ETIKA KEILMUAN Dari segi etimologi (ilmu asal

advertisement
ETIKA KEILMUAN
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia etika berarti ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan etika menurut filsafat dapat disebut
sebagai ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran. Pada dasarnya,etika
membahasa tentang tingkah laku manusia.
Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh
manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang
dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika
mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan dunia ini tentang baik dan
buruk mempunyai ukuran (kriteria) yang berlainan.
Secara metodologi, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.
Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah
etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.
Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika
memiliki sudut pandang normatif, yaitu melihat perbuatan manusia dari sudut baik dan buruk .
A. Pengertian Etika Keilmuwan
Etika berasal dari dari kata Yunani „Ethos‟ (jamak – ta etha), berarti adat istiadat.
Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada
suatu masyarakat. Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tatacara hidup yg baik, aturan hidup yg
baik dan segala kebiasaan yg dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau
dari satu generasi ke generasi yg lain.
Hubungan Etika , Filsafat, dan Ilmu pengetahuan dapat digambarkan pada diagram
berikut ini.
Dari gambar yang diatas bisa dilihat bahwa etika bagian dari filsafat. Filsafat
sendiri merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Jadi bisa didefinisikan Filsafat adalah
ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai interpretasi tentang hidup manusia, yang
tugasnya meneliti dan menentukan semua fakta konkret sampai pada yang paling
mendasar. Etika merupakan bagian dari filsafat, yaitu filsafat moral.
Dalam konteks etika sebagai filsafat dan ilmu pengetahuan ini, perlu dilakukan
pemisahan antara etika dan moral. Yaitu bahwa etika adalah ilmu pengetahuan,
sedangkan moral adalah obyek ilmu pengetahuan tersebut.
 Etika secara umum dapat dibagi menjadi:
a) Etika Umum, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak
secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsipprinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur
dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan
ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.
b) Etika Khusus, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan
yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud : Bagaimana saya mengambil keputusan dan
bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh
1
cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud :
Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan
khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis. Cara
bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tidanakn, dan teori serta prinsip moral
dasar yang ada dibaliknya.
 Etika Khusus dibagi lagi menjadi dua bagian:
1) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.
2) Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai
anggota umat manusia.
B. Problem Etika Keilmuwan
Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat tahap
peralihan dari kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah moral
berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah moral
berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain ketika
ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang aksiologi
keilmuan.
Sebelum menentukan sejauh mana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi,
ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok pertama,
memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi dan
aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan selanjutnya
terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau buruk. Kelompok
pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti pada waktu Galileo.
Kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai hanyalah terbatas pada
metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan obyek penelitian,
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal ini ditegaskan oleh Charles
Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan ilmu kita sejogyanya
menggunakan pikiran kita .
Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok yang
mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya de-humanisasi, di mana martabat
manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi teknologi kelimuan.
Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual telah
dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang Dunia
II. (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya diketahui oleh orangorang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses yang mungkin
terjadi bila terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaannya yang
paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik perubahan sosial.
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang
menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang tidak dan mana yang
selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang
seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan serta apa
yang salah dan apa yang benar. Menurut J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles, kata
etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti sama dengan
kosakata etika. Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya mores). Artinya
kebiasaan, adat. Di sini kata moral dan etika punya arti sama.
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam
realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin dikemukakan teori-teori etika
yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren dalam mengambil keputusan–
keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :
1. Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan
memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa yang harus
2
dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang
menguntungkan, melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan
terbesar bagi jumlah orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini adalah bahwa
teori ini sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu dan
memperhatikan bagaimana orang terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa
lingkungan tidak menyediakan standar untuk mengukur hasilnya.
2. Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini
menganut bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis atau
tidak, dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila
memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting
adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan
memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan menyalahkan moral.
Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika deontologis adalah kejelasan dan
kepastian. Problem terbesar adalah bahwa deontologi tidak peka terhadap
konsekuensi-konsekuensi perbuatan. Dengan hanya berfokus pada kewajiban,
barangkali orang tidak melihat beberapa aspek penting sebuah problem.
3. Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang
ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan hirarkhi hak.
Yang penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi
dengan sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai terutama karena terkanannya
pada nilai moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu situasi konflik
etis. Selain itu teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu. Teori
ini menempatkan hak individu dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana
memecahklan konflik hak yang bisa timbul.
4. Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak
pada intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara
langsung apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya,
bukan berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat
meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita tidak dapat
mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak dapat menjelaskan
proses pengambilan keputusan.
Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas
manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada
martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya makhluk
yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.
 Problematika Etika dan Tanggungjawab Ilmu Pengetahuan
Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya diluar ilmu pengetahuan, dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat bahwa
ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas. Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan
mutlak. Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat
bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Patutlah kita menyelidiki lebih lajut
bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk
memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya
terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar. Etika
memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom, tetapi tidak
dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
3
Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bertanggungjawab pada kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan
bersifat universal . Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan
dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan
“menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik
bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh
eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah
perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih
lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia
sekarang
hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan
– berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan
manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah
sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya
Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan penerapan
praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi antar
manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik “awang-awang”
harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang – yang
berupa tekhnologi – apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai
pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat
manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan social yang
mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat
kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya. Terjadi
pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran dan
fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial- politik,
karena menguasai ilmu pengetahuan (tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik atau
sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan
tekhnologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan
antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara
industriawan selaku produsen dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut
dikatakan bahwa ilu pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan serta
tidak boleh menimbulkan konflik internal maupun politik.
Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal
yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa
akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam
kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat
mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut
tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan tersebut
akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksisitensi manusia
secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam ilmu pengetahuan menyangkut
problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada dan
realitas yang seharusnya ada.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat
manusia rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan
bahwa kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu
pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari
4
keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara
mutlak,
namun
ilmu
pengetahuan
sangat
bergua
bagi
manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya
mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu
pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit
ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk
merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat.
Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang
diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat”
olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang
seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya
mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada
rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan tindakan
manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering dipandang banyak
orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan apabila harus diterapkan
begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas permasalahan manusia yang
bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai “kekuasaan” untuk memaksa rumusan
moral sebagai konsep abstrak menjabarkan kriteria-kriteria baik buruknya sehingga
menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada
pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik atau
jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari etika.
Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan
bagaimana tekhnik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan demikian lapangan yang
dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari perorangan, mengenai yang
halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu etika makro yang mampu
merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia dapat belajar
mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya
menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis
mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil
tekhnologi moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan
kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberikan
isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual
dan factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan apa yang sebenarnya
terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan etika sendiri dengan
masalah-masalah yang mem-“bumi”.
C. Ilmu Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Bebas nilai merupakan tuntutan agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu
pengetahuan dan karena itu ilmu pengetahuan tidak boleh dikembangkan dengan
didasarkan
pada
pertimbangan
lain
di
luar
ilmu
pengetahuan.
Namun tuntutan bebas nilai ini tidak mutlak karena tuntutan ini hanya berlaku bagi nilai
lain di luar nilai yang menjadi taruhan utama dan perjuangan ilmu pengetahuan bahwa
ilmu pengetahuan harus tetap peduli akan nilai kebenaran dan kejujuran.
 Teori Tentang Nilai
5
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik
baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai
netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan
pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang
lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada
keterikatan nilai?
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan
penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan
produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan
terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata
melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan
sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru
menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe
yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
 ILMU, Antara Bebas atau Terikat Nilai
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sejarahnya tidak selalu melalui logika
penemuan yang didasarkan pada metodologi objektivisme yang ketat. Ide baru bisa saja
muncul berupa kilatan intuisi atau refleksi religius, di mana netralitas ilmu pengetahuan
kemudian rentan permasalahan di luar objeknya. Yaitu terikat dengan nilai subjektifitasnya
seperti hal yang berbau mitologi. Dengan demikian netralitas ilmu semakin dipertanyakan.
Setiap buah pikiran manusia harus kembali pada aspek ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Hal ini sangat penting bahwa setelah tahap ontologi dan epistimologi suatu ilmu
dituntut pertanyaan yaitu tentang nilai kegunaan ilmu (aksiologi). Dari sudut epistemologi,
sains (ilmu pengetahuan) terbagi dua, yaitu sains formal dan sains empirikal. Sains formal
berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol, merupakan
implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sains formal netral karena berada di
dalam pikiran kita dan diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sains empirical tidak
netral. Sains empirikal merupakan wujud kongkret jagad raya ini, isinya ialah jalinanjalinan sebab akibat. Sains empirikal tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan
paradigma yang menjadi pijakannya, dan pijakannya itu merupakan hasil penginderaan
terhadap jagad raya. Pijakan ilmuwan tersebut tentulah nilai. Tetapi sebaliknya pada dasar
ontologi dan aksiologi bahwa ilmuwan harus menilai antara yang baik dan buruk pada
suatu objek, yang hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.
Objek ilmu memiliki nilai intrinsik sementara di luar itu terdapat nilai-nilai lain yang
mempengaruhinya. Objek tidak dapat menghindari nilai dari luar dirinya karena tidak akan
dikenal sebagai ilmu pengetahuan apabila hanya berdiri sendiri dan sibuk dengan nilainya
sendiri. Dengan kata lain ilmu bukan hanya untuk kepentingan ilmu sendiri tetapi ilmu
juga untuk kepentingan lainnya, sehingga tidak dapat diabaikan kalau ilmu terikat dengan
lainnya seperti nilai. Paradigmalah yang menentukan jenis eksperimen dilakukan para
ilmuwan, jenis-jenis pertanyaan yang mereka ajukan, dan masalah yang mereka anggap
penting dan manfaatnya. Ketidaknetralan ilmu disebabkan karena ilmuwan berhubungan
dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang telah ada tanpa interpretasi, melainkan
dibangun oleh skema konseptual, ideologi, permainan bahasa, ataupun paradigma.
Di samping itu ilmu yang bebas nilai juga akan berimplikasi lepasnya secara otomatis
tanggungjawab sosial para ilmuwan terhadap masalah negatif yang timbul, karena
disibukkan dengan kegiatan keilmuan yang diyakini sebagai bebas nilai alias tak bisa
diganggu gugat. Jika ilmuwan berlepas terhadap persoalan negatif yang ditimbulkannya,
maka secara ilmiah mereka dianggap benar. Hal yang sangat menggelikan. Seharusnya
6
ilmuwan menerima kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Setiap
pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu.
Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru. Kemudian di mana letak
kenetralan ilmu?
Dalam perkembangan ilmu sering digunakan metode trial and error, dan sering
menimbulkan permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali
menimbulkan fatal error sehingga tuntutan nilai sangat dibutuhkan sebagai acuan moral
bagi pengembangannya. Dalam konteks ini, eksistensi nilai dapat diwujudkan dalam visi,
misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral.
Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang tidak bebas nilai atau terikat nilai
(valuebond) memandang bahwa ilmu itu selalu terkait dengan nilai dan harus
dikembangkan dengan mempertimbangkan aspek nilai. Pengembangan ilmu yang terikat
nilai jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan
baik politis, ekonomis, sosial, religius, ekologis dsb.
D. Sikap Ilmiah Yang Harus Dimiliki Ilmuwan
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang yang
sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi ilmu merupakan suatu cara berpikir yang
demikian dalam tentang sesuatu obyek yang khas dengan pendekatan yang khas pula
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengeta-huan yang ilmiah. Ilmiah
dalam arti bahwa sistem dn struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan seca-ra terbuka.
Disebabkan oleh karena itu pula ia terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki karakteristik
kritis, rasional, logis, obyektif, dan terbuka. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi seorang
ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu juga masalah mendasar yang dihadapi
ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh kuat adalah masalah kegunaan
ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa
manusia kearah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh, kuat,
dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Disinilah letak tang-gung
jawab seorang ilmuwan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi para
ilmuwan memiliki sikap ilmiah.
Manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan alam dan berada di dalam
alam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan membudayakan dirinya bilamana
manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian alam
tidak hanya merupakan bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi dengan
alamnya. Sesuai dengan martabatnya maka manusia yang merupakan bagian alam harus
senantiasa merupakan pusat dari alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara
manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itulah,
maka manusia harus senantiasa menjaga keles-tarian alam dalam keseimba-ngannya yang
bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia
biasa lebih-lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga kelesta-rian dan keseimbangan
alam yang juga bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan sudah barang tentu
mereka juga perlu memiliki visi moral yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di
dalam filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. (Abbas Hamami M., 1996, hal. 161)
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh karena sikap
ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang
bersifat obyektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari
ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka
pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan seca-ra sosial untuk melestarikan dan
7
keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungawabkan kepada Tuhan. Artinya
selaras dengan kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami M., (1996)
sedikitnya ada enam , yaitu:
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih atau
kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang
beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing,
atau , cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan
akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera
serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti
(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai
aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus
untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan secara normatif
berlaku bagi semua ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh
terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem tradisi, atau apa saja yang hendak
menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku
secara universal dan komunal.
Disamping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada kenyataannya masih ada etika
keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi kelompok-kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya,
etika kedokteran, etika bisnis, etika politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara
normatif berlaku dan dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan kepatuhan terhadap
norma-norma etis yang berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan
kegelisahan serta ketakutan manu-sia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan
diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada suatu keadaan
yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah barang tentu jika pada diri para
ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian obyektivitas dan demi kemajuan ilmu untuk
kemanusiaan.
Kesimpulan
Ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan
tertentusehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam
artisistem dan struktur ilmu dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka. Suatu keharusan
bagiilmuwan memiliki moral dan akhlak untuk membuat pengetahuan ilmiah menjadi
pengetahuanyang didalamnya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif, dan terbuka.
Disampingitu, pengetahuan yang sudah dibangun harus memberikan kegunaan bagi kehidupan
manusia,menjadi penyelamat manusia, serta senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan
alam. Disinilah letak tanggung jawab ilmuwan untuk memiliki sikap ilmiah.Para ilmuwan
sebagai profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral, yangdalam filsafat ilmu
8
disebut sebagai sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan
ilmiah yang bersifat objektif, yang bebas dari prasangka pribadi, dapatdipertanggungjawabkan
secara sosial dan kepada Tuhan.
Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada enam, yaitu:
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness)
merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dan
menghilangkan pamrih
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu
mengadakan pemilihan terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera
serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti
(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian
yangtelah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset. Dan riset atau penelitian
merupakanaktifitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu
bagikemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia.Secara terminologi, etika adalah
cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatanmanusia dalam
hubungannya dengan baik dan buruk.
Yang dapat dinilai baik dan buruk adalahsikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah
laku, gerakan, kata dan sebagainya. Dalametika ada yang disebut etika normatif, yaitu suatu
pandangan yang memberikan penilaian baik dan buruk, yang harus dikerjakan dan yang
tidak.Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang
mempunyai pengaruh pada proses perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab etika
menyangkut padakegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal ini pengembangan ilmu pengetahuan
harusmemperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan ekosistem, bersifat
universaldan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan
danmemperkokoh eksistensi manusia dan bukan untuk menghancurkannya. Penemuan baru
dalamilmu pengetahuan dapat mengubah suatu aturan alam maupun manusia. Hal ini
menuntuttanggung jawab etika untuk selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan
hasil yangterbaik bagi perkembangan ilmu dan juga eksistensi manusia secara utuh
_________________________________
Oleh:
Agung Prasetyo
Chris Novia. AC
Eka Fitrotul. K
M. Khoiruddin
Oki Sakti Nugroho
Sekar Rukmi
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Afid
Burhanuddin, M.Pd.
9
Download