Efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Streptococcus agalactiae
Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan
manusia dan mastitis pada beberapa
neonatal meningitis pada
hewan terestrial misalnya pada sapi
(Lindahl et al. 2005). S. agalactiae tergolong ke dalam grup GBS (Group B
Streptococcal) yang dapat menyebabkan kematian yang besar pada ikan budidaya
dan ikan di perairan umum, di antaranya ikan Striped bass (Morone saxatilis) (Baya
et al. 1990) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Streptococcus agalactiae biasanya
menyerang bagian otak, mata dan organ lain yang umumnya mengandung cairan
(Evans et al. 2002).
Berdasarkan hasil pengujian oleh Evans et al. (2002), S. agalactiae termasuk
dalam bakteri gram positif, oksidase negatif, katalase negatif, isolat menunjukkan
hasil positif pada reaksi leucine aminopeptidase, arginin deaminase dan trehalose.
Negatif
pada
tes
reaksi
β-galactosidase,
β-glucuronidase,
N-acetyl-
β-
glucosaminidase, β-mannosidase, glycyl-tryptophane arylamidase, sorbitol, Larabinosa , D-arabitol, glycogen , melezitos dan hidrolisis amilum.
Serangan penyakit yang disebabkan oleh S. agalactiae dapat memberikan
efek kronis dan akut tergantung pada tingkat serangan. Serangan pada tingkat kronis
ditandai dengan adanya luka di permukaan tubuh, bercak-bercak merah pada sirip,
berenang lambat dan nafsu makan ikan menjadi menurun. Sedangkan serangan akut
menyebabkan kematian yang diduga karena ikan kehilangan cairan pada saluran
pencernaan bagian belakang. Sebelum mengalami kematian, ikan menunjukkan
gejala klinis berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan
lemah, berenang whirling (menggelepar), tubuh membentuk huruf ”C”, perubahan
pada warna tubuh, dan bukaan operkulum lebih cepat ( Evans 2006).
Karakteristik bakteri S. agalactiae yang berasal dari beberapa hewan mamalia
darat dan ikan disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1. Karakteristik S. agalactiae yang menyerang sapi, bovine dan ikan
Pengujian
Collins et.al.
(1995)(1)
Cowan &
Steel’s (1974)(2)
Evans et.al.
(2002)(3)
SNI (4)
Pewarnaan gram
+
+
+
+
Hemolisis
Β
α/β
Β
Β
Aesculin
Hippurate
+
+
+
CAMP test
+
Non
Non
Non
Bile salt agar 40%
Non
+
+
+
Arginin hidrolisis
+
+
+
+
NaCl 6.5%
Non
+
+
Motilitas
Katalase
Oksidasi
Sorbitol
Non
Sucrose
+
Non
Non
Non
Trehalose
+
+
+
Non
β-galactosidase
Non
Non
Non
β-glucuronidase
Non
Non
Non
N-acetyl-βNon
Non
Non
glucosaminidase
β-mannosidase
Non
Non
Non
Glycyl-tryptophane
Non
Non
Non
arylamidase
L-arabinosa
Non
Non
Non
D-arabitol
Non
Non
Non
Glycogen
Non
Non
Non
Mannitol
Maltose
+
Non
Non
Starch
Non
Non
Non
Leucine
Var
Var
+
Non
Aminopeptidase
+
+
+
Non
Keterangan : SNI : Standar Nasional Indonesia; (1) & (2) : pada hewan sapi, pada
bovine; (3) & (4) pada ikan; non : tidak dilakukan; Var : bervariasi
2.2. Probiotik
Probiotik adalah makanan tambahan (suplemen) berupa sel-sel mikroba
hidup, yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi hewan yang mengkonsumsinya
melalui penyeimbangan mikroflora intestinalnya. Probiotik dapat pula didefinisikan
sebagai kultur hidup satu macam mikroba atau lebih yang memberikan pengaruh
menguntungkan bagi hewan atau inang seperti peningkatan sistem imun,
memperbaiki kualitas lingkungan media hidup inang dan memperbaiki nilai nutrisi
pakan (Verschuere et al. 2000). Bakteri probiotik sebagai suplemen pakan memiliki
pengaruh menguntungkan untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora pada saluran
pencernaan larva. Menurut Fuller (1992), probiotik harus memiliki karakter-karakter
sebagai berikut: (1) menguntungkan inangnya, (2) mampu hidup (tidak harus
tumbuh) di intestinum, (3) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup pada skala
industri, (4) dapat terjaga stabilitas dan sintasan untuk waktu yang lama pada
penyimpanan maupun di lapangan.
Secara dasar ada tiga model kerja probiotik, yaitu (a) menekan populasi
mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikrobia
atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding usus, (b) mengubah
keseimbangan metabolisme mikrobial dengan meningkatkan dan menurunkan
aktivitas enzim dan (c) menstimulasi immunitas dengan meningkatkan antibodi dan
aktivitas makrofag (Irianto, 2003). Menurut Verschuere et al. (2000), mekanisme
kerja bakteri probiotik dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu: (1) produksi
senyawa inhibitor; (2) kompetisi terhadap senyawa kimia atau sumber energi
(nutrisi); kompetisi terhadap tempat pelekatan; (4) peningkatan respon imun
(kekebalan); (5) perbaikan kualitas air dan (6) interaksi dengan fitoplankton.
Probiotik yang bekerja di dalam tubuh inang harus mampu bertahan hidup
dalam mukosa usus inang dan berkembang biak dengan cepat agar tidak terbawa
keluar bersama sisa metabolisme inang. Meskipun secara in vitro probiotik terbukti
mampu menekan atau menghambat pertumbuhan bakteri patogen, namun apabila
probiotik tersebut tidak dapat bertahan hidup dalam mukosa usus kemungkinan besar
probiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen tidak ditemukan pada uji
in vivo (Vine et al 2004).
Gomez dan Roque (1998) menyatakan bahwa metode seleksi bakteri
probiotik terdiri atas beberapa tahapan, yaitu: (1) pengumpulan informasi dasar yang
didapat dari studi pustaka maupun lapangan; (2) pengumpulan probiotik potensial
meliputi kelangsungan hidup bakteri probiotik dan kemampuan bersaing dengan
galur patogen; (3) evaluasi kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan
galur patogen meliputi kemampuan hidup probiotik pada inang atau lingkungannya,
kemampuan melekat pada permukaan tubuh inang, kemampuan membentuk koloni
dan mencegah perkembangan bakteri patogen baik dengan memproduksi senyawa
inhibitor maupun berkompetisi tempat pelekatan dan nutrien; (4) pendugaan
patogenitas probiotik potensial yang meliputi probiotik tidak boleh patogen pada
inang; (5) evaluasi pengaruh probiotik potensial pada larva dengan hasil terbaik yang
dilihat dari nilai kelangsungan hidup tertinggi, penambahan bobot terbesar,
peningkatan daya tahan tubuh inang terhadap stress dan serangan patogen terendah;
(6) analisa ekonomi biaya laba.
Evaluasi kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan galur patogen
dapat dilakukan melalui tes antagonis secara in vitro. Uji in vitro dapat berupa uji
tantang antara bakteri kandidat probiotik dengan bakteri patogen dalam media cair
maupun padat. Pada media padat dapat berupa disk diffusion method untuk melihat
kemampuan kandidat probiotik dalam menghasilkan senyawa antibakterial. Zona
bening yang dihasilkan menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu mensekresikan
suatu senyawa antimikroba (Chythanya et al. 2002 dalam Sasanti 2008).
2.3. Prebiotik
Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna di mana makanan
ini mempunyai pengaruh baik terhadap inangnya dengan memicu aktivitas metabolik
dan pertumbuhan yang selektif satu atau lebih bakteri yang terdapat dalam usus
(Gibson dan Fuller 2000; Roberfroid 2000; Schrezenmeir dan Vrese 2001). Definisi
ini didukung oleh pendapat Lisal (2005) yang menyatakan bahwa prebiotik adalah
bahan yang tidak dihidrolisa di saluran cerna dan merupakan substrat selektif bagi
bakteri komensal dalam kolon yang dapat menstimulasi aktifitas bakteri. Prebiotik
umumnya adalah senyawa karbohidrat yang tidak dapat dicerna serta umumnya
berbentuk oligosakarida (oligofruktosa) dan serat pangan (inulin) (Reddy 1999).
Bahan makanan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik jika memiliki syarat
yaitu : (1) tidak dihidrolisa dan tidak diserap di saluran cerna bagian atas sehingga
dapat mencapai usus besar secara utuh, (2) merupakan substrat yang selektif untuk
satu atau sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon sehingga
memicu pertumbuhan bakteri baik yang aktif melakukan metabolisme, (3) sanggup
untuk mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang
menguntungkan kesehatan, (4) merangsang timbulnya efek-efek luminal (lokal) dan
sistemik yang menguntungkan hospes (Lisal 2005).
Roberfroid (2000) menyatakan bahwa prebiotik sangat erat kaitannya dengan
probiotik, karena target dari prebiotik adalah memacu pertumbuhan selektif dari
bakteri
probiotik.
Prebiotik
berperan
untuk
meregulasi
dan
memodulasi
mikroekosistem populasi bakteri probiotik. Mengkonsumsi bahan prebiotik secara
signifikan dapat memodulasi komposisi mikroflora kolon yang menyebabkan bakteri
yang menguntungkan lebih dominan di dalam kolon dan banyak ditemukan di dalam
feses (Gibson dan Roberfroid 1995). Prebiotik dalam usus besar akan difermentasi
oleh bakteri probiotik dan akan menghasilkan short chain fatty acid (SCFA) dalam
bentuk asam asetat, propionat, butirat, serta karbondioksida dan hidrogen
(Cummings et al. 2001).
2.3.1 Oligosakarida
Oligosakarida merupakan karbohidrat sederhana yang berupa polisakarida
rantai pendek dengan 3 hingga 20 unit sakarida (Manning et al. 2004). Sumber
oligosakarida banyak terdapat pada umbi-umbian, biji-bijian dan kacang-kacangan.
Oligosakarida tidak dapat dicerna karena memiliki ikatan glikosidik yaitu β →4),
(1
α (1→4), β (1→6), α (1→4) (Wilbraham dan Matta 1992, diacu dalam Marlis 2008).
Mukosa mamalia tidak mempunyai enzim pencerna yang dapat memecah ikatanikatan
glikosidik
oligosakarida
tersebut
yaitu
enzim
α-galaktosidase
dan
β-fruktofuranosidase. Bakteri baik seperti Lactobacillus mempunyai enzim
α-galaktosidase yang mampu memutus ikatan alfa-galaktosa sehingga oligosakarida
seperti Galaktooligosakrida (GOS) dapat dicerna oleh Lactobacillus. Sedangkan
Bifidobacteria memiliki enzim β-fruktofuranosidase yang dapat memutus ikatan
beta-D-fruktofuranosida sehingga oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS)
dapat dicerna oleh Bifidobacteria. Oligosakarida yang terdapat dalam ubi jalar yaitu
rafinosa, oligofruktosa dan maltotriosa. Pada manusia, rafinosa dapat memberikan
dampak yang baik bagi kesehatan diantaranya adalah menghasilkan energi
metabolisme yang lebih rendah dari sukrosa, tidak memberikan efek sekresi insulin
dari pankreas dan meningkatkan mikroflora usus ( Rini 2008; Marlis 2008).
Menurut Oku (1994), oligosakarida yang tidak dapat dicerna dan diserap
dalam usus halus akan mencapai usus besar dan akan didegradasi atau difermentasi
oleh bakteri usus. Proses fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus akan
memberikan efek positif diantaranya menghasilkan energi metabolisme dan asam
lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2)
yang akan menyebabkan komposisi mikroflora usus berubah serta dihasilkannya zat
yang bersifat antibiotik. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat
asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida. Nilai pH akan turun
mencapai pH asam sehingga persentase bakteri menguntungkan meningkat
sedangkan persentase bakeri merugikan menurun (Tomomatsu 1994).
Oligosakarida dapat mengurangi metabolik toksik dan enzim-enzim yang
merugikan di dalam pencernaan. Konsumsi oligosakarida dapat mencegah penyakit
kanker dan meningkatkan kesehatan melalui beberapa mekanisme secara fisiologis.
Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa konsumsi 3-6 gram oligosakarida per hari
akan mengurangi senyawa toksik yang terdapat dalam usus sebanyak 44,6% dan
enzim-enzim yang merugikan sebanyak 40,9%
selama tiga minggu pemberian.
Lebih lanjut Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa suplementasi oligosakarida
sebanyak 4 gram per hari selama 25 hari akan mengurangi resiko terserang penyakit
kanker.
2.4. Sinbiotik
Sinbiotik adalah gabungan antara probiotik dan prebiotik, yang memberikan
pengaruh menguntungkan bagi inang, dengan cara memperbaiki survival dan
implantasi suplemen mikroba hidup dalam saluran cerna, oleh stimulasi pertumbuhan
secara selektif dan dengan aktivasi metabolisme dari satu atau sejumlah terbatas
bakteri yang mempunyai efek promotif bagi kesehatan, sehingga dapat meningkatkan
kesehatan inang. Telah dibuktikan bahwa gabungan kedua bahan (probiotik dan
prebiotik) dalam satu produk tunggal maka kegunaan masing-masing atau kedua
komponen tersebut semakin meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian Li et al. (2009), penambahan probiotik Bacillus
OJ (PB) dengan konsentrasi 108 CFU/g pakan dan 0.2% isomaltooligosaccharides
(IMO)
mampu
meningkatkan
resistensi
udang
terhadap
penyakit
dengan
meningkatkan respon imun udang dan menyeimbangkan mikroflora usus. Gabungan
inulin (FOS) dengan Bifidobakteri logum mampu menurunkan resiko kelainan preneoplastik kolon lebih banyak daripada hanya dengan pemberian probiotik dan
prebiotik saja pada tikus percobaan. Demikian juga penambahan pati jagung yang
kaya amilose (RS2) ke dalam satu preparat probiotik akan mempertahankan densitas
yang lebih tinggi dari mikroorganisme probiotik yang hidup, bila dibandingkan
dengan tanpa pemberian amilose (RS2) (Lisal 2005).
Konsep sinbiotik belum banyak diaplikasikan pada kegiatan akuakultur.
Sampai saat ini belum ada laporan penelitian mengenai aplikasi sinbiotik untuk
meningkatkan sistem imun ikan dalam pengendalian terhadap bakteri patogen.
Berhubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan.
2.5. Ikan Nila
Ikan nila termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum
Vertebrata, kelas Pisces, sub kelas Acanthopterigii, ordo Percomorphi, sub ordo
Percaidae, famili Cichlidae, genus Oreochromis, spesies Oreochromis niloticus.
Pada awalnya ikan nila bernama Tilapia nilotica, kemudian diganti dengan
Sarotherodon niloticus dan sekarang dikenal dengan Oreochromis niloticus. Ikan
nila berasal dari sungai Nil di Uganda yang telah bermigrasi ke selatan melewati
danau Raft dan Tanganyika. Ikan nila pertama kali diintroduksikan ke Indonesia
sekitar Juli 1969 dari Taiwan dan disebarkan ke setiap provinsi pada tahun 1971.
Nila merupakan ikan sungai atau danau yang sangat cocok dipelihara diperairan
tenang, kolam maupun reservoir. Di California, spesies Tilapia zillii yang merupakan
herbivora, dipelihara pada saluran irigasi sebagai pengontrol tumbuh-tumbuhan air.
Ikan nila juga digunakan untuk membersihkan kotoran pada danau dengan memakan
tanaman airnya (Anonimous 1991).
Ikan nila memiliki bentuk badan pipih kesamping memanjang dengan letak
mulut terminal. Pada sirip punggung terdapat garis-garis miring. Mata ikan nila
kelihatan menonjol dan relatif besar dengan bagian tepi mata berwarna putih. Linea
lateralis (gurat sisi ditengah tubuh) terputus dan dilanjutkan dengan garis yang
terletak lebih bawah. Ikan nila hidup di perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk,
dan rawa, tetapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas, ikan ini dapat pula
hidup dan berkembang biak di perairan payau. Nilai pH air tempat hidup ikan nila
berkisar antara 6 - 8,5 akan tetapi pertumbuhan optimal ikan nila terjadi pada
pH 7-8. Ikan nila dapat hidup di kolam yang dalam dan luas maupun di kolam yang
sempit dan dangkal. Ikan nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras
alirannya atau di perairan tergenang sekalipun. Suhu optimal untuk ikan nila yaitu
antara 25-30 oC, oleh karena itu ikan nila cocok dipelihara di daratan rendah dan
dataran agak tinggi (500 m di atas permukaan laut) (Robert 2000).
Makanan ikan nila secara alami berupa plankton, perifiton dan tumbuhtumbuhan lunak seperti hydrilla, ganggang sutera dan klekap. Ikan nila tergolong ke
dalam ikan omnivora yang lebih cenderung herbivora. Ikan nila juga memakan jenisjenis makanan tambahan yang biasa diberikan seperti dedak halus, ampas kelapa dan
sebagainya. Pencernaan ikan nila memiliki kemampuan untuk
menghancurkan
ikatan hidrogen pada unit selulosa pakan nabati dengan enzim dalam pencernaannya,
sehingga dinding sel rumput mudah pecah dan dapat dihidrolisis cairan selnya. Akan
tetapi kuantitas dan kualitas enzim ini jumlahnya masih terbatas. Untuk budidaya,
ikan nila tumbuh lebih cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein
sebanyak 20-25%. Dari hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan yang dilakukan
secara terpadu (integrated) terhadap pemberian pakan ikan nila, ransum harian yang
diberikan kepada benih ikan nila sebanyak 3% dari berat biomassa ikan/hari. Pakan
yang diberikan berupa pelet yang berkadar protein 25-26% dan kandungan lemak
sebesar 6-8% pada pemeliharaan di keramba Jaring Apung (Standar Nasional
Indonesia (SNI) 01-6495. 1-2000). Menurut Webster dan Lim (2002), kadar protein
berkisar antara 28-40% mampu menunjang pertumbuhan optimal ikan nila yang
dipelihara di kolam. Nilai ini akan menjadi lebih rendah dengan mempertimbangkan
kehadiran pakan alami yang dapat memberikan kontribusi protein dalam jumlah
tertentu.
2.6. Imunologi Ikan
Pencegahan terhadap serangan penyakit salah satunya dapat dilakukan
dengan peningkatan sistem imun pada ikan. Salah satu cara untuk meningkatkan
sistem imun ikan yaitu dengan pemberian bakteri probiotik. Respon imun pada ikan
terdiri dari respon imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik jumlahnya
dapat meningkat oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase
akut pada infeksi penyakit. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan terdepan
dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respons
langsung. Sistem imun nonspesifik resistensinya tidak mengalami perubahan untuk
setiap infeksi yang menyerang. Sistem pertahanan spesifik dan nonspesifik pada
ikan terdiri dari pertahanan selular dan humoral. Berbagai bahan dalam sirkulasi
seperti komplemen, interferon, CRP dan kolektin berperan dalam pertahanan
nonspesifik humoral. Sedangkan fagosit, makrofag dan sel NK berperan dalam
sistem imun nonspesifik selular (Baratawidjaja 2006).
Sistem imun spesifik pada ikan walaupun tidak sempurna
seperti pada
vertebrata tetapi memiliki banyak kesamaan diantaranya mempunyai kemampuan
untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama
kali muncul dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga
terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpapar
ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Mekanisme sistem imun
hanya ditujukan pada organisme tertentu
dan sangat efektif untuk mengatasi
serangan dari mikroba yang pernah memapar sebelumnya. Respon imunitas spesifik
lambat tidak siap sampai ada paparan sebelumnya. Berbagai bahan atau sel penting
yang berperan yaitu limfosit B atau sel B merupakan sistem imun spesifik humoral.
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular.
beberapa
molekul
yang
penting
antibodi,
sitokin,
molekul
Sedangkan
adhesin
(Baratawidjaja 2006).
Menurut Anderson (1974), mekanisme kekebalan non-spesifik merupakan
kekebalan alamiah (innate immunity) pertahanan inang yang responnya tidak
tergantung kontak antigen tertentu, respon kekebalan spesifik (humoral mediated
immunity dan cellular mediated immunity) tergantung kontak inang dengan antigen
tertentu sebelumnya (= adaptive immunity). Mekanisme sistem imun nonspesifik
tidak ditujukan pada organisme tertentu dan tidak menunjukkan spesifisitas terhadap
banyak patogen potensial. Respon imunitas nonspesifik cepat, selalu siap dan tidak
perlu ada paparan sebelumnya. Sistem pertahanan tubuh non spesifik terdiri dari kulit
dan selaput mukosa. Sistem pertahanan tubuh spesifik, kekebalan khusus yang
membuat limfosit peka untuk segera menyerang patogen tertentu.
Menurut Baratawidjaja (2006), pada imunitas spesifik humoral, sel B bila
dirangsang oleh benda asing akan mengalami proliferasi, berdiferensiasi dan
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi
ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta
menetralisasi toksinnya. Sel-B juga berperan dalam produksi Ig melalui rangsangan
antigen tertentu pada limpa dan hati. Menurut Anderson (1974), pada imunitas
spesifik selular, sel T akan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba
atau mengaktifkan sel Tc untuk memusnahkan sel terinfeksi.
Sistem kekebalan
spesifik pada ikan meliputi sistem reticulo endothelial, limfosit, plasmosit, dan
fraksi serum protein tertentu. Sistem reticulo endothelial ikan terdiri dari bagian
depan ginjal, timus, limpa, dan hati (pada awal perkembangan).
Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid pada ikan, jaringan limfoidnya menyatu dengan jaringan myeloid, sehingga dikenal sebagai jaringan
limfomieloid. Pada ikan teleost jaringan limfomieloid adalah limpa, timus dan ginjal
depan. Produk jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik
seluler maupun humoral. Mekanisme pertahanan tubuh yang sinergis antara
pertahanan humoral dan seluler dimungkinkan oleh adanya interleukin, interferon
dan sitokin.
Anderson (1974) mengemukakan mengenai hubungan interleukin,
interferon dan sitokin tersebut berperan sebagai komunikator dan amplikasi dalam
mekanisme pertahanan humoral dan seluler ikan.
Download