Biaya Tersembunyi RCEP dan kesepakatan perdagangan

advertisement
Biaya Tersembunyi RCEP dan kesepakatan perdagangan
korporasi di Asia
Penulis: Cecilia Olivet, Kat Moore, Sam Cossar-Gilbert, Natacha Cingotti
Desain:
Dipublikasikan oleh Friends of the Earth International, Transnational Institute, Indonesia for
Global Justice and Focus on the Global South.
Amsterdam/Jakarta, Desember 2016
Konten laporan dapat dijadikan rujukan atau reproduced untuk kepentingan non-komersil
jika sumber informasi is properly cited.
Ucapan terima kasih
Kami ucapkan terima kasih kepada Denis Burke untuk masukan-masukan yang bermanfaat
untuk konsep naskah.
Temuan Penting
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
50 kasus investasi telah diajukan melalui arbitrase melawan 16 negara RCEP (Regional
Comprehensive Economic Partnership) sejak 1994, lebih dari 50%diantaranya diajukan setelah
tahun 2010
India telah menjadi target dari 40% kasus yang diajukan melawan negara RCEP
68% dari kasus yang diajukan melawan negera-negara RCEP diinisiasi oleh para penanam
modal yang berasal dari Eropa
Para penanam modal asing telah menuntut paling tidak 31 milyar dolar Amerika kepada
negara-negara RCEP. Mengingat adanya kesan rahasia seputar proses penyelesaian
sengketa antara penanam modal dan negara (ISDS), jumlahnya mungkin lebih dari itu. Jumlah
tersebut 7 milyar dolar Amerika lebih sedikit dibandingkan degan anggaran negara India untuk
tahun 2015.
Dari 31 milyar dolar Amerika yang dituntut oleh para penanam modal, 81% adalah tuntutan
hanya kepada empat negara yaitu India, Korea Selatan, Australia, dan Vietnam
Jumlah besar yang diketahui telah dibayar kepada penanam modal asing oleh negara RCEP
adalah 337 juta dolar Amerika sebagai bagian dari kesepakatan dalam kasus Cemex melawan
Indonesia
36% dari kasus-kasus yang melibatkan negara-negara RCEP adalah mengenai sektor-sektor
yang berhubungan dengan lingkungan
42% dari kasus-kasus ISDS melawan negara-negara RCEP masih dalam status ditangguhkan
Dapat dikatakan bahwa para penanam modal telah memenangkan 67% kasus melawan
negara-negara RCEP
Negara-negara RCEP telah dituntut karena mengambil langkah-langkah untuk melindungi
kesehatan masyarakat, menyesuaikan pajak korporasi, mempromosikan industri, dan meninjau
kontrak yang dilaksanakan melalui dugaan tindak korupsi, dan masih banyak lagi
Negara-negara RCEP telah menandatangani 831 perjanjian investasi internasional (IIA), 676
diantaranya sedang dijalankan. Sebagian besar perjanjian ditandatangani pada rentang tahun
1990-2009
Tiongkok, Korea Selatan dan India telah menandatangani Perjanjian Investasi Internasional
(IIA) terbanyak. Selandia Baru, Myanmar dan Brunei telah menandatangani Perjanjian
Investasi Internasional paling sedikit.
87% dari Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) yang ditandatangani negara-negara RCEP yang
sedang dilaksanakan kemungkinan besar telah melewati masa periode awal dan dapat diakhiri
Negara-negara RCEP saat ini sedang melakukan negosiasi mengenai paling tidak enam
Perjanjian Perdagangan Bebas dengan bab-bab mengenai perlindungan investasi yang
memberikan hak kepada para penanam modal untuk menuntut secara hukum pemerintah
terkait di pengadilan investasi internasional. Mereka berunding mengenai Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina,
Myanmar dan India juga bernegosiasi secara bilateral dengan European Union.
1. Pendahuluan
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) saat ini sedang dinegosiasikan oleh 16
negara di wilayah Asia, termasuk Tiongkok, negara-negara anggota ASEAN dan negara pelaku
utama perdagangan lainnya seperti Australia, Korea Selatan, Jepang dan India. Lebih dari 50%
populasi dunia tinggal di negara-negara yang sedang bernegosiasi, yang merupakan lebih dari
1
seperempat dari ekspor global dan hampir 30% dari GDP dunia. Layaknya perjanjian-perjanjian
dagang lainnya, seperti Trans Pacific Partnership (TPP), negosiasi ini termasuk focus pada
liberalisasi perdagangan, membahas berbagai peraturan dan sangat rahasia.
“RCEP dan TPP merupakan kelanjutan dari konsep WTO- yang dirancang untuk mengumpulkan
kekayaan di tangan elit korporasi global; US-led TPP dan China-led RCEP tidak akan membahas
mengenai permintaan jangka panjang untuk sistem perdagangan internasional yang menjawab
kebutuhan masyarkat luas”, Beverly Longid, dari International Indigenous Peoples Movement for Self2
Determination and Liberation.
RCEP juga meliputi mekanisme Investor-State Penyelesaian Sengketa yang kontroversial yang saat
3
ini mendapat kritik public dan pengawasan di seluruh dunia. ISDS merupakan mekanisme satu arah
yang memberi peluang pada para penanam modal asing untuk menuntut secara hukum negara
terkait di pengadilan arbitrase internasional; namun mekanisme tersebut tidak dapat digunakan oleh
negara-negara terkait. Para penanam modal asing dapat mengelak dari sistem pengadilan domestik
dan menuntut kompensasi finansial dari pemerintah tuan rumah (host) di pengadilan rahasia
internasional yang ramah terhadap bisnis apabila mereka menyatakan investasi mereka (termasuk
potensi keuntungan di masa depan) terkena dampak dari pemberlakuan peraturan dan/atau
perubahan kebijakan di negara host. Pengadilan privat tersebut terdiri dari tiga arbitrator berbayar
yang mengeluarkan putusan mereka secara tertutup. Para arbitrator seringkali memiliki konflik
4
kepentingan karena banyak dari mereka memiliki insentif finansial untuk memberi putusan yang
memenangkan penanam modal dan menjaga sistem tetap berjalan. Para Arbitrator juga seringkali
berpindah pihak dan bekerja sebagai pengacara yang merepresentasikan serta membela
perusahaan-perusahaan yang mengajukan gugatan hukum untuk kasus-kasus perjanjian investasi.
Menegosiasikan perjanjian baru termasuk di dalamnya ISDS berarti melakukan upaya menentang
terhadap keputusan beberapa pemerintahan di daerah untuk memperbarui atau mengakhiri
perjanjian-perjanjian ini demi melindungi hak mereka untuk membuat peraturan. Diantara negaranegara RCEP, India, Indonesia dan Australia telah melewati proses-proses tinjauan mengenai
5
6
konsep investasi internasional. Dalam kasus India dan Indonesia , hasil dari tinjauan tersebut
berakhir pada pengakhiran beberapa perjanjian serta perkembangan model baru dari perjanjian
investasi bilateral (BIT) yang sangat membatasi hak-hak para penanam modal.
Laporan ini menyoroti biaya ISDS saat ini dan yang mungkin akan timbul yang ditanggung oleh
negara-negara yang sedang bernegosiasi mengenai perjanjian RCEP. Perjanjian Perdagangan
Bebas Amerika Utara (The North American Free Trade Agreement / NAFTA) menunjukkan bahwa
kesepakatan perdagangan daerah yang besar sangat lebih sulit untuk diperbarui atau diubah setelah
ditandatangani dibandingkan dengan perjanjian bilateral. Satu-satunya cara untuk menghilangkan
hak-hak yang diberikan kepada para penanam modal dalam perjanjian perdagangan bebas adalah
dengan mengakhiri keseluruhan perjanjian, tidak hanya bab mengenai perlindungan investasi
masing-masing. Dampak bahaya dari perjanjian investasi akan semakin meningkat jika pemerintah di
wilayah terkait setuju untuk memberikan perlindungan hak yang lebih kepada para penanam modal
dalam RCEP dan negosiai perdagangan bebas lainnya yang sedang berlangsung. Selanjutnya,
secara wajar dapat diperkirakan bahwa RCEP akan menjamin keberadaan ketentuan ISDS yang
berbahaya di wilayah terkait untuk masa yang akan mendatang. Hal ini dapat merusak upaya-upaya
pemerintah dalam mengamankan hak mereka untuk membuat peraturan demi kepentingan umum.
Tuntutan untuk kompensasi ganti rugi dapat – dan pada kenyataannya – bernilai hingga milyaran
dolar. Namun, kasus-kasus ISDS tidak sepenuhnya diungkapkan kepada khalayak walaupun jika ada
kasus yang mungkin berkenaan dengan kepentingan umum seperti lingkungan. Ketika negara terkait
kalah dalam kasus ISDS atau menyelesaikan sengketa dengan penanam modal, pemerintah
terpaksa harus menanggung biaya menggungakan uang rakyat. Dengan kata lain, ISDS secara
efektif membuka pintu kepada para penanam modal untuk mengalihkan risiko investasi mereka
kepada para wajib pajak. Walaupun kasus telah dihentikan atau hasil akhirnya memenangkan negara
terkait, negara tersebut biasanya harus tetap menanggung biaya pembelaan hukum dan ongkos
arbitrator yang terlalu besar. Menurut Organisation for Economic Cooperation and Development
(OECD), biaya untuk satu kasus ISDS saja mencapai 8 juta dolar Amerika hanya untuk rata-rata
biaya proses hukum dan aribitrase, setengah dari total biaya tersebut akan ditanggung oleh Negara
7
terkait.
Laporan ini mengumpulkan data yang tersedia mengenai kasus-kasus melawan pihak negara-negara
yang dibawa ke negosiasi RCEP. Laporan ini juga menyoroti serangan korporasi yang sedang terjadi
terhadap hak pemerintah Asia untuk mengatur, termasuk tindakan yang dilakukan setelah
memberlakukan langkah-langkah untuk melindungi lingkungan. Terlebih lagi, laporan ini menekankan
akibat yang ditimbulkan sistem ini terhadap demokrasi di wilayah terkait.
Metodologi
Laporan ini menyusun data mengenai kasus-kasus ISDS yang diajukan melawan pihak negara-negara dalam
negosiasi RCEP. Penelitian ini dilakukan pada November 2016 menggunakan data yang tersedia di akses publik
pada saat itu. Sebagian besar informasi mengenai kasus untuk kepentingan penelitian ini diambil dari database
8
kebijakan investasi UNCTAD , didukung oleh informasi tambahan dari majalah-majalah khusus seperti
9
10
IAReporter, Global Arbitration review, Italaw , dan artikel serta jurnal lainnya yang berhubungan jika tersedia
dan melengkapi detil serta data mengenai kasus-kasus tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang komprehensif mengenai seluruh kasus-kasus yang
diketahui di negara-negara RCEP dengan dokumentasi terkait yang dapat diakses. Namun, beberapa kasus
ISDS bersifat rahasia, bahkan untuk kasus-kasus yang masalah sengketanya merupakan kepentingan publik.
Mengingat kurangnya transparansi seputar proses arbitrase, kasus-kasus yang dibahas di sini mungkin tidak
mencakup seluruh kasus yang diajukan melawan negara-negara prospektif RCEP. Tidak semua kasus
dipublikasikan atau didokumentasikan sepenuhnya. Walaupun rincian mengenai kasus tersedia untuk publik,
banyak rincian terkait jumlah uang yang diputuskan harus dibayar, biaya proses hukum yang harus dibayar, atau
11
alasan kesepakatan yang tidak sepenuhnya diungkapkan.
Kasus-kasus ini digolongkan sebagai kasus terkait lingkungan berdasarkan investasi dari penanam modal yang
menggugat yang merupakan salah satu sektor berikut ini yang didefinisikan oleh UNCTAD: tambang &
penggalian; ketersediaan air, saluran air, pengolahan limbah dan kegiatan remediasi; atau pasokan listrik, gas,
uap dan udara.
2- Dampak ISDS di Asia
Saat ini terdapat 50 gugatan perjanjian investasi yang diketahui melawan 11 negara RCEP. Lima
negara (Brunei, Kamboja, Singapur, Jepang, dan Selandia Baru) telah lolos. India telah menjadi
target dari 40% kasus yang diajukan melawan negara-negara RCEP. Indonesia, Filipina dan Vietnam
merupakan tiga negara berikutnya yang paling sering dituntut diantara negara-negara RCEP lainnya.
Dari total kasus-kasus yang diajukan melawan India, 15 diantaranya berdasarkan empat perjanjian
investasi bilateral, yaitu India-Inggris (lima kasus), India-Mauritius (empat kasus), India-Perancis (tiga
kasus), dan India-Belanda (tiga kasus).
Negara-­‐negara RCEP yang dituntut (termasuk jumlah kasus) Thailand, 1 Myanmar, 1 Australia, 1 China, 2 Korea Selatan, 3 Malaysia, 3 India, 20 Laos, 3 Vietnam, 4 Indonesia, 7 Philippines, 5 Pertumbuhan eksponensial dalam jumlah kasus yang diajukan
Mengikuti tren internasional, sengketa perjanjian investasi melawan negara-negara RCEP telah
meningkat selama satu dekade terakhir. Haya enam kasus diajukan melawan negara-negara RCEP
antara rentang tahun 1994 dan 2003. Pertambahan kasus gugatan hukum meningkat pesat mulai
tahun 2004; setidaknya 27 sengketa dimulai antara tahun 2004 dan 2013. Sejak tahun 2004 hingga
saat ini, sudah ada 17 tuntutan ISDS yang terdaftar, sehingga ada kemungkinan bahwa dekade
2014-2023 akan menggantikan periode sebelumnya.
Jumlah kasus ISDS melawan negara-­‐negara RCEP yang diajukan per tahun 10 7 6 6 4 4 3 2 1 1 1 2 2 1 1994 1999 2000 2002 2003 2004 2005 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Siapa penanam modal yang menuntut?
Para penanam modal dari 19 negara berbeda telah memulai tuntutan hukum melawan negara-negara
RCEP. Negara asal para penamam modal yang paling sering memulai tuntutan termasuk diantaranya
adalah Belanda (9 kasus), Inggris (8 kasus), Perancis (5 kasus), Belgia (4 kasus) dan Jerman (4
kasus). Faktanya, 68% penanam modal, yang menuntut secara hukum negara-negara RCEP, berada
di Eropa.
Negara asal para penanam modal yang menuntut negara-­‐
negara RCEP Timur Tengah, 4% Amerika Utara, 2% Afrika, 7% Asia, 19% Eropa, 68% Sektor apa yang menjadi target?
31 gugatan dari total 50 gugatan hukum berhubungan dengan empat sektor, yaitu listrik dan gas,
tambang, informasi dan komunikasi, dan manufaktur.
Peraturan arbitrase mana yang menjadi favorit para penanam modal dalam kasus melawan
negara-negara RCEP?
Berbeda dengan tren internasional, para penanam modal yang menuntut secara hukum negaranegara RCEP telah memilih peraturan Komisi PBB untuk Hukum Perdagangan Internasional dalam
60% kasus, dibandingkan dengan peraturan ICSID. Hal ini mungkin karena beberapa negara RCEP
belum menandatangani konvensi ICSID seperti India, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Laos.
Peraturan Arbitrase yang digunakan dalam gugatan ISDS melawan negara-­‐negara RCEP ICSID, 34% UNCITRAL, 60% ICSID AF, 6% Status kasus-kasus ISDS melawan negara-negara RCEP
Untuk sebagian besar kasus, penyelesaiannya masih ditangguhkan (20). Dari 30 kasus yang telah
diselesaikan, sebagian besar memenangkan penanam modal dengan adanya keputusan pengadilan
yang memenangkan penanam modal (3) atau dengan kesepakatan dengan Negara terkait (17).
Ketentuan dari sebagian besar kesepakatan tidak diungkapkan, namun banyak terkait dengan
sejumlah biaya yang harus dibayar oleh Negara, atau keputusan untuk memberi pembebasan, atau
menghapus peraturan yang mempengaruhi penanam modal.
Keputusan memenangkan penanam modal, 3 Kesepakatan damai, 17 Keputusan memenangkan Negara, 9 Tidak memenangkan kedua pihak, 1 ditunda, 20 Siapa yang menang dalam kasus-kasus melawan negara-negara RCEP?
Jika melihat 30 kasus yang diketahui hasilnya, kami menemukan bahwa 57% kasus telah selesai
dengan kesepakatan dan 10% kasus dimenangkan oleh penanam modal. Hal tersebut sama artinya
dengan dalam 67% dari total kasus yang ada, penanam modal mendapatkan sesuatu dari kasus
tersebut. Pengadilan menutup dan memutuskan Negara tidak perlu membayar kompensasi kepada
penanam modal hanya dalam 30% dari kasus yang ada.
Penting untuk diingat bahwa terlepas dari hasil akhir (apakah memenangkan Negara, mencapai
kesepakatan, dll), pemerintah kemungkinan besar harus membayar biaya proses hukum dan
sebagian dari biaya arbitrase. Rata-rata jumlahnya mencapai 4,5 juta dolar Amerika12 atau bahkan
lebih.
Hasil akhir kasus ISDS melawan RCEP yang telah selesai Keputusan memenangkan peanam modal, 10% Kesepakatan damai, 57% Keputusan memenangkan Negara, 30% Tidak memenangkan keduanya, 3% Biaya gugatan hukum
Tuntutan untuk kompensasi finansial dan beban yang mereka bebankan pada anggaran umum di
negara-negara host mejadi masalah utama dalam arbitrase tentang investasi. Walaupun informasi
yang tersedia sangat terbatas, kami menemukan bahwa sejauh ini setidaknya 31 milyar dolar
Amerika telah dituntut dari negara-negara RCEP. Mengingat adanya unsur kerahasiaan seputar
proses ISDS dan fakta bahwa untuk banyak kasus jumlah yang dituntut oleh para penanam modal
tidak diketahui, jumlah tersebut dapat lebih banyak dari yang diketahui.
Dalam hal daftar tuntutan finansial di negara-negara terkait, India berada di urutan pertama dengan
setidaknya 12,3 milyar dolar Amerika dituntut oleh para penanam modal sejak tahun 1994. Korea
Selatan, Australia dan Vietnam berada di posisi berikutnya.
Jumlah yang diminta oleh para
penanam modal berdasarkan
akumulasi gugatan ISDS
India
12,3 milyar
Korea Selatan
4,9 milyar
Australia
4,2 milyar
Vietnam
4 milyar
Indonesia
2,4 milyar
Laos
2 milyar
Philippines
1 milyar
Thailand
162,9 juta
Tiongkok
16,3 juta
Myanmar
6,3 juta
Malaysia
5,3 juta
Sebagai perbandingan, 31 milyar dolar Amerika lebih besar dari anggaran kesehatan di India tahun
2015 yaitu 24 milyar dolar Amerika13, atau lebih dari jumlah investasi asing langsung yang masuk ke
14
Indonesia tahun 2014 yaitu 26,2 milyar dolar Amerika .
Hanya terdapat 40 data kasus mengenai jumlah uang yang dituntut oleh para penanam modal,
jumlah tersebut mencapai lebih dari 100 juta dolar Amerika untuk 21 kasus (lebih dari 50% kasus).
Sebagian besar tuntutan untuk biaya kompensasi ganti rugi finansial yang lebih dari 1 milyar dolar
Amerika diajukan setelah tahun 2010, yang sejalan dengan tren internasional dan membuktikan
bahwa para penanam modal terus meminta kompensasi finansial yang semakin tinggi dari tahun ke
tahun.
Walaupun banyak kasus tidak berujung pada kewajiban Negara untuk membayar dalam jumlah yang
sangat besar, ancaman bahwa harus membayar sejumlah tersebut kemungkinan besar dijadikan
sebuah alasan untuk mencegah adanya peraturan untuk kepentingan umum, adanya rasa takut
digugat oleh penanam modal asing di kemudian hari.
Mengingat bahwa kebanyakan kasus di negara-negara RCEP telah diselesaikan dan hampir tidak
ada informasi mengenai apa yang disetujui oleh Negara untuk diberikan atau dibayarkan kepada
penanam modal sebagai upaya dini penyelesaian kasus, maka dampak finansial yang pasti dari
kasus-kasus ISDS terhadap pemerintahan di negara-negara RCEP sulit untuk diestimasi. Namun
demikian, informasi yang tersedia menunjukkan setidaknya satu kesepakatan damai yang berakhir
dengan pemberian kompensasi senilai 337 juta dolar Amerika. Jumlah tersebut adalah jumlah yang
dibayar Indonesia kepada perusahaan manufaktur semen terbesar ket-3 di dunia, Cemex, setelah
mereka menyelesaikan sengketa ICSID mereka. Perusahaan menerima hampir seluruh 400 juta dolar
Amerika tersebut yang sejak awal dituntut sebagai ganti rugi dalam gugatan hukum. Pemerintah
negara lain yang juga harus membayar para penanam modal berdasarkan hasil kesepakatan damai
termasuk Thailand (pengadilan memerintahkan Negara untuk membayar 41 juta dolar Amerika
kepada perusahaan Jerman, Walter Bau) dan India (membayar ganti rugi kepada perusahaan
Amerika Serikat, Bechtel sebesar 160 juta dolar Amerika sebagai bagian dari kesepakatan).
Banyak kasus ISDS di daerah yang baru diajukan dan masih ditangguhkan. Oleh karena itu,
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui dampak secara keseluruhan dari kasus-kasus
tersebut. Jumlah kasus yang saat ini sedang dalam proses pasti akan memunculkan biaya yang
signifikan di kemudian hari. Contoh, India, memiliki sembilan tuntutan yang masih ditunda bernilai 5,8
milyar dolar Amerika. Indonesia dan Korea Selatan memiliki 3 tiga kasus yang ditunda masingmasing bernilai 1,9 milyar dan 4,8 milyar dolar Amerika.
Penggunaan sistem ISDS oleh para penanam modal RCEP
Ketika pemerintah negara-negara RCEP jelas-jelas terkena dampak dari gugatan-gugatan hukum
yang memakan biaya besar ini, para penanam modal Asia dengan mudah memanfaatkan perjanjian
investasi internasional diantaranya para penanam modal Tiongkok, Australia, India, Korea, Malaysia,
Singapur dan Jepang.
Penanam modal dari negara-­‐negara RCEP yang telah menggunakan IIA untuk menuntut Jepang, 2 Tiongkok, 4 Singapur, 3 Malaysia, 3 Korea, 3 Australia, 3 India, 3 3- Rezim perlindungan investasi negara-negara RCEP
Negara-negara RCEP telah menandatangani perjanjian investasi internasional (IIA) sebanyak 831,
15
676 diantaranya sedang dilaksanakan .
Tiga negara yang menandatangani perjanjian paling banyak adalah Tiongkok, Korea Selatan dan
India. Sementara Selandia Baru, Myanmar dan Brunei merupakan negara-negara yang
menandatangani perjanjian (IIA) paling sedikit.
Negara
Jumlah IIA yang
ditandatangani
(BIT/yang lainnya)
Jumlah IIA yang
sedang
dilaksanakan
Tiongkok
145/19
141
Korea Selatan
102/20
109
India
84/13
82
Malaysia
71/24
70
Singapur
47/30
63
Vietnam
64/23
63
Indonesia
71/16
63
Thailand
41/23
54
Filipina
38/15
42
Australia
23/18
39
Jepang
28/20
38
Laos
25/17
32
Kamboja
Brunei
24/16
22
8/19
19
10/16
17
4/14
15
Myanmar
Selandia Baru
Sebagian besar perjanjian negara-negara RCEP ditandatangani antara tahun 1990 dan 2009.
400 358 350 302 300 250 200 150 84 100 50 54 7 26 0 1960-­‐1969 1970-­‐1979 1980-­‐1989 1990-­‐1999 2000-­‐2009 2010-­‐2016 Negara-negara RCEP telah mengakhiri 53 Perjanjian Investasi Bilateral, namun hanya 24
diantaranya yang tidak diganti dengan perjanjian perlindungan investasi lainnya. Indonesia telah
mengawali proses pengakiran Perjanjian Investasi Bilateral tanpa penggantian dan sejauh ini telah
mengakhiri 22 Perjanjian Invesatasi Bilateral.
Rata-rata, perjanjian dapat secara sepihak diakhiri ketika periode sepuluh tahun pertama setelah
penandatanganan perjanjian berakhir. Jika melihat negara-negara RCEP, ini berarti 87% Perjanjian
Investasi Bilateral yang sedang dilaksanakan besar kemungkinan sudah melewati periode awal dan
dapat diakhiri.
Seluruh Perjanjian Investasi Bilateral yang ditandatangani negara-negara RCEP memuat klausa
survival (survival clause). Klausa ini menambah efek dari Perjanjian Investasi Bilateral untuk investasi
yang ada dalam periode tertentu yaitu beberapa tahun setelah berakhirnya perjanjian. Perjanjian
Investasi Bilateral yang disahkan oleh negara-negara RCEP rata-rata berlaku selama 10 tahun
(walaupun dalam beberapa kasus dapat lebih hingga 15 atau 20 tahun).
Perbedaan mendasar antara Perjanjian Investasi Bilateral (BIT) dan Perjanjian Perdagangan Bebas
(FTA) (termasuk bab perlindungan investasi) adalah Perjanjian Perdagangan Bebas tidak
memasukkan klausa pengakhiran. Dalam Perjanjian Perdagangan Bebas, pemerintah akan sulit
untuk menarik komitmen untuk memberikan hak-hak kepada para penanam modal asing. Untuk
mengakhiri klausa yang melindungi para penanam modal asing dalam Perjanjian Perdagangan
Bebas pemerintah harus mengakhiri keseluruhan perjanjian, bukan hanya bab perlindungan investasi
saja.
IIA dalam negosiasi
Selain 676 perjanjian yang sedang dilaksanakan, terdapat beberapa negosiasi yang sedang
berlangsung untuk perjanjian investasi internasional yang baru termasuk Regional Comprehensive
Economic Partnership (RCEP) dan beberapa Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) dengan EU,
terutama antara EU-Thailand FTA (menunggu), EU-Malaysia FTA (menunggu), EU-India FTA
(menunggu), EU-Indonesia CEPA, EU-Philippines FTA, and EU-Myanmar BIT, yang seluruhnya
memasukkan bab perlindungan investasi serta memberikan hak kepada para penanam modal untuk
menuntut secara hukum pemerintah di pengadilan investasi internasional.
4- DAFTAR FAKTA NEGARA
Indonesia
Jumlah tuntutan: 7
Sengketa terkait dengan:
Jumlah yang dituntut oleh para penanam modal:
2,4 milyar dolar Amerika
Tambang dan penggalian (3)
Manufaktur (2)
Kegiatan finansial dan asuransi (2)
Tuntutan terbesar: 1,3 milyar dolar Amerika
Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam
modal: 337 juta dolar Amerika
Fakta Komparatif: uang yang dibayarkan ke
Cemex 337 juta dolar Amerika = gaji untuk
16
38.593 orang guru untuk satu tahun
Biaya yang merugikan terkait arbitrase investasi: kasus Churchill Mining melawan Indonesia
Wilayah Indonesia bagian Kalimantan Timur dikenal memiliki sumber coal yang belum terkelola
17
kedua terbesar dan berada di posisi ke-7 terbesar di dunia . Coal merupakan bahan bakar dari fosil
yang paling polluting yang menghasilkan methane serta karbondioksida lebih banyak dibandingkan
18
dengan produksi energy lainnya. Walaupun industri bahan bakar coal terus menjadikan coal
sebagai sumber energy utama, konsumsi coal telah menurun drastis sejak 2012 yang didukung oleh
19
economic imperatives serta bukti lingkungan.
Perusahaan tambang Inggris, Churchill Mining, memiliki 75% saham di proyek tambang batu bara di
20
Kalimantan Timur. . konstruksi tambang diperkirakan sudah dimulai tahun 2010, namun pemerintah
daerah mencabut ijin tambang perusahaan dengan berbagai alasan termasuk dugaan pemalsuan
21
ijin .
Churchill Mining dan anak perusahaannya di Australia, Planet Mining, menyatakan bahwa Indonesia
22
telah tanpa dasar hukum mencabut ijin tambang dan memulai kasus melawan Pemerintah
Indonesia pada tahun 2012 melalui arbitrase investasi internasional. Kedua gugatan tersebut
berdasarkan pada perjanjian investasi bilateral Inggris-Indonesia dan Australia-Indonesia. Kedua
perusahaan menuntut kompensasi sebesar 1,3 milyar dolar Amerika padahal mereka hanya
23
berinvestasi sebesar 40 juta dolar Amerika untuk eksplorasi dan eksploitasi .
Milyaran dolar Amerika yang dituntut oleh Churchill Mining hampir sama dengan total anggaran
subsidi pangan Indonesia tahun 2015. Jumlah tersebut juga masih lebih banyak dibandingkan
dengan total subsidi dari pemerintah untuk pupuk para petani, subsidi untuk usaha kecil dan
24
menengah, dan subsidi untuk transportasi umum.
Sejak saat itu, Pemerintah Indonesia telah mencabut gugatan pemalsuan terhadap Churchill,
25
kemudian menyalahkan mitra lokal Churchill sebelumnya. Namun demikian, kasus di ICSID tetap
26
berlangsung. Sejauh ini, biaya arbitrase diperkirakan telah mencapai sepuluh juta dolar Amerika.
India
Jumlah tuntutan: 20
Jumlah yang dituntut dalam $: 12,3 milyar dolar
Amerika
Total yang dibayarkan kepada para penanam
modal dalam $: 164 juta dolar Amerika
Sengketa terkait dengan:
Listrik (9)
Informasi dan komunikasi (7)
Tambang dan penggalian (3)
Transportasi dan penyimpanan (1)
Tuntutan terbesar: 4 milyar dolar Amerika
Fakta Komparatif: jumlah yang dituntut oleh para
penanam modal asing: 12,3 milyar dolar
27
Amerika = 12,3 juta ton beras
Keuntungan privatisasi, kerugian sosialisasi: kasus Bechtel, Enron dan tujuh Bank Eropa
melawan India
Proyek Dabhol yang dibentuk tahun 1992, dianggap sebagai tanaman listrik berbahan bakar gas
terbesar di dunia. Proyek tersebut dibentuk di Maharashtra dekat Mumbai dan membutuhkan biaya
28
sebesar 2,9 milyar dolar Amerika. Proyek tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah India
untuk membebeaskan dan memprivatisasi sektor energi dengan modal asing. Tiga perusahaan
Amerika Serikat berperan dalam investasi tersebut: Enron Corporation (yang memiliki 80% saham),
29
dan Bechtel dan General Electric (memiliki masing-masing 10% saham).
Walaupun proyek tersebut ditentang oleh publik karena dampak sosial dan lingkungan serta
30 31 32
pelanggaran hak asasi manusia, dan tuduhan atas tindak pidana korupsi
, pemerintah India
tetap melakukan kesepakatan dengan perusahaan-perusahaan asing dengan cepat dan tidak
transparan. Hal lain yang juga bermasalah adalah fakta bahwa pemerintah setempat setuju untuk
membeli 90% sumber tenaga yang dihasilkan oleh Dabhol terlepas dari kebutuhan pasar terhadap
listrik dan dengan harga yang dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga yang bisa
didapat dari pemasok lain di dalam negeri. Pengeluaran tersebut sama dengan setengah dari
33
anggaran belanja pemerintahan Maharashtra.
“Kesepakatan tersebut dirasa tidak menguntungkan menurut para komentator India jika dilihat dari
perspektif kebijakan energi nasional, wajib pajak, dan kepentingan dalam negeri yang harus
34
menanggung biaya proyek tersebut”
Ketika kubu oposisi memenangkan pemilihan Maharashtra tahun 1995, pemerintahan yang baru
35
memulai tinjauan atas proyek Dabhol, yang merekomendasikan untuk menghapus proyek tersebut.
Berdasarkan laporan rekomendasi, Pemerintahan Maharashtra pertama-tama menegosiasikan
kembali ketentuan kesepakatan tersebut, dan pada tahun 2000 membatalkan pembayaran untuk
energi yang terlalu mahal.
Oleh karena itu, sembilan gugatan melalui arbitrase internasional diajukan terhadap pemerintah India
oleh beberapa perusahaan yang berbeda yang telah berinvestasi dalam proyek tersebut:
•
•
•
Bechtel dan GE mengajukan tuntutan melalui afiliasi Mauritius mereka menggunakan perjanjian
investasi bilateral India-Mauritius terlepas dari fakta bahwa perusahaan-perusahaan tersebut
36
berada di Amerika Serikat. Mereka menuntut 1,2 milyar dolar Amerika.
Enron juga mengajukan gugatan mealui anak perusahaan dari Belanda menggunakan perjanjian
investasi bilateral India-Belanda. Enron menuntut ganti rugi sebesar empat milyar dolar Amerika.
Tujuh Bank Eropa (Credit Suisse, Erste Bank, Standard Chartered Bank, ANZEF, Credit
Lyonnais (sekarang Calyon), BNP Paribas dan ABN Amro) terlibat dalam arbitrase melawan
Pemerintah India, mereka menuntut karena investasi mereka di proyek Dabhol tidak dilindungi.
Mereka menggunakan perjanjian investasi bilateral yang ditandatangani oleh India dan Belanda,
37
Inggris, Perancis, Swiss dan Austria. Jumlah tuntutan mencapai 291 juta dolar Amerika .
Seluruh gugatan kemudian berakhir dengan kesepakatan, sehingga tidak sampai ke Pengadilan
untuk mendapat putusan. Untuk sebagian besar kasus, rincian mengenai kasus-kasus tersebut serta
ketentuan kesepakatan tidak diketahui. Informasi yang diungkap hanya mengenai kasus Bechtel dan
GE yang menyepakati untuk tidak melakukan arbitrase, dan sebagai gantinya membayar 160 juta
38
39
dolar Amerika kepada Bechtel dan 145 juta dolar Amerika kepada General Electric. Kedua
perusahaan telah membeli seluruh saham Enron setelah bangkrut pada tahun 2000.
Kegagalan Dabhol Power Plant serta kasus-kasus arbitrase internasional setelahnya menunjukkan
kelemahan sistem ISDS:
- pengalihan kerugian oleh para penanam modal: kasus-kasus ini merupakan contoh nyata tentang
bagaimana masyarakat harus menanggung kerugian atas keputusan pemerintah yang tidak tepat
untuk melakukan privatisasi energi dan pembayaran ganti rugi akibat dari tindakan para penanam
modal yang ceroboh yang diambil dari dana simpanan publik. Pada tahun 1993, Bank Dunia telah
menolak membiayai proyek tersebut dengan alasan bahwa proyek tersebut “tidak dapat berjalan
40
secara eknomi” . Akibat dari proyek ini, masyarakat di Negara Bagian Maharashtra menyaksikan
tanah mereka disita, kehilangan bagian dari kehidupan mereka, dan harus membayar harga yang
mahal untuk listrik. Sangat disayangkan bahwa bagian dari dana umum yang seharusnya
diinvestasikan untuk kesehatan atau pendidikan atau pelayanan publik yang terjangkau telah
digunakan untuk membayar para penanam modal asing.
- Pembuatan perjanjian dan perusahaan sebagai tameng: perjanjian investasi dengan definisi yang
luas mengenai apa yang mengatur penanam modal dan investasi yang memberi ruang kepada
perusahaan untuk menyalurkan investasi melalui negara ke-3 demi memperoleh perlindungan
investasi yang tidak didapatkan para penanam modal di yurisdiksi negara asal mereka telah
mendapat kritik yang kuat. Enron, Bechtel dan GE adalah perusahaan Amerika Serikat yang tidak
berhak atas perlindungan investasi berdasarkan perjanjian investasi bilateral karena Amerika Serikat
tidak memiliki Perjanjian Investasi Bilateral dengan India. Namun, mereka mendirikan anak
41
perusahaan di negara-negara yang aman untuk melakukan perjanjian seperti Mauritius dan Belanda
agar dapat menggunakan jaringan mereka yang luas serta penafsiran dalam Perjanjian Investasi
Bilateral yang tidak adil.
- kerahasiaan dalam arbitrase investasi: sangat sedikit yang dapat diketahui mengenai sembilan
kasus gugatan investasi melalui arbitrase ini, yang terkait dengan kasus penting mengenai
kepentingan publik dan dapat membuat pemerintah menanggung biaya sebesar 5,5 milyar dolar
Amerika. Hal ini menunjukkan bahaya kerahasiaan dalam sistem ISDS.
Filipina
Jumlah tuntutan: 5
Jumlah yang dituntut dalam $: 1 milyar dolar
Amerika
Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam
modal dalam $: tidak ada data yang tersedia
Sengketa terkait dengan:
Tambang dan penggalian
Pasokan air; saluran air, pengolahan limbah dan
kegiatan remediasi
Transportasi dan penyimpanan
Kegiatan profesional, ilmiah dan teknis
Tuntutan terbesar: 423 juta dolar Amerika
Fakta Komparatif: US$58 juta untuk biaya
proses hukum dalam kasus Fraport = vaksin
penyakit seperti tuberculosis (TB), Dipteri
42
Tetanus dan Polio (DTP) untuk 3,8 juta anak.
Menang atau kalah, para wajib pajak yang menanggung biaya: kasus Fraport melawan
43
Filipina
Kasus gugatan hukum ISDS terlama di Filipina adalah dengan perusahaan transportasi dari Jerman,
Fraport, yang mengoperasikan bandara Frankfurt dan bandara di Eropa lainnya. Fraport menuntut
pemerintah Filipina dua kali. Pertama di tahun 2003 dengan jumlah tuntutan sebesar 425 juta dolar
Amerika ketika pemerintah Filipina membatalkan konsesi untuk konstruksi dan operasional terminal
baru bandara di Manila. Pemerintah Filipina menyatakan bahwa kontrak konsesi dinyatakan batal dan
merupakan hasil dari penyuapan. Pengadilan menutup kasus tersebut, mendukung pembelaan
negara bahwa investasi Fraport di bandara tersebut tidak sesuai dengan Konstitusi Filipina serta
Undang-Undang Investasi Asing. Perusahaan mengelak larangan untuk kepemilikan asing atas
sarana publik hingga 40% melalui perjanjian pemegang saham yang dirahasiakan dan kepemilikan
44 45
“secara tidak langsung”.
Tahun 2011, Fraport kembali mengajukan tuntutan atas kasus yang
sama dan lagi-lagi kasus tersebut ditutup.
Walaupun dua putusan pengadilan tidak memenangkan penanam modal, pemerintah Filipina tetap
harus membayar biaya yang besar. Pada tahun 2011, Jimmy Gianan, auditor negara dari Komisi
Audit, mengungkapkan bahwa biaya arbitrase yang ditanggung oleh pemerintah Filipina (pada saat
itu) telah mencapai 58 juta dolar Amerika untuk membayar para pengacara lokal dan asing. Dalam
hal anggaran Filipina tahun 2012, biaya tersebut sebanding dengan gaji untuk 12.500 orang guru;
atau biaya vaksin penyakit seperti tuberculosis (TB), Dipteri Tetanus dan Polio (DTP) untuk 3,8 juta
anak.
Australia
Jumlah tuntutan: 1
Jumlah tuntutan dalam $: 4,2 milyar dolar Amerika
Sengketa terkait dengan:
Manufaktur
Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam modal dalam $: tidak
ada data tersedia
Tuntutan terbesar: 4,2 milyar
46
Fakta Komparatif: 4,2 milyar dapat menutupi pengeluaran kesehatan
masyarakat untuk sekitar 1,5 juta orang dalam satu tahun
47
;atau
40 juta dolar Amerika untuk biaya proses hukum = 866 perawat
48
terlatih
ISDS digunakan untuk menunda kebijakan kesehatan: kasus Philip Morris melawan Australia
Tahun 2011, Australia memperkenalkan bungkus polos untuk seluruh produk rokok yang merupakan
bagian dari berbagai langkah-langkah upaya pengendalian rokok yang komprehensif yang dianjurkan
49
oleh World Health Organisation.
Perusahaan rokok besar, Philip Morris, menolak peraturan kemasan polos dengan menggugat
Pemerintah Australia di sistem pengadilan nasional dan di arbitrase investasi internasional dengan
dalih Perjanjian Investasi Bilateral Australia-Hong Kong. Philip Morris menuntut 4,1 milyar dolar
Amerika dan menyatakan bahwa kebijakan Australia “tidak terbukti untuk kepentingan publik” karena
“tidak ada bukti yang dapat dipercaya bahwa kemasan polos akan mengurangi kebiasaan merokok”.
Padahal sejak diberlakukannya kemasan polos, tingkat kebiasaan merokok di Australia terus
menurun, mengurangi berbagai risiko kesehatan termasuk penyakit paru-paru dan jantung serta
50
mengurangi gangguan di sistem kesehatan masyarakat.
Tahun 2012, Pengadilan Tinggi Australia menolak gugatan tersebut. Kasus melalui arbitrase
internasional terus berlanjut hingga 2015 saat pengadilang menutup kasus tersebut. Namun,
pengadilan internasional tidak pernah memberi putusan apakah upaya untuk kesehatan masyarakat
yang dilakukan oleh Australia merupakan cidera janji atas perjanjian perlindungan investasi
internasional. Pengadilan menutup kasus tersebut karena Australia telah menyusun restrukturisasi
perusahaan yang “merupakan pelanggaran hak” untuk mengakses arbitrase internasional melalui
51
Perjanjian Investasi Bilateral Australia-Hong Kong .
Philip Morris Australia dimiliki oleh Philip Morris Internasional yang berkantor di Swiss. Australia tidak
memiliki Perjanjian Investasi Bilateral dengan Swiss. Philip Morris Asia memiliki aset di Australia pada
Februari 2011 setelah pemerintah Australia mengumumkan bahwa mulai 2010 akan diberlakukan
peraturan kemasan polos. Saham itu dibeli terutama untuk memanfaatkan Perjanjian Investasi
52 53
Bilateral.
Terlepas dari kegagalan kasus Philip Morris, hal ini menunjukkan risiko dari ISDS terkait dengan
kemampuan negara untuk menetapkan peraturan untuk kepentingan warga negaranya. Ancaman
harus menghabiskan biaya milyaran dalam kasus hukum membuat khawatir negara-negara lain dan
memutuskan untuk beralih dari peraturan serupa. Contoh, Selandia Baru menunda pemberlakuan
54
kemasan polos sebagai respon terhadap gugatan Philip Morris.
Lebih lanjut lagi, terlepas dari hasil akhir kasus tersebut, Australia tetap harus membayar biaya
proses hukum yang dibebankan untuk membela diri dari guguatan yang tidak jelas ini, biaya yang
55
diperkirakan mencapai 50 juta dolar Australia (kurang dari 40 juta dolar Amerika).
Korea Selatan
Jumlah tuntutan: 3
Jumlah tuntutan dalam $: 4,9 milyar dolar
Amerika
Jumlah yang dibayarkan kepada para penanam
modal dalam $: tidak ada data tersedia
Sengketa terkait dengan:
Manufaktur
Tambang dan penggalian
Konstruksi, finansial dan asuransi, kegiatan real
estate
Tuntutan terbesar: 4,7 milyar dolar Amerika
Fakta Komparatif: 4,9 milyar dolar Amerika
dengan 5 milyar dolar Amerika merupakan total
investasi asing langsung yang didapat Korea
56
Selatan tahun 2015
ISDS menyerang kebijakan pajak: kasus Hanocal dan IPIC Internasional melawan Korea
Hanocal Holdings adalah sebuah perusahaan yang terdatar beralamat di Belanda namun dimiliki oleh
perusahaan dalam negeri Arab Saudi. Hanocal memiliki 70% saham di perusahaan kilang minyak
dan produksi minyak tanah yang berada di Korea Selatan. Pada tahun 2010, Hanocal menjual
57 58.
sahamnya senilai 2,1 milyar dolar Amerika
Menurut perusahaan tersebut, penjualan saham
seharusnya bebas dari pajak berdasarkan pada perjanjian pajak ganda antara Belanda dan Korea.
Namun, pemerintah Korea Selatan mengenakan pajak terhadap penjualan tersebut, sebuah
keputusan yang didukung oleh putusan pengadilan Korea yang menyatakan bahwa Hanocal “adalah
perusahaan gaib yang dimiliki oleh Perusahaan Investasi Petroleum Internasional dari Abu-Dhabi,
sehingga harus dianggap sebagai perusahaan Arab yang tidak berhak atas perjanjian penhindaran
59
pajak ganda.”
Pada 2015, Hanocal menuntut secara hukum 168 juta dolar Amerika kepada pemerintah Korea
Selatan at ICSID dan menyatakan bahwa pemungutan pajak oleh pemerintah Korea Selatan
60
menyalahi aturan Perjanjian Investasi Bilateral Korea-Belanda. Jumlah yang dituntut tersebut senilai
61
dengan biaya sekolah kedokteran untuk 7.000 mahasiswa di universitas di Korea. Satu tahun
setelah diajukannya kasus tersebut, penenam modal pada akhirnya mencabut kasus tersebut untuk
alasan yang tidak diketahui.
Kasus Hanocal melawan Korea Selatan tersebut merupakan satu dari 40 gugatan hukum yang
62
diajukan oleh para penanam modal melawan 24 negara di seluruh dunia. . Negara-negara RCEP
telah menjadi bagian dari empat kasus gugatan hukum berkenaan pajak, dua diantaranya diajukan
63
untuk menuntut Korea, satu kasus menuntut India dan satu kasus menuntut Laos.
Penggelapan dan penghindaran pajak merusak pelayanan dan anggaran publik. IMF memperkirakan
bahwa hingga 600 milyar dolar Amerika hilang setiap tahunnya di seluruh dunia akibat penghindaran
64
pajak . Kemampuan pemerintah untuk meninjau dan mengubah kebijakan pajak yang sebelumnya
diberikan kepada para penanam modal asing sangat penting, namun menjadi berisiko karena klausul
65
ISDS dalam perjanjian perdagangan.
Kasus ini merupakan contoh lain ketika para penanam modal membuat perusahaan-perusahaan
yang hanya menjadi formalitas untuk surat menyurat di Belanda untuk kepentingan pajak dan untuk
mendapatkan perlindungan investasi yang tidak bisa mereka dapatkan jika tidak melakukan hal
tersebut. Tahun 2015, UNCTAD melaporkan bahwa kasus-kasus ISDS yang berdasarkan pada
perjanjian-perjanjian investasi bilateral Belanda, bahwa “tiga perempat dari kasus-kasus Belanda,
pemilik sebenarnya perusahaan yang melakukan tuntutan tersebut bukan merupakan orang
berkewarganegaraan Belanda. Dalam dua pertiga dari kasus-kasus tersebut, grup atau perusahaan
terkait yang dimiliki orang asing pada kenyataannya tidak melakukan kegiatan usaha di tanah
66
Belanda.”
6- Kesimpulan
ISDS bersifat tidak demokratis, diskriminatif, bias terhadap penanam modal dan tidak diperlukan.
ISDS telah digunakan untuk mengancam negara-negara yang saat ini terlibat dalam negosiasinegosiasi RCEP dengan tagihan catatan pajak bernilai jutaan dolar akibat risiko yang diambil oleh
para penanam modal asing. Termasuk klausa ISDS yang merugikan dalam perjanjian perdagangan
RCEP yang sedang dirundingkan berperan dalam mengukuhkan hak-hak para penanam modal dan
memperluas cakupan kekuatan arbitrator privat. Hal ini dapat berakibat pada kemunculan kasuskasus baru yang akan membebani anggaran pemerintah. Hal tersebut dapat membahayakan untuk
kemampuan pejabat nasional maupun lokal yang berada di negara-negara RCEP untuk membuat
peraturan demi kepentingan publik, menganggarkan uang publik untuk kebijakan-kebijakan penting
seperti untuk kesehatan, pendidikan dan perlindungan lingkungan. Hal ini merupakan serangan yang
tidak berterima dan tidak perlu dalam demokrasi.
Kami mengajak seluruh pemerintah yang terlibat dalam negosiasi RCEP untuk tidak menyertakan
ISDS dalam negosiasi ini, dan kesepakatan dagang lain di masa yang akan datang. Setelah 20 tahun
gagal menjalankan kebijakan yang dikenal dengan ‘perdagangan bebas’, pemerintah negara-negara
RCEP bekerja sama untuk membangun alternatif perdagangan dan model investasi yang baru yang
membantu pembangunan masyarakat yang berkelanjutan dengan mendukung ekonomi lokal, hak
pekerja, lingkungan yang bersih dan kedaulatan pangan.
1
Australian government (2016) Regional Comprehensive Economic Partnership, Department of Foreign Affairs and Trade
http://dfat.gov.au/trade/agreements/rcep/Pages/regional-comprehensive-economic-partnership.aspx
2
Asia Pacific Research Network (2016) Civil society groups reject RCEP: Excessive corporate power at the expense of
people’s rights, APRN Newsletter, Second Quarter 2016, p. 2-3, http://aprnet.org/wp-content/uploads/2016/09/APRNNewsletter-2Q-2016_final.pdf
3
Criticisms have been raised in the context of several trade negotiations and agreements. For example:
https://www.kent.ac.uk/law/isds_treaty_consultation.html ; http://www.citizen.org/documents/isds-law-economics-professorsletter-Sept-2016.pdf ; http://www.ohchr.org/FR/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=16031&LangID=E ;
http://www.s2bnetwork.org/wp-content/uploads/2016/10/Canadian-academics-open-letter-on-the-CETA-and-Wallonia.pdf ;
http://www.s2bnetwork.org/isds-statement-feb2016/
4
Pia Eberhardt and Cecilia Olivet (2012) Profiting from Injustice, Corporate Europe Observatory and Transnational Institute,
https://www.tni.org/en/briefing/profiting-injustice
5
Both Ends (2016) India Terminates Bilateral Investment Treaties (BITS), 11th August,
http://www.bothends.org/en/News/Laatste-nieuws/newsitem/469/India-terminates-bilateral-investment-treaties-BITs6
Herbert Smith Freehills Dispute Resolution (2015) Indonesia announces renegotiation of BITs, 13th May,
http://hsfnotes.com/arbitration/2015/05/13/indonesia-announces-renegotiation-of-bits/
7
D. Gaukrodger and K. Gordon (2012) Investor-State Dispute Settlement: A Scoping Paper for the Investment Policy
Community, OECD Working Papers on International Investment, 2012/03, OECD Publishing, page 19,
http://dx.doi.org/10.1787/5k46b1r85j6f-en
8
UNCTAD, Investment Policy Hub, http://investmentpolicyhub.unctad.org/
9
Investment Arbitration Reporter, https://www.iareporter.com/
10
Italaw, http://www.italaw.com
11
A concern acknowledged by many including UNCTAD see for instance:
http://unctad.org/en/publicationsLibrary/webdiaepcb2013b4_en.pd
12
D. Gaukrodger and K. Gordon (2012), see endnote 7, p 19
13
In 2015, the health budget of India was 1.2% of GDP
(http://economictimes.indiatimes.com/industry/healthcare/biotech/healthcare/indias-disproportionately-tiny-health-budget-anational-security-concern/articleshow/49603121.cms ). India’s GDP in 2015 amounted to 2 trillion USD so 1.2% is 24 billion
USD.
14
World Bank data (2015) FDI inflows for Indonesia, http://data.worldbank.org/indicator/BX.KLT.DINV.CD.WD?locations=ID
15
International Investment agreements only enter into force once both parties have completed the ratification process
according to the national law.
16
Payscale (2016) High School Teacher Salary Indonesia
http://www.payscale.com/research/ID/Job=High_School_Teacher/Salary
17
Churchill Mining (2012) Claimant's Letter to the President of the Republic of Indonesia, a Request for Legal Protection,
Italaw, http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/ita1042.pdf
18
Greenpeace (2016) How the coal industry fuels climate change, www.greenpeace.org/international/en/campaigns/climatechange/coal/Coal-fuels-climate-change/
19
ibid.
20
Mining Technology (2016) East Kutai Coal Project, Indonesia, http://www.miningtechnology.com/projects/eastkutaicoalproject/
21
By Matt Sharp (2015) Mining Co. Says Doc Spat Nears End In Indonesia Case, Law360
http://www.law360.com/articles/733225/mining-co-says-doc-spat-nears-end-in-indonesia-case
22
Unsted, S. (2015) Churchill Mining Disputes Comments Made On Indonesian Arbitration, Morningstar, 23rd December,
http://www.morningstar.co.uk/uk/news/AN_1450863210470889000/churchill-mining-disputes-comments-made-on-indonesianarbitration.aspx
23
Alison Ross (2011) Churchill: We shall fight them at ICSID, Global Arbitration Review, 8 December,
http://globalarbitrationreview.com/article/1030836/churchill-we-shall-fight-them-at-icsid
24
Rachmi Hertanti and Rika Febriani (2014) State VS Corporations: Indonesia Bilateral Investment Treaties (BITs), Handbook
Series on Bilateral Investment Treaties (BITs): International Investment Protection Agreements and Investors’ civil lawsuit
against Indonesia, Indonesia for Global Justice, http://www.seatiniuganda.org/publications/research/64-modul-indonesia-bitseng/file.html
25
Joshua Warner (2015) Indonesian Government Withdraws Fraud Claims Against Churchill Mining, Alliance News, 4 June,
http://www.kitco.com/news/2015-06-04/Indonesian-Government-Withdraws-Fraud-Claims-Against-Churchill-Mining.html
26
Kent Phillips (2015) Churchill vs Indonesia: managing costs in international arbitration, Mining Journal, 24 September,
http://www.mining-journal.com/services/legal-services/churchill-vs-indonesia-managing-costs-in-international-arbitration/
27
Average price of 1kg of white rice in New Dheli is estimated at 1USD. Source: Numbeo (2016) Food Prices in India,
https://www.numbeo.com/food-prices/in/Delhi?displayCurrency=USD
28
,
Power Technology (2016) Dabhol Power Plant, Ratnagiri District, Maharashtra, India http://www.powertechnology.com/projects/dabhol-combined-cycle-power-plant-maharashtra-india/
29
Tony Allison (2001) Enron's eight-year power struggle in India, Asia Times, 18 January,
https://web.archive.org/web/20111123172057/http://www.atimes.com/reports/ca13ai01.html
30
Sandip Roy (2002) Enron in India: The Giant's First Fall, Alternet, February 7,
http://www.alternet.org/story/12375/enron_in_india%3A_the_giant's_first_fall
31
Tony Allison (2001), see endnote 31.
32
Human Rights Watch (1999) The Enron Corporation. Corporate complicity in Human Rights Violations,
https://www.hrw.org/reports/1999/enron/enron3-0.htm
33
Tony Allison (2001), see endnote 31.
34
Gus Van Harten (2011) TWAIL and the Dabhol Arbitration, Trade, Law and Development, Osgoode CLPE Research Paper
No. 19/2011, page 7, https://ssrn.com/abstract=1923859
35
U.S. House of Representatives (2002) FACT SHEET Background on Enron’s Dabhol Power Project, Committee on
Government Reform, February 22, http://www.finance-mba.com/Dabhol_fact_sheet.pdf
36
Bechtel (2003) Bechtel and GE File Arbitration Over Dabhol Power Company, New Delhi, India, September 22,
http://www.bechtel.com/newsroom/releases/2003/09/bechtel-ge-file-arbitration-dabhol-power-company/
37
The Financial Express (2004) Offshore banks launch arbitration for recovery of claims in Dabhol, 10 December,
http://www.financialexpress.com/archive/offshorebankslauncharbitrationforrecoveryofclaimsindabhol/122438/
38
Bechtel (2005) Statement by Bechtel on Dabhol Settlement, 12 July,
http://www.bechtel.com/newsroom/releases/2005/07/statement-bechtel-dabhol-settlement/
39
R. Venkataraman (2005) SC clears Dabhol settlement, The Telegraph India, 21 July,
http://www.telegraphindia.com/1050721/asp/business/story_5015896.asp and J. Venkatesan (2005) Dabhol's out-of-court
settlement approved, The Hindu, 21 July, http://www.thehindu.com/2005/07/21/stories/2005072102971300.htm
40
Tony Allison (2001), see endnote 31.
41
Roos van Os and Roeline Knottnerus (2011) Dutch Bilateral Investment Treaties: A gateway to ‘treaty shopping’ by
multinational corporations for investment protection, SOMO, https://www.somo.nl/wp-content/uploads/2011/10/Dutch-BilateralInvestment-Treaties.pdf
42
Data quoted from Cecilia Olivet et al. (2016) Signing away sovereignty: How investment agreements threaten regulation of
the mining industry in the Philippines, Alyansa Tigil Mina, Focus on the Global South and Transnational Institute, page 11,
https://www.tni.org/en/publication/signing-away-sovereignty
43
Text adapted from Cecilia Olivet et al. (2016), see endnote 44.
44
Jarius Bondoc (2014) Phl wins $5 M against Fraport’s slandering, The Philippine Star, 12 December
http://www.philstar.com/opinion/2014/12/12/1401697/phl-wins-5-m-against-fraports-slandering
45
Fraport AG Frankfurt Airport Services Worldwide v. Republic of the Philippines (ICSID Case No. ARB/03/25), Introductory
Note, https://cil.nus.edu.sg/rp/id/arbcases/introdnotes/6%20Fraport%20v%20Philippines%20Introductory%20Note.pdf
46
Philip Morris v Australia (PCA Case Nº 2012-12), Award on Jurisdiction and Admissibility, 17 December 2015
http://www.italaw.com/sites/default/files/case-documents/italaw7303_0.pdf
47
According to OECD data, the public health expenditure per capita in 2014 was 2804 USD. Source: OECD (2016), Health
spending (indicator). doi: 10.1787/8643de7e-en, https://data.oecd.org/healthres/health-spending.htm
48
The medium salary of a registered Nurse is 57,754 Australian dollars. Source: Payscale, 2016, Registered Nurse (RN) Salary
(Australia), http://www.payscale.com/research/AU/Job=Registered_Nurse_(RN)/Hourly_Rate
49
World Health Organisation (2016) Frequently asked questions: Plain packaging of tobacco products,
http://www.who.int/campaigns/no-tobacco-day/2016/faq-plain-packaging/en/index1.html
50
Philip Morris v Australia (PCA Case Nº 2012-12), see endnote 48.
51
Ibid.
52
Permanent Court of Arbitration (2016) Philip Morris Asia Limited (Hong Kong) v. The Commonwealth of Australia,
http://www.pcacases.com/web/view/5
53
Inaê Siqueira de Oliveira (2016) Corporate restructuring and abuse of rights: PCA tribunal deems Philip Morris’s claims
against Australia’s tobacco plain packaging rules inadmissible, Investment Treaty news, 10 August,
https://www.iisd.org/itn/2016/08/10/philip-morris-asia-limited-v-the-commonwealth-of-australia-pca-case-no-2012-12/
54
Tariana Turia (2013) Government moves forward with plain packaging of tobacco products, 19 February,
http://www.beehive.govt.nz/release/government-moves-forward-plain-packaging-tobacco-products
55
Peter Martin (2015) Australia faces $50m legal bill in cigarette plain packaging fight with Philip Morris, The Sydney Morning
Herald, 28 July, http://www.smh.com.au/federal-politics/political-news/australia-faces-50m-legal-bill-in-cigarette-plainpackaging-fight-with-philip-morris-20150728-gim4xo.html
56
OECD (2016) FDI flows (indicator). doi: 10.1787/99f6e393-en, https://data.oecd.org/fdi/fdi-flows.htm
57
International Petroleum Investment Company (2011) Chairman’s Report, 31 December,
http://www.ipic.ae/media/18690/2011dec.pdf
58
Clovis Trevino (2015) Korea round-up: Lone Star case reaches hearings, as at least two other investment treaty claims loom,
IAReporter, 18 May, http://www.iareporter.com/Korea+roundup%3A+Lone+Star+case+reaches+hearings%2C+as+at+least+two+other+investment+treaty+claims+loomarticles/23170/
59
Ibid.
60
UNCTAD (2016) Hanocal and IPIC International v. Korea, case details,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/ISDS/Details/635
61
Medical school tuition fee is a minimum of 4000 USD per year and the course runs for 6 years. The total tuition to complete
medical school would be 24.000 USD. http://www.medical-colleges.net/medical-schools-abroad/medical-schools-in-asia/studyin-korea-south#h3
62
Claire Provost (2016) Taxes on trial. How trade deals threaten tax justice, Transnational Institute, Global Justice Now,
https://www.tni.org/en/publication/taxes-on-trial
63
ibid.
64
A. Crivelli, R. de Mooij and M. Keen (2015) Base Erosion, Profit Shifting and Developing Countries IMF Working Paper
15/118, www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2015/wp15118.pdf
65
Claire Provost (2016), see endnote 65.
66
UNCTAD (2015) Treaty-based ISDS cases brought under Dutch IIAs: An Overview,
http://investmentpolicyhub.unctad.org/Publications/Details/135
Download