1_ Elly Lilianti_docx

advertisement
JST Kesehatan, April 2011, Vol.1 No.1 Hal : 77 – 84
ISSN 1411-4674
ANALISIS POLIMORFISME GEN VITAMIN D RECEPTOR (VDR) EXON 9 352
PADA PENDERITA KUSTA DI MAKASSAR
Polymorphism Analysis of Exon 9 352 Vitamin D Receptor Gene in Leprosy in Makassar
Hasri Alang, Moch. Hatta, Nasrum Massi
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Unhas, Makassar
(Email: ria_rocketmail.com)
ABSTRAK
Penyakit kusta (Leprosi) adalah penyakit menular dan merupakan penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kusta terdiri atas tipe MB dan PB. Gen VDR adalah gen
yang berperan dalam memodulasi respon imun terhadap serangan kuman pathogen. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui polimorfisme gen VDR exon 9 352 pada penderita kusta tipe PB, MB
dan orang normal, dan untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme gen VDR exon 9 352
dengan titer antibodi pada penderita penyakit kusta. Pemeriksaan BTA dilakukan untuk melihat basil
kuman yang ada pada sampel, sedangkan tes lateral flow dilakukan untuk melihat titer antibodi yang
terbentuk. Selain itu, juga dilakukan ekstraksi DNA dari nasal swab menggunakan proteinase K.
Hasil ekstraksi DNA ini digunakan dalam proses PCR nasal swab yang bertujuan untuk melihat
kuman pada nasal dan menggunakan primer forward S13 dan primer reverse G2. Ekstraksi DNA
darah dilakukan dengan Metode Boom. Deteksi polimorfisme selanjutnya dilakukan dengan teknik
PCR-RFLP menggunakan enzim Taq 1. Hasil produk dielektroforesis kemudian hasilnya dilihat
pada UV transilluminator untuk melihat pita yang terbentuk. Uji statistik Fisher Exact menunjukkan
nilai p= 0,036 (P≤ 0,05). Terdapat hubungan yang bermakna antara titer antibodi dengan
polimorfisme gen VDR.
Kata kunci: Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352
ABSTRACT
Leprosy is chronic infectious disease caused by Mycobacterium leprae. Leprosy consists of MB and
PB types. Vitamin D Receptor (VDR) gene has important immunoregulatory function in pathogenic
intracellular growth of Mycobacterium. The aims of this study were to investigate the polymorphism
of VDR Gene Exon 9 352 in PB type of MB leprosy and of normal person, and to analyse the
correlation of polymorphism of exon 9 352 of VDR gen with the antibody of a leprosy patient. Acid
Fast Bacteria test was carried out to discover bacillus microbes in the sample, and lateral flow test
was performed to figure out the formation of antibody. Meanwhile, DNA extraction from nasal swab
was done proteinase K. The result from extraction was used to PCR nasal swab to identify the nasal
microbes using primer forward S13 and reverse primer G2. Blood DNA extraction was carried out
with Boom method. Polymorphism detection was then conducted with PCR-RFLP technique using
Taq 1 enzyme. The product result was electrophoresised, and the resut was viewed on UV
transilluminator to identifie the band of interest. The study result showed that the Fisher Exact value
= 0,036 (P≤0,05). There was a significant correlation between the antibody titer and VDR gene
polymorphism.
Key Words: Gene Polymorphism, host susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352
77
Hasria Alang
ISSN 1411-4674
disease pada bangsa kulit putih. Di India,
VDR ditemukan berasosiasi dengan
resistensi pada penyakit kusta, sedangkan
di Gambia berhubungan dengan resistensi
pada tuberculosis. Jika keberadaan gen
VDR dapat dibuktikan bersesuaian
dengan infeksi Mycobacterium leprae
dan
kemudian
terjadi
perubahan
polimorfisme pada gen ini yang nantinya
akan mempengaruhi respon imun tubuh
seseorang terhadap infeksi penyakit
kusta, maka dapat dibuktikan bahwa gen
VDR mempunyai pengaruh dalam
mekanisme pertahanan tubuh terhadap
penyakit kusta.
Pada penelitian ini kami meneliti
gen VDR exon 9 kodon 352. Hal ini
didasarkan adanya penelitian yang
melaporkan
adanya
polimorfisme
genetik pada penderita kusta. Mutasi
pada gen VDR Exon 9 merupakan silent
mutation (mutasi tidak bermakna) yang
tetap menghasilkan asam amino glisin
walaupun terjadi perubahan basa nitrogen
dari Sitosin (C) menjadi Timin (T).
Berdasarkan uraian di atas, maka
dilakukan penelitian terhadap penderita
kusta di Makassar dengan menganalisis
gen VDR exon 9 352 dan hubungannya
dengan titer antibodi menggunakan
metode RFLP-PCR dan lateral flow
sebagai metode diagnosis penunjang
untuk penegasan pasti penyakit kusta.
PENDAHULUAN
Penyakit kusta (Leprosi) adalah
penyakit menular dan merupakan
penyakit infeksi kronis yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini
adalah tipe penyakit granulomatosa pada
saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernafasan atas, dan lesi pada kulit
adalah tanda yang biasa diamati dari luar.
Dapat menyebabkan lesi kulit, mati rasa,
dan kelumpuhan pada tangan dan kaki.
Selain itu, juga dapat merusak sistem
saraf bahkan menyebabkan terjadinya
kelainan bentuk dan cacat. Kusta juga
dikenal sebagai Hansen’s disease
(Fitness, dkk, 2003).
Mycobacterium leprae merupakan
obligat intraselular yang menginfeksi
makrofag dan sel Shwann. Dalam
melawan bakteri misalnya bakteri
penyebab
leprosy,
diperlukan
peningkatan respon selular dan humoral
(antibodi atau Ig M) dalam tubuh
(Kwenang, 2007& Fitness, et. al., 2002).
Terbentuknya
antibodi
ini
merupakan salah satu pula kerja
makrofag merangsang pembentukan
respon humoral sehingga antibodi IgM
dalam tubuh dapat terbentuk. Setelah
terjadi peningkatan antibodi penderita
maka kuman patogen akan mengalami
opsonisasi sehingga kuman menjadi lisis
dan penderita menjadi sembuh (Kresno,
2001).
Gen Vitamin D Receptor (VDR)
adalah gen yang berperan dalam
memodulasi respon imun terhadap
serangan kuman patogen. Bentuk aktif
dari
vitamin
D
yaitu
1,25
dihydroxyvitamin D3 atau 1,25(OH)2 D3,
tidak hanya mengatur kalsium dan
metabolisme tulang tetapi juga berperan
dalam mengatur system imun yang
dimediasi melalui pengikatan dengan
vitamin D receptor (VDR). VDR
terdapat dalam sitoplasma makrofag
(Roy, et.al., 1999)
Telah ada penelitian sebelumnya
yang menghubungkan antara VDR
dengan penyakit tuberculosis, kanker
prostat, osteophorosis dan chron’s
BAHAN DAN METODE
Sampel dalam penelitian ini adalah
sampel darah dan serum, kerokan kulit
dan nasal swab penderita lepra masingmasing 20 sampel untuk tipe PB dan 20
sampel untuk tipe MB serta sampel darah
orang normal 20 sampel.
a. Pewarnaan Basil tahan asam
(BTA)
Dilakukan pada sampel yang berasal
dari kerokan kulit yaitu dengan
melekatkan sampel di atas kaca
benda, kemudian ditetesi dengan
carbol fuchsin, kemudian dicuci lalu
ditetesi dengan alkohol dan terakhir
dengan menetesi Methylen blue. Lalu
78
Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352
ISSN 1411-4674
TE kedalam sedimen dan diinkubasi
selama 10 menit pada suhu 56 °C .
Kemudian dilakukan vortex dan
sentrifus ulang selama 30 menit pada
kecepatan 12.000 rpm dan diambil
supernatannya dan disimpan pada
suhu -20°C sebelum dilakukan
analisa PCR.
dikeringkan dan diamati di bawah
mikroskop
b. Tes Lateral Flow
Dilakukan pada serum penderita
lepra diambil 1 tetes
kemudian
diteteskan pada lubang. Setelah itu
ditambahkan dengan 5 tetes larutan
buffer. Kemudian dibiarkan selama
15 menit untuk melihat ada tidaknya
garis warna merah (line test) dan line
kontrol yang terbentuk. Positif di
mulai dari +1 sampai +4.
d. Ektraksi DNA dari swab hidung
dengan Enzym Proteinase K
Ektraksi DNA dari sampel nasal
swab menggunakan enzim proteinase
K., Nasal swab diambil dari pasien
dan disimpan pada suhu ruangan.
Ujung swab dipotong dan Cotton
wollnya dipindahkan pada sarstedt
vial. Tambahkan 100 µl lysis buffer
yang terdiri atas 100 mM tris HCl pH
8.5 , 0.05% tween 20, proteinase K 1
mg/ml. Lysis buffer dipersiapkan
dalam dua larutan stok, sebanyak 200
µl dan disimpan pada suhu -20 0C.
Stok I : proteinase k 10 mg/ml
dicampur dengan tris HCl pH 8.5
Stok II : 0.5% tween 20.
Campurkan 100 µl stok I dan 100 µl
stok II dengan 800 ul air suling
untuk mendapatkan buffer lysis yang
tepat.
Kemudian ditambakan 40 µl cairan
parafin dan diinkubasi pada suhu
60oC selama 18 jam. Lalu
diiinkubasi lagi pada suhu 97 0C
selama 15 menit. Kemudian dibuat
pengenceran 1 : 12,5 sampel dilusi
dengan cara memasukkan 115 µl air
suling pada botol kecil dan
ditambahkan 10 µ l sampel. Campur
dengan baik dan sampel siap untuk
amplifikasi dengan teknik PCR.
c. Ektraksi DNA dari darah dengan
Metode Boom
Sampel darah utuh 100µl dimasukkan
kedalam 900 µl larutan L6.
Selanjutnya dihomogenkan selama
semalam. Kemudian diputar dengan
kecepatan 12.000 rpm dan diambil
sedimennya lalu ditambahkan diatom
300µl. Kemudian dilakuan vortex dan
disentrifuse di
dalam tabung
appendorf 1.5 ml dengan kecepatan
12.000 rpm selama 15 menit.
Sedimen dicuci dengan larutan L2.
Selanjutnya
divortex
dan
disentrifugasi dengan kecepatan
12000 rpm selama 15 menit,
pencucian diulangi sebanyak 2 kali.
Sedimennya diuci dengan etanol
70%. Selanjutnya divortex dan
sentrifugasi dengan kecepatan 12000
rpm selama 15 menit, pencucian
dilakukan
sebanyak
2
kali.
Selanjutnya sedimen ditambahkan
dengan aceton lalu divortex dan
sentrifugasi dengan kecepatan 12000
rpm selama 30 menit. Endapan
dipanaskan dalam "waterbath" pada
suhu 56°C selama 10 menit dan
ditambahkan 60 µl larutan TE yang
terdiri dari 1mM EDTA dalam 10
mM Tris HCl pH 8.0. kemudian
dilakukan vortex dan dilanjutkan
sentrifus dengan kecepatan 12.000
rpm selama 30 menit dan supernatan
dipindahkan
kedalam
tabung
efendorf yang baru. Kemudian
ditambahkan kembali 40 µl larutan
e.
79
Deteksi DNA Dari Darah dengan
Tehnik
Polymerase
Chain
Reaction (PCR)
Pembuatan PCR mix dimasukkan
ke dalam tabung PCR yang terdiri
dari 2,5 µl MgCl2 , 2µl dNTPs, dan
0,5 µl Taq DNA polymerase, 2,5 µl
10x buffer, 14 µl destilated water.
Teknik PCR ini menggunakan
Hasria Alang
ISSN 1411-4674
primer dari gen VDR yaitu Forward
5’CTGGGGAGCGGGGAGTATGAA
GGA-3’,
dan
reverse
5’CCCTGGCGGCAGCGGATGTA 3’. Selanjutnya pada bagian dasar
tabung ditambahkan 2,5 µl ekstrak
DNA dan selanjutnya dilakukan
amplifikasi dengan menggunakan
mesin PCR (Hybaid Omm-E,
England) dengan program 35 siklus
untuk exon 9 kodon 352 sebagai
berikut : 94°C selama 45 detik untuk
denaturasi, 57°C selama 45 detik
untuk annealing dan 72°C selama 45
detik untuk ekstension ( Astec,
Fukuoka, Jepang).
Hasil produk amplifikasi ini akan
dilewatkan dalam 2 % gel
elektroforesis untuk melihat ada
tidaknya pita DNA dari sampel dan
dipakai pula untuk hibridisasi DNA
selanjutnya.
f.
mencampur 2 µ l DNA hasil PCR,
0,5 µl NEB buffer, dan 0,5 µ l enzim
restriksi (Taq 1) serta water 7 µl
dalam tabung
PCR
lalu
divortex sebentar.
Campuran dimasukan pada tabung
kecil kemudian diinkubasi pada suhu
37oC selama 1 x 24 jam. Hasil
pemotongan dipisahkan melalui
elektroforesis gel agarose 2%. Pada
proses elektroforesis digunakan
campuran 17 µl amplicon hasil PCR
dengan 3 µl cairan Blue juice
loading dye. Marker yang digunakan
adalah ladder 100 bp dan
dimasukkan pada sumur gel lubang
pertama
sebagai
penanda.
Selanjutnya sumur gel lubang
terakhir
dimasukan
campuran
kontrol negatif yaitu aquades.
Selanjutnya proses elektroforesis
dimulai dengan memberi aliran
listrik dari muatan negatif (katode)
ke muatan positif (anode) pada 100
A selama kurang lebih 40 menit.
Setelah elektroforesis, gel diamati di
atas UV
Iluminator dengan melihat pita yang
terbentuk lalu hasilnya disimpan.
Apabila pita sejajar dengan kontrol
positif berarti hasil positif. Hasil
positif jika pada pita DNA terjadi
pemotongan dan negatif jika tidak
terdapat potongan pada pita DNA.
Deteksi DNA Dari Nasal Swab
dengan Tehnik Polymerase Chain
Reaction (PCR)
Pembuatan PCR mix dimasukkan
ke dalam tabung PCR yang terdiri
dari 2,5 µl MgCl2, 2 µl dNTPs, dan
0,5 µl Taq DNA polymerase, 2,5 µl
10x buffer, 14 µl destilated water,
primer forward (S13) dan primer
reverse (G2). Ampli Taq GOLD
(Applied Biosystems, Foster City,
California). Ektraksi DNA dari
sampel nasal swab diambil sebanyak
2,5 µl dilakukan amplifikasi dengan
menggunakan mesin PCR (Hybaid
Omm-E, England) dengan program
35 siklus sebagai berikut : 94°C
selama 2 menit untuk denaturasi,
60°C selama 2 menit untuk
annealing dan 72°C selama 3 menit
untuk ekstension (Astec, Fukuoka,
Jepang).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Telah
dilakukan
penelitian
terhadap 40 sampel kusta. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa :
Gambar 1. Mikroskopi pada salah satu
sampel irisan kulit yang
menunjukkan adanya kuman
lepra yang menginfeksi kulit
g. Pemotongan Produk PCR dengan
Enzim Restriksi
Pemotongan DNA dengan enzim
restriksi dilakukan dengan cara
80
ISSN 1411-4674
Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352
Tabel 1. Polimorfisme gen VDR terhadap tipe Kusta (PB, MB) dan orang normal
Gen VDR
Mutasi
Normal
Total
PB
n
0
20
MB
%
100
100
n
2
18
20
Normal
%
10
90
n
1
19
%
5
95
20
20
Gambar 2. Hasil elektroforesis produk PCR-RFLP pada kelompok penderita Kusta
Gambar 3. Hasil elektroforesis produk PCR-RFLP pada kelompok orang normal
Tabel 2. Polimorfisme gen VDR terhadap titer antibodi
Negatif
Gen VDR
Mutasi
Normal
n
%
0
32
0
100
Tes serologi lateral flow
Positif
Total
n
%
n
%
2
6
25
75
2
38
50
95
P
0,036
BTA, lateral flow dan PCR untuk DNA
nasal swab serta PCR-RFLP untuk DNA
darah.
Untuk tipe PB, pada pemeriksaan
BTA, lateral flow dan PCR, semua
hasilnya negatif. Hal ini disebabkan
Pembahasan
Telah
dilakukan
penelitian
terhadap 40 penderita kusta (20 tipe MB
dan 20 tipe PB) serta 20 sampel dari
orang normal untuk melihat polimorfisme
gen VDR menggunakan pemeriksaan
81
Hasria Alang
ISSN 1411-4674
polimorfisme gen VDR nya pada exon 9
352 atau perubahan urutan basa
nukleotidanya sehingga ada perubahan
urutan basa pada gen tersebut yang
mengakibatkan gen tersebut tidak dapat
dipotong dengan enzim. Hal ini didukung
oleh penelitian sebelumnya
yang
menyatakan bahwa adanya polimorfisme
yang bersifat silent mutasi dari C
(sitosin) menjadi T (timin) pada gen
VDR exon 9 352 menyebabkan
seseorang rentan terhadap penyakit kusta
(Gouralt et. al., 2006) yang disebabkan
karena asam amino yang terdapat pada
gen VDR bersifat kurang stabil untuk
menginduksi kerja makrofag sehingga
fungsi makrofag menjadi terganggu dan
tidak mampu memfagosit kuman kusta
yang masuk ke dalam tubuh. Studi lain
menyebutkan bahwa penggunaan enzim
Taq 1 untuk melihat adanya mutasi pada
intron 8, memperlihatkan hubungannya
dengan kasus kusta tipe MB di Karongo
(Fitness, et. al., 2003), sedangkan pada
penelitian Bellamy, et. al., (1999) yang
menggunakan enzim Taq 1 yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan
antara
polimorfisme
VDR
dan
tuberculosis di Gambia.
Aktifitas makrofag yang tidak
normal, yang diatur oleh salah satu gen
yaitu VDR yang mana menghasilkan
CAMP (Cathelidin Anti Mycroba
peptida) yang merupakan peptida dan
berfungsi sebagai antimikroba dan
apabila telah mengalami polimorfisme,
maka akan menyebabkan jumlah kuman
dalam tubuh terus bertambah seperti pada
kusta tipe MB karena makrofag tidak
mampu lagi memfagosit kuman (Hatta
2010). Hal serupa juga didukung oleh
Scollard (2006) yang menyatakan bahwa
adanya defisiensi VDR berhubungan
dengan insiden infeksi yang tinggi, di
mana hal ini
menunjukkan bahwa
defisiensi meningkatkan kemungkinan
kejadian infeksi. Bukti terkuat adalah
infeksi kronik Mikobakterium. Hal di
atas
berhubungan
dengan
lokus
polimorfisme VDR dan jenis respon
imun antimikobakterial yang terjadi.
karena tipe ini merupakan tipe seluler
sehingga kuman yang masuk mampu
difagosit oleh makrofag menyebabkan
jumah kuman menjadi sedikit sehingga
pada saat dilakukan pemeriksaan BTA
tidak terbaca dan pemerikasaan lateral
flow juga tidak ditemukan tite antibodi.
Djuanda (1993) menyebutkan bahwa
pada pemeriksaan BTA dan lateral flow
dimulai dari +1 sampai +4.
Untuk tipe MB, ditemukan 9
sampel positif untuk pemeriksaan BTA
dan 8 sampel positif untuk pemeriksaan
lateral flow. Adanya kuman pada
pemeriksaan BTA serta titer antibodi
yang terbentuk disebabkan karena
kuman kusta yang masuk ke dalam
tubuh. Sedangkan pada tipe MB yang
hasilnya negatif, hal ini dapat disebabkan
karena sampel yang digunakan adalah
sampel penderita kusta yang sedang
mendapat terapi, sehingga kemungkinan
kuman yang ada jumlahnya sudah
berkurang. Hal ini menyebabkan titer
antibodi yang terbentuk menjadi rendah
atau bahkan hilang.Teori menyebutkan
bahwa kuman kusta jumlahnya paling
banyak ditemukan di dalam mukosa
hidung karena kuman ini dapat masuk
melalui saluran respirasi atas dan
menyebar sampai kulit dan saraf melalui
sirkulasi (Walker, S.L & D. N. J.
Lockwood. 2006), selain itu Scollard, et.
al., (2006) menyebutkan bahwa kuman
ini menyukai daerah yang lembab pada
tubuh manusia, seperti mukosa hidung
maupun pada cuping telinga. Hal inilah
yang menyebabkan jumlah kuman
tersebut banyak (positif) ditemukan pada
bagian
hidung
ketika
dilakukan
pemeriksaan (12 sampel yang positif).
Pemeriksaan menggunakan PCRRFLP menggunakan enzim restriksi,
menunjukkan bahwa ada 38 sampel yang
normal. Hal ini berarti ada 2 sampel
(10%) penderita kusta yang telah
mengalami mutasi karena pita DNA nya
tidak terpotong oleh enzim Taq 1 setelah
dilakukan
pemotongan,
yang
menunjukkan bahwa kedua penderita
kusta
tersebut
telah
mengalami
82
Polimorfisme Gen, susceptibility, Mycobacterium leprae, VDR, Exon 9 352
ISSN 1411-4674
cara mengaktifkan kerja monosit untuk
fagositosis dan menekan prolirefasi
limfosit (Tachi, Y., et. al., 2003).
Kusta tipe PB merupakan tipe
kusta yang memiliki respon imun seluler
yang kuat yang dimediasi oleh Th-1,
sedangkan tipe MB merupakan tipe kusta
yang memiliki respon imun humoral
yang tinggi tetapi tidak memiliki respon
imun seluler yang kuat untuk membunuh
kuman disebabkan karena makrofag tidak
mampu lagi memfagosit kuman yang
masuk ke dalam tubuh karena salah satu
gen yang mengatur kerja makrofag telah
mengalami perubahan, salah satunya
adalah gen VDR (Hatta, 2010, Settin, et.
al., 2002). Penelitian dari Adams (2006)
menyebutkan bahwa adanya perubahan
gen VDR berhubungan dengan insiden
infeksi yang tinggi pada Mikobakteria,
dimana respon sel Th-1 dapat melindungi
tubuh dari infeksi mikobakteria yang
lebih akut (kusta tipe MB). Pada
penelitian ini, ditemukan bahwa kusta
tipe PB tidak ditemukan polimorfisme
pada gen VDR nya. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dikemukan oleh Mc
adam (2004) terhadap kusta di India
bahwa polimorfisme gen ini juga
memperlihatkan adanya kerentanan kusta
untuk tipe MB tetapi tidak untuk tipe PB.
Sebuah studi juga melaporkan bahwa tipe
PB akan meningkatkan stabilitas gen
VDR yang membuat respon imun seluler
tinggi
sehingga
dapat
mencegah
timbulnya kusta tipe MB (Roy, et. al.,
1999).
Hasil PCR-RFLP pada 20 orang
sehat menunjukkan bahwa terdapat 1
sampel yang tidak terpotong oleh enzim
restriksi Taq 1. Hal ini menunjukkan
bahwa orang tersebut memiliki gen VDR
pada Exon 9 352 yang telah mengalami
polimorfisme atau perubahan struktur
basanya.
Seseorang akan menderita penyakit
bila ada kontak atau terpapar oleh kuman.
Pada orang normal yang memiliki gen
VDR yang mengalami polimorfisme,
dapat menyebabkan orang tersebut
kemungkinan rentan terinfeksi oleh
penyakit. Hal ini disebabkan karena VDR
melibatkan berbagai fungsi biologi,
seperti mengatur sistem imun dengan
KESIMPULAN
1. Polimorfisme gen VDR exon 9 352
pada penderita kusta lebih tinggi
daripada orang normal, yaitu tipe
MB 10 % sedangkan orang normal 5
%.
2. Ada hubungan antara mutasi gen
VDR exon 9 352 dan titer antibodi
pada penderita kusta tipe MB yaitu P
= 0,036 (P≤0,05).
DAFTAR PUSTAKA
Adams J.S. Vitamin D as a defensin.
Journal
Musculoskelet
Neuron
Interact 2006;6(4):344-346.
Bellamy, et. al. 1999. Tuberculosis and
chronichepatitis B virus infection in
Africans and variation in thevitamin
D receptor gene. Journal of
Infectious Diseses 179: 721–724
Djuanda, Adhi, 1993. Ilmu Penyakit Kulit
Dan
Kelamin,
Fakultas
Kedokteran, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Fitness, et. al., 2002. Genetics of
susceptibility to leprosy Oxford
university. Journal Genes
and
Immunity. Vol. 3: 441–453.
Fitness, et al.,
2003. Large Scale
Candidate Gene Study of Leprosy
Susceptibility In The Karongo
District Of Northern Malawi.
American Journal Tropical Media
Hyginies. Vol.71:330-340.
Gouralt, L.C, et. Al., 2006. Interaction of
TaqI
polymorphism
exon
9
ofthevitamin D receptor genewith
the negative lepromin response may
favor the occurrence of leprosy.
Federation
of
European
Microbiological Societies Immunol
Med Microbiol Vol. 48 : 91–98
Hatta, Mochammad, et. al., 2010.
NRAMP1/SLC11A1
Gene
Polymorphisms
And
Host
Susceptibility to Mycobacterium
tuberculosis and M. leprae in South
83
Hasria Alang
ISSN 1411-4674
Sulawesi, Indonesia. Southeast
Asian Journal Tropical Medica
Public Health. Vol. 41. N0. 2 : 1-9.
Kresno, B.S. 2001. Immunologi :
Diagnosis
Dan
Prosedur
Laboratorium, Edisi IV. Penerbit
FK-UI. Jakarta.
Kwenang, O. A. 2007. Serologic and
Molecular Analysis On Thypoid
Endemic Population To Determine
The Endemic Level In Jeneponto,
South Sulawesi.
Disertasi of
Hasanuddin University, Makassar.
McAdam. 2004. NRAMP1 (SLCIIAr) and
Vitamin D Receptor Genes : disease
association.
Medical
research
council laboratories, Banjul, The
Gambia.
Roy, et. al., 1999. Association of Vitamin
D Receptor Genotype with Leprosy
Type.The Journal of Infectious
Diseses. Vol. 179 : 187-191
Settin,et.al., 2002. Association of
Cytokine Gene Polymorphism with
Susceptibility and Clinical Types of
Leprosy.
Scollard, dkk., 2006. The Continuing
Challenges of Leprosy. Clinical
Microbiology Review. Vol. 19, No.
2 : 338-381.
Tachi, Yoichi, et. al., 2003. Vitamin D
receptor gene polymorphism is
associated with chronic
periodontitis. Elsevier ife science;
73 : 3313–3321
Walker, S.L & D. N. J. Lockwood. 2006.
The Clinical and Immunological
Features
of Leprosy. British Medical
Bulletin
2006
:
1-19.
84
Download