BAB II KONSEP TEORI A. Pengertian Menurut beberapa ahli

advertisement
BAB II
KONSEP TEORI
A. Pengertian
Menurut beberapa ahli, pengertian hemoroid adalah :
1. Hemoroid merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di
daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis (Sudoyo, 2006).
2. Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam plexus hemoroidalis yang
tidak merupakan keadaan patologik (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
3. Hemoroid adalah bagian vena yang berdilatasi dalam kanal anal.
Hemoroid sangat umum terjadi. Pada usia 50-an, 50% individu
mengalami berbagai tipe hemoroid berdasarkan luasnya vena yang
terkena (Smeltzer dan Bare, 2002).
4. Hemoroid adalah pelebaran varises satu segmen atau lebih vena-vena
hemoroidales (Bacon). Patologi keadaan ini dapat bermacam-macam,
yaitu thrombosis, ruptur, radang, ulserasi, dan nekrosis (Mansjoer,
2008).
Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi vena di dalam plexus
hemoroidalis.
B. Klasifikasi
Hemoroid dapat diklasifikasikan atas hemoroid eksterna dan
interna. Hemoroid interna adalah pleksus vena hemoroidalis superior
diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh mukosa (Sjamsuhidajat dan Jong,
2005). Sedangkan menurut Sudoyo (2006), hemoroid interna dibagi
berdasarkan gambaran klinis yaitu derajat 1-4 :
1. Derajat 1: Bila terjadi pembesaran hemoroid yang tidak prolaps ke luar
kanal anus. Hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
2. Derajat 2: Pembesaran hemoroid yang prolaps dan menghilang atau
masuk sendiri ke dalam anus secara spontan.
3. Derajat 3: Pembesaran hemoroid yang prolaps dapat masuk lagi ke
dalam anus dengan bantuan dorongan jari.
4. Derajat 4: Prolaps hemoroid yang permanen. Rentan dan cenderung
untuk mengalami trombosis dan infark.
Lebih jelas gambar 2.1 mengenai hemoroid interna derajat 1-4.
Gambar 2.1 derajat hemoroid interna
Sumber : Sjamsuhidajat dan Jong (2005)
Secara anoskopi hemoroid dapat dibagi atas hemoroid eksterna
(diluar/dibawah linea dentata ) dan hemoroid interna (didalam/diatas linea
dentata). Untuk melihat risiko perdarahan hemoroid dapat dideteksi oleh
adanya stigmata perdarahan berupa bekuan darah yang masih menempel,
erosi, kemerahan diatas hemoroid. Hemoroid eksterna yang merupakan
pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid inferior terdapat disebelah
distal garis mukokutan di dalam jaringan di bawah epitel anus
(Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).
Gambar 2.2 Letak hemoroid
Sumber : MedicineNet.com
C. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga
dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum
hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar dari
pada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus
diameternya semakin kecil.
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada
sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus
besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke
dalam sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari
usus besar ke dalam usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon
asendens, transversum, desendens dan sigmoid. Tempat kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturutturut disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon
sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan
berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon
sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini merupakan alasan
anatomis mengapa memosisikan penderita ke sisi kiri saat pemberian
enema.
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik
seperti yang ditemukan pada bagian anus lain. Namun demikian, ada
beberapa gambaran yang khas terdapat pada usus besar saja. Lapisan
otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul dalam
tiga pita yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid
distal, sehingga rectum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang
lengkap. Panjang taenia lebih pendek dari pada usus, sehingga usus
tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut
sebagai haustra. Apendises apiploika adalah kantong-kantong kecil
peritoneum yang berisi lemak dan melekat di sepanjang taenia.
Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa
usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak
sel goblet dibandingkan dengan usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan
berdasarkan pada suplai darah yang diterima. Arteria mesenterika
superior mendarahi belahan kanan (sekum, kolon asendens, dan
duapertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesenterika
inferior mendarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum,
kolon desendens, kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum) (Price
dan Wilson, 2006). Gambar 2.3 menjelaskan fisiologi anatomi usus
halus.
Gambar 2.3 Fisiologi anatomi usus halus
Sumber : www. Gambar anatomi rektum.com
Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rectum
dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus (muara ke bagian
luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani
dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang
rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm (5,9 inci). Suplai darah
tambahan ke rectum berasal dari arteri hemoroidalis media dan inferior
yang dicabangkan dari arteria iliaka interna dan aorta abdominalis
(Price dan Wilson, 2006).
Gambar 2.4 Anatomi rektum
Sumber : www. Gambar anatomi rektum.com
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah
melalui vena mesenterika superior, vena mesentrika inferior, dan vena
hemoroidalis superior (bagian dari sistem portal yang mengalirkan
darah ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan
darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik.
Terdapat anastomosis antara vena hemoroidalis superior, media, dan
inferior, sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan
terjadinya aliran balik ke dalam vena dan mengakibatkan hemoroid.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom
dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada dalam pengendalian
voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian
tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah
sakral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula
spinalis melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam
ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pascaganglionik
menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan
kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis
mempunyai efek yang berlawanan (Price dan Wilson, 2006).
2. Fisiologi
Usus besar menurut Pearce (2006) tidak ikut serta dalam
pencernaan atau absorpsi makanan. Bila isi usus halus mencapai
sekum maka semua zat makanan telah diabsorpsi dan isinya cair.
Selama perjalanan didalam kolon isinya menjadi makin padat karena
air diabsorpsi dan ketika rektum dicapai maka feses bersifat lunakpadat. Peristaltik didalam kolon sangat lamban. Diperlukan waktu kirakira enam belas sampai dua puluh jam bagi isinya untuk mencapai
fleksura sigmoid. Fungsi kolon menurut Pearce (2006) dapat diringkas
sebagai berikut:
a. Absorpsi air, garam dan glukosa
b. Sekresi musin oleh kelenjar didalam lapisan dalam,
c. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon di dalam
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan dan sayuran hijau dan
penyiapan sisa protein yang belum dicernakan oleh kerja
bakteri guna ekskresi.
d. Defekasi (pembuangan air besar)
Fungsi usus besar menurut Price dan Wilson (2006) yang
semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi usus besar
yang paling penting adalah absorpsi air dan elektrolit, yang sudah
hampir selesai dalam kolon dekstra. Kolon sigmoid berfungsi sebagai
reservoir yang menampung massa feses yang sudah terdehidrasi
hingga berlangsungnya defekasi.
Terdapat dua jenis peristaltik propulsif :
a. Kontraksi lamban dan tidak teratur, berasal dari segmen proksimal
dan bergerak ke depan, menyumbat beberapa haustra;
b. Peristaltik massa, merupakan kontraksi yang melibatkan segmen
kolon. Gerakan peristaltik ini menggerakkan massa feses ke depan,
akhirnya merangsang defekasi. Kejadian ini timbul dua sampai tiga
kali sehari dan dirangsang oleh refleks gastrokolik setelah makan,
terutama setelah makanan yang pertama kali dimakan pada hari itu.
Propulsi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya
distensi dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi
dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter interna
dikendalikan oleh sistem saraf otonom, sedangkan sfingter eksterna
dikendalikan oleh sistem saraf voluntar. Refleks defekasi terintegrasi
pada medula spinalis segmen sakral kedua dan keempat. Serabut
parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus panggul dan
menyebabkan terjadinya kontraksi rektum dan relaksasi sfingter
interna. Pada waktu rektum yang teregang berkontraksi, otot levator
ani berelaksasi, sehingga menyebabkan sudut dan anulus anorektal
menghilang. Otot sfingter interna dan eksterna berelaksasi pada waktu
anus tertarik ke atas melebihi tinggi massa feses (Price dan Wilson,
2006).
Defekasi dipercepat dengan tekanan intraabdomen yang
meningkat akibat kontraksi voluntar otot dada dengan glotis yang
tertutup, dan kontraksi otot abdomen secara terus-menerus (manuver
atau peregangan Valsava). Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi
voluntar otot sfingter eksterna dan levator ani. Dinding rektum secara
bertahap menjadi relaks, dan keinginan defekasi menghilang (Price dan
Wilson, 2006).
D. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dan Mansjoer (2008), etiologi dari
hemoroid adalah :
1. Faktor predisposisi :
a. Herediter atau keturunan
Dalam hal ini yang menurun dalah kelemahan dinding pembuluh
darah, dan bukan hemoroidnya.
b. Anatomi
Vena di daerah masentrorium tidak mempunyai katup. Sehingga
darah mudah kembali menyebabkan bertambahnya tekanan di
pleksus hemoroidalis.
c. Makanan misalnya, kurang makan-makanan berserat
d. Pekerjaan seperti mengangkat beban terlalu berat
e. Psikis
2. Faktor presipitasi :
a. Faktor mekanis (kelainan sirkulasi parsial dan peningkatan tekanan
intraabdominal) misalnya, mengedan pada waktu defekasi.
b. Fisiologis
c. Radang
d. Konstipasi menahun
e. Kehamilan
f. Usia tua
g. Diare kronik
h. Pembesaran prostat
i. Fibroid uteri
j. Penyakit hati kronis yang disertai hipertensi portal
E. Patofisiologi
Menurut Price dan Wilson (2006), serta Sudoyo (2006)
patofisiologi hemoroid adalah akibat dari kongesti vena yang disebabkan
oleh gangguan venous rektum dan vena hemoroidalis. Hemoroid timbul
karena dilatasi, pembengkakan atau inflamasi vena hemoroidalis yang
disebabkan oleh faktor-faktor risiko/ pencetus dan gangguan aliran balik
dari vena hemoroidalis. Faktor risiko hemoroid antara lain faktor
mengedan pada buang air besar yang sulit, pola buang air besar yang salah
(lebih banyak memakai jamban duduk, terlalu lama duduk di jamban
sambil membaca, merokok), peningkatan tekanan intra abdomen karena
tumor (tumor usus, tumor abdomen), kehamilan (disebabkan tekanan janin
pada abdomen dan perubahan hormonal), usia tua, konstipasi kronik,diare
kronik atau diare akut yang berlebihan, hubungan seks peranal, kurang
minum air, kurang makan makanan berserat (sayur dan buah), kurang
olahraga/imobilisasi.
Telah diajukan beberapa faktor etiologi yaitu konstipasi, diare,
sering mengejan, kongesti pelvis pada kehamilan, pembesaran prostat,
fibroid uteri, dan tumor rectum. Penyakit hati kronis yang disertai
hipertensi
portal
sering
mengakibatkan
hemoroid,
karena
vena
hemoroidalis superior mengalirkan darah kedalam sistem portal. Selain itu
sistem portal tidak memiliki katup, sehingga mudah terjadi aliran balik.
Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior adalah melalui
vena mesenterika superior,
vena mesentrika inferior,
dan
vena
hemoroidalis superior (bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah
ke hati). Vena hemoroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena
iliaka sehingga merupakan bagian sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis
antara vena hemoroidalis superior, media, dan inferior, sehingga tekanan
portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke
dalam vena dan mengakibatkan hemoroid (Price dan Wilson, 2006).
Gambar 2.5 patofisiologi hemoroid
Sumber : www.faqs.org
F. Manifestasi Klinis
Hemoroid menyebabkan rasa gatal dan nyeri, dan sering
menyebabkan perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi.
Hemoroid eksternal dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan
edema yang disebabkan oleh trombosis. Trombosis adalah pembekuan
darah dalam hemoroid. Ini dapat menimbulkan iskemia pada area tersebut
dan nekrosis. Hemoroid internal tidak selalu menimbulkan nyeri sampai
hemoroid ini membesar dan menimbulkan perdarahan atau prolaps
(Smeltzer dan Bare, 2002).
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau “wasir” tanpa
ada hubungannya dengan gejala rectum atau anus yang khusus. Nyeri yang
hebat jarang sekali ada hubungannya dengan hemoroid intern dan hanya
timbul pada hemoroid ekstern yang mengalami thrombosis. Perdarahan
umumnya merupakan tanda pertama hemoroid intern akibat trauma oleh
feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak
tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses atau kertas
pembersih sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai
air toilet menjadi merah. Walaupun berasal dari vena, darah yang keluar
berwarna merah segar karena kaya zat asam. Perdarahan luas dan intensif
di pleksus hemoroidalis menyebabkan darah di vena tetap merupakan
“darah arteri”. Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat
berakibat timbulnya anemia berat. Hemoroid yang membesar secara
perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar menyebabkan prolaps.
Pada tahap awalnya penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan
disusul oleh reduksi spontan sesudah selesai defekasi (Sjamsuhidajat dan
Jong, 2005) .
Pasien harus memasukkan sendiri setelah defekasi. Pada tahap
lanjut, akhirnya sampai pada suatu keadaan dimana tidak dapat
dimasukkan. Kotoran di pakaian dalam menjadi tanda hemoroid yang
mengalami prolaps permanen. Kulit di daerah perianal akan mengalami
iritasi. Nyeri akan terjadi bila timbul trombosis luas dengan edema dan
peradangan. Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi
yang keras, yang membutuhkan tekanan intraabdominal tinggi (mengejan),
juga sering pasien harus duduk berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa
nyeri yang merupakan gejala radang (Mansjoer, 2008).
Hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi, apalagi bila telah
terjadi trombosis. Bila hemoroid interna mengalami prolaps, maka
tonjolan yang ditutupi epitel penghasil musin akan dapat dilihat pada satu
atau
beberapa
kuadran.
Selanjutnya
secara
sistematik
dilakukan
pemeriksaan dalam rectal secara digital dan dengan anoskopi. Pada
pemeriksaan rektal secara digital mungkin tidak ditemukan apa-apa bila
masih dalam stadium awal. Pemeriksaan anoskopi dilakukan untuk
melihat hemoroid interna yang tidak mengalami penonjolan. Pada
pemeriksaan kita tidak boleh mengabaikan pemeriksaan umum karena
keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit lain seperti sindrom hipertensi
portal (Mansjoer, 2008).
G. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer dan Bare (2002), Sudoyo (2006) dan Mansjoer
(2008), penatalaksanaan medis hemoroid terdiri dari penatalaksanaan non
farmakologis,
farmakologis,
dan
tindakan
minimal
invasive.
Penatalaksanaan medis hemoroid ditujukan untuk hemoroid interna derajat
I sampai dengan III atau semua derajat hemoroid yang ada kontraindikasi
operasi atau pasien menolak operasi. Sedangkan penatalaksanaan bedah
ditujukan untuk hemoroid interna derajat IV dan eksterna, atau semua
derajat hemoroid yang tidak respon terhadap pengobatan medis.
1. Penatalaksanaan Medis Non Farmakologis
Penatalaksanaan ini berupa perbaikan pola hidup, perbaikan
pola makan dan minum, perbaiki pola/ cara defekasi. Memperbaiki
defekasi merupakan pengobatan yang selalu harus ada dalam setiap
bentuk dan derajat hemoroid. Perbaikan defekasi disebut bowel
management program (BMP) yang terdiri dari diet, cairan, serat
tambahan, pelicin feses, dan perubahan perilaku buang air. Pada posisi
jongkok ternyata sudut anorektal pada orang menjadi lurus ke bawah
sehingga hanya diperlukan usaha yang lebih ringan untuk mendorong
tinja ke bawah atau keluar rektum. Posisi jongkok ini tidak diperlukan
mengedan lebih banyak karena mengedan dan konstipasi akan
meningkatkan tekanan vena hemoroid (Sudoyo, 2006).
Gejala hemoroid dan ketidaknyamanan dapat dihilangkan
dengan hygiene personal yang baik dan menghindari mengejan
berlebihan selama defekasi. Diet tinggi serat yang mengandung buah
dan sekam mungkin satu-satunya tindakan yang diperlukan (Smeltzer
dan Bare, 2002).
2. Penatalaksanaan medis farmakologis
Obat-obat farmakologis hemoroid dapat dibagi atas empat, yaitu
pertama : memperbaiki defekasi, kedua : meredakan keluhan subyektif,
ketiga : menghentikan perdarahan, dan keempat : menekan atau
mencegah timbulnya keluhan dan gejala.
a. Obat memperbaiki defekasi : ada dua obat yang diikutkan dalam
BMP yaitu suplemen serat (fiber suplement) dan pelicin tinja (stool
softener). Suplemen serat komersial yang banyak dipakai antara
lain psyllium atau isphagula Husk (misal Vegeta, Mulax,
Metamucil, Mucofalk). Obat kedua yaitu obat laksan atau pencahar
antara lain Natrium dioktil sulfosuksinat (Laxadine), Dulcolax,
Microlac dll. Natrium dioctyl sulfosuccinat bekerja sebagai anionic
surfactant,
merangsang
sekresi
mukosa
usus
halus
dan
meningkatkan penetrasi cairan kedalam tinja. Dosis 300 mg/hari
(Sudoyo, 2006).
b. Obat
simtomatik
:
bertujuan
untuk
menghilangkan
atau
mengurangi keluhan rasa gatal, nyeri, atau karena kerusakan kulit
di daerah anus. Obat pengurang keluhan seringkali dicampur
pelumas (lubricant), vasokonstriktor, dan antiseptic lemah. Sediaan
penenang keluhan yang ada di pasar dalam bentuk ointment atau
suppositoria antara lain Anusol, Boraginol N/S, dan Faktu. Bila
perlu dapat digunakan kortikosteroid untuk mengurangi radang
daerah hemoroid atau anus antara lain Ultraproct, Anusol HC,
Scheriproct. Sediaan
bentuk suppositoria digunakan untuk
hemoroid interna, sedangkan sediaan ointment/krem digunakan
untuk hemoroid eksterna (Sudoyo, 2006).
c. Obat menghentikan perdarahan : perdarahan menandakan adanya
luka pada dinding anus/ pecahnya vena hemoroid yang dindingnya
tipis. Yang digunakan untuk pengobatan hemoroid yaitu campuran
diosmin (90%) dan hesperidin (10%) dalam bentuk Micronized,
dengan nama dagang “Ardium” atau “Datlon”. Psyllium, Citrus
bioflavanoida yang berasal dari jeruk lemon dan paprika berfungsi
memperbaiki permeabilitas dinding pembuluh darah (Sudoyo,
2006).
d. Obat penyembuh dan pencegah serangan hemoroid : pengobatan
dengan Ardium 500 mg menghasilkan penyembuhan keluhan dan
gejala yang lebih cepat pada hemoroid akut bila dibandingkan
plasebo.
Pemberian
Micronized
flavonoid
(Diosmin
dan
Hesperidin) (Ardium) 2 tablet per hari selama 8 minggu pada
pasien hemoroid kronik. Penelitian ini didapatkan hasil penurunan
derajat hemoroid pada akhir pengobatan dibanding sebelum
pengobatan secara bermakna. Perdarahan juga makin berkurang
pada akhir pengobatan dibanding awal pengobatan (Sudoyo, 2006).
3. Penatalaksanaan Minimal Invasive
Penatalaksanaan hemoroid ini dilakukan bila pengobatan non
farmakologis, farmakologis tidak berhasil. Penatalaksanaan ini antara
lain tindakan skleroterapi hemoroid, ligasi hemoroid, pengobatan
hemoroid dengan terapi laser (Sudoyo, 2006).
Tindakan bedah konservatif hemoroid internal adalah prosedur
ligasi pita-karet. Hemoroid dilihat melalui anosop, dan bagian
proksimal diatas garis mukokutan dipegang dengan alat. Pita karet
kecil kemudian diselipkan diatas hemoroid. Bagian distal jaringan
pada pita karet menjadi nekrotik setelah beberapa hari dan lepas.
Terjadi fibrosis yang mengakibatkan mukosa anal bawah turun dan
melekat pada otot dasar. Meskipun tindakan ini memuaskan bagi
beberapa pasien, namun pasien lain
merasakan tindakan ini
menyebabkan nyeri dan mengakibatkan hemoroid sekunder dan infeksi
perianal.
Hemoroidektomi
kriosirurgi
adalah
metode
untuk
mengangkat hemoroid dengan cara membekukan jaringan hemoroid
selama waktu tertentu selama timbul nekrosis. Meskipun hal ini
relative kurang menimbulkan nyeri, prosedur ini tidak digunakan
dengan luas karena menyebabkan keluarnya rabas yang berbau sangat
menyengat dan luka yang ditimbulkan lama sembuhnya. Laser
Nd:YAG telah digunakan saat ini dalam mengeksisi hemoroid,
terutama hemoroid eksternal. Tindakan ini cepat dan kurang
menimbulkan nyeri. Hemoragi dan abses jarang menjadi komplikasi
pada periode pasca operatif (Smeltzer dan Bare, 2002).
4. Penatalaksanaan bedah
Hemoroidektomi atau eksisi bedah dapat dilakukan untuk
mengangkat semua jaringan sisa yang terlibat dalam proses ini. Selama
pembedahan, sfingter rektal biasanya didilatasi secara digital dan
hemoroid diangkat dengan klem dan kauter atau dengan ligasi dan
kemudian dieksisi. Setelah prosedur operatif selesai, selang kecil
dimasukkan melalui sfingter untuk memungkinkan keluarnya flatus
dan darah. Penempatan Gelfoan atau kassa oxygel dapat diberikan
diatas luka anal (Smeltzer dan Bare, 2002).
Teknik operasi Whitehead dilakukan dengan mengupas seluruh
hemoroidales interna, membebaskan mukosa dari submukosa, dan
melakukan reseksi. Lalu usahakan kontinuitas mukosa kembali.
Sedang pada teknik operasi Langenbeck, vena-vena hemoroidales
interna dijepit radier dengan klem. Lakukan jahitan jelujur dibawah
klem dengan chromic gut no. 2/0, eksisi jaringan diatas klem. Sesudah
itu klem dilepas dan jepitan jelujur dibawah klem diikat (Mansjoer,
2008).
H. Komplikasi
Komplikasi hemoroid yang paling sering adalah perdarahan,
trombosis, dan strangulasi. Trombosis adalah pembekuan darah dalam
hemoroid. Hemoroid strangulasi adalah hemoroid yang prolaps dengan
suplai darah dihalangi oleh sfingter ani (Price dan Wilson, 2006).
I. Pencegahan
Yang
paling
baik
dalam
mencegah
hemoroid
yaitu
mempertahankan tinja tetap lunak sehingga mudah ke luar, dimana hal ini
menurunkan tekanan dan pengedanan dan mengosongkan usus sesegera
mungkin setelah perasaan mau ke belakang timbul. Latihan olahraga
seperti berjalan, dan peningkatan konsumsi serat diet juga membantu
mengurangi konstipasi dan mengedan (Sudoyo, 2006).
J. Pengkajian Fokus
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita
hemoroid pre dan post hemoroidektomi menurut Smeltzer dan Bare (2002)
dan Price dan Wilson (2006) ada berbagai macam, meliputi:
1. Demografi
Hemoroid sangat sering dijumpai dan terjadi pada sekitar 35%
penduduk yang berusia lebih dari 25 tahun. Laki-laki maupun
perempuan bisa mengalami hemoroid. Karena faktor pekerjaan seperti
angkat berat, mengejan pada saat defekasi, pola makan yang salah bisa
mengakibatkan feses menjadi keras dan terjadinya hemoroid,
kehamilan.
2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit diare kronik, konstipasi kronik, kehamilan,
hipertensi portal, pembesaran prostat, fibroid uteri, dan tumor rektum.
3. Pengkajian
pasien hemoroid menurut Smeltzer dan Bare (2002)
dijelaskan dalam pola fungsional Gordon, meliputi :
a) Pola persepsi kesehatan dan management kesehatan
Konsumsi makanan rendah serat, pola BAB yang salah (sering
mengedan saat BAB), riwayat diet, penggunaan laksatif, kurang
olahraga atau imobilisasi, kebiasaan bekerja contoh : angkat berat,
duduk atau berdiri terlalu lama.
b) Pola nutrisi dan metabolik
Mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan, membran
mukosa kering, kadar hemoglobin turun.
c) Pola eliminasi
Pola eliminasi feses : konstipasi, diare kronik dan mengejan saat
BAB.
d) Pola aktivitas dan latihan
Kurang olahraga atau imobilisasi, Kelemahan umum, keterbatasan
beraktivitas karena nyeri pada anus sebelum dan sesudah operasi.
e) Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia/ karena nyeri pada anus sebelum dan
sesudah operasi).
f) Pola persepsi sensori dan kognitif
Pengkajian kognitif pada pasien hemoroid pre dan post
hemoroidektomi yaitu rasa gatal, rasa terbakar dan nyeri, sering
menyebabkan perdarahan berwarna merah terang pada saat
defekasi dan adanya pus.
g) Pola hubungan dengan orang lain
Kesulitan menentukan kondisi, misal tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran biasanya dalam bekerja.
h) Pola reproduksi dan seksual
Penurunan libido.
i) Pola persepsi dan konsep diri
Pasien biasanya merasa malu dengan keadaannya, rendah diri,
ansietas, peningkatan ketegangan, takut, cemas, trauma jaringan,
masalah tentang pekerjaan.
4. Pemeriksaan fisik
a) Keluhan umum : malaise, lemah, tampak pucat.
b) Tingkat kesadaran : komposmentis sampai koma.
c) Pengukuran antropometri : berat badan menurun.
d) Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, takhikardi,
hipotensi.
e) Abdomen : nyeri pada abdomen berhubungan dengan saat defekasi.
f) Kulit : Turgor kulit menurun, pucat
g) Anus : Pembesaran pembuluh darah balik (vena) pada anus,
terdapat benjolan pada anus, nyeri pada anus, perdarahan.
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Sjamsuhidajat dan Jong (2005), pemeriksaan penunjang pada
penderita hemoroid yaitu :
a) Colok dubur, apabila hemoroid mengalami prolaps, lapisan epitel
penutup bagian yang menonjol ke luar ini mengeluarkan mucus
yang dapat dilihat apabila penderita diminta mengedan. Pada
pemeriksaan colok dubur hemoroid intern tidak dapat diraba sebab
tekanan vena didalamnya tidak cukup tinggi, dan biasanya tidak
nyeri. Colok dubur diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
karsinoma rectum.
b) Anoskop, diperlukan untuk melihat hemoroid intern yang tidak
menonjol ke luar. Anoskop dimasukkan dan di
putar untuk
mengamati keempat kuadran. Hemoroid intern terlihat sebagai
stuktur vascular yang menonjol ke dalam lumen. Apabila penderita
diminta mengedan sedikit, ukuran hemoroid akan membesar dan
penonjolan atau prolaps akan lebih nyata.
c) Proktosigmoidoskopi, perlu dikerjakan untuk memastikan bahwa
keluhan bukan disebabkan oleh proses radang atau proses
keganasan ditingkat yang lebih tinggi, karena hemoroid merupakan
keadaan fisiologik saja atau tanda yang menyertai. Feses harus
diperiksa terhadap adanya darah samar.
K. Pathways Keperawatan
Mengejan, kehamilan, usia tua,
pembesaran protat, fibroid uteri, tumor
rectum, konstipasi kronik, diare
Peningkatan intraabdomen
(tumor usus, tumor abdomen)
Penyakit hati kronik
Vena hemoroidalis superior mengalirkan
darah ke dalam sistem portal
Mudah terjadi aliran balik
Distensi terus-menerus
Tekanan intraabdomen
Gangguan vena sfingter
Tekanan vena portal dan sistemik
Kongesti vena
Vena prolaps
Hemoroid
Dilatasi yang
berlebihan
Pre op hemoroidektomi
Hemoroidektomi
Ancaman terhadap
status kesehatan
Krisis situasi
Rangsang
ke saraf
Luka bedah di anus
Cemas
Trauma jaringan
Kerusakan integritas
kulit
Terputusnya
kontinuitas
jaringan
Resiko perdarahan
Invasi bakteri
Spasme otot
sfingter ani
Resti infeksi
Takut BAB
Nyeri akut
Resiko konstipasi
Sumber : Carpenito-Moyet (2007), Smeltzer & Bare (2002), NANDA (2007)
L. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien hemoroid pre
dan post operasi hemoroidektomi menurut Carpenito-Moyet (2007),
Smeltzer & Bare (2002), NANDA (2007) :
1. Cemas berhubungan dengan krisis situasi akibat rencana pembedahan.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanis pada
kulit atau jaringan anal.
3. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma jaringan sekunder
pada luka di anus yang masih baru.
4. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi, tekanan dan sensitivitas pada
area rektal/ anal sekunder akibat penyakit anorektal, trauma jaringan
dan reflek spasme otot spingter ani sekunder akibat operasi.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, adanya saluran
invasive.
6. Resiko konstipasi berhubungan dengan nyeri saat defeksi.
M. Fokus Intervensi dan Rasional
Fokus intervensi pada pasien pre dan post operasi hemoroid menurut
Doenges (2000), Carpenito-Moyet (2007), dan NANDA (2007) :
1. Cemas berhubungan dengan krisis situasi sekunder akibat rencana
pembedahan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan cemas berkurang.
Kriteria hasil : Menunjukkan perasaan dan mengidentifikasi cara yang
sehat dalam berhadapan dengan mereka. Tampil santai, dapat
beristirahat/ tidur cukup melaporkan penurunan rasa takut dan cemas
yang berkurang ke tingkat yang dapat diatasi.
Rencana tindakan :
a) Identifikasi tingkat rasa takut yang mengharuskan dilakukannya
penundaan prosedur pembedahan
Rasional : rasa takut yang berlebihan atau terus-menerus akan
mengakibatkan reaksi stress yang berlebihan.
b) Validasi sumber rasa takut. Sediakan informasi yang akurat dan
faktual.
Rasional : mengidentifikasi rasa takut yang spesifik akan
membantu pasien untuk menghadapinya secara realistis.
c) Catat ekspresi yang berbahaya/ perasaan tidak tertolong, pre
okupasi dengan antisipasi perubahan/ kehilangan, perasaan
tercekik.
Rasional : pasien mungkin telah berduka terhadap kehilangan yang
ditunjukkan dengan antisipasi prosedur pembedahan/ diagnosa/
prognosa penyakit.
d) Cegah pemajanan tubuh yang tidak diperlukan selama pemindahan
ataupun pada ruang operasi.
Rasional : pasien akan memperhatikan masalah kehilangan harga
diri dan ketidakmampuan untuk melatih kontrol.
e) Berikan petunjuk/ penjelasan yang sederhana pada pasien yang
tenang. Tinjau lingkungan sesuai kebutuhan.
Rasional : ketidakseimbangan dari proses pemikiran akan membuat
pasien menemui kesulitan untuk memahami petunjuk-petunjuk
yang panjang dan berbelit-belit.
f) Instruksikan pasien untuk menggunakan tekhnik relaksasi.
Rasional : mengurangi perasaan tegang dan rasa cemas.
g) Berikan obat sesuai indikasi
Rasional : dapat digunakan untuk menurunkan ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan interupsi mekanis pada
kulit/ jaringan anal.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan integritas kulit
membaik.
Kriteria hasil :
a) Mencapai penyembuhan luka.
b) Mendemonstrasikan tingkah laku/ teknik untuk meningkatkan
kesembuhan dan mencegah komplikasi.
Rencana tindakan :
a) Beri penguatan pada balutan sesuai indikasi dengan teknik aseptik
yang ketat.
Rasional : lindungi luka dari kontaminasi, mencegah akumulasi
cairan yang dapat menyebabkan eksoriasi.
b) Periksa luka secara teratur, catat karakteristik dan integritas kulit.
Rasional : pengenalan akan adanya kegagalan proses penyembuhan
luka/ berkembangnya komplikasi secara dini dapat mencegah
terjadinya kondisi yang lebih serius.
c) Kaji jumlah dan karakteristik cairan luka.
Rasional : menurunnya cairan, menandakan adanya evolusi dan
proses penyembuhan.
d) Ingatkan pasien untuk tidak menyentuh daerah luka.
Rasional : mencegah kontaminasi luka.
e) Irigasi luka dengan debridement sesuai kebutuhan.
Rasional
:
membuang
luka
eksudat
untuk
meningkatkan
penyembuhan.
3. Resiko perdarahan berhubungan dengan trauma jaringan sekunder
pada luka di anus yang masih baru.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak
mengalami perdarahan.
Kriteria hasil : Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal, pasien
tidak mengalami perdarahan, tanda-tanda vital berada dalam batas
normal : tekanan darah 120 mmHg, nadi : 80-100x/ menit, pernapasan
: 14 – 25 x/ mnt, suhu: 36 - 370C ± 0,50C
Rencana tindakan :
a) Kaji pasien untuk menemukan bukti-bukti perdarahan atau
hemoragi.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat keparahan perdarahan pada
pasien sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.
b) Monitor tanda vital
Rasional : Untuk mengetahui keadaan vital pasien saat terjadi
perdarahan.
c) Pantau hasil lab berhubungan dengan perdarahan.
Rasional : Banyak komponen darah yang menurun pada hasil lab
dapat membantu menentukan intervensi selanjutnya.
d) Siapkan pasien secara fisik dan psikologis untuk menjalani bentuk
terapi lain jika diperlukan.
Rasional : Keadaan fisik dan psikologis yang baik akan
mendukung terapi yang diberikan pada pasien sehingga mampu
memberikan hasil yang maksimal.
e) Awasi jika terjadi anemia
Rasional : Untuk menentukan intervensi selanjutnya.
f) Kolaborasi dengan dokter mengenai masalah yang terjadi dengan
perdarahan : pemberian transfusi, medikasi.
Rasional : mencegah terjadinya komplikasi dari perdarahan yang
terjadi dan untuk menghentikan perdarahan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi, tekanan dan sensitivitas pada
area rektal/ anal sekunder akibat penyakit anorektal, trauma jaringan
dan refleks spasme otot sfingter ani sekunder akibat operasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri berkurang.
Kriteria hasil :
a) Menyatakan bahwa rasa sakit telah terkontrol/ dihilangkan.
b) Feses lembek, tidak nyeri saat BAB.
c) Tampak rileks, dapat istirahat tidur.
d) Ikut serta dalam aktivitas sesuai kebutuhan.
Rencana tindakan :
a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)
Rasional : Mengetahui perkembangan hasil prosedur.
b) Bantu pasien untuk tidur dengan posisi yang nyaman : tidur miring.
Rasional : posisi tidur miring tidak menekan bagian anal yang
mengalami peregangan otot untuk meningkatkan rasa nyaman.
c) Gunakan ganjalan pengapung dibawah bokong saat duduk.
Rasional : untuk meningkatkan mobilisasi tanpa menambah rasa
nyeri.
d) Gunakan pemanasan basah setelah 12 jam pertama : kompres rectal
hangat atau sit bath dilakukan 3-4x/ hari.
Rasional : meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan odema dan
meningkatkan penyembuhan (pendekatan perineal).
e) Dorong penggunaan teknik relaksasi : latihan nafas dalam,
visualisasi, pedoman, imajinasi.
Rasional : menurunkan ketegangan otot, memfokuskan kembali
perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
f) Beri obat-obatan analgetik seperti diresepkan 24 jam pertama.
Rasional : memberi kenyamanan, mengurangi rasa sakit.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan, adanya saluran
invasive.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak
mengalami infeksi.
Kriteria hasil :
a) Memperlihatkan pengetahuan tentang faktor resiko yang berkaitan
dengan infeksi dan melakukan tindakan pencegahan yang tepat
untuk mencegah infeksi.
b) Bebas dari proses infeksi nosokomial selama perawatan di rumah
sakit.
Rencana tindakan :
a) Kaji status nutrisi, kondisi penyakit yang mendasari.
Rasional : mengidentifikasi individu terhadap infeksi nosokomial
b) Cuci tangan dengan cermat
Rasional : kurangi organisme yang masuk ke dalam individu
c) Rawat luka dengan teknik aseptik/ antiseptik
Rasional : kurangi organisme yang masuk ke dalam individu
d) Batasi pengunjung
Rasional : melindungi individu yang mengalami defisit imun dan
infeksi.
e) Batasi alat-alat invasive untuk benar-benar perlu saja
Rasional : melindungi individu yang mengalami defisit imun dan
infeksi.
f) Dorong dan pertahankan masukan TKTP
Rasional : kurangi kerentanan individu terhadap infeksi
g) Beri therapy antibiotik rasional sesuai program dokter
Rasional : mencegah segera terhadap infeksi
h) Observasi terhadap manifestasi klinis infeksi (demam, drainase,
purulen)
Rasional : deteksi dini proses infeksi.
6. Resiko konstipasi berhubungan dengan nyeri saat defekasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien bisa BAB 1x
sehari dengan konsistensi lembek.
Kriteria hasil, individu akan :
a) Menggambarkan program defekasi terapeutik
b) Melaporkan atau menunjukkan eliminasi yang membaik (lunak,
namun tidak berdarah defekasi lebih 3x dalam seminggu)
c) Menjelaskan rasional intervensi
Rencana tindakan :
a) Ajarkan pasien/ keluarga tentang pentingnya segera berespon
terhadap perasaan defekasi.
Rasional : dengan distensi kronik feses akan lebih keras dalam
rectum.
b) Rekomendasikan perubahan diit untuk meningkatkan bulk (tinggi
serat 1x sehari) dan cairan ± 8-10 gelas/ hari.
Rasional : meningkatkan penyerapan cairan dalam usus sehingga
feses lembek.
c) Anjurkan mencoba supositoria daripada oral dalam 1 jam setelah
sarapan.
Rasional : meningkatkan reflek gastro kolik bila lambung kosong
d) Tingkatkan tingkat aktivitas secara adekuat
Rasional : latihan yang tidak adekuat merupakan faktor utama
dalam perubahan konsistensi feses.
e) Hindari sarapan yang mengandung asam lemak
Rasional : memperlambat rangsangan reflek dan memperlambat
pencernaan.
f) Tingkatkan penggunaan obat konstipasi 2x sehari bila diperlukan.
Rasional : Melancarkan Buang Air Besar.
Download