Antara Harmoni dan Konflik

advertisement
Agama Buddha Masa Kini : Antara Harmoni dan Konflik
oleh : Putu Finsen Darmayana
STABN Sriwijaya
ABSTRAK
Tujuan artikel ini adalah untuk melihat uniknya perkembangan agama Buddha yang
sangat harmonis dan bagaimana mereka menghadapi gesekan-gesekan karena perbedaan
dalam konsep dan doktrin. Hubungan yang baik antara umat Buddha di Indonesia dapat
ditelisik dari cara mereka menyadari keberadaan komunitas Buddhis yang memiliki
persamaan (equality) dan perbedaan (disparity) dalam aliran atau sekte. Harmonisasi umat
Buddha di Indonesia didasarkan pada adanya sikap saling menghormati dan saling
menghargai atas perbedaan dari masing-masing konsep aliran.
Kata Kunci: Perkembangan agama Buddha, Perbedaan Aliran, Perbedaan Konsep,
Potensi Konflik.
Pendahuluan
Dari awal kemunculannya hingga saat ini agama Buddha jarang terlibat konflik. Hal ini
dikarenakan prinsip-prinsip dasar welas asih dan menyayangi yang melekat pada ajaran
agama Buddha. Agama Buddha juga memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi dengan
banyaknya kegiatan bakti sosial dan amal untuk membantu sesama. Agama Buddha sangat
jarang dikaitkan dengan isu-isu konflik antaragama yang mengarah ketindakanan arkisme.
Namun, bukan berarti agama Buddha bebas dari konflik dan permasalahan. Konflik dan
permasalahan justru datang lebih dominan dari intern agama Buddha.
Potensi konflik intern di dalam agama Buddha sebenarnya sudah terjadi sejak zaman
Sang Buddha masih hidup sampai dengan saat ini. Dalam Upakilesa Sutta, Majjhima Nikaya
7: 128, terdapat kejadian dimana para bhikkhu di Kosambi yang saling berselisih paham
tentang ajaran Buddha. Konflik yang terjadi pada zaman Buddha terus mengakar hingga kini,
baik gesekan antarsekte maupun kelompok/organisasi. Konflik yang terjadi seperti antara
Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) dengan Konferensi Agung Sangha Indonesia
(KASI) yang tak kunjung padam adalah contohnya. Konflik tersebut adalah bukti bahwa
dalam internal organisasi Buddhis terjadi gesekan. Bukti lain adalah reaksi keras umat
Buddha terhadap aliran Maitreya. Menurut Sapardi, dkk. (2012) reaksi umat Buddha atas
aliran tersebut beragam, ada yang biasa saja hingga menolak keras dan menuntut untuk
dibubarkan. Artinya, setiap aliran masih saling mengklaim bahwa kebenaran ajaran hanya
milik kelompoknya, sedangkan lainnya dianggap salah.
Penulis mengangkat tema ini karena menyadari bahwa banyak sekali konflik intern di
dalam agama Buddha di Indonesia. Konflik intern ini apabila dibiarkan berlanjut
menyebabkan agama Buddha akan semakin terpecah-belah. Dampak yang paling besar
adalah Dhamma dan Vinaya akan hilang di muka bumi ini. Oleh karena itu, perlu diketahui
lebih lanjut bagaimana potensi konflik yang ada di internal agama Buddha, sehingga konflik
tersebut dapat dicegah. Hal itu terkait fakta bahwa Buddha telah menjelaskan secara
gamblang cara untuk mengatasi konflik, kini bagaimana umat Buddha mengaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Potensi Konflik Intern Agama Buddha
Potensi konflik intern yang terjadi di dalam agama Buddha dapat bersumber dari tiga
hal. Pertama, konflik keyakinan yang bersumber dari nilai, yakni perbedaan rasa percaya,
keyakinan, dan ideologi. Seperti perbedaan konsep ajaran dalam Mahayana dan Theravada.
Mahayana memiliki konsep dan meyakini adanya alam surga Sukhavathi tempat berdiamnya
Buddha Amitabha. Namun, di dalam aliran Theravada tidak ada alam surga Sukhavathi,
karena mereka memiliki konsep bahwa Buddha setelah parinibbana tidak akan terlahir lagi
ke alam manapun. Perbedaan penafsiran konsep ajaran juga terjadi di antara sekte-sekte lain
dalam agama Buddha. Semestinya, umat Buddha menganggap perbedaan pemaknaan ajaran
adalah hal yang wajar mengingat sinkretisme akan memunculkan penafsiran baru karena
pertemuan agama dan budaya lokal.
Kedua, konflik yang bersumber dari ketidakcocokan dalam organisasi. Hal ini pernah
tejadi di zaman Sang Buddha, ketika Bhikkhu Devadatta ingin menjadi ketua Sangha.
Namun, karena tidak disetujui oleh Sang Buddha, ia berusaha memecah belah Sangha dan
mendirikan kelompok baru. Seharusnya, hubungan antar komunitas yang dilandasi emosi
keagamaan dapat membentuk ikatan solidaritas yang kuat (Masykur, 2010:6). Meskipun
demikian, emosi keagamaan dapat menjadi sumber perpecahan karena mudah sekali disulut.
Setelah mengetahui bahwa emosi keagamaan bagai pisau bermata dua, seharusnya antar
kelompok agama Buddha selalu mengedepankan komunikasi dan dialog keagamaan.
Ketiga, konflik yang belum terpecahkan, sehingga seperti api dalam sekam, yang setiap
waktu dapat membara. Uniknya, konflik internal agama Buddha tidak sampai mengarah pada
tindakan yang menjurus kearah anarkisme. Konflik seperti inilah yang seharusnya diwaspadai
agar tidak terjadi konflik yang lebih besar dan dapat menyebabkan perpecahan agama
Buddha di Indonesia.
Di dalam Samagamma Sutta, Majjhima Nikaya 6: 104, Buddha telah menjelaskan
mengenai 6 akar perselisihan yang dapat merugikan banyak pihak dan menjadi sumber
penderitaan bagi para dewa dan manusia. Akar tersebut diantaranya sifat menghina dan
menguasai, dengki dan tamak, menipu dan curang, memiliki keinginan jahat dan pandangan
salah, melekat pada pandangan-pandangannya sendiri, mengukuhinya dengan erat dan
melepaskannya dengan sulit. Ini adalah hal-hal yang dapat memicu terjadinya konflik di
dalam masyarakat terutama di kalangan antar umat Buddha.
Potensi konflik muncul semata-mata hanya karena perbuatan seorang oknum untuk
kepentingan pribadinya dan bukan untuk kepentingan umum. Oknum tersebut masih
memiliki rasa egoisme dan fanatisme akan alirannya, sehingga mengatasnamakan sebuah
aliran sebagai alat mencari massa untuk memperkeruh keadaan. Pihak luar yang destruktif
terhadap ajaran dan umat Buddha akan semakin memanfaatkan hal ini untuk memecah belah
kerukunan antar umat Buddha dengan cara melakukan provokasi sehingga umat pun terpecah
menjadi beberapa golongan atau kelompok.
Bagaimana keharmonisan dapat terwujud?
Keharmonisan akan terwujud apabila semua elemen masyarakat Buddhis memahami
bahwa agama Buddha mengalami perkembangan, dimana dalam perkembangannya terdapat
banyak perbedaan baik dalam segi teori maupun praktek namun memiliki tujuan yang sama.
Kesadaran akan kemajemukan atau pluralisme yang berarti kesediaan menerima
kemajemukan untuk kemudian terlibat secara aktif dalam mempertahankan kemajemukan
tersebut sebagai sesuatu yang harus diterima, (A’la. Dkk, 2005: 232). Sesuatu yang dikatakan
plural senantiasa terdiri dari banyak hal dan jamak. Dalam agama Buddha seharusnya dapat
menerima perbedaan ini ini karena dalam Dhammapada, Khuddhaka Nikāya Chapter XX
Verse 276 (Norman, 2004: 41) dengan peryataan: You Must show energy. The Tathāgatas are
(only) teachers. Those who have entered (on The Path), meditative, will be released from
Māra’s fetter. Dengan kata lain, ajaran yang diajarkan oleh Buddha hanyalah jalan untuk
mencapai pembebasan. Kebebasan bagi pengikutnya untuk menentukan jalan mana yang
akan ia pilih untuk mencapai pembebasan tersebut, maka dari itu perbedaan konsep tentang
ajaran Buddha seharusnya bukanlah sebuah masalah, melainkan pilihan bagi umat Buddha
untuk memilih jalan mana yang akan mereka tempuh untuk mencapai pembebasan. Kembali
lagi pada individu yang menjalaninya, kebebasan hanyalah dapat dicapai bagi dia yang mau
menjalaninya.
Untuk menciptakan kerukunan perlu menjalin solidaritas dan menumbuhkan rasa
persaudaraan antar umat Buddha. Untuk menjalin solidaritas persaudaraan dan kebersamaan
yang solid antar sesama umat buddha dengan berpedoman pada Sabda Buddha dalam
Dhammapada BAB I syair kelima: “Kebencian tidak pernah berakhir apabila dibalas
dengan kebencian. Tetapi kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci
(cinta kasih dan kasih sayang). Inilah hukum abadi”, (Tim penulis, 2004: 3). Kebencian, iri
hati, serakah, dan kesombongan akan berakhir kalau kita mau meninggalkan dan
mengabaikan segala bentuk rasa egoisme dan individualisme demi suasana hidup nyaman
yang penuh dengan hormat menghormati dan toleransi sehingga tercapainya persatuan di
dalam agama Buddha.
Penutup
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa konflik-konflik yang sering terjadi di
dalam sekte agama Buddha berasal dari perasaannya yang melekat pada pandanganpandangan mereka terhadap sesuatu yang seharusnya dipahami dan dimengerti sebagaimana
adanya. Janganlah bergantung pada perasaan-perasaan yang muncul, sebab itu akan berakibat
pada munculnya sumber perselisihan, sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha di dalam
Mahanidana Sutta, Digha Nikaya 15: 190.
Keharmonisan dan suasana yang kondusif adalah harapan yang ingin dicapai oleh
semua individu. Dalam buku “The Path To Freedom” (yang dikutip dalam buku Tragedi
Manusia dan Kemanusiaan), oleh Y.M. Dalai Lama (dalam Liaw) yaitu, pelayanan
seharusnya diberikan kepada mereka yang memang lemah dan perlu sandaran, bukan dengan
cara memperbudak dan memperburuk keadaan. Agar tercapainya keharmonisan maka umat
Buddha idealnya mampu memberikan perhatian dan pelayanan bagi sesamanya. Harapan
menuju keharmonisan ini akan tercipta apabila semua faktor dapat berjalan dengan sinergis
dengan cara belajar memahami diri sendiri dan orang lain secara holistik.
Dengan memahami konsep perdamaian transendental ini niscaya keharmonisan akan
tercipta. Apabila ajaran Sang Buddha di terapkan dalam tiap-tiap sekte dalam Agama
Buddha, maka tidak akan ada perselisihan dan perbedaan pendapat yang harus di jadikan
sebuah alasan untuk terjadinya perpecahan di dalam agama Buddha. Umat Buddha harus
meninggalkan dan menanggalkan atribut sempit yang mengekang perdamaian, sehingga
Dhamma dan Vinaya yang di ajarkan oleh Sang Buddha akan tetap lestari.
DAFTAR PUSTAKA
Liaw, Ponijan. 2005. Tragedi Manusia Dan Kemanusiaan: Merajut Perdamaian Dalam
Perspektif Agama Buddha. Penerbit Dian Dharma.
Masykur. 2010. Pola Kerukunan Antar Umat Beragama: Studi atas Dialog Umat Islam dan
Kristen di Kota Cilegon Banten. Disampaikan pada Annual Conference On
Contemporary Islamic Studies.
Nanamoli dan Bodhi. 2008. Majjhima Nikaya 6 Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Vihara
Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Nanamoli dan Bodhi. 2008. Majjhima Nikaya 7 Kitab Suci Agama Buddha. Klaten: Vihara
Bodhivamsa dan Wisma Dhammaguna.
Norman, K. R. (Transld.). 2004. The Word of the Doctrine (Dhammapada). Oxford: The Pali
Text Society.
Sapardi, dkk. 2012. Respon Umat Buddha Terhadap Aliran Buddha Maitreya Di Indonesia.
Penelitian yang tidak diterbitkan.
Tim Penulis. 2005. Dhammapada. Jakarta: Dewi Kayana Abadi.
Walshe, Maurice. 1987. Khotbah-khotbah Panjang Sang Buddha : Digha Nikaya.
Terjemahan oleh Team Giri Mangala publication dan Team Dhamma Citta Press. 2009.
Dhamma Citta.
Download