DAFTAR ISI

advertisement
1
PEMBIMBING KE DALAM DOKUMEN KEESAAN GEREJA
PENDAHULUAN
1. Sejak Sidang Raya (SR) X DGI/PGI di Ambon 1984 menyepakati
Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG), sangat dirasakan
pentingnya dokumen ini dimiliki, dibaca, dipahami dan
dilaksanakan oleh seluruh warga gereja, terutama oleh para
pejabat di gereja, mulai dari tingkat Majelis Jemaat sampai ke
tingkat Majelis Sinode. SR XI PGI tahun 1989 di Surabaya
menguatkan keputusan itu dengan Keputusan nomor 05/SRXI/1989, dan menyetujui penyusunan Buku Penjelasan LDKG
dalam upaya menjemaatkannya, yang dilaksanakan oleh Gerejagereja dalam kerjasama dengan PGI, PGI Wilayah, Lembaga
Pendidikan Teologi dan lembaga-lembaga pembinaan lainnya.
2. Khusus mengenai Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima
(PSMSM) (Keputusan SR XI PGI No. 09/SR-XI/1989 Sidang Raya
memberikan catatan dan pokok-pokok pikiran, antara lain
sebagai berikut:
”3.4. LDKG perlu dimasukkan sebagai materi pembinaan warga
jemaat oleh gereja-gereja anggota PGI.
3.5. LDKG perlu dimasukkan menjadi salah satu mata-kuliah
pendidikan teologi bagi lembaga-lembaga pendidikan teologi
di Indonesia.”
3. Mengingat pengalaman gereja-gereja antara Ambon-Surabaya
yang tidak sedikit merasakan kesulitan untuk mengerti LDKG
tanpa pembimbing atau petunjuk, maka MPL-PGI 1990 yang
menerima mandat SR XI Surabaya untuk menyusun Buku
Penjelasan LDKG, menyepakati rencana penerbitan buku serial
penjelasan LDKG dalam rangka pengantar LDKG. Dalam hubungan
ini MPL-PGI 1990 menetapkan Seri I dari Buku Penjelasan LDKG
dengan judul ”Pembimbing Ke Dalam LDKG”. Buku pembimbing
ini diharapkan dapat memandu para pembaca LDKG untuk
memahami sejarah lahirnya LDKG, intisarinya, hubungan antarLDKG dan sistematika masing-masing dokumen.
2
SEJARAH KELAHIRAN
”LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA”
1. Secara resmi, LDKG lahir sebagai keputusan Sidang Raya X DGI di
Ambon tahun 1984. Dalam perkembangan kemudian LDKG rumusan Ambon itu mengalami beberapa perubahan dalam upaya
penyempurnaan dalam Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun
1989. Dalam SR XII PGI di Jayapura tahun 1994, LDKG yang
disempurnakan di Surabaya lebih disempurnakan lagi.
Namun, kita menyadari bahwa sebelum LDKG ini
memperoleh bentuknya seperti sekarang ini, telah terjadi proses
yang cukup panjang.
2. Ketika DGI dibentuk tahun 1950, dengan tujuan ”Pembentukan
Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia” belum ada bayangan atau
gambaran mengenai Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Baru
kemudian diperkembangkanlah pemahaman dan gambaran
mengenai apa yang dimaksud dengan Gereja Kristen Yang Esa
tersebut.
Dalam proses pengembangan pemahaman dan gambaran
tersebut dari satu Sidang Raya ke Sidang Raya berikutnya,
semakin dirasakan adanya semacam ketegangan antara 2 (dua)
kecenderungan:
a. Kecenderungan untuk mengutamakan ”keesaan rohani
dalam Kristus”, dan karena itu enggan membahas hal-hal
yang menjurus pada penyatuan secara strukturalorganisatoris.
b. Kecenderungan untuk mengutamakan keesaan struktural
organisasi, dan karena itu kurang sabar terhadap segala
perbedaan dan sikap mempertahankan identitas diri masingmasing.
3. Dalam upaya menampung kedua kecenderungan tadi dan
bersamaan pula dengan iklim yang sedang mempengaruhi
3
Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) dengan pola pendekatannya melalui 3 (tiga) komisi, yaitu:
- Komisi Faith and Order (Iman dan Tata Gereja)
- Komisi Life and Work (Hidup dan Karya Gereja)
- Komisi Mission and Evangelism (Misi dan Pekabaran Injil),
maka DGI pun menata diri dengan pola tersebut. Dimulailah studi
dan penyelidikan bersama mengenai Pengakuan Iman, Tata
Gereja, Katekisasi, Liturgi yang digunakan oleh Gereja-gereja
Anggota (Lih. Keputusan Sidang Raya II DGI 1953).
Studi dan penyelidikan bersama ini memuncak dalam Sidang
Raya VI di Ujung Pandang (sekarang Makassar) tahun 1967,
dengan munculnya konsep:
(1) Tata Sinode Oikoumene Gereja di Indonesia (SINOGI)
(2) Pemahaman Iman Bersama.
4. Namun Gereja-gereja Anggota PGI tampaknya belum siap untuk
menerima gagasan SINOGI dan Pemahaman Iman Bersama tersebut. Sidang Raya VII DGI di Pematang Siantar tahun 1971 kemudian berhasil menampung sebagian dari konsep SINOGI dengan
memperbarui struktur DGI. Perubahan pokok yang terjadi ialah
bahwa Badan Pekerja Lengkap (BPL) DGI bukan lagi hanya
sejumlah kecil orang-orang yang dipilih oleh SR untuk bertindak
atas nama semua gereja, tetapi keanggotaan BPL itu terdiri dari
unsur pimpinan tiap Gereja Anggota yang ditunjuk oleh
gerejanya dan disahkan oleh SR.
Dengan demikian, kesepakatan yang diambil sepenuhnya
mendapat dukungan oleh dan berakar di dalam gereja.
5. Sejak itu tidak sedikit yang telah kita capai dalam upaya
mewujudkan keesaan gereja itu secara nyata. Namun, sementara
itu banyak pula yang merasa bahwa apa yang telah dicapai itu
terlalu sedikit dan bahwa kita bergerak terlalu lamban. Perlu
diambil langkah yang lebih berani untuk segera memproklamasikan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Di pihak lain terdapat
pandangan yang merasa bahwa apa yang telah tercapai itu justru
4
sudah cukup maju. Kita jangan terlalu tergesa-gesa mengambil
keputusan yang drastis.
Kedua pola pandang ini jelas sekali tampak dalam Sidang
Raya IX di Tomohon tahun 1980. Ada pihak yang mendesak
supaya segera diproklamasikan Gereja Kristen Yang Esa itu
dengan nama ”Gereja Kristen di Indonesia”. Sedangkan kelompok
lain mengatakan bahwa apa yang dicapai selama 30 tahun ini
sudah cukup banyak. Hal yang sudah dicapai itu kita pelihara dan
kembangkan, sambil meningkatkan usaha-usaha pembaruan dan
mengatasi tembok-tembok pemisah yang masih ada.
6. Sidang Raya IX di Tomohon, 1980 itu akhirnya memutuskan:
”1. Supaya masa 4 (empat) tahun mendatang ini sungguhsungguh dimanfaatkan DGI dan Gereja-gereja Anggota untuk
secara bersama-sama menyusun dan melaksanakan
program-program yang konkrit secara bertahap, di tingkat
setempat, sewilayah dan nasional, guna mempersiapkan
pembentukan satu Gereja Kristen Yang Esa di dalam Sidang
Raya X DGI.”
Kurun waktu 4 (empat) tahun antara Tomohon dan Ambon
harus digunakan untuk mencari jalan keluar yang kreatif, agar
dalam Sidang Raya X itu tidak terjadi jalan buntu, tapi dapatlah
dicapai sesuatu yang lebih maju dan dapat diterima semua pihak.
Semua menyadari bahwa keesaan gereja itu bukan hanya
sekadar keesaan rohani saja, tetapi sekaligus juga tampak dalam
wujud yang kelihatan (kelembagaan), sehingga keesaan rohani
itu menjadi kesaksian kepada dunia. Juga disadari bahwa keesaan
bukanlah keseragaman (uniformitas) dan bukan pula keterpisahan, melainkan keragaman dalam kebersamaan.
7. Segera setelah Sidang Raya IX Tomohon, Badan Pekerja Harian
(BPH) DGI menyampaikan gagasan mengenai pembaruan
struktur, nama dan sarana DGI. Dalam gagasan tersebut
dikemukakan 2 (dua) langkah penting:
5
”a. Bertolak dari peristiwa pembentukan DGI selaku badan
persekutuan oikoumene gereja-gereja di Indonesia, kita
mulai dengan kegiatan-kegiatan yang dapat kita laksanakan
untuk mengungkapkan keesaan gereja yang baru secara lebih
nyata.
b. Sesudah itu, setiap kali sesudah jangka waktu tertentu, kita
mempersiapkan langkah-langkah baru, dan dalam rangka
mempersiapkan langkah-langkah baru itu kita melembagakan kemajuan-kemajuan yang kita capai di tahun-tahun yang
akan datang.”
Titik tolak inilah yang kemudian melahirkan konsep LDKG.
Kita mencatat di mana kita berada selama 30 tahun lebih. Hal-hal
apa yang dapat kita kerjakan bersama.
Hal-hal yang telah kita terima dan laksanakan, kita
lembagakan untuk kemudian dikembangkan lebih maju lagi.
8. Dengan mempelajari keputusan-keputusan sidang raya-sidang
raya sebelumnya, dan dengan memperhatikan perkembangan
pemikiran-pemikiran baru yang dilahirkan dari Gerakan
Oikoumene sedunia (DGD), maka dibuatlah suatu daftar
mengenai pemahaman Keesaan Gereja.
Daftar tersebut menyebut bahwa Gereja yang Esa itu:
(1) harus mempunyai satu Pengakuan Iman;
(2) harus mempunyai satu Tata Gereja Dasar;
(3) harus dapat beribadah bersama dan merayakan Perjamuan
Kudus bersama;
(4) mempunyai wadah di setiap tingkat untuk bermusyawarah
dan menentukan hal-hal yang menyangkut pelaksanaan
tugas panggilan bersama;
(5) diwarnai oleh tindakan saling mengakui dan saling menerima
di antara bagian-bagian yang berbeda-beda itu, atas dasar
pemahaman bahwa bagian-bagian itu adalah sama-sama
manifestasi penuh dari gereja yang satu, yaitu tubuh Kristus;
(6) terpanggil untuk memberitakan Injil yang satu di wilayah
yang satu pula;
6
(7) diwarnai oleh tindakan saling membantu dan saling
menopang di antara bagian-bagiannya dalam kekurangan
dan kelebihan masing-masing, untuk dapat mewujukan
keseimbangan.
Dalam perkembangan selanjutnya, akhirnya daftar tersebut
dipadatkan menjadi 5 (lima) butir, karena butir 2 dan butir 4
adalah senyawa, yang menyangkut masalah wadah. Sedangkan
butir 3 dapat disatukan dengan butir 5, dalam pemahaman
bahwa ibadah bersama dan perayaan Perjamuan Kudus bersama
baru sungguh-sungguh terjadi karena ada tindakan saling
mengakui dan saling menerima.
Lalu lahirlah Lima Ciri Pokok Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
(1) Satu Pengakuan Iman.
(2) Satu wadah bersama.
(3) Satu tugas Panggilan dalam satu wilayah bersama.
(4) Saling mengakui dan saling menerima.
(5) Saling menopang.
9. Pada Sidang BPL-DGI tahun 1981 lahirlah konsep tentang
”SIMBOL-SIMBOL KEESAAN”, yang meliputi 4 (empat) dokumen:
(1) PIAGAM PRASETYA KEESAAN
(2) PEMAHAMAN IMAN BERSAMA
(3) PIAGAM SALING MENGAKUI DAN SALING MENERIMA
(4) TATA GEREJA DASAR
Penyusunan rancangan-rancangan naskah dan pembahasannya berlangsung secara intensif antara tahun 1981-1983. Sidang
BPL 1983 di Rantepao – Tana Toraja, digunakan sepenuhnya
untuk membahas dan mematangkan rancangan-rancangan
naskah tersebut. Disusul kemudian di tahun 1984 selama 7 bulan
dengan 6 Pertemuan Wilayah untuk membahas Rancangan
Naskah hasil Rantepao, disamping pembahasan yang diselenggarakan oleh Gereja-gereja, DGW, Lembaga-lembaga Pembinaan
dan Sekolah-sekolah Teologi.
7
10. Dalam proses pembahasan itulah terjadi perubahan-perubahan,
bukan hanya menyangkut isi rancangan naskah, tetapi juga
menyangkut jumlah dokumen dan pokok-pokok dari tiap
dokumen. Piagam Prasetya Keesaan yang semula merupakan
dokumen tersendiri kemudian ditiadakan dan ditampung dalam
dokumen baru, karena dipandang sebagai Mukadimah bagi PBIK
dan Tata Dasar.
Konsep awal mengenai Simbol-simbol Keesaan mengalami
perluasan, pembaruan dan peningkatan, sehingga akhirnya
lahirlah LIMA DOKUMEN KEESAAN GEREJA (LDKG) yang terdiri
dari:
I. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB)
II. Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK)
III. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM)
IV. Tata Dasar PGI (TD-PGI)
V. Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana (MKTDD).
Dari proses sejarah lahirnya LDKG ini, jelas bahwa keprihatinan gereja-gereja pada mulanya tertuju pada PBIK, PSMSM dan
Tata Dasar. Dokumen I dan V, yaitu yang awal dan yang akhir,
adalah hasil suatu proses yang baru kemudian dikembangkan,
yang tentunya berdasarkan mandat Sidang Raya IX DGI
Tomohon. PTPB sebenarnya sudah ada dalam kandungan, ketika
Sidang Raya IX DGI Tomohon menetapkan ”Garis-garis Besar
Haluan dan Kebijaksanaan di Bidang Membarui, Membangun
dan Mempersatukan Gereja”. Demikian pula halnya dengan
Kemandirian Teologi, Daya dan Dana sudah digarisbawahi oleh
Sidang Raya IX DGI, Tomohon.
11. Cukup penting untuk kita pahami ialah urutan dokumen dalam
LDKG ini, yang pada dasarnya mencerminkan pendekatan baru
terhadap proses keesaan gereja di Indonesia. Pengalaman sejak
tahun 1950 sampai tahun 1980 (selama 30 tahun) membuktikan
bahwa pendekatan struktural kurang banyak membawa
kemajuan. Pendekatan kreatif justru dimulai dengan hal-hal
8
konkrit, urgen dan aktual. Tanpa mempersoalkan terlebih dahulu
masalah struktur organisasi, semua sepakat bahwa gereja diutus
dan ditempatkan oleh Tuhan untuk melaksanakan panggilan
yang sama di tengah-tengah masyarakat yang sama, yaitu di
tengah-tengah proses sejarah Bangsa dan Negara yang sedang
membangun. Dalam situasi tersebut gereja terpanggil untuk
menerjemahkan syalom sebagai kelimpahan anugerah Allah,
dengan terus-menerus menyatakan tanda-tanda syalom itu,
sehingga dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi
pembangunan. Tantangan-tantangan yang nyata, urgen dan
aktual ini lebih memudahkan gereja-gereja menyepakati pokokpokok tugas panggilannya. Itulah sebabnya mengapa PTPB
merupakan dokumen awal dalam LDKG.
12. Untuk mampu melaksanakan secara bersama-sama tugas
panggilan bersama itu, dibutuhkan suatu pemahaman bersama
mengenai pokok-pokok dasar iman kristiani. Tanpa adanya
pemahaman bersama akan sulit melaksanakan tugas panggilan
gereja secara bersama-sama. Visi yang jelas mengenai misi
bersama seperti tertuang dalam PTPB memerlukan landasan
yang sama. Berdasarkan pemahaman ini, maka gereja-gereja
lebih terbuka dan lebih berani menyepakati pemahaman
bersama iman Kristen dalam konteks nyata Indonesia. Dengan
demikian, maka PBIK disepakati selaku Dokumen ke-2 dalam
LDKG. Selaku dokumen ia belum merupakan Pengakuan Iman,
tetapi adalah langkah awal menuju suatu Pengakuan Iman
Bersama.
13. Tindakan berikut adalah menata sisi praktis kehidupan
persekutuan antar-gereja. Dari pengalaman perjalanan
bersama 30 tahun, maka hal-hal yang secara praktis sudah
dilaksanakan bersama, demikian pula kemajuan-kemajuan yang
telah dicapai selama ini, perlu dilembagakan.
Dari pengalaman tersebut menjadi jelas bahwa secara praktis
seluruh aspek kegiatan gereja telah tercakup, walaupun tidak
9
semuanya berjalan dengan mulus dan lancar. Misalnya
pengakuan dan penerimaan jabatan gerejawi, perpindahan
keanggotaan gereja, perayaan Perjamuan Kudus bersama, dan
lain sebagainya.
Dengan melembagakannya dalam satu Piagam Saling
Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM), maka langkahlangkah lebih maju untuk masa mendatang lebih terbuka
dalam proses meningkatkan hubungan kreatif antar-Gereja
Anggota menampakkan keesaan secara lebih nyata. Dokumen
ke-3 ini sangat penting dan memiliki nilai historis yang sangat
berarti, mengingat latar belakang warisan teologis yang
beraneka ragam, namun mampu saling mengakui dan saling
menerima dalam penyelenggaraan kehidupan persekutuan,
kesaksian dan pelayanan gereja.
14. Dengan disepakatinya ketiga dokumen tersebut, semakin
disadari pula betapa pentingnya wadah kebersamaan yang ada
itu dilanjutkan, ditingkatkan dan diperbarui.
Kesadaran akan kebutuhan untuk melanjutkan, meningkatkan dan membarui wadah kebersamaan ini lebih memudahkan
dan memperlancar percakapan dan pengertian yang menyangkut
sisi struktur organisasi. Dalam kerangka inilah kita memahami
posisi Tata Dasar PGI sebagai Dokumen ke-4. Dalam segala
kesederhanaannya, dokumen ini mencerminkan bahwa gerejagereja di Indonesia telah memasuki tahap keesaan yang lebih
maju.
15. Untuk menopang proses kebersamaan dan keesaan gereja di
Indonesia, disadari mutlaknya gereja-gereja di Indonesia itu
mandiri di bidang teologi, daya dan dana. Terutama mengingat
bahwa gereja-gereja berada di tengah-tengah dan adalah bagian
integral dari bangsa Indonesia yang tengah mempersiapkan diri
menuju tinggal landas, yang berarti menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta
melaksanakan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan
10
Pancasila atas kemampuan sendiri. Dalam konteks itu
kemandirian gereja menjadi semakin mutlak. Dari kesadaran ini
lahirlah Dokumen ke-5; ”Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan
Dana”.
16. Dari catatan sejarah kelahiran LDKG ini dapatlah dipahami logika
dari urutan atau sistematika LDKG. Ia tidak dimulai dengan segi
struktur, karena bahaya salah paham akan suatu ”super struktur”
dapat menjadi penghambat. Ia juga tidak diawali dengan
pemahaman iman, karena keragaman latar belakang tradisi
teologis yang banyak dapat memperlambat jalannya arak-arakan
keesaan.
LDKG bertolak dari pemahaman tentang ”apa tugas
panggilan kita bersama”. Dari titik tolak ini langkah berikutnya
terbukti lebih ringan.
17. Sidang Raya DGI/PGI X Ambon tahun 1984 telah menyepakati
dan menerima Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG).
Keputusan Sidang Raya X tersebut adalah hasil pergumulan yang
lama dan luas, yang mencerminkan pandangan historis-teologis
gereja-gereja kita di Indonesia. Ia adalah upaya gereja untuk
memahami bersama apa yang tengah berkembang dalam
masyarakat bangsa serta rekaan-rekaan tentang apa dan
bagaimana perkembangan masyarakat itu selanjutnya dalam
kurun waktu 5-10 tahun mendatang. Ia merupakan jawaban
gereja atas persoalan-persoalan yang dihadapi dan yang akan
dihadapi, karena gereja sadar bahwa gereja ikut memikul
tanggungjawab agar cita-cita dan harapan Bangsa dan Negara
dalam Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila itu
dapat tercapai.
Oleh karena itu, LDKG ini dengan segala kekurangan dan
keterbatasannya merupakan dokumen yang bersejarah dan
sangat penting bagi perjalanan bersama gereja-gereja di
Indonesia.
11
18. Melalui pengalaman-pengalaman nyata dalam kehidupan
persekutuan, kesaksian dan pelayanan, sesudah jangka waktu
tertentu, kita tiap-tiap kali terpanggil untuk memahami kembali
masalah-masalah dan tantangan-tantangan baru. Dengan
memperhatikan dan berupaya memahami tantangan baru itu,
kita setiap kali menanyakan kembali apa petunjuk serta
kehendak Tuhan, melalui Firman dan atas bimbingan Roh Kudus.
Dan berdasarkan petunjuk itu kita menetapkan langkah-langkah
lebih lanjut untuk menerus-kan perjalanan bersama gerejagereja Tuhan melaksanakan tugas panggilan yang sama.
19. Penelusuran sejarah kelahiran LDKG ini sangat berguna untuk
memahami dan menilai kekuatan serta sekaligus kelemahan
LDKG seperti yang ditetapkan oleh Sidang Raya X DGI di Ambon
1984. Setelah 5 tahun pengalaman dalam kehidupan PGI dengan
berpedoman pada LDKG 1984, gereja-gereja makin menyadari
bahwa ada hal-hal yang perlu diperbaiki, dikoreksi dan
diperbarui. Hal yang sangat mencolok dirasakan adalah bahwa
keutuhan LDKG sebagai dokumen yang bulat, lengkap dalam
keterkaitan yang tak terpisahkan, kurang tercermin. Artinya,
kelima dokumen tersebut tidak sepenuhnya berada pada
gelombang yang sama. Maksudnya adalah bahwa keakraban visi
teologis dan pendekatan misiologis kurang merata dalam semua
dokumen. Oleh sebab itu Majelis Pekerja Lengkap (MPL) PGI
memutuskan untuk menyampaikan Rancangan Usul Perubahan
LDKG kepada Sidang Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989. Sidang
Raya XI PGI di Surabaya tahun 1989 kemudian memutuskan
untuk menetapkan perubahan-perubahan LDKG sehingga
memperoleh bentuknya seperti sekarang ini (lih. LDKG hasil
keputusan Sidang Raya XI PGI Surabaya, 1989).
20. LDKG yang ditetapkan oleh Sidang Raya X PGI Ambon yang
kemudian telah diperbarui oleh Sidang Raya XI PGI Surabaya,
mempunyai makna yang sangat penting dalam sejarah gereja di
12
Indonesia dan juga dalam sejarah oikoumene di seluruh dunia.
Beberapa hal patut kita catat:
(1) LDKG merupakan dokumen keesaan gereja-gereja kita yang
bersifat utuh dan menyeluruh (komprehensif), karena di
dalamnya terkandung seluruh kekayaan pengalaman kita
beroikoumene di Indonesia sejak DGI berdiri di tahun 1950.
Selama ini dokumen-dokumen keesaan yang dihasilkan
masih bersifat fragmentaris. Sekaligus, baik sebagai masingmasing bagian maupun sebagai suatu kesatuan yang utuh,
LDKG telah dapat berfungsi sebagai dasar tumpuan yang
strategis dan konseptual; yang dapat menjawab segala
tantangan pokok yang aktual, yang biasanya jadi kerikilkerikil dan faktor penghambat bagi proses keesaan selama
ini. Sehingga dengan penuh kearifan (dan bukan dengan
pressure atau paksaan) kita bersama dapat memasuki sejarah
keesaan dalam wadah baru PGI.
(2) Upaya meningkatkan keesaan gereja dalam LDKG tidak
terjebak dalam pendekatan organisatoris/kelembagaan, suatu
hal yang selama ini lebih banyak menimbulkan berbagai
masalah dan kendala dalam upaya mencapai ”tujuan DGI”.
Tetapi gereja-gereja kita di Indonesia mengikuti pendekatan
dari segi misi bersama, sebagaimana dinampakkan dalam
bobot yang kuat dari PTPB ataupun dengan menempatkan
posisi PTPB dalam kedudukan awal dan pengarah bagi
dokumen-dokumen lainnya.
(3) Kekuatan LDKG ialah bahwa ia merupakan Dokumen
Keesaan dengan nilai teologis-eklesiologis, historis dan
missiologis.
a. Secara keseluruhan LDKG mencerminkan suatu
pergumulan teologis dan eklesiologis (terutama PTPB,
PBIK dan Tata Dasar) dalam upaya keesaan: membarui,
membangun dan mempersatukan gereja-gereja kita. Hal
ini terjadi karena kesadaran untuk meniti jalan keesaan
di bawah tuntunan Firman Allah, selalu dikaitkan erat
dengan konteks nyata gereja-gereja kita di Indonesia.
13
b. LDKG (terutama dimotori oleh PTPB dan upaya
kemandirian di bidang teologi, daya dan dana) dengan
sadar berusaha menguak tabir masa depan gerejagereja kita di Indonesia dan bagaimana seharusnya
kita berpartisipasi dalam Pembangunan Nasional
Sebagai Pengamalan Pancasila menuju akhir abad ke20 dan menjelang awal abad ke-21.
Perspektif historis jelas sekali mendapat tekanan yang
kuat. Dengan demikian, LDKG secara keseluruhan menjadi
modal dan tekad bersama gereja-gereja dalam memasuki masa
depan bersama. Walaupun dokumen pertama (PTPB) memiliki
sifat periodik, yaitu antara 2 Sidang Raya, namun sekaligus di
sini dicerminkan secara jelas visi bersama yang menggapai
masa depan yang jauh disertai pandangan misiologis yang
konseptual.
21. Perbaikan Sistematika LDKG
1) Untuk memahami tiap-tiap dokumen, maka dalam LDKG
1984 terdapat ”kata pengantar” pada setiap dokumen,
kecuali dokumen Kemandirian yang langsung dimulai
dengan Titik Tolak Pemikiran.
Jelasnya:
- dalam PTPB digunakan istilah: Pengantar
- dalam PBIK
: Pendahuluan
- dalam PSMSM
: Pendahuluan
- dalam Tata Dasar
: Pembukaan
Pengantar dalam PTPB merupakan rumusan yang
terpanjang, karena dimaksudkan sekaligus merupakan
pengantar untuk dokumen-dokumen lainnya. Dengan
demikian bagaimanapun juga tak dapat dihindari semacam
tumpang-tindih dalam semua Pengantar tersebut. Juga
agak sukar dipahami mengapa Kata Pengantar umum yang
juga menjelaskan dokumen-dokumen lainnya ditempatkan
dalam PTPB.
14
2) Kelemahan tersebut kemudian diperbaiki oleh Sidang
Raya XI PGI di Surabaya, dengan:
a. Membuat suatu Pengantar Umum untuk keseluruhan
LDKG secara utuh dan menempatkannya secara
terpisah dari semua dokumen. Istilah yang dipakai
adalah PRASETYA KEESAAN, yang mengingatkan kita
kepada usul BPL-DGI tahun 1981.
b. Selanjutnya, di awal setiap dokumen dibuat satu pasal
yang menggantikan ”pengantar/pendahuluan” dengan
judul DASAR PEMIKIRAN. Ini tidak berlaku bagi Tata
Dasar yang tetap memakai istilah Pembukaan.
Dengan adanya perbaikan ini, maka keterikatan serta
saling keterkaitan dalam hubungan yang hidup antar-kelima
dokumen sebagai satu kesatuan naskah yang utuh, lebih
terlihat.
22. Dalam SR XII PGI di Jayapura tahun 1994, naskah LDKG
disempurnakan seperlunya. Hampir tidak ada perubahan
signifikan, kecuali bahan naskah PTPB diaktualisasikan
dengan memperhatikan tema dan subtema SR tersebut.
23. SR XIII PGI Palangka Raya tahun 2000 menerima Dokumen
Keesaan Gereja (DKG) yang diperbarui, yang di dalamnya
ditegaskan bahwa GKYE sudah harus diwujudnyatakan
selambat-lambatnya pada SR XIV PGI (2004-2005). Untuk
mencapai itu gereja-gereja sudah mesti berada dalam kondisi
siap dengan melaksanakan 4 agenda: Dasawarsa Mengatasi
Kekerasan, Masyarakat Sipil, Derajat Konektivitas, dan
Akuntabilitas Gereja. DKG ini berbeda dengan LDKG yang lalu
dengan menempatkan Pemahaman Bersama Iman Kristen
(PBIK) pada urutan pertama, didahului dengan suatu
penjelasan mengenai Pemikiran Dasar. Demikian juga tidak
lagi dipakai istilah ”Lima” dengan pemahaman bahwa
15
keseluruhan dokumen-dokumen ini mesti dilihat secara
holistik.
24. SR XIV PGI, 29 November – 5 Desember 2004 di Wisma
Kinasih, Bogor menilai bahwa gereja-gereja ternyata belum
dalam kondisi siap melaksanakan 4 agenda tersebut, yang juga
berarti belum dalam kondisi siap mewujudnyatakan GKYE. Itu
tidak berarti bahwa kita meninggalkan cita-cita perwujudan
GKYE. Namun SR memahami bahwa wujud keesaan gereja
mestinya tidak saja dinilai dari keesaan strukturalorganisatoris, tetapi juga fungsional-organisme. Ini berarti
bahwa keesaan kita adalah keesaan in action, dalam arti
bahwa justru dalam melaksanakan aksi bersama keesaan kita
makin lama makin nyata. Tetapi memang aksi bersama itu
mesti ditempatkan dalam kerangka (frame) visi dan misi
bersama, yang setiap lima tahun sekali diperbarui dengan
diinspirasikan oleh tema dan subtema Sidang Raya. Maka SR
kembali menegaskan pelaksanaan PTPB sebagai agenda
bersama gereja-gereja dalam lima tahun mendatang. Dalam
konteks itu, PTPB ditempatkan pada urutan pertama, tanpa
mengabaikan keyakinan bahwa melakukan aksi bersama itu,
justru merupakan wujud perjumpaan Allah dengan manusia
(baca: gereja-gereja).
A. Mengenai Dokumen PTPB
25. PTPB adalah dokumen pertama yang mengawali dokumendokumen lainnya. Dokumen ini menempati posisi yang sangat
penting dan strategis, karena dokumen ini memuat hal-hal
dasariah mengenai:
a. pemahaman bersama gereja-gereja tentang tugas
panggilan (misi) bersama;
b. konteks nyata tatkala gereja ditempatkan dalam suatu
realisme yang berpengharapan.
Dalam kerangka ini maka PTPB dapat dilihat sebagai titik
tolak dan sekaligus pemberi arah bagi ke-4 dokumen
16
berikutnya, khususnya dalam upaya
membangun dan mempersatukan gereja.
membarui,
26. Dalam pelaksanaan tugas panggilan bersama itulah maka
PTPB berfungsi sebagai ”kerangka dasar bersama gerejagereja anggota PGI, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama” dalam rangka melaksanakan tugas panggilan
bersama untuk mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil
society) Indonesia yang mandiri, berkeadilan, menghormati
hak-hak asasi manusia, berkedamaian dan saling mengasihi
(PTPB butir 8).
Ini berarti bahwa semua Gereja Anggota mempunyai tugas
panggilan yang satu dan sama, yang dijalankan secara
bersama-sama dan juga secara sendiri-sendiri sesuai dengan
kondisi dan situasi masing-masing, dengan menggunakan
PTPB sebagai kerangka dasar bagi suatu strategi pokok.
27. PTPB ini bukan sekadar dokumen yang berisi program makro
gereja-gereja di Indonesia, tetapi dokumen ini memberikan
visi teologis yang jelas sebagai hasil pergumulan gereja-gereja
secara bersama. Secara padat PTPB memberikan rumusan
yang sangat alkitabiah mengenai tugas panggilan bersama.
Juga PTPB ini dapat dilihat sebagai dokumen misiologi
gereja-gereja di Indonesia, karena ia berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan paling pokok, antara lain:
- apa arti Injil yang diberitakan kepada segala makhluk;
- cara-cara bagaimanakah Injil itu diberitakan kepada segala
makhluk;
- siapa yang harus memberitakan Injil.
Demikian pula jelas tampak bahwa kesadaran kontekstual
sangat intensif dengan melihat pergumulan bangsa dalam
proses memasuki era reformasi yang di dalamnya masyarakat
berkeadaban (civil society) diwujudkan.
17
28. PTPB mempunyai batasan waktu. Dokumen ini memuat garisgaris besar program makro untuk jangka waktu 5 tahun:
2009-2014. Secara singkat-padat hal itu dirumuskan dalam
Visi dan Misi PGI 2009-2014 sebagaimana diterima oleh Sidang
Raya XV PGI (lihat halaman 39).
Beberapa hal penting yang merupakan muatan penting PTPB
2009-2014:
a. Gereja-gereja mestinya makin membuka diri kepada
sesama, tanpa memandang suku, agama, ras, etnis dan
kepentingan. Itulah wujud pelaksanaan tema Sidang Raya
XV: “Tuhan Itu Baik Kepada Semua Orang” (Mz. 145:9a).
b. Melanjutkan berbagai upaya untuk mewujudkan dan
memperkuat masyarakat berkeadaban (civil society) di
Indonesia. Upaya-upaya ini makin dirasakan pentingnya
dewasa ini, ketika partai-partai politik dan lembagalembaga negara makin memperlihatkan kecenderungan
yang hanya mengarahkan perhatian kepada kepentingan
partai, golongan dan kelompok.
c. Tetap berjuang bersama berbagai elemen-elemen bangsa
lainnya
menegakkan
hukum
yang
berkeadilan,
memelihara perdamaian dan lingkungan hidup dengan
mewujudkan suatu masyarakat demokratis yang
substansial. Ini berarti, nilai-nilai demokrasi mestinya
makin dikedepankan ketimbang sekadar memenuhi
tuntutan-tuntutan prosedur belaka.
d. Menegaskan kembali bahwa kualitas manusia dan
masyarakat, sumber daya manusia dan lapangan kerja
serta masalah kemiskinan, perlu ditanggulangi secara
bersama-sama oleh semua golongan masyarakat.
e. Tentang pertumbuhan gereja, menekankan kembali
pembinaan kualitas orang-orang beriman sehingga hidup
secara bertanggungjawab di dalam masyarakat Indonesia
yang makin majemuk ini.
18
29. Tugas Panggilan Gereja yang dirumuskan oleh PTPB adalah
tugas panggilan yang tidak pernah berubah di semua tempat
dan dalam segala zaman, untuk:
(1) memberitakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 16:15);
(2) menampakkan keesaan mereka seperti keesaan Tubuh
Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh (1 Kor.
12:4); dan
(3) menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha
menegakkan keadilan (Mrk. 10:45; Luk. 4:18; 10:25-37;
Yoh. 15:16).
30. Tiga segi dari tugas yang satu itu dirumuskan oleh PTPB
secara padat dalam Bab I. PEMAHAMAN TUGAS PANGGILAN
GEREJA, terdiri dari 4 butir. Bab ini hendak mengatakan:
(a) bahwa keesaan itu adalah sesuatu yang dinamis dan dilihat
dalam kerangka membarui, membangun dan mempersatukan gereja. Membarui, bukan sekadar asal baru, tetapi agar
gereja semakin mampu mewujudkan apa yang
dikehendaki oleh Tuhan melalui Firman-Nya, sehingga
gereja semakin mampu secara responsif dan tepat
menjawab tuntutan dan kebutuhan zaman yang selalu
berkembang dan berubah. Membangun, bukan sekadar
memperbanyak dan mempercantik gedung gereja atau
pembangunan fisik lainnya; juga tidak sekadar menambah
jumlah anggota gereja. Membangun dimaksudkan untuk
terus-menerus bertumbuh ke arah Kristus (Ef. 4:13-16),
merangsang untuk memanfaatkan secara kreatif semua
karunia yang Tuhan sediakan baik dalam diri warga, dalam
gereja dan di sekitarnya. Mempersatukan, sekaligus berarti
mengajak gereja menyusun program-program yang
menunjang upaya pewujudan Gereja yang Esa, tidak
melakukan hal-hal yang langsung atau tidak langsung
menghambat atau bertentangan dengan tujuan keesaan.
Tersirat di sini kesediaan untuk tidak memutlakkan jati
19
diri masing-masing, tetapi menempatkannya dalam jati
diri bersama.
(b) bahwa kesaksian dan pekabaran Injil itu adalah hakikat
panggilan gereja dan sebab itu disampaikan kepada segala
makhluk (Mrk. 16:15). Dalam hubungan ini cara-cara
pemberitaan itu hendaklah bijaksana dengan memperhatikan keadaan di sekitar dan harus pula sesuai dengan
prinsip kemanusiaan yang beradab. Yang bersaksi dan
mengabarkan Injil itu adalah semua warga gereja, dan oleh
sebab itu semua warga perlu diperlengkapi untuk
melaksanakan tugas kesaksian itu dengan cara yang paling
tepat dan sesuai dengan karunia dan kesempatan yang
diberikan oleh Tuhan kepadanya.
(c) bahwa partisipasi dan pelayanan dalam memasuki era
reformasi yang di dalamnya masyarakat berkeadaban (civil
society) diwujudkan bukan dimaksudkan mengganti
pelayanan karitatif yang biasa dilakukan oleh gereja,
melainkan melengkapinya.
Berpartisipasi dan melayani dalam memasuki era ini
adalah bagian dari tugas pokok gereja untuk mengelola
ciptaan Tuhan, untuk ikut menciptakan masyarakat yang
adil dan sejahtera bagi semua orang dan sebagai antisipasi
terhadap kedatangan Kerajaan Allah, yaitu kegenapan
”langit baru dan bumi baru di mana terdapat kebenaran”
(2 Ptr. 3:13).
Ada penekanan-penekanan khusus, yaitu menyangkut
pembangunan desa yang dianggap penting bagi pembangunan
nasional, juga mengingat sebagian besar rakyat dan jemaat
ada di pedesaan. Demikian pula perhatian khusus diberikan
kepada penduduk kota yang tercecer, serta sumber daya
manusia dan masalah-masalah lapangan kerja, penegakan
HAM, demokratisasi di berbagai bidang.
20
B. Mengenai Dokumen PBIK
31. Secara historis PBIK merupakan salah satu dokumen sentral
yang sejak perjalanan bersama gereja-gereja dalam DGI tahun
1950 menjadi bahan bahasan yang terus berkelanjutan. Pokok
mengenai Pengakuan Iman cukup lama menjadi perhatian
gereja-gereja, khususnya dalam upaya melangkah mencapai
tujuan DGI: Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia. Pergumulan bersama itu kemudian melahirkan
konsep PEMAHAMAN IMAN BERSAMA (PIB) yang dibahas
dalam Sidang Raya VI 1967 di Makassar. Konsep naskah PIB
tersebut meliputi pokok-pokok kepercayaan tentang:
Allah yang Esa
Yesus Kristus
Roh Kudus
Gereja
Firman Allah
Sakramen
Jabatan
Tertib Gereja
Dosa dan Keampunan Dosa
Pengharapan Kristen, dan
Pemerintah
Ternyata diperlukan waktu yang cukup panjang, yaitu 17
tahun, sebelum gereja-gereja berani mengambil langkah untuk
menyepakati PEMAHAMAN BERSAMA IMAN KRISTEN (PBIK)
pada Sidang Raya X DGI 1984 di Ambon.
32. Sebagai dokumen ia belum dipandang sebagai Pengakuan
Iman Bersama, tetapi sebagai langkah awal menuju
penyusunan Pengakuan Iman Bersama. Sebagai naskah
teologis PBIK ini mempunyai kedudukan dan makna strategis
dalam hubungannya dengan dokumen-dokumen lainnya.
Dengan menyepakati PTPB sangat dirasakan pentingnya suatu
landasan gerak yang sama; demikian pula dalam penyeleng-
21
garaan persekutuan antar-gereja (PSMSM) dan menapak
kebersamaan dalam satu wadah (TATA DASAR PGI) serta
upaya menuju keesaaan yang utuh dan menyeluruh (Saling
Menopang di Bidang Daya dan Dana) sangat dibutuhkan
pemahaman yang sama tentang Iman Kristen.
33. Tidak kurang pentingnya untuk dicatat, bahwa gereja-gereja
yang tergabung dalam PGI itu berlatar belakang berbagai
tradisi teologis yang sangat beragam. Termasuk di sana adalah
Gereja yang mempunyai tradisi yang tidak begitu
mementingkan rumusan-rumusan konfesi, karena menganggap terlalu mengikat semua Gereja itu, telah berhasil
menyepakati rumusan Pemahaman Bersama Iman Kristen.
Dari rumusan PBIK ini tampak bagaimana keragaman tradisi
telah ikut mewarnai PBIK dan muncul bersama-sama dalam
suatu toleransi internal yang sehat. Dapat dikatakan bahwa
dokumen ini dengan segala kelemahan dan keterbatasannya
mampu mengungkapkan pokok-pokok kepercayaan yang
alkitabiah, yang dikaitkan dengan tradisi reformatoris dan
berhasil menciptakan cukup ruang bagi berbagai tradisi untuk
saling melengkapi.
34. PBIK seperti yang telah diperbarui oleh Sidang Raya XI PGI
tahun 1989 di Surabaya memuat pokok-pokok sebagai
berikut:
DASAR PEMIKIRAN:
I. TUHAN ALLAH
II. PENCIPTAAN DAN PEMELIHARAAN
III. MANUSIA
IV. PENYELAMATAN
V. KERAJAAN ALLAH DAN HIDUP BARU
VI. GEREJA
VII. ALKITAB
35. PBIK bersifat pernyataan, dalam arti bahwa gereja-gereja
menyatakan hal-hal menyangkut pokok-pokok kepercayaan
22
Kristen yang telah dapat mereka sepakati pemahamannya
secara bersama-sama. Itu berarti bahwa mungkin masih ada
pokok-pokok tentang Iman Kristen yang masih belum
dapat/sampai pada pemahaman yang sama. Oleh sebab itu,
dapat dimengerti apabila dalam PBIK terdapat kekurangan
ataupun ketimpangan. Yang penting adalah, agar apa yang
dapat kita katakan bersama itu kita nyatakan dan kita jadikan
pegangan bersama; untuk dijadikan landasan dan sumber
motivasi teologis dalam melanjutkan perjalanan bersama
sebagai gereja yang diutus ke dalam dunia.
36. Kalau kita bandingkan pokok-pokok dalam konsep naskah PIB
1967 (12 butir) dengan PBIK 1989 (8 butir) tampaknya ada
hal-hal yang sengaja tidak dimasukkan. Hal ini disebabkan di
satu pihak beberapa pokok akan ditampung dalam PSMSM dan
di pihak lain ada pokok-pokok yang (seperti: Sakramen,
Jabatan, Tertib gereja) langsung dimasukkan ke dalam pokok
yang ada (seperti: Pemerintah dimasukkan kedalam Bab IV:
Penyelamatan). Yang jelas bahwa gereja-gereja dalam PBIK ini
tidak mengikat/ membatasi diri dalam pola Pengakuan Iman
Rasuli (Allah Bapa; Yesus Kristus; Roh Kudus dan Pengharapan Kristiani), tetapi menyentuh pokok-pokok iman yang
menopang kehadiran gereja di tengah-tengah masyarakat
yang majemuk.
Sebab itu PBIK juga berbicara tentang kekuasaan,
pemerintah, dan hal-hal yang menyentuh masalah adat dan
kebudayaan, ilmu dan teknologi, dan lain sebagainya.
37. PBIK mengungkapkan bagaimana gereja-gereja di Indonesia
memahami imannya di tengah-tengah kenyataan kehidupan
dan menjawab tantangan konkret dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Konteksnya adalah
masyarakat Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika itu. Sebagai
contoh: PBIK ini mulai dengan pokok: TUHAN ALLAH. Butir 1
langsung berbicara tentang keesaan Allah: ”TUHAN Allah
23
kita, TUHAN itu esa” (Ul. 6:4). Tidak ada Allah selain Dia (Kel.
20:3; Ul. 5:7).
Dengan rumusan ini PBIK hendak menjernihkan banyak
salah paham yang menuduh gereja mempercayai tiga Tuhan
dan menyangkal keesaan Allah.
Dengan pernyataan ini gereja berdialog dengan dunia
dimana ia ditempatkan.
C. Mengenai Dokumen Oikoumene Gerejawi
38. Salah satu ciri keesaan gereja ialah bahwa gereja-gereja dari
berbagai bentuk dan tradisi rohani dapat saling mengakui dan
saling menerima sebagai ungkapan dari gereja yang esa,
kudus, dan am.
Gereja yang satu mengakui dan menerima gereja yang lain
sebagai sama-sama gereja Tuhan yang penuh. Mengingat
kemajemukan corak dan bentuk bergereja serta pola
beribadah, maka diterimanya dokumen ini, yang di dalamnya
dokumen PSMSM dan KTDD yang dulu tercakup patut
disyukuri dengan sukacita.
39. Dokumen ini pada dasarnya tidak lain daripada pelembagaan
praktik-praktik kehidupan persekutuan antar-gereja yang
telah berlangsung selama 54 tahun sejak tahun 1950 dan
sekaligus berfungsi sebagai daya konstruktif dan daya
fasilitatif bagi semua usaha untuk memanifestasikan keesaan
dan kebersamaan gereja secara operasional.
Kenyataan tersebut secara jelas dikatakan dalam Konsep
Dasar Keesaan Gerejawi, yang antara lain menyatakan:
Kami menyadari dan mengakui akan kemustahilan
pewujudnyataan GKYE demi dunia itu. Perpecahan dan
kesendiri-sendirian dari gereja-gereja telah menjadi kendala
mendasar bagi keberadaan gereja sebagai gereja dan
mengaburkan, melemahkan serta menumpulkan kesaksian dan
pelayanan kami. Namun semakin dalam kami menyadari
24
kemustahilan itu, semakin dalam pula rasa heran dan syukur
kami atas kasih dan kuasa TUHAN yang telah sudi melakukan
yang mustahil itu menjadi mungkin dan menjadi kenyataan
dengan penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya, sehingga
kemustahilan itu semakin mendekatkan kami kepada TUHAN
dan semakin bergantung hanya kepada-Nya. Bahkan kami
percaya TUHAN sedang terus melakukan pekerjaan
menyatukan gereja TUHAN demi persatuan dan kesatuan umat
manusia dengan melawan segala macam bentuk kekerasan
yang memecah belah dan merusak manusia, agar gereja dan
dunia ini menjadi tempat kediaman TUHAN dan tempat
kediaman manusia.
40. Dokumen ini pada hakikatnya bermaksud pula untuk sekaligus
meningkatkan secara serius hubungan kreatif antar-gereja
anggota.
Jati diri masing-masing gereja tetap diakui sepenuhnya,
namun kini ia ditempatkan dalam relasi kebersamaan dengan
jati diri gereja lainnya. Perbedaan diterima dan dihormati,
tetapi tidak ditonjolkan dalam kedudukan yang kontradiktif,
melainkan ditempatkan dalam kedudukan keragaman yang
saling memperkaya. Hal ini juga dicantumkan secara rinci
dalam PTPB butir 31.f.1.:
Identitas tiap-tiap gereja tetap dihormati, tetapi dilihat
dalam rangka identitas bersama sebagai Gereja Kristen di
Indonesia dengan pengertian bahwa identitas bersama
dalam Kristus adalah identitas utama yang menggarami
identitas sendiri-sendiri.
41. Dengan diterimanya Dokumen ini, telah menjadi jelas langkahlangkah yang harus diambil di setiap gereja dalam menopang
dan meningkatkan perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia.
25
Termasuk pula langkah-langkah apa yang masih perlu
ditingkatkan, dan hal-hal apa yang seharusnya perlu dihindari
yang dapat menghambat proses mengesa itu.
42. Dokumen ini erat sekali berkaitan dengan penyelenggaraan
persekutuan, kesaksian, dan pelayanan gereja. Oleh sebab itu,
PSMSM dalam LDKG 1984, yang dirasakan kurang lengkap
menyentuh seluruh segi persekutuan, kesaksian, dan
pelayanan telah disempurnakan dalam Sidang Raya XI 1989;
dengan menambahkan butir diakonia, pekabaran Injil, dan
penggembalaan.
43. Dokumen ini mencakup seluruh segi penyelenggaraan
kehidupan bergereja, yang meliputi pokok-pokok:
a. Konsep Dasar Keesaan Gereja
b. Saling mengakui dan saling menerima
1) Keanggotaan Gereja dan Perpindahan/Penerimaan
Keanggotaan
2) Diakonia
3) Pemberitaan Firman
4) Pekabaran Injil
5) Baptisan Kudus
6) Perjamuan Kudus
7) Penggembalaan
8) Disiplin Gereja
9) Pengajaran Pokok-pokok Iman Kristen
10) Pemberkatan Perkawinan Gerejawi/Penguburan/
Pengabuan
11) Pelayan/Pejabat Gereja
c. Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana
Setiap pokok diawali dengan kata ”kami mengakui dan
menerima” dan diakhiri dengan semacam janji, yang tertuang
dalam kalimat: ”Oleh karena itu, kami ...”
26
Ini menunjukkan kesungguhan gereja-gereja untuk secara
serius melanjutkan dan meningkatkan kebersamaan antargereja.
44. Perlu pula dicatat kemajuan yang dicapai dalam rumusan
PSMSM 1989, bila dibandingkan dengan rumusan 1984,
khususnya sehubungan dengan pokok Baptisan. Pada
hakikatnya rumusan 1984 tetap dipertahankan, dengan
penambahan kecil pada butir 3 yang menjadi dasar untuk
mengambil kesepakatan untuk tidak melakukan pembaptisan
ulang. Kalimat tambahan itu berbunyi:
”Kepada mereka yang telah dibaptis dalam pengertian dan
cara yang demikian, dikaruniakan Roh Kudus oleh Allah
dalam Kristus yang akan terus memimpin dan membarui
(Kis. 2:38; Rm. 8:1; 1 Kor. 12:7-11; 2 Kor. 5:17; Kol. 2:12).”
Ini adalah sangat penting, karena dalam rumusan 1984
tidak ada kesepakatan untuk tidak mengadakan
pembaptisan ulang, walaupun diharapkan bahwa dengan
pengakuan dan penerimaan akan baptisan dari masingmasing gereja, maka baptisan ulang tidak akan terjadi.
Kesepakatan dalam PSMSM 1989 ini dapat dianggap
sebagai langkah maju yang sangat penting. Rumusan itu
berbunyi: ”Oleh karena itu, di dalam menerima
perpindahan keanggotaan gereja dari warga gereja di
lingkungan PGI, kami tidak melakukan pembaptisan ulang,
melainkan hanya mengumumkannya di dalam kebaktian
jemaat.”
45. Kehadiran Oikoumene Gerejawi sebagai salah satu dokumen
dari DKG menandai lahirnya tahap baru dalam perjalanan
keesaan. Kebhinekaan tradisi denominasi ataupun organisasi
gereja tidak lagi dipertentangkan satu sama lain, tetapi dilihat
sebagai kekayaan manifestasi dari gereja-gereja yang satu.
Pengakuan ini adalah kenyataan positif sebagai kondisi yang
27
sehat untuk melanjutkan aksi bersama dalam penyelenggaraan persekutuan, kesaksian dan pelayanan bersama,
menuju perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
46. Mengenai Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana mestinya
terus-menerus diperkembangkan dengan memanfaatkan
semua kemampuan yang diberikan Tuhan kepada umat-Nya
secara bebas dan bertanggung jawab bagi persekutuan,
pelayanan dan kesaksian.
D. Mengenai Dokumen Tata Dasar
47. Sebagai konsekuensi logis dari kemajuan-kemajuan yang telah
dicapai dalam kembara keesaan gereja di Indonesia selama 30
tahun lebih, terutama dengan diterimanya PTPB, PBIK, dan
PSMSM, maka wadah kebersamaan oikoumenis dalam wujud
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) sudah waktunya pula
untuk ditingkatkan dan diperbarui. Keyakinan ini pulalah yang
melahirkan dokumen ke-4 LDKG, yaitu Tata Dasar PGI.
48. Sejak lahirnya DGI 1950 sampai diterimanya Tata Dasar PGI
tahun 1984, maka seperti lembaga-lembaga lainnya, kita
menggunakan ANGGARAN DASAR dan ANGGARAN RUMAH
TANGGA, untuk peraturan dasar yang digunakan menata
kehidupan lembaga oikoumenis ini. Sementara itu dalam
gereja pada umumnya dipakai istilah TATA GEREJA (Church
Order atau Kerk Orde).
Memang Alkitab tidak memuat himpunan peraturan yang
lengkap dan siap pakai, tetapi memberikan prinsip-prinsip
yang jelas. Gereja hanya menggali, menghimpunkannya dan
kemudian menatanya menjadi peraturan yang operasional
untuk mengatur kehidupan bergereja.
Kemajuan-kemajuan telah cukup banyak tercapai selama
lebih 3 dasawarsa ini, baik dalam usaha-usaha/kegiatankegiatan bersama, maupun dalam kesadaran dan pemikiran
28
yang dinamis. Dengan landasan itu lahirlah pernyataan
kesepakatan ”untuk meningkatkan DGI dalam satu lembaga
gerejawi dengan nama PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI
INDONESIA, disingkat PGI” (Pembukaan Tata Dasar PGI).
Dalam pengertian gerejawi itu pulalah maka dipakailah istilah
TATA DASAR dan bukan Anggaran Dasar.
49. Menyadari sepenuhnya bahwa wadah kebersamaan
oikoumenis yang selama ini dikenal sebagai Dewan Gerejagereja di Indonesia (DGI) pada hakikatnya di satu pihak, sudah
jauh lebih maju daripada sekadar tempat bertemu,
berkonsultasi dan saling bertukar pengalaman. Di pihak lain
masih belum dicapai tahap untuk dapat diproklamasikan
sebagai Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia. Karena itu
disepakatilah nama PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI
INDONESIA (PGI). Perubahan ini bukan hanya sekadar
perubahan nama, tetapi sekaligus pengakuan akan hakikatnya
yang baru; yaitu sebagai lembaga gerejawi yang sudah kian
menggereja walaupun belum sepenuhnya menjadi gereja.
50. Kata ”Persekutuan” itu memberi makna yang baru. Kata ini
adalah bahasa Alkitab, bahasa rohani yang mengandung
makna yang dalam dan menyentuh segi eksistensial, internal
dan spiritual. Persekutuan ini dihayati dan dinampakkan
melalui pelaksanaan PTPB, penghayatan PBIK, kesediaan dan
kemauan untuk mempraktikkan PSMSM dan tekad serta upaya
mengusahakan kemandirian teologi, daya, dan dana.
51. Kata ”DEWAN” lebih memberi kesan himpunan wakil-wakil
gereja; masing-masing dalam kepelbagaian jati diri yang kuat.
Sedangkan ”PERSEKUTUAN” lebih mengesankan adanya
keterkaitan lahir dan batin antara Gereja Anggota, yang di
dalamnya jati diri yang beragam itu ditempatkan di bawah
identitas bersama sebagai Gereja Kristus di Indonesia; dan
29
identitas bersama dalam Kristus ini adalah identitas utama
yang menggarami identitas sendiri-sendiri itu.
Dengan Persekutuan ini gereja-gereja di Indonesia
memasuki era baru, masa depan bersama!
52. Dibandingkan dengan Anggaran Dasar DGI, maka dalam Tata
Dasar PGI tampak beberapa ketentuan yang menunjuk pada
hakikat barunya sebagai persekutuan, di antaranya dapat kita
catat:
(1) Tujuan
Dalam Anggaran Dasar DGI tujuan dirumuskan:
”Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”.
Dalam Tata Dasar PGI, tujuan dirumuskan:
”Mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”.
Rumusan ini hendak mengukuhkan pengakuan bahwa
pada hakikatnya gereja itu sudah esa, namun keesaan itu
harus lebih ditampakkan dalam wujud yang lebih nyata.
Jelasnya, bukannya mencari sesuatu yang baru sama sekali
dan yang belum pernah ada, melainkan yang sudah ada
masih perlu dicarikan wujudnyatanya yang lebih jelas,
lebih kelihatan, agar menjadi kesaksian bagi dunia. Dengan
demikian maka dua kecenderungan yang saling
berlawanan, yaitu yang menekankan keesaan rohani dan
yang menekankan keesaan institusional memperoleh
kelegaan yang wajar.
(2) Dalam pasal mengenai Penerimaan Anggota (pasal 8),
disebutkan salah satu syarat penerimaan menjadi anggota
ialah kesediaan mencantumkan ”Anggota PGI” di belakang
nama gereja yang bersangkutan (ayat 2.e). Dilihat sepintas
lalu tidak punya makna apa-apa. Padahal di balik yang
tampaknya sepele itu, terkandung maksud dan makna
yang luas dan dalam.
Dengan tindakan ini dimaksudkan agar keesaan yang
sudah tercapai ini banyak dilihat dan diketahui oleh dunia.
30
Jadi dengan upaya kecil tapi sederhana itu, proses
mewujudkan keesaan secara lebih kelihatan itu berjalan
terus.
(3) Kewajiban dan Hak Gereja Anggota
Dalam pasal mengenai Kewajiban dan Hak Gereja
Anggota (Pasal 9), di ayat disebut:
”Gereja
anggota
bertanggungjawab
mengenai
keputusan-keputusan yang telah disepakati bersama,
dan berkewajiban untuk melaksanakannya termasuk
dalam melaksanakan dokumen-dokumen keesaan
gereja.”
Anak kalimat (”dan berkewajiban untuk melaksanakannya”) tidak tercantum dalam Anggaran Dasar DGI.
Rumusan tadi memberi petunjuk bahwa ada ikatan yang
kuat dan akad yang tangguh untuk melaksanakan semua
keputusan yang diambil bersama. Jadi ada semacam
kewajiban moral dan etika yang mengikat semua Gerejagereja Anggota.
(4) Anggota Mitra
Unsur baru yang tidak terdapat baik dalam Anggaran
Dasar DGI maupun dalam Tata Dasar-PGI tahun 1984,
ialah kehadiran Anggota Mitra dalam Majelis Pekerja
Lengkap (MPL) PGI (Pasal 13 ayat 2). Yang dimaksud
dengan Anggota Mitra ialah:
- Para wakil dari unsur wanita, pemuda, dan warga gereja
yang bukan pendeta.
Keanggotaan kelompok ini dalam MPL-PGI merupakan
kemajuan yang cukup penting. Ia adalah respons
terhadap butir 45 PTPB yang menyatakan bahwa:
”Kemajuan dalam persekutuan gereja dengan
mengusahakan kemandirian di bidang teologi, daya dan
dana akan tercapai jika semua anggota gereja (laki-laki,
perempuan, pemuda, remaja, anak-anak) ikut-serta
31
secara aktif, kreatif, dan bertanggungjawab dalam
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan. Diperlukan juga
keikutsertaan semua lembaga gerejawi dan lembaga
keumatan, seperti: sekolah-sekolah teologi, pusat-pusat
pembinaan warga-gereja, lembaga-lembaga pendidikan
umum, dan sebagainya.
Selama ini kelompok yang digolongkan sebagai Anggota Mitra tadi hanya diperlakukan sebagai pelaksana
kegiatan, dan tidak atau sangat kurang terlibat dalam
seluruh proses dan perencanaan sampai kepada
pelaksanaan kegiatan. Dengan adanya ketentuan dalam
Tata Dasar PGI ini maka boleh dikatakan seluruh unsur
yang ada dalam gereja diikutsertakan dalam seluruh
kegiatan bersama.
53. Sistematika Tata Dasar PGI
Berbeda dengan Anggaran Dasar-PGI, maka Tata Dasar PGI
disusun secara agak diperluas:
(1) Pembukaan, sebagai suatu mukadimah disertai dengan 2
butir penjelasan yang bersifat fragmentaris, yaitu:
- penjelasan mengenai Pembukaan yang menguraikan
alasan-alasan prinsipal perubahan dari Dewan menjadi
Persekutuan dan;
- penjelasan tentang Tujuan PGI dalam Pasal 4.
(2) Batang Tubuh, yang terdiri dari XII Bab dan 27 pasal.
(3) Penjelasan Tata Dasar PGI: PEMBUKAAN (1).
(4) Penjelasan Tentang Pasal 4 Tata Dasar PGI (2).
Baik Pembukaan, Batang Tubuh, maupun Penjelasan merupakan kesatuan naskah yang utuh dan otentik.
32
PRASETYA KEESAAN
1. Segala puji dan syukur kami persembahkan bagi-Mu, yang oleh
karena kasih-karunia-Mu yang ajaib telah memungkinkan
hadirnya suatu umat percaya di Indonesia, sehingga ”kami
yang dulunya bukan umat dan hidup dalam kegelapan, kini
dapat menjadi umat-Mu yang hidup dalam terang-Mu yang
ajaib, serta terpanggil untuk memberitakan perbuatanperbuatan yang besar” (bnd. 1 Ptr. 2:9-10).
2. Menyadari hal ini, maka kami mengaku bahwa perbuatanperbuatan Tuhan yang besar itulah yang telah menghadirkan
gereja-gereja di Indonesia yang tersebar di pelbagai wilayah
bumi Indonesia dalam momentum-momentum serta liku-liku
alur sejarah yang berbeda-beda dan bahwa perbuatan Tuhan
yang besar itu pulalah yang kemudian mempersatukan
kepelbagaian sejarah gereja-gereja kami dan menempatkan
gereja-gereja-Mu di Indonesia secara bersama-sama dalam
rangka pelaksanaan tugas panggilan orang-orang percaya di
segala abad dan tempat untuk menjadi saksi-saksi-Mu yang
dimulai dari Yerusalem, seluruh Yudea, Samaria sampai ke
ujung-ujung bumi (bnd. Kis. 1:8).
3. Kami mengaku pula bahwa dalam rangka menyatukan
kepelbagaian sejarah gereja-gereja di Indonesia, maka melalui
Roh-Mu yang Kudus, Tuhan sendirilah yang menggerakkan
dan menuntun gereja-gereja-Mu di Indonesia untuk dengan
sadar memuarakan sejarah sendiri-sendiri ke dalam sejarah
bersama yang diawali dengan lahirnya wadah keesaan Dewan
Gereja-gereja di Indonesia (DGI) pada hari-hari menyongsong
perayaan Pentakosta tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta;
kemudian untuk melangkah lebih maju lagi dalam sejarah
bersama tersebut 34 tahun kemudian dalam wadah keesaan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang lahir dalam
Sidang Raya X DGI/PGI di Ambon, pada tahun 1984.
33
4. Adapun peningkatan DGI menjadi PGI dalam Sidang Raya X di
Ambon adalah ungkapan kesadaran dan pemahaman kami
gereja-gereja-Mu akan hakikat kami sebagai gereja Tuhan
yang Esa di Indonesia dan yang terpanggil terus-menerus
untuk semakin penuh mengungkapkan keesaan tersebut di
Indonesia. Arti peningkatan dari DGI menjadi PGI berkisar
terutama pada perkataan ”Dewan” yang diganti dengan
perkataan ”Persekutuan”. Kata ”Persekutuan” lebih bersifat
gerejawi dan bernada keakraban dibandingkan dengan kata
”Dewan”.
Jadi, penggantian kata ”Dewan” menjadi ”Persekutuan” di
sini hendak mengungkapkan bahwa sejak DGI didirikan tahun
1950 telah terjadi peningkatan dalam perjalanan kami
bersama gereja-gereja-Mu menuju perwujudan Gereja Kristen
Yang Esa di Indonesia baik dalam kesadaran dan pemikiran
bersama maupun dalam usaha-usaha bersama.
Jadi nama ”Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia”
hendak menggarisbawahi bahwa kami gereja-gereja-Mu telah
mencapai tahap perjalanan sejarah keesaan, yang di dalamnya
hubungan ketaatan dan ketergantungan kami kepada-Mu,
Tuhan atas sejarah, hendak kami ungkapkan dalam janji dan
tekad bersama untuk hidup semakin akrab satu dengan yang
lain sebagai sesama anggota keluarga Allah (Ef. 2:19), untuk
lebih sehati sepikir dan setia kawan serta menopang dalam
hidup dan misi bersama, menjadi bagaikan satu arak-arakan
bersama di perjalanan menuju perwujudan Gereja Kristen
Yang Esa di Indonesia (bnd. Mzm. 84:4; Yes. 2:2-3; Kis. 1:8; 2
Kor. 2:14; Ibr. 12:1).
5. Kami sadar sepenuhnya bahwa perjalanan sejarah bersama
yang lebih maju dan meningkat ke masa depan bukanlah tanpa
tantangan, hambatan dan pergumulan-pergumulan berat,
sebagaimana yang telah dialami bersama dalam perjalanan
sejarah bersama gereja-gereja kami di masa lampau. Namun
kami bersyukur kepada-Mu Tuhan, Kepala Gereja, bahwa
34
sampai sejauh ini Roh Kudus-Mu jugalah yang telah membuka
jalan dan menunjukkan cara-cara yang patut kami tempuh
dalam upaya mewujudkan kebersamaan bersekutu, bersaksi
dan melayani di tengah-tengah dunia, khususnya di tengahtengah bangsa Indonesia yang sedang bergumul berat membangun masa depannya melalui Pembangunan Nasional
sebagai Pengamalan Pancasila.
6. Sampai pada tahap sejarah bersama ini, kami menyadari dan
meyakini bahwa jalan bersama yang lebih maju dan meningkat
ialah dengan menggumuli dan menyepakati bersama hal-hal
pokok yang saling berkaitan sebagai berikut:
6.1. Suatu wawasan tugas panggilan dan misi bersama
gereja-gereja di tengah kehidupan bangsa Indonesia
yang sedang membangun masa depannya dalam
Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
Misi bersama ini harus dilihat sebagai misi yang
mencakup tanggung jawab gereja untuk berpartisipasi
dalam pembangunan bangsa, oleh karenanya harus
dilaksanakan bersama-sama oleh kami gereja-gereja-Mu
dengan titik pandang mengenai seluruh Tanah Air Indonesia sebagai suatu wilayah pelayanan dan kesaksian
bersama kami (Pokok-pokok Tugas Panggilan
Bersama, disingkat PTPB).
6.2. Dalam kehadiran bersama untuk melaksanakan misi
bersama ini, maka kami gereja-gereja-Mu di Indonesia
perlu seia-sekata tentang hal-hal pokok yang kami
pahami bersama mengenai Iman Kristen yang universal
kepada Tuhan yang satu, namun yang harus dihayati dan
diamalkan di tengah-tengah konteks nyata kehidupan
bangsa dan negara kami Indonesia. Pemahaman
bersama iman ini merupakan langkah awal bagi suatu
Pengakuan Iman bersama kami gereja-Mu di Indonesia
yang tidak terlepas dari Pengakuan Iman Rasuli dan
Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel, yang adalah
35
6.3.
6.4.
lambang-lambang keesaan Gereja Tuhan di segala abad
dan tempat.
Juga diakui bersama Pengakuan Iman bersama
masing-masing gereja anggota yang telah lahir dalam
rangka sejarah gerakan pembaruan gereja (Reformasi)
sebagai bagian dari warisan gereja yang memperkaya
Iman Kristen (Pemahaman Bersama Iman Kristen,
disingkat PBIK).
Demikian pun kami gereja-gereja-Mu di Indonesia perlu
sehati-sepikir, saling mengakui dan saling menerima
dalam hal-hal yang mendasar tentang penyelenggaraan
Persekutuan, Kesaksian dan Pelayanan masing-masing
Gereja Anggota dengan tetap saling menghormati latarbelakang sejarah, kekayaan rohani dan karunia masingmasing. Hal saling mengakui dan saling menerima ini
akan mendorong kami gereja-gereja-Mu untuk terus
mendalami dan melaksanakan kehendak Allah seperti
yang disaksikan oleh Alkitab agar dapat menjadi berkat
dalam usaha membarui, membangun dan mempersatukan gereja serta demi kehadiran bersama yang lebih
bermakna dari gereja di Indonesia (Piagam Saling
Mengakui dan Saling menerima, disingkat PSMSM).
Akhirnya, kami gereja-gereja-Mu di Indonesia terpanggil
untuk secara nyata menampakkan kehadiran bersama,
bersekutu dan melayani dalam bentuk dan wadah
kebersamaan konkret.
Dalam hubungan ini, maka wadah keesaan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang telah
kami sepakati bersama di Ambon, perlu terus-menerus
dipupuk, ditingkatkan, dan dikembangkan. Dengan
demikian, kehadiran bersama gereja-gereja-Mu, dapat
menjadi suatu kekuatan kesaksian nyata di tengahtengah dunia, khususnya di tengah-tengah kehidupan
bangsa Indonesia yang sedang membangun masa
depannya. Sekaligus dengan itu pula, maka kami gereja-
36
6.5.
gereja-Mu secara bersama mengantisipasi masa depan
serta mempersiapkan diri lebih baik dalam pelaksanaan
tugas panggilan kami bersama di tahun-tahun
mendatang, dengan menyepakati suatu landasan
kelembagaan kami bersama (Tata Dasar PGI, disingkat
TD).
Untuk dapat menopang dan menunjang dengan baik
seluruh pelaksanaan tugas panggilan bersama kami
untuk bersekutu, bersaksi dan melayani di tengah dunia
dan khususnya di tengah kehidupan bangsa Indonesia,
agar gereja-gereja di Indonesia dan di seluruh dunia
lebih dapat saling melayani dan saling menopang
dengan baik, maka kami gereja-gereja-Mu di Indonesia
tidak dapat tidak harus, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama memupuk dan mengembangkan sikap kedewasaan penuh untuk
mengelola segala sesuatu yang dipercayakan dan
diterima dari-Mu Tuhan secara bertanggung jawab, baik
dalam gaya hidup dan pendekatan kegembalaan
maupun dalam bentuk-bentuk kemandirian teologi,
daya, dan dana (Saling Menopang di Bidang Daya dan
Dana, disingkat ”Saling Menopang”).
7. Pada akhirnya dalam keyakinan yang kukuh akan peran dan
campur tangan Tuhan melalui Roh-Mu yang Kudus di tengahtengah gereja-gereja-Mu, dari zaman ke zaman menuju ke
kepenuhan sejarah, maka kami dengan segala kerendahan hati
bertekad sepenuhnya untuk Engkau tuntun melangkah lebih
maju lagi dalam sejarah perjalanan bersama gereja-gereja di
Indonesia ke masa depan mengakhiri abad ke-20 dan
memasuki abad ke-21, menuju perwujudan harapan dan
dambaan keesaan yang sejak awal dicetuskan bersama oleh
kami gereja-gereja-Mu, ketika terbentuknya wadah keesaan
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), yakni agar dengan
kepemimpinan dan karunia Tuhan maka Gereja Kristen Yang
Esa di Indonesia dapat terwujud. Dalam keyakinan bahwa
37
keesaan gereja adalah demi kesaksian yang nyata dari
perbuatan-perbuatan penyelamatan-Mu yang besar dan ajaib
di tengah dunia khususnya di tengah bangsa Indonesia (bnd.
Yoh. 17:21b), maka kami menyatakan janji setia kepada-Mu
untuk melaksanakan Dokumen Keesaan Gereja (DKG).
38
39
I. POKOK-POKOK TUGAS PANGGILAN BERSAMA
(PTPB) 2009-2014
Visi dan Misi PGI 2009 - 2014
Visi :
“Menjadi Gereja yang Merefleksikan Kebaikan Allah di
Tengah-tengah Masyarakat Majemuk Indonesia.”
Misi :
Gereja-gereja di Indonesia,
a. makin menguatkan persekutuan di antara gerejagereja di Indonesia sebagai basis bagi pelayanan dan
kesaksian;
b. makin lebih terbuka kepada lingkungan yang di
dalamnya mereka hidup;
c. menggiatkan pelayanan yang komprehensip di
tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai wujud
pemberitaaan Kabar Baik;
d. ikut mewujudkan masyarakat majemuk Indonesia
yang berkeadaban dengan memelopori berbagai
upaya terciptanya hubungan-hubungan yang baik
dengan komponen-komponen masyarakat;
e. memberikan sumbangan berharga bagi terjadinya
proses demokratisasi yang substansial di dalam
Negara Indonesia.
40
PENDAHULUAN
A. DASAR PEMIKIRAN
1. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) 2009-2014
adalah landasan operasional yang memberi arah bagi gerejagereja, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri
dalam rangka perwujudan keesaan gereja. PTPB disusun
dengan dasar pemikiran yang memuat konteks kehidupan
bangsa Indonesia pada masa kini, dasar-dasar teologiseklesiologis, tema dan subtema Sidang Raya XV PGI serta visi
dan misi PGI 2009-2014. PTPB ini lebih menekankan
pendekatan
misiologis-pastoral,
tanpa
mengabaikan
pendekatan dogmatis. Berdasarkan pengalaman gereja-gereja
selama ini, pendekatan misiologis-pastoral dipandang lebih
dinamis dan kreatif.
Landasan teologisnya adalah:
a. gereja ada karena dipanggil oleh Allah dan diutus menjadi
berkat bagi segala bangsa (bdk. Kej. 12:1-3);
b. sebagai kelanjutan dari misi Kristus, maka gereja ada
karena dipanggil dan diutus oleh Yesus Kristus untuk
memberitakan Injil dan diberi kuasa untuk mengusir
setan, sekalipun mereka berbeda latar belakang (bdk. Mrk.
3:13-19);
c. gereja dipanggil untuk memberi buah (bdk. Mat.17:17-20);
d. keesaan gereja adalah juga misi supaya dunia percaya
(bdk. Yoh. 17:21).
2. Gereja-gereja di Indonesia percaya bahwa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah aspek dari
pemeliharaan Allah terhadap ciptaan-Nya. Oleh sebab itu
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan meliputi seluruh
wilayah kepulauan dari Sabang sampai Merauke dan dari
Miangas sampai Rote, adalah buah dari pekerjaan Allah dan
41
oleh karena itu adalah karunia Allah. Dari semula Allah terusmenerus bekerja di tengah dunia ini, di antara bangsa-bangsa
termasuk bangsa Indonesia (bdk. Am.9:7), sebab Allah di
dalam Yesus Kristus adalah Tuhan atas sejarah dan atas
seluruh bangsa-bangsa, dan seluruh dunia ini merupakan
sasaran kasih Allah (bdk. Yoh.3:16).
3. Dalam keyakinan itu, gereja-gereja di Indonesia menyadari
bahwa ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh
bangsa Indonesia. Ia lahir dari tengah-tengah bangsa
Indonesia sebagai buah pekerjaan Roh Kudus, dan telah
ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas
panggilannya dan menjadi berkat bagi semua orang di dalam
negara Pancasila, yang sedang memulihkan diri dari berbagai
krisis multidimensi, dijiwai oleh semangat reformasi yang
dipelopori mahasiswa sejak tahun 1998.
Dalam kenyataannya, kehidupan gereja-gereja sering
mengalami kemerosotan tingkat solidaritas satu terhadap
yang lain, yang ikut melemahkan gereja dalam memenuhi
tugas panggilan dan pengutusan di tengah-tengah masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia. Gereja juga tidak jarang
terjebak dalam pemahaman tentang spiritualitas yang sempit
dan gejala formalisme; manifestasinya adalah secara formal
gereja itu ada tapi tidak fungsional untuk berperan di tengahtengah masyarakat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
Melaksanakan tugas panggilan itu tidak lain berarti melaksanakan kehendak Tuhan yang tidak berubah (bdk. Ibr. 13:8)
di tengah-tengah kehidupan bangsa-bangsa dan masyarakat
dunia yang terus-menerus berubah. Oleh karena itu gerejagereja di Indonesia terus-menerus bergumul memahami
kehendak Tuhan itu dari waktu ke waktu.
4. Masyarakat, bangsa dan negara kita telah memasuki tahun ke11 sejak reformasi dicetuskan pada tahun 1998. Sejak saat itu
42
kita bergumul untuk keluar dari berbagai krisis multidimensi.
Setelah mengalami sistem pemerintahan yang otoriter selama
32 tahun, kita sekarang menerapkan prinsip-prinsip
demokrasi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Upaya-upaya itu tidak selalu mudah, sebab tidak
jarang demokrasi diartikan secara sempit dengan
mengabaikan substansinya. Demokrasi cenderung difahami
secara prosedural, ketimbang substansial. Ini mempunyai
dampak besar di dalam pengelolaan terhadap negara yang
terkesan gamang. Kita pun masih bergumul untuk tetap
melestarikan nilai-nilai Pancasila dan UUD Negara RI 1945 di
antara berbagai ideologi yang muncul di dalam dunia dewasa
ini, di dalam berbagai bidang kehidupan. Di dalam bidang
ekonomi misalnya, sebagai akibat kegamangan itu kita
cenderung menerapkan ekonomi pasar bebas, ketimbang
ekonomi kerakyatan. Akibatnya, negara kita dengan mudah
terjebak ke dalam krisis ekonomi, sebagai akibat pengabaian
fundamental ekonomi kerakyatan tersebut.
5. Sebagai bagian dari seluruh rakyat, masyarakat, dan bangsa
Indonesia, maka gereja-gereja di Indonesia sepenuhnya ikut
memikul tanggungjawab agar cita-cita dan harapan bangsa
dan negara untuk keluar dari berbagai krisis, yang di
dalamnya tercakup masyarakat berkeadaban (civil society)
Indonesia yang mandiri, menghormati hak-hak asasi manusia,
dan menegakkan hukum yang berkeadilan, sungguh-sungguh
terwujud. Oleh karena itu gereja-gereja di Indonesia berperanserta secara penuh dan memelopori terwujudnya cita-cita
reformasi ini. Hal itu gereja-gereja lakukan secara positif,
kreatif, kritis, realistis, dan transformatif.
6. Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) masa bakti
2009-2014 ditetapkan pada Sidang Raya XV PGI 2009 di
Mamasa-Sulawesi Barat, berdasarkan keyakinan dan
kesadaran gereja-gereja yang tergabung di dalam PGI untuk
secara bersama-sama melaksanakan tugas panggilan gereja
43
dan sesuai dengan bidang dan kemampuannya masingmasing. PTPB ini dijiwai dan diilhami oleh, serta bersumber
pada tema Sidang Raya tersebut: “Tuhan Itu Baik kepada
Semua Orang (Mzm. 145:9a)” dan sub-tema: “Bersama-sama
Seluruh Komponen Bangsa Mewujudkan Masyarakat Majemuk
Indonesia yang Berkeadaban, Inklusif, Adil, Damai dan
Demokratis.” Di dalam memasuki tahun ke-11 reformasi di
negeri kita ini, gereja-gereja melihat bahwa keteganganketegangan di antara sesama anak bangsa, baik yang
bernuansa etnis maupun agama, masih tetap terjadi. Inilah
akibat kegagalan kita memahami, menghayati dan
menghormati kemajemukan (pluralisme/pluralitas) sebagai
pilar utama kesatuan bangsa.
7. PTPB ini akan menjadi kerangka dasar bersama gereja-gereja
anggota PGI, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama dalam rangka melaksanakan tugas panggilan
bersama untuk ikut mewujudkan masyarakat berkeadaban
Indonesia yang majemuk, yang inklusif dan berusaha
mewujudkan keadilan di dalam segala bidang, memajukan
kehidupan damai-sejahtera, termasuk penegakan HAM,
keutuhan ciptaan dan kesadaran akan kelestarian lingkungan
hidup, serta menghormati prinsip-prinsip dan nilai-nilai
demokrasi. Dengan demikian, PTPB sebagai dokumen keesaan
gereja-gereja di Indonesia mendorong gereja-gereja dalam
menciptakan suasana, wawasan serta pandangan dan sebagai
landasan yang di dalamnya gereja-gereja di Indonesia secara
bersama-sama melaksanakan tugas kesaksian dan pelayanannya dalam rangka perwujudan Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia.
B. PEMAHAMAN TUGAS PANGGILAN GEREJA
8. Tiap gereja adalah ungkapan dari gereja yang esa, kudus, am,
dan rasuli, yaitu persekutuan orang-orang percaya, laki-laki-
44
perempuan, tua-muda, di segala tempat dan sepanjang zaman.
Gereja di semua tempat dan sepanjang zaman terpanggil
untuk:
a. menampakkan keesaan mereka seperti keesaan Tubuh
Kristus dengan rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh yang
selalu membarui (bdk. Rm. 12:1-8; 1 Kor. 12:4);
b. memberitakan Injil kepada segala makhluk (bdk. Mrk.
16:15);
c. menjalankan pelayanan dalam kasih dan usaha
menegakkan keadilan dan HAM, perdamaian dan keutuhan
ciptaan (bdk. Mrk. 10:45; Luk.4:18; 10:25-37; Yoh. 15:16).
9. Tugas panggilan gereja adalah kelanjutan dari misi Yesus
Kristus, yang telah diutus Allah untuk menyelamatkan dunia
ini dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah. Tugas
panggilan gereja ini tidak pernah berubah di semua tempat
dan sepanjang zaman, walaupun tugas ini harus dijalankan
secara kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi yang
berbeda-beda.
10. Hakikat dan tugas panggilan serta pengutusan gereja itu
adalah: keesaan, kesaksian, dan pelayanan dalam kasih.
a. Pertama, tugas panggilan gereja mengharuskan gereja
hidup berpadanan dengan Injil, dan mengharuskan gerejagereja sebagai tubuh, sehati sepikir berjuang untuk iman
yang ditimbulkan oleh berita Injil, dan mengharuskan
gereja-gereja untuk saling memahami, memperhatikan,
dan melayani demi kepentingan bersama (bdk. Flp.1:27;
2:4; 1 Kor.12:27). Inilah tugas keesaan, yaitu tugas
membarui, membangun, dan mempersatukan gereja.
b. Kedua, tugas panggilan gereja adalah menyampaikan Injil
Yesus Kristus, yaitu Injil perdamaian yang adalah kekuatan
Allah yang menyelamatkan dan memperdamaikan segala
sesuatu dengan Allah (bdk. Rm. 1:16-17; Kol. 1:20). Ini
berarti bahwa gereja harus memberitakan Injil, yaitu
45
tentang Allah di dalam Yesus Kristus yang memberlakukan
keadilan dan kebenarannya yang menyelamatkan (bdk.
Rm. 1:16-17; bdk. Luk. 4:18-19), yang menuntut
pertobatan, yang mengaruniakan pengampunan dosa dan
keselamatan, yang memberikan keadilan-Nya kepada
orang-orang miskin dan tertindas, dan yang mengaruniakan kesejahteraan kepada segala bangsa dan kepada
segala makhluk (bdk. Luk. 24:47; Mrk. 16:15), sebagai
bagian dari karya menyeluruh Yesus Kristus yang
memperdamaikan dan memulihkan segala sesuatu ke
dalam persekutuan yang harmonis dengan sesamanya dan
dengan Allah (bdk. Ef. 1:10; Kol. 1:20). Gereja harus
memberitakan Injil itu kepada segala makhluk, di seluruh
dunia, sampai ke ujung bumi, di seluruh alam di bawah
langit dan sampai kepada akhir zaman (bdk. Mat. 28:1820; Mrk. 16:15; Kol. 1:23). Inilah tugas pemberitaan atau
pekabaran Injil, yang merupakan bagian dari keseluruhan
misi (tugas pengutusan) gereja di dunia ini.
c. Ketiga, tugas panggilan gereja pun mengharuskan gereja
memerangi segala penyakit, kelemahan, ketidak-adilan
dan pelanggaran HAM dalam masyarakat. Demikian juga
gereja berkewajiban mengusahakan dan memelihara
secara bertanggung jawab sumber-sumber alam dan
lingkungan hidup. Sebab waktu Yesus berkeliling di
seluruh Galilea, Ia melenyapkan segala penyakit dan
kelemahan di antara bangsa ini (bdk. Mat.4:23). Inilah
tugas pelayanan dalam kasih serta keadilan.
11.
Tugas panggilan gereja dengan ketiga seginya itu harus
dijalankan dengan cara yang sebaik-baiknya dengan bentuk
paling tepat bagi tiap tempat dan zaman. Untuk itu gereja
harus selalu berusaha memahami lingkungan yang di
dalamnya gereja ditempatkan dan melaksanakan tugas
panggilan itu, dengan kepekaan dan ketajaman melihat
tanda-tanda zaman dan menguji roh zaman.
46
C. DASAR-DASAR PENYUSUNAN PTPB
12.
Di dalam sejarah gereja di Indonesia terlihat bahwa gerejagereja pada umumnya mula-mula lahir di lingkungan suku
dan daerah-daerah tertentu dan menjalankan tugas
panggilan mereka masing-masing dengan cara dan bentukbentuk yang paling tepat bagi lingkungan pelayanan dan
kesaksian mereka yang terbatas itu.
13.
Seiring dengan perkembangan sejarah bangsa dan gereja di
Indonesia, gereja-gereja di Indonesia tidak lagi hanya
memahami dan menjalankan tugas panggilan masingmasing saja. Sekarang ini gereja-gereja juga menjalankan
tugas-tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia sebagai
wilayah kesaksian dan pelayanan bersama. Dan sejalan
dengan itu, gereja-gereja di Indonesia bersama dengan
gereja-gereja sedunia melihat Asia dan seluruh dunia
sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama.
14.
Sidang Raya IX Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Porto
Allegre-Brasil, 14-23 Februari 2006, berlangsung di bawah
tema: “God, in your grace, transform the world.“ Sebagian
dari gereja-gereja di Indonesia telah ikut serta, bersamasama dengan gereja-gereja di seluruh dunia, dalam Sidang
Raya itu. Hasil pergumulan bersama gereja-gereja itu telah
memperkaya pemikiran gereja-gereja di Indonesia dalam
menjalani tahun-tahun yang lampau dan masih bermanfaat
untuk memasuki tahun-tahun mendatang.
15.
Dalam rangka usaha untuk menetapkan PTPB, Sidang Raya
XV PGI 2009 di Mamasa – Sulawesi Barat berusaha untuk
memahami
tantangan-tantangan
dan
kesempatankesempatan bagi pelaksanaan tugas panggilan gereja-gereja
di Indonesia pada masa bakti 2009-2014.
47
16.
Berpedoman pada tema Sidang Raya XV PGI itu, gerejagereja di Indonesia diserukan untuk memohon agar
dimampukan sebagai abdi Allah yang meneladani Yesus
Kristus mengambil bagian penuh dalam segala usaha untuk
mengatasi semua persoalan terhadap kelangsungan hidup,
baik di dunia pada umumnya, maupun di Indonesia pada
khususnya.
17.
Dalam kehidupan negara dan bangsa kita, pada masa bakti
2009-2014 kita bersama-sama dengan berbagai komponen
bangsa terpanggil untuk mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society) dengan menghormati kemajemukan sebagai sesuatu yang sudah demikian sejak semula,
bahkan sebagai pilar penting dari kesatuan bangsa.
Bersama-sama dengan seluruh komponen bangsa kita
memajukan sikap hidup kekeluargaan yang inklusif sebagai
basis bagi terciptanya keadilan dan kedamaian di dalam
masyarakat, serta memajukan nilai-nilai demokratis di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
18.
Dalam masa lima tahun ke depan (2009-2014) kita tetap
bertekad melaksanakan pembaruan, pembangunan, dan
persatuan gereja sebaik-baiknya dengan melakukan
introspeksi di dalam kehidupan bergereja kita. Kita tetap
melakukan evaluasi mengenai hakikat keesaan kita di
tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia. Sesungguhnya gerakan oikoumene tidak sekadar mewujudkan
Gereja Kristen yang Esa (GKYE), melainkan berusaha agar
bumi kita ini layak didiami. Maka semboyan “Gereja bagi
Orang Lain” yang dicetuskan dalam Sidang Raya XIV PGI
tetap dilanjutkan dengan semakin mendasarkannya pada
keyakinan bahwa Tuhan memang baik kepada semua orang.
Oleh karena itu, gereja terpanggil untuk mewujudkan
solidaritas, pembebasan, dan pemberdayaan bagi semua
orang.
48
19.
Berdasarkan pengalaman, kita juga menyadari bahwa kita
harus berusaha agar hubungan-hubungan oikoumenis kita,
baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, secara langsung
atau tidak langsung mempunyai pengaruh positif dan tidak
mempunyai pengaruh negatif atas tugas panggilan kita.
20.
Berdasarkan hal-hal yang tercantum di atas, disusunlah
“Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama” untuk masa bakti
2009-2014 dengan garis besar sebagai berikut:
a. keesaan, yaitu membarui, membangun dan mempersatukan gereja dengan sorotan khusus kepada kenyataan
persekutuan kita di dalam pluralitas;
b. kesaksian, yaitu memberitakan Injil kepada segala
makhluk sebagai pelaksanaan misi Allah dalam
kehidupan bersama ciptaan lainnya;
c. pelayanan, yaitu berperan-serta dan melayani dalam
masyarakat yang sedang berada dalam proses
mewujudkan masyarakat berkeadaban dengan memberi
tekanan pada keadilan, pelayanan dan penegakan HAM,
harkat dan martabat manusia.
49
BAB I
KEESAAN
MEMBARUI, MEMBANGUN, DAN MEMPERSATUKAN GEREJA
A. ARTI MEMBARUI, MEMBANGUN, DAN MEMPERSATUKAN
GEREJA
21. Membarui, membangun dan mempersatukan gereja, berarti:
a. Menguji keadaan gereja, termasuk bentuk-bentuk
pengungkapan ibadahnya, dan seluruh warganya di bawah
bimbingan Roh Kudus, untuk melihat sampai di mana
keadaan gereja itu sesuai atau tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan bagi gereja seperti diungkapkan dalam
Firman Allah; dan sekaligus menilai sampai di mana
keadaan gereja itu sepadan atau tidak sepadan dengan
tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja
kita di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara
Indonesia yang sedang menuju masyarakat berkeadaban
(civil society).
b. Di bawah bimbingan Roh Kudus gereja mengupayakan
secara realistis pembaruan-pembaruan dan pertumbuhan
agar keadaan gereja menjadi lebih sesuai dengan
kehendak Tuhan bagi gereja seperti diungkapkan dalam
Firman Allah dan menjadi lebih sepadan dengan tugas
panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di
tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
yang sedang menuju masyarakat berkeadaban (civil
society).
22.
Membarui gereja:
a. Membarui gereja adalah tugas panggilan terus-menerus
bagi orang-orang percaya. Sebagai tubuh yang hidup dari
Kristus yang hidup, gereja harus selalu berusaha
menempatkan dirinya di bawah sorotan Firman Allah.
50
Sama seperti setiap orang percaya, gereja harus selalu
bersedia untuk mengadakan pertobatan dan pembaruan
budi di bawah terang Firman Allah.
b. Membarui gereja juga berarti bahwa sebagai lembaga
yang terlibat dalam perkembangan sejarah, baik sejarah
gereja maupun sejarah bangsa dan sejarah bangsabangsa, gereja harus terus-menerus menguji roh zaman
dan berusaha agar dia tidak ditinggalkan oleh
perkembangan sejarah, tetapi justru ikut membentuk
sejarah itu. Untuk itu pembaruan budi harus terusmenerus dilakukan dalam kehidupan gereja.
c. Membarui gereja memuat pula pengertian pembaruan
dalam pemikiran teologi, gaya hidup dan pola
kelembagaan gereja secara kreatif dan terus-menerus, di
bawah bimbingan Roh Kudus.
23.
Membangun gereja:
a. Membangun gereja pada dasarnya berarti memenuhi apa
yang tertulis dalam Efesus 4:12-16, yaitu “pembangunan
Tubuh Kristus sampai kita semua telah mencapai
kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak
Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang
sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan
lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh ruparupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia
dalam kelicikan mereka yang menyesatkan, tetapi dengan
teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita
bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang
adalah Kepala. Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi
tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua
bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap
anggota menerima pertumbuhannya dan membangun
dirinya dalam kasih.”
b. Membangun gereja sebagai “pembangunan tubuh
Kristus” juga berarti menggunakan segala nilai budaya,
penge-tahuan, ketrampilan, dan pengalaman modern
51
yang positif agar terjamin adanya pengelolaan yang
sebaik-baiknya, dengan tetap terjamin agar nilai-nilai
budaya, pengetahuan ketrampilan dan pengalaman
modern itu memperkuat dan tidak melemahkan gereja
sebagai “Tubuh Kristus”.
c. Membangun gereja berarti juga memberikan perhatian
yang sungguh-sungguh kepada pertumbuhan gereja (bdk.
Ef. 4:15-16). Dengan menyadari sepenuhnya bahwa baik
pembangunan maupun pertumbuhan gereja itu pertamatama adalah pekerjaan Roh Kudus yang memakai
manusia sebagai alat-Nya, gereja terpanggil untuk
menggunakan segala karunia yang ada padanya untuk
terus bertumbuh dan membangun dirinya. Sebagai
persekutuan yang dinamis, pembangunan dan
pertumbuhan gereja itu harus berlangsung terusmenerus (bdk. Ef. 4:13).
d. Pertumbuhan gereja pada hakikatnya bersifat ganda, baik
intensif maupun ekstensif. Intensif dalam arti
peningkatan kualitas keimanan seluruh warga gereja
sebagai orang percaya yang dewasa, dan tidak mudah
diombang-ambingkan oleh “rupa-rupa angin pengajaran,
oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka
yang menyesatkan” (Ef. 4:14). Ekstensif dalam arti
pertumbuhan orang-orang percaya dan pertumbuhan
gerak dan jangkauan yang menyebar ke seluruh penjuru
dunia: “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh
Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria
sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).
e. Dengan demikian dalam rangka pembangunan dan
pertumbuhan gereja, pembinaan segenap warga gereja
menjadi mutlak penting. Demikian juga kegiatan
evangelisasi dan pekabaran Injil akan berjalan seimbang,
sehingga tidak seorang pun anggota gereja terlupakan.
Sehubungan dengan itu lembaga-lembaga pendidikan
teologi perlu memberi perhatian yang lebih sungguh-
52
sungguh
kepada
pneumatologi.
24.
pemahaman
eklesiologi
dan
Mempersatukan gereja:
a. Mempersatukan gereja berarti memenuhi apa yang
tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakkan
keesaan yang telah ada dalam Tuhan yang satu secara
lebih nyata, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai satu
kesaksian. Hal itu berarti bahwa keesaan gereja tidak
hanya dalam arti rohani saja, melainkan juga dalam
bentuk yang nyata bagi dunia.
b. Keesaan gereja itu perlu mengambil bentuk-bentuk yang
terdapat dalam dunia. Gereja-gereja di Indonesia mulamula lahir dalam bentuk-bentuk keesaan di kalangan
kehidupan suku-suku dan daerah-daerah tertentu.
Sekarang ini gereja-gereja kita sedang berusaha keras
untuk mewujudnyatakan keesaan gereja di tengah-tengah
kehidupan bangsa Indonesia.
c. Namun demikian, di sisi lain hakikat dan pola keesaan
gereja tidak sama dengan hakikat dan pola kesatuan
seperti yang terdapat di dalam dunia. Sebab keesaan
gereja itu adalah keesaan yang sama dengan keesaan
Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus, keesaan
relasional yang sinergis.
d. Struktur keesaan gereja itu tidak disusun atas kekuasaan
seperti yang terdapat di dalam dunia, melainkan atas
persekutuan, pelayanan dan kasih (bdk. Mat. 18:1-5; Luk.
22:24-38; Mrk. 10:35-45). Struktur keesaan itu harus
menjamin efisiensi dalam memahami dan menjalankan
tugas panggilan bersama. Sehubungan dengan itu
keesaan gereja harus berakar pada warga jemaat,
sehingga keesaan itu tidak sekadar dilihat sebagai
masalah kelembagaan, tetapi adalah panggilan
menyeluruh semua orang percaya.
e. Mempersatukan gereja-gereja di Indonesia yang dulu
lahir dan tumbuh terpisah-pisah dan tersendiri-sendiri,
53
tidak berarti menghilangkan segala anugerah dan karunia
yang telah diterima dari Tuhan dalam sejarah gerejagereja itu, melainkan menempatkan segala anugerah dan
karunia itu dalam kerangka keesaan yang lebih besar
sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa Indonesia. Itu
berarti bahwa dalam kerangka keesaan itu terjamin
adanya ruang gerak bagi keaneka-ragaman. Dalam
kenyataan itu bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
harus dijunjung tinggi.
B. PERLUNYA MEMBARUI, MEMBANGUN DAN MEMPERSATUKAN GEREJA
25.
Pada satu pihak, kita percaya bahwa, di dalam iman, semua
gereja telah satu, sebab semuanya adalah ungkapan dari
gereja yang kudus, am dan rasuli, yaitu persekutuan orangorang percaya di semua tempat dan segala zaman. Pada
pihak lain, adalah kenyataan bahwa gereja-gereja itu
terpisah-pisah bahkan terpecah-pecah. Hal itu berarti
adanya tugas panggilan bagi semua gereja untuk menjadi
satu, agar keesaan yang telah ada dalam Tuhan yang satu itu
menjadi kenyataan yang dapat dilihat oleh dunia. Sebab
keesaan gereja itu adalah kesaksian di hadapan dunia
seperti tercantum dalam Yohanes 17:21 “Supaya mereka
semua menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa, di dalam
Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam
kita, supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah
mengutus Aku.”
26.
Dalam kesetiaan kepada tugas panggilan “untuk menjadi
satu” itu, maka dengan bimbingan Roh Kudus, gereja-gereja
di Indonesia, yang mula-mula lahir dan tumbuh secara
terpisah-pisah dan sendiri-sendiri di berbagai daerah dan
kalangan berbagai suku, telah membentuk Dewan Gerejagereja di Indonesia (DGI) pada tanggal 25 Mei 1950, dengan
54
tujuan “Pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia”.
Dengan demikian maka gereja-gereja tersebut tidak lagi
merupakan gereja-gereja yang terpisah-pisah dan
tersendiri-sendiri. Sebab dengan pembentukan DGI itu,
gereja-gereja anggotanya terlibat dalam proses untuk
mengesa atau menyatu menuju “Mewujudkan Gereja Kristen
Yang Esa di Indonesia”, sambil menjalankan tugas panggilan
bersama dengan melihat seluruh Indonesia sebagai satu
wilayah kesaksian dan pelayanan bersama. Sejarah bersama
ini telah membawa gereja-gereja di Indonesia makin mampu
keluar dari keterbatasan-keterbatasannya sehingga Sidang
Raya X DGI tahun 1984 di Ambon telah memutuskan untuk
melanjutkan dan meningkatkan wadah kebersamaan Dewan
Gereja-Gereja di Indonesia menjadi Persekutuan Gerejagereja di Indonesia.
27.
Berdasarkan tema Sidang Raya XV PGI 2009, gereja-gereja di
Indonesia secara sadar memahami dirinya sebagai
persekutuan yang berada di tengah-tengah dunia, yang
terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan antar-golongan
(SARA) bahkan kepentingan. Gereja-gereja yakin bahwa
mereka dipanggil oleh Allah untuk menjadi umat-Nya yang
terpilih (Yoh. 15:16). Mereka memang tidak berasal dari
dunia (Yoh. 15:19), namun tetap berada di dalam dunia
(Yoh. 15:17-18). Dalam keyakinan ini, gereja-gereja
menjalankan tugas panggilannya sebagai saksi-saksi Kristus
di tengah-tengah masyarakat majemuk Indonesia, untuk
menjembatani yang terputus dan menyatukan yang terpisah.
28.
Keyakinan bahwa Tuhan itu baik kepada semua orang
semakin meyakinkan gereja-gereja akan peranannya sebagai
pembawa kebaikan bagi sesama manusia dengan bersamasama mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadaban
(civil society), inklusif, adil, damai dan demokratis,
sebagaimana ditegaskan oleh sub-tema Sidang Raya XV.
Dengan demikian, sebagaimana ditegaskan dalam Sidang
55
Raya XIV (2004) kita tetap meminta dan meyakini kehadiran
Roh Kudus sebagai Roh Pembaharu agar memperbarui budi
kita untuk mampu menyatakan kebaikan Tuhan kepada
semua orang meruntuhkan tembok-tembok pemisah yang
didasarkan atas perbedaan kelamin, kelas, sosial-ekonomi,
ras, suku, agama, bahasa, asal, dan sebagainya, serta
membebaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan lingkungan masing-masing dan bersama-sama memasuki
konteks baru Indonesia yang tidak diskriminatif.
29.
Berdasarkan pengalaman gereja-gereja dalam menghadapi
tantangan dan kesempatan yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat, bangsa dan negara, maka disadari bahwa
bahaya keterpencilan dan bahaya ikut-ikutan saja bagi
gereja-gereja itu di tengah-tengah perjalanan bangsa ke
masa depan hanya dapat dielakkan apabila gereja-gereja itu
membarui, membangun dan mempersatukan dirinya serta
membarui budi di bawah bimbingan Roh Kudus,
C. GERAK BERSAMA MENUJU KEESAAN GEREJA
30.
Dalam kesetiaan kepada tugas panggilan “untuk menjadi
satu”, gereja-gereja itu tidaklah merupakan gereja-gereja
yang terpisah-pisah, lepas satu sama lain, melainkan satu
kesatuan demi tujuan bersama. Gereja-gereja terlibat dalam
proses untuk mengesa menuju “Pembentukan Gereja Kristen
Yang Esa di Indonesia”, sambil menjalankan tugas panggilan
bersama dengan melihat seluruh Indonesia sebagai satu
wilayah kesaksian dan pelayanan bersama.
31.
Dijiwai oleh tema dan sub-tema Sidang Raya XV PGI 2009,
gereja-gereja memahami dirinya sebagai persekutuan yang
ditempatkan Tuhan di bumi Indonesia yang masyarakatnya
sangat majemuk dari segi SARA untuk meneruskan dan
56
memancarkan kebaikan Tuhan di dalam segala bidang
kehidupan.
32.
Menilik pengalaman gereja-gereja menghadapi tantangantantangan di dalam masyarakat, bangsa dan negara yang
sedang berada di dalam era reformasi, timbul kekuatiran
adanya bahaya keterpencilan ataupun “ikut-ikutan” pada
gereja-gereja dalam ziarah bersama mereka ke masa depan.
Namun demikian, bahaya-bahaya tersebut dapat dihindari
apabila gereja-gereja membuka diri untuk diperbarui,
dibangun dan dipersatukan oleh Roh Kudus melalui
pembaruan budi (Rm. 12:2b).
33.
Dalam rangka gerak bersama ke arah keesaan gereja-gereja
di Indonesia, pendekatan-pendekatan berikut yang lahir dari
pergumulan-pergumulan situasi kita di Indonesia akan tetap
dikedepankan:
a. Menghormati dan menghargai identitas tiap-tiap gereja.
Penghormatan itu dilihat dalam rangka identitas bersama
sebagai Gereja Kristen di Indonesia. Identitas bersama itu
terpancar dari Pribadi dan Karya Kristus yang menggarami tiap-tiap identitas;
b. menghormati dan menghargai sejarah tiap-tiap gereja
sebagai sejarah bersama;
c. menghormati dan menghargai tugas panggilan tiap-tiap
gereja sebagai tugas panggilan bersama;
d. menghormati dan menghargai kewenangan tiap-tiap
gereja untuk mengatur kehidupan di dalam gerejanya
masing-masing. Namun kewenangan itu dilihat sebagai
pengejawantahan kewenangan bersama yang dikaruniakan Kristus kepada jemaat-Nya;
e. menghormati dan menghargai pengembangan teologi,
daya, dan dana tiap-tiap gereja. Semuanya itu dilihat
sebagai pengembangan bersama dan tugas panggilan
bersama di seluruh Indonesia.
57
f. Kelima hal di atas dapat terwujud dalam kebersamaan di
tingkat lokal dan wilayah. Oleh karena itu PGI
Wilayah/SAG, PGI Setempat/PGID dan POUK mempunyai
peranan penting dalam gerak bersama ke arah keesaan
gereja-gereja itu.
34.
Dengan memperhatikan semua yang dikemukakan di atas,
pada masa bakti 2009-2014 PGI semakin menggiatkan
berbagai upaya kebersamaan melalui program-program
konkret di aras masing-masing.
D. WUJUD PERSEKUTUAN
D1. PANGGILAN OIKUMENIS SEMESTA
35.
Berdasarkan pengakuan bahwa tiap gereja adalah ungkapan
dari gereja yang esa, kudus, am dan rasuli, dan bahwa semua
gereja di segala zaman dan tempat terpanggil untuk
melaksanakan tugas panggilan gereja yang sama dan satu,
yaitu memberitakan Injil, maka gereja-gereja di seluruh
dunia bertanggungjawab melaksanakan tugas panggilan itu
di dalam persekutuan dan kerjasama, serta saling
menghormati dan menghargai keberadaan masing-masing.
Di dalam mengemban panggilan oikumenis semesta maka
hubungan dan kerjasama perlu terus dibina.
36.
Yang dimaksud dengan hubungan-hubungan oikumenis
ialah pertama-tama hubungan dengan gereja-gereja dan
lembaga-lembaga Kristen di Indonesia yang tidak atau
belum menjadi anggota PGI. Hubungan dengan mereka juga
patut dilanjutkan, ditingkatkan, diperluas dan diperdalam.
37.
Selain itu, yang dimaksud dengan hubungan-hubungan
oikumenis ialah hubungan dengan gereja-gereja dan
lembaga-lembaga Kristen di luar Indonesia.
58
38.
Dalam rangka hubungan-hubungan oikumenis di Indonesia,
hubungan dengan KWI patut dilanjutkan, ditingkatkan,
diperluas, dan diperdalam melalui bentuk dialog dan
kerjasama.
39.
Hubungan dengan gereja-gereja dan lembaga- lembaga
Kristen yang tidak atau belum berada dalam lingkungan PGI
juga patut dilanjutkan, ditingkatkan, diperluas dan
diperdalam.
40.
Dalam rangka hubungan ini, pada satu pihak perlu diperkuat
kesadaran mengenai adanya tugas panggilan bersama yang
diterima dari Tuhan yang satu dan bersama-sama harus
dilaksanakan di satu wilayah bagi kesaksian dan pelayanan
bersama, yaitu Nusantara Indonesia, dalam wilayah Negara
Pancasila bagi terwujudnya masyarakat yang berlandaskan
hukum, keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia.
41.
Pada pihak lain perlu ditingkatkan komunikasi untuk
menghilangkan anekaragam salah paham dan pra-anggapan
yang dapat mempertajam adanya perbedaan.
42.
Hubungan-hubungan dengan gereja-gereja dan lembagalembaga Kristen di luar negeri termasuk lembaga/
persekutuan Kristen warga negara RI di luar negeri, patut
dilanjutkan, ditingkatkan, diperluas, dan diperdalam sebagai
ungkapan dari keuniversalan gereja:
a. Bentuk-bentuk, cara-cara dan isi dari hubungan
oikumenis dengan gereja-gereja dan lembaga-lembaga
Kristen di luar negeri baik secara bilateral (dua pihak)
mau pun secara multilateral (banyak pihak) direncanakan, ditetapkan, dan dilaksanakan bersama-sama dalam
jiwa kemitraan untuk saling melayani, saling membantu
59
dalam ketenagaan, pengalaman, sesuai dengan
kebutuhan, kemampuan, dan kerelaan masing-masing.
b. Mengusahakan agar bentuk-bentuk, cara dan isi
hubungan oikumenis dengan gereja-gereja dan lembagalembaga Kristen di luar Indonesia merupakan faktor yang
men-dukung pelaksanaan PTPB dan menunjang
pembinaan dan persatuan gereja-gereja.
43.
Dengan memperhatikan semua hal di atas, maka pada masa
bakti 2009-2014 PGI dan gereja-gereja di Indonesia
berupaya untuk:
a. melanjutkan, meningkatkan, memperluas dan memperdalam hubungan dengan gereja-gereja, baik di dalam
maupun di luar negeri, sesuai dengan kebutuhan dan
pada aras masing-masing;
b. melanjutkan, meningkatkan, memperluas dan memperdalam relasi dengan KWI, PGLII, PGPI, Bala Keselamatan,
dll. di Indonesia dalam bentuk dialog dan kegiatankegiatan bersama yang konkret.
D2. Kemandirian di Bidang Teologi, Daya dan Dan Dana1
44.
1
Kemandirian di bidang teologi, daya dan dana adalah bagian
integral dalam persekutuan gereja (uraian selengkapnya
tentang hal ini lihat dokumen “Kemandirian di bidang
Teologi, Daya dan Dana”). Hal ini merupakan suatu proses
yang memerlukan perencanaan yang cermat dan
pelaksanaan yang tekun, baik secara bersama-sama pada
tingkat lokal, regional dan nasional, maupun dalam
kehidupan masing-masing gereja.
PTPB 2004-2009 ini kembali menggunakan istilah Kemandirian Teologi, Daya
dan Dana, mengacu pada dokumen “Kemandirian Teologi, Daya dan Dana” yang
terdapat pada LDKG hasil Sidang Raya XII/1994, dan tidak lagi menggunakan
istilah ataupun mengacu pada dokumen “Saling Menopang di Bidang Daya dan
Dana”
60
45.
Kemajuan dalam persekutuan gereja dengan mengusahakan
kemandirian di bidang teologi, daya dan dana akan tercapai
jika semua anggota gereja (laki-laki, perempuan, pemuda,
remaja, anak-anak) ikut-serta secara aktif, kreatif, dan
bertanggungjawab dalam perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan. Diperlukan juga keikutsertaan semua lembaga
gerejawi dan lembaga keumatan, seperti: sekolah-sekolah
teologi, pusat-pusat pembinaan warga-gereja, lembagalembaga pendidikan umum, dan sebagainya.
46.
Dalam rangka kemandirian teologi, daya dan dana
diperlukan usaha pembaruan gereja yang meliputi:
a. pengembangan teologi kontekstual;
b. pemahaman yang benar tentang keberadaan dan peranan
perempuan dan laki-laki baik secara fungsional maupun
struktural di dalam gereja dan masyarakat dalam terang
Firman Tuhan;
c. peranan keluarga yang strategis dan penting dalam
pelayanan, khususnya dalam rangka peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) maupun dalam rangka
pengembangan hubungan yang sejajar antara laki-laki
dan perempuan;
d. perhatian khusus pada pembinaan/pengembangan
pemuda dan anak-anak. Perhatian ini diberikan sebagai
kesinambungan kehidupan gereja dan sikap hidup
kristiani. Pemuda dan anak-anak mestilah menjadi bagian
dari program pembinaan warga gereja yang terpadu dan
meliputi semua kalangan;
e. perhatian gereja pada pembinaan mahasiswa dan kaum
intelektual (termasuk masyarakat Perguruan Tinggi).
Gereja juga perlu memperhatikan pelayanan dan pembinaan kaum profesional, dan itu dijadikan bagian dari
program pembinaan warga gereja yang diselenggarakan
secara terpadu dan meliputi semua bidang.
61
47.
Secara khusus perlu diusahakan agar warga gereja yang
mempunyai kedudukan dan tanggung jawab dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di berbagai bidang
kehidupan mengambil bahagian secara aktif dan
bertanggung jawab dalam pemikiran dan kegiatan-kegiatan
untuk membarui, membangun, dan mempersatukan gereja
dengan mengusaha-kan kemandirian di bidang teologi, daya
dan dana.
48.
Dengan memperhatikan semua yang dikemukakan di atas,
pada masa bakti 2009-2014 PGI perlu:
a. mendorong semua warga-gereja (laki-laki, perempuan,
pemuda, remaja, anak-anak) di dalam lingkungannya
masing-masing untuk terlibat secara aktif dalam berbagai
program yang diusahakan gereja guna memenuhi tujuan
kemandirian di bidang teologi, daya dan dana;
b. menyesuaikan pelaksanaan program itu dengan
kebutuhan di aras masing-masing, dan juga secara
kategorial.
D3. Keadilan
Jender,
Perlindungan Anak
49.
Pemberdayaan
Pemuda
dan
Meski telah banyak usaha yang dilakukan oleh gereja-gereja
di Indonesia untuk mengatasi masalah ketidak-adilan jender,
fakta memperlihatkan bahwa masih banyak terjadi praktik
kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anakanak. Praktik tersebut bersumber pada struktur sosial dan
budaya patriarkis yang cenderung hierarkis, memusatkan
kekuasaan pada diri seseorang, eksklusif dan elitis.
Akibatnya hanya sekelompok orang tertentu saja yang
dianggap memiliki otoritas sebagai penentu dan pengambil
keputusan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat,
sehingga menciptakan peluang terjadinya subordinasi dan
dominasi dari kelompok berkuasa atas yang lain.
62
50.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu dilakukan
pemaknaan kembali panggilan dan pengutusan gereja
sebagai rumah tangga Allah (God’s household) yang aman
dan memulihkan bagi semua, sekaligus menjadi alat karya
penyelamatan Allah bagi dunia. Dalam hal ini gereja-gereja
mengakui peran dan kontribusi perempuan dan anak-anak
dalam pembangunan jemaat dan masyarakat. Pada pihak
lain, gereja-gereja mengakui bahwa masih terjadi kekerasan
dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak. Oleh
karena itu gereja-gereja perlu melakukan pembaruan
pikiran dan praksis teologi yang membebaskan demi
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan.
51.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka pada
masa bakti 2009-2014 PGI:
a. secara proaktif memperkembangkan program-program
yang secara serius mengangkat kesetaraan jender;
b. ikut secara proaktif membina warga jemaat (umat,
anggota) agar tidak mempraktikkan kekerasan di dalam
rumahtangga (KDRT), dan seterusnya;
c. secara proaktif membina warga jemaat (umat, anggota)
agar turut menanggulangi berbagai penyakit masyarakat
seperti penggunaan narkoba, mabuk-mabukan, prostitusi,
judi, pola hidup konsumtif, dan seterusnya;
d. secara proaktif mendorong warga gereja agar memperhatikan kesehatan reproduksi antara lain dengan
mencegah penyebaran HIV/AIDS.
e. mencermati dan menyiasati berbagai UU dan perda yang
cenderung mendiskriminasi perempuan dan anak-anak.
f. memperkembang teologi yang tidak bias jender.
g. memperkembang pengkaderan pemuda yang teratur dan
sistematis agar pemuda mempunyai kemungkinan
menjadi pemimpin di masa depan.
h. memberi perhatian yang lebih serius kepada pembinaan
anak-anak di semua aras, agar sejak dini disiapkan kader
pemimpin dan pelayan gereja dan masyarakat.
63
i. mencermati kurangnya perhatian gereja terhadap
pelayanan anak dan persoalan anak, baik di dalam gereja
(seperti kurangnya fasilitas dalam ibadah anak, minimnya
anggaran biaya untuk pelayanan anak dan sumber daya
pelayanan anak yang kurang trampil dan kompeten)
maupun di dalam kiehidupan bermasyarakat (seperti
kekerasan terhadap anak, penularan HIV/AIDS,
trafficking, pekerja anak, anak berkebutuhan khusus, dan
anak terlantar)
j. secara sungguh-sungguh meningkatkan pembinaan
kepada kaum laki-laki/bapak-bapak agar mewujudkan
keadilan jender dan dapat membina kehidupan keluarga
sesuai dengan prinsip-prinsip kristiani.
64
BAB II
KESAKSIAN (MARTURIA)
BERSAKSI DAN MEMBERITAKAN INJIL KEPADA SEGALA
MAKHLUK
A. ARTI INJIL DIBERITAKAN KEPADA SEGALA MAKHLUK
52.
Sidang Raya VII DGI 1971 di Pematang Siantar menyatakan
bahwa tugas gereja ialah memberitakan Injil Yesus Kristus.
Selanjutnya dikatakan bahwa Injil adalah “berita kesukaan
mengenai pertobatan dan pembaruan yang tersedia bagi
manusia (bdk. Mrk.1:15) serta kebebasan, keadilan,
kebenaran dan kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan
untuk dunia (bdk. Luk.4:18-21).”Sebab Injil adalah kekuatan
Allah yang menyelamatkan manusia.” (Rm.1:16).
53.
Memberitakan Injil kepada segala makhluk mengandung
makna tanggungjawab terhadap keutuhan ciptaan Tuhan.
Tuhan memberi mandat untuk mengusahakan dan
memelihara segala ciptaan Tuhan (bdk. Kej.2:15). Karena
dosa manusia bumi pun ikut terkutuk (bdk. Kej. 3:17-18 dan
ditaklukkan kepada kesia-siaan dan perbudakan kebinasaan.
Segala makhluk ikut mengerang merasa sakit bersalin
menanti kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah (Rm.8:2022). Allah menghendaki pulihnya kembali hubungan utuh
dan menyeluruh antar-segala makhluk (bdk. Yes.11:1-10).
Kristus datang untuk membarui segala sesuatu (bdk.
Why.21:5) dan di dalam Kristus kita adalah ciptaan baru
(bdk. 2 Kor.5:17).
54.
Dengan demikian, gereja-gereja di Indonesia menegaskan
bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan
menyeluruh. Injil bukan berita yang berkeping-keping yang
didalamnya kepingan yang satu dipertentangkan dengan
65
kepingan yang lain, seperti misalnya mempertentangkan
kepingan (segi) “vertikal” dengan kepingan (segi)
“horizontal”. Injil itu menyangkut keseluruhan hidup
makhluk, tidak hanya perkara sorga tetapi juga perkaraperkara sekarang dan di sini.
55.
Orang-orang Kristen sendiri, baik sebagai perorangan
maupun persekutuan, yaitu gereja, harus terus-menerus
menempatkan diri di bawah terang Injil, agar kehidupannya
dapat berpadanan dengan Injil Kristus (bdk. Flp. 1:27).
Sebab mereka memerlukan pengampunan, pertobatan, dan
pembaruan budi terus-menerus. Dengan demikian orangorang Kristen dan gereja-gereja mempunyai wibawa untuk
memberitakan Injil kepada segala makhluk.
56.
Rasul Paulus mengatakan bahwa pemberitaan tentang
Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu
batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu
kebodohan ( I Kor. 1:23).
57.
Secara sadar sub-tema Sidang Raya XV PGI ini dimulai
dengan perkataan “bersama-sama”. Yang dimaksud di sini
adalah bahwa tugas itu tidak dapat dilaksanakan oleh
gereja-gereja sendiri, tetapi oleh semua lapisan masyarakat
termasuk pemerintah.
B. KEHARUSAN GEREJA MEMBERITAKAN INJIL KEPADA
SEGALA MAKHLUK
58.
Gereja-gereja di Indonesia lahir dari pemberitaan saksi-saksi
mulai dari kota Yerusalem, seluruh Yudea, Samaria dan
sampai ke ujung bumi (bdk. Kis. 1:8). Tugas panggilan itu
akan berlanjut sampai kepada akhir zaman (bdk. Mat.28:20),
agar Injil dapat diberitakan kepada segala makhluk (bdk.
Mrk.16:15). Gereja-gereja telah terlibat dan mengambil
66
bagian dalam perjalanan pemberitaan itu. Gereja-gereja di
Indonesia juga berada dalam perjalanan dan ikut-serta
dalam tugas panggilan gereja di semua tempat dan segala
zaman untuk memberitakan Injil kepada semua makhluk
sampai ke ujung bumi dan sampai kepada akhir zaman.
59.
Gereja-gereja di Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah
Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala
makhluk, yaitu manusia dan alam lingkungan hidupnya serta
keutuhannya. Injil yang seutuhnya itu diberitakan kepada
manusia yang seutuhnya, sebab Injil itu mencakup seluruh
segi kehidupan manusia, tidak hanya kehidupan nanti di
sorga, melainkan juga kehidupan sekarang di dunia ini. Injil
itu bukan hanya mengenai jiwa atau roh manusia, tetapi juga
mengenai seluruh keberadaannya, baik sebagai makhluk
rohani maupun sebagai makhluk politik, makhluk sosial,
makhluk ekonomi, makhluk ilmu dan teknologi, makhluk
kebudayaan, dan seterusnya.
60.
Dalam kegiatan pekabaran Injil, gereja-gereja di Indonesia
berpandangan bahwa Injil adalah untuk seluruh dunia.
Sejalan dengan itu, gereja juga memahami bahwa kegiatan
pekabaran Injil dilaksanakan oleh gereja melalui seluruh
aspek kehidupannya yang dijiwai oleh kuasa Roh Kudus.
Pandangan ini didasarkan pada penugasan Kristus sendiri
bagi gereja-Nya untuk mengabarkan Injil “sampai ke ujung
bumi” kepada “semua bangsa” “sampai kepada akhir zaman”
dengan kuat kuasa dari kehadiran Kristus yang disalibkan
dan bangkit, serta yang hadir dalam Roh Kudus di tengah
kehidupan dunia dan gereja-Nya (bdk. Mrk. 1:17;3:14;16:1516; Mat. 28:16-20; Kis. 1:8; 1 Kor. 1:17,23). Dengan
demikian, panggilan dan tanggungjawab untuk mengabarkan Injil diterima dan dipikul oleh semua warga gereja,
setiap orang percaya, sebagai pembawa amanat kesukaan
yang membebaskan itu, dengan menjadikan dunia ini, dan
67
khususnya Indonesia, sebagai satu wilayah kesaksian dan
pelayanan bersama.
61.
Oleh karena Injil yang membebaskan dan memperbarui
serta mempersatukan itu tidak terlepas dari kenyataan
penyaliban Kristus, tindakan pengosongan diri, penjelmaanNya dan ketaatan-Nya (bdk. Flp 2:7-8) maka aspek-aspek ini
harus mendasari tindakan pekabaran Injil yang
dilaksanakan oleh gereja-gereja. Itu berarti bahwa dalam
pelaksanaan pekabaran Injil gereja-gereja harus memperhitungkan keadaan lingkungan (ideologi, politik, ekonomi,
sosial budaya, agama) dengan melaksanakan pendekatanpendekatan yang lemah lembut dan hormat, dengan hati
nurani yang murni (bdk. 1 Ptr.3:15-16); serta mengembangkan dialog yang konstruktif dengan semua pihak.
62.
Peran-serta gereja yang mengabarkan Injil di dalam
masyarakat yang bereformasi dan sedang menuju
masyarakat yang berkeadaban (civil society) menuntut
gereja memberi perhatian khusus kepada korban-korban
ketidak-adilan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi
manusia, serta terhadap orang-orang miskin dan tertindas,
berhubung karena inilah masalah-masalah sosial yang peka
dan mendesak untuk diatasi.
63.
Baik para pekabar Injil yang datang ke Indonesia maupun
pekabar Injil yang dari Indonesia sendiri sudah melaksanakan tugas sesuai dengan hakikat dan sejarah gereja-gereja di
Indonesia, dan mereka terus-menerus mengambil bagian
dalam pelaksanaan tugas panggilan untuk memberitakan
Injil kepada segala makhluk sampai ke ujung bumi dan
sampai kepada akhir zaman.
64.
Gereja-gereja di Indonesia mempunyai pandangan bahwa
semua agama berkeyakinan bahwa mereka mempunyai
berita bagi semua orang. Dalam hal ini keberadaan gereja
68
tidak berbeda dengan keberadaan agama-agama lain.
Pemberitaan itu harus dijalankan dengan cara-cara yang
sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai
pula dengan keluhuran agama sendiri. Sidang Lengkap VI
DGI di Makassar pada tahun 1967 telah memberikan
pedoman mengenai usaha-usaha untuk penyampaian berita
Injil dengan mengemukakan bahwa:
a. gereja harus memberitakan Injil (bdk. Mat. 28:18-20; 1
Kor. 9:16);
b. gereja harus menempuh cara yang bijaksana (bdk. Mat.
10:16);
c. gereja harus tahan uji (bdk. Mat. 5:11).
65.
Pada masa bakti 2009-2014, di tengah bahaya pendangkalan
kehidupan kerohanian (spiritual), bahaya kekosongan jiwa
dalam usaha mengejar kepuasan materi, serta bahaya
keterasingan dan kesepian sebagai akibat peningkatan
individualisme ketika berusaha mewujudkan masyarakat
yang berkeadaban (civil society), maka gereja-gereja harus
meningkatkan pelaksanaan tugas panggilannya.
66.
Juga pada masa bakti 2009-2014 kemajemukan bangsa
dapat menimbulkan masalah, bahkan perpecahan apabila
tidak ada penghormatan terhadapnya. Di samping itu,
persoalan-persoalan yang pernah dikemukakan dalam
Sidang Raya XIV (2004) akan tetap memperoleh perhatian
gereja-gereja; mencakup: penghormatan terhadap hak-hak
asasi manusia, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi,
kolusi dan nepotisme, di samping persoalan akut
kemiskinan dan kesehatan. Oleh karena itu, mengacu pada
subtema Sidang Raya XV PGI, maka memberitakan Injil
Yesus Kristus, yang memperjuangkan perdamaian, berarti
memberi perhatian kepada masalah-masalah tersebut.
69
C. CARA-CARA MEMBERITAKAN INJIL PADA MASA BAKTI
2009-2014
67.
Dalam pemberitaan Injil, tiap makhluk dalam tiap keadaan
memerlukan cara pendekatan yang paling tepat. Itulah sikap
rasul Paulus dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang
Yahudi, orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat,
orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat,
orang-orang yang lemah: “Demikianlah bagi orang Yahudi
aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang yang hidup di
bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di
bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan
mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi mereka
yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi
seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat,
sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku
hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat
memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum
Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti
orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan
mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi
segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan
beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku
lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian
dalamnya.” (1 Kor. 9:20-23). Dalam masyarakat majemuk
dari segi kebudayaan, agama, bahasa, adat-istiadat, tingkat
kemajuan, pendidikan seperti masyarakat Indonesia,
pemberitaan Injil kepada segala makhluk dengan sendirinya
harus memperhatikan kemajemukan dalam cara dan
penekanan, dengan menggunakan semua karunia yang
majemuk yang terdapat di kalangan gereja-gereja kita.
a. Semua upaya pekabaran Injil dengan cara dan penekanan
yang beranekaragam bentuknya itu harus ditempatkan
dalam rangka pemahaman mengenai tugas panggilan
bersama dan hendaknya tidak bertentangan satu sama
70
lain, tetapi tetap mengungkapkan ketaatan bersama
kepada satu Tuhan yang memberi tugas panggilan
bersama yang dilaksanakan di wilayah kesaksian dan
pelayanan bersama yaitu Indonesia. Upaya-upaya
tersebut perlu makin dikembangkan, antara lain melalui
pemanfaatan media komunikasi.
b. Tugas bersaksi dan memberitakan Injil harus dilaksanakan dengan menampilkan keteladanan yang prima di
berbagai aspek kehidupan, sebagai wujud adanya
integralitas antara perkataan dan perbuatan (Yoh. 13:15;
1 Tim. 4:12).
68.
Mandat memberitakan Injil dipercayakan kepada gereja.
Semua warga gereja, baik sendiri maupun bersama-sama
memikul tanggungjawab mengenai pelaksanaan mandat dan
tugas panggilan gereja. Oleh sebab itu tiap warga gereja
harus dilengkapi untuk melaksanakan pemberitaan Injil
dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan karunia
dan kesempatan yang diberikan kepadanya. Gereja dapat
mengadakan
lembaga-lembaga
untuk
menjalankan
pemberitaan Injil itu secara terencana.
69.
Masyarakat Indonesia yang di dalamnya Injil diberitakan
adalah masyarakat majemuk (pluralis) dari segi suku,
agama, ras dan antar-golongan. Maka mengabarkan Injil
dalam masyarakat seperti ini mestilah mempertimbangkan
kemajemukan itu, agar “Berita Kesukaan” (Kabar Baik) yang
disampaikan tidak berubah menjadi kabar buruk bagi para
pendengarnya. Dalam masyarakat majemuk seperti itu,
kehadiran (presensia) gereja yang peka terhadap dunia
sekitarnya, proaktif di dalam mengambil prakarsa penyelesaian persoalan-persoalan bersama, dan solider dengan
nasib masyarakat, sesungguhnya adalah pemberitaan Injil.
(bnd. butir 74, 75 dan 80-83)
71
70.
Semua upaya pekabaran Injil yang beranekaragam
bentuknya dan yang dilakukan oleh gereja-gereja itu tidak
boleh saling bertentangan satu sama lain, melainkan tetap
mengungkapkan ketaatan bersama kepada Tuhan Yang Satu
yang memberi tugas panggilan bersama untuk dilaksanakan
di wilayah kesaksian dan pelayanan bersama yaitu
Indonesia.
71.
Dengan memperhatikan semua kenyataan di atas, maka
pada masa bakti 2009-2014 perlu diusahakan adanya suatu
pedoman umum yang dilaksanakan bersama-sama dalam
kemajemukan cara dan bentuk. Untuk itu sewaktu-waktu
perlu diadakan pembicaraan bersama mengenai masalahmasalah pokok yang menyangkut pemberitaan Injil kepada
segala makhluk di Indonesia, seperti misalnya masalahmasalah berikut:
a. kebebasan beragama dan kerukunan perlu semakin
dikembangkan dengan berpegang pada prinsip:
kebebasan beragama jangan dikorbankan demi
kerukunan dan kerukunan jangan dikorbankan oleh
kebebasan beragama. Hal itu dijamin oleh UUD Negara RI
1945 pasal 29 ayat (2) yang menegaskan: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, dan pasal
28E ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya ...dst.”
b. pemberitaan Injil dan keesaan gereja merupakan
kesaksian kepada dunia. Oleh sebab itu pemberitaan
tidak lepas dan tidak boleh bertentangan dengan usahausaha membarui dan membangun serta mempersatukan
gereja.
c. pemberitaan Injil dan persekutuan berkaitan erat.
Persekutuan adalah suatu bentuk pemberitaan Injil dan
72
pemberitaan Injil adalah Amanat Yesus Kristus bagi
orang-orang percaya sebagai persekutuan.
d. pemberitaan Injil kepada segala makhluk memerlukan
pemahaman yang mendalam mengenai banyak permasalahan, sehingga perlu diadakan usaha studi dan
penelitian bersama yang sebaik-baiknya dan usaha-usaha
pendidikan serta pembinaan bersama. Demikian pula
implikasi pemberitaan Injil dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dalam
pengembangan dan penerapan ilmu dan teknologi, perlu
mendapat perhatian.
e. pemberitaan dan pelayanan mempunyai integritasnya
masing-masing yang terkait satu sama lain. Keduaduanya adalah ungkapan dari tugas panggilan yang satu.
f. kemajemukan dalam cara dan bentuk perlu makin
dikembangkan antara lain dengan memanfaatkan media
komunikasi yang menggunakan teknologi yang tepat guna
dan ramah lingkungan, serta memanfaatkan budaya yang
majemuk. Pemahaman bersama bahwa kemajemukan
dalam cara-cara dan bentuk pemberitaan Injil harus
ditempatkan dalam rangka pemahaman mengenai tugas
panggilan bersama.
D. HUBUNGAN DAN KERJASAMA
72.
Gereja-gereja, bertolak dari tema dan sub-tema Sidang Raya
XV, bertekad untuk meneruskan dan memperluas hubungan
dan kerjasama dengan semua umat beragama baik di dalam
maupun di Luar Negeri sesuai dengan kebutuhan pada aras
masing-masing, sebagaimana telah dilaksanakan pada masa
bakti 2004-2009.
73.
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia menurut gambar
dan citra-Nya (bdk. Kej. 1:26). Allah adalah Allah bangsa-
73
bangsa (bdk. Mzm. 47:9-10). Ia tidak saja mengasihi Israel,
tetapi juga Edom, Mesir dan seterusnya. Yesus Kristus
memerintahkan agar kita mengasihi sesama sama seperti
diri kita sendiri (Mat 22:39). Itulah juga hakikat inkarnasi
Ilahi di dalam Yesus Kristus yang adalah Manusia bagi Orang
Lain. Atas dasar ini, maka kita menjalin relasi dengan
sesama tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan.
74.
Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, kita harus
mensyukuri kemajemukan agama-agama di Indonesia
sebagai karunia Tuhan. Di dalam terang iman, kemajemukan
mendorong kita untuk terus mempelajari dan melakukan
kesaksian dan pelayanan yang sesuai dengan konteks
kemajemukan kita.
75.
Dalam usaha gereja mewujudkan tugas panggilannya untuk
memberi kesaksian di tengah-tengah masyarakat majemuk,
maka gereja hendaklah membina hubungan dan kerjasama
dengan semua golongan termasuk dengan umat beragama.
Kerjasama itu dikembangkan sesuai dengan dasar dan jiwa
negara Pancasila di dalam rangka tanggungjawab
membangun masyarakat berkeadaban dan bermoral tinggi.
76.
Akhir-akhir ini dengan prihatin kita mencatat maraknya
fundamentalisme dan sektarianisme hampir di semua
agama. Untuk mengatasi hal tersebut semakin perlu
ditingkatkan dialog dan kerjasama antar-umat beragama
dan golongan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa untuk mencari solusi menghadapi perubahan secara
kritis, bijak, jujur, arif dan terbuka.
77.
Dalam hubungan ini perlu dikembangkan dan ditingkatkan
percakapan dan kerjasama antar-umat beragama dan
golongan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi
bersama seperti masalah kemskinan, keadilan, perdamaian,
74
sekularisme, konsumerisme, kelestarian lingkungan, hak
asasi manusia, korupsi, kolusi dan nepotisme dan
sebagainya.
78.
Bersama-sama umat beragama lain memajukan budaya
disiplin. Agama-agama pada hakikatnya merupakan sumber
motivasi dalam pengembangan disiplin. Oleh karena itu
hubungan dan kerjasama antar-golongan beragama dan
berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin
dirasakan penting untuk ikut mengembangkan dan
meningkatkan disiplin nasional..
79.
Dalam rangka membangun masa depan bersama masyarakat, bangsa dan rakyat Indonesia dengan berwawasan
Nusantara, maka hubungan umat Kristen dengan umat
beragama lainnya dan golongan berkepercayaan pada Tuhan
Yang Maha Esa perlu terus dibina dan ditingkatkan
E. PLURALISME
80.
Di dalam memberitakan Injil, gereja-gereja mempertimbangkan secara serius pluralitas Indonesia. Pluralisme adalah
pemahaman bahwa kenyataan lebih dari satu, sedangkan
pluralitas adalah kenyataan itu sendiri sebagai sesuatu
sebagaimana adanya semula. Maka pemutlakan, baik dalam
pemikiran maupun dalam sikap, adalah pereduksian
(pemiskinan) terhadap kenyataan yang maha kaya ini.
Secara
sosiologis,
pluralisme
mengakui
adanya
kemajemukan di dalam masyarakat, yang memang
mempunyai pandangan hidup yang sangat beranekaragam
sebagaimana dikonkretkan di dalam pranata-pranata sosial:
suku, etnis, ras, agama, bahkan kepentingan.
81.
Tentang pluralitas Indonesia telah disadari dari semula
ketika negara ini didirikan. Sebagai masyarakat yang
75
pluralistis, disadari pula adanya potensi-potensi kerawanan
di dalamnya. Itulah sebabnya Pancasila bukan sekadar
modus vivendi (cara hidup bersama), melainkan juga
sebagai “Rumah Bersama” yang memungkinkan tegaknya
negara dan terwujudnya bangsa ini sebagai Keluarga Besar
Indonesia. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mewujudkan
semangat kesatuan di dalam kepelbagaian itu.
82.
Di antara berbagai kerawanan oleh karakter bangsa yang
sangat pluralistis itu, maka pluralitas agama memiliki
potensi yang jauh lebih rawan. Ini terjadi karena agama
menentukan bukan saja kehidupan masa kini, tetapi juga di
masa depan. Maka adalah tugas bersama untuk memahami,
bahkan menghayati keanekaragaman di antara anak bangsa
itu. Secara lebih konkret pemahaman dan penghayatan itu
ditindak-lanjuti dengan pertemuan-pertemuan aktif antarumat beragama yang berbeda keyakinan, mengedepankan
nilai-nilai persamaan, kesediaan membangun komunikasi,
dan kesediaan bekerjasama dalam menangani masalahmasalah bersama seperti ketidak-adilan, kemiskinan,
korupsi, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. Pluralitas
dan pluralisme seyogianya tidak dilihat sebagai gangguan
terhadap iman pribadi; sebaliknya justru semua unsur dan
komponen bangsa diajak untuk berintrospeksi dalam
konteks relasi dengan umat beragama lain. Pluralitas dan
pluralisme dapat merupakan jalan bagi para penganut
agama-agama dan kepercayaan untuk menemukan kembali
panggilan dasarnya: memperjuangkan damai-sejahtera
(shalom) Allah sendiri, agar bumi ini menjadi oikos (rumah),
yakni ”tempat yang layak untuk hidup bersama di
dalamnya”.
83.
Dengan memperhatikan semua kenyataan-kenyataan di atas,
maka pada masa bakti 2009-2014 PGI memperhatikan dan
melaksanakan hal-hal berikut:
76
a. meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan teologi yang
inklusif-pluralistis dan terbuka, serta mempertimbangkan
pluralisme agama sebagai konteks berteologi;
b. membangun relasi intensif melalui dialog intra- dan
antar-umat beragama guna menghasilkan sumbangansumbangan bersama bagi kepentingan bangsa dan
kemanusiaan;
c. secara terus-menerus mengkritisi produk perundangundangan yang diskrininatif;
d. melakukan advokasi terhadap korban-korban akibat
ketidak-adilan oleh kekerasan atas nama agama, baik
terhadap umat Kristen maupun umat beragama lain;
e. mendesak dan mendorong Pemerintah, baik melalui
gerakan-gerakan politik maupun penggalangan opini
publik, untuk:
1) mengambil sikap tegas dalam menjamin hak-hak dan
kebebasan beragama dan berkeyakinan yang
merupakan hak asasi setiap warga negara, sesuai
dengan Pancasila dan UUD Negara RI 1945;
2) mendesak aparat keamanan mengambil tindakan
tegas terhadap aksi-aksi sekelompok kalangan yang
memakai cara-cara kekerasan, baik fisik maupun
simbolik, dalam menyikapi perbedaan pandangan
maupun keyakinan;
3) berinisiatif mengajukan dan mendorong proses
legislasi produk hukum yang mengikat guna
menjamin kebebasan berkeyakinan dan beribadah
secara konkret. (Dalam konteks ini jaminan ditujukan
bukan hanya kepada enam agama “resmi”, melainkan
juga terhadap agama-agama “tidak resmi”);
4) tidak mengeluarkan UU dan Perda-perda yang
diskriminatif;
5) mempertahankan dan menerapkan secara sungguhsungguh nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara
dan “Rumah Bersama” yang menjamin pluralitas/
pluralisme dan persatuan nasional.
77
F. PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBER
DAYA ALAM
84.
Sebagai manifestasi pelaksanaan tugas gereja untuk
memberitakan Injil kepada segala makhluk, maka setiap
orang percaya bertanggungjawab bagi terpeliharanya
keutuhan ciptaan. Dengan demikian setiap orang percaya
mestinya menjadi hamba-hamba Allah yang sadar
lingkungan dan berperan aktif dalam memelihara
kelestariannya.
85.
Sumber daya alam (SDA) mestinya dimanfaatkan bagi
kesejahteraan umat manusia, dengan mempertimbangkan
secara sangat sungguh-sungguh upaya-upaya pelestarian
alam dan pemeliharaan lingkungan hidup. Keharusan ini
menjamin terciptanya hidup yang damai-sejahtera dan
berkeutuhan ciptaan secara sinambung.
86.
Indonesia memiliki SDA yang kaya raya. Akan tetapi
eksploitasi alam yang terus meningkat telah menyebabkan
kualitas lingkungan hidup semakin menurun. Berbagai
kerusakan lingkungan a.l. terlihat dalam kenyataankenyataan berikut: degradasi air dan lahan/tanah,
deforestasi hutan, kepunahan jenis binatang dan tumbuhan,
perubahan atmosfir, serta degradasi masyarakat dan budaya
(kearifan lokal). Semua ini, ditambah lagi dengan makin
meningkatnya epidemi seperti demam berdarah, malaria
dan berbagai flu, yang merupakan akibat langsung atau tidak
langsung dari makin memanasnya bumi (global warming)
yang di dalamnya kita berdiam, dan yang lambat atau cepat
mengancam manusia dan alam semesta.
87.
Sebagai manifestasi tanggungjawab gereja terhadap
pelestarian lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya
alam maka pada masa bakti 2009-2014 PGI berusaha untuk:
78
a. membangun jejaring untuk bekerjasama dalam
pelestarian dan pengembangan sumber daya alam serta
lingkungan hidup;
b. menyusun kurikulum pembinaan warga gereja (termasuk
Sekolah Minggu hingga Katekisasi), lembaga pendidikan
tinggi teologi dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya
tentang pelestarian SDA;
c. membina warganya untuk melakukan penghematan
sumber daya alam sekaligus berperan-serta dalam
pelestarian lingkungan hidup, a.l. menanam pohon, tidak
sembarangan menebang pohon dan membabat hutan, dan
membatasi penggunaan pupuk kimia;
d. terus-menerus mendorong Pemerintah agar melakukan
antara lain:
(1) menyerukan penghentian sementara (moratorium)
penebangan hutan untuk tujuan komersial dan
berkonsentrasi pada rehabilitasi dan reboisasi hutan
secara intensif dan ekstensif dalam jangka waktu
lima tahun sampai sepuluh tahun;
(2) tidak memperkenankan penambangan di lingkungan
hutan lindung selama kemampuan teknologi yang
aman dan ramah lingkungan belum tersedia, serta
sumber daya manusia belum memadai;
(3) membuat pembatasan yang memadai atas pengalihan hutan rakyat menjadi komoditas industri
perkebunan seperti kelapa sawit dan tanaman
lainnya (pewilayahan komoditas), agar ekstensifikasi perkebunan yang mengubah kawasan hutan
cadangan atau areal penggunaan lain dapat
dihentikan;
(4) mengadakan pengawasan dan upaya penegakan
hukum (law enforcement) kepada siapapun tanpa
kecuali;
79
(5) mengawasi pembuatan AMDAL supaya dilakukan
secara benar dan jujur dengan melibatkan seluruh
pengampu kepentingan (stakeholder);
(6) melaksanakan dengan tegas UU dan peraturanperaturan lainnya dalam hubungan dengan polusi
dan perusakan lingkungan;
e. mendorong kalangan swasta dan dunia bisnis agar:
(1) bertanggung jawab penuh terhadap kelestarian
sumber daya alam di lokasi perusahan dan
sekitarnya;
(2) memberdayakan masyarakat demi peningkatan
kesejahteraan dan kualitas hidup warga setempat;
(3) memfasilitasi dan mendukung upaya-upaya pemeliharaan alam dan lingkungan yang dilakukan
masyarakat atau lembaga-lembaga lokal.
f. mendorong semua lapisan masyarakat agar secara
bersama-sama:
(1) menggali dan menghidupkan kembali budaya/
kearifan lokal dalam rangka pemanfaatan sumber
daya alam;
(2) berperan aktif dalam upaya pengamanan sumber
daya alam dan lingkungan di wilayahnya;
(3) mengembangkan pertanian selaras alam, seperti:
memanfaatkan
teknologi
pertanian
ramah
lingkungan, memakai pupuk organis sebanyakbanyaknya dan meminimalisi konsumsi bahanbahan
yang
bersifat
anorganik,
termasuk
penggunaan pupuk buatan;
(4) mempertahankan keanekaragaman hayati dan
budaya pertanian di wilayahnya.
80
BAB III
PELAYANAN (DIAKONIA)
BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI
A. PERLUNYA BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI
88.
2
Gereja-gereja di Indonesia berperan-serta dan melayani
dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang
sedang bereformasi mewujudkan masyarakat berkeadaban
(civil society) berdasarkan panggilan-Nya yang bersumber
pada Injil Yesus Kristus. Gereja-gereja di Indonesia, yang
mengikuti teladan Tuhan-Nya yang sudah menjadi manusia
bagi sesamanya (bdk Kej. 12:1-9; Luk. 10:25-37)2,
mengambil bagian penuh secara positif, kreatif, kritis,
realistis dan transformatif dalam semua kegiatan itu. Positif
artinya terbuka terhadap yang baik, kreatif artinya: dalam
kuat dan kuasa Roh Kudus menggantikan yang lama yang
tidak berguna dengan yang baru, atau menambahkan yang
baru pada yang sudah ada; kritis artinya melihat segala
sesuatu dalam Terang Firman Tuhan; realistis artinya
siuman/sadar akan waktu dan batas-batas kenyataan dan
tidak terbawa oleh impian kosong; transformatif artinya
selalu berupaya mewujudkan pem-baruan dengan
berdasarkan pimpinan Roh Kudus.
Tugas panggilan
tersebut tidak hanya memberikan ruang bagi gereja-gereja
untuk berperan-serta dan melayani dalam perwujudan
masyarakat berkeadaban (civil society) di Indonesia,
melainkan juga untuk mengajak dan mengharapkan peranserta secara bertanggungjawab dari semua warga-negara
dan semua golongan, berdasarkan hak dan kewajiban yang
Yang ditekankan di sini adalah gereja yang mesti menjadi manusia bagi sesama,
sedangkan dalam butir 20, yang ditekankan adalah Yesus Kristus yang menjadi
Manusia bagi orang lain.
81
sama. Sumber daya manusia tetap menjadi faktor penting,
yang di dalamnya aspek pendidikan memainkan peranan
kunci yang menentukan bagi terciptanya suatu masyarakat
menengah yang dapat menjadi basis bagi proses
demokratisasi yang sehat.
89.
Gereja berperan-serta dan melayani dalam kehidupan
masyarakat, bangsa dan Negara Pancasila untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yaitu kesejahteraan,
keadilan, kebebasan, persaudaraan, perdamaian, hukum
yang berkeadilan, dan kemanusiaan yang dikehendaki
Tuhan untuk dunia ini.
90.
Kita telah melaksanakan pembangunan nasional selama tiga
dasawarsa yang menekankan cita-cita kita pada waktu lalu
agar sebuah masyarakat modern yang adil, makmur dan
lestari berdasarkan Pancasila terwujud. Cita-cita itu belum
terwujud,
karena
pembangunan
nasional
telah
diselewengkan menjadi upaya
mempertahankan dan
melestarikan kekuasaan yang penuh dengan korupsi, kolusi
dan nepotisme. Bahaya-bahaya itu sesungguhnya telah
diprediksi dalam PTPB 1994-1999, yaitu adanya jurang yang
lebar antara yang kaya dan yang miskin, adanya ketidakadilan, kurangnya peran-serta rakyat, kesenjangan
wewenang antara pusat dengan wilayah, sentra industri
dengan wilayah pedesaan, serta langkanya kesempatan
kerja. Hal-hal ini, demikian dikatakan akan mengakibatkan
antara lain:
a. Kegagalan total pembangunan.
b. Negara menjadi negara industri modern tetapi
militeristis dan totaliter, yang menghancurkan
peradaban manusia dan negara.
c. Ketidak-stabilan politik dan terhentinya kehidupan
ekonomi yang berkepanjangan.
82
d. Kehancuran lingkungan hidup sebagai akibat eksploitasi
yang tidak bertanggungjawab terhadap sumber-sumber
daya alam.
91.
Bangsa Indonesia melakukan koreksi terhadap arah
pembangunan yang menyimpang ini dengan mencanangkan
reformasi, yang di dalamnya sebuah masyarakat
berkeadaban (civil society) berdasarkan Pancasila
diwujudkan.
92.
Tugas panggilan gereja untuk berperan-serta dan melayani
itu dapat dilihat dari beberapa segi yang saling memperkuat
dan saling memperkaya:
a. Dari segi tanggungjawab untuk mengelola, memelihara
dan melestarikan ciptaan Allah (bdk. Kej. 1:26-28; Mzm.
8).
b. Dari segi pemberitaan Injil, untuk menghadirkan tandatanda Kerajaan Allah yang telah datang, telah berada di
antara kita dan sedang dinantikan kegenapannya dalam
“langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat
kebenaran” (bdk. 2 Ptr. 3:13). Dalam hubungan ini
Sidang Raya VII DGI di Pematang Siantar (1971)
mengatakan “Gereja disuruh ke dalam dunia untuk
memberitakan Injil Yesus Kristus” dan Konsultasi
Pekabaran Injil tanggal 6-8 Juni 1994 di Sukabumi
mengatakan bahwa PI merupakan bagian dari misi
gereja yang bertujuan memanusiakan manusia
berlandaskan misi Allah (Missio Dei) dalam diri Yesus
Kristus.
c. Dari segi tanggungjawab untuk mengusahakan agar
kehidupan masyarakat didasarkan atas keadilan dan
kesejahteraan bagi semua orang tanpa membedakan
suku, ras, agama, budaya sebagai wujud kasih Allah bagi
dunia (bdk.Yer. 22:3; Am. 5:15-24).
83
93.
Ajakan dan harapan dari negara Pancasila agar semua
warganegara dan semua golongan berperan-serta mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society) atas dasar hak
dan kewajiban yang sama, antara lain diungkapkan di dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
sebagai berikut:
a. Pembukaan berbicara mengenai “mengantarkan rakyat
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”.
b. Pasal 1 ayat (2) mengatakan bahwa “Kedaulatan berada
di tangan rakyat….”
c. Pasal 27 menyatakan:
(1) “Segala warganegara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut-serta
dalam upaya pembelaan negara”.
d. Pasal 28E menyatakan:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah
menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali;
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati-nuraninya;
(3) Setiap orang berhak atas kesepakatan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
94.
Berperan-serta dan melayani dalam negara Pancasila
merupakan pelaksanaan tugas panggilan yang bersumber
84
dari Injil Yesus Kristus dan sebagai pelaksanaan serta
tanggung jawab bernegara.
95.
Pengalaman gereja menjalankan tugas panggilannya, baik
dalam era pembangunan maupun dalam era reformasi, yang
di dalamnya terjadi perubahan yang sangat cepat,
menghadapi tiga kemungkinan:
a. Gereja menjadi tersingkir, semakin terdesak dan tidak
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa dan negara, apabila gereja
ketinggalan dari berbagai gerak reformasi yang dinamis
ini.
b. Gereja ikut-ikutan saja dengan arus reformasi, sehingga
makin kaburlah misi gereja, karena dengan demikian
gereja menjadi serupa dengan dunia ini (bdk. Rm. 12:2).
c. Gereja mengikuti pekerjaan Roh Kudus yang membarui,
membangun, dan mempersatukan gereja agar semakin
mampu
menghadapi
tantangan-tantangan
dan
kesempatan-kesempatan dalam masyarakat, bangsa
dan negara yang sedang bereformasi dalam
mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil society),
dengan memberitakan Injil kepada segala makhluk,
berperan-serta dan melayani dalam mewujudkan
masyarakat berkeadaban itu.
B. TUJUAN GEREJA BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI
96.
Gereja-gereja di Indonesia, berpedoman pada Injil yang
memberitakan bahwa Tuhan menghendaki keadilan,
kesejahteraan, persaudaraan, kemanusiaan, kelestarian alam
bagi dunia dengan kedatangan Kerajaan-Nya, serta pada
Pancasila, berperan-serta dan melayani untuk:
85
a. Mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
melawan segala realitas yang hendak mengerdilkan
kehidupan keagamaan, kepercayaan, spiritual, dan etik.
b. Mengamalkan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
dengan melawan segala realitas yang merendahkan
martabat dan mempersempit hak-hak asasi manusia.
c. Mengamalkan sila Persatuan Indonesia dengan melawan
segala realitas yang dapat menimbulkan pertentangan
dan ketegangan berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
d. Mengamalkan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan dengan melawan segala realitas yang dapat
membawa ke otoritarianisme, militerisme dan
totaliterisme.
e. Mengamalkan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia dengan berusaha menghilangkan jurang
antara yang kaya dan yang miskin, serta melawan segala
realitas yang merusak lingkungan hidup.
C. CARA BERPERAN-SERTA DAN MELAYANI
97.
Sejak zaman Zending gereja-gereja telah menjalankan
kegiatan-kegiatan di bidang pendidikan, kesehatan,
pelayanan sosial, pertanian dan pengangkutan. Usaha-usaha
itu tidak hanya dijalankan oleh gereja-gereja sendiri, tetapi
juga oleh lembaga-lembaga yang secara khusus didirikan
untuk melaksanakan pelayanan di bidang-bidang tertentu.
Selama pergerakan kemerdekaan, perang kemerdekaan,
pembinaaan bangsa dalam revolusi, gereja dan orang-orang
Kristen telah turut berperan-serta di bidang politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan, militer, dsb.
86
Pada masa bakti 2009-2014 gereja melanjutkan peransertanya
dalam
memberikan
koreksi
terhadap
pembangunan nasional yang sempat menyimpang karena
kecenderungannya sebagai alat mempertahankan dan
melestarikan kekuasaan, yang di dalamnya korupsi, kolusi
dan nepotisme menjadi sangat akut, dan berperan-serta
dalam cita-cita mewujudkan masyarakat berkeadaban (civil
society), dengan memperjuang-kan hal-hal berikut:
a. Mengupayakan proses demokratisasi di bidang politik,
ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
b. Penegakan hukum yang berkeadilan dan mengabdi
kepada kepentingan nasional serta memajukan
kesadaran masyarakat terhadap budaya hukum.
c. Penegakan hak-hak asasi manusia, antara lain hak-hak
kaum perempuan dan anak, masyarakat terasing,
masyarakat adat, kaum cacat, narapidana, buruh, petani,
nelayan, dsb.
d. Mengupayakan perdamaian yang otentik, termasuk
menghilangkan akar-akar kekerasan, teror dan
terorisme dan fundamentalisme agama.
e. Mengupayakan berbagai jenis pendidikan yang
mendorong terciptanya lapangan kerja.
f. Memajukan pendidikan nasional yang mencakup:
pendidikan nilai (pembinaan spiritual, moral, dan etik)
serta pembinaan ketrampilan dan profesional yang
berbasis kewilayahan.
g. Dalam rangka civil society, berupaya memberikan civic
education dan pendidikan multikultural.
h. Membangun dan memperluas jejaring lembaga-lembaga
pendidikan di lingkungan gereja untuk saling menopang
dan meningkatkan kualitas pendidikan.
i. Pembinaan dan pelatihan kewirausahaan, pengembangan badan usaha dan koperasi.
87
j.
Peningkatan kesehatan masyarakat yang optimal dan
terjangkau bagi kalangan miskin.
D. GEREJA DAN PELAYANAN KEADILAN DAN PENEGAKAN
HARKAT DAN MARTABAT MANUSIA
98.
Dalam rangka perwujudan peran-serta dan melayani pada
masa bakti 2009-2014, maka persoalan politik dan ideologi,
penegakan hukum, keadilan, pelayanan dan pengakuan
terhadap harkat dan martabat manusia tetap diberi
perhatian penting.
D1. GEREJA, POLITIK & IDEOLOGI
99.
Umat Tuhan ditempatkan Tuhan di bumi, dan secara khusus
di dalam sebuah masyarakat dan/atau negara untuk hidup
bersama dan bergaul dengan sesama warga masyarakat/
warganegara. Karena itu umat Tuhan diserukan untuk
berdoa bagi “kota” dan ikut mengusahakan kesejahteraan
“kota”, sebab kesejahterannya adalah pula kesejahteraan
umat Tuhan (Yer. 29:7). Inilah dasar bagi umat Tuhan untuk
membangun dan hidup bersama di dalam “kota” (polis).
Umat Tuhan juga diperintahkan untuk menghormati
pemerintah, selama pemerintah mengemban pedang
keadilan bagi kesejahteraan bersama (Rm.13). Tetapi kritik
juga harus disampaikan apabila pemerintah bertindak zalim
(bdk. Why. 13).
100. Guna mewujudkan kehidupan bersama di dalam masyarakat
Indonesia yang sangat majemuk ini, gereja berkeyakinan
bahwa Tuhan mengaruniakan Pancasila kepada bangsa
Indonesia. Pancasila adalah dasar dan ideologi yang di
atasnya negara dan bangsa didirikan, tetapi juga adalah
rumah bersama yang di dalamnya semua warga
88
masyarakat/warga negara hidup. Pancasila adalah
“Perjanjian Luhur” seluruh bangsa yang mestinya dihormati
kalau kita tidak ingin bangsa dan negara Indonesia runtuh.
101. Dalam tahun-tahun terakhir ini ditengarai adanya
kecenderungan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami
krisis besar, khususnya dalam masalah kebangsaan. Hal itu
terlihat dalam sikap pengingkaran terhadap Pancasila dan
pembusukan politik (political decay). Bahkan ada
kecenderungan menggeser Pancasila dengan ideologi lain,
sebagaimana tampak dari munculnya berbagai produk
hukum dan perundang-undangan yang tidak lagi berdasar
pada Pancasila.
102. Perlu ditegaskan bahwa berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara RI 1945 telah dibayar dengan harga mahal oleh
seluruh komponen bangsa. Karena itu setiap penyimpangan
dan pereduksian terhadap nila-nilai Pancasila dan UUD
Negara RI 1945 adalah rongrongan terhadap keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pengkhianatan
terhadap “Perjanjian Luhur” tersebut.
103. Gereja mempunyai tanggungjawab politik dalam arti turut
serta secara aktif di dalam mengupayakan terselenggaranya
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat
berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia
1945 dengan memperjuangkan keseimbangan antara
kekuasaan (power), keadilan (justice) dan kasih (love).
104. Dengan memperhatikan semua kenyataan tersebut, maka
pada masa bakti 2009-2014 PGI dan gereja-gereja di
Indonesia hendaknya:
a. mendorong seluruh warganya untuk, bersama-sama
dengan komponen bangsa lainnya melawan berbagai
upaya yang mendiskreditkan Pancasila. Pancasila harus
89
tetap dipertahankan sebagai dasar dan ideologi negara,
serta rumah bersama. Untuk maksud itu berbagai upaya
dapat dijalankan guna mengawal dan menerapkan nilainilai Pancasila dalam penyusunan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia, dan mengawasi
penegakan HAM di Indonesia.
b. terus menggiatkan dan meningkatkan pendidikan
politik, yang pada masa bakti 2004-2009 telah
dilaksanakan beberapa kali, dengan penekanan pada
kehidupan bersama sebagai warga negara di dalam
masyarakat pluralis Indonesia
c. memperlengkapi warga gereja agar:
(1) setiap warga gereja memahami dan menghayati
nilai-nilai Kristiani di dalam kehidupan sehari-hari,
baik sebagai pelajar, mahasiswa, pegawai,
pedagang, wiraswasta, ataupun di dalam menekuni
berbagai profesi.
(2) setiap warga gereja yang berkecimpung di bidang
politik mempunyai wawasan kristiani, jujur, dapat
dipercaya dan mengutamakan kepentingan rakyat.
D2. GEREJA DAN PENEGAKAN HUKUM DAN HAM
105. Manusia adalah gambar dan citra Allah (Kej. 1:26-27).
Sebagai citra Allah, manusia memancarkan dan
merefleksikan sifat-sifat Allah di dalam kehidupan seharihari, baik dengan sesama maupun dengan lingkungannya.
Sifat-sifat Allah itu antara lain adalah: baik, benar, adil,
kasih. Kita dipanggil untuk merefleksikan bahwa Tuhan itu
baik kepada semua orang melalui perbuatan-perbuatan kita
yang baik dan menghargai setiap orang.
106. Karena manusia adalah gambar dan citra Allah, maka
penghormatan atas harkat dan martabatnya sebagai
90
manusia adalah juga penghormatan kepada Allah.
Sebaliknya, peng-hinaan dan pelecehan terhadapnya adalah
juga penghinaan dan pelecehan terhadap Allah.
107. Di Indonesia perhatian terhadap harkat dan martabat
manusia, terutama sejak gerakan reformasi, telah
memperoleh perhatian yang memadai. Namun kita masih
terus berusaha mewujudkannya, sebab di dalam kehidupan
sehari-hari cita-cita penghormatan terhadap harkat dan
martabat manusia belum sungguh-sungguh bertindih-tepat
dengan implemen-tasinya.
108. Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana secara jelas
tercantum dalam UUD Negara RI 1945 pasal 1 ayat 3.
Dengan demikian kehidupan ketatanegaraan, kehidupan
kebangsaan dan kemasyarakatan haruslah berdasar atas
hukum yang telah disepakati. Itu juga berarti, Indonesia
memiliki satu kesatuan sistem hukum yang dibangun
berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Pancasila
dan UUD Negara RI 1945. Maka hukum seperti itu mestinya
mencerminkan keadilan, di mana hak-hak asasi manusia
dilindungi. Itu berarti tidak ada hak istimewa yang diberikan
kepada warga negara berdasarkan suku, agama, ras, dan
antar-golongan.
109. Peraturan hukum yang diskriminatif ini sangat berpotensi
memecah-belah persatuan, tidak senafas dengan prinsip
hukum yang kita anut, yang memandang setiap warga
negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan, dan tidak sejalan dengan perlindungan HAM
yang hendak kita tegakkan. Dalam hal ini negara mestinya
memposisikan diri sebagai pelindung dari seluruh
masyarakat tanpa kecuali.
91
110. Dengan memperhatikan semua kenyataan tersebut maka
pada masa bakti 2009-2014 PGI dan gereja-gereja di
Indonesia hendaknya:
a. mengintensifkan lobby-lobby dan membentuk jejaring
dengan berbagai komponen masyarakat yang
mempunyai keprihatinan yang sama terhadap persoalan
hak-hak asasi manusia, agar hak-hak asasi manusia
sungguh-sungguh dijunjung tinggi dan dihormati melalui
berbagai perangkat hukum. Khusus di lingkungan warga
gereja, itu bisa dilakukan dengan memfasilitasi
pertemuan para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim
dan pengacara) dalam rangka pembekalan nilai-nilai
kristiani pada pelaksanaan hukum di Indonesia;
b. mengintensifkan pemikiran-pemikiran kreatif dan
konstruktif agar semua keputusan negara sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945.
c. mengintensifkan jejaring dengan berbagai komponen
bangsa untuk menolak semua RUU dan UU yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
d. membentuk Komisi Hukum dan HAM di setiap sinode
gereja-gereja, untuk terlibat dalam proses legislasi di
tingkat nasional (DPR) maupun lokal (DPRD) serta
memberikan penyuluhan hukum kepada jemaat-jemaat.
Hal ini bisa juga dilakukan lintas-agama yaitu dengan
berbagai elemen masyarakat yang mempunyai perhatian
dan keprihatinan yang sama terhadap proses legislasi
dan HAM.
D3. GEREJA DAN PENATAAN SOSIAL-EKONOMI
111. Manusia diberi mandat oleh Allah untuk menjadi
penatalayan (steward) yang baik dengan mengusahakan
bumi ini bagi kesejahteraannya (Kej. 1:28). Rumah (oikos),
yang di dalamnya manusia hidup harus dikelola dan ditata.
92
Bukanlah sebuah kebetulan apabila istilah “ekonomi”
mempunyai akar yang sama dengan “ekumene”, keduanya
mengacu pada penataan rumah agar bisa didiami secara
layak. Dalam derajat tertentu perumpamaan Yesus
mengenai talenta yang digandakan mengacu pada usaha
untuk lebih memperbaiki kualitas kehidupan. Talenta tidak
boleh ditanam di dalam tanah sehingga tidak produktif.
112. Atas dasar keyakinan itu, kita mengupayakan kehidupan
sosial-ekonomi yang baik dan lebih berkualitas, agar
sungguh-sungguh kita bisa hidup layak di dalam dunia
ciptaan Tuhan. Semua upaya-upaya sosial-ekonomi mestinya
mengarah kepada perwujudan keadilan di dalam memanfaatkan sumber-sumber alam secara bertanggungjawab,
sehingga tidak ada pihak yang lebih diuntungkan dibanding
pihak yang lain.
113. Dalam implementasinya pembangunan ekonomi di negara
kita dewasa ini ternyata lebih mengutamakan pertumbuhan
ekonomi dengan kebijakan pro pasar bebas (neo
liberalisme). Hal ini telah menghasilkan krisis multi-dimensi
yang berkepanjangan, di antaranya: kemiskinan dan
pengangguran yang tetap tinggi serta ketergantungan
pemerintah terhadap pinjaman modal baik dari dalam
mapun luar negeri.
114. Ternyata kebijakan pertumbuhaan ekonomi pro pasar bebas
ini menciptakan ketidak-adilan ekonomi dan kesenjangan
pendapatan yang makin meluas. Globalisasi ekonomi yang
dijanjikan akan membuat dunia semakin sejahtera dengan
menerapkan neo liberalisme ternyata tidak terwujud. Justru
krisis demi krisis yang muncul: keuangan, pangan, enerji,
keamanan, lingkungan hidup, dan seterusnya. Orang-orang
miskin, yang jumlahnya makin membengkak justru
menderita dampak terbesar dari berbagai krisis ini.
93
115. Jelas bahwa berbagai krisis ini disebabkan oleh penerapan
paradigma profit making yang lebih menguntungkan
kelompok dominan atau pemilik modal, yang mempunyai
etos kompetisi guna mengejar keuntungan sebesar-besarnya
dengan mengorbankan apa dan siapa saja. Dalam pandangan
gereja-gereja, ini adalah dosa dan kejahatan yang bakal
membawa kepada kematian dan kehancuran. Kecuali
diterapkan paradigma ekonomi yang pro-rakyat, maka dunia
kita bisa diselamatkan dari ancaman kematian dan
kehancuran itu.
116. Guna mencapai itu, maka gereja-gereja mendorong
diterapkannya
paradigma
pro-rakyat
sebagaimana
dipromosikan dalam dokumen AGAPE (Alternative
Globalization Addressing People on Earth – Globalisasi
Alternatif bagi Umat Manusia di Bumi): sebuah sistem
ekonomi global yang dijalankan atas prinsip cinta-kasih yang
berorientasi kepada Allah, manusia dan alam semesta, di
mana etos dominannya bukanlah pencarian untung semata,
melainkan cinta-kasih. Di sini pembangunan ekonomi
mengutamakan keadilan, damai-sejahtera, dan sukacita
bersama, dari semua untuk semua.
117. Dengan memperhatikan semua kenyataan tersebut, PGI dan
gereja-gereja bertekad untuk meningkatkan derajat hidup
dan ekonomi jemaat. Untuk itu diserukan kepada seluruh
gereja untuk:
a. menyampaikan suara kenabian yang menolak sistem
ekonomi yang tidak adil dan tidak ramah lingkungan,
serta menawarkan solusi alternatif bagi penciptaan
ekonomi yang membawa keadilan dan kesejahteraan
bagi seluruh makhluk;
b. membuka dan memperluas jejaring ke pihak swasta dan
pemerintah dan lembaga-lembaga sosial ekonomi
lainnya;
94
c. mengembangkan kewirausahaan di kalangan jemaat;
d. membangun kemitraan antar-jemaat di tingkat lokal,
nasional dan internasional, dalam rangka solidaritas
untuk menanggulangi kemiskinan;
e. memperkuat pelayanan kategorial yang oikoumenis dan
bersifat diakonial transformatif;
f. mengembangkan SDM melalui pelayanan pendidikan
dan kesehatan.
D4. GEREJA DAN BIDANG PENDIDIKAN
118. Pada masa pelayanan Yesus di dunia ini, Ia menunjukkan
pentingnya pengajaran dan pendidikan kepada muridmurid-Nya dan manusia di sekelilingnya. Dan salah satu
tugas utama yang diamanatkan kepada para murid/
pengikut-Nya adalah mengajar dan melayani, memberitakan
firman dan membaptiskan (Mat. 28:19-20). Itulah sebabnya
pendidikan dan pengajaran telah menjadi pusat perhatian
dalam kehidupan jemaat mula-mula. Dan yang menjadi
sumber dan acuan utama tugas dan muatan pendidikan dan
pengajaran itu adalah Kitab Suci (2 Tim. 3:16-17). Lewat
pendidikan dan pengajaran inilah gereja meneruskan
pewarisan iman, nilai dan pengetahuan untuk mencapai
tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus.
119. Pendidikan merupakan hak asasi dari setiap manusia dalam
proses mempersiapkan diri menuju masa depan yang lebih
baik. Dalam pasal 28 ayat 1 UUD Negara RI 1945 ditegaskan
bahwa “setiap manusia Indonesia berhak mendapatkan
pendidikan sebagai pemenuhan salah satu kebutuhan
dasarnya dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan
dan teknologi, seni dan budaya, demi peningkatan kualitas
dan kesejahteraan hidup”. Dengan demikian pendidikan
memiliki makna yang amat strategis dalam meningkatkan
95
SDM yang berkualitas demi mencapai kesejahteraan hidup.
Namun pada kenyataannya, pendidikan belum mendapat
perhatian utama dalam kehidupan bangsa kita. Realitas yang
sangat menyedihkan adalah, sejak kemerdekaan sampai saat
ini pendidikan belum menempati posisi sentral dan strategis
dalam upaya mengisi kemerdekaan dan dalam menjawab
amanat mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satu
akibatnya adalah rendahnya kualitas SDM Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara lain.
120. Gereja yang diutus Tuhan di tengah dunia memang tidak
bisa tidak harus menjadi gereja yang concern (peduli)
terhadap pergumulan dunia sekitarnya, bahkan juga
terhadap pergumulan masyarakat dan bangsanya. Tanpa
memiliki sikap seperti itu, gereja tidak lebih dari sekedar
persekutuan yang eksklusif, introvert, yang hanya menjadi
pemantau dan pengamat di tengah sejarah. Gereja wajib
memberi perhatian khusus kepada pelayanan pendidikan
dalam skala yang lebih luas, disertai peningkatan mutu
penyelenggara pendidikan dan semua peserta didiknya.
121. Dengan memperhatikan pokok-pokok pikiran tersebut, pada
kurun 2009-2014 ini, gereja-gereja hendaknya (bdk. butir
97):
a. Mengupayakan berbagai jenis pendidikan yang
mendorong terciptanya lapangan kerja
b. Memajukan pendidikan nasional yang mencakup:
pendidikan nilai (pembinaan spiritual, moral, dan etik)
dan pembinaan keterampilan dan profesional yang
berbasis kewilayahan.
c. Dalam rangka civil society, diupayakan memberikan civic
education dan pendidikan multikultural
d. Membangun dan memperluas jejaring lembaga-lembaga
pendidikan di lingkungan gereja untuk saling menopang
dan meningkatkan kualitas pendidikan.
96
e. mendorong gereja-gereja untuk memperhatikan
peningkatan kuantitas dan kualitas pendidikan guruguru, dosen yang beragama Kristen di semua jenjang
pendidikan, baik formal maupun informal, serta
membantu peningkatan pendidikan dan kompetensi
guru-guru.
f.
meningkatkan hubungan kerja sama secara sinergis
antara lembaga Kristen dalam rangka pengadaan guruguru yang kompeten; kerjasama dengan mitra-mitra dan
lembaga donor baik dari dalam maupun luar negeri
dalam rangka peningkatan kualitas SDM guru/dosen.
g. mendukung program Mejelis Pendidikan Kristen (MPK)
dalam meningkatkan kualitas kinerja/manajemen para
kepala sekolah dan kompetensi guru-guru Sekolah
Kristen melalui Program Anak Asuh yang menjadi
program prioritas bagi MPK dalam beberapa tahun
mendatang. Program Anak Asuh tersebut merupakan
program ”eksperimentasi” di mana ”sekolah yang
terbaik” di suatu daerah (di dalam suatu MPK Wilayah)
menjadi tempat belajar/magang kepala sekolah dan
guru-guru yang masih lemah dan memerlukan
pembinaan (supervisi). Hal-hal yang memerlukan
keahlian (expertise) yang lebih tinggi atau yang belum
ada di daerah tersebut, dapat dibantu oleh MPK Pusat.
Setiap tahun, kalau perkembangan sekolah-sekolah yang
dibina mendapat kemajuan, sekolah lainnya akan
mendapat giliran sebagai ”sekolah yang diasuh”.
h. melakukan kajian kritis terus-menerus terhadap
berbagai produk perundang-undangan yang berhubungan dengan pendidikan, sehingga tidak mereduksi
ciri dan identitas pendidikan Kristen.
i.
mendorong sekolah-sekolah teologi secara berkala
meninjau kurikulum yang ada sesuai perkembangan
97
pendidikan yang menjawab kebutuhan gereja dan
masyarakat.
j.
mendorong pemerintah agar memperhatikan pendidikan di pedesaan dan daerah-daerah terpencil agar
mendapat perhatian serius dalam rangka pemerataan
pendidikan.
D5. GEREJA DAN BIDANG KESEHATAN
122. Allah mengasihi manusia sehingga Ia ingin melihat manusia
berada dalam keadaan yang sejahtera (yaitu bebas dari
penyakit), yang sekaligus berada dalam hubungan yang
harmonis dengan Allah sendiri. Di dalam Keluaran 15:26,
Allah berkata “Aku, Tuhanlah yang menyembuhkan
engkau”. Tugas dan pelayanan yang dilaksanakan Yesus di
dunia adalah menyembuhkan orang sakit dan membebaskan manusia dari penderitaan. Ini dimateraikan oleh Allah
sendiri, kemudian diteruskan oleh Yesus, murid-murid-Nya,
Rasul-rasul, tua-tua sampai kepada orang-orang percaya.
Suatu kenyataan bahwa salah satu penyebab berkembangnya umat Kristen di dunia ini adalah karena
pelayanan penyembuhan itu. Gereja berkembang oleh
karena Kasih Allah dinyatakan melalui orang-orang Kristen
yang percaya.
123. Sehat adalah suatu keadaan kesejahteraan yang dinamis
dari para individu atau masyarakat dalam hal tubuh, jiwa,
ekonomi, sosial dan rohani. Suatu keadaan harmonis
dengan sesama manusia, dengan alam sekitar, dan dengan
Allah pencipta-Nya. Penyembuhan adalah suatu proses
mengembalikkan keadaan yang sakit ke arah keadaan yang
sehat. Dalam proses itu harus memperhatikan faktor-faktor
keadaan tubuh (fisik), lingkungan masyarakat (sosial), jiwa
(mental), dan hidup kerohanian (spiritualitas).
98
124.
Kesehatan adalah hak dasar manusia dan masyarakat,
sebagaimana diatur dalam UUD tahun 1945. Negara
memiliki tanggungjawab untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, menyediakan fasilitas pelayanan
yang bermutu. Upaya pelayanan kesehatan mencakup
pencegahan, pengobatan, promosi, penyuluhan, dan
rehabilitasi kesehatan. Kondisi kesehatan masyarakat,
dimana jemaat juga diam bersama, belum menggembirakan. Angka kesakitan dan kematian bayi dan ibu
melahirkan masih relatif tinggi di Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara Asia Tenggara. Angka harapan hidup
relatif rendah di antara negara-negara itu. Jumlah penderita
penyakit menular terus bertambah, padahal penyakitpenyakit ini, dahulu pernah dinyatakan bebas dari
Indonesia. Sementara upaya untuk mengurangi angka
kesakitan ini dilaksanakan, dewasa ini kita diperhadapkan
dengan penyakit-penyakit kedaruratan, seperti HIV/AIDS,
deman berdarah, flu burung, dan lain-lain. Angkanya dari
waktu ke waktu terus bertambah. Bahkan tidak jarang
membawa kepada kematian.
125.
Gereja-gereja di Indonesia telah menunjukkan kepeloporan
dalam pelayanan kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan
yang digunakan adalah rumah sakit, balai pengobatan, balai
kesejahteraan ibu dan anak, fakultas kedokteran, akademi
perawatan dan kebidanan, diperhadapkan dengan tingkat
“persaingan” dengan penyelenggara pelayanan kesehatan
yang dikelola lembaga lain, baik pemerintah maupun
swasta. Tantangan sarana ini adalah memenuhi ketenagaan
(khususnya medis), peralatan yang mengikuti perkembangan penyakit dan pembiayaan kesehatan, khususnya
untuk masyarakat (pasien) yang miskin, sebagaimana satu
misi sosial Rumah Sakit Kristen.
126.
Gereja yang diutus ke dunia memiliki tugas dan tanggung
jawab untuk menjadi gereja yang menyembuhkan bagi
masyarakat.
99
127.
Dengan memperhatikan pokok-pokok pikiran tersebut,
maka pada masa bakti tahun 2009-2014, PGI bersama
gereja-gereja di Indonesia bertekad:
a. Mendorong gereja-gereja untuk mengembangkan
pelayanan kesehatan yang holistik.
b. Mendorong upaya-upaya peningkatan angka harapan
hidup, penurunan angka kematian ibu melahirkan,
angka kematian bayi-lahir, dan peningkatan gizi bayi di
bawah lima tahun.
c. Mendorong jemaat untuk mengembangkan pola hidup
bersih dan sehat berbasis jemaat.
d. Bersama dengan masyarakat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA (narkotika, psiko-tropika dan zat
adiktif)
e. Mendorong jemaat untuk peduli dan menjaga serta
mengoptimalkan penggunaan air bersih, sanitasi dan
kesehatan lingkungan
f. Menetapkan kalender gerejawi untuk diakonia
kesehatan
g. Mendorong jemaat untuk peningkatan gizi masyarakat
melalui bahan-bahan lokal dalam masyarakat.
h. Kampanye
terhadap HIV/AIDS, menghilangkan
stigmatisasi dan diskriminasi
i. Melakukan kajian kritis terus-menerus terhadap
berbagai produk perundang-undangan yang berhubungan dengan kesehatan yang berpihak kepada
kemanusiaan tanpa diskriminatif.
j. Mendukung program Persekutuan Pelayanan Kristen
Untuk Kesehatan di Indonesia (PELKESI) dalam
memper-juangkan pelayanan kesehatan yang bermutu,
terjangkau masyarakat, berbagi sumber daya kesehatan
k. Mendorong pendidikan kesehatan sejak usia dini.
l. Mendorong sekolah-sekolah teologi untuk mengkaji
kurikulum tentang gereja yang menyembuhkan dan
pendidikan kesehatan.
100
m. Mendorong
pemerintah
untuk
memfasilitasi
penempatan tenaga-tenaga kesehatan, yaitu dokter
umum, dokter spesialis, perawat dan bidan di daerahdaerah pedalaman dan terpencil.
n. Kerjasama inter dan antar insitusi Kristen di bidang
kesehatan dan kerjasama dengan mitra luar negeri.
o. Mendorong gereja-gereja untuk mengembangkan
program pelayanan kesehatan primer (PKP) dan
pelayanan pastoral konseling di bidang kesehatan.
PENUTUP
PELAKSANAAN PTPB
128. Pelaksanaan PTPB pada masa bakti 2009-2014 adalah
tanggungjawab gereja-gereja anggota PGI, PGI beserta
seluruh alat kelengkapan dan perangkat strukturalnya
(bidang, departemen, biro, dst.), lembaga-lembaga pendidikan teologi, pembinaan warga gereja, pendidikan
umum, pelayanan kesehatan, pelayan dan pembinaan
oikumenis, serta kelompok-kelompok kategorial yaitu anak,
remaja, pemuda, mahasiswa, laki-laki dan perempuan, dan
kelompok-kelompok fungsional/profesional.
a. Gereja-gereja anggota PGI menetapkan program gereja
masing-masing dalam rangka pelaksanaan PTPB sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di gereja masingmasing dengan melibatkan seluruh warga gereja.
b. Gereja-gereja anggota PGI di masing-masing wilayah
menentukan program tahunan PGIW/SAG, PGIS/PGID,
dan POUK dalam rangka pelaksanaan PTPB, termasuk
bagi alat-alat kelengkapan masing-masing, melalui
Sidang MPL PGIW/SAG danPGIS/PGID.
101
c. Gereja-gereja anggota PGI menetapkan program
tahunan PGI dalam rangka pelaksanaan PTPB oleh alatalat kelengkapan PGI, melalui Sidang MPL-PGI.
d. Lembaga-lembaga/badan-badan gerejawi dan lembagalembaga keumatan, dan para warga gereja yang
mempunyai kedudukan dan peran penting dalam
masyarakat dan negara diikut-sertakan secara teratur
untuk mendukung dan membantu pelaksanaan PTPB.
e. Jaringan lembaga pelayanan Kristen, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Usaha Kesejahteraan Sosial, Lembaga
Pengembangan Prakarsa Masyarakat, lembaga-lembaga
lain yang bersifat oikumenis, perlu ditingkatkan
peranannya sebagai wujud nyata kebersamaan dalam
rangka menanggulangi kemiskinan.
129. Diusahakan agar PTPB menyadarkan gereja-gereja akan
pentingnya produk dokumen bersama ini bagi gerakan
keesaan, sehingga dengan sungguh-sungguh menciptakan
suasana, wawasan serta pandangan bersama dalam rangka
mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.
130. Diusahakan agar kerjasama dengan Pemerintah Republik
Indonesia secara langsung atau tidak langsung membantu
pelaksanaan PTPB dan ikut mengatasi hambatan-hambatan
yang dapat timbul dalam rangka pelaksanaan PTPB.
131. Pelaksanaan PTPB ini hanya dapat berhasil dengan
pertolongan Roh Kudus yang memungkinkan semua pihak
menyatakan kebaikan Tuhan kepada semua orang, dan
keikut-sertaan seluruh warga gereja.
102
103
II. PEMAHAMAN BERSAMA IMAN KRISTEN
DASAR PEMIKIRAN
Berkat kuasa Roh Kudus yang telah melahirkan DGI menjelang
hari Pentakosta tanggal 25 Mei 1950 di Jakarta, yang pada Sidang
Raya X DGI/PGI di Ambon tahun 1984, menjadi PGI maka kami
Gereja-gereja Anggota PGI telah bersepakat dan bertekad untuk
mewujudkan tugas dan panggilan kami sebagai gereja-gereja
Tuhan di Indonesia, dalam suasana dan semangat persekutuan,
dan bukan secara sendiri-sendiri atau terpisah-pisah.
Kami telah memasuki sejarah bersama dan berada di atas jalan
bersama sebagai gereja yang Esa di Indonesia, yang sedang
tumbuh menuju kesempurnaan sebagai gereja Tuhan yang Esa di
segala tempat dan di sepanjang zaman.
Kami mengikrarkan Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan
Iman Nicea Konstantinopel yang telah lahir dari pergumulan iman
pada zaman gereja purba, sebagai kesaksian yang benar dan
penuh berdasarkan Alkitab mengenai iman Kristen dan sebagai
lambang keesaan Gereja Tuhan di segala tempat dan di sepanjang
zaman.
Kami mengakui Pengakuan Iman yang telah lahir dalam
rangka sejarah gerakan pembaruan gereja (Reformasi) sebagai
bagian dari warisan gereja yang memperkaya iman kami.
Kami memahami bahwa pelbagai Pengakuan Iman sebagai
hasil pergumulan gereja-gereja anggota PGI di masa lampau, kini
dan di masa mendatang, dalam rangka menyatakan imannya,
adalah bagian dari kesaksian kami bersama yang didasarkan pada
Alkitab.
Demi pelaksanaan tugas panggilan bersama, dengan melihat
Indonesia dengan segala kemajemukannya sebagai satu wilayah
kesaksian dan pelayanan kami bersama, maka pada Sidang Raya
XIV di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 29 November– 5 Desember
2004 kami sepakat untuk meningkatkan dan mengembangkan
PEMAHAMAN BERSAMA IMAN KRISTEN DI INDONESIA yang
ditetapkan oleh Sidang Raya X DGI/PGI tahun 1984 di Ambon.
104
Pengembangan dan peningkatan ini dimaksudkan untuk lebih
mencerminkan lagi pergumulan-pergumulan kami dalam
menghayati iman Kristen di tengah-tengah masyarakat dan
bangsa Indonesia.
Pemahaman Bersama Iman Kristen ini dimaksudkan sebagai
langkah pendahuluan bagi Pengakuan Iman Bersama dan sebagai
landasan dan sumber motivasi teologi bagi kami bersama untuk
melanjutkan perjalanan kami sebagai gereja. Pokok-pokok
Pemahaman Bersama Iman Kristen di Indonesia sebagai berikut:
BAB I
TUHAN ALLAH
Kami percaya bahwa:
1. Sesungguhnya ”Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa” (Ul. 6:4).
Tidak ada Allah selain Dia (Kel. 20:3; Ul. 5:7). Dialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi serta seluruh isinya, dan
yang tetap memeliharanya hingga kesudahan alam (Kej. 1:2;
Mzm. 24:1-2; 89:12; 104:1 dst.; Kol. 1:16).
Allah menyatakan diri dalam karya penciptaan-Nya dan
dalam sejarah umat manusia (Mzm. 19:2-3; Rm. 1:19-20) dan
secara khusus dan sempurna dalam Yesus Kristus Anak-Nya
yang Tunggal (Yoh. 1:18). Oleh pimpinan Roh Kudus kami
mengenal dan menyembah Dia sebagai Bapa dalam Yesus
Kristus, sebab semua orang yang dipimpin oleh Roh Allah
adalah anak-anak Allah (Rm. 8:14-15).
2. Allah berbicara kepada manusia, berulang kali dan dalam
pelbagai cara dengan perantaraan nabi-nabi, dan pada zaman
akhir ini dengan perantaraan Yesus Kristus, Anak-Nya yang
Tunggal (Ibr. 1:1-2). Dalam Yesus Kristus Allah menyatakan
diri sebagai Allah yang mengampuni dan menyelamatkan
manusia dari penghukuman karena dosa, yaitu dengan jalan
mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam
105
keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan
taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah
sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan
kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama
Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di
bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku:
’Yesus Kristus adalah Tuhan’ bagi kemuliaan Allah, Bapa” (Flp.
2:7-11).
3. Allah hadir dan bekerja di dalam dunia dan dalam gereja
melalui Roh Kudus yang memerdekakan manusia dari hukum
dosa dan hukum maut (Rm. 8:2; 2 Kor. 3:17). Roh Kudus itu
menghidupkan, membarui, membangun, mempersatukan,
menguatkan, menertibkan, dan meneguhkan serta memberi
kuasa pada gereja untuk menjadi saksi, menginsyafkan dunia
akan dosa, kebenaran dan penghakiman, dan memimpin
orang-orang percaya kepada seluruh kebenaran Allah (Yeh.
37; Kis. 1:8; Ef. 3:16-17; 4:3-4; Rm. 8:1; 1 Kor. 12:7, 12; 14:26,
33; 2 Tim. 1:7; Yoh. 16:8-11, 13).
Karena itu kami mengaku dan memuliakan serta
menyaksikan Allah yang Maha Esa dan kekal, yaitu Allah Bapa,
Anak dan Roh Kudus (Yes. 43:10; 44:6; Mat. 28:19; 2 Kor.
13:13; Flp. 4:20; Ibr. 13:8; Why. 4:8).
BAB II
PENCIPTAAN DAN PEMELIHARAAN
Kami percaya bahwa:
4. Alam semesta, langit, dan bumi serta segenap isinya, baik yang
kelihatan maupun yang tidak kelihatan, adalah milik dan
ciptaan Allah (Kej. 1-2; Mzm. 24:1-2; 89:12; Yes. 44:24; Yer.
27:5; Kol. 1:16). Segenap ciptaan itu sungguh amat baik (Kej.
1-31), namun semua yang telah diciptakan Allah itu tidak
boleh diperilah dan disembah (Kel. 20:3-5; Rm. 1:18-25).
106
5. Seluruh ciptaan itu ditempatkan Allah dalam keselarasan yang
saling menghidupkan, sejalan dengan kasih karunia
pemeliharaan-Nya atas ciptaan-Nya (Kej. 1:20-30; 2:15; 19;
Mzm. 104:10-18; Yes. 45:7-8).
Allah tidak menginginkan ciptaan-Nya kacau dan saling
menghancurkan (Kej. 21-22; 9:8-17), kendatipun dosa telah
membawa segenap makhluk kepada kesia-siaan dan
membuatnya turut mengerang dan mengeluh menantikan saat
penyelamatan (Rm. 8:20-22). Allah telah memberikan mandat
khusus kepada manusia untuk turut dalam memelihara dan
penguasaan seluruh ciptaan-Nya (Kej. 1:26-28; 2:15). Manusia
harus bertanggungjawab dalam memelihara dan mengusahakan kelestarian alam ciptaan Allah itu. Perusakan terhadap
ciptaan Allah, terhadap alam dan lingkungan sekitar, pada
dasarnya adalah perlawanan terhadap Allah yang telah
menjadikan segala sesuatu dan yang senantiasa memeliharanya dalam kasih dan kesetiaan.
6. Dari permulaan hingga akhir, Tuhan Allah memerintah,
memelihara dan menuntun segenap ciptaan-Nya dengan kasih
setia dan adil (Mzm. 145:9; 146:6). Dan dengan terus-menerus
menentang segala kuasa yang hendak merusakkan ciptaanNya. Ia menuntun seluruh ciptaan-Nya menuju kesempurnaan
di dalam langit baru dan bumi baru (Yes. 1:10; 51:9-11; 2 Ptr.
3:13; Why. 21:1-5), yang di dalamnya segala ciptaan yang ada
di atas dan yang ada di bawah bumi bertekuk lutut dan
mengaku: ”Yesus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa”
(Flp. 2:10)
BAB III
MANUSIA
Kami percaya bahwa:
7. Manusia diciptakan Allah menurut gambar/citra-Nya (Kej.
1:26-27). Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan
107
dengan martabat yang sama (Kej. 1:27), dan dikaruniai tugas
mandat untuk beranak cucu dan memenuhi bumi serta untuk
menguasai, mengusahakan, dan memelihara seluruh ciptaan
Allah (Kej. 1:26-28; 2:15). Untuk dapat melaksanakan tugas
dan mandat itu, Allah memperlengkapi manusia dengan akal
budi dan hikmat serta memahkotainya dengan kemuliaan,
hormat, dan kuasa (Mzm. 8:6-7). Manusia diciptakan dalam
kesatuan tubuh, jiwa dan roh, sehingga Ia dipanggil untuk
memelihara kehidupan secara utuh jasmani dan rohani dalam
rangka pemenuhan tanggung jawabnya kepada Allah (Kej. 2:7;
1 Kor. 3:16; 6:17-20; 1 Tes. 5:23; Yak. 2:26). Manusia
diciptakan dalam kebebasan, dan dalam kebebasannya itu ia
bertanggung jawab kepada Allah (Kej. 2:16-17). Ia juga
diciptakan sebagai makhluk yang hidup dalam persekutuan
dan wajib mengatur kehidupan bersamanya dalam keluarga
dan masyarakat, yang dapat membawa kebaikan bagi semua
orang (Kej. 2:18). Dengan demikian, manusia mempunyai
martabat kemanusiaan, yaitu hak-hak dan kewajibankewajiban asasi yang tidak boleh diambil oleh siapa pun dan
oleh kuasa apa pun.
8. Manusia telah menyalahgunakan kebebasannya dengan
menolak untuk menerima kedudukannya sebagai ciptaan dan
ingin menjadi seperti dengan Allah (Kej. 3:5-6, 22). Ia terbujuk
oleh iblis dan memberontak melawan Allah (Kej. 3:1-7; 11:19), dengan demikian, ia terasing dari Allah, dan serentak
dengan itu, ia terasing dari sesamanya, dan dari alam
lingkungan hidupnya serta hidup bersusah payah dan
menderita (Kej. 3:17-19; 24). Ia dikuasai oleh iblis, dan
menjadi hamba dosa (Rm. 6:17-20) dan sebagai upahnya ia
menerima maut dan kebinasaan (Rm. 6:23). Ia tidak dapat
melepaskan dirinya dari perbudakan dosa dan kebinasaan
karena perbuatannya sendiri. ”Tidak ada yang benar, seorang
pun tidak” (Rm. 3:10). Sebagai akibatnya, manusia tidak
mampu melaksana-kan tugas dan mandatnya seperti yang
108
dikehendaki Allah; sebaliknya, ia memutarbalikkan segala
sesuatu dan berusaha menempatkan dirinya pada kedudukan
sebagai Allah (Kej. 11:1-9). Segala kecenderungan hati
manusia ”membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5).
Hidup manusia menjadi tidak berpeng-harapan. Manusia
adalah debu dan akan kembali kepada debu (Kej. 3:19b; Pkh.
3:19-21). Kejatuhan manusia ke dalam dosa ini telah menyeret
seluruh ciptaan ke dalam kebinasaan, dan kehidupan di atas
bumi menjadi rusak.
9. Allah tetap mengasihi manusia yang telah Ia ciptakan menurut
gambar-Nya. Ia tidak menghendaki kebinasaan manusia,
melainkan keselamatannya (Yoh. 3:16; bnd. Kej. 6:8). Oleh
karena itu Allah senantiasa memelihara manusia dari sejak
semula, juga ketika manusia telah jatuh ke dalam dosa dan
memberontak terhadap-Nya (Kej. 3:21; 4:15; 6:8, 13 dst.; Mat.
20:1-16). Kasih Allah yang agung yang menyelamatkan
manusia dari kuasa dosa dan kebinasaan dan pemulihannya ke
dalam hubungan yang benar dengan Allah, menjadi nyata
dengan sempurna dalam Yesus Kristus (Yoh. 3:16; Rm. 3:2226; 5:15, 17, 21).
BAB IV
PENYELAMATAN
Kami percaya bahwa:
10. Allah tetap mengasihi manusia, walaupun manusia telah jatuh
ke dalam dosa, dan bumi menjadi rusak dan penuh kekerasan.
Untuk dunia yang demikian Allah mengaruniakan Anak-Nya
yang Tunggal, Yesus Kristus, dan di dalam Dia Allah
menyediakan keselamatan bagi orang yang percaya (Yoh.
3:16; Kis. 16:31). Hanya pada-Nya manusia akan beroleh
keselamatan yang kekal (Kis. 4:12; Yoh. 14:6), yang dicari-cari
oleh umat manusia di sepanjang zaman dan dengan pelbagai
cara. Keselamatan itu telah mencapai manusia karena Yesus
109
Kristus ”yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap
kesetaraan-Nya dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, melainkan mengosongkan diri-Nya sendiri,
dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu
salib” (Flp. 2:6-8), dan ”Allah telah membangkitkan-Nya dari
antara orang mati sebagai buah sulung bagi segenap orang
percaya” (Kor. 15:20-23).
11. Dalam Kristus yang mati karena pelanggaran manusia, dan
yang dibangkitkan demi pembenaran manusia (Rm. 4:25),
Allah mewujudkan rencana penyelamatan-Nya atas manusia.
Dalam Kristus Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya
(Kor. 5:18-19; Kol. 1:20). Dalam Kristus manusia memperoleh
pengampunan dari Allah dan diselamatkan dari kebinasaan.
Orang-orang yang percaya dan dibaptiskan dalam nama Yesus
Kristus dibaptiskan dalam kematian-Nya dan dibangkitkan
bersama Dia ke dalam kehidupan yang baru (Rm. 6:4; Kol. 3:910). Sebagai manusia baru, orang percaya tidak berduka cita
dalam menghadapi maut, seperti orang lain yang tidak
mempunyai pengharapan (1 Tes. 4:13). Karena manusia baru
yang mati dalam Kristus, akan dihidupkan kembali dalam
persekutuan dengan Kristus (1 Kor. 15:22).
12. Di dalam Kristus Allah mulai mewujudkan rencana
penyelamatan-Nya (Ef. 1:9-10) yang akan digenapkan-Nya
pada kedatangan Yesus kembali (1 Kor. 15:22-25; Ibr. 9:28).
Dalam menyongsong penggenapan rencana penyelamatan
Allah itu, menuju kegenapan janji Allah akan langit baru dan
bumi baru di dalam Kerajaan-Nya (Why. 21:5), orang-orang
percaya sebagai manusia baru dipanggil untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik sebagai ungkapan syukur atas
keselamatan yang dianugerahkan Kristus (2 Ptr. 3:14; Kol.
1:17; 3:15-17), dengan memberitakan keselamatan yang
disediakan Allah kepada segala makhluk (Mrk. 16:15) yang
110
mencakup seluruh segi kehidupan manusia di atas muka bumi
ini (Luk. 4:18-19). Dalam hubungan dengan itu, orang-orang
percaya dipanggil untuk bekerja sama dengan semua orang
yang berkemauan baik, dari segala golongan dan lapisan
masyarakat dalam segala hal yang membawakan kebaikan
bagi semua orang, dengan sikap rendah hati dan selalu
menguji segala roh (1 Tes. 5:13-15; 1 Yoh. 4:1).
13. Dalam penantian penggenapan rencana penyelamatan Allah
itu, Allah menetapkan pemerintah sebagai hamba-Nya yang
dilengkapi dengan wewenang untuk memuji perbuatan baik
dan menghukum perbuatan yang jahat (Rm. 13:1-7; 1 Ptr.
2:13-14). Oleh karena itu, gereja yaitu persekutuan orangorang yang telah dibarui di dalam Kristus, dipanggil untuk
mendoakan dan membantu pemerintah dalam menjalankan
tugasnya sebagai hamba Allah demi kebaikan semua orang (1
Tim. 2:1-2; bnd Yer. 29:7). Tetapi pemerintah dapat pula
menyalahgunakan kuasa yang ada padanya (Why. 13). Oleh
sebab itu gereja pun dipanggil untuk senantiasa siap sedia
melaksanakan tugas kenabiannya dengan mendoakan dan
membantu pemerintah agar pemerintah tidak menyalahgunakan kuasa yang diberikan Allah kepadanya (Mzm. 58:2-3;
Yes. 1:16-17; Mi. 6:8). Apabila pemerintah melampaui batas
kekuasaannya dengan menuntut sesuatu yang hanya dapat
diberikan kepada Allah (Mat. 22:21; Mrk. 12:17; Luk. 20:25),
maka orang-orang percaya ”harus lebih taat kepada Allah
daripada kepada manusia” (Kis. 5:29).
14. Dalam penantian penggenapan rencana penyelamatan Allah
itu, orang-orang percaya terpanggil untuk mendoakan dan ikut
berusaha agar segala bentuk kekuasaan lainnya, seperti kuasa
keagamaan, kebangsaan, ideologi, politik, sosial, ekonomi,
militer, adat dan kebudayaan, ilmu dan teknologi, dan
sebagainya yang ikut mempengaruhi perikehidupan
masyarakat, dikembangkan dan digunakan untuk kebaikan
111
semua orang dan dipertanggungjawabkan kepada Allah
sumber segala kuasa, dan kepada semua orang yang
perikehidupannya dipengaruhi oleh penggunaan kuasa-kuasa
itu.
BAB V
KERAJAAN ALLAH DAN HIDUP BARU
Kami percaya bahwa:
15. Karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus terhadap dunia
dan isinya bersifat menyeluruh. Hal itu dinyatakan dengan
kehadiran Kerajaan Allah (Mrk. 1:15) yang akan mendapatkan
pemenuhan dalam ”langit baru dan bumi baru” (2 Ptr. 3:13;
Why. 21:1). Kerajaan Allah itu adalah kuasa dan pemerintahan
Allah yang menyelamatkan, yang tampak dan berwujud di
dalam lingkungan dan suasana hidup yang di dalamnya
terdapat kasih, kebenaran, keadilan, damai sejahtera,
kesukacitaan, pemulihan dan pembaruan hidup (Mzm. 145:1113; Mat. 9:35; Luk. 4:21; 4:43; Rm. 14:7; 1 Kor. 4:20).
16. Kerajaan Allah itu sudah datang dan menjadi nyata dalam
kehidupan dunia dan umat manusia dengan kedatangan Yesus
Kristus, Raja dan Juruselamat dunia (Mrk. 1:15). Walaupun
demikian, penyataan Allah secara penuh baru akan terjadi
ketika ”dalam nama Yesus bertekuk lutut, segala yang ada di
langit dan yang ada di atas bumi, dan yang ada di bawah bumi,
dan segala lidah mengaku Yesus Kristus adalah Tuhan bagi
kemuliaan Allah, Bapa” (Flp. 2:10-11). Oleh karena itu, gereja
dan orang-orang percaya mendoakan dan menyongsong
penggenapan Kerajaan Allah itu dengan secara tekun bekerja
menegakkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dalam kehidupan
sehari-hari (Mat. 6:10, 33; 25:1-46).
17. Dalam rangka penggenapan Kerajaan Allah itu, gereja sebagai
persekutuan orang percaya dan setiap warganya dipanggil
112
untuk menjalankan suatu kehidupan baru sesuai dengan
tuntutan Kerajaan Allah (Mrk. 1:15; Ef. 4:11; 2 Ptr. 1:10-11).
Hidup yang berpadanan dengan tuntutan Kerajaan Allah
adalah hidup yang dipimpin oleh Roh Allah yang kudus yang
membuahkan kasih, sukacita, damai sejahtera, keadilan dan
kebenaran ([Ef. 5:3 dst.]; Gal. 5:21). Sebagai warga Kerajaan
Allah, orang-orang percaya tahan uji di dalam menghadapi segala
tantangan, penganiayaan, penderitaan,
karena
pengharapan di dalam Yesus Kristus akan penggenapan
Kerajaan Allah (Kis. 14:22; 2 Tes. 1:3-5; 1 Ptr. 3:13-15). Gereja
dan orang-orang percaya juga terpanggil untuk bersaksi dan
memberitakan kedatangan Kerajaan Allah dengan tekun
menjalankan pelayanan dalam kasih, kebenaran, keadilan dan
damai sejahtera terhadap semua orang.
BAB VI
GEREJA
Kami percaya bahwa:
18. Roh Kudus menghimpun umat-Nya dari segala bangsa, suku,
kaum, dan bahasa, ke dalam suatu persekutuan yaitu gereja,
yang di dalamnya Kristus adalah Tuhan dan Kepala (Ef. 4:3-16;
Why. 7:9). Roh Kudus juga telah memberi kuasa kepada gereja
dan mengutusnya ke dalam dunia untuk menjadi saksi,
memberitakan Injil Kerajaan Allah, kepada segala makhluk di
semua tempat dan di sepanjang zaman (Kis. 1:8; Mrk. 16:15;
Mat. 28:19-20). Dengan demikian gereja tidak hidup untuk
dirinya sendiri. Sama seperti Kristus telah meninggalkan
kemuliaan-Nya di sorga, mengosongkan diri dan menjadi
manusia (Yoh. 1:14; Flp. 2:6-8), dan tergerak hati-Nya oleh
sebab belas kasihan kepada semua orang yang sakit; lelah dan
terlantar seperti domba tanpa gembala, demikian pulalah
gereja dipanggil untuk selalu menyangkal diri dan
mengorbankan kepentingannya sendiri, agar semua orang
yang menderita karena pelbagai penyakit dan kelemahan yang
113
merindukan kelepasan, dapat mengalami pembebasan dan
penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus (Mat. 9:35-38; Luk.
4:18-19). Dengan demikian, gereja dan warganya akan dapat
menghayati dengan sungguh-sungguh makna dari baptisan
dan perjamuan kudus yang senantiasa dilayankan bersamasama dengan pemberitaan Firman Allah di tengah-tengah
ibadah gereja sebagai tanda keberadaan dan kekudusannya.
19. Gereja ada di tengah-tengah dunia ini sebagai arak-arakan
umat Allah (Kej. 12:3; Mzm. 84:8; Yes. 2:2-3; Ibr. 12:1; Kis. 1:8;
2 Kor. 2:14), yang terus bergerak menuju ke kepenuhan hidup
di dalam Kerajaan Allah (Flp. 3:12-14). Ia dituntut untuk selalu
terbuka kepada dunia ini, agar dunia ini terbuka kepada
undangan Allah untuk turut serta di dalam arak-arakan orang
percaya menuju pemenuhan janji Allah akan Kerajaan-Nya di
dalam Yesus Kristus (1 Ptr. 2:9-10; 3:15-16). Dengan
senantiasa menguji setiap roh, apakah roh itu berasal dari Roh
Allah (1 Yoh. 4:1). Gereja dipanggil untuk membina hubungan
dan kerjasama dengan pemerintah dan semua pihak di dalam
masyarakat untuk mendatangkan kebaikan dan damai sejahtera bagi semua orang, dalam rangka mewujudkan dan
mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah menuju kesempurnaannya di dalam Yesus Kristus.
20. Gereja ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan
tugas panggilannya dalam konteks sosial politik, ekonomi dan
budaya tertentu. Demikianlah halnya gereja-gereja di
Indonesia dipanggil dan ditempatkan oleh Tuhan sendiri
untuk melaksanakan tugas panggilannya di tengah Bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, dan
berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945, yang diyakini sebagai anugerah dari Tuhan. Kehadiran
gereja-gereja di Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan tanda pengutusan Tuhan sendiri agar
gereja-gereja secara aktif mengambil bagian dalam mewujud-
114
kan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan di Indonesia.
Di samping itu, gereja terpanggil secara aktif dan kreatif
mengambil bagian dalam usaha mencegah segala hal yang
merongrong dan merendahkan harkat dan martabat manusia
Indonesia serta segala hal yang merusak lingkungan alam
Indonesia. Tugas panggilan itu dilaksanakan melalui berbagai
upaya pencegahan sekaligus upaya pembelaan dan penegakan
hukum/keadilan bagi seluruh rakyat dan tanah tumpah darah
Indonesia.
21. Gereja mengakui bahwa negara adalah alat dalam tangan
Tuhan yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia dan
memelihara ciptaan Allah. Oleh karena itu gereja dan negara
harus bahu-membahu dalam mengusahakan penegakan
keadilan dan mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat
serta keutuhan ciptaan. Akan tetapi sebagai lembaga
keagamaan yang otonom, gereja mengemban fungsi dan
otoritas yang bebas dari pengaruh negara, dan sebaliknya
gereja tidak berhak untuk mengatur kehidupan negara oleh
karena negara mempunyai fungsi tersendiri dalam
menjalankan panggilannya di dunia (Rm. 13:16-17; 1 Ptr.
2:13-14). Dengan demikian gereja dan negara harus membina
hubungan yang koordinatif dan bukan hubungan subordinatif
di mana yang satu menguasai yang lain. Gereja dan negara
masing-masing mempunyai tugas panggilannya yang harus
dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab untuk kebaikan
seluruh manusia bahkan seluruh ciptaan. Gereja mempunyai
kewajiban untuk menaati hukum negara, sebaliknya negara
berkewajiban mengayomi dan melindungi seluruh rakyatnya,
termasuk gereja agar leluasa dalam menjalankan fungsi dan
panggilannya masing-masing (1 Ptr. 2:16).
22. Dalam hidup dan pelaksanaan tugas panggilannya, gereja yang
terdiri dari orang-orang berdosa yang telah dibenarkan oleh
anugerah Allah berdasarkan iman kepada Yesus Kristus (Rm.
115
3:28), selalu memerlukan pertobatan dan pembaruan yang
terus-menerus. Untuk itu ia senantiasa memerlukan
kehadiran, pernyataan, bimbingan, pemeliharaan dan teguran
Roh Kudus yang terus-menerus membarui, membangun dan
mempersatukannya serta yang memberinya kuasa untuk
menjadi saksi.
23. Allah menjadikan gereja itu sebagai suatu persekutuan yang
mengaku satu tubuh, satu Roh dalam ikatan damai sejahtera,
satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu
Allah dan Bapa dari semua (Ef. 4:4-6). Dengan demikian gereja
itu esa. Keesaan gereja bukanlah keesaaan menurut dunia,
melainkan keesaan seperti keesaan Allah Bapa, Anak dan Roh
Kudus (Yoh. 17:21-22). Maka keesaan itu tidak didasarkan
pada kekuasaan duniawi, melainkan pada persekutuan dan
kasih. Sebagai persekutuan kasih, gereja adalah keluarga dan
kawan sekerja Allah (Ef. 2:19; 1 Kor. 3:9a) yang dituntut untuk
hidup di dalam kasih, sehati sepikir, dalam satu tujuan, dengan
tidak mencari kepentingan sendiri melainkan selalu berbuat
untuk kepentingan orang lain juga, dan anggota yang satu
mendukung anggota yang lain lebih utama daripada dirinya
sendiri (Flp. 2:1-4). Kristus menghendaki keesaan seperti itu
(Ef. 4:3) yang merupakan suatu kesaksian kepada dunia ini
agar dunia percaya bahwa sesungguhnya Yesus Kristus telah
diutus oleh Allah (Yoh. 17:12-23) dan bahwa gereja telah
beroleh mandat dari Yesus Kristus untuk memberitakan
pendamaian dan penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus bagi
dunia ini.
24. Persekutuan ini dikuduskan dalam kebenaran (Yoh. 17:17-19).
Dengan demikian gereja itu kudus. Pengudusan itu dilakukan
oleh Kristus yang telah menguduskan diri-Nya bagi gereja
(Yoh. 17:19) dan menguduskan gereja itu sebagai umat
kepunyaan-Nya (Tit. 2:14; 1 Ptr. 2:9). Persekutuan yang
116
dikuduskan itu diutus-Nya ke dalam dunia. Maka gereja itu ada
di dunia tapi bukan dari dunia (Yoh. 17:14-18).
25. Persekutuan ini mencakup semua orang percaya dari segala
tempat dan sepanjang zaman, dan mencakup segala suku,
bangsa, kaum dan bahasa, dan dari pelbagai lapisan sosial
yang dipersekutukan ke dalam tubuh Kristus yaitu gereja.
Dengan demikian gereja itu am (Katolik). Sebagai persekutuan
yang am, gereja tidak mengenal perbedaan-perbedaan
ataupun pembatasan-pembatasan menurut kaidah-kaidah
dunia ini (Gal. 3:28; 1 Kor. 11:7-12; Why. 7:9). Persekutuan
baru ini mencakupi bangsa, suku, kaum dan bahasa, orang tua,
pemuda/remaja, anak-anak, laki-laki dan perempuan,
penguasa dan rakyat jelata, yang kaya dan yang miskin; yang
cacat dan yang sehat, yang bodoh dan yang pandai, semuanya
diberi tempat oleh Allah dalam persekutuan baru itu,
semuanya dipanggil dan dilengkapi untuk menjadi saksi Injil
Kerajaan Allah dalam Yesus Kristus di tengah-tengah dunia.
26. Persekutuan ini bertekun dalam dan dibangun di atas
pengajaran para rasul tentang Injil Yesus Kristus (Kis. 2:42; Ef.
2:20). Dengan demikian gereja itu rasuli. Persekutuan yang
rasuli itu terpanggil untuk memelihara ajaran para rasul itu (2
Tes. 3:6; 1 Tim. 1:3) dan dengan senantiasa memperhatikan
tanda-tanda zaman meneruskannya kepada semua orang
percaya di segala tempat dan di sepanjang zaman (Flp. 1:6;
Kol. 1:25).
27. Oleh karena itu gereja dan orang-orang percaya laki-laki dan
perempuan di segala tempat dan di sepanjang zaman
terpanggil untuk mewujudkan keesaan, kekudusan, keimanan
dan kerasulannya, baik dalam kehadiran gereja secara sendirisendiri maupun secara bersama-sama dalam pengamalan
tugas panggilannya sehari-hari. Dengan demikian semua
bentuk kehidupan gereja itu untuk menjadi saksi Yesus Kristus
117
ke ujung bumi adalah ungkapan dari gereja yang esa, kudus,
am, dan rasuli.
BAB VII
ALKITAB
Kami percaya bahwa:
28. Alkitab yang terdiri dari Kitab Perjanjian Lama dan Kitab
Perjanjian Baru merupakan kesaksian yang menyeluruh
mengenai Allah yang menyatakan diri, kehendak dan karya
penciptaan, pemeliharaan dan penyelamatan-Nya kepada
manusia, dan juga mengenai jawaban manusia terhadap-Nya.
Kesaksian yang menyeluruh ini berpusat pada Yesus Kristus
”Firman yang menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Dengan demikian
pemahaman mengenai isi Alkitab termasuk pemahaman atas
bagian-bagiannya harus selalu dilihat sebagai satu kesatuan.
29. Kesaksian itu telah terjadi dengan kuasa dan bimbingan Allah
sendiri melalui Roh Kudus yang menyertai dan mengilhami
para penulis Alkitab (2 Ptr. 1:21; 2 Tim. 3:16). Kesaksian itu
telah menggunakan bentuk-bentuk dan unsur-unsur
kemanusiaan dan kebudayaan pada lingkup sejarah tertentu,
sehingga menampakkan adanya keterbatasan-keterbatasan
tertentu; namun, kebenaran kesaksian Alkitab tersebut
melampaui batas-batas ruang dan waktu. Oleh karena itu
Alkitab adalah Firman.
30. Sebagai Firman Allah, Alkitab mempunyai kewibawaan
tertinggi, dan menjadi ”pelita pada kaki dan terang pada jalan”
orang-orang percaya (Mzm. 119:105) serta menjadi dasar dan
pedoman bagi perbuatan dan kehidupan orang beriman (2
Tim. 3:16-17). Oleh karena itu orang-orang percaya baik
pribadi maupun bersama-sama harus membacanya,
merenungkannya siang-malam (Mzm. 1), berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk memahami, menghayati dan melaksa-
118
nakannya dengan benar dalam iman dan ketaatan kepada
Allah dalam Kristus. Jadi Alkitab itu bukanlah ajimat atau kitab
ramalan. Sebagaimana Roh Kudus telah menyertai dan
membimbing para penulis Alkitab, serta memimpin manusia
untuk percaya kepada Yesus Kristus, maka pemahaman yang
benar mengenai isi Alkitab serta penghayatan dan
pelaksanaannya di dalam kehidupan sehari-hari juga hanya
akan terjadi atas bimbingan Roh Kudus (1 Kor. 12:3; Yoh.
16:15; 2 Ptr. 1:20-21).
119
III. OIKOUMENE GEREJAWI
A. KONSEP DASAR KEESAAN GEREJAWI
Kami menyadari dan mengakui akan kemustahilan
pewujudnyataan GKYE demi dunia. Perpecahan dan kesendirisendirian gereja-gereja telah menjadi kendala mendasar bagi
keberadaan gereja sebagai gereja dan mengaburkan, melemahkan
serta menumpulkan kesaksian dan pelayanan kami. Namun
semakin dalam kami menyadari kemustahilan itu, semakin dalam
pula rasa heran dan syukur kami atas kasih dan kuasa TUHAN
yang telah sudi melakukan yang mustahil itu menjadi mungkin
dan menjadi kenyataan dengan penderitaan, kematian, dan
kebangkitan-Nya,
sehingga
kemustahilan
itu
semakin
mendekatkan kami kepada TUHAN dan semakin bergantung
hanya kepada-Nya. Bahkan kami percaya TUHAN sedang terus
melakukan pekerjaan menyatukan gereja TUHAN demi persatuan
dan kesatuan umat manusia dengan melawan segala macam
bentuk kekerasan yang memecah belah dan merusak manusia,
agar gereja dan dunia ini menjadi tempat kediaman TUHAN dan
tempat kediaman manusia.
Karena itu kami terdorong untuk semakin mempercayakan
diri hanya kepada TUHAN dan tidak mengurangi sedikit pun
totalitas dari panggilan dan anugerah keesaan untuk kami
wujudnyatakan. Dengan ketetapan hati itu kami mengambil
bagian dalam karya TUHAN memulihkan dan menyembuhkan
gereja dan dunia dari keterbelahan dan keterpecahannya. Kami
mengaku bahwa semakin kami mendekat kepada TUHAN,
semakin kami mendekat satu kepada yang lain; semakin kami
berjumpa dengan TUHAN, semakin kami berjumpa satu dengan
yang lain; semakin kami menyatu di dalam TUHAN, semakin kami
menyatu satu di dalam yang lain. Dan semakin kami bergantung
pada TUHAN dalam kesatuan itu, semakin kami mandiri dan
berdaya, sehingga kami semakin dimampukan untuk saling
mengakui dan saling menerima, saling menopang dan saling
melengkapi.
120
Kami percaya dan memahami bahwa keesaan di dalam TUHAN
itu adalah kesatuan yang bersumber pada hakikat Allah dalam
Kristus, yaitu keesaan yang secara hakiki mengandung
kemajemukan dan kesaksian demi dunia, sebagaimana nyata
dalam doa Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 17:21-23).
Karena keesaan gereja bersumber pada Allah dalam Kristus,
kami percaya dan memahami bahwa keesaan bukan suatu pilihan
atau alternatif yang secara netral dapat dipilih atau ditolak oleh
gereja sebagai gereja. Keesaan gereja adalah anugerah TUHAN
untuk diwujudnyatakan dan panggilan TUHAN untuk
dilaksanakan oleh gereja TUHAN, agar gereja menjadi satu, dan
agar dunia tahu (Yoh. 17:23) dan percaya (Yoh. 17:21).
Karena keesaan gereja bersumber pada hakikat Allah dalam
Kristus, kami percaya dan memahami bahwa keesaan gereja
bukan kesatuan yang seragam yang menyesakkan dan mematikan
individualitas dan keunikan, tetapi kesatuan yang majemuk yang
memberi ruang kebebasan dan kehidupan pada semua makhluk.
Kami percaya dan mengalami bahwa Yesus Kristus yang sama
telah menjadi Tuhan yang membudaya dan diterima akrab dalam
setiap komunitas orang percaya dengan kebudayaannya masingmasing, sehingga Tuhan Yesus Kristus menjadi pengesa dari suatu
keesaan yang sangat majemuk merangkum semua manusia
dengan segala kekayaan budayanya. Kami menamai keesaan ini
Oikoumene Gerejawi (OG) yang adalah GKYE. Kami percaya bahwa
secara hakiki GKYE adalah tubuh Kristus dalam setiap budaya dan
lintas semua budaya sekaligus. Karena itu kami mengupayakan
agar keesaan gereja itu akan makin nyata di Indonesia dan
mencakup seluruh gereja termasuk gereja-gereja di luar PGI.
Di dalam kesatuan itu, kami persembahkan semua
individualitas dan ciri khas kami masing-masing, dan semua
perbedaan ras, etnis, budaya, ajaran, denominasi, struktural kami,
kepada Tuhan Yesus Kristus, agar mendapatkan tempat dan
fungsinya yang benar, yaitu sebagai elemen kemajemukan yang
membentuk, menghidupkan, dan memperkaya kesatuan, dan tidak
menjadi prinsip primordial yang eksklusif, memecah.
121
Kami mengaku bahwa setiap ketertutupan dan perpecahan
adalah pengingkaran terhadap Tuhan Yesus sebagai satu-satunya
dasar keesaan gereja dan menggantikannya dengan sesuatu yang
lain, yang seharusnya kami persembahkan di kaki salib Kristus
untuk disucikan dan dijadikan alat-Nya. Ketertutupan ini pada
dasarnya adalah penyaliban Kristus kembali. Karena itu kami
percaya bahwa keesaan itu, selain bukan keseragaman, juga bukan
kemajemukan yang didominasi oleh pihak-pihak tertentu atau
oleh kekuatan apa pun yang bukan TUHAN, misalnya ajaran
tertentu, budaya tertentu, atau yang memiliki teknologi dan uang,
semua hal yang dapat dipengaruhi oleh dosa. Keesaan gereja
dalam TUHAN adalah tempat hidup bagi semua manusia.
Karena keesaan gereja bersumber pada Allah dalam Kristus
yang menghendakinya agar dunia tahu dan percaya, kami percaya
dan memahami bahwa keesaan gereja itu sendiri adalah pada
hakikatnya kesaksian dan pemberitaan Injil. Kami memahami
bahwa semua tindak gerejawi, seperti kesaksian, pelayanan, dan
suara kenabian, kesungguhannya dan keabsahannya bertumpu
pada keesaan gereja dalam TUHAN. Karena itu Oikoumene
Gerejawi menjadi titik tumpu bagi PTPB.
Karena pewujudnyataan Oikoumene Gerejawi dalam GKYE,
yang majemuk dan demi dunia itu, berdasarkan ketaatan kepada
Tuhan Yesus Kristus, maka kami percaya dan memahami bahwa
pemberian bentuk Oikoumene Gerejawi dalam GKYE itu,
ditentukan, pertama, oleh derajat konektivitas antar anggota
tubuh dan seluruh tubuh dengan Sang Kepala (1 Kor. 12) dan
kedua, asas akuntabilitas gerejawi (kebertanggungjawaban kita
satu terhadap yang lain dan bersama-sama kepada TUHAN).
Derajat konektivitas itu tercipta antara umat, aktivis oikoumene
gerejawi (AOG), dan sentra-sentra gerejawi di semua aras (lokal,
wilayah, regional, nasional) dalam fungsi pelayanan dan kesaksian
terhadap lingkungannya.
Dalam upaya mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia kami mengikrarkan kembali kesediaan saling mengakui
dan menerima satu terhadap yang lain dengan segala perbedaan
122
yang ada, dan menyatakan komitmen kami untuk saling
menopang dalam bidang teologi, daya, dan dana sebagai berkat
TUHAN, yang harus kami jadikan berkat bagi dunia.
B. SALING MENGAKUI DAN SALING MENERIMA
1. Keanggotaan Gereja dan Perpindahan/Penerimaan
Keanggotaan
Kami mengakui dan menerima keanggotaan gereja setiap
orang yang telah menyambut panggilan Tuhan untuk hidup di
dalam dan dari kasih penyelamatan Tuhan Allah di dalam
Yesus Kristus. Dalam hal perpindahan anggota gereja ke
daerah yang sudah ada Gereja Anggota PGI di situ, kami
berupaya untuk menghormatinya dengan mengintegrasikan
diri ke dalam hidup dan pelayanannya. Mereka adalah orangorang yang telah menerima baptisan kudus dan orang-orang
yang telah mengaku percaya di hadapan jemaat dan Tuhan di
dalam kebaktian yang diselenggarakan menurut peraturan
Gereja Anggota PGI. Dengan menerima baptisan dan
pengakuan percaya, mereka dimasukkan ke dalam Gereja
Tuhan yang mengaku satu Tuhan, satu iman dan satu baptisan,
sehingga mereka semua adalah anggota dari keluarga Allah
yang satu, sebagai satu tubuh dalam kebersamaan dan damai
sejahtera (bnd. 1 Kor. 12:13-26; Rm. 12:5 dst.; Ef. 4:3-6; 1 Tim.
3:15) untuk menerima kasih dan keselamatan dari Allah dalam
Kristus dan untuk memikul dan melaksanakan panggilan dan
misi bersama sebagai bagian dari orang percaya sedunia dan
di Indonesia.
Atas dasar itu, kami menerima dan melaksanakan
perpindahan keanggotaan gereja dari warga yang pindah
dengan dukungan surat keterangan dari gereja atau jemaat
asalnya yang menerangkan keadaan warga yang pindah itu.
Cara pelaksanaan penerimaan keanggotaan baru disesuaikan
dengan peraturan gereja penerima.
123
2. Diakonia
Kami mengakui dan menerima pelayanan diakonia yang
diadakan oleh gereja-gereja dalam lingkungan PGI. Yang
dimaksud dengan pelayanan diakonia dalam hal ini adalah
pelayanan dan keterlibatan gereja yang ditimbulkan dari
panggilan dan tugasnya untuk memperhatikan, membantu,
memerdekakan dan melepaskan setiap orang, yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dan keluarga
mereka masing-masing pada masa kini dan masa depan
dengan selayaknya. Mereka ini adalah orang-orang yang miskin, sakit, terasing, lemah dan terlantar, bodoh, korban
bencana alam dan peperangan, terbelakang, terkena perlakuan
tidak adil dan sewenang-wenang, menjadi korban kekerasan
dan ketidakpastian hukum (lih. Kel. 21:23-33; Yes. 58:6-7; Za.
7:9-10; Mat. 9:35-38; 25:31-46; Luk. 4:16-21; Kis. 6:1-7; Yak.
1:26-27; 1 Tim. 5:3-16). Pelayanan diakonia ini berpola pada
Yesus sebagai Pelayan yang memberi nyawa-Nya sebagai
tebusan bagi banyak orang (Mrk. 10:45).
Oleh karena itu, kami dengan sukacita mau membangun
pola pelayanan yang saling mengisi dan menopang antargereja dalam lingkungan PGI dan melibatkan diri secara
bersama-sama dalam pelayanan diakonia gereja. Pelayanan
tersebut dilaksanakan dalam semangat yang kuat menanggung
yang lemah, yang kaya mencukupkan yang miskin, sehingga
terciptalah keseimbangan dan pemerataan pelayanan (bnd. 2
Kor. 8:9; Gal. 2:9-10) demi kehadiran misi kami bersama
sebagai gereja.
3. Pemberitaan Firman
Kami mengakui dan menerima pelayanan pemberitaan Firman
Allah berdasarkan Alkitab yang dilakukan dengan teratur dan
tertib oleh Gereja Anggota PGI. Pelayanan pemberitaan Firman
Allah adalah pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan sendiri,
dan karena itu merupakan bagian hakiki dari kehidupan gereja
sebagai persekutuan kenabian dan keimanan, kerasulan,
124
untuk memanggil ke dalam pertobatan, untuk memberi
hikmat, untuk menuntun kepada keselamatan oleh iman
kepada Yesus Kristus, untuk menyatakan kesalahan, untuk
memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik dalam kebenaran,
sehingga setiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk
melakukan perbuatan baik (Mrk. 3:14; 16:15; Mat. 28:16-20; 2
Tim. 3:15-17; 4:2).
Oleh karena itu, kami mengadakan kegiatan-kegiatan
pertukaran pelayanan firman, kebaktian-kebaktian bersama,
dan memajukan kegiatan-kegiatan untuk melakukan
Pemahaman Alkitab secara bersama dan teratur, serta
menerbitkan bahan-bahannya dan membaginya.
4. Pekabaran Injil
Kami mengakui dan menerima Pekabaran Injil yang
diselenggarakan oleh setiap Gereja Anggota PGI menurut
peraturan gereja tersebut dengan memperhatikan pemahaman-pemahaman bersama mengenai Injil dan Pekabaran
Injil yang sudah dihasilkan dalam perjalanan memasuki
sejarah bersama selama ini (Mat. 28:19-20; Mrk. 16:15; Yoh.
1:8), yakni:
Injil adalah berita kesukaan mengenai pertobatan dan
pembaruan yang tersedia bagi manusia (Mrk. 1:15; Mat.
28:19-20; Kis. 1:8) serta kebebasan, keadilan, kebenaran, dan
kesejahteraan yang dikehendaki Tuhan untuk dunia (Luk.
4:18-21); sebagai berita kesukaan, Injil adalah kekuatan Allah
yang menyelamatkan manusia (Rm. 1:16). Oleh karena itu,
kami sepakat untuk lebih meningkatkan kepekaan kami di
dalam menjawab panggilan Tuhan untuk mengabarkan Injil
dengan memperhatikan ”tanda-tanda zaman” yang ada dan
dengan mengembangkan kebersamaan dan semangat topangmenopang dalam pelaksanaan Pekabaran Injil, yang mencakup
tugas penelitian dan pengembangan teologi, daya, dana, pola
hidup dan pendekatan misioner kegembalaan.
125
5. Baptisan Kudus
Kami mengakui dan menerima pelayanan baptisan kudus yang
diselenggarakan oleh Gereja Anggota PGI kepada seseorang.
Pelayanan baptisan kudus ini sah berdasarkan kesaksian
Alkitab, karena hal itu:
a. Telah diamanatkan oleh Tuhan Yesus yang telah bangkit
(Mat. 28: 18-20; Mrk. 16:15-16);
b. Telah dilakukan dalam dan oleh gereja di zaman para rasul
(Kis. 8:36-38; 16:33, 18:8; 22:16; 1 Kor. 1:16);
c. Dilaksanakan dalam kebaktian yang didasari dengan
pemberitaan Firman (Kis. 2:37-42) disertai dengan tanda
yang nyata yaitu air (Kis. 8:37-39) dan dilayani dalam
nama Bapa, Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19; Mrk. 16:16),
tanpa membedakan bentuk-bentuk praktis pelaksanaan
baptisan dewasa atau anak, percik atau selam. Kepada
mereka yang telah dibaptis dalam pengertian dan cara
yang demikian, dikaruniakan Roh Kudus oleh Allah dalam
Kristus yang akan terus memimpin dan membarui (Kis.
2:38; Rm. 8; 1 Kor. 12:7-11; 2 Kor. 5:17; Kol. 2:10-11);
d. Mempersatukan setiap orang yang telah menerima
baptisan kudus itu dengan kematian dan kebangkitan
Kristus (Rm. 6:3-5; Kol. 2:12) yang terjadi hanya sekali
untuk selama-lamanya bagi setiap orang (Ibr. 9:26-28; 1
Ptr. 3:18);
e. Menghisabkan setiap orang yang telah menerima baptisan
kudus itu ke dalam satu tubuh (1 Kor. 12:13); yaitu gereja
yang merupakan persekutuan orang-orang beriman dari
segala zaman dan tempat, dan yang terus-menerus
tumbuh dan membangun diri dalam kasih (Ef. 4:16). Setiap
orang yang telah dibaptis itu menjadi bait Allah dan
tempat kediaman Roh Kudus (1 Kor. 3:16) dan menerima
karunia Roh Kudus (1 Kor. 12:7-11) dan hidupnya
dipimpin oleh Roh Kudus (Rm. 8:9, 14). Oleh karena itu, di
dalam menerima perpindahan keanggotaan gereja dari
wargagereja di lingkungan PGI, kami tidak melakukan
126
pembaptisan ulang, melainkan hanya mengumumkannya di dalam kebaktian jemaat.
6. Perjamuan Kudus
Kami mengakui dan menerima pelayanan Perjamuan Kudus
yang diselenggarakan oleh setiap Gereja Anggota PGI menurut
pemahaman dan peraturan gereja tersebut. Pelayanan
Perjamuan Kudus ini sah berdasarkan kesaksian Alkitab,
karena hal itu:
a. Telah diamanatkan oleh Tuhan Yesus sebagai tanda
kehadiran-Nya dan tanda peringatan akan kematian,
kebangkitan, dan kedatangan-Nya kembali (Luk. 22:14-20;
1 Kor. 11:23-26), untuk keampunan dosa manusia, yang
harus terus-menerus diberitakan sampai Ia datang
kembali.
b. Telah dilakukan dalam dan oleh gereja dan di zaman para
Rasul (2 Kor. 10:17; 11:23-26; bnd. Kis. 2:42, 46).
c. Memungkinkan setiap orang percaya untuk mengalami
sukacita keselamatan yang telah dikerjakan oleh Kristus
dalam pengharapan akan memasuki perjamuan Anak
Domba (Why. 19:9) dalam penggenapan Kerajaan Allah
(Mat. 26:26-29; Mrk. 14:25; Luk. 22: 15-16).
d. Adalah ucapan syukur jemaat atas kasih karunia
pengampunan dosa dan penyelamatan manusia oleh
Kristus, Pembela dan Pengantara manusia (Rm. 8:34; Ibr.
7:25), yang tetap mengasihi umat-Nya sampai pada
kesudahannya (Yoh. 13:1).
e. Dilayani dalam suatu kebaktian yang didasari dengan
pemberitaan Firman dan melalui tanda-tanda nyata, yaitu
roti dan air anggur (1 Kor. 11:23-25; bnd. Mat. 26-29; Mrk.
14:22-25 dan Luk. 22:14-20).
f. Dihayati sebagai persekutuan dengan tubuh dan darah
Kristus
yang
membawa
kepada
persekutuan
persaudaraan, sehingga kehadiran gereja yang esa, kudus,
am dan rasuli itu tercermin dalam perayaan Perjamuan
127
Kudus itu (bnd. 1 Kor. 10:16-17). Dengan Persekutuan
Perjamuan Kudus ini pula gereja menjadikan dirinya
sebagai tanda pekerjaan penyelamatan Allah di dalam
dunia, sebagai tanda kesatuan umat manusia baru. Dalam
pemahaman seperti itu, maka melalui Perjamuan Kudus
gereja merindukan kesatuan segenap umat manusia dalam
Kerajaan dan Pemerintahan Allah yang melampaui batasbatas kelembagaan gereja sehingga Kristus menjadi semua
di dalam semua (bnd. Mrk. 14:25; 1 Kor. 11:26; Kol. 3:1011).
Oleh karena itu, kami mengadakan sesering mungkin pelayanan Perjamuan Kudus secara bersama di tempat kami berada.
7. Penggembalaan
Kami mengakui dan menerima pelaksanaan pelayanan
penggembalaan dalam kehidupan gereja-gereja dalam
lingkungan PGI. ”Penggembalaan” adalah pelayanan gereja
untuk memelihara, menuntun, membimbing, memberi
pengertian, mengarahkan dan menyadarkan warga bagi
keutuhan hidupnya, agar ia hidup di dalam kasih pengampunan dan keselamatan Allah dalam Kristus. Tindakan
penggembalaan ini berpola pada keprihatinan penuh dari
Allah terhadap umat-Nya, Israel, dan khususnya pada Yesus
Kristus sebagai Gembala Agung kepada kawanan domba
gembalaan-Nya (lih. Mzm. 23; Yeh. 34; Luk. 15:1-7; Mat. 18:1214; Yoh. 10; 1 Ptr. 2:18-25; 5:1-4).
Pelayanan penggembalaan yang dimaksud di sini adalah
pelayanan penggembalaan atas warga jemaat yang karena
alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu tidak
dapat dilayani oleh gerejanya, sehingga dengan persetujuan
bersama diserahkan kepada gereja lain dalam lingkungan PGI.
Bahwa hal ini dimungkinkan didasarkan pada pemahaman
dan keyakinan bersama bahwa pada dasarnya semua
wargagereja adalah satu kawanan dengan satu Gembala
Agung, yaitu Yesus Kristus, yang telah mengorbankan hidup-
128
Nya untuk kami, umat-Nya. Oleh karena itu, kami bersedia
bekerja sama di dalam pelayanan penggembalaan.
8. Disiplin Gerejawi
Kami mengakui dan menerima tindakan disiplin gerejawi
seperti yang dinyatakan dalam Alkitab (Mat. 18:15-18; Gal.
6:1-2; bnd. Flp. 2:1-4). Tindakan disiplin gerejawi adalah salah
satu bentuk proses pelayanan penggembalaan khusus kepada
anggota atau pejabat gereja yang perbuatan atau ajarannya
nyata-nyata menyimpang dari Firman Tuhan. Hal itu
dilaksanakan berdasarkan kasih dengan tujuan mengembalikan saudara yang bersangkutan ke jalan yang benar, kepada kehidupan dalam kepenuhan dan kelimpahan yang
Kristus anugerahkan, sehingga dicapailah kesatuan yang kuat
dan utuh serta ketertiban di dalam kehidupan berjemaat (2
Tim. 1:7b). Cara pelaksanaan tindakan disiplin ini diatur
menurut peraturan Gereja Anggota PGI.
Oleh karena itu, kami saling menghormati, saling
mengakui setiap keputusan gerejawi yang mengenakan
tindakan disiplin terhadap pejabat atau warganya.
9. Pengajaran Pokok-pokok Iman Kristen
Kami mengakui dan menerima penyelenggaraan pendidikan
dan pengajaran pokok-pokok iman Kristen (kepada mereka
yang akan dibaptis), serta pemahaman peraturan Gereja
Anggota PGI. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pokokpokok iman Kristen adalah kegiatan yang ditugaskan oleh
Tuhan sendiri kepada jemaat-Nya sebagai kegiatan yang
berlangsung terus-menerus. Hal tersebut dilaksanakan agar
wargajemaat bertumbuh menjadi dewasa penuh sesuai
dengan kepenuhan Kristus, sehingga mereka siap senantiasa
memberi pertanggungjawaban tentang pengharapan mereka
dalam Kristus (Ef. 4:11-16; 1 Ptr. 3:15).
129
Oleh karena itu kami saling mendukung dan
mengembangkan segala upaya untuk menata dan meningkatkan mutu pengajaran pokok-pokok iman Kristen.
10. Pemberkatan Pernikahan Gerejawi
Kami mengakui dan menerima setiap pelayanan pemberkatan
pernikahan gerejawi oleh pejabat gereja menurut peraturan
Gereja Anggota PGI. Perkawinan adalah suatu pranata
hubungan antara dua orang manusia, laki-laki dan perempuan,
yang dihisabkan ke dalam karya penciptaan Allah dan
termasuk ke dalam tata alam semesta yang diciptakan dan
dipelihara Allah (Kej. 1:27-28; 2:15, 24-25). Karena itu
terhadap pasangan yang menikah, kasih dan pemeliharaan
Allah harus dinyatakan dan dikukuhkan melalui pemberkatan
perkawinan yang dilakukan oleh pejabat gereja. Pemberkatan
itu mengingatkan suami isteri mengenai rahasia hubungan
antara Kristus dengan jemaat. Mereka bergantung dari
anugerah Allah dan masing-masing dituntut untuk hidup
saling setia dan saling melayani di dalam kekudusan, kasih dan
damai sejahtera (Ef. 5:22-23; 1 Ptr. 3:1-7).
Oleh kerena itu kami bersedia bekerja sama di dalam
proses penyelenggaraan kebaktian pemberkatan nikah.
11. Pelayan/Pejabat Gerejawi
Kami mengakui menerima pengadaan, pengangkatan dan
peneguhan/pelantikan pejabat gerejawi yang dilakukan oleh
setiap Gereja Anggota PGI menurut petunjuk Alkitab (1 Tim.
3:1-5; Tit. 1:5-16) dan sesuai dengan peraturan gereja
tersebut.
Pengadaan, pengangkatan, dan peneguhan/pelantikan
pejabat gerejawi itu adalah untuk melayani dan menuntun
jemaat dalam persekutuan, peribadahan, kesaksian,
pembinaan, dan pelayanan di tengah dunia.
Hal itu berdasarkan kesaksian Alkitab bahwa:
130
(1) Seluruh anggota jemaat dipanggil untuk melayani (1 Ptr.
2:9);
(2) Pada dasarnya Allahlah yang memangggil para pejabat
gerejawi, untuk menjadi kawan sekerja-Nya dalam
perwujudan pekerjaan dan misi Allah bagi dan dalam
dunia ini. Panggilan Allah ini teruji di dalam pemanggilan
yang dilakukan oleh gereja terhadap calon pejabat
gerejawi dan di dalam kesungguhan sikap dan kelurusan
hati pejabat tersebut untuk menaati Allah dan
memberlakukan kehendak-Nya (1 Kor. 7:20; Ef. 1:18; Flp.
3:14; 2 Tes. 1:11; 2 Tim. 1:9; Ibr. 3:1; 2 Ptr. 1:10);
(3) Kristus memberikan jabatan (Ef. 4:11-16) untuk
memperlengkapi wargagereja bagi pekerjaan pelayanan.
Pemberian jabatan itu ditandai dengan penumpangan
tangan oleh pejabat gereja dalam kebaktian jemaat (Kis.
6:1-6; 13:2-3).
Oleh karena itu, kami mengadakan pertukaran
pelayan/pejabat gerejawi, baik untuk saat-saat tertentu
maupun jangka waktu yang lama, dengan didukung oleh suratsurat keterangan dari gereja pengutus dan menyatakan
kesediaannya untuk memenuhi peraturan gereja penerima
demi keberhasilan pelayanannya (1 Kor. 9:19-23).
12. Penguburan/Pengabuan
Kami mengakui dan menerima pelayanan upacara penguburan
dan atau pengabuan menurut pemahaman dan peraturan
Gereja Anggota PGI, untuk memberitakan kebangkitan Kristus,
bahwa ia telah mengalahkan maut, dan untuk memberikan
penghiburan (1 Tes. 4:18) dan harapan bagi keluarga yang
ditinggalkan.
Penghiburan dan pengharapan ini berdasar pada
kebangkitan Kristus dari antara orang mati. Bahwa manusia
yang mati di dalam Kristus kepadanya akan diberikan tubuh
yang baru, yaitu tubuh kemuliaan atau tubuh rohani yang
tidak lagi mengalami kebinasaan. Bahwa Tuhan bukanlah
131
Tuhan untuk orang yang hidup saja, tetapi juga Tuhan yang
kesetiaan-Nya tetap dialami oleh orang-orang yang telah
meninggal. Hal ini tampak di dalam kebangkitan dari antara
orang mati bagi setiap orang yang mati di dalam Kristus untuk
beroleh kasih dan kemurahan Allah (Rm. 8:9; 14:8; 1 Kor.
15:35-38; Flp. 3:21; 1 Tes. 4:13-18). Pelayanan penguburan
dan atau pengabuan seorang wargagereja lain, yang karena
keadaan pada waktu dan tempat tertentu tidak dapat
dilakukan oleh gereja asalnya, dapat dilaksanakan oleh Gereja
Anggota PGI lainnya.
C. SALING MENOPANG DI BIDANG DAYA DAN DANA
1. Yang dimaksud dengan saling topang-menopang gereja adalah
suatu upaya bersama untuk terus-menerus memperkembangkan semua kemampuan (potensi) dan pemberian Tuhan
secara bebas dan bertanggungjawab bagi persekutuan,
pelayanan, dan kesaksian. Melalui proses kebersamaan itu
gereja
menuju
kemandirian
(keberdayaan),
yaitu
”kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan sesuai dengan kepenuhan Kristus” (Ef. 4:13).
Saling menopang berarti memiliki kepribadian yang
bersedia berbagi dalam hubungan secara langsung dengan
Kristus sebagai sumber segalanya. Ketergantungan kepada
Kristus ini membawa tiap orang percaya pada ”Kesatuan
Iman” (Ef. 4:13) untuk saling membantu di antara seorang
dengan yang lain, satu gereja dengan gereja yang lain, baik di
dalam maupun di luar negeri.
2. Saling menopang mencakup tiga unsur, yaitu teologi, daya, dan
dana, yang merupakan satu mata rantai yang saling berkaitan
erat, di mana yang satu dapat menghambat bila tidak
diperhatikan, tapi akan sangat mendorong bilamana dikaitkan
dengan yang lainnya. Namun dalam pelaksanaannya, saling
132
menopang dalam bidang daya merupakan unsur yang sangat
strategis.
3. Secara umum saling menopang dipahami sebagai sikap yang
merupakan salah satu ciri kemandirian. Sikap itu:
a. bersumber pada pengenalan dan kesadaran akan hakikat
dan tujuan hidup kristiani;
b. didasari pada rasa percaya diri yang kuat karena
kemurahan Allah;
c. menyatakan diri dalam perilaku yang ditandai dengan
tekad dan kemauan untuk menjawab persoalan-persoalan
dan tantangan-tantangan hidup tanpa menggantungkan
diri pada orang lain dengan jalan mengelola sebaikbaiknya potensi-potensi dan kesempatan-kesempatan
yang tersedia.
4. Saling menopang didasarkan pada pemahaman dan
pengakuan bahwa dalam diri Yesus Kristus yang datang di
tengah kancah kehidupan dunia, Allah berkenan mengawali
misi-Nya untuk menyelamatsejahterakan dunia dengan
membebaskan manusia dari dosa, maut dan segala bentuk
penindasan dan penderitaan dalam rahmat pengampunanNya. Hakikat dan tujuan hidup gereja adalah keikutsertaannya
dalam misi ilahi tersebut dengan jalan menjadi:
a. buah sulung dari dunia yang sudah diselamatsejahterakan
oleh dan di bawah kuasa Tuhan;
b. satu persekutuan persaudaraan yang setia mengikuti
Tuhannya, yang bersaksi tentang Yesus Kristus serta
memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada semua makhluk
dan yang melayani sesama manusia dengan menghalau
segala sesuatu yang menghalangi keselamatsejahteraan (1
Kor. 3:9, Yak. 1:18; Mrk. 3:14, dll.).
5. Dalam hidup dan bekerja sesuai dengan hakikat serta tujuan
tersebut, gereja dipanggil untuk:
133
a. Senantiasa menerima pertumbuhan, membangun dan
membarui diri dalam kasih menuju ke ”kedewasaan penuh
dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus” (Ef. 4:12-16).
b. Menyatakan kesediaan saling menopang sebagai salah satu
wujud kedewasaan.
6. Kemampuan gereja untuk saling menopang (kemandirian
gereja) diungkapkan dengan berbagai cara oleh Alkitab, antara
lain:
a. Besarnya kemampuan umat Tuhan.
Ulangan 15:6: ”Apabila TUHAN, Allahmu, memberkati
engkau, seperti yang dijanjikan-Nya kepadamu, maka
engkau akan memberi pinjaman kepada bangsa, tetapi
engkau sendiri tidak akan meminta pinjaman; engkau akan
menguasai banyak bangsa, tapi mereka tidak akan
menguasai engkau”.
Yosua 23:10: ”Satu orang saja daripada kami dapat
mengejar seribu orang, sebab TUHAN Allah, dialah yang
berperang bagi kamu, seperti yang dijanjikan-Nya
kepadamu”.
b. Kemampuan mengembangkan diri dalam segala keadaan
dan melipatgandakan talenta.
Filipi 4:11-13: ”Kekuatan ini bukanlah karena kekurangan,
sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala
keadaan. Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa
itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara
tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku: baik
dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik
dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang
memberi kekuatan kepadaku”.
Matius 25:16: ”Segera pergilah hamba yang menerima lima
talenta itu. Ia menjalankan uang itu lalu beroleh laba lima
talenta”.
134
c. Harga diri warga gereja.
1 Tesalonika 4:11-12: ”Dan anggaplah sebagai suatu
kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus
persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan,
seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga
kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata luar
dan tidak bergantung pada mereka”.
Kisah Para Rasul 20:35: ”Adalah lebih berbahagia memberi
daripada menerima”.
d. Kemandirian dalam hal kepercayaan.
Yohanes 4:42: ”Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa
yang kau katakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia
dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat
dunia”.
7. Rasa percaya diri yang mendasari saling menopang di antara
gereja-gereja, bersumber pada iman, pengetahuan dan
kesetiaan, bahwa Tuhan menganugerahkan kekuatan dan
berkat.
2 Korintus 8:9: ”Karena kamu telah mengenal kasih karunia
Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu
menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya
oleh karena kemiskinan-Nya”.
2 Korintus 9:8: ”Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih
karunia kepada kamu, supaya kami senantiasa berkecukupan
di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam
pelbagai kebajikan”.
8. Saling menopang harus terjadi pada diri perorangan sampai di
semua satuan persekutuan gereja: di satuan keluarga, di
satuan jemaat setempat, di satuan sinodal dan di satuansatuan oikoumenis, oleh sebab itu suatu gereja tidak dapat
benar-benar saling menopang di luar ikatan persekutuannya
135
dengan gereja-gereja lain, seperti diungkapkan dalam Efesus
4:16: ”daripada-Nyalah seluruh tubuh yang rapi tersusun
diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya sesuai
dengan kadar pekerjaan anggota”.
Dengan demikian saling menopang memprasyaratkan:
a. Pemilikan dan pembaruan visi tentang hakikat dan tujuan
hidup.
b. Pemilikan nilai-nilai tertentu seperti rasa percaya diri, jeli
dalam mengamati perkembangan, berpandangan ke
depan, gigih dalam berusaha, menghargai waktu, tertib,
hemat dan mampu membina kerjasama.
c. Pemilikan dan pendayagunaan ilmu pengetahuan,
teknologi, serta berbagai keterampilan.
9. Untuk melaksanakan panggilannya sesuai dengan hakikat dan
tujuan hidupnya, gereja memerlukan visi dan motivasi
teologis, tenaga manusia dan dana serta berbagai sarana lain.
Karena itu:
a. Kemandirian gereja harus terwujud di tiga bidang
sekaligus, yaitu teologi, daya dan dana.
b. Tiga bidang tersebut merupakan mata rantai yang saling
berkaitan.
c. Kemandirian daya dalam arti kedewasaan kemanusiaannya merupakan mata rantai yang paling sentral dan
strategis, sehingga harus diberi perhatian besar.
10. Berdasarkan panggilan gereja untuk melayani sesama,
kemandirian gereja harus mampu memberikan sumbangan
positif bagi perwujudan kemandirian bangsa, terutama dalam
kaitannya dengan tiga hal yaitu:
a. Sifat majemuk masyarakat Indonesia, menuntut
diadakannya secara terus-menerus dialog dan kerjasama,
yang dijiwai oleh motivasi yang tulus di antara para
pemeluk semua agama yang ada.
136
b. Perkembangan yang cepat dari masyarakat Indonesia
menuju masyarakat teknologi dan industri yang menuntut
kesiapan semua pihak untuk menghadapi baik dampak
positif maupun negatif dari perkembangan itu.
c. Peningkatan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
dalam rangka Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan
Pancasila.
11. Seluruh upaya saling menopang di bidang teologi, daya dan
dana dilaksanakan dalam konteks keesaan, visi dan misi
bersama, sekaligus merupakan gaya hidup otentik dari gerejagereja di Indonesia.
137
TATA DASAR
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
BAB I
NAMA, WAKTU DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 1
Nama
Di Indonesia ada Persekutuan gerejawi dengan nama
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA, disingkat PGI.
Pasal 2
Waktu dan Tempat Kedudukan
1. PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA, yang
ditetapkan pada Sidang Raya DGI pada tanggal 21-31 Oktober
1984 di Ambon, merupakan kelanjutan serta peningkatan
Dewan Gereja-gereja di Indonesia yang telah didirikan pada
tanggal 25 Mei 1950, untuk waktu yang tidak ditentukan
lamanya.
2. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia berkedudukan di Ibu
kota Negara Republik Indonesia.
BAB II
PENGAKUAN DAN TUJUAN
Pasal 3
Pengakuan
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengaku bahwa Yesus
Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia serta Kepala Gereja,
sumber kebenaran dan hidup, yang menghimpun dan
menumbuhkan gereja sesuai dengan Firman Allah dalam Alkitab,
138
yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (I Kor 3:11): “ Karena
tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada
dasar yang telah diletakkan yaitu Yesus Kristus” (bnd. Mat. 16:1618, Ef. 4:15 dan Ul. 7:6).
Pasal 4
Tujuan
Tujuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
mewujudkan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia.
adalah
BAB III
AZAS BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA
Pasal 5
Dalam terang pengakuan yang tercantum dalam pasal 3
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia berazaskan Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
BAB IV
USAHA-USAHA
Pasal 6
Bentuk dan Isi Usaha
1.
Untuk mencapai tujuan tersebut pada Pasal 4 di atas,
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengadakan usaha
pelayanan dan kesaksian serentak dengan usaha memberi
bentuk pada keesaan di lingkungan umat Kristen di
Indonesia.
a. Mendukung gereja-gereja dan jemaat-jemaat untuk
meningkatkan kesadaran dan penghayatan warga
jemaat untuk lebih menampakkan persekutuan dalam
139
b.
c.
d.
e.
2.
kesatuan Roh (Ef. 4:3) dengan kebaktian dan
perjamuan kudus bersama, menuju penghayatan dan
pengamalan pemahaman bersama Iman Kristen di
Indonesia.
Meningkatkan kebersamaan dan pelayanan dan
kesaksian (Kis. 2:42)
Meningkatkan rasa persaudaraan dan sikap tolong
menolong (Gal. 6:2)
Meningkatkan dan mengembangkan kesadaran dan
memampukan gereja-gereja untuk mandiri (Ef. 4:13)
Usaha-usaha tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut
dengan mengacu pada strategi dan program lima tahun
PGI berdasarkan visi dan misi yang merupakan
penjabaran dari dokumen-dokuman keesaaan Gereja
yang ditetapkan dalam setiap Sidang Raya untuk
dilaksanakan bersama-sama dengan melihat seluruh
Indonesia dan dunia sebagai wilayah pelayanan dan
kesaksian bersama.
Bersama-sama dengan gereja-gereja anggota memperjuangkan pengakuan dan penghargaan atas harkat dan martabat
manusia dan perlindungan hukum demi tegaknya hak-hak
asasi manusia secara adil dan beradab.
Pasal 7
Pelaksanaan Usaha
1.
2.
Usaha-usaha Persekutuan gereja-gereja di Indonesia
tersebut pada Pasal 6 di atas, dilaksanakan oleh gerejagereja anggota PGI dan alat-alat kelengkapan PGI.
Usaha yang dilaksanakan oleh gereja-gereja anggota PGI dan
oleh alat-alat kelengkapan PGI merupakan satu kesatuan
yang utuh dan menyeluruh, yang saling memperkuat dan
mendukung dalam rangka pelaksanaan dokumen-dokumen
keesaaan Gereja.
140
BAB V
KEANGGOTAAN
Pasal 8
Penerimaan Anggota
1.
2.
Yang dapat diterima menjadi anggota PGI, ialah gerejagereja yang berkedudukan di Indonesia.
Syarat-syarat penerimaan adalah sebagai berikut:
a. Mempunyai Tata Gereja sendiri, memberitakan Firman
Allah dan melayani sakramen sesuai dengan kesaksian
Alkitab.
b. Mempunyai anggota dewasa yang sudah dibaptis/sidi
sekurang-kurangnya 10.000 (sepuluh ribu) orang
dengan rekomendasi 10 (sepuluh) gereja anggota PGI
dan PGIW/SAG setempat.
c. Menunjukkan kerjasama yang baik dengan gerejagereja tetangganya, terutama gereja anggota PGI.
d. Menyatakan persetujuannya secara tertulis terhadap
dokumen-dokumen keesaan Gereja serta kesediaannya
untuk melaksanakan semua hak dan kewajibannya
sebagai gereja anggota dengan bersungguh-sungguh.
e. Menyatakan kesediaan mencantumkan “anggota PGI” di
belakang nama gereja yang bersangkutan.
Pasal 9
Kewajiban dan Hak Gereja Anggota
1. Gereja anggota bertanggung jawab mengenai keputusankeputusan yang telah disepakati bersama, dan berkewajiban
untuk melaksanakannya termasuk dalam melaksanakan
dokumen-dokumen keesaan gereja.
2. Gereja anggota menempatkan pelaksanaan tugas panggilannya
dalam rangka pelaksanaan visi, misi, strategi dan program
kerja lima tahun PGI sebagai penjabaran dari dokumendokumen keesaan Gereja.
141
3. Gereja anggota menerima Pemahaman Bersama Iman Kristen
di Indonesia dan melaksanakan Piagam Saling Mengakui dan
Saling Menerima.
4. Gereja anggota memberikan sumbangan yang sepadan dengan
anugerah yang diterimanya untuk membiayai pelaksanaan
keputusan bersama.
5. Gereja anggota terbuka untuk menerima pelayanan dari alatalat kelengkapan PGI dan dari gereja anggota PGI lainnya
dalam terang kebersamaan dan perwujudan persekutuan,
termasuk fungsi mediasi dalam hal-hal yang berhubungan
dengan terganggunya persekutuan dan keesaan Gereja.
Pasal 10
Berakhirnya Keanggotaan
Berakhirnya keanggotaan dalam Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia baik atas nama permintaan gereja anggota yang
bersangkutan maupun sebab lainnya, ditetapkan oleh Sidang Raya
PGI.
BAB VI
ALAT KELENGKAPAN
Pasal 11
Alat-alat Kelengkapan
Alat kelengkapan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia terdiri
dari:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Sidang Raya
Majelis Pekerja Lengkap
Majelis Pekerja Harian
Badan Pengawas Perbendaharaan
Majelis Pertimbangan
PGI Wilayah/SAG
Badan-badan lain yang ditentukan oleh Sidang Raya
142
Pasal 12
Sidang Raya
1. Sidang Raya adalah lembaga tertinggi dalam pengambilan
keputusan terakhir. Sidang Raya juga merupakan pesta iman.
2. Sidang Raya terdiri dari para utusan semua gereja anggota
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Sidang Raya terdiri dari 2 (dua) bagian:
a. Persidangan ialah forum untuk mengambil keputusan
mengenai kebijakan-kebijakan pokok PGI.
b. Pesta iman ialah pertemuan bagi para peserta Sidang Raya
untuk memperdalam penghayatan iman serta wawasan
peserta sidang.
3. Sidang Raya diadakan sekali dalam lima tahun di tempat yang
ditentukan oleh Sidang Raya/Majelis Pekerja Lengkap atas
undangan Majelis Pekerja Harian.
4. Sidang Raya diawali oleh Pertemuan Raya Pemuda Gereja
(PRPG) dan Pertemuan Raya Perempuan Gereja (PRPrG) yang
merupakan forum pengambilan keputusan untuk diusulkan
dan ditetapkan oleh Sidang Raya.
5. Dalam hal luar biasa Sidang Raya Istimewa Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia dapat diadakan dengan ketentuan:
a. Bila dianggap perlu oleh Majelis Pekerja Lengkap, atau
b. Atas permintaan tertulis dari sekurang-kurangnya 1/3
(satu pertiga) jumlah gereja anggota dengan menyebut
masalah-masalah yang hendak dibicarakan.
6. Tugas Sidang Raya adalah:
a. Membahas dan memperdalam hidup gerejawi dalam
persekutuan, kebaktian, kesaksian, dan pelayanan, dengan
bersama-sama menelaah Firman Allah.
b. Membahas keadaan dan tanggung jawab bersama gerejagereja di Indonesia, menetapkan dokumen-dokumen
keesaan Gereja.
c. Menilai dan menerima pertanggungjawaban MPH-PGI.
d. Membahas dan menerima hasil-hasil PRPG dan PRPrG.
e. Memilih dan atau menetapkan anggota-anggota dari:
143
(1)
(2)
(3)
(4)
Majelis Pekerja Lengkap PGI
Majelis Pekerja Harian PGI
Badan Pengawas Perbendaharaan PGI
Majelis Pertimbangan PGI
Pasal 13
Majelis Pekerja Lengkap
1. Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia disingkat MPL-PGI terdiri dari:
1) Anggota penuh:
a. Seorang wakil dari setiap gereja anggota
b. Semua anggota MPH-PGI
c. Seorang wakil dari setiap PGI Wilayah/SAG
d. Seorang wakil dari unsur Pemuda dan seorang wakil
dari unsur Wanita atas rekomendasi dari PRPG dan
PRPrG.
2) Anggota Mitra:
Yakni para wakil dari unsur Wanita, Pemuda dan Warga
Gereja yang bukan pendeta.
2. MPL-PGI bersidang sekali setahun di tempat yang ditentukan
oleh Majelis Pekerja Lengkap atas undangan Majelis Pekerja
Harian.
3. Dalam hal luar biasa Sidang Istimewa MPL-PGI dapat diadakan
dengan ketentuan:
a. Bila dianggap perlu oleh Majelis Pekerja Harian, atau
b. Atas permintaan tertulis dari sekurang-kurangnya 1/3
(satu pertiga) jumlah anggota MPL-PGI (bukan anggota
Majelis Pekerja Harian), dengan menyebut masalahmasalah yang hendak dibicarakan.
4. MPL-PGI bertugas untuk:
a. Mengawasi pelaksanaan keputusan Sidang Raya PGI.
b. Menetapkan program kerja tahunan PGI yang merupakan
penjabaran lebih rinci dari dokumen-dokumen keesaan
gereja yang telah ditetapkan oleh Sidang Raya.
144
c. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahunan
PGI.
d. Menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul antara 2 (dua) Sidang Raya.
e. Menerima dan menilai laporan tahunan termasuk laporan
keuangan/ perbendaharaan yang disampaikan oleh
Majelis Pekerja Harian.
Pasal 14
Majelis Pekerja Harian
1. Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
disingkat MPH-PGI, terdiri dari:
a. Seorang Ketua Umum
b. 4 (empat) orang Ketua
c. Seorang Sekretaris Umum
d. Seorang Wakil Sekretaris Umum
e. Seorang Bendahara
f. Seorang Wakil bendahara
g. 4 (empat) orang anggota, dengan ketentuan bahwa
seluruh anggota MPH-PGI berjumlah 13 (tiga belas) orang.
2. Tata Cara Pemilihan dan syarat-syarat keanggotaan MPH-PGI
ditetapkan oleh Sidang Raya atas usul MPL-PGI.
3. MPH-PGI bersidang sekurang-kurangnya satu kali dalam 6
(enam) bulan.
4. MPH-PGI bertugas untuk:
a. Melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh
Sidang Raya dan Sidang MPL-PGI.
b. Menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul antara 2 (dua) Sidang MPL-PGI dan mempertanggungjawabkannya kepada MPL-PGI.
c. Menyusun dan mengajukan Program Kerja tahunan dan
Rencana Anggaran dan Pendapatan Tahunan PGI kepada
Sidang MPL-PGI untuk memperoleh pengesahan dan
penetapan.
145
d. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
Sidang MPL-PGI dan Sidang Raya.
5. Dalam keadaan mendesak MPH-PGI dapat mengambil
kebijakan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan
bergereja, berbangsa dan bernegara dan mempertanggung
jawabkannya kepada Sidang MPL terdekat.
Pasal 15
Badan Pengawas Perbendaharaan
1. Badan Pengawas Perbendaharaan Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia, disingkat BPP-PGI terdiri dari warga gereja dari
gereja anggota PGI yang oleh Sidang Raya dianggap mampu
untuk melaksanakan tugas pengawasan atas pengelolaan
segenap perbendaharaan/harta milik PGI dan pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI. BPP-PGI dipilih dan
ditetapkan oleh Sidang Raya, terdiri dari 3 (tiga) orang:
a. Seorang Ketua
b. Seorang Sekretaris
c. Seorang Anggota
2. Keanggotaan BPP-PGI tidak boleh dirangkap oleh anggota
MPL-PGI, MP-PGI dan oleh anggota Badan-badan lain yang
dibentuk oleh Sidang Raya PGI dan oleh MPL-PGI.
3. BPP-PGI bertugas untuk:
a. Mengadakan pengawasan atas pengelolaan segenap
perbendaharaan/harta milik PGI dan pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI.
b. Melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan oleh Sidang
Raya dan MPL-PGI.
c. Mengajukan saran-saran kepada Sidang Raya baik berupa
peningkatan maupun penyelesaian masalah yang mungkin
timbul, di bidang tata laksana keuangan dan pengelolaan
perbendaharaan/harta milik PGI.
d. Melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan tahunan
PGI. Dalam pemeriksaan tersebut BPP dapat menggunakan
146
jasa Akuntan Publik terdaftar, dengan persetujuan MPHPGI.
e. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
MPL dan Sidang Raya.
Pasal 16
Majelis Pertimbangan
1. Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,
disingkat MP-PGI, terdiri dari warga gereja dari gereja anggota
PGI yang oleh Sidang Raya dianggap mampu untuk memberi
pertimbangan/sumbangan pikiran kepada MPH-PGI serta alatalat kelengkapan PGI.
2. MP-PGI dipilih dan ditetapkan oleh Sidang Raya, terdiri dari:
a. seorang Ketua
b. seorang Wakil Ketua
c. seorang Sekretaris
d. 2 (dua) orang anggota, dengan ketentuan bahwa seluruh
anggota MP-PGI berjumlah 5 (lima) orang.
3. MP-PGI memberikan pertimbangan/sumbangan pikiran
kepada MPH-PGI serta alat-alat kelengkapan PGI, diminta atau
tidak diminta.
4. MP-PGI bersidang sekurang-kurangnya satu kali dalam 6
(enam) bulan.
Pasal 17
Persekutuan Gereja-gereja di Wilayah/SAG
Status dan Fungsi
1. Status PGI Wilayah/SAG dan Tata Kerja:
a. PGI Wilayah/SAG adalah alat kelengkapan PGI sebagai
wujud persekutuan gerejawi yang dibentuk dan didukung
oleh gereja-gereja anggota dan bukan/belum anggota PGI
yang berada di wilayah tersebut, dan disahkan oleh MPL-
147
PGI dalam rangka perwujudan keesaan gereja di
Indonesia.
b. Tata kerja PGI Wilayah/SAG adalah implementasi Tata
Dasar PGI dengan tetap memperhatikan kondisi dan
situasi wilayah yang bersangkutan dan tidak boleh
bertentangan dengan Tata Dasar PGI.
2. a. Dalam rangka peningkatan penghayatan persekutuan dan
pelaksanaan tugas panggilan gereja maka di setiap
propinsi dibentuk Persekutuan Gereja Wilayah/SAG se
Wilayah dengan nama Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia Wilayah, disingkat PGI Wilayah/ Sinode Am
Gereja (SAG)
b. Dalam rangka pengembangan dan pemantapan Gerakan
Oikoumene di satu wilayah, di lingkungan PGI Wilayah/
SAG dapat dibentuk PGIS, PGID dan selanjutnya diatur
dalam Tata Kerja PGIW/SAG setempat.
3. Fungsi PGI Wilayah/SAG adalah untuk:
a. Membicarakan, menggumuli, dan mewujudkan kehadiran
bersama gereja-gereja di wilayah sebagai Gereja Kristen
Yang Esa di Wilayah disingkat GKYE-Wilayah.
b. Menggalang kebersamaan gereja-gereja di wilayah melalui
kegiatan-kegiatan bersama, dan membantu gereja-gereja
untuk memikirkan/mengusahakan kebutuhan-kebutuhannya.
c. Melaksanakan keputusan-keputusan Sidang Raya/MPLPGI dengan menjabarkan ke dalam bentuk-bentuk
kegiatan bersama, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
wilayah yang bersangkutan.
d. Membina dan mengembangkan Persekutuan Oikoumenis
Umat Kristen, disingkat POUK, sehingga POUK dapat
mengembangkan peranannya sebagaimana ditetapkan
dalam ketetapan SR dan MPL.
e. Mengantisipasi dampak dari otonomi daerah.
148
f.
Membangun jejaring dengan mitra kerja di wilayah
terutama dengan warga gereja, membuat peta politik di
wilayah agar gereja-gereja makin mampu berfungsi di
bidang politik dan hukum.
g. Memberi rekomendasi bagi calon-calon gereja anggota PGI
di wilayahnya
4. Wakil PGI Wilayah hadir dalam Sidang Raya sebagai anggota
mitra.
Pasal 18
Badan-badan Lain
1. Dalam rangka pelaksanaan tugas khusus PGI, Sidang Raya dan
atau MPL-PGI membentuk badan-badan lainnya.
2. Susunan organisasi, tata kerja dan pengurus badan yang
dibentuk oleh Sidang Raya PGI ditetapkan oleh Sidang Raya.
3. Susunan organisasi, tata kerja dan pengurus badan yang
dibentuk oleh MPL-PGI ditetapkan oleh MPL-PGI atas usul
MPH-PGI.
BAB VII
SIDANG-SIDANG
Pasal 19
Ketentuan Sidang, hak bicara dan hak suara
1. Sidang-sidang di lingkungan PGI terdiri dari:
a. Sidang Raya
b. Sidang Majelis Pekerja Lengkap
c. Sidang Majelis Pekerja Harian
d. Sidang Badan Pengawas Perbendaharaan
e. Sidang Majelis Pertimbangan
f. Sidang PGI Wilayah/SAG
g. Sidang Badan-badan lainnya.
149
2. Sidang-sidang PGI dianggap sah apabila dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota.
Jika jumlah itu tidak mencapai, maka Ketua dan Sekretaris
memanggil sidang secara tertulis untuk kedua kalinya dan
sidang ini dianggap sah bila dihadiri oleh 2/5 (dua perlima)
dari jumlah anggota. Jika jumlah itu tidak tercapai, maka Ketua
dan Sekretaris sekali lagi dengan cara yang sama memanggil
sidang untuk ketiga kalinya dan rapat dianggap sah.
3. Pada Sidang Raya PGI setiap gereja anggota mempunyai hak
bicara dan hak suara yang sama.
4. Pada Sidang MPL-PGI:
a. Alat kelengkapan PGI seperti PGI Wilayah/SAG, Departemen, Biro PGI mempunyai hak bicara.
b. Anggota Mitra MPL mempunyai hak bicara.
5. Pada sidang-sidang MPH, BPP, MP dan badan-badan lainnya
setiap anggota mempunyai hak bicara dan hak suara yang
sama.
6. Pada sidang MPH-PGI,
a. Anggota BPP dan MP mempunyai hak bicara dan tidak
mempunyai hak suara
b. BPP dan MP dapat memberikan informasi dan
pertimbangan atas permintaan sidang MPH.
7. Dalam semua persidangan PGI keputusan diusahakan dengan
jalan musyawarah namun bila perlu dilakukan dengan
pemungutan suara.
BAB VIII
KUASA PERWAKILAN
Pasal 20
1. Persekutuan gereja-gereja di Indonesia diwakili oleh Ketua
Umum bersama Sekretaris Umum di dalam dan di luar
pengadilan, dengan ketentuan bahwa:
150
a. Untuk mengikat PGI pada pihak lain atau pihak lain
dengan PGI dan untuk menjual atau dengan jalan lain
melepaskan hak atas barang-barang yang tidak bergerak,
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari MPLPGI.
b. Untuk membeli atau dengan jalan lain mendapatkan hak
atas barang-barang yang tidak bergerak, harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari Sidang MPH-PGI dan
melaporkan/mempertanggungjawabkannya
kemudian
kepada Sidang MPL-PGI.
2. Jika Ketua Umum dan atau sekretaris Umum berhalangan,
maka mereka dapat diwakili masing-masing oleh seorang
Ketua, Wakil Sekretaris Umum atau seorang pejabat PGI yang
ditunjuk oleh MPH-PGI.
BAB IX
PERBENDAHARAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 21
Perbendaharaan
1. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengelola perbendaharaannya sendiri.
2. Perbendaharaan PGI, yang meliputi keuangan dan harta milik,
diperoleh dari:
a. Iuran gereja-gereja anggota.
b. Sumbangan-sumbangan dalam segala bentuk, yang tidak
mengikat.
c. Pendapatan-pendapatan lainnya yang sah, sesuai dengan
nilai kristiani.
3. Tahun Buku PGI berlangsung dari tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember.
151
Pasal 22
Pengawasan
1. Pengelolaan perbendaharaan didasarkan pada:
a. Sistem Pendapatan dan Belanja yang berimbang, dinamis
dan realistis.
b. Peraturan
penatalayanan
dan
pengelolaan
perbendaharaan PGI, yang disahkan/ditetapkan oleh MPLPGI atas usul MPH-PGI.
c. Peraturan tentang pengawasan/pemeriksaan atas
keuangan dan perbendaharaan PGI oleh BPP-PGI
ditetapkan oleh Sidang MPL-PGI, atas usul MPH-PGI.
2. Pengawasan/pemeriksaan perbendaharaan PGI dilakukan
oleh BPP-PGI.
Pasal 23
Pertanggungjawaban
1. Bendahara memberikan pertanggungjawaban pelaksanaan
tugasnya pada setiap sidang MPH-PGI.
2. MPH-PGI memberikan pertanggungjawaban perbendaharaan
kepada Sidang MPL-PGI tentang neraca dan perhitungan
penerimaan/pengeluaran yang telah diperiksa oleh BPP-PGI.
3. BPP-PGI
memberikan
laporan
pertanggungjawaban
pelaksanaan tugasnya kepada MPL-PGI dan Sidang Raya.
4. MPH-PGI memberikan laporan pertanggungjawaban tugasnya
kepada Sidang Raya.
BAB X
PERUBAHAN DAN TAMBAHAN
Pasal 24
1. Perubahan dan tambahan TATA DASAR ini dapat diadakan
oleh Sidang Raya, jikalau sidang itu dihadiri oleh sekurang-
152
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah gereja anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) jumlah
suara yang hadir.
2. Perubahan dan tambahan TATA DASAR hanya berlaku
sesudah disahkan oleh Sidang Raya.
BAB XI
PEMBUBARAN
Pasal 25
1. Sidang Raya dapat membubarkan PGI dan pembubaran adalah
sah jikalau sidang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) dari gereja anggota dan disetujui oleh sekurangkurangnya ¾ (tiga perempat) jumlah suara yang hadir.
2. Dalam putusan tentang pembubaran itu Sidang Raya
menetapkan Panitia Likuidasi dan tata cara penyelesaian milik
PGI.
BAB XII
KETENTUAN DAN PENUTUP
Pasal 26
Tata Rumah Tangga
1. Hal-hal yang tidak dimuat atau belum cukup diatur dalam
TATA DASAR ini akan ditetapkan dalam TATA RUMAH
TANGGA PGI, yang isinya tidak boleh bertentangan dengan
TATA DASAR ini.
2. TATA RUMAH TANGGA dalam ayat 1 tersebut di atas,
ditetapkan oleh Sidang Majelis Pekerja Lengkap yang dihadiri
oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah
anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) suara yang hadir.
153
Pasal 27
Peralihan
1. Semua gereja anggota DGI dengan sendirinya menjadi anggota
PGI.
2. Semua kewajiban, hak, harta kekayaan dan milik DGI menjadi
kewajiban, hak, harta kekayaan dan milik PGI.
TATA DASAR PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (TDPGI) ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan pada Sidang Raya
XV PGI di Mamasa, 19-23 November 2009.
154
155
TATA RUMAH TANGGA
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Ketentuan Umum
TATA RUMAH TANGGA ini dibuat berdasarkan ketentuan TATA
DASAR PGI, Bab XIII Pasal 26 Tentang TATA RUMAH TANGGA.
BAB II
TEMPAT DAN KEDUDUKAN SEKRETARIAT UMUM
Pasal 2
Sekretariat Umum
1.
2.
3.
Tempat Kantor Sekretariat Umum PGI ditetapkan oleh MPHPGI.
a. Sekretariat Umum PGI adalah wahana dan sarana untuk
melaksanakan kegiatan sehari-hari dari MPH-PGI dalam
rangka menjalankan Keputusan Sidang Raya PGI/ MPLPGI.
b. Fungsi pokok Sekretariat Umum PGI adalah penyelenggara
informasi dan komuni-kasi antara gereja-gereja maupun
dengan pihak-pihak di luar gereja, penyelenggara
persidangan-persidangan gereja-gereja selaku persekutuan, serta penyelenggara program-program yang telah
disetujui bersama.
c. Sekretariat Umum PGI juga merupakan wahana dan
sarana peningkatan dan pengembangan kuantitas dan
kualitas pelayanan PGI.
a. Sekretariat Umum PGI dipimpin oleh Sekretaris Umum.
b. Untuk menyelenggarakan fungsi Sekretariat Umum PGI,
Sidang Raya PGI mengangkat dan menetapkan
156
fungsionaris PGI dalam diri pejabat penuh waktu yang
terdiri dari Ketua Umum PGI, Sekretaris Umum PGI, Wakil
Sekretaris Umum PGI dan Wakil Bendahara PGI.
c. Para fungsionaris PGI yang lainnya, yaitu para pejabat PGI
terdiri dari Sekretaris Bidang yang diangkat Sidang MPLPGI, dan para Kepala Biro yang terdiri dari mereka yang
ahli di bidangnya yang diangkat oleh Sidang MPH-PGI.
4. Susunan dan pembagian bidang pekerjaan pada Sekretariat
Umum PGI ditetapkan oleh MPL-PGI atas usul MPH-PGI.
BAB III
PROGRAM KERJA
Pasal 3
Penyusunan Program
1. Program-program PGI merupakan penjabaran lebih rinci dari
keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Sidang Raya PGI
dan Sidang MPL PGI.
2. Program-program PGI disusun dan direncanakan secara
tahunan sebagai penjabaran Prokelita.
3. Program dan Anggaran Tahunan PGI, ditetapkan oleh MPL-PGI
atas usul MPH-PGI.
4. Usul Program Tahunan PGI disusun oleh MPH-PGI yang antara
lain berisi rangkuman program dari gereja-gereja anggota dan
PGI-Wilayah-PGI-Wilayah/Sinode Am Gereja (SAG) yang
merupakan implementasi Keputusan Sidang Raya PGI dan
Sidang MPL-PGI.
Pasal 4
Pelaksanaan Program
1. MPH-PGI menetapkan dan mensahkan pelaksanaan Pokokpokok Program PGI dan Anggarannya.
157
2. MPH-PGI merinci Pokok-pokok Program itu dalam bentuk
kerangka acuan untuk di-laksanakan oleh alat kelengkapan
MPH-PGI bersama-sama dengan gereja-gereja anggota PGIWilayah.
3. MPH-PGI menetapkan pedoman pelaksanaan program dalam
suatu ketetapan tentang “Tata Laksana Program PGI”.
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 5
Permohonan menjadi Gereja Anggota PGI
1. Permohonan menjadi gereja anggota PGI disampaikan secara
tertulis oleh gereja pemohon kepada MPH-PGI, dengan
tembusan kepada gereja-gereja anggota PGI dan PGI-Wilayah
di wilayah tempat gereja dan jemaat-jemaat dari gereja
pemohon berada.
2. Surat permohonan untuk menjadi gereja anggota PGI harus
disertai:
a. Salinan keputusan badan tertinggi dari gereja pemohon
untuk menjadi anggota PGI, merupakan dasar bagi
pemohon.
b. Statistik gereja pemohon yang menunjukkan jumlah
anggota sidi atau baptisan dan anak-anak, jumlah jemaat
atau gereja setempat, jumlah pejabat atau petugas
gerejawi dan kegiatan-kegiatan kesaksian dan pelayanan
gereja pemohon.
c. Salinan naskah-naskah tentang status hukum terakhir dari
gereja pemohon.
d. Tata gereja dan peraturan-peraturan gerejawi gereja
pemohon.
e. Pernyataan tertulis yang menegaskan persetujuan gereja
pemohon terhadap TATA DASAR PGI umumnya, dan
158
khususnya terhadap Pasal 4 (Tujuan PGI) dan Pasal 9
(Kewajiban dan Hak Gereja Anggota).
3. Dalam menentukan pendapat terhadap tiap permohonan
untuk menjadi anggota PGI, MPH-PGI berkewajiban secara
berturut-turut:
a. Mengumpulkan
keterangan-keterangan
seperlunya
mengenai hal-ihwal gereja pemohon.
b. Menghubungi gereja-gereja anggota PGI-Wilayah di
wilayah yang bersangkutan untuk meminta pendapat
mereka.
c. Meneruskan permohonan gereja pemohon kepada MPLPGI dengan disertai keterangan-keterangan seperti yang
dimaksudkan pada butir a dan b ayat ini dan pendapat
MPH-PGI.
Pasal 6
Penerimaan sebagai Gereja Anggota PGI
1. MPL-PGI, berdasarkan surat permohonan gereja pemohon
dan keterangan-keterangan serta pendapat yang diterima dari
MPH-PGI, mengambil keputusan mengenai permohonan
tersebut.
2. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, MPL-PGI
dapat menyerahkan keputusan tentang penerimaan sesuatu
gereja pemohon sebagai gereja anggota PGI kepada Sidang
Raya PGI.
3. Gereja pemohon yang ternyata belum memenuhi syarat-syarat
untuk diterima sebagai gereja anggota PGI dapat diundang
untuk menghadiri Sidang Raya PGI sebagai peninjau.
4. Peresmian gereja pemohon sebagai gereja anggota PGI
dilakukan dalam Sidang MPL-PGI atau dalam Sidang Raya PGI.
159
Pasal 7
Berakhirnya Keanggotaan dalam PGI atas Permintaan Sendiri
1.
2.
3.
4.
Jika suatu gereja anggota PGI menyatakan mengakhiri
keanggotaannya dalam PGI, maka gereja yang bersangkutan
harus menyampaikannya secara tertulis kepada MPH-PGI
yang disertai:
a. Salinan keputusan badan tertinggi gereja tersebut tentang
pengakhiran keanggotaan itu.
b. Ketentuan-ketentuan mengenai alasan-alasan pengakhiran
keanggotaan itu.
MPH-PGI mempelajari hal itu dan mengadakan pendekatan
kepada gereja bersangkut-an serta menyampaikan
pendapatnya kepada MPL-PGI untuk dibahas dan diteruskan
ke Sidang Raya.
Sidang Raya mengambil keputusan terakhir mengenai hal itu,
dengan
ketentuan
bahwa
keputusan
pengakhiran
keanggotaan itu harus disetujui oleh sekurang-kurangnya
3/4 (tiga perempat) dari jumlah gereja anggota yang hadir.
Segala kewajiban dan hak gereja anggota tersebut yang
terkait dengan PGI, dengan sendirinya hilang.
Pasal 8
Berakhirnya Keanggotaan Bukan Atas Permintaan Sendiri
1.
2.
Jika karena alasan-alasan tertentu MPH-PGI berpendapat
bahwa suatu gereja anggota tidak dapat lagi dipertahankan
sebagai anggota PGI, maka MPH-PGI wajib mengusul-kan hal
itu kepada MPL-PGI dengan menerangkan alasan-alasan itu.
MPL-PGI mempelajarinya, dan jika alasan-alasan itu kuat dan
dapat dibenarkan, maka MPL-PGI mengusulkan hal itu kepada
Sidang Raya.
160
3.
4.
5.
Bila MPL-PGI menganggap berakhirnya keanggotaan gereja
tersebut sudah mendesak, maka MPL-PGI dapat memutuskan
pemberhentian sementara.
Sidang Raya mengambil keputusan akhir mengenai hal itu,
dengan ketentuan bahwa keputusan pengakhiran itu harus
disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah gereja anggota yang hadir.
Segala kewajiban dan hak gereja anggota tersebut yang
terkait dengan PGI, ditetapkan dan diselesaikan oleh Sidang
Raya yang memutuskan pengakhiran keanggotaan itu.
BAB V
SIDANG RAYA PGI
Pasal 9
Perutusan dan Hak Suara Gereja Anggota PGI
1. Setiap gereja anggota PGI mengirim 5 (lima) orang utusan ke
Sidang Raya PGI, masing-masing utusan ditetapkan dan
dilengkapi dengan Surat Kuasa (Surat Kredensi) oleh gereja
anggota yang mengutusnya.
2. Karena perutusan suatu gereja anggota PGI merupakan
perutusan dari seluruh umat Tuhan dalam lingkungan gereja
anggota PGI, maka perutusan harus mencakup pimpinan
gereja maupun anggota gereja yang menjalankan kesaksian
dan pelayanan di berbagai bidang masyarakat, wanita, non
pendeta dan generasi muda.
3. Peserta Sidang Raya PGI terdiri dari:
a. gereja-gereja yang mempunyai anggota maksimal 50.000
anggota gereja mempunyai 1 hak suara memutuskan.
b. gereja-gereja yang mempunyai anggota maksimal 50.001500.000 anggota gereja mempunyai 2 hak suara
memutuskan.
161
4.
c. gereja-gereja yang mempunyai anggota maksimal
500.001- dan seterusnya anggota gereja mempunyai 3 hak
suara memutuskan.
Setiap anggota perutusan gereja anggota PGI adalah anggota
dari gereja anggota PGI yang bersangkutan.
Pasal 10
Pimpinan Sidang Raya
1.
2.
3.
4.
Sidang Raya dibuka dan ditutup oleh Ketua Umum.
Sidang Raya dipimpin oleh Majelis Ketua yang dipilih oleh dan
dari utusan gereja anggota, didampingi oleh Ketua Umum.
Sekretaris persidangan adalah Sekretaris Umum.
Majelis Ketua hanya berfungsi selama Sidang Raya
berlangsung.
Pasal 11
Peserta Sidang Raya PGI
1. Peserta Sidang Raya terdiri dari:
a. 5 (lima) orang utusan gereja-gereja anggota.
b. 2 (dua) orang utusan PGI-Wilayah.
c. Semua anggota MPH-PGI
d. Para pimpinan Departemen/Badan/Biro PGI.
2. Selain utusan-utusan, Sidang Raya PGI dihadiri oleh peninjaupeninjau, penasihat-penasihat dan tamu-tamu.
3. Dalam 5 (lima) orang utusan gereja anggota, harus tercermin
unsur wanita, non pendeta dan generasi muda.
4. a. Peninjau-peninjau dari gereja-gereja anggota PGI diundang
oleh MPH-PGI atas usul gereja-gereja anggota PGI.
Jumlahnya tidak melebihi jumlah utusan gereja anggota
PGI yang bersangkutan, dan mereka tidak dapat menjadi
pembawa hak suara gerejanya.
162
b. Peninjau-peninjau dari PGI-Wilayah/SAG diundang oleh
MPH-PGI yang jumlahnya dari setiap wilayah ditentukan
oleh MPH-PGI.
c. Peninjau-peninjau dari gereja-gereja yang telah
mengajukan permohonan menjadi gereja anggota PGI
tetapi belum memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan untuk menjadi anggota PGI, diundang oleh
MPH-PGI.
5. Penasihat-penasihat dalam Sidang Raya PGI diundang oleh
MPH-PGI atas petunjuk MPL-PGI, yang terdiri dari:
a. Anggota-anggota MPL-PGI, MP-PGI dan BPP-PGI.
b. Para mantan Ketua Umum dan Sekretaris Umum PGI.
c. Orang-orang yang dianggap mampu memberikan nasihat
khusus pada Sidang Raya PGI.
6. Tamu-tamu yang diundang oleh MPH-PGI atas usul MPL-PGI,
terutama dalam rangka persekutuan oikoumenis.
Pasal 12
Sidang Raya Istimewa PGI
1.
2.
3.
MPH-PGI mengundang Sidang Raya Istimewa jika syaratsyarat seperti tersebut pada TATA DASAR Bab VI Pasal 12
ayat 4 telah dipenuhi.
Apabila MPH-PGI tidak mengundang Sidang Raya Istimewa
PGI dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah
permintaan diterima, maka gereja-gereja anggota PGI yang
memintanya, dapat memanggil Sidang Raya Istimewa PGI atas
biaya PGI, dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam TATA DASAR PGI.
Dalam mengundang Sidang Raya Istimewa PGI, pengundang
harus memberitahukan pokok-pokok acara sidang.
163
Pasal 13
Notulen dan Keputusan Sidang Raya PGI
1.
2.
3.
4.
Notulen dan Keputusan-keputusan Sidang Raya PGI dan
Sidang Raya Istimewa PGI, adalah dokumen resmi PGI.
Dalam hal terjadi pergantian Sekretaris Umum, maka
Sekretaris Umum yang digantikan harus mempersiapkan
Notulen dan Daftar Keputusan-keputusan Sidang Raya yang
disampaikan kepada Sekretaris Umum yang menggantikannya pada waktu serah terima jabatan dilakukan.
Sekretaris Umum yang menggantikan (baru) kemudian
meneruskan Notulen dan Daftar Keputusan Sidang Raya PGI
tersebut kepada Sidang MPL-PGI pertama setelah Sidang
Raya PGI untuk disahkan.
Notulen dan Daftar Keputusan-keputusan Sidang Raya PGI
yang sudah disahkan oleh Sidang MPL-PGI pertama setelah
Sidang Raya, kutipan/turunannya dikirim ke setiap anggota
MPL dan Pimpinan gereja anggota, aslinya disimpan di
Sekretariat Umum PGI.
Notulen dan Daftar Keputusan Sidang Raya PGI dibuat oleh
Sekretaris Umum, Keputusan-keputusan Sidang Raya PGI
harus diajukan dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL)
PGI yang pertama untuk disahkan.
Pasal 14
Pimpinan Sidang
1.
Pada permulaan Sidang Raya PGI, persidangan dipimpin oleh
ketua Umum PGI dengan dibantu oleh Sekretaris Umum PGI
selaku Sekretaris Persidangan, yang segera melakukan
pembukaan
Sidang
Raya,
menetapkan
Tata-tertib
Persidangan dan melaksanakan pemilihan Majelis Ketua
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
164
2.
3.
4.
Majelis Ketua terdiri dari 5 (lima) orang, yang dipilih oleh
dan dari utusan gereja anggota untuk memimpin
persidangan.
Segera setelah Majelis Ketua terpilih, Ketua Umum PGI
menyerahkan pimpinan Sidang Raya kepada Majelis Ketua,
selanjutnya ia mendampingi Majelis Ketua sebagai nara
sumber yang aktif.
Pada akhir Sidang Raya PGI, Majelis Ketua meletakkan jabatan
dan menyerahkan pimpinan kembali kepada Ketua Umum
PGI terpilih dan Ketua Umum PGI terpilih menutup
persidangan.
Pasal 15
Tempat dan Waktu Sidang Raya PGI
1.
2.
3.
4.
Setiap Sidang Raya PGI menetapkan waktu dan tempat Sidang
Raya PGI berikutnya.
Sidang Raya PGI dapat menyerahkan penetapan waktu dan
tempat Sidang Raya PGI berikutnya kepada Sidang MPL-PGI.
Dalam keadaan yang luar biasa, tempat dan waktu yang
telah ditetapkan oleh Sidang Raya PGI dapat diubah. Yang
berhak mengadakan keputusan untuk mengubah adalah
Sidang MPL-PGI.
Sidang Raya Istimewa PGI dilaksanakan di tempat yang
ditentukan oleh MPH-PGI atau gereja-gereja anggota PGI yang
mengundangnya.
Pasal 16
Persiapan Sidang Raya PGI
1.
MPH-PGI atas nama MPL-PGI mempersiapkan bahan-bahan:
laporan, usul dan sebagainya untuk memperlancar
pembahasan dalam Sidang Raya PGI dan sudah dikirim oleh
MPH-PGI kepada tiap-tiap gereja anggota selambat-
165
2.
lambatnya 1 (satu) bulan sebelum pelaksanaan Sidang Raya
PGI.
Untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam TATA
DASAR PGI Bab VI Pasal 12 ayat 6, MPL-PGI dapat
mengusulkan bahan-bahan dan tata cara mengenai pemilihan
personalia MPH-PGI untuk diputuskan oleh Sidang Raya PGI.
BAB VI
MAJELIS PEKERJA LENGKAP
Pasal 17
Sidang-sidang MPL-PGI
1.
2.
3.
4.
Sidang MPL-PGI yang pertama dalam suatu masa antara
Sidang Raya, harus sudah dapat dilaksanakan paling lama 6
(enam) bulan sesudah Sidang Raya.
Sidang MPL-PGI diadakan 1 (satu) kali setahun sebelum
tahun anggaran baru PGI.
Jika diperlukan dapat pula diadakan Sidang MPL-PGI
menjelang Sidang Raya PGI berikutnya.
Masa Kerja MPL-PGI adalah 5 (lima) tahun (atau sama dengan
antara 2 (dua) Sidang Raya).
Pasal 18
Peserta Sidang MPL-PGI
1.
Peserta Sidang MPL-PGI terdiri dari:
a. Seorang wakil dari setiap gereja anggota. Jika anggota
MPL-PGI tersebut berhalangan tetap maka pimpinan
Gereja yang bersangkutan menunjuk penggantinya, dan
jika berhalangan tidak tetap ditunjuk yang mewakili, yang
dinyatakan dengan Surat Kuasa.
b. Semua anggota MPH-PGI. Jika ada yang berhalangan, ia
tidak dapat diganti.
166
c. Anggota penuh dan anggota mitra unsur wanita, pemuda
dan warga gereja bukan pendeta. Jika ada yang
berhalangan tetap, maka MPH-PGI mengajukan usul
pengganti kepada Sidang MPL-PGI untuk ditetapkan dan
disahkan.
d. Anggota wakil PGI-Wilayah/SAG. Jika
ada
yang
berhalangan, baik halangan tetap maupun halangan
sementara, maka PGI-Wilayah/SAG yang bersangkutan
menunjuk penggantinya dengan Surat Kuasa, dengan
ketentuan bahwa para anggota MPL-PGI lainnya tidak
dapat ditunjuk sebagai pengganti.
e. Para penasihat yaitu wakil dari badan-badan PGI, badanbadan kerjasama PGI di dalam dan di luar negeri yang
diundang oleh MPH-PGI.
f. Para peninjau, wakil wakil gereja calon anggota dan calon
anggota PGI-Wilayah/ SAG yang diundang oleh MPH-PGI.
g. Para tamu, yang diundang oleh MPH-PGI.
2. Dalam Sidang MPL-PGI, anggota penuh mempunyai hak
suara, anggota mitra mempunyai hak bicara, sedang peserta
lainnya mempunyai hak bicara atas Izin Majelis Ketua
Pasal 19
Notulen Keputusan Sidang MPL-PGI
1. Notulen dan Keputusan Sidang-sidang MPL-PGI adalah
dokumen resmi PGI.
2. Notulen dan Keputusan-keputusan yang sudah disahkan
dalam ayat 1 di atas, kutipan/turunannya dikirim ke Pimpinan
gereja anggota dan anggota MPL-PGI, sedang aslinya disimpan
di Sekretariat Umum PGI.
167
Pasal 20
Majelis Ketua Sidang MPL-PGI
1. Pada permulaan setiap Sidang MPL-PGI, Persidangan dipimpin
oleh Ketua Umum PGI dengan dibantu oleh Sekretaris Umum
PGI, yang segera harus melaksanakan pemilihan Majelis Ketua
Sidang MPL-PGI sesuai dengan ketentuan Tata Tertib yang
berlaku.
2. Segera setelah Majelis Ketua MPL-PGI terpilih, Ketua Umum
PGI yang memimpin Sidang menyerahkan Pimpinan Sidang
kepada Majelis Ketua dan selanjutnya ia mendampingi Majelis
Ketua sebagai nara sumber aktif.
3. Pada akhir Sidang MPL-PGI Majelis Ketua meletakkan jabatan
dan menyerahkan pimpinan kembali kepada Ketua Umum PGI
dan Ketua Umum PGI menutup persidangan.
4. a. Sidang MPL-PGI dipimpin oleh Majelis Ketua sebanyak 5
(lima) orang, yang dipilih oleh dan dari anggota MPL-PGI,
dengan memperhatikan peran serta unsur-unsur dari
utusan gereja, Pendeta/non Pendeta, Pemuda, Wanita, dan
PGI Wilayah/SAG”.
b. Majelis Ketua hanya berfungsi selama Sidang MPL-PGI
berlangsung.
c. Majelis Ketua didampingi oleh Ketua Umum PGI sebagai
nara sumber yang aktif.
d. Sekretaris persidangan adalah Sekretaris Umum PGI.
Pasal 21
Tugas Sidang MPL-PGI
1.
Untuk dapat menjalankan tugasnya sebagaimana disebutkan
dalam TATA DASAR Pasal 13 ayat 4, maka Sidang MPL-PGI
bertugas untuk:
a. Menilai dan menerima Laporan MPH-PGI: Umum,
Keuangan, dan Perbendaharaan/harta milik PGI.
168
2.
b. Membahas dan memutuskan usulan-usulan program dan
anggaran tahunan PGI yang diajukan oleh MPH-PGI.
c. Memberikan tugas-tugas khusus kepada MPH-PGI dalam
rangka penyelesaian persoalan-persoalan yang timbul.
d. Mempersiapkan pelaksanaan Sidang Raya PGI baik isi
maupun teknis.
e. Menerima informasi/laporan dari BPP-PGI dan MP-PGI
sebagai bahan pertimbangan.
Di samping itu Sidang MPL-PGI bertugas juga untuk
melaksanakan hal-hal lainnya sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawabnya sebagaimana yang tersebut dalam TATA
DASAR dan TATA RUMAH TANGGA antara lain: Penerimaan
anggota baru, pembentukan badan-badan PGI serta susunan
organisasi, Tata Kerja dan Pengurus Badan yang
bersangkutan, dan personalia Sekretariat Umum PGI serta
peraturan-peraturan pokoknya.
BAB VII
MAJELIS PEKERJA HARIAN
Pasal 22
Tugas MPH-PGI
1.
2.
3.
4.
Melaksanakan pekerjaan yang telah ditetapkan oleh Sidang
Raya PGI dan Sidang MPL-PGI.
Menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul antara 2 (dua) Sidang MPL-PGI dan mempertanggungjawabkannya kepada Sidang MPL-PGI.
Menyusun dan mengajukan Program Kerja tahunan dan
rencana anggaran dan pendapatan tahunan PGI kepada
Sidang MPL-PGI untuk memperoleh pengesahan dan
penetapan.
Mempertanggungjawabkan pelaksanaaan tugasnya kepada
Sidang MPL-PGI dan Sidang Raya PGI.
169
5.
Menginformasikan secara berkala: triwulan, catur wulan atau
semester pendapatan dan pengeluaran PGI kepada gerejagereja anggota agar diketahui persis kewajiban-kewajiban
yang belum dilunasi dan yang sudah terlunasi.
Pasal 23
Sidang MPH-PGI
1.
2.
3.
4.
Sidang MPH-PGI dihadiri oleh anggota-anggota MPH-PGI.
Ketua Umum PGI dan Sekretaris Umum PGI mengundang dan
mempersiapkan Sidang MPH-PGI.
Dalam surat undangan Sidang MPH-PGI dicantumkan pokokpokok acara sidang.
Selain anggota-anggota MPH-PGI, Sidang MPH-PGI juga
dihadiri oleh MP-PGI dan Pimpinan Departemen/Badan/Biro
PGI.
Sidang MPH-PGI dapat melakukan Sidang Terbatas, yang
hanya dihadiri oleh anggota MPH-PGI saja, apabila ada pokokpokok bahasan dalam Sidang MPH-PGI yang dianggap hanya
dapat dibahas dan diputuskan oleh anggota MPH-PGI sendiri.
Sidang MPH-PGI dipimpin oleh Ketua Umum PGI bersama
para Ketua PGI dengan dibantu oleh Sekretaris Umum PGI.
Pasal 24
Masa Bakti MPH-PGI
1.
2.
Masa Kerja MPH-PGI adalah 5 (lima) tahun atau sama dengan
antara 2 (dua) Sidang Raya dan setiap anggotanya dapat
dipilih kembali dengan ketentuan seseorang tidak boleh
memangku jabatan yang sama lebih dari 2 (dua) Masa Bakti
berturut-turut dan usia tidak lebih dari 65 tahun.
Pejabat PGI paruh waktu dapat dipilih dengan usia setinggitingginya 65 (enam puluh lima)
170
3.
4.
MPH-PGI meletakkan jabatannya pada saat serah terima
dengan MPH-PGI yang baru.
Serah terima itu dilaksanakan paling lambat 1 (satu) bulan
sesudah Sidang Raya berakhir.
Pasal 25
Tugas Sidang MPH-PGI
1.
2.
3.
Untuk dapat melaksanakan tugas sebagaimana yang
disebutkan dalam TATA DASAR Pasal 14 ayat 4, maka Sidang
MPH-PGI bertugas untuk:
a. Membahas dan mengambil keputusan terhadap laporan
Sekretariat Umum dan laporan keuangan serta
perbendaharaan/harta milik PGI.
b. Membahas dan memutuskan usulan-usulan program dan
rincian anggarannya sebagaimana yang ditetapkan
Keputusan Sidang MPL-PGI.
c. Memberikan tugas-tugas khusus kepada Pimpinan
Sekretariat Umum, dalam rangka penyelesaian persoalanpersoalan yang timbul.
d. Mempersiapkan pelaksanaan Sidang MPL-PGI baik isi
maupun teknis.
Sidang MPH-PGI bertugas pula untuk melaksanakan hal-hal
lainnya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya
sebagaimana disebutkan dalam TATA DASAR dan TATA
RUMAH TANGGA PGI, Peraturan-peraturan Kepegawaian,
peraturan-peraturan Badan-badan PGI, dengan tetap
berpedoman pada Keputusan Sidang Raya PGI dan Sidang
MPL-PGI.
Dalam menjalankan tugasnya MPH-PGI dapat membentuk
Komisi, Kelompok Penasihat (Pokhat), Kelompok Kerja
(Pokja) dan Panitia untuk membantu tugas tersebut. Adapun
masa kerja Komisi, Pokhat, Pokja ditentukan sesuai
kebutuhan MPH-PGI.
171
Pasal 26
Uraian Tugas Anggota-anggota MPH-PGI
1.
a. Anggota-anggota
MPH-PGI
secara
bersama-sama
bertanggung jawab agar ketentuan-ketentuan TATA
DASAR dan TATA RUMAH TANGGA PGI dilaksanakan
sebaik-baiknya.
b. Anggota-anggota MPH-PGI terdiri dari:
(1) Pejabat Penuh Waktu yaitu Ketua Umum, Sekretaris
Umum, Wakil Sekretaris Umum, dan Wakil Bendahara.
(2) Pejabat Tidak penuh Waktu, yaitu Ketua-ketua,
Bendahara dan anggota-anggota lainnya.
2.
a. Ketua Umum bertugas :
(1) Memimpin MPH-PGI dalam rangka melaksanakan
tugas MPH-PGI.
(2) Bersama-sama jajaran MPH-PGI lainnya menjalankan
usaha-usaha untuk peningkatan pelayanan PGI
kepada gereja-gereja, pengembangan hubungan
dengan gereja-gereja lain, pengembangan hubungan
dengan Pemerintah dan golongan agama lain.
(3) Bersama dengan Sekretaris Umum bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan Program MPH-PGI;
(4) Bersama dengan Sekretaris Umum, dan Bendahara
mengusahakan dan menerima dana untuk keuangan
PGI;
(5) Bila Ketua Umum berhalangan, salah seorang Ketua
mewakilinya.
b. Ketua-Ketua bertugas:
(1) Mewakili Ketua Umum, jika Ketua Umum berhalangan
hadir dalam menjalankan usaha-usaha untuk
peningkatan pelayanan PGI kepada gereja-gereja,
pengembangan hubungan dengan gereja-gereja lain,
pengembangan hubungan dengan Pemerintah dan
golongan agama lain;
172
(2) Bersama
Ketua
Umum
dalam
memimpin
Sidang/Rapat dalam lingkungan PGI;
(3) Mewakili
Ketua
Umum
dalam
memimpin
Sidang/Rapat dalam lingkungan PGI, jika Ketua Umum
berhalangan;
(4) Memberikan Perhatian, Pembinaan kepada PGIW/SAG
dan gereja anggota sesuai dengan pembagian Wilayah
Tugas yang ditetapkan oleh MPH-PGI;
(5) Memberikan supervisi/bimbingan kepada unit-unit
kerja tertentu yang ada dalam lingkungan PGI, sesuai
dengan pembagian tugas yang ditetapkan oleh MPHPGI;
(6) Hadir dalam Rapat-rapat Badan/Komisi/Kelompok
Kerja/Panitia PGI.
3.
Sekretaris Umum bertugas:
(1) Mengkoordinasikan aktivitas organisasi dan pelaksanaan
program-program
yang
diselenggarakan
oleh
Departemen, Biro, Badan-badan dan Komisi dalam
lingkungan PGI;
(2) Bersama-sama jajaran MPH-PGI lainnya melaksanakan
pelayanan ke gereja-gereja Anggota PGI dalam rangka
meningkatkan hubungan Oikoumenis di antara gerejagereja di Indonesia dan hubungann Oikoumenis
internasional;
(3) Bertugas sebagai Sekretaris persidangan dalam lingkup
Sidang PGI;
(4) Bersama dengan Ketua Umum bertanggungjawab
terhadap Pelaksanaan Program Kerja MPH-PGI;
(5) Bersama dengan Ketua Umum dan Bendahara
mengusahakan dan menerima dana untuk Keuangan PGI;
(6) Bila Sekretaris Umum berhalangan, Wakil Sekretaris
Umum mewakilinya;
(7) Hadir dalam Rapat-rapat Badan Komisi/Kelompok
Kerja/Panitia PGI;
173
4.
Wakil Sekretaris Umum bertugas:
(1) Mewakili Sekretaris Umum PGI dalam hal Sekretaris
Umum PGI berhalangan.;
(2) Bersama Sekretaris Umum mengkoordinasikan aktivitas
organisasi dan Pelaksanaan program-program yang
diselenggarakan oleh Departemen, Biro dan Badanbadan di lingkungan PGI;
(3) Mengkoordinasikan aktivitas staf sekertariat umum
sebagai unit utama pelayanan roda organisasi;
(4) Bertanggungjawab atas Notulensi Persidangan dalam
lingkup PGI;
(5) Hadir dalam Rapat-rapat Badan/Komisi/Kelompok
Kerja/Panitia PGI;
(6) Melaksanakan tugas-tugas urusan internal kantor, tata
usaha, personalia dan lain-lain.
5.
a. Bendahara bertugas :
(1) Bendahara PGI memimpin dan dan mengkoordinasi
segala urusan Keuangan dan Perbendaharaan/harta
milik PGI;
(2) Bendahara PGI bersama-sama dengan Ketua Umum
PGI dan Sekretaris Umum PGI mengusahakan dan
menerima dana untuk Keuangan PGI;
(3) Bendahara PGI bertanggungjawab atas
Laporan
Keuangan/Perbendaharaan PGI pada lembaga dalam
naungan PGI;
(4) Apabila Bendahara PGI berhalangan, maka Wakil
Bendahara PGI mewakilinya;
(5) Apabila salah seorang dari Bendahara PGI dan Wakil
Bendahara PGI berhalangan, maka mereka dapat
saling menyerahkan tugas masing-masing;
174
b. Wakil Bendahara bertugas:
(1) Mengkoordinir pencatatan Buku Kas dan Adminstrasi
Keuangan/Perbendaharaan PGI;
(2) Bersama Bendahara mengkoordinir staf Keuangan
dalam melaksanakan tugas setiap hari;
(3) Mengkoordinir Teknis Laporan Keuangan PGI yang
dilaporkan oleh Bendahara PGI kepada lembaga
dalam lingkup kerja PGI;
(4) Mewakili Bendahara jika Bendahara berhalangan
hadir;
(5) Hadir dalam Rapat-rapat Badan Komisi/Kelompok
Kerja/Panitia PGI.
6.
Bendahara PGI, atas nama MPH-PGI, berkewajiban
menyampaikan Laporan Berkala/ Triwulan Keuangan PGI
yang sudah disahkan oleh Sidang MPH-PGI, kepada anggotaanggota MPL-PGI.
7. Pada tiap-tiap penutupan tahun anggaran, Bendahara PGI
menyampaikan kepada MPH-PGI Neraca Keuangan PGI yang
telah diperiksa BPP-PGI.
8. Bendahara PGI berkewajiban untuk setiap tahun
mengirimkan Laporan Keuangan PGI yang sudah disahkan
oleh Sidang MPL-PGI kepada semua gereja anggota dan
kepada anggota-anggota MPL-PGI.
9. Bendahara PGI berkewajiban untuk mengirim kepada gerejagereja anggota PGI, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
sebelum Sidang Raya PGI dilangsungkan, Laporan Keuangan
PGI beserta lampiran-lampiran pendukungnya yang meliputi
tahun-tahun yang bersangkutan antara 2 (dua) Sidang Raya
PGI.
10. Anggota bertugas:
(1) Mewakili MPH-PGI dalam menjalankan usaha-usaha
untuk peningkatan pelayanan PGI kepada gereja-gereja,
hubungan dengan gereja-gereja lain, pengembangan
hubungan dengan Pemerintah dan golongan agama lain;
175
(2) Memberikan Perhatian, Pembinaan kepada PGIW/SAG
dan gereja anggota sesuai dengan pembagian Wilayah
Tugas yang ditetapkan oleh MPH-PGI;
(3) Memberikan supervisi/bimbingan kepada unit-unit kerja
tertentu yang ada dalam lingkungan PGI, sesuai dengan
pembagian tugas yang ditetapkan oleh MPH-PGI;
(4) Hadir dalam Rapat-rapat Badan /Komisi/Kelompok
Kerja/Panitia PGI.
Pasal 27
Notulen dan Keputusan Sidang MPH-PGI
1. Notulen dan Keputusan Sidang MPH-PGI adalah dokumen
resmi PGI.
2. Keputusan dalam ayat 1 di atas yang sudah disahkan,
kutipan/turunannya dikirim oleh MPH-PGI kepada seluruh
anggota MPL-PGI, aslinya disimpan di Sekretariat Umum PGI.
Pasal 28
Berakhirnya Keanggotaan dan Pengisian Lowongan
Anggota MPH-PGI
1.
Seorang anggota MPH-PGI berhenti dari jabatannya, karena:
a. meninggal dunia
b. minta berhenti.
c. pindah untuk menetap di luar negeri.
d. diberhentikan oleh Sidang MPL-PGI berdasarkan usul
Sidang MPH-PGI dan disetujui oleh sekurang-kurangnya
3/4 (tiga perempat) dari anggota MPL-PGI yang hadir.
2. a. Apabila ada anggota MPH-PGI berhenti dari jabatannya,
maka penggantinya dipilih dan diangkat oleh Sidang MPLPGI untuk Masa Bakti yang sedang berjalan.
176
b. Masa Bakti anggota pengganti tersebut dianggap sebagai 1
(satu) periode Masa Bakti, bila Masa Bakti MPH-PGI itu di
bawah 1 (satu) tahun.
BAB VIII
BADAN PENGAWAS PERBENDAHARAAN PGI
DAN MAJELIS PERTIMBANGAN PGI
Pasal 29
Pengertian Pengawas Perbendaharaan PGI
1. Pengawasan Perbendaharaan PGI ialah Pemeriksaan dan
Penilaian ulang dalam pengelolaan perbendaharaan/kekayaan
dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI untuk
mencapai efisiensi, efektivitas dan taat ketentuan untuk
mendukung tercapainya tujuan PGI sesuai TATA DASAR PGI
Pasal 4.
2. Pelaksanaan Pengawasan Perbendaharaan PGI harus dilandasi
dengan nilai-nilai Kristiani dengan tidak mengabaikan dimensi
profesionalitas.
3. Sesuai TATA DASAR PGI Pasal 5 ayat 3.d, hasil pemeriksaan
dan laporan keuangan tahunan PGI yang disampaikan BPPPGI ke Sidang MPL-PGI dan Sidang Raya PGI, bahan laporan
tersebut atas persetujuan MPH-PGI dibagikan kepada utusan
Sidang MPL dan Sidang Raya termasuk Pimpinan
Departemen/ Badan/Biro PGI.
Pasal 30
Berakhirnya Keanggotaan dan
Pengisian Lowongan Anggota MP-PGI
1. Seorang anggota MP-PGI berhenti dari jabatannya, karena:
a. meninggal dunia.
b. minta berhenti.
c. pindah untuk menetap di luar negeri.
177
d. diberhentikan oleh Sidang MPL-PGI berdasarkan usul
Sidang MPH-PGI dan disetujui oleh sekurang-kurangnya
3/4 (tiga perempat) dari anggota MPL-PGI yang hadir.
2. a. Apabila ada anggota MP-PGI berhenti dari jabatannya,
maka penggantinya dipilih dan diangkat oleh Sidang MPLPGI untuk Masa Bakti yang sedang berjalan.
b. Masa Bakti anggota pengganti tersebut tidak dianggap 1
(satu) Masa Bakti bila Masa Bakti MP-PGI di bawah 1
(satu) tahun.
3. Masa Bakti MP-PGI adalah 5 (lima) tahun atau sama dengan
antara 2 (dua) Sidang Raya dan setiap anggotanya dapat
menjadi anggota MP-PGI lebih dari 2 (dua) Masa Bakti
berturut-turut.
4. MP-PGI bersidang sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6
(enam) bulan.
BAB IX
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA WILAYAH/
SINODE AM GEREJA (SAG)
Pasal 31
1.
2.
3.
4.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah (PGIWilayah)/SAG adalah bagian integral dari dan sebagai
perwujudan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia di
tingkat wilayah.
PGI-Wilayah/SAG
melaksanakan
Keputusan-keputusan
Sidang Raya PGI/MPL-PGI, yang dijabarkan sesuai dengan
kebutuhan dan keadaan setempat.
MPH PGI dapat membantu PGI-Wilayah/SAG untuk dapat
menjalankan peranan dan tugasnya dalam rangka
pelaksanaan Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama dan
perwujudan Keesaan Gereja di Indonesia.
PGI-Wilayah/SAG disahkan oleh MPL-PGI dan kepengurusannya dilantik oleh MPH PGI.
178
5.
Dalam hal gereja-gereja bersama-sama umat Kristen di suatu
wilayah tertentu menganggap perlu menggunakan nama yang
lain dari nama PGI-Wilayah/SAG dan nama itu dirasakan
lebih mampu mengungkapkan Keesaan Gereja di wilayah
tersebut, maka nama itu dapat dipergunakan sejauh tidak
bertentangan dengan upaya perwujudan Keesaan di wilayah
itu sebagaimana yang diatur dalam TATA DASAR dan TATA
RUMAH TANGGA PGI. Nama serta Tata Kerja dari
persekutuan tersebut diinformasikan kepada MPH-PGI untuk
dilaporkan kepada MPL-PGI.
6. a. Dalam upaya meningkatkan peranan PGI-Wilayah/SAG
dalam menjalankan visinya, gereja-gereja anggota PGIWilayah/SAG setempat, perlu menyediakan dana dan
tenaga yang lebih memadai untuk PGI-Wilayah/SAG.
b. MPH-PGI bersama-sama PGI-Wilayah/SAG dan gerejagereja anggotanya merumuskan lebih jelas dan seimbang
hubungan PGI dengan gereja-gereja anggota di satu pihak
dalam kaitan dengan PGI-Wilayah/SAG di lain pihak, serta
koordinasi Program-program PGI – Gereja-gereja PGIWilayah/SAG dan selanjutnya diatur dalam Tata Kerja
PGIW setempat.
c. Dalam era otonomi daerah gereja-gereja anggota PGI
Wilayah/Sinode dan gereja-gereja di Wilayah secara
bersama-sama melakukan studi dan kajian tentang
perkembangan peta politik dan hukum di Wilayah.
BAB X
BADAN-BADAN LAIN
Pasal 32
Badan-badan Lain dalam Lingkungan PGI
1. Yang dimaksud dengan badan-badan lain dalam lingkungan
PGI ialah Badan yang dibentuk oleh Sidang Raya PGI dan atau
Sidang MPL-PGI sebagai Badan yang berdiri sendiri untuk
179
melaksanakan suatu tugas khusus dan demi perwujudan
efektivitas dan efisiensi pelayanan.
2. Hubungan tanggung jawab Badan-badan ini kepada dan di
dalam PGI, dinyatakan dengan:
a. Pengesahan AD/Tata Kerja oleh MPH-PGI atas penugasan
Sidang Raya PGI dan atau Sidang MPL-PGI.
b. Pengesahan dan Pelantikan Pengurus.
c. Laporan pertanggungjawaban kerja dan keuangan diatur
dalam Anggaran Dasar/ Tata Kerja Badan tersebut.
Pasal 33
Badan-badan Kerja Sama
1. Yang dimaksud dengan Badan-badan Kerjasama, ialah Badanbadan yang tidak dibentuk oleh PGI, tetapi yang sebagian atau
seluruh tugasnya sejalan dengan tugas PGI dalam rangka
pencapaian tujuan PGI.
2. Suatu Badan Kerja sama PGI ditetapkan dan atau diakhiri oleh
Sidang MPL-PGI atas usul Sidang MPH-PGI.
3. Syarat-syarat dan bentuk kerja sama itu ditetapkan oleh
Sidang MPL-PGI atas usul Sidang MPH-PGI.
4. Dalam rangka kerja sama itu dapat dibentuk suatu Panitia/
Komisi bersama.
BAB XI
HUBUNGAN-HUBUNGAN PGI
Pasal 34
Hubungan-hubungan Oikoumenis
PGI mengadakan, memelihara dan melayani hubungan baik
dengan gereja-gereja dan badan-badan Kristen lainnya di dalam
maupun di luar negeri.
180
Pasal 35
Hubungan dengan Pemerintah dan Masyarakat
PGI mengambil peran aktif mengadakan, memelihara dan
melayani hubungan kerja sama dengan Pemerintah khususnya
Departemen Agama serta mengambil peran aktif dalam
memperjuangkan kebebasan beragama termasuk dengan semua
golongan agama yang ada dalam masyarakat.
BAB XII
SIDANG-SIDANG PGI
Pasal 36
Penyelenggaraan Persidangan PGI
1.
2.
3.
4.
Semua Sidang dalam lingkungan PGI merupakan persekutuan
berdoa, persekutuan belajar dan persekutuan bekerja.
Kecuali ditentukan lain dalam TATA DASAR dan TATA
RUMAH TANGGA PGI, maka setiap Sidang dalam lingkungan
PGI adalah sah apabila dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
(dua pertiga) dari jumlah anggota.
Dalam hal kuorum tidak tercapai, maka undangan berikutnya
dapat disampaikan:
a. Untuk Sidang MPH-PGI, 1 (satu) minggu sesudahnya.
b. Untuk Sidang MPL, 1 (satu) bulan sesudahnya
c. Untuk Sidang Raya, 3 (tiga) minggu sesudahnya.
Untuk setiap Sidang harus dikirim undangan tertulis, yang
ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretaris Umum
dengan menyebut tempat, waktu dan acara Sidang.
Pasal 37
Tata Tertib Sidang-sidang PGI
1. Tata Tertib Sidang Raya PGI ditetapkan oleh Sidang Raya PGI
181
2. Tata Tertib Sidang-sidang PGI lainnya, ditetapkan sendiri oleh
Sidang-sidang PGI yang bersangkutan dengan menggunakan
pola Tata Tertib Sidang Raya PGI terakhir.
BAB XIII
KEUANGAN DAN ANGGARAN PGI
Pasal 38
Iuran dan Sumbangan
1.
2.
3.
4.
Tiap gereja anggota PGI wajib membayar iuran tahunan
kepada PGI sesuai dengan sistem dan atau jumlah yang
dimufakati dan ditetapkan oleh Sidang MPL-PGI.
Iuran dan sumbangan lainnya dikirim langsung kepada
Bendahara PGI.
Sidang MPL-PGI dapat mengadakan peraturan-peraturan
pembayaran iuran dan menentukan cara-cara untuk
menambah pendapatan PGI, jika dirasa perlu.
Sidang MPL-PGI menetapkan ketentuan-ketentuan terhadap
gereja-gereja anggota PGI yang lebih dari 3 (tiga) tahun
berturut-turut tidak membayar iurannya.
Pasal 39
Tahun Anggaran PGI
1.
2.
3.
Tahun Anggaran PGI berjalan dari tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember
Anggaran Pendapatan dan Belanja PGI, baru dapat
dilaksanakan setelah disahkan oleh Sidang MPL-PGI.
Setiap Sidang MPL-PGI mengesahkan anggaran untuk 2 (dua)
tahun berikutnya dan perubahan dan atau tambahan
anggaran dalam tahun yang berjalan bila dianggap perlu atas
usul Sidang MPH-PGI.
182
BAB XIV
PEMBUBARAN PGI
Pasal 40
Pembubaran PGI
1. Dalam keputusan pembubaran PGI sebagaimana dimaksudkan
dalam TATA DASAR PGI Bab XII Pasal 25 susunan dan
personalia Panitia Likuidasi dan tata cara penyelesaian milik
PGI ditetapkan oleh Sidang Raya PGI.
2. Keputusan pembubaran PGI tersebut mulai berlaku jika telah
ditetapkan dengan Akte Notaris.
BAB XV
PERUBAHAN DAN TAMBAHAN TATA RUMAH TANGGA
Pasal 41
Perubahan dan Tambahan Tata Rumah Tangga PGI
Perubahan dan Tambahan TATA RUMAH TANGGA PGI ditetapkan
oleh Sidang MPL-PGI yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua
pertiga) jumlah anggota, dan disetujui oleh sekurang-kurangnya
2/3 (dua pertiga) suara yang hadir.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP TATA RUMAH TANGGA PGI
Pasal 42
Ketentuan Penutup Tata Rumah Tangga PGI
1. Segala sesuatu yang belum diatur dalam TATA DASAR PGI dan
TATA RUMAH TANGGA PGI, diatur dan ditentukan oleh Sidang
MPL-PGI atau Sidang MPH-PGI.
183
2. Segala tata urutan peraturan-peraturan PGI ditetapkan oleh
Sidang MPL-PGI
3. Segala perbedaan pendapat dalam penafsiran TATA DASAR
PGI dan TATA RUMAH TANGGA PGI, diselesaikan dan
diputuskan oleh Sidang MPL-PGI atau Sidang MPH-PGI.
Pasal 43
TATA RUMAH TANGGA PGI ini mulai berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan dalam Sidang MPL-PGI
di Hotel Seruni, Cisarua, Bogor
pada tanggal 3 Maret 2010
184
GLOSARIUM
Super struktur (hal. 10)
Struktur yang besar
Lembaga gerejawi: (hal 28)
Lembaga-lembaga gereja, baik yang anggota PGI maupun
yang bukan.
Lembaga keumatan (hal 31)
Lembaga ormas keagaamaan (mis. KWI, MUI, PHDI,
Walubi, Matakin, dll)
Misiologis-pastoral (h.39)
Sesuatu yang mengandung sifat/karakter misi dan
sekaligus bersifat pelayanan pastoral (penggembalaan).
Krisis multidimensi (h.40)
Krisis yang mempengaruhi berbagai dimensi/segi
kehidupan masyarakat
Ekonomi pasar (h.40)
Sistem perekonomian yang memihak pada pemilik modal
besar (kapitalis)
Ekonomi kerakyatan (h.41)
Sistem perekonomian yang memihak pada pemilik modal
kecil (c.q. rakyat)
Evangelisasi (h.49)
Pemberitaan injil/kabar baik dengan kecenderungan
menjadikan orang lain menjadi kristen
Keesaan relasional (h.49)
Suatu keutuhan yang yang terbentuk dari hubungan antar
pribadi yang saling menguatkan satu sama lain.
Pneumatologi (hal. 52)
Ilmu/pelajaran tentang Roh Kudus
Oikumenis Semesta: (hal 57)
Gerakan oikumene yang bersifat luas dan melibatkan
sebanyak mungkin pihak terkait.
185
Trafficking (h.59)
Penjualan orang/manusia ke luar negeri secara ilegal
Subordinasi (hal. 61)
Menempatkan orang lain pada posisi yang lebih rendah
Nepotisme (hal. 68)
Memberikan hak istimewa kepada sesorang karena ada
ikatan kekerabatan (keluarga)
Pluralitas (h.69)
Kemajemukan.
Pluralisme (h.69)
Kenyataan masyarakat yang majemuk
Inklusif-pluralistis (h.69)
Suatu yang bersifat terbuka bagi orang lain di mana
kemajemukan menjadi bagian dirinya.
Fundamentalisme (hal. 73)
Paham keagamaan yang sempit yang menganggap
kebenaran hanya pada dirinya
Sektarianisme (hal. 73)
Kepatuhan berlebihan pada kelompoknya (sektenya)
Stakeholder (hal. 79)
Pihak-pihak yang berkepentingan (terkait)
Bertindih-tepat (h.81)
Adanya kesesuaian yang tepat. Sama dengan.
Eksklusif (h.85)
Terpisah dari yang lain (khusus)
Otoritarianisme (hal 85)
Sikap penguasa yang bertindak sewenang-wenang
terhadap ortang lain (rakyat).
Totaliterisme (hal. 85)
paham pemerintahan yang menempatkan semua orang
lebih rendah dari dirinya; bertindak semena-mena
terhadap rakyat.
Introvert (h.95)
Bersifat tertutup. Bersifat suka memendam rasa dan
pikiran sendiri dan tidak mengutarakannya kepada yang
lain.
Download