RESENSI BUKU Judul : Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum

advertisement
RESENSI BUKU
Judul
:
Penulis
Penerbit
:
:
Tahun terbit :
Oleh
:
Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik,
dan Kritik
Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H.
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta
2005
Hilman Tisnawan, S.H.1
Keuangan negara merupakan urat
nadi dalam pembangunan suatu
negara dan amat menentukan
kelangsungan perekonomian baik
sekarang maupun yang akan
datang. Mengutip Rene Stours,
dijelaskan bahwa hakekat atau
falsafah APBN adalah:
The constitutional right which a
nation possesses to authorize
public revenue and expenditure
does not originates from the fact
that the members of the nation
contribute the payments. This
right is based in a loftier idea.
The idea of a sovereignty.
Jadi hakekat public revenue and
expenditure
APBN
adalah
kedaulatan.
Di
negara
demokrasi
seperti
Indonesia yang memiliki kedaulatan
adalah
rakyat,
implementasi
kedaulatan tersebut dapat terlihat
dalam peraturan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dimana rakyatlah yang
1
menentukan
hidupnya
sendiri,
karena itu juga cara hidupnya yang
tercermin dalam APBN.
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945
mencerminkan kedaulatan rakyat
tersebut, yang tergambar dari
adanya hak begrooting (hak budgetTerjemahan Redaksi) yang dimiliki
oleh DPR, dimana dinyatakan bahwa
dalam hal menetapkan pendapatan
dan belanja, kedudukan DPR lebih
kuat dari kedudukan pemerintah.
Hal ini tanda kedaulatan rakyat, dan
pemerintah baru dapat menjalankan
APBN setelah mendapat persetujuan
dari DPR dalam bentuk undangundang.
Sesuai judulnya, dalam buku ini,
istilah keuangan publik dimaksudkan
selain meliputi keuangan negara dan
keuangan daerah juga meliputi
keuangan badan hukum lain yang
modalnya/ kekayaannya berasal dari
kekayaan
negara/ daerah yang
dipisahkan. Namun sebenarnya buku
ini seperti diakui sendiri oleh
penulisnya, lebih merupakan opini,
Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
42
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
argumentasi,
dan evaluasi
arti
keuangan negara yang tercantum
dalam Pasal 23 UUD 1945. Menurut
penulis buku ini, rumusan atau
definisi yang digunakan oleh
peraturan perundang-undangan saat
ini belum sesuai dengan konsepsi
hukum serta lingkungan kuasa
hukum
yang
berlaku
pada
umumnya,
khususnya setelah
dilakukannya amandemen ketiga
terhadap UUD 1945 yang mengatur
bidang keuangan negara
dan
hadirnya tiga paket undang-undang
yang mengatur keuangan yakni UU
No.17
tahun
2003
tentang
Keuangan Negara, UU No.1 Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan
Negara dan UU No. 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggungjawab Keuangan
Negara (lihat Carut Marut UU No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, hal 71).
Buku ini tampaknya sengaja dibuat
hanya dalam
dua Bab, Bab I
memuat arti Keuangan Negara pra
amandemen UUD 1945, sedangkan
Bab II memuat arti keuangan negara
pasca amandemen UUD 1945.
Dengan membagi buku ini ke dalam
dua bab, maka pembaca diajak
untuk
membandingkan
arti
keuangan negara secara normatif
pada satu sisi dan melihat
prakteknya pada sisi lainnya.
Dalam Bab pertama diuraikan
mengenai arti keuangan negara
berdasarkan Pasal 23 UUD 1945
yang didukung dengan beberapa
tafsiran dari ahli hukum antara lain
Prof. M. Yamin, Allons, dan Prof. Dr.
D. Simons. Menurut tafsiran Prof. M.
Yamin seperti yang dikutip oleh
penulis buku ini, Keuangan Negara
menurut Pasal 23 ayat (4) meliputi
segala hal yang berhubungan
dengan keadaan dan ketentuanketentuan mengenai garis-garis
besar kebijaksanaan moneter dan
mengenai kedudukan serta tugastugas bank ditetapkan dengan
undang-undang. Comptabiliteitswet
(Wet 23 April 1864) dan peraturanperaturan devisa (devisen-ordonantie
1940: K.B.21 Juli 1943 dengan
perubahan.
Dari beberapa pendapat ahli hukum
tersebut, menurut penulis buku ini,
definisi keuangan negara bersifat
plastis, tergantung kepada sudut
pandang, sehingga apabila berbicara
keuangan
negara
dari
sudut
pemerintah,
yang
dimaksud
keuangan negara adalah APBN,
sedang apabila bicara keuangan dari
sudut pemerintah daerah, yang
dimaksud keuangan negara adalah
APBD, demikian seterusnya dengan
Perjan, PN-PN maupun Perum.
Dengan perkataan lain definisi
keuangan negara dalam arti luas
meliputi APBN, APBD, Keuangan
Negara pada Perjan, Perum, PN-PN
dan sebagainya, sedangkan definisi
keuangan negara dalam arti sempit,
hanya meliputi setiap badan hukum
yang berwenang mengelola dan
mempertanggungjawabkannya (lihat
hal 69). Menurut penulis buku ini,
dengan menyitir pendapat Otto
Eickstein (1979); Musgrave, Richard
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
43
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
A (1959); Roges Douglas & Melinda
Jones (1996), apabila berbicara
mengenai keuangan yang meliputi
APBN, APBD dan BUMN serta
BUMD, tidaklah tepat apabila
menggunakan istilah keuangan
negara, yang lebih tepat adalah
menggunakan istilah Keuangan
Publik. Untuk menambah nilai dari
Bab pertama buku ini, penulis
dalam awal pembahasannya juga
memuat beberapa artikel yang
ditulis oleh kalangan akademisi dan
birokrat mengenai keuangan negara
yang
merupakan
kilas
balik
pengertian
keuangan
negara
sebelum
maupun
setelah
amandemen UUD 1945.
Amandemen keempat UUD 1945,
yang melahirkan UU No 17 Tahun
2003 sebagai UU organik dari Pasal
23 C Bab VIII UUD 1945, dianggap
sebagai pangkal permasalahan yang
mengakibatkan menjadi biasnya arti
keuangan negara. Penulis buku ini
menilai bahwa landasan filosofi
keempat amandemen UUD 1945
tersebut sangat tidak memadai,
apalagi rumusan substansi ilmiahnya
jauh dari yang semestinya. Hal
tersebut mengakibatkan subtansi
yang diatur dalam UU No. 17 Tahun
2003 menjadi “melenceng” karena
yang diatur bukan mengenai hal-hal
lain keuangan negara, melainkan
hal-hal lain yang berada di luar
domain hukum keuangan negara.
Patut disimak adalah pendapat
penulis buku ini yang menyatakan
bahwa Pasal 2 UU No. 17 Tahun
2003 yang merumuskan secara
lengkap
keuangan
negara
cenderung menimbulkan kerugian
keuangan
negara
dan
membangkrutkan negara. Hal ini
khususnya ditujukan pada Pasal 2
huruf i, yang menyatakan bahwa
salah satu arti keuangan negara
adalah kekayaan pihak lain yang
diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah.
Dengan rumusan tersebut berarti
negara akan turut bertanggung
jawab terhadap kekayaan pihak
swasta yang memperoleh fasilitas
pemerintah.
Seluruh kritik dan kegalauan penulis
tersebut di atas dituangkan dalam
bab II buku ini, yang diakui oleh
penulisnya sebagai pendapat yang
tidak dilandasi kepentingan politik
maupun kekuasaan tertentu dan
semata-mata
didasarkan
pemahamannya sebagai birokrat
maupun akademisi.
Status keuangan yang ada pada
Perseroan Terbatas (PT) yang
sebagian sahamnya dimiliki oleh
negara, Perguruan Tinggi sebagai
Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
serta mengenai transformasi hukum
keuangan negara menjadi hukum
keuangan daerah juga merupakan
hal yang dikaji dalam buku ini.
Pada bagian akhir buku ini
dilampirkan artikel penulis mengenai
Konservatisme
Pemeriksaan
Keuangan Negara. Lampiran artikel
ini menarik untuk didiskusikan
mengingat menurut penulis buku
ini, dengan adanya perubahan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
44
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
fungsi pemeriksaan BPK melalui
Pasal 23 E ayat 1 UUD 1945, yang
semula
hanya ditujukan pada
tanggung jawab keuangan negara,
dan
kemudian
meliputi
pengelolaan
keuangan
negara,
dinilai merupakan disorientasi fungsi
BPK yang justru melemahkan
kedudukannya sebagai lembaga
negara. Disorientasi fungsi BPK
tersebut hanya akan mendorong
ketidakberdayaan
BPK
dalam
menjangkau segi strategis tanggung
jawab keuangan negara karena
berkutat menjelajah segi teknis
pengelolaan
keuangan
negara.
Seharusnya sebagai lembaga negara
yang memeriksa tanggung jawab
keuangan negara, BPK merupakan
lembaga yang langsung mengawasi
dan memeriksa kebijakan keuangan
negara (fiscal policy audit) yang
dilakukan
pemerintah,
yang
menempatkan BPK sebagai lembaga
negara yang sejajar dengan lembaga
negara
lainnya,
termasuk
pemerintah. Apabila dilihat dari
konsep hukum administrasi negara
(HAN), disorientasi fungsi tersebut
telah mengubah bentuk BPK dari
organisasi negara menjadi organisasi
administrasi
negara.
Dengan
demikian kedudukannya melemah
sebagai
bagian
dari
unsur
pemerintah dan bukan merupakan
lembaga yang mandiri.
Buku ini layak menjadi bahan kajian,
khususnya mereka yang tertarik di
bidang keuangan publik, atau bagi
mereka yang saat ini berada dalam
lingkup legislatif dan institusi
keuangan publik. Hal penting yang
tidak dimuat dalam buku ini adalah
latar belakang dan suasana (milieu)
pada saat dilakukannya amandemen
UUD 1945 dan penerbitan Paket
Undang-undang Keuangan Negara.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
45
Volume 3 Nomor 3, Desember 2005
Download