وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ

advertisement
HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL
Penanya:
1. Ferry al-Firdaus, Dayeuhmanggung Rt. 01 / RW 05 Kec. Cilawu Garut
2. Wisnoe Warjana, Ngaglik Sleman Yogyakarta
Pertanyaan:
1. Mohon penjelasan menurut al-Qur’an dan al-Hadits tentang kawin hamil.
2. Bagaimana hukum menikahi wanita hamil, status anaknya dan siapa yang menjadi wali
(seandainya anaknya perempuan), jika di kemudian hari ia melakukan akad nikah?
Jawaban:
Ada dua pendapat tentang hukum mengawini perempuan yang sedang hamil, sedang ia
tidak mempunyai suami.
Pendapat pertama menyatakan, boleh mengawini perempuan yang sedang hamil yang
tidak mempunyai suami, apakah yang mengawini laki-laki penyebab kehamilan itu atau bukan,
asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Alasan mereka ialah tidak ada nash (al-Qur’an
dan al-Hadits) yang melarangnya, atau dengan kata lain bahwa perempuan hamil tidak termasuk
dalam kategori perempuan yang terhalang seorang laki-laki mengawininya.
Pada ayat 24 surat an-Nisa’, - setelah menyebutkan perempuan-perempuan yang tidak
boleh dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu ayat 22, 23, dan 24, - Allah Swt menegaskan bahwa
dibolehkan seorang laki-laki mengawini perempuan-perempuan lain selain yang telah
disebutkan. Allah Swt berfirman:
.]44 :)4( :‫ [النسآء‬...
‫ َوأ ُِح َّل لَ ُك ْم َما َوَرآءَ َذلِ ُك ْم‬...
Artinya: “… dan dihalalkan bagimu selain yang demikian …” [QS. an-Nisa’ (4): 24].
Pada ayat-ayat yang lain disebutkan perempuan-perempuan lain selain yang tersebut pada
ayat 22, 23, dan 24 di atas yang haram dikawini oleh seorang laki-laki, yaitu perempuan musyrik
[al-Baqarah (2): 221], perempuan dalam masa iddah sedang ia masih mengalami masa haidl [alBaqarah (2): 228], perempuan yang telah di talak tiga kali oleh suaminya, ia haram dikawini
bekas suaminya, kecuali telah kawin dengan laki-laki lain kemudian bercerai dan habis iddahnya
[al-Baqarah (2): 230], perempuan yang dalam masa iddah karena suaminya meninggal dunia [alBaqarah (2): 235], perempuan yang tidak mempunyai masa haidl lagi dan perempuan dalam
masa iddah karena hamil [ath-Thalaq (65): 4], mengawini wanita sebagai istri kelima [an-Nisa’
(4): 3], dan perempuan musyrik [an-Nur (24): 3]. Hadits menyatakan bahwa dilarang seorang
laki-laki mengumpulkan sebagai istri seorang perempuan dengan saudara perempuan bapaknya
atau seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya.
Ayat-ayat dan hadits di atas merupakan tambahan (ziyadah) terhadap perempuanperempuan yang haram dikawini yang telah disebutkan pada ayat 22, 23, dan 24 surat an-Nisa’.
Ziyadah nash yang qath‘iyyuts-tsubut terhadap nash yang qath‘iyyuts-tsubut dibolehkan. Pada
ayat-ayat dan hadits tersebut tidak terdapat perempuan hamil yang tidak mempunyai suami.
Karena itu mereka berpendapat bahwa boleh menikahi wanita hamil yang tidak mempunyai
suami asal lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
Pendapat kedua menyatakan bahwa perempuan hamil tidak boleh dikawini kecuali oleh
laki-laki yang menyebabkan kehamilannya atau oleh bekas suaminya. Alasan mereka sebagai
berikut:
Bila seorang istri yang masih mengalami masa haidl ditalak oleh suaminya, hendaklah ia
menunggu tiga kali quru’ (kata quru’ dapat berarti suci atau haidl). Selama masa iddah itu ia
tidak boleh kawin dengan laki-laki lain [al-Baqarah (2): 228]. Lanjutan ayat ini menerangkan
hikmah larangan itu, yaitu agar diketahui dengan jelas apakah bekas istri mengandung atau tidak.
Selanjutnya dinyatakan bahwa bekas suami boleh rujuk dalam masa iddah ini jika ia
menghendaki ishlah. Dari lanjutan ayat ini dipahami bahwa kebolehan bekas suami rujuk kepada
bekas istrinya dalam masa iddah ini adalah karena seandainya bekas istri dalam keadaan hamil
tidak ada masalah terhadap anak yang dikandungnya. Dengan demikian akan terjaga kepentingan
anak di kemudian hari terutama yang berhubungan dengan nafaqah, pengasuhan, pendidikan dan
hak waris dari si anak. Lengkapnya firman Allah Swt itu ialah:
ٍ
ِ
ِ ِ َّ‫والْمطَلَّ َقات ي تَ رب‬
ْ ََ ُ
ُ‫ص َن بأَنْ ُفس ِه َّن ثَالَثَةَ قُ ُروء َوالَ ََي ُّل ََلُ َّن أَ ْن يَ ْكتُ ْم َن َما َخلَ َق اهلل‬
ُ َ
ِ
ِ
ِ ِ ِ ِ ِ
ِ ِ
‫ك إِ ْن‬
َ ‫َح ُّق بَِرِّده َّن ِِف َذل‬
َ ‫ِِف أ َْر َحام ِه َّن إ ْن ُك َّن يُ ْؤم َّن باهلل َوالْيَ ْوم اْآلخ ِر َوبُعُولَتُ ُه َّن أ‬
.]442 :)4( ‫ [البقرة‬... ‫حا‬
ْ ِ‫أ ََر ُادوا إ‬
ً َ‫صال‬
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah ...” [QS. al-Baqarah (2):
228].
ِ َ‫َْح‬
... ‫ض ْع َن َْحْلَ ُه َّن‬
‫أ‬
‫ال‬
ْ ‫ت اْأل‬
َ َ‫َجلُ ُه َّن أَ ْن ي‬
ُ َ‫ َوأُوال‬...
َ
Artinya: “…Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya …” [QS. ath-Thalaq (65): 4].
Jika ayat 4 surat ath-Thalaq ini dihubungkan dengan ayat 228 surat al-Baqarah di atas
maka dapat pula diambil kesimpulan bahwa perempuan dalam masa iddah masa hamil boleh
dirujuki (atau dikawini) oleh bekas suami yang telah mencerainya.
Untuk menetapkan hukum perkawinan wanita hamil dengan laki-laki yang
menyebabkan kehamilannya dapat dilakukan qias, yaitu dengan mengqiaskannya kepada
perkawinan (rujuk) bekas suami dengan bekas istrinya yang sedang hamil yang sedang dalam
masa iddah. Laki-laki yang menghamili perempuan itu dapat disamakan dengan laki-laki yang
merujuki istrinya dalam keadaan hamil. Perempuan yang dalam keadaan hamil dapat disamakan
dengan wanita yang dalam iddah karena hamil, demikian pula sperma yang dikandung oleh
kedua perempuan yang sedang hamil itu adalah sperma dari laki-laki yang menyebabkan
kehamilannya, sehingga faraj kedua wanita itu adalah tempat menyemaikan benih dari kedua
laki-laki itu. Faraj perempuan yang sedang ditaburi benih seorang laki-laki tidak boleh ditaburi
benih laki-laki lain, berdasarkan hadits:
ِ
ِ
ِ
ٍِ
‫ني‬
ِّ ‫صا ِر‬
َ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ح‬
ِّ ِ‫ت َم َع الن‬
ُ ‫ي قَ َال ُكْن‬
َ ‫َِّب‬
َ ْ‫َع ْن ُرَويْف ِع بْ ِن ثَابت اْألَن‬
ِ
ِ ْ‫اهلل والْي وِم ا‬
ِ ِ ِ ٍ ِ ِ
ِ
‫آلخ ِر أَ ْن‬
َْ َ ‫افْ تَتَ َح ُحنَ ْي نًا فَ َق َام فينَا َخطيبًا فَ َق َال الَ ََي ُّل ال ْم ِرئ يُ ْؤم ُن ب‬
ِ
ِْ ‫ع َغ‬
.]‫ [رواه أْحد‬... ‫ْيِه‬
َ ‫يَ ْسق َي َماءَهُ َزْر‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Ruwaifi‘ ibn Tsabit al-Anshariy, ia berkata: Aku pernah
bersama Nabi saw padaperang Hunain, beliau berdiri di antara kami dan berpidato: Dilarang
seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menumpahkan airnya (maninya) di atas
kebun orang lain …” [HR. Ahmad].
Berdasarkan keterangan di atas, maka Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
menganut pendapat kedua ini, yaitu perempuan hamil yang tidak mempunyai suami dilarang
melakukan akad nikah, kecuali dengan laki-laki yang menyebabkan kehamilannya. Hal ini sesuai
dengan kesimpulan pendapat yang berkembang pada Seminar Majelis Tarjih se-Jawa yang
berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1986.
Perlu diketahui bahwa pertanyaan serupa pernah pula dijawab oleh Tim Fatwa, dan
jawabannya dapat saudara baca pada buku Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 149 Cetakan VII
tahun 2003 dan Tanya Jawab Agama Jilid III halaman 180 Cetakan III tahun 2004. Wallahu
a’lam bish-shawwab. *km)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
E-mail: [email protected] dan [email protected]
Download