BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Iklim Organisasi Pertama kali istilah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Iklim Organisasi
Pertama
kali
istilah
iklim
organisasi
(organizational
climate)
diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1930-an. Beliau menggunakan istilah
iklim psikologi (psychological climate). Kemudian istilah iklim organisasi dipakai
oleh Tagiuri dan Litwin (1968) yang mengemukakan sejumlah istilah untuk
melukiskan perilaku dalam hubungan dengan latar atau tempat (setting) dimana
perilaku muncul : lingkungan (environment), lingkungan pergaulan (milieu),
budaya (culture), suasana (atmosphere), situasi (situation), pola lapangan (field
setting), pola perilaku (behavior setting), dan kondisi (conditions) .
Ada beberapa teori iklim organisasi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Teori Steers
Steers (1977) mengemukakan hubungan antara sebagian faktor penentu iklim,
hasil individu dengan efektivitas organisasi dimana faktor penentu iklim
organisasi adalah kebijakan dan praktek manajemen, sturktur organisasi, teknologi
dan lingkungan luar.
2.
Teori Miles
Sergiovanni (1983) mengemukakan bahwa terdapat sepuluh indikator untuk
megetahui sehat atau kurang sehatnya iklim organisasi, yaitu: tujuan (goal focus),
komunikasi (communication adequacy), optimalisasi kekuasaan (optimal power
equalization), pemanfaatan sumber daya (resource utilization), kohesifitas
(cohesiveness), moril (moral), inovatif (innovativeness), otonomi (autonomy),
adaptasi (adaptation), pemecahan masalah (problem solving adequacy)
3.
Teori Likert
Likert (1967) mengembangkan sebuah instrumen yang memuaskan pada
kondisi-kondisi perilaku dan gaya-gaya manajemen yang digunakan. Karakteristik
yang dicakup oleh skala Likert adalah perilaku pemimpin, motivasi, komunikasi,
proses pengaruh interaksi, pengambilan keputusan, penentuan tujuan, dan kontrol
4. Teori Litwin dan Stringer
Litwin dan Stringer (1968) menggunakan teori tiga kebutuhan (berprestasi,
berafiliasi, dan berkuasa) dari McClelland sebagai tipe utama motivasi, ditemukan
bahwa ketiga kebutuhan tersebut dipengaruhi oleh iklim organisasi. Juga terdapat
sembilan dimensi iklim organisasi, yaitu struktur, tanggung jawab, imbalan,
resiko, keramahan, kehangatan hati, dukungan, standar, konflik, dan identifikasi.
Dari beberapa teori yang telah dikemukakan di atas, para ahli memiliki
konsep iklim organisasi yang berbeda-beda. Namun teori yang berbeda tersebut
memiliki karakteristik yang menggambarkan iklim organisasi dan berbeda dari
konsep yang lain. Adapun karakteristik tersebut seperti dibawah ini:
1.
Iklim secara umum dapat berubah-ubah setiap waktu.
2.
Iklim merupakan persepsi dan bagian anggota organisasi, yang dapat
menghasilkan mufakat antara individu-individu.
3.
Terdiri dari pengaruh global anggota organisasi melalui interaksi dengan yang
lain dan kebijakan organisasi, struktur dan proses.
4.
Persepsi iklim menggambarkan peristiwa lingkungan dan kondisi daripada
evaluasi mereka.
5.
Iklim dapat secara potensial mempengaruhi tingkah laku individu.
Iklim organisasi secara objektif eksis, terjadi di setiap organisasi, dan
mempengaruhi perilaku anggota organisasi, tetapi hanya dapat diukur secara tidak
langsung melalui persepsi anggota organisasi. Ini berarti peneliti yang
menginginkan informasi mengenai iklim suatu organisasi perlu menjaringnya
menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi dari anggota organisasi.
Dimensi dan indikator iklim organisasi harus dikembangkan guna mengukur iklim
organisasi. Dimensi iklim organisasi adalah unsur, faktor, sifat atau karakteristik
variabel iklim organisasi. Dimensi iklim organisasi terdiri atas beragam jenis dan
berbeda pada setiap organisasi. Altman (2000) mengemukakan bahwa studi yang
dilakukan oleh pakar iklim organisasi menunjukkan paling tidak 460 jenis
lingkungan
kerja
dengan
iklim
organisasinya
sendiri-sendiri.
menunjukkan dimensi dan indikator iklim organisasi secara umum.
Tabel
1
Tabel 1. Dimensi dan indikator iklim organisasi
Dimensi
Keadaan lingkungan fisik tempat kerja
Keadaan lingkungan sosial
Pelaksanaan Sistem Manajemen
Produk
Konsumen, Klien dan nasabah yang
dilayani
Kondisi fisik dan kejiwaan anggota
organisasi
Indikator
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Tempat kerja
Mebel
Alat produksi dan sebagainya
Hubungan atasan dan bawahan
Hubungan antar teman sekerja
Sistem komunikasi
Sistem kepemimpinan
Kebersamaan
Kerjasama dalam melaksanakan tugas
Penghargaan terhadap kreativitas dan
inovasi karyawan
Saling mempercayai
Humor
Visi, misi, dan strategi organisasi
Karakteristik organisasi
Struktur organisasi
Sistem birokrasi organisasi
Distribusi kekuasaan
Delegasi kekuasaan
Proses pengambilan keputusan
Alokasi sumber-sumber daya
Standar kerja
Prosedur kerja
Karakteristik pekerjaan
Karakteristik peran
Sistem imbalan
Pengembangan karir
Manajemen konflik
Iklim etis
Proses produksi
Jenis barang dan prosedur layanan
konsumen
Jenis jasa dan prosedur penyajiannya
Jenis konsumen
Perilaku konsumen
Hubungan anggota organisasi dengan
konsumen
Sistem layanan
Keenergetikan
Kesehatan
Komitmen
Moral
Kebersamaan
Etos kerja
Semangat kerja
Tabel 1. (Lanjutan)
Dimensi
Indikator
•
•
•
•
•
•
Budaya organisasi
Pelaksanaan nilai-nilai
Pelaksanaan norma
Kepercayaan dan filsafat
Pelaksanaan kode etik
Pelaksanaan seremoni
Sejarah organisasi
Sumber : Wirawan (2007)
Dimensi
iklim organisasi menurut Litwin dan Stringer (1968) ada 6
(enam) dimensi yang diperlukan yakni ;
1.
Struktur. Struktur merefleksikan perasaan bahwa karyawan diorganisasi
dengan baik dan mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan
tanggung jawab mereka. Meliputi posisi karyawan dalam perusahaan.
2.
Standar-standar. Mengukur perasaan tekanan untuk memperbaiki kinerja dan
derajat kebanggaan yang dimiliki karyawan dalam melakukan pekerjaannya
dengan baik. Meliputi kondisi kerja yang dialami karyawan dalam
perusahaan.
3.
Tanggung jawab. Merefleksikan perasaan karyawan bahwa mereka menjadi
“pimpinan diri sendiri” dan tidak pernah meminta pendapat mengenai
keputusannya dari orang lain. Meliputi kemandirian dalam menyelesaikan
pekerjaan.
4.
Pengakuan. Perasaan karyawan diberi imbalan yang layak setelah
menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Meliputi imbalan atau upah yang
terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan.
5.
Dukungan. Merefleksikan perasaan karyawan mengenai kepercayaan dan
saling mendukung yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan
dengan rekan kerja yang lain.
6.
Komitmen. Merefleksikan perasaan kebanggaan dan komitmen sebagai
anggota organisasi. Meliputi pemahaman karyawan mengenai tujuan yang
ingin dicapai oleh perusahaan.
Dimensi iklim organisasi menurut Koys et al. (1991) adalah sebagai berikut :
1.
Otonomi (outonomy). Persepsi mengenai penentuan sendiri prosedur kerja,
tujuan, dan prioritas
2.
Kebersamaan (cohesion). Perasaaan kebersamaan diantara altar organisasi,
termasuk kemauan anggota organisasi untuk menyediakan bahan-bahan
bantuan.
3.
Kepercayaan (trust). Persepsi kebersamaan untuk berkomunikasi secara
terbuka dengan anggota organisasi level atas mengenai isu sensitif dan
personal dengan harapan bahwa integritas komunikasi seperti itu tidak
dilanggar.
4.
Tekanan (pressure). Persepsi mengenai tuntutan waktu untuk menyelesaikan
tugas dan standar kinerja.
5.
Dukungan (support). Persepsi toleransi perilaku organisasi oleh atasannya,
termasuk membiarkan anggota belajar dari kesalahannya tanpa ketakutan dan
hukuman.
6.
Pengakuan (recognition). Persepsi bahwa kontribusi anggota organisasi
kepada organisasi diakui dan dihargai.
7.
Kewajaran (fairness). Persepsi bahwa praktik organisasi adil, wajar, dan tidak
sewenang-wenang atau berubah-ubah.
8.
Inovasi (Innovation). Persepsi bahwa perubahan dan kreatifitas didukung,
termasuk pengambilan resiko mengenai bidang-bidang baru dimana anggota
organisasi tidak atau sedikt mempunyai pengalaman sebelumnya.
Berbeda dengan iklim organisasi yang dikemukan oleh Ekvall (1986);
1.
Tantangan (challenge). Keterlibatan dan komitmen terhadap organisasi.
2.
Kemerdekaaan
(freedom). Sampai seberapa tinggi karyawan diberi
kebebasan
3.
Dukungan untuk ide-ide (support for ideas). Sikap manajemen dan karyawan
terhadap ide baru.
4.
Kepercayaan (trust). Keamanan emosional dan kepercayaan hubungan antar
anggota dalam organisasi.
5.
Semangat (liveliness). Dinamika dalam organisasi.
6.
Keintiman/humor
(playfulness/humor).
Kemudahan
yang
ada
dalam
organisasi.
7.
Debat (debate). Sampai seberapa tinggi perbedaan pendapat serta ide-ide dan
pengalaman ada dalam organisasi.
8.
Konflik (conflics). Adanya tensi personal dan emosional.
9.
Pengambilan risiko (risk taking). Kemauan untuk menoleransi insekuriti
dalam organisasi.
10. Ide
dan
waktu
(Idea
and
time).
Waktu
yang
digunakan
untuk
mengembangkan ide-ide baru.
2.2
Kepuasan Kerja
Karyawan adalah kekayaan utama bagi setiap perusahaan. Mereka menjadi
perencana, pelaksana, dan pengendali yang selalu berperan aktif dalam
mewujudkan tujuan perusahaan. Karyawan menjadi pelaku yang menunjang
tercapainya tujuan, mempunyai pikiran, perasaan, dan keinginan yang dapat
mempengaruhi sikap-sikapnya terhadap pekerjaannya. Sikap ini akan menentukan
prestasi kerja, dedikasi, dan kecintaan terhadap pekerjaan yang dibebankan
kepadanya. Sikap-sikap positif harus dibina, sedangkan sikap-sikap negatif
hendaknya dihindari. Sikap-sikap karyawan dikenal dengan kepuasan kerja, stres
dan frustasi yang ditimbulkan oleh pekerjaan, peralatan, lingkungan, kebutuhan
dan sebagainya. Kepuasan kerja karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya
supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat.
Oleh karena itu kepuasan kerja karyawan sangat penting dan merupakan kunci
pendorong moral, kedisiplinan, prestasi kerja karyawan dalam mendukung
terwujudnya tujuan perusahaan.
Robbin (2001) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap umum
terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah
penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya
mereka terima.Pandangan senada dikemukakan oleh Gibson et al. (2000) yang
menyatakan kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan
mereka. Kepuasan kerja merupakan variabel tergantung utama karena dua alasan
yaitu ; (1) menunjukkan hubungan dengan faktor kinerja; dan (2) merupakan
preferensi nilai yang dipegang banyak peneliti perilaku organisasi. Teori kepuasan
kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas
terhadap pekerjaannya daripada beberapa lainnya.
Menurut Hasibuan (2009) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktorfaktor sebagai berikut;
1.
Balas jasa yang adil dan layak.
2.
Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.
3.
Berat ringannya pekerjaan.
4.
Suasana dan lingkungan kerja.
5.
Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.
6.
Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.
7.
Sikap pekerjaan monoton atau tidak.
Ada 2 teori kepuasan kerja yakni ;
1.
Two-Factor Theory
Teori dua faktor merupakan teori kepuasan kerja yang menganjurkan
bahwa
satisfaction
(kepuasan)
dan
disatisfaction
(ketidakpuasan)
merupakan bagian dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu motivators
dan hygiene factors. Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan
kondisi disekitar pekerjaan (seperti kondisi kerja, pengupahan, keamanan,
kualitas pengawasan dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya
hanya dengan pekerjaan itu sendiri. Faktor ini dinamakan sebagai hygiene
factors. Sebaliknya kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan
pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat
pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan
untuk mengembangkan diri dan pengakuan. Faktor ini berkaitan dengan
tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan motivators.
2.
Value Theory
Menurut konsep ini kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil
pekerjaan diterima individu seperti diharapkan. Semakin banyak orang
menerima hasil, akan semakin puas. Sebaliknya semakin sedikit mereka
menerima hasil, akan kurang puas. Value Theory memfokuskan pada hasil
manapun yang menilai orang tanpa memerhatikan siapa mereka. Kunci
menuju kepuasan dalam pendekatan ini adalah perbedaan antara aspek
pekerjaan yang dimiliki dan diinginkan seseorang. Semakin besar
perbedaan, semakin rendah kepuasan orang.
Dalam bukunya Gitosudarmo dan Sudita (2000) menuliskan teori Dua
Faktor Herzberg yang berkaitan dengan kepuasan kerja yang sering dipakai pada
masa ini adalah “Teori Dua Faktor (Motivator Hygene Theory)”. Herzberg
mengemukakan bahwa pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dipengaruhi
oleh dua faktor utama yang merupakan kebutuhan, yaitu:
1. Faktor motivasi yang menyangkut kebutuhan psikologis yang berhubungan
dengan penghargaan terhadap individu yang secara langsung berkaitan
denganpekerjaannya (elemen pekerjaan itu sendiri) dan merupakan sumber
kepuasan kerja.
Faktor-faktor tersebut mencakup :
a.) Pekerjaan itu sendiri (The work itself) Menyangkut karakteristik dari
pekerjaan, yaitu apakah pekerjaan tersebut menantang, menarik ataukah justru
membosankan.
b.) Prestasi kerja (Achievement)
Adanya kesempatan untuk menunjukkan prestasi yang lebih baik dari
sebelumnya, yang diperoleh melalui usaha dan kemampuan.
c.) Promosi (Promotion)
Tersedianya kesempatan untuk berkembang dalam pekerjaan dan jabatan.
d.) Pengakuan (Recognition)
Adalah adanya penghargaan dan pengakuan atas prestasi kerja melalui umpan
balik yang diterima.
e.) Tanggung Jawab (Reponsibility)
Tanggung jawab disini adalah kewajiban menjalankan fungsi jabatan dan tugas
yang sesuai dengan kemampuannya serta pengarahan yang diterima.
2. Faktor-faktor pemeliharaan (maintenance factors) atau dikenal juga dengan
hygene factors atau dissatisfier. Merupakan faktor-faktor yang berhubungan
ketidakpuasan kerja dan merupakan suatu faktor ekstrinsik, yang berkaitan
dengan keadaan pekerjaan.
Faktor-faktor ini mencakup:
a.) Rekan Kerja (co worker)
yang dimaksud adalah apakah dalam bekerja rekan-rekan dapat diajak
bekerjasama, memiliki kompetensi, bersahabat, dan saling tolongmenolong.
b.) Gaya penyeliaan (quality and technical support)
Gaya penyeliaan yang dimaksud disini adalah kualitas dan bentuk pengawasan,
pengarahan dan pembimbingan yang diterima dari atasan.
c.) Hubungan antar karyawan (Relations with others)
Adanya kerja sama antar bawahan dan atasan dalm hal tolong menolong dan
saling memberikan dorongan.
d.) Kondisi lingkungan fisik kerja (psychological working conditions)
Meliputi kondisi lingkungan baik tempat bekerja, seperti penerangan,
tempratur, kualitas udara, serta peralatan kerja.
e.) Kebijaksanaan perusahaan (Company policies)
Termasuk di dalamnya mengenai administrasi, dan prosedur kerja yang
diterapkan perusahaan, peraturan-peraturan kebijaksanaan perusahaan, dan
tindakan yang diambil perusahaan untuk kepentingan karyawan.
f.) Gaji (Salary pay)
Yang dimaksud adalah imbalan jasa berupa uang yang dibawa oleh karyawan
sesuai dengan jenis dan beban pekerjaan yang dilaksanakan.
g.) Keamanan kerja (Job security)
Berupa kejelasan dari pekerjaan yang dipegang, kelangsungan pekerjaan,
jaminan hari tua, tunjangan-tunjangan, tingkat kepangkatan, serta kedudukan
dalam organisasi.
Menurut Kreitner (2001) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi
timbulnya kepuasan kerja yaitu ;
1.
Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan)
Model ini dimaksukan bahwa kepuasan ditentukan oleh tingkatan
karakteristik pekerjaan memberikan kesempatan pada individu untuk
memenuhi kebutuhannya.
2.
Discrepancies (perbedaan)
Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu hasil memenuhi
harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang
diharapkan dan apa yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila
harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas.
Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima
manfaat atas harapan.
3.
Value attainment (pencapaian hasil)
Gagasan Value attainment adalah bahwa kepuasan merupakan harapan
hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual
yang penting.
4.
Equity (keadilan)
Model ini dimaksud bahwa kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil
individu diperlakukan di tempat keja. Kepuasan merupakan hasil dari
persepsi orang bahwa perbandingan hasil kerja dan inputnya relatif lebih
menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan
masukan pekerjaan lainnya.
5.
Dispositional/genetic component (komponen genetik)
Beberapa rekan kerja atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan
kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada
keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat pribadi
dan faktor genetik. Model ini menyiratkan perbedaan individu hanya
mempuyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya
karakteristik lingkungan pekerjaan.
Kepuasan kerja pada penelitian ini diukur menggunakan teori Weiss et al.
(1967) yang dituangkan dalam Minessotta Satisfaction Quetionnaire (MSQ).
Pertimbangan untuk menggunakan MSQ karena MSQ didesain untuk mengukur
kepuasan karyawan sehubungan dengan pekerjaannya serta mengukur berbagai
aspek pekerjaan. Adapun keuntungan MSQ karena mudah digunakan, mudah
dimengerti, valid dan reliabel, dapat dipakai setiap organisasi, dapat dipakai
manajer, supervisor, dan karyawan.
Menurut Luthan (2006) terdapat empat cara yang dapat dipakai untuk
mengukur kepuasan kerja, yaitu :
1.
Rating Scale
Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja dengan
menggunakan Rating Scale antara lain: (1) Minnessota Satisfaction Questionare,
(2) Job Descriptive Index, dan (3) Porter Need Satisfaction Questionare.
Minnesota Satisfaction Questionare (MSQ) adalah suatu instrumen atau alat
pengukur kepuasan kerja yang dirancang demikian rupa yang di dalamnya
memuat secara rinci unsur-unsur yang terkategorikan dalam unsur kepuasan dan
unsur ketidakpuasan. Skala MSQ mengukur berbagai aspek pekerjaan yang
dirasakan sangat memuaskan, memuaskan, tidak dapat memutuskan, tidak
memuaskan dan sangat tidak memuaskan. Karyawan diminta memilih satu
alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya. Job descriptive index
adalah suatu instrumen pengukur kepuasan kerja yang dikembangkan oleh
Kendall dan Hulin (1964). Dengan instrumen ini dapat diketahui secara luas
bagaimana sikap karyawan terhadap komponen-komponen dari pekerjaan itu.
Variabel yang diukur adalah pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi,
supervisi dan mitra kerja. Porter Need Satisfaction Questionare adalah suatu
instrumen pengukur kepuasan kerja yang digunakan untuk mengukur kepuasan
kerja para manajer. Pertanyaan yang diajukan lebih memfokuskan diri pada
permasalahan tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh para manajer.
1.
Critical Incidents
Critical Incidents dikembangakan oleh Frederick Herzberg (1993). Dia
menggunakan teknik ini dalam penelitiannya tentang teori motivasi dua
faktor. Dalam penelitiannya tersebut dia mengajukan pertanyaan kepada para
karyawan tentang faktor-faktor apa yang saja yang membuat mereka puas dan
tidak puas.
2.
Interview
Untuk mengukur kepuasan kerja dengan menggunakan wawancara yang
dilakukan terhadap para karyawan secara individu. Dengan metode ini dapat
diketahui secara mendalam mengenai bagaimana sikap karyawan terhadap
berbagai aspek pekrjaan.
3.
Action Tendencies
Action Tendencies dimaksudkan sebagai suatu kecenderungan
seseorang
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kepuasan kerja karyawan
dapat dilihat berdasarkan action tendencies.
Ada 3 bentuk MSQ yang disediakan yakni dua bentuk panjang (versi 1977
dan versi 1967) dan sebuah bentuk pendek. MSQ menyediakan informasi yang
lebih spesifik pada aspek pekerjaan yang menjadi sebuah penghargaan individu
lebih dari ukuran umum kepuasan. Instrumen versi 1967 berbentuk panjang
memiliki 100 item pertanyaan. 100 pertanyaan mewakili 20 dimensi dengan 5
pertanyaan setiap dimensi. Adapun dimensi yang diukur seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Dua puluh dimensi MSQ
Dimension
Description
ability utilization
achievement
activity
advancement
authority
company
compensation
co-workers
creativity
independence
the chance to use one’s abilities
feelings of accomplishment
being able to stay busy on the job
the opportunity to advance
the chance to direct others
satisfaction with company policies
pay for the work done
relationships with co-workers
the chance to try own work methods
the opportunity to work alone
moral values
recognition
responsibility
not having violate conscience at work
praise received from work done
freedom to use own judgment
security
social service
social status
supervision (HR)
supervision (technical)
steady employment of the job
the chance to do things for others
the opportunity to be “somebody”
way the boss handles employees
competence of supervisor
variety
working conditions
the chance to do different things occasionally
all facets of the work environment
Sumber : Manual MSQ
Sedangkan versi 1977 terdiri dari 20 item pertanyaan dengan skala likert 15. Dua puluh item pertanyaan diambil dari 100 item pertanyaan versi bentuk
panjang yang mewakili setiap dimensi. Kepuasan kerja berhubungan langsung
dengan kinerja, sikap, motivasi dan produktivitas. Nilai dari MSQ secara akurat
mengukur kepuasan kerja, dan mengidentifikasi area khusus (20 dimensi diatas)
yang berpengaruh kuat terhadap kinerja dan perilaku manusia di tempat kerja.
2.3
Komitmen Organisasi
Komitmen organisasi (organizational commitment) sangat penting karena
organisasi membutuhkan karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang
tinggi agar organisasi dapat terus bertahan serta meningkatkan jasa dan produk
yang dihasilkannya. Karyawan yang memiliki komitmen terhadap organisasinya
maka berdampak pada komitmen terhadap tugas-tugasnya. Perusahaan harus
berusaha agar karyawan yang berada di dalam organisasinya tetap komitmen
terhadap organisasi. Komitmen karyawan ditentukan oleh dan dapat diukur
melalui empat hal yakni kepuasan karyawan, motivasi karyawan, loyalitas
karyawan dan rasa bangga karyawan terhadap/bekerja di perusahaan. Komitmen
organisasi merupakan salah satu tingkah laku dalam organisasi yang banyak
diteliti, baik sebagai variabel terikat, variabel bebas maupun variabel mediator.
Menurut Greenberg dan Baron (1993) mengemukakan bahwa karyawan yang
memiliki komitmen yang tinggi adalah karyawan yang lebih stabil dan lebih
produktif sehingga pada akhirnya lebih menguntungkan bagi perusahaan.
Mowday et al. (1982) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai “ kekuatan
relatif dari identifikasi karyawan pada dan keterlibatan didalam sebuah organisasi
khusus.” Definisi ini menunjukkan bahwa komitmen organisasi bukan hanya
loyalitas pasif namun melibatkan hubungan aktif dan keinginan karyawan untuk
memberikan kontribusi yang berarti pada organisasi.
Allen dan Meyer (1990) mengemukan tipologi terakhir dari komitmen
organisasi. Ada tiga komitmen yang dikemukan yakni komitmen afektif (affective
commitment), komitmen kontinuans (continuance commitment), dan komitmen
normatif (normative commitment).
Adapun definisi dan penjelasan dari setiap komponen komitmen organisasi
organisasi adalah sebagai berikut.
1.
Komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan,
identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Disini
karyawan dituntut memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja
dalam organisasi karena mereka ingin melakukan hal tersebut.
2.
Komitmen kontinuans berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau
justru meninggalkan organisasi. Karyawan yang bekerja berdasarkan
komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh
melakukan hal tersebut karena tidak ada pilihan lagi.
3.
Komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap dalam
organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa
bahwa mereka wajib bertahan dalam organisasi.
Allen dan Meyer (1990) juga membagi faktor penyebab (anteseden)
komitmen organisasi berdasarkan ketiga komponen komitmen organisasi, yaitu;
1.
Anteseden komitmen afektif terdiri dari karakteristik pribadi, karakteristik
pribadi, karakteristik jabatan, pengalaman kerja, serta karakteristik struktural.
Karakteristik struktural meliputi besarnya organisasi, kehadiran serikat kerja,
luasnya kontrol, dan sentralisasi otoritas. Dari empat faktor penyebab
tersebut, anteseden yang paling berpengaruh adalah pengalaman kerja,
terutama pengalaman atas kebutuhan psikologis untuk merasa aman dalam
organisasi dan kompeten dalam menjalankan peran kerja.
2.
Anteseden komitmen kontinuans terdiri dari besarnya dan/atau jumlah
investasi atau taruhan sampingan individu, dan persepsi atas kurangnya
alternatif pekerjaan lain. Karyawan yang merasa telah berkorban ataupun
mengeluarkan investasi yang besar terhadap organisasi akan merasa rugi jika
meninggalkan organisasi. Begitupun karyawan yang merasa tidak memiliki
pekerjaan lain yang lebih menarik akan merasa rugi jika meninggalkan
organisasi karena belum tentu memperoleh sesuatu yang lebih baik dari apa
yang diperoleh selama ini.
3.
Anteseden komitmen normatif terdiri dari pengalaman individu sebelum
masuk dalam organisasi serta pengalaman sosialisasi selama berada didalam
organisasi. Komitmen normatif karyawan dapat tinggi jika sebelum masuk
kedalam organisasi, orang tua karyawan yang juga bekerja dalam organisasi
tersebut menekankan pentingnya kesetiaan pada organisasi. Agar komitmen
normatif karyawan tinggi maka organisasi harus menanamkan kepercayaan
pada karyawan bahwa organisasi mengharapkan loyalitas.
Dari uraian anteseden penelitian Allen dan Meyer (1990) dapat disimpulkan
bahwa anteseden komitmen organisasi terdiri dari karakteristik personal,
karakteristik pekerjaan, karakteristik organisasi, serta pengalaman karyawan
terhadap organisasi. Dalam mengukur komitmen organisasi harus merefleksikan
ketiga komponen komitmen tersebut diatas. Salah satu pengukuran yang terkenal
dan merefleksikan ketiga komponen tersebut adalah Organizational Commitment
Questionnare (OCQ) yang dibuat oleh Allen dan Meyer (1990). Alat ukur ini
telah direvisi beberapa kali dan revisi terakhir dilakukan Meyer dan Allen pada
tahun 1997. Alat ini terdiri dari 18 item pertanyaan, dimana setiap komponen
diwakili oleh 6 item. Skala komitmen organisasi ini memiliki skor 1-5.
2.4 Hubungan Iklim Organisasi, Kepuasan Kerja dan Komitmen
Ada sejumlah studi yang meneliti hubungan antara iklim organisasi dan
kepuasan kerja, serta komitmen organisasi. Penelitian pada perusahaan bisnis
dilakukan oleh Castro dan Martin (2010) yang menguji hubungan iklim organisasi
dan kepuasan kerja pada organisasi informasi dan teknologi di Afrika Selatan.
Dengan menggunakan metode stepwise regression menunjukkan bahwa 9 dari 12
dimensi iklim organisasi menunjukkan hubungan positif yang kuat terhadap
variabel kepuasan kerja. Pearson product moment correlation menunjukkan
bahwa ada 11 dimensi yang mempengaruhi individu secara langsung dan tidak
langsung. Dimensi yang mempengaruhi individu secara langsung adalah
pengembangan individu, interpersonal yang dimiliki, karyawan yang baik dan
pekerjaan yang menarik dan menantang. Sedangkan dimensi yang tidak
mempengaruhi secara langsung pada individu adalah kepemimpinan manajer yang
dekat, perbedaan dan transformasi, image, upah, lingkungan pisik kerja serta
pengakuan dan penghargaan. Bhaesajsanguan (2010) juga menguji hubungan
antara iklim organisasi, kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan cara
meneliti perilaku teknisi Thai pada sektor swasta telekomunikasi Thai. Data
dianalisis dengan SEM Lisrel menunjukkan bahwa tingkah laku teknisi tergantung
pada iklim organisasinya sehingga berhubungan positif terhadap kepuasan kerja
teknisi serta memperlihatkan juga bahwa iklim organisasi mempunyai hubungan
positif
dengan
komitmen
organisasi
melalui
kepuasan
kerja.
Dengan
menggunakan T-test dan ANOVA menunjukkan bahwa profil demografi tidak
signifikan terhadap iklim organisasi. Adapun variabel profil demografi yang
dipakai adalah gender, umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, departemen,
gaji, posisi, masa kerja. Chen (2005) dalam disertasinya yang berjudul “Factors
Affecting Job Satisfaction of Public Sector Employees in Taiwan” dimana
penelitian membandingkan berbagai macam faktor demografi dari karyawan
pemerintahan publik di Taiwan yang dikaitkan dengan tingkat kepuasan kerja dan
motivasi. Penelitian ini menggunakan Minnesota Satisfaction Quesionnaires
(MSQ) short form untuk mengukur kepuasan kerja. Hasil penelitian yang
mendukung hipotesa adalah umur, masa jabatan pada pekerjaan, posisi pekerjaan
merupakan hal yang membedakan tingkat kepuasan kerja. Sedangkan untuk
dugaan bahwa gender juga akan berpengaruh kuat pada tingkat kepuasan tidak
mendukung hipotesa, justru menunjukkan bahwa perbedaan gender tidak memiliki
pengaruh yang kuat.
Crespell (2007) dalam disertasinya tentang iklim organisasi yang berjudul
“Organizational Climate, Innovativeness, and Firm Performance: Insearch of a
conceptual Framework” bahwa iklim organisasi memiliki hubungan positif dan
signifikan terhadap inovasi dan kinerja perusahaan. Inovasi adalah elemen inti
dari strategi perusahaan dan iklim organisasi membantu perkembangan untuk
mempengaruhi inovasi yang positif dari inovasi dan kinerja dari perusahaan. Iklim
organisasi untuk inovasi dikarakteristikkan oleh otonomi pada tingkat yang tinggi
dan dorongan, tim yang kohesi, terbuka untuk perubahan dan pengambilan resiko,
pekerjaan yang menarik, dan tersedia sumber yang cukup. Lindberk (2004) dalam
disertasinya “ A Study of The Relationship Between Leadership Styles and
Organizational Climate and The Impact of Organizational Climate on Businness
Results” dimana ada dua hal yang diuji yakni pertama menguji hubungan antara
gaya kepemimpinan dan iklim organisasi. Kedua menguji iklim organisasi dengan
hasil bisnis. Penelitian ini dilakukan untuk pimpinan pada level utama pada
perusahaan asuransi. Analisis dilakukan dengan menggunakan korelasi dan regresi
berganda dimana dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara gaya
kepemimpinan dan beberapa dimensi iklim organisasi. Khususnya gaya
kepemimpinan yang berfokus pada hubungan yang berhubungan dengan dimensi
iklim organisasi. Semua dimensi iklim organisasi berhubungan dengan gaya
kepemimpinan kecuali komitmen. Tidak ada perbedaan gaya kepemimpinan dan
iklim organisasi berdasarkan gender, tahun menjabat, atau sejumlah laporan.
Dari 4 (empat) penelitian dilakukan pada perusahaan bisnis diatas terhadap
variabel iklim organisasi, kepuasan dan komitmen dapat disimpulkan bahwa;
1.
Dengan metode stepwise regression dan SEM Lisrel hasil penelitian
menunjukkan bahwa iklim organisasi memiliki hubungan yang kuat terhadap
kepuasan kerja serta komitmen organisasi. Semua dimensi iklim organisasi
berhubungan dengan gaya kepemimpinan kecuali komitmen.
2.
Profil demografi tidak signifikan terhadap iklim organisasi.
3.
Secara umum bahwa profil demografi menunjukkan pengaruh yang kuat
terhadap kepuasan kerja.
Penelitian pada perusahaan non bisnis khususnya pada pendidikan tinggi
mengenai ketiga variabel ini dilakukan Seniati (2006) yang meneliti pengaruh
masa kerja, trait kepribadian, kepuasan kerja dan iklim psikologi terhadap
komitmen dosen pada Universitas Indonesia. Dengan menggunakan SIMPLIS
atau Simple Lisrel diperoleh hasil (1) model teoritik yang terdiri dari masa kerja,
trait kepribadian, kepuasan kerja, dan iklim psikologis sesuai (fit) untuk
menjelaskan komitmen dosen pada universitas (2) Masa kerja berpengaruh
langsung yang positif dan bermakna terhadap komitmen dosen pada universitas
(3) Ada pengaruh yang positif dan bermakna dari kepuasan kerja terhadap
komitmen dosen pada universitas. Arabaci (2010) yang menguji persepsi staf
akademik dan administrasi tentang iklim organisasi pada Fakultas Pendidikan
Universitas Firat menunjukkan hasil bahwa staf akademik lebih memiliki persepsi
yang positif terhadap iklim organisasinya dibandingkan dengan staf administrasi.
Penemuan lain yang didapat dari penelitian ini bahwa wanita dan staf senior
memiliki persepsi positif terhadap iklim organisasi dibandingkan dengan pria dan
staf junior. Adenike (2011) juga meneliti iklim organisasi sebagai prediksi
kepuasan kerja dari staf akademik Universitas Swasta Nigeria. Hasil dianalisis
dengan SEM Amos 18.0 menunjukkan bahwa variabel iklim organisasi dan
kepuasan kerja mempunyai hubungan positif yang signifikan. Penelitian Gul
(2008) yang mengukur 5 dimensi iklim organisasi yakni rule and discipline,
democracy, social and culture factors, organizational image dan organizational
goals pada Fakultas Teknologi Pendidikan Universitas Kocaeli, Turki
menunjukkan bahwa 5 dimensi terdapat perbedaan signifikan antara akademisi
yang berada pada jabatan manajemen dan yang bukan pada jabatan manajemen.
Dari empat penelitian pada perguruan tinggi diatas dapat disimpulkan
bahwa;
1.
Pada penelitian di perguruan tinggi variabel iklim organisasi dan kepuasan
kerja juga menunjukkan hubungan positif yang signifikan.
2.
Masa kerja berpengaruh langsung positif artinya semakin lama karyawan
bekerja maka semakin tinggi komitmen pada perguruan tinggi.
3.
Staf akademik lebih memiliki persepsi yang positif terhadap iklim
organisasinya dibandingkan dengan staf administrasi.
4.
Pada perguruan tinggi wanita dan staf senior memiliki persepsi positif
terhadap iklim organisasi dibandingkan dengan pria dan staf junior.
5.
Ada perbedaan signifikan antara akademisi yang berada pada jabatan
manajemen dan yang bukan pada jabatan manajemen mengenai iklim
organisasi.
Jurnal
dari
Natarajan
(2011)
yang
berjudul”
Relationship
of
Organizational Commitment with Job Satisfaction” ditemukan bahwa komitmen
afektif merupakan prediktor yang kuat untuk menghitung varians intrinsik,
ekstrinsik dan total kepuasan kerja. Lebih lanjut komitmen dihitung untuk
beberapa varians pada kasus ekstrinsik dan total kepuasan. Oleh karena
disimpulkan bahwa karyawan ditunjukkan tingkat komitmen normatif yang tinggi
akan memiliki kepuasan kerja intrinsik dan komitmen continuance yang tinggi
ditunjukkan oleh ekstrinsik dan total kepuasan kerja. Reichers (1985) pada
jurnalnya yang berjudul “A Review and Reconceptualition of Organizational
Commitment” mengemukakan bahwa pengalaman karyawan menimbulkan
perbedaan komitmen yang merupakan tujuan dan nilai grup. Disertasi Nayak
(2002) yang berjudul Job Satisfaction and Organizational Commitment as
Factors of Turnover Intention of IRS Procurement Employees, penelitian ini
bertujuan menilai kepuasan kerja karyawan serta menilai 4 item dari komitmen
affectiv. Penelitian menguji kepuasan kerja dan komitmen organisasi sebagai
faktor tujuan pengantian karyawan IRS Procurement. Pengaruh dari ras, gender
dan umur dalam kepuasan dan komitmen diuji dalam penelitian ini. Hasil
penelitian ditemukan bahwa tujuan pengantian karyawan IRS Procurement tidak
berhubungan signifikan terhadap kepuasan kerja dan komitmen karyawan. Begitu
juga karyawan pria dan wanita di organisasi IRS Procurement tidak mengalami
perbedaan tingkat signifikan kepuasan kerja dan komitmen. Lebih lanjut,
dibuktikan bahwa bangsa kulit putih dan bukan bangsa kulit putih di organisasi
IRS Procurement tidak mengalami perbedaan tingkat signifikan kepuasan kerja
dan komitmen.
Penelitian mengenai kepuasan dan komitmen diatas dapat disimpulkan
bahwa;
1.
Komitmen afektif merupakan prediktor yang kuat untuk menghitung total
kepuasan kerja. Sedangkan pengalaman karyawan menimbulkan perbedaan
komitmen setiap karyawan.
2.
Kepuasan kerja dan komitmen karyawan tidak berhubungan signifikan
terhadap pergantian karyawan.
Pada tesis Sunarsih (2010) menemukan bahwa adanya hubungan budaya
organisasi dan kepuasan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap
komitmen organisasi staf administrasi UT. Temuan ini menunjukkan bahwa
semakin adaptif budaya organisasi dan semakin baik kepuasan kerja, maka
semakin tinggi komitmen organisasi. Konsep budaya dan iklim organisasi
mempunyai pengertian yang berbeda walaupun keduanya saling berhubungan.
Budaya organisasi berakar pada nilai-nilai, norma, kepercayaan, dan asumsi
organisasi. Budaya organisasi dapat berkembang dan berubah namun relatif tetap.
Mengubah budaya organisasi memerlukan sumber daya yang besar dan waktu
yang lama. Budaya organisasi secara langsung dapat mempengaruhi perilaku
anggota organisasi.
Iklim organisasi melukiskan lingkungan internal organisasi dan berakar
pada budaya organisasi. Jika budaya organisasi relatif tetap dalam jangka panjang,
iklim organisasi bersifat relatif sementara dan dapat berubah dengan cepat.
Umumnya iklim organisasi dengan mudah dapat dikontrol oleh pemimpin atau
manajer. Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi mengenai
dimensi-dimensi iklim organisasi. Iklim organisasi mempengaruhi perilaku
anggota organisasi yang kemudian mempengaruhi kinerja mereka serta kinerja
organisasi. Jika penerapan budaya organisasi dapat mempengaruhi perilaku
organisasi secara positif, maka pengaruh iklim organisasi terhadap perilaku
organisasi dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif.
Denison (1996) mengemukan telaah pendapat para pakar mengenai kedua
konsep diatas. Berdasarkan telaah literatur, dia mengemukakan perbedaan antara
budaya organisasi dan iklim organisasi antara kedua konsep tersebut. Adapun
perbandingan antara budaya dan iklim organisasi menurut Denison (1996)
terdapat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Perbandingan budaya dan iklim organisasi
No.
Perbedaan
Budaya Organisasi
1.
Epitemologi
Kontekstual dan ideografis
2.
Sudut pandang
3.
4.
Metodologi
Level analisa
5.
6.
7.
Orientasi waktu
Fondasi teoritis
Bidang ilmu dasar
Emik (sudut pandang anggota
organisasi)
Observasi lapangan kualitatif
Berdasarkan nilai-nilai dan
asumsi
Evolusi historis
Konstruksi, teori kritis
Sosiologi dan antropologi
Iklim Organisasi
Komparatif dan
nomotetik
Etik (sudut pandang
peneliti)
Data survei kuantitatif
Manifetasi level
permukaan organisasi
Jepretan ahistorikal
Teori lapangan Lewinian
Psikologi
Sumber: Denison (1996)
Pada awalnya, penelitian budaya organisasi hanya menggunakan metode
kualitatif atau naturalistis. Dimana penelitian budaya organisasi merupakan
penelitian mengenai proses sejarah tumbuhnya nilai-nilai, asumsi, dan
kepercayaan organisasi. Akan tetapi perkembangan selanjutnya penelitian budaya
organisasi menggunakan metode kuantitatif, yaitu memfoto keadaan budaya
organisasi dalam waktu tertentu. Sebaliknya, penelitian iklim organisasi yang
pada awalnya hanya menggunakan metode kuantitatif yaitu memotret persepsi
anggota organisasi mengenai lingkungannya namun para peneliti iklim organisasi
kemudian juga menggunakan metode kualitatif. Jadi sekarang telah terjadi
pergeseran penggunaan metodologi dalam meneliti kedua konsep diatas.
Stringer (2002) menyatakan bahwa budaya dan iklim organisasi
merupakan dua hal yang berbeda. Budaya menekankan diri pada asumsi-asumsi
tidak diucapkan yang mendasari organisasi, sedangkan iklim organisasi berfokus
pada persepsi-persepsi yang masuk akal atau dapat dinilai, terutama yang
memunculkan motivasi, sehingga mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja
anggota organisasi. Menurut Stringer (2002) budaya organisasi mempunyai
banyak variabel sehingga terlalu besar untuk dikelola secara normal.
Konsekuensinya adalah perilaku dari budaya organisasi lebih nyata daripada
budaya organisasi sendiri. Mengubah budaya organisasi lebih sulit daripada
mengubah perilaku anggota organisasinya. Iklim organisasi lebih mudah diakses
dan diukur ketika mengubah perilaku di tempat kerja. Oleh karena itu, untuk
mengubah budaya organisasi dapat dimulai dengan mengubah iklim organisasi.
Berdasarkan telaah literatur diatas dapat menjawab pertanyaan mengapa dalam
penelitian ini, iklim organisasi yang menjadi variabel utama penelitian bukan
budaya organisasi. Salah satu hal yang dipertimbangkan adalah budaya organisasi
memiliki banyak dimensi dan adanya keterbatasan peneliti menguasai dimensi
tersebut sedangkan iklim organisasi memiliki dimensi yang lebih sedikit dan
mudah diukur.
Download