeksius. Kelemahan ayam
7
8
pedaging adalah memerlukan pemeliharaan secara intensif dan lebih peka
terhadap infeksi suatu penyakit (Murtidjo, 1992). Penyebab penyakit infeksius
pada ayam cukup kompleks, mulai dari bakteri, virus, protozoa, dan parasit.
Beberapa penyakit ayam yang populer di Indonesia antara lain
Cronic
Respiratory Disease, Coryza, Newcastle disease (ND) atau sering disebut tetelo,
gumboro, berak darah, koliseptikemia, dan avian influenza (Murtidjo, 1992).
2.2. Koliseptikemia
Koliseptikemia adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri
Escherichia coli (E. coli) patogen. Infeksi E. coli atau koliseptikemia ini dapat
terjadi pada ayam pedaging dan petelur dari semua kelompok umur, serta unggas
lainnya seperti kalkun dan itik (Charlton et al., 2000). Koliseptikemia terjadi jika
Escherichia coli masuk ke dalam sirkulasi darah dan menginfeksi berbagai
jaringan melalui lesi pada usus atau saluran pernafasan yang ditimbulkan oleh
berbagai sebab. Gejala klinik yang timbul dapat berbentuk gangguan pencernaan
dan gangguan pernafasan. Gejala awal biasanya ditandai oleh penurunan nafsu
makan, lalu diikuti oleh kelesuan dan bulu berdiri. Ayam yang sakit akan
menunjukkan peningkatan frekuensi nafas disertai ngorok (Tabbu, 2000).
Nugroho dan Wibowo (2005) mengemukakan bahwa gejala klinis yang
teramati pada ayam terinfeksi koliseptikemia yang berumur 15 hari adalah
depresi, anoreksia, bulu-bulu kasar, sayap tergantung dan kelemahan umum.
Perubahan patologi anatomi yang dapat dilihat berupa perihepatitis, peritonitis
dan
perikarditis
dengan
tingkat
keparahan
yang
bervariasi.
Penyakit
koliseptikemia dapat dimanifestasikan dalam bentuk kelainan organ, seperti:
9
airsacculitis,
omfalitis, septikemia, enteritis, coligranuloma, pericarditis,
salphingitis, panopthalmitis, arthritis/synovitis. Gambaran PA yang demikian
dapat ditetapkan diagnosanya sebagai koliseptikemia. Namun apabila dalam
pemeriksaan PA dan HP ditemukan lebih dari satu penyakit dan perubahan pada
penyakit tersebut lebih menonjol, maka biasanya koliseptikemia tersebut dianggap
sebagai ikutan atau sebagai infeksi sekunder (Tabbu, 2000).
Manifestasi penyakit koliseptikemia pada unggas antara lain:
1. Airsacculiti.
Air sac menebal dan pada beberapa kasus, terdapat eksudat kaseosa.
Biasanya terdapat perikarditis adesif dan perihepatitis fibrinosa.
2. Omfalitis.
E. coli dapat diisolasi dalam biakan murni dari tetasan unggas yang
mengalami depresi, septicemia, kematian tidak tetap. Tali
pusar
membengkak, meradang dan unggas demam.
3. septikemia.
septikemia disebabkan oleh E. coli yang menyerupai fowl typhoid dan fowl
cholera. Terjadi kematian tiba-tiba, mortalitas dan morbiditas tidak tetap.
Organ parenkim membengkak dengan kongesti pada muskulus pektoral.
Hati berwarna hijau dan bisa terdapat foki nekrotik kecil.
4. Enteritis.
Terjadi diare. Pada nekropsi terdapat enteritis, selalu bersama dengan mukus
5. Salphingitis
Lesi ini terdapat bersamaan dengan masuknya bakteri coliform dari vagina
pada ayam layer. Unggas terinfeksi biasanya mati selama enam bulan
pertama setelah infeksi dan tidak pernah bertelur.
10
6. Coligranuloma (Hjarre’s disease).
Nodul (granuloma) terdapat sepanjang saluran pencernaan, usus dan hati.
Lesi menyerupai tuberkulosis.
7. Sinovitis dan artritis.
Unggas yang terinfeksi pincang atau ambruk.
8. Panolphthalmitis.
Unggas mengalami hypopyon, biasanya satu matanya buta.
9. Perikarditis.
Sebagian besar serotipe E. coli setelah septicemia, menyebabkan
perikarditis (Whiteman et al., 1983).
Apabila terjadi septikemia, untuk meningkatkan kondisi hewan perlu
dilakukan pemberian cairan tubuh dengan larutan glukosa dan mineral melalui
mulut (Akoso, 1993). Tindakan pencegahan koliseptikemia lebih ditekankan
dengan memperhatikan sanitasi kandang dan lingkungan serta manajemen pakan
agar dapat mengurangi tingkat pencemaran E. coli. Pencegahan berbagai penyakit
pernapasan, pencernaan dan penyakit yang bersifat imunosupresif hendaklah
mendapat prioritas utama (Tabbu, 2000).
2.3. Escherichia coli (E. coli)
E. coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang merupakan anggota
golongan coliform, E. coli adalah penghuni umum dalam pencernaan manusia dan
hewan, dianggap tidak patogen apabila didalam saluran pencernaan dan patogen
apabila berada diluar saluran pencernaan (Jawetz et al., 1982). Adapun taksonomi
dari Escherichia coli sebagai berikut:
Superdomain
: Phylogenetica
11
Filum
: Proterobacteria
Kelas
: Gamma Proteobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: Escherichia Coli
Ada tiga macam struktur antigen yang penting dalam klasifikasi E. coli
yaitu, antigen O (Somatik), antigen K (Kapsel) dan antigen H (Flagella).
Determinan antigen (tempat aktif suatu antigen) O terletak pada bagian
liposakarida, bersifat tahan panas dan dalam pengelompokannya diberi nomor
1,2,3 dan seterusnya. Antigen K merupakan polisakarida atau protein, bersifat
tidak tahan panas dan berinterferensi dengan aglutinasi O, sedangkan antigen H
mengandung protein, terdapat pada flagella yang bersifat termolabil. Pada saat ini
telah diketahui ada 173 grup serotype antigen O, 74 jenis antigen K dan 53 jenis
antigen H. E. coli dapat menghasilkan berbagai jenis toksin seperti endotoksin,
enterotoksin dan neurotoksin (Barness dan Gross, 1997).
Sebagian besar strain E.coli tidak berbahaya, namun terdapat beberapa yang
bersifat patogen. Strain E.coli merupakan flora normal saluran pencernaan, yang
menguntungkan host dengan memproduksi vitamin K, atau mencegah
pertumbuhan
bakteri
lain.
Sedangkan
bakteri
E.coli
patogen
meliputi
Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC), Enteropathogenic Escherichia coli
(EPEC), Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC), Verotoxigenic Escherichia
coli (VTEC), Urophatogenic Escherichia coli (UPEC). Avian patogen Escherichia
12
coli (APEC) menyebabkan aerosacculitis, poliserositis, septicemia dan penyakit
terutama ekstraintestinal lainnya pada ayam, kalkun dan spesies unggas lainnya
(Dho-Moulin dan Fairbrother, 1999).
Janben et al. (2001) mengelompokkan E. coli patogenik sesuai dengan
gejala klinis yang ditimbulkan antara lain: E. coli penyebab diare, E. coli
penyebab septisemia dan Avian Pathogenic Escherichia coli (APEC). Galur
APEC merupakan galur yang berhubungan dengan lesi-lesi karakteristik penyakit
koliseptikemia pada ayam.
2.3.1. Patogenesa E. coli Penyebab Koliseptikemia
Koliseptikemia umumnya disebabkan oleh avian pathogenic E. Coli
(APEC). Sejauh ini, APEC didominasi 3 sero grup yaitu O1, O2 dan O78. Bakteri
tersebut mampu menyebar melalui peredaran darah sehingga dapat menyebabkan
kerusakan pada berbagai organ (Tabbu, 2000). Disamping itu infeksi E. coli pada
embrio ayam dapat menyebabkan radang pada pusar (Barness dan Gross, 1997).
Penularan E. coli penyebab koliseptikemia dapat terjadi secara vertikal dan
horizontal. Penularan secara vertikal terjadi melalui saluran reproduksi induk
ayam, yaitu melalui ovarium atau oviduk yang terinfeksi. Telur yang menetas
akan menghasilkan DOC yang tercemar bakteri E. coli. Sedangkan Penularan
secara horizontal terjadi secara kontak langsung dengan ayam sakit atau secara
tidak langsung melalui kontak dengan bahan/peralatan kandang yang tercemar.
Penularan biasanya terjadi secara oral melalui ransum/air minum yang
terkontaminasi bakteri melalui saluran pernapasan bersama debu diudara
(Tarmudji, 2003).
13
Dalam kondisi normal bakteri E. coli terdapat di dalam saluran pencernaan
ayam. Sekitar 10−15 persen dari seluruh bakteri E. coli yang ditemukan di dalam
usus ayam yang sehat tergolong serotipe patogen. Bagian usus yang paling banyak
mengandung kuman tersebut adalah jejunum, ileum dan sekum. Serotipe E. coli
yang terdapat di dalam usus tidak selalu sama dengan serotipe yang ditemukan
pada jaringan lain (Tabbu, 2000). Sebagai agen penyakit sekunder, E. coli sering
mengikuti penyakit lain, misalnya pada berbagai penyakit pernafasan dan
pencernaan yang menyerang ayam (Tarmudji, 2003).
Tabbu (2000) menyatakan bahwa Penularan koliseptikemia biasanya terjadi
secara oral melalui pakan, air minum atau debu/kotoran yang tercemar oleh E.
coli. Debu dalam kandang ayam dapat mengandung 10 5–106 E. coli/gram dan
bakteri ini dapat tahan lama, terutama dalam keadaan kering. Apabila debu
tersebut terhirup oleh ayam, maka dapat menginfeksi saluran pernafasannya.
Kuman E. coli yang dikeluarkan oleh unggas bersama tinja lalu ditularkan melalui
makanan dan minuman dan dimakan oleh unggas lain.
Faktor virulensi E. coli dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap fagositosis,
kemampuan perlekatan terhadap epitel sel pernafasan dan ketahanannya terhadap
antibodi oleh serum. E. coli patogen mempunyai struktur dinding sel yang disebut
“vili”, yang tidak ditemukan pada serotipe yang tidak patogen. Selanjutnya kuman
E. coli yang mempunyai vili akan menempel pada saluran pencernaan terutama
usus bagian bawah, kemudian E. coli membentuk kolonisasi usus melalui
pembentukan mikrokoloni. Kemudian kuman E. coli akan melepaskan
enterotoksin sehingga terjadi penurunan absorpsi natrium, sehingga lumen usus
14
meregang serta terjadi peningkatan peristaltik usus yang diteruskan dengan
terjadinya diare (Tabbu, 2000).
2.3.2. Morfologi dan Sifat Biakan E. coli
Escherichia coli (E. coli) termasuk bakteri Gram negatif berbentuk batang
pendek, tidak tahan asam, tercat uniform, tidak membentuk spora, berukuran 2-3
x 0,6 µm, mempunyai flagella peritrikus, bentuk koloni sirkuler, konveks, halus,
memfermentasi laktosa, sukrosa dan memproduksi hemolisin. Bakteri ini dapat
tumbuh pada kisaran suhu antara 10-46 ºC, pertumbuhan baik pada suhu 20-40 ºC
dan pertumbuhan optimum pada suhu 37 ºC (Howard et al.,1987). Kemampuan E.
coli dalam menghemolisis dapat menjadi salah satu metode penentuan patogenitas
E. coli. Bakteri ini membutuhkan suasana aerob sampai fakultatif anaerob dengan
suhu pertumbuhan optimum pada pH 7,0 tapi tumbuh juga pada pH yang lebih
tinggi. Koloni E. coli terlihat basah mengkilat, tidak bening, bulat dan dengan tepi
yang terlihat halus dan rata. Koloni muda terlihat halus dan semakin tua menjadi
granuler kasar (Radji, 2003).
Pada media Eosin Methylene Blue (EMB) koloni E. coli tumbuh khas yaitu
terlihat berwarna hijau metalik seperti kilap logam dengan koloni berwarna
gelap. Bakteri E. coli memproduksi asam dan gas dalam glukosa, maltosa,
manitol, gliserol, xylose, rhamnose, sorbitol dan arabinosa, tetapi tidak dalam
dekstrin dan inositol. Beberapa strain E. coli memfermentasi laktosa dengan
lambat atau tidak sama sekali, fermentasi adonitol, sukrosa, salisin, rafinosa dan
dulsitol bervariasi. E. coli positif pada tes methyl red dan negatif pada tes Vogesproskauer dan citrat. (Barness dan Gross, 1997).
15
2.3.3. Resistensi
Kuman
E. coli
Penyebab Koliseptikemia Terhadap
Antibiotika
Resistensi adalah suatu keadaan berkurangnya pengaruh antibiotik terhadap
bakteri atau secara alamiah bakteri tidak sensitif oleh perlakuan antibiotik.
Berbagai cara mekanisme resistensi anatara lain melalui penonaktifan obat,
perubahan target atau struktur enzim, penurunan akumulasi obat oleh sel, adanya
variasi jalur metabolik maupun peningkatan konsentrasi metabolik (Vincent,
1980). Resistensi kuman terhadap antibiotik didapat dari genetik atau non-genetik.
Resistensi antibiotika dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu
resistensi alami dan resistensi yang didapat. Resistensi alami merupakan sifat dari
sifat antibiotika tersebut yang kurang atau tidak efektif terhadapa kuman.
Resistensi yang didapat yaitu apabila kuman tersebut sebelumnya sensitif
terhadap suatu antibiotika yang kemudian menjadi resisten (Vincent, 1980).
Berdasarkan kejadiannya, resistensi dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu:
pertama resistensi alamiah, dimana mikroba sejak semula
terhadap
antibiotik. Kedua
resistensi
kromosom
mikroba
yang resisten secara spontan dan
sudah tidak peka
terjadi
karena
tergantung pada
seleksi
kecepatan
terjadinya resistensi yaitu mutasi satu tahap dimana resistensi terjadi relatif
cepat dan
tergantung
dosis
antibiotika, yang ketiga yaitu resistensi ekstra
kromosom, dimana terjadi pemindahan faktor resistensi (faktor R atau plasmid
resistensi) dari sel bakteri satu ke sel bakteri yang lainnya melalui konjugasi
yaitu diantara dua bakteri terbentuk pillus kelamin yang
merupakan
suatu
saluran protein yang digunakan untuk mengangkut faktor R kemudian
16
dibawa
ke
pembentukan
sel
bakteri
enzim
lain.
sehingga
Adanya
faktor
antibiotik
R
menjadi
akan
menyebabkan
inaktif,
merubah
permeabilitas sel bakteri terhadap antibiotik dan menurunkan kemampuan
ikatan antibiotik terhadap reseptornya (Grifith, 1970).
Selain sifat resistensi antibiotik dapat pula terjadi resistensi non-genik, yaitu
resistensi terjadi pada kuman dalam keadaan istirahat/inaktivasi metabolik. Bila
kuman aktif kembali, maka kuman akan bersifat resisten terhadap antibiotik
seperti semula. Resistensi juga dapat terjadi karena resistensi silang, yaitu saat
populasi kuman yang resisten terhadap suatu antibiotik dapat resisten pula pada
antibiotik lainya yang mempunyai struktur kimia dan mekanisme kerja yang
hampir sama (Vincent, 1980).
Terjadinya resistensi kuman terhadap antibiotika, karena kuman sering
terpapar oleh antibiotika yang nantinya akan menyebabkan kuman akan
mempunyai kemampuan untuk mencegah pengaruh antibiotika dengan jalan
membentuk selaput sel yang dapat menghambat masuknya antibiotika ke dalam
sel kuman (Jawetz et al., 1982). Hal ini sesuai dengan pernyataan Grifith (1970)
bahwa pemakaian antibiotik yang monoton dan tanpa prosedur yang benar
akan dapat menimbulkan peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotik
dan kebiasaan memberi antibiotik pada ternak menyebabkan ternak tumbuh
lebih cepat tetapi menyebabkan pula peningkatan organisme usus yang
resisten terhadap antibiotik.
Laporan Zanella et al. (2000) mengemukakan bahwa E. Coli resisten
terhadap Tetrasiklin, Linkomisin, Khlorampenikol, Nadilic-acid dan Kanamisin.
17
Penelitian Nugroho et al. (2005) menunjukan bahwa secara umum E coli resisten
terhadap Ampisilin, Streptomisin dan Enrofloksasin. Sedangkan pada penelitian
Krisnaningsih et al. (2005) menunjukan bahwa E coli resisten terhadap
Lincomycin, Danofloxacin, Ampicillin dan Amoxycillin. Dari hasil uji sensitivitas
obat terhadap isolat E. coli yang berasal dari lima wilayah peternakan ayam di
Jawa dan Bali oleh Poernomo et al. (1992), menunjukkan bahwa E. coli sensitif
terhadap Khloramfenikol dan Baytril, tetapi resisten terhadap Neomisin,
Eritromisin, Oksitetrasiklin, Deksisiklin dan Streptomisin.
Reistensi E. coli terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh kemampuan
bekteri menghasilkan enzim b-lactamase yang disandi oleh gen dalam plasmid
faktor R. mekanisme resistensi terhadap antibiotik yang berhubungan dengan
permeabilitas membran, termasuk terjadinya mutasi membrane terluar yang
umumnya disandi secara kromosomal sehingga lebih stabil dibandingkan dengan
sifat resistensi yang disandi oleh gen pada plasmid (Katzung, 1982) dikutip oleh
Krisnaningsih, et al. (2005)
Ketidakmampuan antibiotik tersebut melawan E. coli ini, karena obatobatan tersebut sering digunakan oleh peternak untuk pengobatan penyakit
bakterial pada ayam. Selain itu, jenis obat tersebut secara umum juga digunakan
sebagai obat anti stres dan imbuhan pakan (Tarmudji, 2003). Penggunaan
antibiotika dengan dosis yang kurang tepat dapat menimbulkan kegagalan
pengobatan yakni berupa resistensi kuman terhadap antibiotika. Adanya resistensi
terhadap antibakteri merupakan persoalan utama dalam menangani koliseptikemia
(Akoso, 1993).
18
2.4. Antibiotika
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat
dipergunakan untuk membunuh mikroorganisme jenis lain. Antibiotika ini
diperoleh secara alamiah. Keberhasilan suatu pengobatan terhadap penyakit yang
disebabkan oleh kuman sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam memilih obat
tersebut, disamping itu perlu dipertimbangkan penggunaan antibiotika yang
mempunyai efek atau sifat bakteriostatik dan bakteriosidal (Tono dan Hapsari,
1989).
Idealnya, zat – zat antibiotik harus mempunyai sifat–sifat sebagai berikut :
mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat mikrobia patogen
spesifik,
tidak
mengakibatkan
berkembangnya
bentuk
resisten,
tidak
menimbulkan efek samping seperti alergi, kerusakan syaraf, iritasi pada ginjal dan
saluran gastrointestinal, tidak melenyapkan flora normal pada hospesnya, dapat
diberikan secara oral ataupun suntikan, mempunyai taraf kelarutan yang tinggi
dalam cairan tubuh, konsentrasi antibiotik di dalam jaringan atau darah harus
dalam jumlah yang cukup. Antibiotik menghambat mikroba melalui mekanisme
yang berbeda-beda yaitu: mengganggu metabolisme sel mikroba, menghambat
sintesis dinding sel mikroba mengganggu permeabilitas membran sel mikroba
menghambat sintesis protein sel mikroba dan menghambat sintesis atau merusak
asam nukleat sel mikroba (Tono dan Hapsari, 1989).
2.4.1. Oksitetrasiklin
Oksitetrasiklin termasuk dalam golongan tetrasiklin, yang diperoleh dari
streptomyces rimosus. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik pada konsentrasi
19
rendah dan bakteriosidal pada konsentrasi tingggi, aktif terhadap Gram-positif
maupun Gram-negatif. Oksitetrasiklin berbentuk basa, berwarna kuning, berasa
pahit dan memeiliki kelarutan lebih besar dari tetrasiklin yaitu yaitu 1g/ml pada
suhu 28° dan mudah larut dalam etanol (Pratiwi, 2008).
Oksitetrasiklin memiliki spektrum luas, artinya antibiotik ini memiliki
kemampuan melawan sejumlah bakteri patogen. Kinerjanya dengan cara
menghambat sisntesis protein bakteri pada ribosomnya. Terdapat dua proses
dalam masuknya antibiotika ke dalam ribosom bakteri Gram negatif, yaitu
pertama disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua ialah sistem transport
aktif. Setelah masuk maka antibiotika akan berikatan dengan ribosom 30S dan
menghalangi masuknya tRNA-asam amino pada lokasi asam amino. Secara umum
oksitetrasiklin digunakan untuk mengobati infeksi saluran pencernaan, misalnya
yang disebabkan oleh kuman E. coli (Bucle dan Williams, 1978). Resistensi
bakteri terhadap tetrasiklin dapat muncul bila dihasilkan membran sitoplasma
yang berbeda (bentuk perubahan) dan mencegah pengikatan tetrasiklin pada
subunit 30S ribosom, sehingga sintesis protein dapat terus berlangsung (Pratiwi,
2008).
2.4.2. Ampisilin
Ampisilin adalah antibiotika golongan aminopenisilin berspektrum luas
yang bersifat bakteriosidal sekunder terhadap kuman Gram positif maupun Gram
negatif, tetapi aktifitasnya terhadap kokus Gram negatif lebih rendah dari
penisilin. Bakteri-bakteri yang rentan terhadap Ampisilin antara lain :
Streptococcus, Staphylococcus, Cornyabacterium, Fusiformis sp, E. coli,
20
Klebsiella, Shigella, Salmonella, Proteus, Brucella, dan pasteurella (Brander et
al., 1991).
Ampisilin digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri, yang disebabkan
oleh bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Mengobati infeksi saluran
pernafasan, saluran urin, infeksi pencernaan, septikemia, mastitis, dan metritis
(Abadi et al., 2013). Ampisilin dalam bentuk asam bebas berbentuk kristal putih
yang larut air. Puncak konsentrasi dalam serum diperoleh kurang dari 2 jam,
kemudian didistribusikan keseluruh tubuh dan terkonsentrasi dihati dan ginjal dan
diekskresikan melalui urin. Pemberian ampisilin secara oral kurang baik
dibandingkan dengan amoksisilin. Ampisilin dapat diinaktivasi oleh bakteri
penghasil penisilinase. Seperti golongan penicillin lainnya, ampicillin bekerja
dengan menghambat sintesis dinding sel yaitu dengan menyerang peptidoglikan
(Brander et al., 1991).
2.4.3. Sulfametoksazol
Sulfametoksazol adalah antibiotika golongan sulfonamide dengan masa
kerja sedang. Antibiotik ini bersifat bakteriostatik terhadap kuman Gram-positif
dan beberapa kuman Gram-negatif. Kebanyakan Sulfametoksazol diberikan
melalui oral karena absorbsinya cepat di lambung dan usus halus serta
didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh (Pratiwi, 2008).
Penggunaan antibiotik golongan sulfonamid kemudian terdesak oleh
antibiotik. Setelah penemuan kegunaan sediaan kombinasi trimetoprim dan
sulfametoksazol, penggunaan sulfonamide untuk pengobatan penyakit infeksi
tertentu meningkat kembali (Syarif et. al., 2007). Mekanisme kerjanya adalah
21
mengganggu
sintesis
asam
folat
lewat
hambatan
kompetitif
terhadap
dihidropteroatsintetase (antagonismus folat). Resistensi terhadap sulfonamid dan
trimetoprim disebabkan oleh mutasi pada gen pengkode enzim yang terlibat dalam
jalur metabolisme sintesis asam tetrahidrofolat. Enzim berubah berfungsi secara
normal namun tidak dihambat oleh sulfanamid dan trimetoprim (Pratiwi, 2008).
Download