Analisis Pariwisata Vol. 7-No. 2-2006

advertisement
ANALISIS PARIWISATA
MAJALAH ILMIAH PARIWISATA
VOLUME 7
NOMOR 2, 2006
ISSN 1410 - 3729
DAFTAR ISI
PENGANTAR REDAKSI
I Made Winaya
: Pelacuran Laki-laki dalam Industri Pariwisata Bali
(Studi Kasus Gigolo di Kawasan Pariwisata Kuta) ............
Koentjoro
: Pelacuran : Sebuah Problema Sosial Multi Perspektif ......
I Wayan Wijayasa
: Seks dalam Pariwisata : Kajian Awal Faktor-faktor yang
Berpengaruh terhadap Berkembangnya Seks
dalam Pariwisata ....................................................................
Adria Rosy Satrinne
: Pelacuran dan Pariwisata (Studi Kasus Pelacuran di Bawah
Umur di Objek Wisata Kuta .................................................
I Wayan Suardana
: Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Ekowisata di Kawasan
Taman Nasional Bali Barat ...................................................
Made Sukana
: Postmodernisme dan Pariwisata Kerakyatan .....................
Luh Putu Kerti Pujani
: Manajemen Konflik Hotel Inna Grand Bali Beach
Sanur-Bali ...............................................................................
I Made Sendra
: Unda-Usuk Bahasa Jepang dalam Pariwisata (Level of
Speech in Japanese for Tourism) ..........................................
AA Sagung Kartika Dewi
: Beberapa Variabel yang Berpengaruh terhadap
Produktivitas Tenaga Kerja ..................................................
I Gede Sudarta
: Produktivitas Kerja Seorang Pramu Graha dalam Menata
Sebuah Kamar pada Hotel Berbintang di Bali ...................
Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang memuat
tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi menerima
sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang peduli terhadap
pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang akan dimuat tanpa
mengubah maksud dan isinya.
2
Analisis Pariwisata Volume 7, Nomor 2, 2006
ANALISIS
ANALISIS
P A R I W IPARIWISAT
SATA
Majalah
IlmiahPariwisata
Pariwisata
Majalah Ilmiah
PENERBIT
Program Studi Pariwisata
Universitas Udayana
PENERBIT
SK No. :Studi
11/J14.11/HM.00.02/1997
Program
Pariwisata
Universitas Udayana
PENYUNTING
SK
No. 11 /J14.11/HM.00.02/1997
Prof. Adnyana Manuaba, M.Hon.
Ferg.S.FIPS,SF.
PENANGGUNG
JAWAB
(Universitas Udayana)
I Putu Anom
Prof. Dr. Dra. Mardani Rata, MS.
(Universitas Udayana)
PENYUNTING
Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA.
Prof.
AdnyanaUdayana)
Manuaba, M.Hon.
(Universitas
Ferg.S.FIPS,SF.
Prof. Dr. Michael Hitchcoch
(Universitas
Udayana)
(University of
North London)
Prof.
RataVickers
Prof.Dr.
Dr.I.B.
Adrian
(Universitas
Udayana)
(University of
Wollongong Australia)
Prof.
Dr.
Dra.
Rata,MS.
MS.
Prof. Dr. O.J.Mardani
Wehantouw,
(Universitas
(UniversitasUdayana)
Hasanudin)
Dr. Geraldine
Y.J.Ardika,
Manopo
W.
Prof.
Dr. I Wayan
MA.
(UniversitasUdayana)
Sam Ratulangi)
(Universitas
Dr. Made
Sukarsa,
MS.
Prof.
Dr. Michael
Hitchcoch
(Universitas
Udayana)
(University of North London)
Prof. Dr. Adrian Vickers
PEMIMPINofREDAKSI
(University
Wollongong Australia)
Chusmeru
Prof.
Dr. O.J. Wehantouw, MS.
(Universitas Hasanudin)
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Dr. Geraldine Y.J. Manopo W.
I Wayan Suardana
(Universitas Sam Ratulangi)
Pengantar Redaksi
S
eks dan Pariwisata. Dua kata dalam ruang yang
berbeda. Sek acapkali dianggap sebagai hal
yang berada dalam ruang personal, sedangkan
pariwisata dipandang sebagai sesuatu yang berada di
ruang publik. Namun ketika muncul rancangan
Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP)
reaksi pro kotra berdatangan. Provinsi Bali merupakan
daerah di Indonesia yang sebagaian besar
masyarakatnya menolak RUU APP itu. Salah satu
alasan penolakan itu adalah bahwa kehadiran RUU
APP akan membuat pariwisata Bali kian terpuruk.
Ada gambaran situasi yang kontradiktif ketika
mencoba mehubungkan antara seks, pariwisata dan
RUU APP. Disatu sisi semua sepakat bahwa pariwisata
Bali adalah pariwisata budaya yang tidak memberi
toleransi pada eksploitasi seks. Namun disisi lain,
terjadi penolakan besar-besaran terhadap RUU APP
yang sejatinya juga hendak memberi batasan tentang
eksploitasi seks tersebut.
Majalah Ilmiah Analisis Pariwisata Volume 7
Nomor 2 kali ini tidak bermaksud untuk mendukung
atau menolak wacana tentang RUU APP. Edisi ini
mengkaji tinjauan kritis dan empiris tentang lika-liku
bisnis
pariwisata
dan
problema
seks
yang
menyertainya.
SEKRETARIS REDAKSI
PEMIMPIN
I.B. Astina REDAKSI
Chusmeru
ANGGOTA REDAKSI
WAKIL
PEMIMPIN REDAKSI
I Putu Anom
Ketut
Suwena
Nyoman Sunarta
AA. Ngr. Palguna
SEKRETARIS
REDAKSI
I Made Adikampana
I.B.
Astina
I Made
Kusuma Negara
Yayu Indrawati
Nyoman Sukma
Arida
ANGGOTA
REDAKSI
I Made Sukarsa
SEKRETARIAT
Nyoman
Sunarta
I Wayan
Sumerthareadi
AA.
Ngr. Palguna
DesakWinaya
Putu Irianti
I Made
Made Dwijaya
Putra Atmaja
I Made
Adikampana
W. Sudarma
SEKRETARIAT
ALAMAT
I Wayan Sumerthareadi
Program Studi Pariwisata
Desak
Putu Irianti
Universitas Udayana
Made
Dwijaya
Jl. DR.R. GorisPutra
No. 7Atmaja
Denpasar
W.
Sudarma
Telp./Fax. 62 361 223798
ALAMAT
Gambar Depan :
Program
Studi Pariwisata Universitas
http:/www.bkscan.com
Udayana
edit by: Kusuma Negara, 2006
Jl. DR>R. Goris No. 7 Denpasar
Telp / Fax. 62 361 223798
1
I Wayan Wijayasa mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi berkembangnya seks dalam pariwisata.
Kontjoro melihat pelacuran sebagai sebuah prolema
sosial multiperspektif yang dapat saja meuncul dalam
bisnis pariwisata. Sedangkan I Made Winaya dalam
tesis ilmiahnya lebih menegaskan bahwa pelacuran
bisa saja merambah pada dunia laki-laki sebagai gigolo
dalam industri pariwisata.
Mesti diakui, bahwa seks adalah realita dalam
kehidupan manusia. Begitu pun pariwisata, bukan lagi
sebuah gejala. Pariwisata sudah menjadi realita,
aktivitas bahkan industri yang dapat menghidupi jutaan
manusia.
Persoalannya, apakah seks merupakan faktor
afinitas yang dapat menjadi daya tarik pengembangan
pariwisata ataukah industri pariwisata yang menjadikan
seks tidak lagi berada dalam ruang personal tetapi
menjadi milik publik. Inilah barangkali yang perlu terus
dikaji dan dicermati.
R e d a k s i
Analisis Pariwisata Volume 7, Nomor 2, 2006
PELACURAN LAKI-LAKI DALAM INDUSTRI PARIWISATA BALI
(STUDI KASUS GIGOLO DI KAWASAN PARIWISATA KUTA)
I Made Winaya
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
The positive impact of tourism is always followed by its negative impact. This can also be
seen at Kuta tourist area. The positive impact is that more job opportunities are available
at Kuta and this, on the other hand, has invited a grreat number of people to go there to
get the jobs. Consequantly, there has been a tight competition among them. In this
situation, many of them, particularly those who are not skilled, have tried to get non formal
jobs such as becoming vendors, drink sellers beach boys and gigolo.
Key words : tourism and male prostitution
1. Pendahuluan
Perkembangan pariwisata yang pesat di Bali telah membawa dampak yang cukup
besar dalam kehidupan masyarakat Bali. Beberapa dampak positif dari kemajuan
pariwisata Bali antara lain meningkatnya lapangan usaha baik yang terkait langsung
dengan pariwisata maupun yang tidak terkait langsung dengan pariwisata. Sebagai akibat
dari peningkatan lapangan usaha ini, meningkat pula kesempatan kerja pada berbagai
kegiatan yang berhubungan dengan pariwisata sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan pendapatan masyarakat yang langsung bekerja di sektor pariwisata.
Di samping hal-hal positif tersebut, sektor pariwisata juga membawa dampak negatif.
Dampak negatif tersebut dapat berupa dampak terhadap sosial-budaya, ekonomi,
lingkungan maupun psikologis. Dampak positif maupun negatif umumnya berkembang
bersamaan dengan pariwisata dan modernisasi secara global. Salah satu bentuk dampak
sosial negatif yang akhir-akhir ini keberdaannya semakin merebak adalah gencarnya
praktek prostitusi, baik prostitusi wanita (WTS) maupun pelacuran laki-laki, yang sering
diistilahkan dengan gigolo atau beach boys, kejahatan kepada tamu dan narkoba yang
banyak terjadi di daerah wisata yang terbuka sepanjang siang dan malam seperti Kuta.
Kuta, saat ini telah berkembang ke arah wujud masyarakat majemuk, dan menuju ke
arah multietnis. Akibatnya sistem kontrol sosial tradisional makin kabur dan kurang efektif
dalam fungsinya. Kontrol sosial yang cenderung melemah ini, memicu juga munculnya
berbagai bentuk perilaku anormatif seperti praktek pelacuran baik pelacuran wanita
(WTS.) maupun pelacuran laki-laki yang sering disebut beach boys atau gigolo.
Fenomena yang belakangan ini berkembang, yang sangat menarik untuk dikaji lebih
mendalam adalah munculnya pelacur laki-laki atau yang sering disebut gigolo atau beachboys. Sisi menarik
dari pelacur laki-laki ini adalah mereka khusus hanya melayani
wisatawan mancanegara saja.
Pelacur laki-laki ini, terdiri dari tiga kelompok, yaitu 1. kelompok pelacur laki-laki
yang melayani semua wisatawan, baik Jepang, bule atau wisatawan mancanegara sesama
jenis, yaitu sesama laki-laki. 2. Pelacur laki-laki yang khusus melayani wisatawan Jepang
saja dan 3. Pelacur laki-laki yang khusus melayani wisatawan bule saja. Fenomena ini
sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam untuk memahami apa motivasi sosial
mereka, dan apa pula latar belakang sosial mereka, serta bagaimana jaringan kerja mereka
(networking mereka).
2. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui latar belakang sosial pelacur laki-laki di kawasan wisata Kuta.
b. Untuk mengetahui apakah motivasi sosial pelacur laki-laki di kawasan wisata Kuta.
3. Tinjauan Pustaka
3.1 Penelitian Terdahulu
Hingga saat ini, kepustakaan tentang pelacuran laki-laki atau gigolo masih sangat
terbatas jumlahnya, atau dapat dikatakan masih sangat langka. Hasil-hasil penelitian yang
dapat dijumpai mengenai pelacuran laki-laki atau gigolo terbatas pada kajian dari sudut
pandang kesehatan khususnya terkait dengan resiko penularan, pemahaman dan
pencegahan penyakit menular seks / PMS. dan HIV/AIDS di kalangan gigolo.
Terence
H
Hull
bersama
Endang
Sulistyaningsih
dan
Gavin
W.Jones,
menggolongkan gigolo ke dalam pelacuran, namun hanya membahas tentang sejarah dan
kondisi sosial pelacuran di Indonesia, dengan tujuan untuk melihat perubahan perilaku dan
pengorganisasian mereka dari waktu ke waktu, terutama berkaitan dengan masalah
kesehatan dan tatanan sosial, ( Vickers,1989).
Secara nasional, jumlah pelacur dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan
atau selalu mengalami pertambahan dalam hal kuantitas. Hal ini telah dicatat oleh Dinas
Sosial dan juga Polisi, di mana pada tahun 1992/1993 pelacuran yang terdaftar mencapai
jumlah 47.454 orang selanjutnya pada tahun 1993/1994 jumlah tersebut mengalami
peningkatan menjadi 65.059 orang, dan tahun 1994/1995 jumlah tersebut membengkak
menjadi 71.281 orang. Jumlah ini, adalah jumlah pelacur yang tercatat saja, sehingga
jumlah yang sesungguhnya sangat jauh lebih besar dari jumlah ini, termasuk pelacuran
terselubung, seperti panti-panti pijat atau pelacur jalanan yang sulit diketahui secara pasti.
Bila palacuran wanita seperti demikian keadaannya,dari tahun ke tahun selalu
mengalami kenaikan dalam hal kuantitas, lalu bagaimana jumlah pelacur laki-laki atau
gigolo, apakah menunjukkan hal yang sama?
Temuan Sukiartha dan kawan-kawan (1999) dari tim yayasan Citra Usadha
Indonesia, menunjukkan bahwa dari tahun 1996 sampai 1998 telah terdeteksi sebanyak
kurang lebih 958 orang gigolo di Bali telah memperoleh informasi untuk peningkatan sikap
agar berperilaku seks yang aman. Dari temuan ini, tampak jumlah gigolo di beberapa
objek wisata di Bali cukup banyak. Terlebih di objek wisata Kuta, jumlah gigolo akan jauh
lebih banyak karena objek ini jauh lebih ramai dan terbuka serta jauh lebih berkembang
dibandingkan objek-objek wisata lainnya di Bali.
3.2 Konsep : Pelacuran dan Pelacur Laki-laki
Berbicara masalah pelacuran, sama seperti membicarakan masalah purba, masalah
lama, tetapi masalah pelacuran ini, adalah masalah yang masih terasa tetap baru untuk
dibicarakan, masalah yang tetap menarik untuk didiskusikan, masalah yang masih tetap
up to date untuk dibahas. Bila pelacuran diidentikkan dengan musik atau lagu, maka
pelacuran adalah karya Bet Hoven, Mozard ataupun The Beatles, karya-karya lama yang
akan tetap menyenangkan untuk didengar, karya-karya lama yang masih sangat merdu
untuk didendangkan, bahkan karya-karya lama yang sangat menyenangkan untuk
dinikmati. Sulit untuk memberi kepastian kapan munculnya pelacuran di muka bumi
persada ini. Namun, pelacuran, konon, usianya setua peradaban manusia itu sendiri.
Pelacuran yang sering disebut sebagai prostitusi, ( dari bahasa Latin pro-stituere atau
pro - stauree ) berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundelan, percabulan
dan pergedakan ( Kartono,1981: 203).
Sementara itu Bonger mengatakan prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dengan
wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian
(Bonger, 1950;16, dalam Purnomo, 1983: 10). Sedangkan Amstel menyatakan, prostitusi
adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran (Kartono,
1981:209).
Sejajar dengan pendapat atau difinisi tersebut, Iwan Bloch berpendapat, pelacuran
adalah suatu bentuk perhubungan kelamin diluar pernikahan dengan pola tertentu, yakni
kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk
persebadanan, maupun kegiatan
seks lainnya
yang memberikan kepuasan
yang
diinginkan oleh yang bersangkutan.
Sementara itu Commenge mengatakan prostitusi atau pelacuran itu adalah suatu
perbuatan seorang wanita memperdagangkan
atau menjual tubuhnya, yang dilakukan
untuk memperoleh bayaran dari laki-laki yang datang; dan wanita tersebut tidak ada
pencaharian nafkah lainnya kecuali yang diperolehnya dari perhubungan sebentar-sebentar
dengan banyak orang ( Purnomo, 1983: 10-11)
Pelacuran, adalah hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berbeda yang
dilakukan di luar tembok perkawinan dan berganti-ganti pasangan - baik dengan menerima
imbalan uang atau materi lainnya maupun tidak ( Purnomo, 5 : 1983 ). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pelacuran adalah prihal menjual diri sebagai pelacur;
penyundalan.
Menurut Encyclopedia Britanica dalam Dam Truong (1992:15), pelacuran
didefinisikan sebagai praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan
dengan siapa saja (promiskuitas) untuk imbalam berupa upah. Dengan demikian menurut
difinisi ini dalam pelacuran akan ada tiga unsur utama yaitu: pembayaran, promiskuitas
dan ketidak acuhan emosional. Adanya elemen promiskuitas, mununjukkan asumsi bahwa
hubungan seksual diterima secara moral hanya di dalam batas-batas hubungan yang
diterima secara sosial. Elemen pembayaran dan ketidak acuhan emosi merefleksikan
asumsi bahwa hubungan seksual dalam hubungan-hubungan yang diterima secara sosial
adalah bebas dari pembayaran dan melibatkan ikatan emosional.
Di samping itu Davis (1973, 55) memberi argumentasi, oleh karena pembayaran
dalam benatuk tertentu juga dapat ditemukan dalam pranata sosial lain seperti pernikahan
dan pertunangan, maka unsur promiskuitaslah yang harus ditonjolkan dalam difinisi untuk
membedakan pelacuran dari corak-corak hubungan seksual lain. Pandangan ini ternyata
diperluas oleh Polsky (Dam Truong, 1992:16). Dia mendifinisikan pelacuran sebagai
pemberian seks diluar pernikahan sebagai pekerjaan. Meskipun demikian Polsky menolak
penyertaan unsur promiskuitas karena unsur ini dalam prakteknya di masyarakat sangat
dimungkinkan mengandung bias. Dia menyatakan banyak perempuan yang terlibat
hubungan seks, tanpa terlibat unsur pembayaran, namun mereka itu tetap tidak dapat
digolongkan sebagai pelacur. Dalam Oxford Advanced Leaner’s Dictionary Of Current
English (AS. Hornby:1987:672) menyebutkan Prostitute : person who offers
herself/himself for sexual intercourse for payment.
Dari definisi-definisi tersebut secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga
unsur utama seseorang dapat dikatakan pelacur yaitu : pembayaran, promiskuitas dan
ketidakacuhan emosional. Sedangkan gigolo, beach-boys atau apa yang diistilahkan sundel
muani termasuk atau dapat dikategorikan pelacur karena di samping memenuhi ketiga
syarat tersebut juga pernyataan person who offers herself / himself for sexual inttercourse
for payment.
4. Metode Penelitian
Data yang diperoleh dalam penelitian ini melalui observasi, wawancara mendalam
dan teknik dokumen. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan kualitatif dalam wujud
uraian.
5. Hasil dan Pembahasan
5.1 Latar Belakang Sosial Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta
Berbicara tentang pelacuran berarti berbicara tentang uang, lalu, apakah seseorang
yang melacurkan diri selalu bertujuan untuk mendapatkan uang? Beberapa faktor yang
selama ini dipahami paling mempengaruhi dalam menuntut seseorang untuk menjadi
pelacur adalah: (1) pendidikan rendah, (2) pendapatan rendah, (3) kemiskinan, (4) tidak
memiliki keterampilan, dan (5) pengangguran (Koentjoro, 2004, 84). Bila kelima faktor ini
yang terbukti menjadi pemicu seseorang menjadi pelacur, apakah demikian halnya dengan
pelacur laki-laki di pantai Kuta?
Tabel 1
Komposisi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Menurut Pendidikan Formal
No.
1
2
3
4
Tingkat Pendidikan
Sekolah Dasar
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Umum
Perguruan Tinggi
Jumlah
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
Jumlah (orang)
10
40
50
Persentase
20
80
100
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa sebagian besar pelacur laki-laki, 80%, sudah
mengenyam pendidikan Sekolah Menenganh Tingkat Atas atau yang sederajat, sekalipun
banyak diantara mereka yang mengatakan, bahwa mereka tidak menamatkan pendidikan
mereka. Sedangkan sebagian kecil yaitu 20% tamatan Sekolah Menengah Tingkat Pertama
dan tidak ada diantara mereka yang pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Tinggi
dan tidak ada pula di antara mereka yang tamatan Sekolah Dasar.
Tabel 2
Komposisi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta Menurut Daerah Asal
No.
1
2
3
4
Daerah asal
Desa Kecamatan
Bali
Jawa Timur
34
2
Jawa Barat
Sumatra
4
Jumlah
29
11
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
Kabupaten
4
5
9
Kota
1
1
Jumlah
4
37
5
4
50
Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa sebagaian besar pelacur laki-laki di pantai Kuta,
68%, berasal dari desa-desa daerah pinggiran Jawa Timur, 4%diantaranya dari kota
kecamatan dan 2% dari kota. Kemungkinan penyebabnya adalah, karena jarak Bali dan
Jawa timur cukup dekat yang mengakibatkan mobilitas orang akan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan mereka dari daerah-daerah lainnya, dan sebagian besar pula dari
mereka tinggal berkelompok di daerah-daerah kumuh di Tuban dan Legian. Sedangkan
sisanya berasal dari Bali 8%, Sumatra 8% dan Jawa Barat 10%. Dari data yang tertera
dalam tabel 3 ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar, 74% pelacur laki-laki di pantai
Kuta berasal dari Jawa Timur. Dari wawancara yang penulis lakukan, sebagian besar dari
mereka, khususnya mereka yang berasal dari Jawa Timur, berasal dari desa-desa yang
sama satu dengan yang lainnya. Dari komposisi umur, 54% berusia antara 21-30 tahun,
28% berusia 15-20 tahun dan sisanya 18% berumur diatas 30 tahun. Sementara cara
mereka datang ke Kuta, sebagian besar (72%) dibawa oleh teman sedesa mereka, datang
untuk mencari kerja 10% dan mendengar informasi dari teman sebanyak 18%.
5.2 Motivasi Menjadi Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta
Motivasi, adalah dorongan yang menuntut pemenuhan atas kebutuhan dasar,
sehingga motif dipengaruhi oleh situasi yang bervariasi, dengan demikian motif memegang
peran yang sangat penting dalam memahami perilaku seseorang. Kata-kata motive,
motivation, dan need dalam berbagai literatur sering digunakan secara bergantian atau
sering saling menggantikan. Para pakar cenderung menghubungkan motive dan need, dan
sering pula digunakan istilah motive, namun pada kesempatan lain menggunakan istilah
need. Menurut McClelland, dalam diri setiap orang terdapat dua motif utama yaitu, motif
biologis dan motif sosial (Koentjoro, 2004). Motif biologis adalah sisitem kebutuhan
manusia yang paling mendasar. Motif ini termasuk kebutuhan akan makanan, air, dan seks.
Tabel 3
Motivasi Menjadi Pelacur Laki-laki
No.
1
2
Motifasi
Cepat menghasilkan uang
Mencari kenikmatan seks
dengan orang asing
3
Ingin seperti teman yang sudah
jadi pengantar tamu
Jumlah
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
Jumlah (orang)
26
Persentase
52
5
19
10
38
50
100
Bila tabel 3 dicermati secara seksama, maka motifasi yang mendorong beach boys
untuk menjadi pelacur laki-laki sebagian besar 52% adalah untuk mendapatkan uang
dengan lebih cepat, dan tentunya dalam jumlah yang lebih banyak. Sedangkan mereka
yang ingin mendapatkan kenikmatan seks dengan orang asing jumlahnya hanya 10%.
Namun sisanya 38%, menjadi pelacur laki-laki karena ingin seperti teman-teman mereka
yang telah terlebih dahulu menjadi pengantar tamu, (istilah ini, pengantar tamu digunakan
untuk orang yang bekerja sebagi pelacur laki-laki). Dari hasil wawancara mendalam, dapat
diketahui bahwa banyak diantara pelacur laki-laki yang berasal dari daerah pinggiran Jawa
timur pulang bersama wanita wistawan asing, dan hal itu sangat diidamkan oleh pemudapemuda dari desa yang bersangkutan.
Motifasi para beach boys menjadi pelacur laki-laki juga sangat dipengaruhi oleh
aspirasi materi yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari jawaban mereka bahwa mereka
menjadi pelacur laki-laki untuk mendapatkan uang lebih cepat (50%). Bila jawaban ini
dikaitkan dengan jawaban nomor tiga maka sangat jelas ada hubungan yang sangat
signifikan, yaitu mereka ingin seperti teman mereka yang sudah menjadi pengantar tamu
(40%), dimana mereka sudah dapat hidup lebih baik dengan nya.
Bila demikian
kenyataannya, lalu berapakah penghasilan seorang pelacur laki-laki di Pantai Kuta
sebulan?
Tabel 4
Penghasilan Rata-rata Pelacur Laki-laki di Pantai Kuta dalam Sebulan
No.
1
2
3
Penghasilan Rata-rata dalam Satu Bulan
3 - 5 Juta rupiah
6 - 10 Juta rupiah
10 Juta rupiah >
Jumlah
Sumber: Diolah dari data primer, 2005.
Jumlah (orang)
15
26
9
50
Persentase
30
52
18
100
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa penghasilan pelacur laki-laki di pantai Kuta sebagian
besar 52%, berkisar antara enam juta sampai dengan sepuluh juta. Sedangkan sisanya 30%
berpenghasilan antara tiga juta rupiah sampai dengan lima juta rupiah, sedangkan mereka
yang berpenghasilan diatas sepuluh juta hanya 18%. Perlu pula dicatat bahwa, mereka
yang berpenghasilan di atas sepuluh juta rupiah, sebagian besar pelacur laki-laki yang
melayani pelanggan gay atau juga pelacur laki-laki yang melayani wisatawan mancanegara
dari semua jenis kelamin pria atau wanita. Bila dilihat dari penghasilan para pelacur lakilaki tersebut, maka sesungguhnya dengan penghasilan seperti itu, seharusnya mereka dapat
hidup berkecukupan. Namun demikian, menurut pengamatan, sangat sedikit diantara
mereka yang memiliki sepeda motor, serta tempat tinggal/tempat kos mereka sangat
sederhana bahkan dapat dikatakan kumuh, karena mereka mengontrak kamar berkelompok
di tempat kompleks pendatang yang sangat kumuh di Legian dan Tuban. Sedangkan
Dilihat dari jaringan kerja, mereka tidak memiliki organisasi formal ataupun non-formal
dan tidak memiliki induk semang ataupun perantara. Perselisihan diantara mereka pun
tidak pernah terjadi, dan mereka selalu saling mengalah dalam mencari tamu.
6. Simpulan dan Saran
6.1 Simpulan
Secara singkat, hasi penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Dilihat dari latar belakang sosial yaitu dari tingkat pendidikan pelacur laki-laki di
Pantai Kuta, maka sebagian besar dari mereka
(80 %), berpendidikan Sekolah
Menengah Umum atau sederajat, 20% sisanya berpendidikan Sekolah Menengah
Pertama dan tidak ada diantara mereka yang tamatan Sekolah Dsar dan tidak ada juga
yang berpendidikan perguruan tinggi. Menurut daerah asal pelacur laki-laki di pantai
Kuta, sebagian besar (74 %), berasal dari Jawa Timur, yaitu 68 % berasal dari desa dan
8% nya berasal dari kota kecamatan, dan 2% berasal dari kodya. Sementara sisanya 10
% berasal dari Jawa Barat dan 18% lainnya berasal dari Sumatra. Dari Komposisi
umur, sebagian besar (54 %) pelacur laki-laki di pantai Kuta berusia antara 21 – 30
tahun, sedangkan sisanya 28 % berusia antara 15 – 20 tahun dan mereka yang berusia
di atas 30 tahun sebesar 18 %.
b. Dilihat dari motivasi sosial pelacur laki-laki di pantai Kuta, maka sebagian besar (52
%), dari mereka menjadi pelacur karena ingin mendapatkan uang dengan lebih cepat,
sedangkan sisanya 38 %, mereka ingin seperti teman-teman mereka yang telah menjadi
pengantar tamu dan sisanya 10 %, ingin mencari kenikmatan seksual dengan orang
asing. Dilihat dari penghasilan para pelacur laki-laki di pantai Kuta, maka sebagian
besar (52 %) berpenghasilan antara 6 – 10 juta perbulan, sedangkan 30 %
berpenghasilan antara 3 – 5 juta perbulan dan sisanya 18 % berpenghasilan di atas 10
juta rupiah perbulan, dengan catatan, mereka ini sebagian besar adalah pelacur laki-laki
yang melayani wanita dan pria wistawan asing serta yang khusus melayani kaum gay.
6.2 Saran
Dari penelitian ini, dapat diidentifikasi bahwa orang-orang yang diwawancarai yang
berprofesi sebagai pelacur laki-laki sebagian besar berasal dari daerah dan juga desa yang
sama, serta menganut kepercayaan yang sama pula, maka, untuk memperbaiki kontrol
sosial tehadap pelacur laki-laki di pantai Kuta, maka dapat direkomendasikan beberapa hal
sebagi berikut :
a. Dibuatkan kebijakan sosial bagi komonitas di desa penghasil pelacur laki-laki di pantai
Kuta. Kebijakan yang dimaksud adalah pendekatan yang terfokus pada model
pendekatan agama. Dengan demikian, kekuatan kepercayaan yang dianut ini dapat
digunakan untuk membantu mendasari dukungan kepada yang bersangkutan.
b. Dibuatkan aturan-aturan formal di daerah mereka melakukan praktik pelacuran, yaitu
di desa Kuta. Aturan-aturan yang dimaksud adalah berupa undang-undang / awig-awig
desa adat, karena yang mengelola pantai Kuta saat ini adalah desa yang bersangkutan,
dan sejauh ini tidak ada aturan yang tertulis ataupun aturan yang tidak tertulis yang
mengatur kegiatan pelacuran laki-laki ini, dan yang diatur dan diberantas hanya pelacur
wanita / WTS.
c. Kepada pihak pengelola pantai Kuta, agar lebih memperhatikan orang-orang atau
pendatang yang berasal dari daerah-daerah penghasil pelacur laki-laki tersebut, dan
bila perlu melarang mereka melakukan kegiatan apapun di pantai.
d. Penelitian ini belum mampu mengungkap persepsi orang tua, sanak keluarga ataupun
tetangga pelacur laki-laki tersebut. Bila hal ini dapat dilakukan maka hasilnya akan
mampu menghasilkan penelitian yang lebih menarik. Oleh karena itu untuk peneliti
yang akan meneliti pelacuran laki-laki, ada baiknya untuk memahami pelacuran lakilaki dari partisipan tersebut.
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan. et. al. 2003. Dampak Ekonomi, Sosial Dan BudayaTragedi Peledakan
Bom Terhadap Masyarakat Kuta dan Sekitanya. Hasil Penelitian.
Bagus, I Gusti Ngurah, 1978. Bali dalam Sentuhan Pariwisata, Denpasar: Jambatan.
Banerji, S.C. and Banerji,R. 1989. The Costa-way of Indiaan Society: History of
Prostitution in India Since Vedic Times, Calcuta: Punthi.
Barry, K.1984. International Feminism: Networking Against Female Sexual Slavery. New
York: International Women’s Tribune Centre.
Burns, P M and Holden, A. 1995. Tourism : A New Perspective,
HemelHempstead (UK) : Hall International Limited.
Prestice,
Butler, R.W. 1996. The Role Of Tourism In Cultural Transformation In Developing
Countries, dalam Tourism And Culture : Global Civilisation In Change, Wiendu
Nuryanti (ed), Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Dahles, Heidi. 12998. Of Birds and Fish: Street Guides, Tourists, and Sexual Encounters In
Yogyakarta: Indonesia, dalam Sex Tourism and Prostitution, aspects of Leisure,
Recreation and Work. NewYork: The United Stated Of America
Dam Troung, 1992. Seks Uang dan Kekuasaan : Pariwisata Dan Pelacuran Di Asia
Tenggara, diterjemahkan oleh Ade Armando. Jakarta: LP3ES.
Davis,K. 1973. The Sociology of Prostitution, New York: MacMillan.
Homans,George C. 1964. Bringing Man Back In. American Sociological Review. New
York: Macmillan Publishing Co.Inc.
Koentjoro, 2004. On The Spot, Tutur Dari Sarang Pelacur. Yogyakarta: CV. Qalam.
_________, 1995. Sexsual Networking, paper seminar diadakan oleh Pusat Riset
Kependudukan, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Leivadi Stella and Andrew Yiannakis, 2002. The Sociolgy Of Tourism, New York:
Routledge.
Mc.Kean, Philip Frick. 1971. Pengaruh-pengaruh Asing Terhadap Kebudayaan Bali,
Hubungan Happies dan Pemuda Pemuda Internasional Dengan Masyarakat Bali
Masa kini. Denpasar: Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Meranti, Tuti Parwati, 1991. Pengembangan Materi Penyuluhan AIDS Untuk Beberapa
Kelompok Sasaran di Propinsi Bali, Denpasar: UPLEK FK. Unud.
Mathieson, Alister, Geoffrey Wall 1992, Tourism : economic, physical and social
Impacts. New York: John Wiley & Son, Inc.
Murphy, P.E. 1985. Tourism : A Community Approach, New York: Methuen.
Nash,Danison. 1996. Antropology of Tourism. New York: Elsevier Science Ltd.
Oppermann, Martin. 1998. Sex Tourism and Prostitution, Aspect of Leisure, Recreation
and Work. New York: The United States of America.
Pitana, I Gde1999, Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan
Bali di Penghujung Abad, Denpasar: Pt. B.P.
_________, et.al.2000. Kuta Cermin Retak Pariwisata Bali, Denpasar: P.T. B.P.
_________, 2002. Pariwisata, Wahana Pelestarian Kebudayaan dan Dinamika Masyarakat
Bali, Orasi Ilmiah, Denpasar: Universitas Udayana.
Poloma.Margaret M. 2003. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Salim, Agus. 2001. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pt. Tiara
Wacana.
Soekanto Soerjono, 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Spillane, James. 1994. Pariwisata Indonesia: Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Sudarsono, 1998. Gigolo dan Seks, Resiko Penularan, Pemahaman, dan Pencegahan PMS.
Yoyakarta: Pusat Penelitian dan Kependudukan UGM.dengan Ford Foundation.
Sukarsa, I Made, 1998. Peranan Beach Boys Dalam Meningkatkan Length of
Wisatawan di Kawasan Wisata Sanur, Kuta Dan Nusa Dua, Hasil Penelitian.
Stay
Sukiartha, Ketut dkk. 2000. Strategi Intervensi Pencegahan PMS. HIV./AIDS dalam
Praktik Gigolo Pada Pemuda Lokal Pekerja Pariwisata di Lovina. Buleleng Bali,
Denpasar : Yayasan Citra Husadha Indonesia.
Young Kimball and Raymond, W Mack. 1959 : The Sociiology and Social Life, Newe
York: American Book Company.
PELACURAN : SEBUAH PROBLEMA
SOSIAL MULTI PERSPEKTIF
Koentjoro
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Abstract
Lots of expert and decision maker believed that the rising number of prostitution is caused
by poverty. This assumption comes from peripheral researches which finally bring out
incorrect assumption. According to the writer, prostitution is caused by material aspiration
and cultural endorsement, without neglecting poverty aspect. It is important to have
profound research related to prostitution in perspective of social problems as it has
complexity in the area of problems, stated by Bullough and Bullough (1996).
Key word : prostitution and social problematic
1. Pendahuluan
Banyak pakar dan pengambil kebijakan yang hingga saat ini masih percaya pada
asumsi bahwa pelacuran terjadi sebagai akibat kemiskinan. Menurut penulis munculnya
asumsi yang salah itu sebagai akibat dari penelitian periferi dan pergumulan asumsi, yang
kemudian muncul sebagai sebuah asumsi yang salah dan dipercaya oleh banyak orang.
Bullough and Bullough (1996) menyatakan bahwa banyak pakar mendiskusikan masalah
kosong tentang pelacuran; berangkat dari asumsinya kemudian terjadi polemik, muncul
hipotesis; namun kesemuanya itu kosong dan tidak sesuai dengan kenyataan. Bullough and
Bullough (1996) menyarankan bahwa untuk memahami pelacuran diperlukan penelitian
yang sangat mendalam karena kompleksitas masalahnya.
Menurut penulis penyebab pelacuran adalah tingginya aspirasi material dan
dukungan budaya, meski peranan kemiskinan tidak dapat kita abaikan. Oleh karenanya
kalau dicermati penyebab pelacuran itu bersifat universal. Di negara maju yang ada social
security nyapun dijumpai masih banyak pelacuran di sana. Berangkat dari sejarah panjang
terjadinya daerah-daerah tertentu penghasil pelacur, yang terjadi adalah pelacuran dan
pelacuran kemudian berkembang menjadi bagian dari budaya masyarakat tersebut.
Menurut Koentjoro (1988 dan 1989) hal ini mengakibatkan: (a) kontrol sosial masyarakat
menjadi melemah, (b) toleransi terhadap pelacuran dan perselingkuhan meningkat, (c)
aspirasi material masyarakat meningkat.
Menurut Koentjoro (1998) di daerah penghasil pelacur : (a) menjadi pelacur itu
rewarding, (b) pelacur yang berhasil menjadi model sosialisasi, (c) Motif melacur tidak
selalu datang dari anak, namun dapat terjadi datang dari orangtua, suami, anak, orangtua
pada umumnya didominasi oleh aspirasi material yang sangat tinggi, dan telah mendapat
pengaruh dari instigator, (d) disinyalir ada bantuan khusus dari mucikasi/sponsor/instigator
untuk menciptakan keterikatan sekaligus social marketing, dengan cara memberi pinjaman
untuk membangun rumah dengan daya modern dan melengkapi perabot rumah tangga, (e)
sosialisasi pelacur pada anak terjadi sejak usia dini. Dari kajian rational decision making
theory, pilihan menjadi pelacur adalah pilihan rational (Murray, 1991).
1.1 Beberapa Pertanyaan yang Harus Dijawab
Berdasarkan uraian di atas ada sebuah pertanyaan utama (dilanjutkan pertanyaan
tambahan yang lain) yang perlu diajukan, dan dijawab yaitu : “Dapatkah pelacuran
dihapuskan, dibrantas atau dihilangkan di Indonesia?” Belum ada seorangpun dari
ratusan orang dari berbagai latar belakang yang pernah saya tanya menjawab : “dapat”.
Mereka dengan nada pesimis mengatakan bahwa “tidak bisa dan tidak mungkin”. Terus
terang saya menunggu jawaban orang yang menjawab “dapat”, sebab sebuah pertanyaan
lain akan saya diajukan adalah : “bagaimana caranya?”. Hampir semua orang mengatakan
perlunya wadah pengentasan. Namun ada orang tertentu yang mengatakan : “didiamkan
saja, maksiat tidak perlu diselenggarakan saja ada apalagi diselenggarakan”.
Ketika pertanyaan berikut : “kalau dibina atau dikendalikan bagaimana caranya?
Banyak yang menyatakan “……wah itu berat…perlu dipikir…”. Penulis percaya bahwa
untuk menjawab pertanyaan ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun demikian adalah
tugas kita semua untuk membuat agar masalah pelacuran ini diangkat dan sekaligus
disosialisasikan sebagai masalah kita bersama dan bukan masalah dinas atau departemen
sosial semata. Kegiatan yang meletakkan masalah pelacuran sebagai masalah kita bersama
dapat merangsang munculnya bottom up development, apalagi adanya keterbatasan dana
pembangunan dari dinas dan departemen sosial. Oleh karena itu nantinya diharapkan
sumbang saran berbagai pihak tentang penanganan dan pengentasan pelacur dan pelacuran.
1.2 Evaluasi Penanganan Pelacuran di Indonesia
Berbicara masalah upaya rehabilitasi pelacur ini, ada beberapa hal yang menurut
penulis perlu mendapat perhatian serius. Seperti telah diuraikan di atas masalah pelacuran
adalah masalah yang sangat kompleks. Oleh karena itu pemahaman yang komprehensif
sangatlah diperlukan. Bahwa di samping telah terjadinya pruralitas pendapat dalam
masyarakat tentang pandangan dan upaya rehabilitasi, telah pula terjadi beberapa kebijakan
penanganan yang kurang pas dan tidak mengenai sasaran. Ada beberapa kelemahan
kebijakan penanganan pelacuran dimasa yang telah lalu yang menurut hemat penulis perlu
dievaluasi: Beberapa kebijakan yang perlu dievaluasi itu adalah: (a) Asumsi penyebab
pelacuran yang kurang tepat, (b) Kurang adanya kesepakatan dalam istilah pelacur, WTS,
PSK. Demikian pula konsistensi penyebutan istilah resosialisasi dengan lokalisasi dalam
berbagai keterangan resmi, (c) Pendekatan penanganan yang sangat partialistik: (c.1)
komplek sentris atau panti sentris atau departemen sentris. Sayangnya koordinasi interdepartementalnya sangat minim, (c.2) kurang diperhatikannya keterkaitan penanganan
antara daerah asal pelacur dan daerah tujuan kerja pelacur, (c.3) upaya “garukan”: tujuan
dan alasannya tidak jelas dan mengada-ada, dan tidak diikuti dengan pembinaan lanjutan
yang berkesinambungan, (c.4) perencanaan program perlakuan kepada pelacur kurang
memperhatikan peranan ahli psikologi dan pendidikan.
2. Pelacuran dan Perzinahan: Legal dan Illegalitas Pelacuran di Beberapa Negara
Pelacuran dan perzinahan hampir sama dalam konteks hubungan seks di luar nikah,
walaupun keduanya tidaklah sinonim. Tetapi di banyak negara seperti Indonesia ketika
polisi menangkap pelacur, mereka dijatuhi hukuman seperti pezinah. Tidak ada hukum
khusus tentang pelacuran. Dalam banyak kasus orang-orang melihat pelacuran dan
perzinahan adalah sama. Maka sangatlah penting untuk melihat dua fenomena ini secara
bersama-sama. Banerji dan Banerji (1989) menyatakan bahwa perzinahan adalah bentuk
pelanggaran hukum di semua negara dunia. Pernyataan ini mengundang ketidaksetujuan
dan kritikan. Di banyak negara, perzinahan tidaklah melanggar hukum tapi beberapa
negara yang masih dipengaruhi oleh adat istiadat seperti Indonesia, melihat hal ini sebagai
pelanggaran hukum. Menurut KUHP (pasal 506), perzinahan adalah illegal. Tetapi, negara
barat seperti beberapa negara bagian di USA melihat perzinahan sebagai peristiwa biasa
(Bullough & Bullough, 1987). Berkaitan dengan pelacuran, boyle dan Noonan (1987),
Muecke (1992), dan Jolin (1994) menyimpulkan bahwa pelacur dan pelacuran
diperlakukan secara tidak jelas oleh hukum yang sangat fleksibel. Ini menegaskan temuan
bahwa di Australia, pelacuran masih berkutat dengan standard ganda. Carpenter (1994)
menyatakan bahwa hanya pelacur yang dihukum karena menjual seks tapi pelanggannya
bebas berkeliaran. Pelacuran adalah illegal di Gambia (pickering dkk, 1992), demikian
juga turisme seks di Thailand dan Filipina yang termasuk illegal (muecke, 1992). Di
Senegal, semua pelacur harus terdaftar dan harus menjalani pemeriksaan kesehatan secara
periodik (Pickering dkk, 1992).
Walaupun banyak terjadi penolakan sosial terhadap pelacuran di sebagian besar
negara Asia, pelacuran masih sangat perlu di masyarakat untuk kontrol sosial. Bonaparte
(Bullough dan Bullough, 1987) mengatakan bahwa pelacuran adalah suatu kebutuhan,
tanpa itu, laki-laki akan menyerang wanita baik-baik di jalanan. Coeman and Cressey
(1987) menekankan aspek positif dari pelacuran dan setuju dengan pernyataan Bonaparte,
Hal ini ditantang oleh mereka yang menyatakan bahwa keadaan seperti itu berarti
eksplotasi terhadap wanita demi melindungi yang lainnya dan melepaskan tanggung jawab
pria dari perilaku mereka sendiri. Tetapi, mereka menyatakan bahwa praktek pelacuran
harus dikontrol karena 4 (empat) alasan yaitu pertama, ia ‘memancing’ pria yang tidak
tertarik pada pelacuran sebelumnya. Kedua, ia akan merambah ke daerah yang tidak
mengenal pelacuran sebelumnya. Ketiga, penyakit menular akan merajalela. Keempat, jika
rumah bordil ditutup, jumlah pelacur jalanan akan makin banyak sehingga masalah lebih
serius lain akan timbul (Coleman dan Cressey, 1987).
Definisi dan status pelacuran masih terbuka untuk diperdebatkan. Mengapa
pelacuran harus dihukum karena memberikan jasa seks? Ada tiga alasan di balik itu semua.
Pelacur adalah media penyakit menular seksual (Nahmiah dalam peterson, 1990). Jadi,
pelacuran harus dihentikan. Tanpa pelacuran, diasumsikan bahwa penularan penyakit
AIDS, yang disebut penyakit palacur (de Bruyn, 1992)dapat dikendalikan.
Pelacuran juga dianggap sebagai perbudakan seks wanita (Barry, 1979; Bullough
dkk, 1988 dan Jolin, 1994). David dan Staz (1990) menetapkan dua alasan utama di balik
pandangan ini. Pertama, pria menghendaki pelayanan seks, dan akan membayar untuk itu,
dan mereka sangat suka jika wanita yang memberikan pelayanan itu. Kedua, apakah
pelacuran terjadi karena pilihan pekerjaan pribadi atau ketidakberdayaan, itu hanyalah
serangan kriminal yang melibatkan persetujuan antara dua pihak tapi akhirnya yang
ditangkap adalah pihak wanitanya.
3. Pelacuran di Komunitas Asal dan Daerah Tujuan Kerjanya
Pelacuran jenis ini yang menurut saya perlu diperhatikan, dalam konteks
pemahaman pelacuran dan upaya pengendaliannya. Pelacuran di Komunitas Sumber
Utamanya sangat menurut Ingleson (1986) sangat terkait dengan sejarahnya, dan
karenanya pelacuran sudah menjadi bagian budaya komunitas tersebut. Pelacuran paling
tidak pernah mengalami masa kejayaan di seputar tahun 1820 yaitu ketika dibuat jalan
Anyar - Penarukan oleh Daendells. Kemudian pada tahun 1825 - 1830, ketika dibuat jalan
kereta api di tanah Jawa. Pada tahun 1840 an ketika stasiun kereta api dibuat, bahkan
peninggalan budaya ini bisa kita lihat saat ini yaitu kompleks pelacuran pada umumnya
berlokasi berdekatan dengan stasiun Kereta Api. Puncak lain terjadi pada tahun 1870
ketika Belanda melakukan privatisasi di sektor perkebunan, dan pada tahun 1904 ketika
dibangun pabrik gula. Berbeda dengan pemahaman pelacuran di Daerah Tujuan Kerja.
Untuk menyamakan persepsi perlu dijelaskan bahwa Jakarta adalah tempat bertemunya
pelacur dari seluruh daerah sumber utama pelacur. Namun demikian ada juga orang Jakarta
yang melacur. Melacurnya orang Jakarta dan melacurnya orang dari Wonogiri, Jepara, Pati
atau Indramayu pasti didasari oleh motivasi yang berbeda.
Pelacuran di daerah asal banyak terkait dengan proses rekruitment, nilai anak, pola
asuh, dan nilai perkawinan. Banyak nuansa psiko sosial antropologis yang terlibat.
Sementara kalau di daerah tujuan kerja lebih terkait dengan masalah bisnis dan industri
seks, pelayanan seks, atau dugem. Bagi peneliti yang masuk dalam dua kancah ini, seperti
saya, dapat melihat betul bahwa pelacuran di tempat tujuan kerja ini amat pas seperti lagu
yang dinyanyikan Achmad Albar: Panggung Sandiwara.
4. Klasifikasi Pelacuran
Berbicara masalah pelacuran adalah tidak mudah, sebab pelacuran mempunyai sisi
pandang yang banyak dan masing-masing menyajikan keunikannya. Untuk itu ketika orang
berbicara masalah pelacuran, maka pikiran kritis saya kemudian akan menanyakan pelacur
yang mana? Sebagai gambaran berikut klasifikasi pelacuran yang ada diantaranya adalah
sebagai berikut :
Tabel 1
Klasifikasi Pelacur
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Klasifikasi
Daerah Asal dan Tujuan Kerja
Usia
Profesionalisme
Bekerja dengan Mucikari
Tarip
Lama Pelayanan
Spesialisasi Pelayanan
Berpendidikan
Penyebab Melacur
Cara Berpakaian
Jenis Pembayaran
Unsur Ritual dan tidak
Jenis
Daerah Asal - Daerah Tujuan Kerja
ABG - Non ABG
Amatir - Profesional - Semi Profesional
Bekerja dengan Mucikari - Tanpa Mucikari
Atas - Menengah - Bawah
Very Short - Short Time - Semalam
Karaoke, Satu - Dua - Tiga Lubang, Lesbian, Atraksi Seks
Mahasiswa - Pelajar - Non Edukasi
Budaya - Psikologis - Kemiskinan - Hilang Keperawanan - dll
Tradisional - Modern - Pakai Jilbab
Uang - Jasa - Napza
Ada unsur ritual - tidak
5. Simpulan
Untuk mengatasi problem pelacuran dan networkingnya. Selama ini ada 3 (tiga)
bentuk penanganan masalah pelacur yang menurut hemat penulis belum menampakkan
pandangan holistiknya. Ke 3 (tiga) bentuk penanganan itu adalah sistem resosialisasi, panti
dan daerah rawan wanita bermasalah. Kelemahannya adalah dengan sistem ini pelacur dari
daerah asal dan bordil tidak tertangani. Kelemahan ke dua adalah penanganan oleh instansi
berbeda dengan bentuk penanganan yang berbeda namun dasar hukumnya sama.
Menurut hemat penulis perlu dibuat Badan Koordinasi Penanganan Pelacur (BKPP)
di setiap wilayah. Mengingat Panti eks. Departemen Sosial memiliki sarana dan prasarana
yang relatif memadai, sedang resos dan bordil banyak yang dibakar, maka panti ini dapat
ditunjuk sebagai koordinator. Belajar dari kasus di lapangan tampaknya instan tasawuf
yang mengajarkan pada konsep nrimo, tabah, dan tawakal dapat dijadikan cara yang
ampuh untuk memerangi pertumbuhan prostitusi. Disamping itu agar kegiatan terencana
dengan baik dalam konteks dakwah diperlukan perhatian serius terhadap daerah sumber
utama pelacur. Di samping itu perlu diciptakan silaturahmi, ukhuwah islamiyah dan
penciptaan pemahaman agama yang lebih rasional. Fungsi Dasa Wisma perlu ditingkatkan
sebagai mekanisme kontrol pertetanggaan.
Kompleksitas pelacuran yang ada membuat penulis kesulitan untuk menyimpulkan
isi tulisan ini. Karena kesimpulan yang di buat kemudian akan membatasi keunikan
pelacuran di setiap perspektifnya. Karena itu hanya sebuah pertanyaan yang ingin diajukan
adalah, masihkah kita hanya melihat pelacuran dari sisi sempit dan kemudian mengkuhum,
membakar mereka atau representasinya? Pelacur itu sebuah penyakit sosial ataukah korban
masyarakat yang sakit? Demikianlah tulisan ini semoga lebih dapat berkembang melalui
diskusi.
Daftar Pustaka
Bullough, B.,and Bullough, V.L.,1996. Female Prostitution: Current Research and
Changing Interpretations: dalam Annual Review of Sex Research: An Integrative and
Interdiciplinary Review Volume VII, pp. 158 - 180.
Departement of social Affairs, Republic of Indonesia. 1996. Minister of Social Affairs
Republic of Indonesia Decision No. 23/HUK/1996 Concerning: Basic Design for
Social Welfare Development.
De Sousa, D., 1994, ACSJC Occasional Paper No. 20: Sex Tourism in Asia. North
Blackburn, Victoria: Collins Dove
Farid., M. 1998. Situational Analysis on the Sexual Abuse, Sexual Exploitation ands
Commercial Sexual Exploitation of Children in Indonesia. Jakarta: Unicef.
Ingleson, J., 1986. Prostitution in Colonial Java dalam Chardler., D.P and Ricklefts., M.C.
1986.. 19th and 20th Century Indonesia: Essays in Honour of Professor J.D. Legge.,
pp. 123 - 140., Southeast Asian Studies, Monash University, Victoria.
Jones, G.W., Sulistyaningsih, E and Hull, T.H. 1995. Prostitution in Indonesia: Working
Papers in Demography. Canberra: The Australian National University.
Koentjoro, 1988. Perbedaan Tingkat Aspirasi Remaja dan Nilai Anak bagi Orangtua dan
Hubungan antara Tingkat Aspirasi Remaja dengan Nilai Anak bagi Orangtua
Orangtua pada beberapa Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan Bukan Penghasil
Pelacur di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Penelitian.
Yogyakarta: The Toyota Foundation. Grant Number 87 - Y - 03.
Koentjoro, 1989. Perbedaan Harga Diri Remaja di Daerah Miskin Penghasil Pelacur dan
Bukan Penghasil Pelacur. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Koentjoro, 1995. Sexual Networking. Seminar paper held by Pusat Penelitian
Kependudukan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, 20 April 1995.
Koentjoro, 1997. Understanding Prostitution from Rural Communities of Indonesia, Thesis
Disertasi. Bundoora, Melbourne: La Trobe University.
Murray, A.J. 1991. No Money, No Honey: A Study of Street Traders and Prostitutes in
Jakarta. Singapore: Oxford University Press.
SEKS DALAM PARIWISATA : KAJIAN AWAL FAKTOR-FAKTOR
YANG BERPENGARUH TERHADAP BERKEMBANGNYA
SEKS DALAM PARIWISATA
I Wayan Wijayasa
Dosen Kopertis Wilayah VIII Dpk Akademi Pariwisata Denpasar
Abstract
Millions tourist visiting Bali annually has lead the arising of many kind of business and
activities that generate wide negative and positive impact to the component of tourism such
as seks. Seks in the tourism of Bali tends to be identified as the impact of tourism rather
then as tourist attraction. The major reason is psychoseksual disorder of some tourist that
visiting Bali annually. There are three category of seks in tourism industry; they are seks as
impact of tourism in destination, seks as the result of public policy to legalize seks as
tourist attraction in destination, and seks as expansion of the existing seks activities of host
community. Seks in tourist destination can generate both positive and negative impact to
the actor of seks. In order to reduce and minimalize negative impact of seks activities in
tourism industry, preventive and repressive action should be planned for more effective
anticipation.
Key words : Seks in tourism, psychoseksual disorder
1. Pendahuluan
Sejak awal perkembangannya, pariwisata Bali mengutamakan kebudayaan sebagai
salah satu daya tarik utama di samping alam beserta keanekaragaman hayati tropisnya yang
begitu kaya sehingga mampu mempesona setiap wisatawan yang mengunjunginya. Dengan
memanfaatkan potensi besar inilah pariwisata Bali ditata, dibangun, dikembangkan, dan
dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Dengan dasar
ini pula konsep pariwisata budaya dicetuskan hingga sampai saat ini mendarah daging dan
menjadi wacana dalam berbagai forum pariwisata secara resmi ataupun tidak resmi.
Pariwisata budaya yang dikembangkan Bali telah terbukti mampu, sampai saat ini
dan pada tataran tertentu, bersaing dengan konsep pengambangan pariwisata yang
dikembangkan oleh destinasi lain di Indonesia dan dunia. Hal ini terlihat dari berbagai
penghargaan internasional yang diterima oleh para pelaku bisnis pariwisata Bali. Di
samping itu, konsep pariwisata budaya juga telah terbukti mampu menjadi daya tarik
utama sehingga jumlah kunjungan wisatawan internasional ke Bali yang tetap tinggi
walaupun berfluktuasi.
Dalam hal ini, fluktuasi tentu disebabkan oleh berbagai hal seperti faktor kemanan,
kesehatan, terorisme, dan faktor lainnya yang menurunkan preferensi pangsa pasar
wisatawan potensial berkunjung ke Bali. Pada saat yang bersamaan pula, motivasi
wisatawan potensial tersebut juga akan menurun.
Setiap pengambangan suatu industri, di samping berusaha mensejahterakan
masyarakat, juga akan menimbulkan pengaruh dan dampak terhadap masyarakat,
lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Begitu pula pariwisata sebagai salah satu
industri yang dikembangkan di Bali tentunya tidak terlepas dari efek samping yang
namanya pengaruh dan dampak negatif. Pesatnya perkembangan pariwisata tidak serta
merta menurunkan beragam dampak negatif yang muncul dari perkembangan pariwisata di
destinasi, mulai dari masalah carut-marut perencanaan pengembangan dan penataan
kawasan pariwisata, usaha peningkatan PAD melalui sektor pariwisata, penanganan
limbah, sampah, pencemaran lingkungan, komersialisasi budaya, lapangan kerja,
sumberdaya masyarakat lokal, penularan penyakit masyarakat, dan salah satunya yang
dianalisis dalam tulisan ini adalah seks sebagai dampak pariwisata.
Bali yang menggunakan budaya sebagai trade mark pariwisata tentu tidak mau
terjebak dengan fenomena seks dalam pariwisata ini karena bila seks dalam pariwisata Bali
diakui ada maka akan terjebak pada konsekuensi disebut melenceng dari konsep pariwisata
budaya. Namun jika seks dalam pariwisata Bali diakui tidak ada tentu terlalu munafik
mengingat ada kantong-kantong pekerja seksual yang memanfaatkan liburan wisatawan di
Bali sebagai suatu pangsa pasar yang digarap.
Seks dalam dunia pariwisata keberadaannya memang mendua sesuai kebijaksanaan
negara yang mengembangkannya. Ada negara yang memang sengaja menjadikan seks
sebagai salah satu straksi yang diharapkan memikat calon wisatawan untuk datang.
Sedangkan negara lain sama sekali tidak melegalkan seks sebagai daya tarik wisata.
Perbedaan ini tentu didasarkan pada berbagai pertimbangan seperti budaya, sosial,
kebijakan pemerintah terhadap pariwisata, serta yang paling penting masalah ekonomi
yang berhubungan usaha penciptaan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan
masyarakat, serta memperbesar penerimaan devisa melalui semakin besarnya pengeluaran
(spending) wisatawan dari aktivitas seks. Di samping itu, dampak negatif yang
berkembang dari aktivitas seks dalam pariwisata tentu saja harus dipertimbangkan dengan
baik dan matang.
Tulisan ini akan mencoba membahas dan menganalisis isu seks dalam industri
pariwisata, baik seks yang secara sengaja dijadikan atraksi pariwisata, seks yang
keberadaannya hanya sebagai dampak dari berkembangnya industri pariwisata, maupun
seks yang merupakan perkembangan lanjutan dari aktivitas masyarakat lokal yang telah
ada sebelum mengarah pada pangsa pasar wisatawan. Permasalahan utama yang akan
dibahas menyangkut perbedaan perkembangan seks dalam pariwisata yang dikembangkan
secara sengaja dan yang berkembang hanya sebagai dampak, di samping itu akan dibahas
pula mengenai beberapa faktor yang mendorong berkembangnya kedua isu tersebut beserta
dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas seks dalam pariwisata.
Untuk membatasi agar menghindari salah pengertian maka yang dimaksudkan seks
dalam pariwisata dalam tulisan ini adalah aktivitas seks yang tidak normal (penyimpangan
seks, seks bebas, dan lain-lain) atau yang bersifat komersial (prostitusi, striptease, gigolo,
dan sebagainya) yang konsumen utamanya adalah wisatawan. Dikecualikan dalam hal ini
adalah seks yang dilakukan sesuai norma yang ada (seks dengan pasangan suami/istri,
partner), honeymooner, dan didasarkan atas suka sama suka / cinta sama cinta dan tidak
ada unsur komersial.
2. Pembahasan
2.1 Pengertian
Kata seks menunjuk pada organ vital (kelamin) yang dimiliki oleh manusia normal
yang membedakan ia sebagai laki-laki atau perempuan. Jika seks dilihat sebagai aktivitas,
seks merupakan aktivitas secara luas dari manusia normal secara kodrati dalam rangka
menarik lawan jenis dan selanjutnya mengembangkan jenis (berketurunan). Lebih lanjut
dapat dikatakan bahwa seks sebagai organ maupun sebagai aktivitas merupakan kebutuhan
yang dimiliki manusia secara normal.
Dalam perkembangannya, seks tidak hanya menjadi sekedar kebutuhan manusia
untuk berketurunan, namun lebih jauh juga sebagai aktivitas rekreasi di dalam rumah
(indoor recreation) yang mampu memberikan efek relaksasi kepada pelakunya.
Sebaliknya, seks juga menjadi sumber skandal manusia sepanjang jaman di berbagai
bidang kehidupan dan dalam berbagai profesi termasuk presiden sekalipun (contohnya
adalah salah seorang Presiden AS Bill Clinton). Dalam bidang pariwisata misalnya, seks
telah menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pariwisata di negara Thailand.
Dalam
hubungannya
dengan
perkembangan
pariwisata,
maka
mengkategorikan perkembangan seks menjadi tiga, yaitu seks yang merupakan:
a. Gejala yang timbul sebagai dampak adanya pariwisata;
b. Hasil / dampak kebijakan publik yang berwenang untuk melegalkan seks;
penulis
c. Perkembangan yang berlanjut dari fenomena seks komersial yang telah ada pada
masyarakat setempat sebelum berkembangnya pariwisata.
2.2 Seks sebagai Dampak Pariwisata
Setiap masyarakat memiliki standar atau norma tertentu untuk mengikat para anggota
kelompok tersebut dalam suatu pola pikir dan perilaku tertentu. Penyimpangan terhadap
standar atau norma ini disebut sebagai abnormalitas atau deviasi. Jadi, abnormalitas adalah
penyimpangan mendasar dari perilaku rata-rata atau yang biasa dilakukan dari suatu
kelompok yang dimiliki oleh individu. Atau dengan kata lain abnormalitas merupakan
penyimpangan dari standar atau norma ideal yang dianut oleh masyarakat dimana orang
tersebut berada dan terikat dengannya.
Dilihat dari sudut pandang psikologi, abnormalitas ini ada bermacam-macam sesuai
dengan standar atau norma yang disimpangkan (dideviasikan) dalam masyarakat tersebut.
Dengan kata lain, kategori abnormalitas disesuaikan dengan norma mana yang dilanggar.
Jika norma umum mengenai seks dilanggar, maka dalam psikologi dinamakan sebagai
Psychoseksual Disorder.
Psychoseksual disorder merupakan penyimpangan-penyimpangan
perilaku atau
keadaan seks yang mana perilaku ini tidak sesuai dengan fungsi seks yang diterima umum.
Jika penyimpangan ini terjadi pada organ seks, maka pengertian psychoseksual disorder ini
mencakup ketidaknormalan fungsi (disfungsi) organ seks yang dimiliki oleh seseorang
seperti impotensi, perubahan jenis kelamin, dan sebagainya.
Secara umum psychoseksual disorder dapat dikategorikan dalam tiga aspek
penyimpangan yang dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Semua hal yang menyangkut identitas gender, yang termasuk dalam kategori ini
misalnya pria yang ingin berpakaian seperti wanita, ingin memiliki jenis kelamin
berlawanan dari yang ia miliki saat ini, serta ingin memiliki mainan seperti yang
dimiliki oleh jenis kelamin yang berlawanan.
b. Semua hal yang menyangkut paraphilia, beberapa jenis psychological disorder yang
termasuk dalam kategori ini antara lain:
ƒ
Exhibitionism, yaitu usaha mendapatkan kepuasan dengan cara mempertontonkan,
memamerkan, atau mempertunjukkan alat kelamin atau organ yang merangsang
seks lainnya (organ genital) di depan umum atau kepada orang tak dikenal.
ƒ
Pedophilia, yaitu penyimpangan seks dimana seseorang lebih tertarik untuk
melakukan aktivitas dan mendapatkan kepuasan seks dengan anak-anak.
ƒ
Zoophilia, yaitu penyimpangan seks dimana seseorang lebih tertarik untuk
melakukan aktivitas dan mendapatkan kepuasan seks dengan binatang.
ƒ
Fetishism, yaitu penyimpangan seks dimana seseorang lebih tertarik untuk
melakukan aktivitas dan mendapatkan kepuasan seks melalui benda-benda aneh.
ƒ
Dyschomophilia, yaitu usaha mendapatkan kepuasan seks dengan berfantasi
(fantasi seks).
ƒ
Voyeurism, yaitu kepuasan seks yang didapatkan dengan cara mengintip lawan
jenis.
ƒ
Seksual Masochism, yaitu kepuasan seksual yang ditimbulkan dari sakitnya korban
yang diperlakukan seperti mendapatkan hukuman (punishment)
ƒ
Seksual Sadism, yaitu kepuasan sek yang didapatkan dengan cara menyiksa
pasangannya.
ƒ
Namun masih banyak penyimpangan yang termasuk dalam kategori ini seperti
Incest (hubungan seks yang dilakukan dengan anggpta keluarga bukan pasangan
hidup misalnya adik, mertua, menantu, dan anak), Necrophilia (hubungan seks
yang dilakukan dengan mayat) dan Fottage.
ƒ
Jika mau diakui pula maka selingkuh, mencari TTM (teman tapi mesra), dan usaha
untuk jajan lainnya di destinasi wisata dapat dikategorikan penyimpangan seks.
c. Semua hal yang menyangkut disfungsi seks, yang termasuk dalam kategori ini adalah
semua gangguan atau disfungsi seksual baik secara fisiologis maupun psikologis yang
menghambat hubungan dengan pasangan seks, misalnya ejakulasi dini, impotensi,
penyakit kelamin, dan sebagainya.
Bali selama dua dekade terakhir telah dikunjungi oleh jutaan wisatawan asing dan
domestik. Di antara wisatawan yang datang tidak menutup kemungkinan terdapat
wisatawan yang mengidap psychoseksual disorder sebagaimana yang telah dijelaskan. Dari
tiga kategori psychoseksual disorder tersebut, maka yang paling memungkinkan terjadi di
daerah tujuan wisata adalah poin 1 dan 2 yaitu semua hal yang menyangkut identitas
gender dan semua hal yang menyangkut paraphilia atau penyimpangan seks.
Dalam perjalanannya, memang tidak semua jenis psichoseksual disorder terjadi
dalam masyarakat. Namun demikian tidak menutup kemungkinan dalam jangka waktu
lama akan muncul kasus-kasus yang saat ini jarang terjadi.Beberapa kasus yang paling
menonjol dan melibatkan wisatawan asing serta sampai ke meja hijau antara lain kasus
pedophilia di Singaraja, pedophilia di Karangasem, dan mutilasi yang melibatkan orang
asing dengan latar belakang masalah seks.
Dari pembahasan ini dapat dikatakan bahwa salah satu penyebab adanya seks dalam
pariwisata adalah psychoseksual disorder dari para wisatawan yang datang ke destinasi.
Dengan kata lain, berkembangnya aktivitas seks dalam pariwisata di destinasi wisata
merupakan dampak kedatangan wisatawan yang memiliki psichoseksual disorder. Jadi
dalam hal ini seks dalam pariwisata merupakan dampak dari pengembangan pariwisata.
2.3 Pengaruh Kebijakan Publik terhadap Seks dalam Pariwisata
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah (yang berwenang) sebagai pemegang
otoritas dapat mempengaruhi perkembangan seks dalam pariwisata. Hal ini akan
mempertegas batas pro dan kontra adanya seks dalam pariwisata. Lebih jauh, campur
tangan pemerintah terhadap seks dalam pariwisata akan memberikan arahan, batasan, dan
petunjuk bagi masyarakat, wisatawan, dan para pelaku bisnis pariwisata melalui instrumen
hukum yang dimiliki.
Dilihat dari peran kebijakan pemerintah terhadap seks dalam pariwisata kita dapat
membedakan menjadi dua yaitu:
a. Kebijakan pemerintah yang mendukung seks sebagai daya tarik pariwisata.
Seks sebagai daya tarik wisata secara sederhana dapat dilihat sebagai aktivitas seks
yang dikembangkan secara sengaja untuk menarik kunjungan wisatawan ke destinasi
wisata. Contoh negara yang menjadikan seks sebagai salah satu atraksi pariwisata
adalah Thailand. Dalam hal ini, pemerintah mengijinkan aktivitas berbau seks menjadi
daya tarik wisata dan para pelaku pariwisata juga mengusahakan seks ini masuk dalam
paket-paket wisata.
b. Kebijakan pemerintah yang melarang / tidak mendorong seks sebagai dampak
perkembangan pariwisata.
Jika pemerintah melarang atau tidak mendukung seks sebagai daya tarik wisata, maka
seks yang terjadi di destinasi pariwisata cenderung merupakan dampak perkembangan
pariwisata. Dalam hal ini, aktivitas seks komersial sama sekali tidak diharapkan terjadi
sebelumnya dan dari sisi pemerintah tidak ditemukan aturan atau perundang-undangan
yang melegalkan seks sebagai bagian dari daya tarik pariwisata. Dengan kata lain,
aktivitas seks dalam pariwisata ini lebih banyak sebagai dampak interaksi antara
wisatawan dan masyarakat lokal atau dengan para pelaku seks komersial di daerah
tujuan wisata.
Namun demikian, beberapa faktor pendorong berkembangnya keberadaan seks dalam
pariwisata dapat juga dilihat dari kontribusi komponen pariwisata yang kemungkinan
terlibat di dalamnya, antara lain:
a. Wisatawan (tourist)
ƒ
Kesengajaan penyaluran hasrat di destinasi tidak dengan pasangan tetap (jajan,
selingkuh, dan tempat prostitusi.)
ƒ
Kelainan seks (psychoseksual disorder)
ƒ
Pengaruh penggunaan, peredaran, dan jual-beli obat-obat terlarang (drugs) dan
minum-minuman beralkohol (alchoholic beverage).
b. Pelaku Bisnis Seks (business supplier)
ƒ
Perkembangan seks komersial mendorong kalangan pebisnis menyalurkan para
pekerja seks komersial ke pada para wisatawan yang berminat atau sebaliknya
membawa wisatawan mengkonsumsi jasa seks ke tempat pekerja seks komersial
tersebut berada.
ƒ
Seks sebagai atraksi wisata (seperti di thailand) mendorong pebisnis lebih gencar
melakukan aktivitas dengan membuat/membangun beragam aktivitas, paket wisata
seks, dan tempat-tempat melakukan atraksi berbau seks, seperti tempat prostitusi,
cafe, dan diskotik.
ƒ
Seks sebagai peluang kerja (profesi) bagi pelaku seks yang terpaksa melakukan
pekerjaan ini akibat tuntutan biaya hidup di daerah pariwisata. Tentunya mereka
berharap penghasilan lebih dari aktivitas ini.
ƒ
Seks sebagai peluang kerja cenderung tidak memerlukan keterampilan dan
pendidikan tinggi.
c. Pemerintah (government)
ƒ
Kebijakan pemerintah untuk mendorong keberadaan seks sebagai salah satu daya
tarik pariwisata akan mendorong para pebisnis seks dalam pariwisata. Sebaliknya,
jika kebijakan pemerintah menolak keberadaan seks dalam pariwisata maka
aktivitas seks secara sengaja di destinasi wisata kemungkinan akan terminimalisasi
atau secara legal tidak ada.
ƒ
Pengawasan pemerintah. Kebijakan menolak keberadaan seks dalam pariwisata
tidak serta merta meniadakan sama sekali aktivitas seks komersial. Seks di destinasi
wisata dapat berkembang karena luput dari pengawasan.
d. Masyarakat Setempat (host)
ƒ
Apatisme masyarakat terhadap perkembangan aktivitas seks dalam pariwisata
sehingga kontrol sosial tidak ada dan dianggap secara sosial juga dianggap sah-sah
saja.
ƒ
Masyarakat juga dapat mendorong keberadaan seks dalam pariwisata dengan cara
ikut terlibat dalam aktivitas seks komersial. Selain itu, penyediaan lahan dan
sumber daya manusia dari masyarakat lokal akan sangat menguntungkan
perkembangan bisnis seks dalam pariwisata.
ƒ
Perkembangan seks bebas dalam masyarakat dan keinginan berpacaran / kawin
dengan bule (orang asing) untuk meningkatkan taraf hidup atau prestise juga
mendorong aktivitas seks dalam pariwisata.
ƒ
Tidak adanya instrumen sosial-budaya yang menolak atau membatasi keberadaan
seks dalam pariwisata seperti kontrol sosial atau hukum adat (misalnya: awig-awig)
dapat mendorong perkembangan seks dalam pariwisata.
2.4 Seks dalam Pariwisata sebagai Keberlanjutan Aktivitas
Seks Komersial Masyarakat Setempat
Seks yang telah ada dan berkembang di dalam masyarakat (host community) dapat
berkembang lebih lanjut setelah kedatangan wisatawan ke destinasi. Hal ini menyangkut
pergeseran pangsa pasar dari orang lokal ke wisatawan domestik maupun asing. Di
samping itu menyangkut juga sebagai usaha meningkatkan penghasilan yang diharapkan
datang dari segmen pasar yang baru tersebut.
Perkembangan dan pergeseran pangsa pasar ini dapat dilihat dari aktivitas seks di
kompleks-kompleks pelacuran, lokalisasi, dan tempat-tempat lainnya seperti cafe remangremang dan diskotik kecil. Pada awalnya keberadaan mereka adalah untuk melayani
konsumen yang berasal dari masyarakat setempat. Namun setelah kedatangan wisatawan
(berkembangnya pariwisata) dan juga dengan adanya permintaan dari wisatawan serta
keberhasilan saluran pemasaran (germo, mami, sopir, dan pihak lain yang menjadi
perantara) menyalurkan mereka ke konsumen maka terjadilah aktivitas seks dalam
pariwisata. Jadi dalam hal ini, seks dalam pariwisata merupakan perkembangan berlanjut
dari aktivitas seks yang telah ada dalam masyarakat setempat sebelum pariwisata
berkembang.
2.5 Dampak Aktivitas Seks Dalam Pariwisata
Berkembangnya seks dalam pariwisata memberikan beberapa dampak positif dan
negatif. Hal ini tergantung dari sudut pandang kajian yang dilakukan. Beberapa dampak
positif seks dalam pariwisata antaralain:
a. Peningkatan pendapatan pelaku seks komersial, bisnis seks (germo, mami, diskotek,
dan lain-lain), dan pelaku bisnis pariwisata yang secara langsung maupun tidak
langsung menawarkan seks dalam paket yang dijualnya.
b. Menambah lapangan kerja baru bagi pria / wanita yang tidak memiliki keterampilan
dan pengetahuan memadai untuk bersaing dalam bisnis lain atau dengan kata lain
profesi yang bagus bagi mereka yang memiliki pendidikan dan keterampilan kurang
memadai.
c. Seks merupakan pekerjaan yang relatif tidak memerlukan keterampilan dan pendidikan
tinggi sehingga lebih mudah dilakukan dan penghasilan lebih besar dengan investasi
rendah.
d. Berkembangnya hubungan internasional melalui pernikahan antarbangsa. Hal ini
diharapkan mampu meningkatkan pengertian budaya antarbangsa.
Di samping dampak positif tersebut terdapat pula beberapa dampak negatif yang
teridentifikasi antaralain:
a.
Berkembangnya penyakit menular seksual akibat hubungan seks tanpa pengaman
(seperti kondom). Perkembangan dan penularan penyakit menular seksual disebabkan
hubungan seksual dengan pasangan tidak tetap serta berasal dari berbagai negara, latar
belakang kehidupan, serta tidak diketahui apakah pasangan tersebut mengidap suatu
penyakit berbahaya.
b. Peningkatan biaya sosial dan kesehatan akibat berkembangnya penyakit menular
seksual. Jika penyakit menular seksual menjangkiti pelaku seks, maka biaya kesehatan
dan sosial dapat menjadi lebih besar daripada penghasilan yang diterima. Sebagai
contoh, biaya pengobatan bagi pengidap HIV maupun penderita AIDS serta biaya
hidup sejak diketahui berjangkit sampai ia meninggal dunia akan menjadi sangat tinggi
dan melampaui penghasilan yang didapatkannya.
c. Penurunan kualitas budaya masyarakat dan bangsa di destinasi wisata yang memang
berbeda dengan budaya masyarakat dan bangsa asal wisatawan. Hal ini tercermin dari
perubahan pola kerja, cara berpakaian, pergaulan, dandanan, kebiasaan pergi ke café,
dan sebagainya yang menyimpang dari budaya masyarakat di destinasi wisata pada
umumnya.
d. Berdampak negatif terhadap moral pelaku seks, pelaku pariwisata, dan masyarakat di
daerah tujuan wisata (host).
e. Berdampak negatif terhadap sisi psikologi dan masa depan korban akibat adanya
penyimpangan seks (psychoseksual disorder).
f. Perkembangan hubungan internasional melalui perkawisanan dapat memperbesar
angka perceraian akibat perbedaan budaya.
Dari pembahasan tersebut mengenai dampak keberadaan seks dalam pariwisata maka
dapat dikatakan bahwa potensi dampak negatif yang dimiliki aktivitas seks dalam
pariwisata adalah lebih besar dibandingkan dampak positif. Dengan demikian,
pertimbangan matang hasuslah dilakukan untuk menghindari aktivitas ini tidak hanya
menghasilkan penyakit bagi destinasi wisata. Dalam rangka menurunkan dampak negatif
yang akan terjadi maka langkah preventif (pencegahan) dan represif (penanggulangan)
perlu dilaksanakan.
3. Simpulan dan Saran
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan antara lain:
a. Seks dalam pariwisata tumbuh berkembang didorong oleh berbagai faktor baik yang
berkembang seperti dampak aktivitas pariwisata, kebijakan pemerintah terhadap
perkembangan seks dalam pariwisata, serta dipengaruhi juga oleh keberadaan seks
yang telah ada di destinasi sebelum pariwisata berkembang. Seks dalam pariwisata Bali
dapat dikategorikan sebagai dampak perkembangan pariwisata karena keberadaan
mereka bukanlah menjadi daya tarik wisata (seperti di Thailand) melainkan hadir
karena maraknya aktivitas pariwisata.
b. Faktor pendorong seks dalam pariwisata sangat beragam apalagi jika ditinjau dari
komponen pariwisata (tourist, host, government, business supplier) yang secara
langsung memberikan kontribusi terhadap perkembangan seks dalam pariwisata.
c. Aktivitas seks dalam pariwisata selain memiliki dampak positif juga memiliki dampak
negatif yang besar. Oleh karena itu, penetapan kebijakan yang memadai untuk
meminimalkan dampak negatif yang timbul perlu dilakukan. Hal ini perlu
menghindarkan terjadinya tingkat biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan
pendapatan yang diperoleh. Akhirnya, penanggulangan secara preventif dan represif
harus dilakukan untuk meminimalisasikan dampak negatif yang mungkin timbul.
3.2 Saran
Adapun saran yang diajukan sebagai berikut:
a. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengingat berkembangnya seks di daerah tujuan
wisata tidak hanya disebabkan oleh aktivitas pariwisata namun juga akibat
berkembangnya media pornografi.
b. Perlu ditingkatkan usaha pengawasan aktivitas orang asing di Indonesia untuk sedini
mungkin menghindari terjadinya penyimpangan seksual yang dilakukan orang asing.
c. Disatu sisi industri pariwisata adalah industri jasa yang menekankan pelayanan
(service) sebagai hal utama. Di sisi lain, seks juga merupakan aktivitas jasa menjadikan
pelayanan sebagai hal utama dan terutama pelayanan yang bersifat lebih pribadi
(personal service and touch). Kombinasi dua sektor jasa ini memang menjanjikan
pendapatan yang lebih besar pada para pelakunya karena lebih banyak berhubungan
dengan wisatawan. Namun demikian, jangan sampai karena menginginkan pendapatan
besar mengorbankan diri sendiri (penyakit), bangsa, dan budaya. Oleh karena itu,
antisipasi dini terhadap dampak negatif seks dalam pariwisata harus dilakukan oleh
segenap komponen pariwisata.
Daftar Pustaka
Hall, Elizabeth. 1983. Psychology Today: an Introduction. USA: Random House, Inc.
Lawang, Robert MZ. 1986. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 1-5. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Lawang, Robert MZ. 1986. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi Modul 6-9. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Roediger III, Henry L., J. Philippe Rushton, Elizabeth D. Capaldym dan Scott G. Parris.
1984. Psychology. Canada: Little, Brown & Company.
Soekamto, Soejono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
Yoety, Oka A. 1983. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa.
Yoety, Oka A. 2000. Tours and Travel management. Jakarta: Pradnya Paramita.
PELACURAN DAN PARIWISATA
(STUDI KASUS PELACURAN DI BAWAH UMUR DI OBJEK WISATA KUTA)
Adria Rosy Starinne
Alumni Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
Prostitution is a phenomenon that grows rapidly in tourism centers especially in Kuta. It is
happened and surprisingly involves under aged children. This social phenomenon comes as
a result of economic factor and the lack of social control.
Key word : tourism, prostitution, under age
1. Pendahuluan
Setelah mengalami pasang surut perkembangan, akhirnya sekitar tahun 1994
pariwisata Bali berhasil membuktikan keunggulannya. Pariwisata maju dengan pesat dan
diikuti dengan timbulnya dampak positif dan negatif dari aktivitas tersebut. Salah satu
bentuk efek sosial negatif yang muncul adalah praktik prostitusi liar, narkoba dan
pelacuran. Semua ini banyak terjadi di daerah wisata di objek wisata Kuta. Seperti telah
diketahui Desa Kuta saat ini memang telah berkembang ke arah wujud masyarakat
majemuk dengan tingkat integrasi masyarakat yang tidak mengkhusus ke arah
komunitasnya, bahkan semakin menuju ke arah supra etnis. Akibatnya sistem kontrol
sosial tradisional makin kabur dan kurang efektif dalam fungsinya. Dampak selanjutnya
akan dapat memicu munculnya keresahan-keresahan sosial tertentu seperti yang pernah
terjadi pada April 1999 antara para pendatang pencari kerja dengan beberapa warga Kuta.
Kontrol sosial yang cenderung lemah inilah yang memungkinkan berbagai bentuk
perilaku anormatif seperti praktek pelacuran, Fenomena yang belakangan ini (1997)
sempat mengejutkan hampir semua masyarakat di Bali adal.ah munculnya
praktek
pelacuran anak di Kuta yang keberadaanya sangat tertutup dan hampir tidak mungkin
dapat dibuktikan. Sebelumnya model praktek pelacuran liar seperti pelacur jalanan, jasa
escort, pelacuran di rumah-rumah kost, pelacur panggilan, dan pelacur yang berkedok
sebagai guide sudah biasa terdengar dalam kawasan wisata Kuta. Akan tetapi pada tahun
1997, sedikit berbeda karena praktek ini ternyata sudah merambah pada kelompok anakanak. Fakta ini sebenarnya mulai terlihat jelas pada bulan Juli 1997 oleh kasus James
(warga Amerika serikat) yang terbukti telah melakukan tindak pelecehan seksual kepada
anak-anak asal Kabupaten Karangasem.
Menurut hasil observasi awal penelitian ini diketahui bahwa anak-anak yang melacur
tersebut ternyata memiliki keterkaitan. dengan kasus James di atas, (observasi, 1997).
Beberapa diantaranya adalah korban pelecehan seksualnya yang karena malu dan takut
akhirnya mengambil jalan pintas sebagai pelacur terselubung dengan istilah pengantar
tamu.
Selanjutnya anak-anak ini mengalami nasib yang lebih buruk karena gerak mereka
tercium oleh orang yang memanfaatkannya sampai akhirnya mereka mengalami
eksploitasi. Kejadian ini temyata tidak membuat anak-anak jera tetapi justru membuat
beberapa diantaranya merasa senang dan menganggap hal. biasa. Hal ini karena selain
profesi melacur di kawasan Kuta sudah menjadi hal yang biasa juga secara materi mereka
tercukupi dan kesulitan ekonomi keluarga untuk sementara terpenuhi. Bahkan beberapa
diantaranya telah berhasil memiliki simbol kemewahan seperti mobil, sepeda motor, dan
rumah yang bagus di desannya. Hal inilah salah satu faktor yang memicu daya tarik bagi
teman-teman lain sedaerah asal untuk mengikuti temannya menjadi pengantar tamu di
Kuta. Iming-iming ini ternyata membuat sebagian temannya tergiur olehnya sampai
fenomena pelacuran anak-anak terselubung ini merebak di kawasan wisata Kuta.
Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan dalam penelitian ini adalah faktorfaktor apa sajakah yang mempengaruhi timbulnya pelacuran di bawah umur di objek
wisata Kuta.
2. Tujuan Penelitian
Bedasarkan masalah diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pelacuran di bawah umur di objek wisata
Kuta.
3. Kajian Pustaka
3.1 Pengertian Pelacuran
Polsky (Dam Truong, 1992:16) mendefinisikan pelacuran sebagai pemberian seks di
luar pernikahan sebagai pekerjaan. Definisi ini masih terlalu luas sehingga Gagnon (1968)
mempertegas bahwa pelacuran sebagai pemberian akses seksual pada basis yang tidak
deskriptif untuk memperoleh imbalan berupa barang atau uang tergantung pada
kompleksitas ekonomi lokal. Dari definisi ini dibedakan antara pelacur profesional,
perempuan piaraan (gundik), perempuan baik-baik (istri) atau perempuan yang
memperoleh rangkaian pemberian pada saat melakukan kontak seksual secara rutin. Hal ini
ternyata dimulai sebagai hegemoni kultural oleh Rowbothon (1973), karena cara
pandangan ini mengekpresikan pemecahbelahan kaum perempuan dan hanya memperkuat
idiologi patriarki (dominasi pria atas wanita) saja.
Berdasarkan cara pandang Rowbothon (1973) tersebut, pendekatan yang lebih
ampuh diajukan oleh Barry (1981) terkutip dalam Truong (1996:17). Secara empiris Barry
menunjukkan bahwa perempuan dipaksa masuk ke dalam pelacuran sebenarnya oleh
dominasi kaum pria yang menggunakan beragam sarana melalui janji-janji muluk
pekerjaan, perkawinan (cinta) atau perbudakan terselubung, loyalitas (terhadap mucikari),
penculikan dan penyekapan. Inti dan pandangan Barry ini adalah perempuan merupakan
objek perbudakan seksual pria, dimana perempuan tidak dapat melepaskan. diri karena dia
telah terjerat pada eksploitasi seksual pria.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut secara keseluruhan dapat diamati terdapat
tiga elemen utama dari pelacuran yang dikenal luas, yaitu: ekonomi, seksual dan psikologi
(struktur psikoindividual, emosional). Semua unsur ini terdapat pada kebanyakan
hubungan 'seksual, Persoalan utama yang diperdebatkan terletak pada bagaimana seorang
pelacur dibedakan dari perempuan baik-baik.
Dalam satu sisi, definisi pelacuran menempatkan pelacur di bawah isu pelcerjaan,
kelangkaan akan pelayanan dan keterampilan seksual serta hasrat promiskuitas. Dalam
sisis lain, menempatkan pelacuran di bawah kebudayaan patriarki, di mana seksualitas
perempuan berada dalam wilayah dominasi pria, yakni sebagai pelayan seks kebutuhan
pria (aspek politis pelacuran). Hal yang perlu diperhatikan dari persoalan pelacuran ini
sebenarnya adalah pemahaman tehadap hubungan sosial yang melibatkan pihak, penyedia
pelayanan seksual, pihak penerima dan pihak pengatur dalam praktek pelacuran.
Relevansi beberapa definisi pelacuran dalam penelitian ini adalah sebagai kerangka
pedoman untuk melihat sejauh mana praktek-praktek pelacuran yang terjadi dikalangan
pelacur anak. Penekanan yang diambil adalah unsur-unsur apa saja yang turut mendukung
dan membentuk keberadaan pelacuran anak di Kuta.
3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Pelacuran
Ada dua pandangan pokok yang menerangkan timbulnya pelacuran, yaitu:
pandangan dari ilmu psikologi sosial dan sosiologi. Pandangan dari sudut psikologi lebih
menekankan pada aspek mengapa perempuan melacur sedangkan dari sudut sosiologi
menerangkan tentang keberadaan pelacuran (Thio, 1992:187).
Menurut ahli psikologi sosial Henry Benjamin dan R.E.L Master, ada tiga faktor
yang menyebabkan seorang wanita memasuki prostitusi. Pertama, Presdisposing factor
(faktor pengaruh), merupakan faktor-faktor yang mempengamhi wanita melacur. Faktorfaktor yang dimaksud adalah latar belakang pelacur seperti karena kondisi broken home,
perilaku promiskuitas orang-tua terutama ibu, lingkungan sosial yang-permissif dan trauma
produktif dari sakit saraf. Kedua, attracting factor (faktor ketertarikan), adalah keuntungan
relatif yang diperoleh dari profesi melacur seperti besar penghasilan, kehidupan yang lebih
layak, dan harapan akan pemuasan kebutuhan seksual. Ketiga, merupakan precipitating
factor (faktor pendorong), merupakan faktor yang mempercepat timbulnya pelacuran atau
seseorang melacur, seperti tekanan ekonomi, kegagalan perkawinan, bujuk rayu dari germo
atau sesama pelacur serta kehidupan cinta yang tidak bahagia.
Teori lain juga dikemukakan oleh Kartini Kartono (1989:234), yang memandang ada
8 motif kenapa seorang wanita akhirnya memilih mejadi pelacur atau memilih pelacuran
sebagai mata pencaharian. Motif-motif tersebut diantaranya adalah: (1) adanya nafsu seks
yang tidak normal, (2) aspirasi materiil yang tinggi dibarengi dengan usaha mencari
kekayaan lewat jalan yang mudah, (3) konpensasi terhadap rasa inferior (rendah diri)
sebagai pusat adjusment yang negatif, (4) memberontak terhadap, otoritas orang-tua, tabutabu religius dan norma sosial, (5) broken home atau ada disorganisasi kehidupan keluarga,
(6) penundaan perkawinan jauh sesudah kematangan biologis, (7) bermotifkan standar
hidup atau ekonomis yang linggi, dan (8) karena menjadi gadis pecandu ganja, obat bius
dan miniman keras yang akhirnya terpaksa menjual diri dan menjalankan pelacuran secara
intensif.
Pandangan yang lebih bersifat sosiologis dikemukakani oleh Imam Asyari (1986:72)
yang menyatakan bahwa prostitusi merupakan hasil dari interaksi sosial seperti desakan
ekonomi dan interaksi sosial yang salah. Pandangan ini diperkuat oleh Davis (1973)
terkutip dalam Thio, (1992:189), yang menyatakan bahwa prostitusi ada di dalam
masyarakat karena sistem moral pendorongnya. Hal serupa juga diajukan oleh Soedjito
(1987:83), yang menyatakan bahwa pelacuran merupakan masalah sosial dengan reaksi
berantai dan resultante dari beberapa faktor termasuk moralitas.
Menurut analisis Wayan Geriya (1998), terhadap timbulnya pelacuran anak di Kuta,
secara umum ada 3 faktor, yaitu faktor pendorong, penarik dan pematang.
Faktor
pendorong adalah faktor yang mempengaruhi timbulnya pelacuran yang mencakup kondisi
sosial ekonomi keluarga anak serta lingkungan asalnya. Faktor penarik adalah faktor yang
menarik kedatangan anak-anak tersebut ke Kuta seperti iming-iming pekerjaan, imbalan
dan citra gemerlap Kuta, termasuk segala aktifitas yang ada dalam kepariwisataan di Kuta.
Faktor pematang yaitu faktor yang mematangkan terjadinya pelacuran anak di Kuta.
Termasuk didalamnya adalah adanya lingkungan permissif (serba dibolehkan) serta adanya
sentral-sentral yang memberikan kesempatan akan timbulnya pelacuran seperti diskotik,
pub, bar dan panti pijat dan kehidupan hiburan lain sepanjang malam.
3.3 Pelacuran di Bawah Umur
Definisi tentang pelacuran dibawah umur atau pelacuran anak-anak sampai saat ini di
kalangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia memang belum ada kesepakatan. Batasan-batasan
teknis seperti usia juga belum ada. Bahkan istilah pelacur anak atau pelacuran anak-anak
banyak mengundang kritik tajam; karena dinilai meligitimasi otoritas anak untuk
menjalaninya sebagai profesi. Padahal tidak semuanya demikian. Munculah perumusanperumusan yang sebenarnya memiliki hakikat- yang sama, seperti Eksploitasi Seks
Komersial Anak (ESKA), Pekerja Seks Komersial Anak (PSK), bahkan pengalaman
penelitian di Indramayu yang diperkuat dengan konggres di Solo (1996) menggunakan
batasan istilah Anak-anak Yang Dilacurkan.
Penelitian ini menggunakan istilah pelacuran dibawah umur, sebenarnya memiliki
kandungan arti dan definisi yang tidak jauh beda dengan beberapa istilah di atas. Pelacuran
dibawah umur juga dapat didefinisikan sebagai praktek melacur (pelacuran) yang
dilakukan oleh anak-anak atau penggunaan anak untuk tujuan-tujuan seksual dengan
imbalan da/am bentuk uang tunai atau da/am bentuk lain sesuai kesepakatan antara si
anak sendiri, kliennya, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapat
keuntungan dari praktek pelacuran tersebut (World Congress Againts Commercial
Exploitation of Children, 1996).
Persoalan selanjutnya terletak pada batasan umur yang digunakan. Seperti terpapar di
atas batasan usia untuk menyatakan anak-anak di Indonesia juga rnasih belum ada
kesepakatan yang pasti. Sebagai contoh Yayasan Kesejahteraan Anak, Indonesia (YKAI)
menggunakan batasan usia anak antara 13-15 tahun. International Labour Organization
(ILO) menetapkan sampai batas usia 14 tahun yang kemudian diratifikasi oleh beberapa
negara berkembang berkisar antara. 15-18 tahun, Konvensi Hak Anak Internasional
menetapkan di bawah 18 tahun dan Depsos menetapkan antara usia 7-15 tahun.
Mengingat belum ada batasan yang jelas dalam penetapan usia anak, maka penelitian
ini mendasarkan pada hasil observasi awal di lapangan yang dianalisis sampai terkumpul
10 kasus. Dalam proses analisis ini digunakan batasan universal dalam Konvensi Hak Anak
yang menyatakan bahwa anak adalah semua individu yang berusia kurang dari 18 tahun.
Hasil dari analisa ini didapatkan bahwa anak-anak yang melacur dibawah umur berada
pada rentang usia 11 sampai 16 tahun, Dengan demikian batasan usia dalam perumusan
istilah pelacuran dibawah umur di objek wisata Kuta adalah anak-anak yang brusia
antara 11 sampai 16 tahun.
4. Karakteristik Pelacur di Bawah Umur
Dalam penelitian diambil responden sebanyak 10 orang yang berfrofesi sebagai
pelacur dan bermukim di Banjar Anyar di kawasan banjar Legian Kelod. Pengambilan
sampel dilakukan secara quota sampling dan pengambilan dilakukan dengan teknik
snowball. Pendekatan yang dipakai adalah kualitatif dengan metode partisipatori.
Dari hasil penelitian diperoleh karakteristik responden (penelitian dilakukan tahun
1998) sebagai berikut :
Nama Umur
Pendidikan
Asal
Penghasilan
Sut.
16
Tidak tamat SD Karangasem 100.000-300.000
Wt.
16
Tidak tamat SD Karangasem 100.000-700.000
Yul.
16
Tidak tamat SD Karangasem 100.000-300.000
Asr.
15
Tidak sekolah
Karangasem 50.000-75.000
Ay.
14
Tidak tamat SD Karangasem 20.000-40.000
St.
14
Tidak sekolah
Karangasem 50.000-80.000
Suas.
14
Tidak sekolah
Karangasem 60.000-100.000
Ngh.
13
Tidak sekolah
Karangasem 15.000-40.000
As
12
Tidak tamat SD Karangasem 15.000-40.000
Puj
11
Tidak sekolah
Karangasem 10.000-25.000
Sumber : Data primer ,1998 (data lengkap ada di peneliti)
5. Faktor-faktor Pembentuk Pelacuran di bawah Umur
di Objek Wisata Kuta
5.1 Faktor Pendorong
Faktor pendorong (push factor) di sini mempakan faktor-faktor yang secara langsung
maupun tidak dapat rnempengaruhi dan memunculkan niat anak-anak untuk melacurkan
diri di objek wisata Kuta. Faktor-faktor ini diantaranya meliputi kondisi daerah asal
mereka, latar belakang sosial ekonomi keluarganya, proses sosialisasi anak dalam
lingkungan keluarga dan kontrol sosial masyarakat daerah asal mereka.
Kondisi daerah asal, seperti telah diketahui jika anak-anak yang melacur di bawah
umur di Kuta adalah berasal dari daerah yang sama yaitu: dari Dusun Pedahan dan Munti
Gunung. Kedua dusun tersebut terletak di kaki Gunung Agung dengan jarak 12 Krn dari
Kecamatan Kubu dan 48 Km dari Ibukota Amlapura, Karangasem. Konon kehidupan
kedua dusun ini memang sangat indah dan subur. Banyak sungai besar dan hamparan tanah
perladangan penduduk menghiasai kesuburan kaki gunung Agung waktu itu. Akibat
letusan Gunung Agung daerah tersebut sekarang menjadi gersang, sulit air dan tandus.
Dari kondisi tersebut mereka banyak yang merantau bahkan disuruh orang tua untuk
bekerja apa saja asalkan mendatangkan uang. Bahkan mereka merelakan anaknya pergi
dari desa untuk mencari pekerjaan di tempat lain, karena mereka menganggap bahwa desa
mereka tidak dapat menjanjikan apa-apa untuk mendapat kehidupan yang lebih layak.
Kondisi inilah yang salah satunya mendorong anak-anak dan beberapa penduduk
desa pergi meninggalkan daerahnya. Mereka terpencar di seluruh kota-kota besar di Bali
dan salah satunya adalah Kuta. Banyak kegiatan yang mereka lakukan setelah berada di
Kuta. Ada yang menjadi pengemis, pencopet, pencuri, pembantu rumah tangga, tukang pel,
bahkan ada yang sampai menjadi pelacur dan gigolo. Begitulah hal-hal yang mendorong
anak-anak dari kedua dusun ini sampai pergi ke Kuta yang pada akhirnya menjadi pelacur
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Kondisi pcrekonomian keluarga, komponen dari faktor pendorong yang kedua
adalah kondisi perekonomian keluarga. Kondisi ini menurut Kartini Kartono, (1988:234)
merupakan salah satu determinan yang menyebabkan individu memasuki dunia pelacuran.
Menurutnya tekanan ekonomi, termasuk kemiskinan keluarga, kemiskinan pengetahuan
dan kemiskinan moral adalah faktor-faktor yang memiliki pengaruh besar dalam
membentuk praktek pelacuran. Hal tersebut jika dianalisis memang sedikit memiliki
korelasi. Namun bukan berarti sebagai faktor pembenar tunggal dalam hal munculnya
pelacuran anak dibawah umur di Kuta. Kemiskinan dan tekanan ekonomi keluarga dari
anak-anak memang menjadi pemicu tetapi tidak dapat dikatakan sebagai pembenar.
Dari 10 (sepuluh) kasus yang diamati 8 (delapan) .kasus menyatakan bahwa mereka
memang mengalami kesulitan ekonomi. Kondisi ekonomi keluarga yang serba susah
mendorong mereka untuk berurbanisasi dari desa asalnya. Secara kebetulan daerah wisata
Kuta menjadi salah satu pilihan terakhirnya karena sebelumnya beberapa diantara mereka
juga pernah merantau di beberapa kota besar di Bali.
Sosialisasi anak dalam keluarga, komponen faktor pendorong yang ketiga adalah
sosialisasi anak dalam keluarga. Sosialisasi dalam kasus ini adalah proses anak-anak dalam
upaya mempelajari dan menginternalisasi norma, nilai, peran dan semua persyaratan lain
yang diperlukan untuk memungkinkan partisipasinya dalam kehidupan sosial. Sosialisasi
ini penting bagi perkembangan diri anak karena dengan nilai, norma, serta peran yang
dimilikinya seorang anak akan mampu hidup normal sesuai panata dan norma yang
berlaku dalam masyarakat.
Secara teoritis terdapat dua macam sosialisasi, yaitu sosialisasi primer dan
sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer pada umumnya terjadi pada usia anak 0-4 tahun,
sedangkan sosialisasi sekunder terjadi setelah masa sosialisasi primer berhasil dilalui.
Dalam tahap sosialisasi primer seorang anak akan diperkenalkan dengan lingkungan sosial
terkecil yaitu; keluarga. Dalam lingkungan ini anak diharapkan telah mampu mengenal
ayah-ibunya, saudara kandungnya, kerabatnya, teman sebaya dan tetangganya. Selain itu
anak juga diharapkan mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik seperti rnengetahui
nama yang dipakai. Setelah itu anak akan berhadapan dengan tahap sosialisasi sekunder,
Tahap ini bukan keluarga atau ayah dan ibu yang berperan dalam proses pendidikannya,
melainkan masyarakat secara umum. Bagi anak yang sekolah dia akan lebih banyak
bergaul dengan lingkungan teman-teman sekolah dan bagi yang tidak bersekolah pertama
kali hanya dapat diperoleh dari lingkungan terkecilnya yaitu: ayah atau ibuhya Jika figur
itu dalam perkembangan anak sudah hilang maka anak akan menjadi rawan; kurang
kontrol diri dan cenderung tidak memiliki kepercayaan diri.
Kontrol sosial masyarakat daerah asal, unsur keempat yang menjadi salah satu
faktor pendorong para pelacur di bawah umur di Kuta adalah-adanya kontrol sosial di
daerah asalnya yang lemah. Dalam pengertian, kurang ada sanksi yang tegas terhadap
warganya jika diketahui bahwa anak-anak dari daerah asalnya melakukan tindakan yang
secara umum kurang normatif kontrol sosia1 ini meliputi sikap dan reaksi masyarakat
terhadap perilaku tindak pelacuran,
Menurut beberapa hasil penelitian tentang pelacuran, menyatakan bahwa salah satu
penyebab adanya kelanggengan praktek prostitusi dalam suatu masyarakat adalah sikap
serta reaksi dari masyarakatnya sendiri terhadap praktek pelacuran. Sikap dan reaksi ini
akan tidak berlaku jika masyarakat tidak mengetahui atau Jika para pelaku pelacuran
sengaja tidak memberitahukan terhadap prakteknya. Artinya para pelacur sengaja
menyembunyikan aktifitasnya atau selalu menutupi perilakunya.
Secara umum sikap dan reaksi ini memang sangat terkait dengan sistem norma serta
aturan yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan persoalan itu sikap di sini diartikan
sebagai suatu bentuk respon evaluatif yang sudah melalui berbagai pertimbangan baik oleh
warga masyarakat maupun oleh individu yang bersangkutan memilih menjadi pelacur
setelah berada di Kuta. Faktor penarik ini pada umumnya hanya ada di daerah yang
menjadi tujuan anak-anak untuk mencari uang atau kerja, yaitu: Kuta.
Dalam penelitian ini perwujudan dari faktor-faktor penarik tesebut diantaranya
adalah adanya objek wisata yang menarik di Kuta (matahari, pasir putih, dan laut biru-sun,
sand, sex), banyaknya fasilitas hiburan yang beroperasi sepanjang malam (bar, pub,
diskotik, film, restoran), kunjungan turis yang ramai, uang dollar, dan lapangan pekerjaan
baik sektor formal dan informal yang terbuka lebar (pedagang acung, pemijat, manekure,
pengepang rambut).
5.2 Faktor Penarik
Faktor penarik merupakan faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat menimbulkan atau mematangkan sikap anak-anak sehingga dalam dirinya
muncul adanya keputusan untuk pergi ke Kuta atau mengambil keputusan untuk memilih
menjadi pelacur setelah berada di Kuta.
Peluang kerja dan daya tarik wisatawan asing, menurut hasil pengamatan dan
pengakuan sebagian begian anak-anak sendiri tentang alasan pertamanya memilih Kuta
sebagai daerah tujuan untuk memperbaiki taraf ekonomi adalah karena Kuta merupakan
objek wisata yang membuatnya menarik, banyak peluang kerja dan banyak turis yang
membelanjakan uangnya. Alasan ini kemudian dimatangkan oleh adanya kerabat, dan
teman-temanya sedaerah asal yang telah terlebih dahulu berada di Kuta.
Pertama anak-anak ini hanya mendengar jika di Kuta mudah mencari uang.
Kemudian beberapa anak mencoba membuktikan akan kebenaran informasi tersebut. Fakta
ini seperti yang diakui oleh Sut (16 th) dan Yl (16 th). Mereka mengaku jika mendengar
informasi itu dari Wt (16 th) dan As ( 12 th) yang telah lama berada di Kuta
Seperti itulah gambaran daya tarik Kuta dimata anak-anak dari dua dusun ujung
timur pulau Bali ini. Kuta betul-betul; memiliki citra positif dan dipersepsikan sebagai
tempat yang dapat mengatasi segala kesulitan dirinya beserta keluarganya Sampai-sampai
seorang kerabat Sut yang bernama Nengah (20 tahun), juga tertarik dengan keberhasilan
Sut. Padahal dia telah menikah dan punya pekerjaan tetap didesanya sebagai pembuat gula
ental dan mencarikan rumput untuk 4 sapinya. Meskipun begitu ia tetap bersikeras ikut
pergi ke Kuta bersamanya. Namun niatnya ini tidak berlangsung lama karena suaminya
dari desa mencari dan marah-marah untuk selanjutnya diajaknya pulang kembali ke desa.
Banyak fasilitas hiburan dan uang dollar, unsur ini juga menjadi faktor penarik
bagi anak-anak dari kedua dusun ini. Ha ini selaras dengan pendapat Wayan Geriya
(1998). Menurutnya, suburnya pelacuran di suatu daerah sebenarnya telah dimatangkan
oleh kondisi dari daerah tersebut. Sepert halnya Kuta, yang di dalamnya telah ada sentralsentral pariwisata lengkap dengan sarana dan prasaran tempat hiburan yang keberadaanya
ternyata membolehkarn diadakannya praktek prostitusi. Memang terdapat suatu sistem
yang rumit tentang persoalan ini. Disatu sisi pelacuran dilarang dan tidak bisa diterima
oleh masyarakat luas sedangkan disisi lain keberadaan sentral-sentral pariwisa.ta
tersebut, justru mengkondisikan jika kehadiran pelacur memang diperlukan.
Sentral-sentral tersebut memang bukan suatu lokalisasi pelacuran, namur
membolehkan kehadiran pelacur-pelacur untuk beroperasi. Hal ini bagi para pemilik
sentra-sentra pariwisata memang sangat menguntungkan karena akan dapat mendatangkan
jumlah pengunjung yang besar. Di sini para pelacur juga diuntungkan karena ramainya
pengunjung berarti semakin banyak pula kemungkinan yang akan mempergunakan dirinya.
Disinilah simbiosis mutualisme kehidupan malam benar-benar terjadi meskipun antara
kedua belah pihak tidak mengadakan perjanjian sebelumnya.
Pada kasus pelacuran di Kuta, sentra-sentra tersebut'termasuk fasilitas-fasilitas
hiburan, mainan, penginapan, panti-panti, panggung tertutup, restoran, hotel, dan berbagai
jenis bentuk karaoke. Sentra-sentra ini di wilayah Kuta tcrnyata sering menjadi ajang
praktek prostitusi, adalah rumah bola (billyard), salon, permainan ketangkasan, panti pijat,
bar, pub dan diskotik. Ternpat-tempat tersebut memang tidak semua menjadi lokasi
praktek pelacuran, namun semua mempunyai andil untuk dijadikan tempat transa.ksi.
Tempat billyard misalnya, beberapa diantarnya memang merupakan salah satu sentral
dimana banyak terjadi transaksi pelacuran. Perempuan-perempuan malam di tempat ini
banyak
Bahkan peneliti sering mendapati langsung seorang responden yang tinggal berharihari dengan seorang wisatawan mancanegara di sebuah hotel di kawasan Kuta Anak ini
ketika bertemu lagi dengan saya terlihat tidak ada rasa malu dengan tindakannya tersebut.
la menganggap hal tersebut biasa saja di Kuta, tetapi berusaha menutupinya jika salah
seorang keluarganya menengoknya di Kuta. Begitulah peluang yang diberikan oleh
berbagai macam sarana hiburan yang ada di Kuta dalam rangka mematangkan terjadinya
pelacuran bawah'-umur. Kehidupan-kehidupan seperti itulah yang merupakan daya tank
tersendiri bagi anak-anak.
Kontrol sosial Kuta, salah satu hal lain yang juga ikut mematangkan adanya
pelacuran bawah umur adalah peran kontrol sosial dari masyarakat Kuta sendiri. Kontrol
sosial atau pengendalian sosial yang dimaksud di sini adalah segala bentuk proses, baik
direncanakan atau tidak, memiliki sifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga
masyarakat agar mematuhi norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku.
Pengendalian sosial diperlukan oleh masyarakat agar setiap warga masyarakat mau
meniatuhi nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku baik dengan kesadaran sendiri maupun
dipaksa. Melalui pengendalian sosial bahkan orang-orang yang sudah menyimpang
diusahakan untuk kembali mematuhi nilai dan norma tersebut (Maftuh dan Yadi Riyadi,
1994:107). Demikian pula dengan masyarakat Kuta., individu-individunya pasti akan
selalu menghendaki adanya keteraturan dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, Oleh
karena itu perlu ada aturan dan sangsi yang berlaku.
6. Simpulan dan Saran
6.1 Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepariwisataan di Bali secara umum telah
banyak memberikan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Disisi lain
penelitian ini juga menemukan adanya ketidakmerataan pembagian hasil dari keuntungan
pariwisata. Salah satu kasus yang nyata dari adanya ketidakmerataan ini dialami oleh
sebagian warga dari wilayah ujung timur Pulau Bali, khususnya Dusun Pedahan dan
Muntigunung, Kecamatan Kubu, Karangasem. Dua dusun ini adalah salah satu potret
adanya ketimpangan pembagian dolar yang-dihasilkan dari industri pariwisata. Dari kedua
dusun inilah para pelacur anak-anak di Kuta berasal, yang sampai detik ini nasib dan
keberadaannya terus terinjak dan tertindas.
Sangat
disadari
apabila
penelitian
ini
hanya
bersifat
menemukan
dan
mendiskripsikan adanya fakta. Bahkan hanya menyajikan masalah atau membuat masalah
yang mungkin akan menjadi bahan polemik dan perdebatan panjang. Sejauh itu disadari
pula jika penelitian ini tidak mampu memberikan solusi yang tepat tentang persoalan ini.
Namun begitu, tanpa harus menjadikan hasil penelitian ini penting bagi semua pihak,
sekiranya temuan-temuan dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan untuk koreksi
dan evaluasi diri, khususnya terhadap pemerataan hasil-hasil yang diraup dari industri
pariwisata.
6.2 Saran
Bertolak dari kenyataan ini langkah-langkah yang sekiranya penting untuk
diperhatikan diantaranya adalah :
a. Perlu dilakukan tindakan-tindakan proaktif bagi kelompok anak-anak ini dengan
harapan agar mendapatkan perlindungan, baik terhadap hak-haknya, resiko kesehatan
maupun keselamatan jiwanya.
b. Bagi kelompok anak-anak yang sudah tidak mungkin dapat ditolong dari dunia
pelacuran, hendaknya diadakan peningkatan penyuluhan keagamaan dan penyuluhan
kesehatan terutama tentang, Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS.
c. Bagi daerah asal mereka perlu diupayakan untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui program pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan
dan keagamaan.
Daftar Pustaka
Ancoh, Djamatudin. 1986. Tekhnik Penyiisunan Skala Penguhir. Yogyalkarta : PPK UGM
Becker, Howards. 1988. Sosiologi Penyimpangon : Disarikan oleh Soerjono Soekanto dan
Ratih Lesta. Jakarta; Rajawali Pers
Benedict, Ruth. 1960. Pola-Pola Kehudayaan. Jakarta.: Pustaka Universitas Rakyat
Indonesia
Bregt, J Vredcn. 1983. Metode Dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia
Darn Truong, ThnnJIi. 1992. Seks, Uang Dan Kekuasaan: Pariwisata Dan Pelacuran
DiAsia Tenggara. Di-Indonesiakan oleh Ade Armando: LP3S
Dananjaya, James. 1988. Antropologi Psikologi: Teori, Metode Dan Perkembangannya:
Rajawali Pers.
________, 1973. Encyclopedia Britamca. Chichago : William Benton Publishers
Gde Arsana, Ketut, et al. 1989/1990. Tata Kelak-nan Di Lingkungan Keluarga Dan
Masyarakal. Setempat Daerah Bali. Denpasar : Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan
.
Gunarsa, Singgih. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta : Gunung Mulia.
Kartono, Kartini. 1988. Psikologi Sosial. Jakarta : Rajawali Pers.
1984. Psikologi Abnormal Dan Psikologi Seks, Bandung : Rajawali Pers.
________, 1992. Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta : Rajawali Pers.
________, 1992. Peranan Keluarga Memandu Anak : Seri Psikologi Terapan. Jakarta : CV
Rajawali Bekerja Sama dengan dan UKSW Salaliga.
Kumbara, Anoni. 1994. Tinjanan Konseptiial Masalah Pelacuran Dan Implikasinya : dya
Pustaka. Denpasar : Fak. Sastra Unud.
Maftuh, Bcnyamin dan Yadi Riyadi. 1994, Penuntun Belajar Sosiologi. Bandung ; Ganeca
Exact Mead, Mar^areth. 1949. Male Dan Female. New York : Mentor Elooks
Murray, AHson J. 1994, PedagangJalanan Dan Pelacur Jakarta : Sebuah Kajian
Antopologi Sosial disarikan oleh Parsudi Suparlan. Jakarta : LP3ES
Musscn, Piuil Henry, et al. 1990.' Perkembangan Dan Kepribudian Anak : Edisi 6, Jakarta
: Arcan
Pasaribn, I.L dan B. Simanjiitak. 1984. Teori Kepribaaian. Bandung : Tarsito Pcrmadi.
1991. "Seks Dan K.ebalinan'" dalam Prisma No. 7
Phong Paicllit, P. 1961. "The Open Economy And Its Friends. The Development;, of
Thailand': Pasific Affair.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Struktur Bahasa Bali. Jakatra;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sndarsono. 1994. Delerminan Sosial Bndaya Yang Mempengarnhi Mwicninya ProslitKsi:
Studi Kasus Pada Lima Keluarga Pelacur Yang Tinggal Di Daerah Asal Pelacur di
Desa Redjo Banyuwangi. Skripsi Antropc'logi. Denpasar : Fak. Sastra. Unud
Sudibia, Kctut ct al. 1992. Keterkaitan Hubungan Antara Migi'an Dengan Daerah Asalnya
Serfa Penganihnya Terhadap Remilan dan Migrasi Berantai : Sebuah Studi Kasus di
Kelurahan Kuta Kabupaten Badung. Denpasar: sub Pusat Studi Kependudukan Unud
Soekanto, Socrjono. 1990. Sosiologi Keluarga : Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja Dan
Anak. Jakarta : Rineka Cipta
Susanto. S, Astrid. 1977. Penganiar Sosiologi Dan Pembangiman Sosial Bandung : Bina
Cipta.
PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN DAN EKOWISATA
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT
I Wayan Suardana
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
Tourism is viewed as a development tool and as means of diversifying economic.
Development, whether preceded by the word economic or sustainable, implies change and
that is what is sought by propenents of tourism development. Fandeli 2000, page 59
Key words : environmental service, and ecotorism
1. Pendahuluan
Paradigma pembangunan pariwisata di masa lalu telah mewarnai pola kebijaksanaan
pengembangan hutan untuk wisata. Orientasi kepada mendukung peningkatan devisa
negara menjadi alasan optimalisasi pemanfaatan hutan untuk tujuan tersebut. Dengan
diluncurkannya Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1994 pemerintah c.q Departemen
Kehutanan mengharapkan pengembangan hutan untuk pariwisata dapat dipacu. Walaupun
dengan dalih tetap dalam kerangka konservasi, ternyata hasil yang dicapai tidak
menggembirakan.
Sejalan dengan perkembangan dalam dasa warsa terakhir ini, Bali dituntut untuk
lebih adaptif terhadap kebutuhan pasar global. Dalam bidang pariwisata, keberadaan Bali
akan ditentukan kemampuan dalam memberikan pelayanan atas komponen-komponen
pariwisata, yaitu atraksi, transportasi, akomodasi, informasi dan promosi, secara
kompetitif. Pada saat dunia sedang galau karena terjadinya kerusakan sumber daya alam
dan lingkungan maka kepariwisataan alam mengalami perkembangan yang meningkat.
Wisatawan yang pada umumnya dari kota, menginginkan suasana baru di alam yang jauh
dari kebisingan. Sementara bagi wisatawan dari negara industri, melakukan perjalanan ke
daerah yang memiliki suasana berbeda dengan tempat asalnya. Ramalan bahwa pariwisata
akan menjadi industri jasa terbesar bersama-sama dengan transportasi dan telekomunikasi,
harus dipahami sebagai peluang hanya bila disertai dengan pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skill) yang cukup, dan sikap (attitude) yang baik.
Kebijakan, strategi dan program pengembangan pariwisata alam ditetapkan dengan
rambu-rambu konservasi. Sementara itu kegagalan dalam pengembangan kepariwisataan
alam dapat terjadi bila tidak memperhatikan daya dukung dan adanya pergeseran
paradigma. Pengembangan kepariwisataan alam di Taman Nasional Bali Barat dengan
memanfaatkan jasa lingkungan alam dan budaya harus memperhatikan berbagai faktor.
2. Konsep Wisata Alam Menuju Wisata Berkelanjutan
Kepariwisataan alam sangat ditentukan oleh keberadaan prilaku dan sifat dari objek
dan daya tarik wisata. Menurut Fandeli (1999), sifat dan karakter kepariwisataan alam
adalah :
a. In situ; objek dan daya tarik wisata alam hanya dapat dinikmati secara utuh dan
sempurna di ekosistemnya. Pemindahan objek ke ex situ akan menyebabkan terjadinya
perubahan objek dan atraksinya.
b. Perishable; suatu gejala atau proses ekosistem hanya terjadi pada waktu tertentu. Objek
dan daya tarik wisata alam yang demikian membutuhkan pengkajian dan pencermatan
secara mendalam untuk dipasarkan.
c. Non Recoverable; suatu ekosistem alam mempunyai sifat dan prilaku pemulihan yang
tidak sama, tergantung dari faktor dalam (genotype) dan faktor luar (phenotype).
d. Non sustitutable; di dalam suatu daerah atau mungkin kawasan terdapat banyak objek
alam.
Objek dan daya tarik wisata alam terletak di berbagai tipe ekosistem, baik darat
maupun lautan. Secara alami ODTW alam ini terdapat di taman nasional, cagar alam,
suaka margasatwa, hutan wisata dan taman buru. Dalam perkembangan pariwisata
berkelanjutan, ternyata kegiatan wisata alam lebih tegas diarahkan menuju kegiatan
ekowisata.
Konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) juga masih dalam perdebatan.
Beberapa konsep dan definisi pariwisata berkelanjutan muncul, diantaranya :
a. Kegiatan wisata yang mempertemukan kepentingan pengunjung dan penerima dengan
menjaga kesempatan bagi generasi mendatang untuk dapat ikut menikmati wisata ini.
b. Pariwisata harus didasarkan pada kriteria yang berkelanjutan yang intinya adalah
pembangunan yang harus didukung secara ekologis dalam jangka panjang dan
sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat.
c. Semua bentuk pembangunan, pengelolaan dan aktivitas pariwisata yang memelihara
integritas lingkungan, sosial, ekonomi dan kesejahteraan dari sumber daya alam dan
budaya yang ada untuk jangka waktu yang lama.
d. Pariwisata yang memperhatikan kemampuan alam untuk regenerasi dan produktivitas
masa datang.
Beberapa definisi tersebut secara umum memiliki kesamaan yang merupakan
terjemahan lebih lanjut dari pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu kegiatan wisata
dianggap berkelanjutan apabila memenuhi syarat yaitu :
a. Secara ekologis berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak menimbulkan
efek negatif bagi ekosistem setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan
yang harus diupayakan untuk melindungi sumberdaya alam dan lingkungan dari efek
negatif kegiatan wisata.
b. Secara sosial dapat diterima; yaitu mengacu pada kemampuan penduduk lokal untuk
menyerap usaha pariwisata (industri & wisatawan) tanpa menimbulkan konflik sosial.
c. Secara kebudayaan dapat diterima, yaitu masyarakat lokal mampu beradaptasi
dengan budaya tourist yang cukup berbeda (tourist culture)
d. Secara ekonomis menguntungkan, yaitu keuntungan yang didapat dari kegiatan
pariwisata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dari beberapa kategori tersebut, kemudian jenis wisata berkembang lebih lanjut yang
disebut ekowisata. Perkembangan ekowisata merupakan tuntutan lebih dari pecinta
lingkungan bahwa kegiatan wisata seharusnya tidak hanya memperkecil dampak negatif
terhadap lingkungan tetapi harus pula melibatkan kegiatan konservasi. Oleh karena itu
walaupun pengertian ekowisata cukup bervariasi namun disepakati bahwa ekowisata
merupakan bagian kecil dari pariwisata berkelanjutan karena sifatnya yang lebih spesifik.
Wisata Pantai
Wisata Pedesaan
Wisata Alam
Wisata Budaya
Pariwisata Berkelanjutan
Bisnis Usaha Travel
Ekowosata
Pariwisata tidak berkelanjutan
(Massal – Konservasion)
Dalam gambar 1 dapat dilihat posisi ekowisata terhadap pariwisata berkelanjutan.
Gambar 1.
Ekowisata Sebagai
Bagian dari Konsep
Pembangunan
Berkelanjutan
Sumber : Wood (2002)
Sampai saat ini pengertian ekowisata masih diperdebatkan, paling tidak terdapat 15
definisi dari ekowisata yang dikemukakan oleh Fennel (1999), Selain itu, beberapa definisi
muncul setelah tahun 1999 seperti Wood (2002). Fennell (1999: 43) mendefinisikan
ekowisata sebagai wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengamatan dan
pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi
dampak negatif paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi
lokal (dalam hal kontrol, manfaat/keuntungan yang dapat diambil dan skala usaha). Berada
di lokasi wisata alam dan berkontribusi pada konservasi atau preservasi lokasi tersebut.
Sebelumnya, Fennel dan Eagles (1990) menyebutkan bahwa ekowisata merupakan wisata
alam yang berfokus di daerah konservasi (protected areas) yang memberi kontribusi bagi
kesejahteraan masyarakat lokal, konservasi dan pendidikan.
Definisi ekowisata sendiri cukup rumit dan berbeda-beda. Namun demikian terdapat
enam prinsip dasar ekowisata disepakati yang membedakan kegiatan ekowisata dan wisata
alam. Enam prinsip dasar pengembangan ekowisata yaitu :
a. Memberikan dampak negatif yang paling minimum bagi lingkungan dan masyarakat
lokal.
b. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan baik pada pengunjung maupun penduduk
lokal.
c. Berfungsi sebagai lahan untuk pendidikan dan penelitian baik untuk penduduk lokal
maupun pengunjung (wisatawan, peneliti, akademisi).
d. Semua elemen yang berkaitan dengan ekowisata harus memberi dampak positif berupa
kontribusi langsung untuk kegiatan konservasi yang melibatkan semua aktor yang
tertibat dalam kegiatan ekowisata, sebagai contoh pengunjung tidak hanya berfungsi
sebagai penikmat keindahan alam tetapi juga secara langsung sebagai partisipan dalam
kegiatan konservasi.
e. Memaksimumkan partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan
berkaitan dengan pengelolaan kawasan ekowisata
f. Memberi manfaat ekonomi bagi penduduk lokal berupa kegiatan ekonomi yang bersifat
komplemen terhadap kegiatan ekonomi tradisional (bertani, mencari ikan dan lainnya).
Seperti pariwisata konvensional, ekowisata diharapkan juga melibatkan banyak pihak
(stokeholders) dalam kegiatannya seperti pihak pemerintah, masyarakat lokal, pelaku
bisnis, LSM maupun lembaga internasional. Namun demikian inisiatif yang berasal dari
dalam dianggap lebih memberi kekuatan pada kelangsungan ekowisata tersebut. Hal ini
disebabkan bahwa masyarakat lokal dianggap lebih tahu skala pengembangan ekowisata
karena memiliki pengetahuan tentang kondisi lokasi, termasuk makanan, budaya dan
akomodasi yang dapat dikembangkan.
3. Pemanfaatan Jasa Lingkungan
Wilayah Taman Nasional Bali Barat memiliki potensi untuk memberikan berbagai
macam jasa lingkungan (environmental services) yang sangat berharga untuk kepentingan
pembangunan. Pemanfaatan jasa-jasa lingkungan kawasan pesisir dan lautan meliputi
aspek (1) sarana pendidikan dan penelitian, (2) pertahanan keamanan, (3) pengaturan iklim
(climate regulator), (4) pariwisata bahari, (5) media transportasi dan komunikasi, (6)
sumber energi, (7) kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi) dan (8) sistem
penunjang kehidupan serta fungsi-fungsi lainnya.
Pengatur proses-proses ekologis, sumber daya alam di kawasan TNBB sangat besar
perannya dalam mendukung fungsi ekologis bagi kehidupan biota. Berbagai macam habitat
utama di wilayah pesisir dan lautan, seperti mangrove, terumbu karang, dan perairan pantai
secara sinergis mempengaruhi keberadaan sumber daya hayati. Di ekosistem hutan taman
nasional merupakan sumber nutrien utama bagi biota dan ekosistem hutan. Selain itu,
hutan juga berfungsi mempertahankan kondisi fisik habitat pesisir dan fungsi ekologis
lainnya, seperti mencegah erosi dan kerusakan pantai mencegah intrusi air laut ke daratan
dan menjaga kestabilan lapisan tanah. Bentuk akar tanaman seperti mangrove yang khas
dapat meredam gempuran ombak dan sekaligus berfungsi untuk menahan lumpur,
sehingga dapat memperluas penyebaran mangrove. Tanaman hutan lainnya juga dapat
menahan tanah dari bencana longsor.
Pengatur iklim, wilayah Kawasan TNBB sangat berpengaruh terhadap sistem
atmosfer di kawasan Jembrana dan Buleleng. Dalam skala global, jasa hutan dan laut yang
sangat penting adalah menjadi pompa biologis (biological pump). Istilah tersebut
dipergunakan karena kehidupan yang terdapat di hutan dan laut dapat mengontrol
konsentrasi CO2 di atmosfer. Gas CO2 di atmosfer yang kandungannya mencapai 700
miliar ton dipertahankan melalui pertukaran dengan cadangan yang sangat besar di hutan
dan laut, yakni sebesar 35.000 miliar ton. Kandungan CO2 di permukaan lebih kecil
ketimbang di lapisan dasar laut. Gradien vertikal ini terjadi karena kehadiran populasi
fitoplankton berupa diatom, coccolithophore dan dinoflagellata. Organisme fitoplankton
tersebut mengambil CO2, yang terlarut dalam perairan laut untuk proses fotosintesis.
Sebaliknya, proses tersebut tidak terjadi di lapisan dasar karena keterbatasan penetrasi
cahaya matahari yang masuk ke dalamnya. Hal ini dikarenakan laut dalam akan melakukan
resirkulasi CO2 ke permukaan yang kemudian lepas ke atmosfir. Jadi, melalui proses
pemompaan karbon secara biologis (biological carbon pump), kejadian tersebut dapat
dicegah.
Sumber keindahan dan pariwisata, sumber daya hayati pesisir dan lautan di
kawasan TNBB seperti populasi ikan hias, terumbu karang, hutan mangrove, dan berbagai
bentang alam pesisir (coastal landscape) unik lainnya, membentuk suatu pemandangan
alamiah yang begitu menakjubkan. Kondisi tersebut menjadi daya tarik yang sangat besar
bagi wisatawan, sehingga pantas bila dijadikan objek wisata bahari. Potensi utama untuk
menunjang kegiatan pariwisata di wilayah pesisir dan laut adalah kawasan terumbu karang;
pantai berpasir putih atau bersih; dan lokasi-lokasi perairan pantai yang baik untuk
canoing, serta kegiatan rekreasi air lainnya. Diperkirakan bahwa ekosistem terumbu karang
memiliki keragaman spesies sebanyak 335-362 spesies karang scleractinian dan 263
spesies ikan hias laut. Hal ini menciptakan keindahan panorama alam bawah laut yang luar
biasa bagi para penyelam, para wisatawan yang melakukan snorkling, atau melihatnya dari
atas kapal yang dasarnya berkaca (glass bottom boat). Oleh sebab itu, tidaklah berlebihan
bila terumbu karang dapat dijadikan modal utama dalam pengembangan wisata bahari di
kawasan TNBB. Objek wisata bahari lain yang berpotensi besar adalah wilayah pantai.
Umumnya Kawasan TNBB memiliki kondisi pantai yang indah dan alami. Di antaranya
adalah pantai Kotal,dan teluk terima. Wilayah pantai menawarkan jasa dalam bentuk
panorama pantai yang indah; tempat pemandian yang bersih; serta tempat melakukan
kegiatan canoing.
Sumber inspirasi dan gagasan, wilayah pesisir dan lautan merupakan sumber ilmu
pengetahuan yang dapat menumbuhkan inspirasi dan gagasan, baik untuk penelitian,
pendidikan, maupun pelatihan, dengan tujuan mencapai pemanfaatan yang optimal.
Berkaitan dengan seni, hutan dan laut sering dijadikan sumber inspirasi untuk mewujudkan
karya lukisan, syair, puisi, lagu, dan benda-benda seni lainnya. Pengembangan ilmu dan
teknologi yang bersumber dari TNBB diarahkan untuk dapat menciptakan alat tangkap
yang produktif, efisien, serta memiliki selektivitas yang tinggi dan ramah terhadap
lingkungan. Ilmu pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan berkembang pesat setelah
ditemukannya serat sintesis (synthetic fibre), alat pendeteksi ikan (fish finder), mekanisasi
penangkapan (fishing auxiliary equipment), dan teknologi pengolahan hasil perikanan.
Dalam bidang budi daya, teknologi yang dikembangkan berkaitan dengan budi daya
mutiara dan budidaya tanaman produksi.
4. Pola Pengembangan Wisata Alam di TNBB
Model pengembangan pariwisata alam yang mengarah pada pengembangan
ekowisata diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, konservasi
lingkungan, dan konservasi terhadap budaya lokal. Beberapa kegiatan wisata alam yang
telah berkembang disusun dalam beberapa paket wisata alternatif, yaitu :
Jungle tracking, merupakan kegiatan menjelajah hutan untuk menikmati panorama
di dalam kawasan hutan, baik itu mengenai flora, fauna maupun bentang alam yang ada.
Pihak TNBB mempunyai dua paket untuk melakukan jungle tracking, yaitu paket rute
panjang dan paket rute pendek. Fauna yang dapat dilihat di Prapat Agung adalah rusa,
kijang, monyet hitam, ayam hutan, babi hutan, biawak dan burung. Pengunjung juga dapat
melihat keanekaragaman jenis tegakan, mulai dari sawo kecik, panggal buaya, sonokeling,
sentigi dan lain-lain. Pantai yang berpasir putih merupakan salah satu daya tarik yang
terdapat di sini. Di Prapat Agung terdapat kubangan satwa yang menjadi tempat minum
satwa.
Bird watching, adalah kegiatan mengamati burung dan perilakunya di alam. Bird
watching biasanya dilakukan pada pagi hari saat matahari baru muncul dan sore hari saat
matahari terbenam karena pada saat tersebut burung-burung biasanya keluar dari tempat
persembunyiannya. Jenis yang dilindungi dan merupakan maskot TNBB adalah jalak bali.
Namun sangat susah untuk mengamati jalak bali di alam karena jumlahnya yang sudah
sangat sedikit di alam. Jalak bali di alam hanya dapat dilihat atau diamati di Pos Teluk
Brumbun. Burung lain yang terdapat di TNBB adalah jalak putih (Sturnis melanopterus),
bangau tongtong (Leptoptilus javanicus). cekakak (Halcyon chloris), kuntul (Egretta sp.),
rangkong (Buceros rhinoceros) dan lain-lain. Tempat yang istimewa untuk bird watching
adalah seluruh wilayah di Pulau Menjangan, Gunung Klatakan, Pos Lampu Merah, Pos
Teluk Brumbun, Pos Teluk Kotal, Pos Prapat Agung, Pantai Cekik, Teluk Gilimanuk,
Pulau Kalong, Pulau Burung, Pulau Gadung dan tempat-tempat lainnya.
Snorkling and diving, adalah aktivitas untuk mengamati keindahan panorama bawah
laut dengan berenang-renang di permukaan laut. Sedangkan diving atau dalam bahasa
Indonesianya menyelam adalah kegiatan mengamati panorama bawah laut dengan masuk
ke dalam laut sampai kedalaman tertentu. Taman Nasional Bali Barat mempunyai
panorama bawah laut yang indah untuk dinikmati. Tempat untuk aktivitas ini adalah
perairan di Pulau Menjangan dan perairan Teluk Kotal.
Camping, Taman Nasional Ba!i Barat juga dapat digunakan untuk camping atau
berkemah. Telah disediakan tempat khusus untuk berkemah, yaitu di camping ground.
Kegiatan berkemah dapat dilakukan dengan berbagai peraturan, misalnya tentang
pembuatan api harus hati-hati karena dapat menimbulkan kebakaran hutan.
Canoing, atau berperahu merupakan aktifitas yang dilakukan dengan cara naik
perahu untuk menyusuri perairan. Canoing dapat dilakukan di TNBB untuk menyusuri
perairan TNBB sambil menikmati keindahan alam perairan TMBB. Biasanya yang
dilakukan adalah canoing untuk menyusuri hutan mangrove yang terbentang di beberapa
tempat di pantai TNBB.
Tabel 1
Pola Kegiatan Wisata Alam di Taman Nasional Bali Barat
No.
Aktivitas
1 Berkendaraan
2
3
Hiking
Jungle tracking
4
5
Bird wactching
Snorkling dan Diving
6
Camping
7
Canoing /kayaking
8
9
Sight seeing (berjalan-jalan)
Berkuda
10
Studi arkeologi
11 Wisata spiritual
12 Ziarah
Sumber : Hasil Analisis, 2006
Uraian
Bersenang-senang dan bersantai menuju tempattempat yang ditentukan
Berjalan-jalan menelusuri hutan
Penjelajahan hutan sambil menikmati keindahan
hutan dan binatang alam.
Kegiatan mengamati burung dan prilakunya di alam
Menikmati keindahan bawah laut di Pulau
Menjangan
Berkemah dilakukan di tempat yang telah
ditentukan
Aktivitas yang dilakukan dengan cara naik perahu
dan menyusuri hutan mangrove.
Ke pedesaan dengan melihat budaya/sosial budaya
Dilakukan pada daerah-daerah tertentu yang dapat
dimanfaatkan
Meneliti atau melihat pninggalan arkeologi yang
terdapat di TNBB
Dilakukan di beberapa pura sepanjang TNBB
Di Makam Syaid Temon
5. Akomodasi dan Sarana Wisata
Pembangunan akomodasi untuk kegiatan ekowisata juga harus mengacu pada konsep
dasar ekowisata yang ramah lingkungan dan sensitif terhadap budaya lokal. Untuk
akomodasi di kawasan Taman Nasional Bali Barat sudah berdiri beberapa akomodasi dari
tiga perusahaan swasta yaitu pertama PT. Trimbawan Swastama Sejati yang bergerak
dalam bidang akomodasi memanfaatkan zona pemanfaatan di Tanjung Gelap dan Banyu.
Fasilitas yang disediakan adalah penginapan (kamar), restoran, ruang seminar, sarana
rekreasi alam dan lain-lain. Kedua, PT. Shorea Barito Wisata memanfaatkan lahan di
Labuhan Lalang dan Tanjung Kotal, fasilitas yang disediakan adalah hotel, restoran, sarana
wisata bahari dan lain-lain. Sedangkan ketiga, PT Disthi Kumala Bahari, memanfaatkan
lokasi
Perairan
Teluk
Terima,
dengan
usaha
yang
dikembangkan
adalah
pengembangbiakan kerang Mutiara. Ketiga perusahaan ini harus tetap memperhatikan
prinsip-prinsp konservasi dalam pengembangan ekowisata dengan meminimalkan dampak
lingkungan yang ditimbulkan.
Akomodasi yang dibangun bervariasi,, mulai dari yang sangat sederhana seperti
kemah-kemah di hutan (gazebo), pondok yang sederhana sampai dengan penginapan
dengan berbagai fasilitas. Akomodasi dirancang sedemikian rupa sesuai kaidah alam
dengan tetap memenuhi kebutuhan dasar pengunjung, seperti air bersih, toilet, dan
pembuangan limbah serta sanitasi lingkungan. Konsep penginapan yang ramah lingkungan
tidak hanya didasarkan pada bahan alami yang digunakan saja, tetapi juga
mempertimbangkan letak dan bentuk bangunan serta ketersediaan fasilitas bangunan.
Bentuk dan kontruksi bangunan disesuaikan dengan kondisi lokal dan tipe-tipe pengunjung
yang menjadi target dalam kegiatan ekowisata.
6. Simpulan dan Saran
Pengembangan wisata alam di Taman Nasional Bali Barat mempunyai prospek yang
baik dan akan banyak mendatangkan nilai tambah bila pengembangan jasa lingkungan dan
pariwisata dilakukan secara optimal dan terpadu dengan tetap memperhatikan kaidahkaidah konservasi. Untuk itu ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan, yaitu :
a. Pengembangan wisata alam harus dilakukan dengan sangat hati-hati dengan cara yang
khusus. Alam yang merupakan pabrik sekaligus produk jasa rekreasi merupakan
komoditas yang sangat sensitif. Apabila pabriknya rusak, produk jasa rekreasi yang
ditawarkan dengan sendirinya akan ikut rusak atau paling tidak berkurang mutunya.
Oleh karena itu, daya dukung dari kawasan terhadap tekanan jumlah pengunjung harus
diperhatikan. Dalam hal ini perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih detail.
b. Investasi wisata alam sebenarnya bukanlah merupakan suatu pilihan investasi yang
sangat menarik. Di samping risk and uncertainity faktor alam sangat besar, juga sangat
banyak aturan yang mesti ditaati dan biaya lingkungan yang ditanggung pengelola
sering kali sangat besar. Dalam pengembangan TNBB pembangunan fasilitas rekreasi
hanya diperkenankan di zona pemanfaatan, jadi praktis yang dapat dimanfaatkan secara
ekonomi hanya zona pemanfaatan. Sedangkan biaya pengelolaan dan pengawasan
harus dikeluarkan untuk seluruh zona. Untuk itu TNB tetap memerlukan subsidi,
karena sulit mendapatkan keuntungan secara finasial. Kecenderungan investasi di
sektor ini tetap menarik walaupun payback periodnya tidak terlalu cepat. Kuncinya
adalah kreativitas dan kejelian memanfaatkan setiap potensi alam untuk dikemas
menjadi paket wisata yang menarik.
Demikian garis besar kebijakan pengembangan Taman Nasional Bali Barat, dengan
tetap mengakomodir berbagai kecenderungan perubahan lingkungan strategis di waktu
yang akan datang, terutama yang berkaitan dengan pergeseran paradigma pembangunan
kehutanan, implementasi desentralisasi, otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara
pusat dan daerah.
Daftar Pustaka
________, 2005. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Bali Barat Tahun 2004.
Departemen Kehutanan.
Bapedalda Propinsi Bali dan PPLH UNUD. 2001. Rencana Strategis Pengelolaan
Kawasan Lindung Bali (Kawasan Lindung Bali Barat, Bedugul dan Kinatamani).
Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan.
Jakarta: PT. Pradnya Paramitha.
Dahuri, Rokhmin., Rais., Ginting., Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah
Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Gramedia Pustala Utama.
Dahuri, Rokhim. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Direktorat Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan. 2003. Pedoman Analisis
Daerah Operasi Objek Dan Daya Tarik Wisata Alam (ODO-ODTWA). Departemen
Kehutanan.
Fandeli, Chafid. 2001. Dasar-Dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Yogyakarta:
Liberty.
Fandeli Chafid, Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Yogyakarta: Fakultas
Kehutanan UGM bekerjasama dengan Unit Konservasi Sumber daya Alam dan
Pustaka Pelajar.
Fennel, David a. 1999. Ecotourism: An Introduction. Routledge, London and New York.
_________, and Eagles, PFJ., 1990. Ecotourism in Costa Rica: a Conceptual Framework,
Journal of Park and Recreation Administration.
Hakim, Luchman. 2004. Dasar-Dasar Ekowisata. Jatim: Bayumedia Publishing.
Hidayati, deni, Mujiyani, Laksmi rachmawati dan andi Zaelani. 2003. Ekowisata:
Pembelajaran dari Kalimantan Timur. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Lindberg, K. 1991. Policies for Maximising Nature Tourism’s Ecological and Economic
Benefit. Washington, DC: World Resources Institute.
Nurrochmat, Dodik Ridho. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan, Upaya Menyelamatkan
Rimba Yang Tersisa. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Page, Stephen J.and Ross K. Dowling. 2002. Ecotourism. Prentice Hall.
Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Swarbrooke, J. 1998. Sustainable Tourism Management. London: CABI Publising
Wood, M.E., 2002 Ecotourism : Principles, Practices and Policies for Sustainability,
UNEP.
POSTMODERNISME DAN PARIWISATA KERAKYATAN
Made Sukana
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
Postmodernism is a popular issues of a large number of people from the media,
practitioners, academician, politician and others. This theory influence many aspect of life
include tourism, and also have a role in changing some paradigm arises. Postmodernism
related with the community based tourism which is a new paradigm as a refusal of
modernism with concept of differentiation, decentralization, and pluralism. Community
based tourism is an impact of postmodernism which recognize the plural truth and put the
local community as a primary actor in development.
Keywords: Postmodernism, Tourism, Community based tourism.
1. Pendahuluan
Belakangan ini postmodernisme menjadi perbincangan berbagai kalangan, mulai dari
media massa, praktisi, politikus, masyarakat akademisi hingga merambah masyarakat
umum. Istilah ini menjadi isu populer (Ritzer, 2004) dan banyak ditulis dalam koran,
majalah, jurnal, buku dan menjadi perbincangan hangat dalam dialog, diskusi, dan seminar.
Postmodernisme masih belum jelas relevansinya dengan berbagai persoalan yang kita
hadapi saat ini. Berbagai kalangan masih banyak menanggapi dengan skeptis lalu menolak
relevansinya, tetapi ada yang menyambutnya dengan penuh antusias sebagai angin segar.
Terlepas dari berbagai tanggapan negatif yang diberikan terhadap postmodernisme,
secara tidak sadar teori ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita saat ini. Isu
gender, alternatif multi budaya bagi rasisme, gerakan lingkungan dan kritisisme budaya
terkait dengan postmodernisme (Turner, 2000). Isu tersebut akhirnya menyentuh
pariwisata yang menjadi salah satu sektor dalam pembangunan di samping sektor lainnya
seperti pertanian, dan industri, jasa.
Tulisan ini mencoba melihat permasalahan dan pergulatan kepariwisataan dalam
kerangka teori postmodernisme. Renungan dan kilas penjelajahan yang disajikan tulisan ini
pada akhirnya mengajak kita untuk menakar ulang dan mengaca diri tentang sejauh mana
peran teori postmodernisme mengubah wajah pariwisata dengan berbagai paradigma baru
yang berkembang. Beberapa aspek yang terkait dengan perkembangan dan kondisi
kepariwisataan di Bali saat ini akan dilihat dari kacamata postmodernisme.
2. Postmodernisme
Postmodernisme berasal dari kata ‘post’ + ‘modern’ + ‘isme’ yang berarti paham
sesudah modern (Ratna, 2004:143). Istilah ini muncul sekitar tahun 1870-an, digunakan
oleh seniman Inggris John Watkins Chapman. Menurut beberapa literatur, asal usul
postmodernisme pertama kali digunakan oleh Federico de Oniz pada tahun 1930-an
(Ritzer, 2004). Istilah ini muncul sebagai salah satu reaksi terhadap modernisme di bidang
sastra khususnya puisi Spanyol dan Amerika Latin. Secara luas posmodernisme mulai
dibicarakan lagi sekitar tahun 1960-an.
Postmodernisme yang merupakan respons keras atas modernisme begitu hebat
mewarnai dan mempengaruhi diskursus intelektual di negeri ini dalam dua tiga dekade
belakangan ini. Postmodernisme tidak hanya menjadi satu masalah ilmu pengetahuan
(scientific) atau filosofis saja, melainkan juga digunakan sebagai alat menghadapi berbagai
persoalan keseharian termasuk juga gerakan sosial yang aplikasinya dapat menyentuh
berbagai dimensi kehidupan masyarakat.
Pandangan dan pendapat yang muncul mengenai postmodernisme
sangat
beranekaragam. Scott Lash (1988, dalam Prama: 1994), menganggap postmodernisme
sebagai periodisasi. Kalau dunia modern ditandai dengan ‘diferensiasi’, maka
postmodernisme oleh ‘de-diferensiasi’. ‘Diferensiasi’ ditandai dengan pembedaan yang
jelas antar bangsa, agama, ras, suku dan antar golongan. Dikotomi imperialismekapitalisme, timur-barat, negara maju-negara berkembang, kulit putih-kulit berwarna
adalah contoh-contoh yang memberikan legitimasi terhadap ide diferensiasi tersebut.
Berbeda dengan diferensiasi, de-diferensiasi adalah sebuah periode di mana batasbatas tadi semakin samar. Semuanya serba bercampur, segala bentuk dikotomi menjadi
sangat problematik pada era ini. Hal ini dapat dilihat dari dipertanyakannya sosialisme
maupun kapitalisme.
Dalam
karya
Jean-Francois
Lyotard,
postmodernisme
berarti
pencarian
ketidakstabilan (instabilities). Apabila pengetahuan modern mencari kestabilan melalui
metodologi,
dengan
‘kebenaran’
sebagai
titik
akhir
pencarian,
pengetahuan
postmodernisme ditandai oleh runtuhnya kebenaran, rasionalitas dan objektivitas. Prinsip
dasarnya bukan benar-salah, tetapi apa yang menurut Lyotard disebut dengan paralogy
atau membiarkan segala sesuatunya terbuka untuk kemudian sensitif terhadap perbedaanperbedaan.
Lebih lanjut oleh Jean-Francois Lyotard, ilmu pengetahuan dikatakan telah
kehilangan narasi besarnya (grand narrative), yaitu argumentasi rasionalitasnya, sehingga
kepastian kebenaranpun telah kehilangan legitimasi. Dalam masyarakat maju, ilmu
pengetahuan tidak lagi mendapat kredibilitas pada kebenarannya, melainkan pada sifat
gunanya, sehingga ia tidak lepas dari jaring-jaring perdagangan dan kekuasaan yang ada di
dalam masyarakat itu.
Postmodernisme seperti halnya teori-teori yang lain, bukanlah sebuah teori yang lahir
secara tiba-tiba. Benih-benih filosofinya sudah ada pada filsafat Nietzsche akhir abad XIX;
dari aspek fisika sudah dimulai oleh Thomas Kuhn di dalam bukunya The Structure of
Scientific Revolution, dan dari teori sosial sudah tampak pada sosiologi Imagination C.
Wright Mill, yang dipengaruhi oleh teori komunikasi Marshall Mc. Luhan, serta teori neo
konservatisme Daniel Bell tentang masyarakat post industrial (Awuy, 1994).
Teori paradigma Kuhn mempunyai andil besar sebagai dasar perkembangan teori
postmodernisme. Beberapa hal dari teori paradigma yang berhubungan dengan
postmodernisme, yaitu: (1) istilah paradigma itu sendiri dan konsekuensinya; (2)
ketidakpastian kebenaran; dan (3) kebenaran menurut konvensi. Menurut teori ini,
perkembangan ilmiah ditandai oleh sifat-sifat revolusioner, bukan evolusi akumulatif
Kuhn mendobrak paradigma positivisme yang berpendirian bahwa ilmu pengetahuan
harus netral, logis, lepas dari urusan metafisika, teologi maupun etika. Kuhn dengan
pandangan pragmatis memandang bahwa tidak ada hubungan vertikal atau subordinat
antara dunia rasional dan irrasional di dalam realitas. Asumsi ini dipertegas lagi, bahwa
ilmu pengetahuan tidak dapat mengungguli dunia lain, apakah ia magi atau voodoo
sekalipun.
Postmodernisme adalah bentuk cara berpikir yang desentralisasi, pluralisme dan
relatif tidak terhingga. Cara berpikir ini kontra dengan modernisme yang telah melahirkan
cara berpikir sentralisme, kesatuan dan totalitarian seperti humanisme, liberalisme dan
marxisme (Awuy, 1994). Alam postmodernisme adalah alam yang tidak lagi mengijinkan
sentralisasi, homogenisasi dan kekuatan tunggal. Dunia postmodernisme ditandai matinya
isu bersama dan hilangnya kepedulian bersama. Satu-satunya kesamaan mereka adalah
mereka ingin dibiarkan tenggelam ke dalam dunia masing-masing (Denny JA, 1994).
Menurut Denny JA, postmodernisme terkait dengan multi-paradigma, kemenangan
individu dan kebangkitan moral. Tidak ada lagi kekuatan tunggal, peran pemerintah
semakin berkurang. Sebaliknya, kekuatan masyarakat tumbuh untuk saling mengimbangi.
Postmodernisme mengarah pada aktivitas-aktivitas ekonomi kerakyatan, melihat
sesuatu yang tersembunyi, terlupakan, terabaikan dan terlalaikan (Ratna, 2004). Tujuannya
adalah untuk mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, di luar
wacana hegemonis.
3. Postmodernisme dan Pariwisata Kerakyatan
Dalam pembangunan kepariwisataan, postmodernisme melahirkan paradigma baru
sebagai bentuk penolakan atas modernisme. Pariwisata yang selama ini dianggap
memberikan dampak-dampak positif bagi masyarakat mulai dipertanyakan, seperti
peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, devisa, dan pajak. Karena ternyata pariwisata
justru membawa efek negatif yang lebih besar serta harus menanggung biaya sosial yang
tidak sebanding dengan dampak positif yang didapatkan. Berbagai dampak negatif muncul
seperti kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat, hilangnya kontrol masyarakat
lokal, munculnya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme. Pariwisata telah mengakibatkan
tanah-tanah di Bali sudah semakin sempit dan kepemilikannya semakin banyak dimiliki
oleh orang luar Bali dan orang asing. Pembangunan skala besar oleh para investor tidak
hanya menyerbu daerah perkotaan, namun sudah merambah perdesaan bahkan hingga ke
jurang-jurang seperti terjadi di Sungai Ayung dan bangunan-bangunan yang ada di
sepanjang jalan sebelah timur Kintamani.
Pariwisata telah menjadi penjajah baru dan menjadi wahana eksploitasi oleh negaranegara maju terhadap negara-negara berkembang. Pariwisata menimbulkan kebocoran
ekonomi begitu besar. Pariwisata yang menjadi andalan negara-negara berkembang
akhirnya terjerat dalam ketergantungan/dependency (Nash,1989; dalam Gunawan,1994).
Ketergantungan terjadi karena tidak adanya pilihan lain untuk mengembangkan
ekonominya dan membangun sarana maupun prasarana. Jenis produk wisata yang
diciptakan disesuaikan dengan peluang bisnis yang dilihat oleh investor, yaitu kebutuhan
dari masyarakat produktifitas ekonomi tinggi dengan tuntutan-tuntutan standar kualitas
sangat tinggi. Hal ini akan menyebabkan ketergantungan modal dari luar (negara maju),
karena negara berkembang tidak mampu melakukan investasi dalam skala besar tersebut.
Ketergantungan juga terjadi karena posisi tawar (bargaining power) kita masih sangat
lemah. Wisatawan yang berkunjung ke negara berkembang masih dikendalikan oleh
pengusaha-pengusaha dari negara maju yang mengatur perjalanan mereka, sedangkan
pengusaha setempat sifatnya hanya menampung saja.
Penyebab dari berbagai permasalahan tersebut adalah diterapkannya teori
modernisasi yang melihat “pertumbuhan“ sebagai patokan keberhasilan pembangunan
pariwisata. Pemerintah mengundang investor dari luar untuk menanamkan modalnya di
daerah kita, sehingga masyarakat lokal dengan berbagai keterbatasannya tidak mampu
bersaing, dan aset pariwisata sebagian besar dikuasai oleh orang luar.
Pembangunan kepariwisataan yang lebih melihat keberhasilan kuantitatif justru
menyebabkan masyarakat lokal terjepit dan terjerat kapitalisme. Model pembangunan ini
menghasilkan keberhasilan semu dan sesaat tanpa memperhitungkan dampak jangka
panjang yang ditimbulkannya.
Terkait dengan hal tersebut, muncullah paradigma baru dalam pariwisata yaitu
pariwisata kerakyatan (community based tourism). Kata kunci paradigma baru ini adalah
terlibatnya masyarakat lokal dalam setiap pembangunan kepariwisataan. Tanpa ini, akan
muncul berbagai sikap, prilaku antipati dan dapat menimbulkan kecemasan bagi
keberlangsungan pariwisata. Konflik pun akan muncul seperti yang terjadi di Kuta yang
sudah mengarah pada konflik horizontal antara penduduk asli dengan pendatang
(jumlahnya semakin lama semakin meningkat) dan sudah sampai pada tahap-tahap
“tension” (ketegangan-ketegangan dalam masyarakat ) sebagai akibat adanya persaingan di
bidang sosial ekonomi (Suyatna dan Wardana; dalam Parining et.al., 2001).
Menurut Pitana, paradigma kerakyatan telah lama menjadi paradigma alternatif
sebagai reaksi atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan negara-negara
berkembang. Oleh I Gde Ardika saat menjabat Deputi Menteri Bidang Pengembangan
produk, konsep ini dipopulerkan dengan mencanangkan semboyan Pariwisata Inti Rakyat
(PIR), yaitu suatu konsep pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan dalam rangka
pemberdayaan ekonomi rakyat (Pendit, 2001:83). Konsep ini dapat dilaksanakan melalui
pemberdayaan sumber daya lokal dan kemampuan masyarakat. Adapun pendekatan yang
digunakan adalah konsep botton up dan grass root sebagai penunjang utama program
pemberdayaan masyarakat.
Pola dari atas ke bawah (top down approach), birokrasi yang cenderung mengatur
segenap masyarakat dan pembangunan besar-besaran yang dimotivasi oleh pentargetan
(Taliziduhu, dalam Santoso,1997) sudah semakin disadari mempunyai banyak kelemahan.
Dengan ketiga ciri tersebut, birokrasi Indonesia semakin otonom. Kekuatan sah yang
dimiliki birokrasi telah menjadikan dirinya sistem yang mandiri dan otonom, dan
membentuk komponen-komponen baru yang mendukung kehidupan dan mempertahankan
diri sebagai sistem. Partisipasi oleh masyarakat hanya merupakan proses birokrasi belaka.
Hal ini mengindikasikan gejala birokrasi yang oleh Max Weber disebut sebagai
domination (Santoso, 1997). Dengan kondisi demikian, kualitas hidup masyarakat justru
menurun dan masyarakat setempat sebagai pemegang aset justru termarginalisasi.
Pembangunan pariwisata saat ini masih mengesampingkan keterlibatan masyarakat
lokal
dalam
arti
yang
sesunguhnya.
Strategi
pembanguanan
tidak
mambantu
memberdayakan masyarakat, tetapi malah menimbulkan marginalisasi orang-orang kecil.
Kebutuhan menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor dalam pembangunan sangat
mendesak, sehingga mampu mengarahkan pembangunan sesuai dengan yang dicitacitakan.
Pada aras normatif, kebutuhan akan partisipasi masyarakat lokal semakin tidak dapat
dihindarkan. Pembangunan dikatakan gagal jika hanya mengakibatkan peningkatan di
bidang ekonomi tanpa dibarengi dengan penyebaran yang merata antar masyarakat
(Colman dan Nixon (1978), dalam Parining, 1999). Pembangunan pariwisata berbasis
kerakyatan (community based tourism development) yang berlawanan dengan pendekatan
birokratis sentralistik, akan membawa masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan.
Masyarakat akan mengatur dirinya sendiri mulai dari identifikasi kebutuhan, analisis
kemampuan, dan kontrol terhadap sumber daya lokal yang oleh Korten (1986) dalam
makalahnya Pitana (1999) disebut sebagai community management.
Ada 3 alasan yang dikemukan Korten seperti yang diulas Pitana (1999) tentang
pentingnya community management. Pertama, adanya local variety (varietas antar daerah).
Situasi dan kondisi daerah yang berbeda menuntut adanya sistem pengelolaan yang
berbeda, dan masyarakat lokal merupakan orang yang paling akrab dan mengerti
daerahnya sendiri. Kedua, local resources (sumber daya lokal), yang secara tradisional
dimiliki oleh masyarakat setempat. Sumber daya lokal yang sudah dikelola secara turun
temurun memberikan pengetahuan dalam pengelolaannya. Masyarakat akan bersifat
antipati terhadap proyek-proyek pembangunan apabila dilakukan pengambilalihan oleh
pihak luar. Ketiga, local accountability (tanggung jawab lokal). Masyarakat lokal lebih
bertanggung jawab dalam melakukan suatu kegiatan, karena ia sendiri akan merasakan
dampak yang ditimbulkan oleh aktivitasnya. Lain halnya dengan orang luar, mereka dapat
meninggalkan begitu saja tempat yang sudah rusak dan pergi ke tempat lain untuk mencari
lahan baru untuk investasi.
Community management yang akhirnya melahirkan konsep pariwisata kerakyatan
merupakan wujud ketidakpuasan terhadap modernisasi yang justru membawa jalan buntu
bagi perkembangan pariwisata. Orang lokal justru semakin terasing, dan krisis lingkungan
serta kebudayaan hadir dengan jelas di hadapan kita. Pembangunan pariwisata telah
melahirkan ketimpangan sosial yang menjadi masalah bagi pembanguan berikutnya.
Pergeseran paradigma pembangunan kepariwisataan dari “production centered”
menuju “community centered” merupakan kecenderungan kepada de-biroktratisasi
pembangunan. Konsep de-biroktratisasi ini berkaitan dengan postmodernisme dengan
mengubah peran pemerintah dari sebelumnya menjadi sumber dari segalanya menjadi
fasilitator dan pemacu pembangunan yang dilakukan masyarakat.
Dengan skalanya yang kecil, beberapa keuntungan pariwisata kerakyatan adalah
(Parining, 2001): 1) keuntungan ekonomi yang diterima langsung oleh penduduk setempat
berupa penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan wisatawan; 2) pemeliharaan
lingkungan oleh masyarakat setempat; 3) terciptanya lapangan pekerjaan di daerah
pedesaan yang berdampak terhadap penyebaran penduduk yang semakin merata
(urbanisasi akan dapat ditekan), dan 4) dapat menciptakan kawasan wisata alternatif.
4. Simpulan
Penulis dengan menelaah secara kritis paradigma baru pariwisata yaitu pariwisata
kerakayatan (community based tourism) mencoba menarik sebuah hipotesa bahwa
pariwisata kerakyatan adalah imbas dari situasi postmodernisme yang kini banyak
diwacanakan pada kalangan akademis dan masyarakat luas. Pariwisata kerakyatan
menganut paham postmodernisme yang mengakui kebenaran plural dan menempatkan
masyarakat lokal sebagai subjek pembangunan pariwisata.
Daftar Pustaka
Awuy, T.F. 1994. Dekonstruksi: Postmodern dan Poststrukturalis, dalam Postmodernisme
dan Masa Depan Peradaban, Suyoto et al. (ed), Yogyakarta: Aditya Media.
Denny JA. 1994. Indonesia Masa Depan dalam Era Postmodern, dalam Postmodernisme
dan Masa Depan Peradaban, Suyoto et al. (ed), Yogyakarta: Aditya Media.
Gunawan, M.P. 1994. Pengembangan Pariwisata Internasional di Indonesia dalam Konteks
Teori Ketergantungan, dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Edisi Khusus,
Bandung: Kerjasama Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah dan Kota, Teknik
Planologi, Ikatan Ahli Perencanaan dan Yayasan LPP.
Parining, N. 1999. Pariwisata Kerakyatan, Pariwisata yang Berbudaya dan Berwawasan
Lingkungan, dalam Kumpulan Makalah Seminar Pembangunan Bali Berbudaya
Berwawasan Lingkungan, Denpasar: Kerjasama Pusat Penelitian Kebudayaan dan
Kepariwisatan Universitas Udayana dengan Pemda Tk I Bali.
Parining, N., I G. Pitana, I M. P. Diantha, P. Anom dan K.G.D. Putra. 2001. Studi Tentang
Implementasi Konsep Pariwisata Kerakyatan: Denpasar: Hasil Penelitian Kerjasama
Bappeda Propinsi Bali dengan Universitas Udayana.
Pendit, S. 2001. Membangun Bali: Menggugat Pembangunan di Bali untuk Orang Jakarta
melalui Jalur Pariwisata, Cet.1, Denpasar: Pustaka Bali Post.
Pitana, I.G. 1999. Kepariwisataan Bali dalam Konteks Kompetisi Global dan Otonomi
Daerah, dalam Kumpulan Makalah Seminar Pembangunan Bali Berbudaya
Berwawasan Lingkungan, Bali: Kerjasama Pusat Penelitian Kebudayaan dan
Kepariwisatan Universitas Udayana Dengan Pemda Tk I Bali.
Prama, G. 1994. Postmodernisme?, dalam Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban,
Suyoto et al (ed), Yogyakarta: Aditya Media.
Ratna, N.K. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra : dari Strukturalisme
hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ritzer, G. 2004. Teori Sosial Posmodern, Muhammad Taufik (Penerjemah), Cet. 2,
Yogyakarta: Kerjasama Juxtapose Research and Publication Study Club dengan
Kreasi Wacana.
Santoso, P.B. 1997. Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural,
Ed. 1, Cet. 3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,.
Turner, B. S. 2000. Teori-Teori Sosiologi Modernitas Postmodernitas, Imam Baehaqi dan
Ahmad Baidlowi (Penerjemah), Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
MANAJEMEN KONFLIK
HOTEL INNA GRAND BALI BEACH SANUR-BALI
Luh Putu Kerti Pujani
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
Initially, the factor of security stability and comfort in the tourism activities is
complementary in nature. However these days it constitutes main factor that should always
be maintained, essentially every social situation and a stratum that produces conflict.
Community og Inna Grand Bali Beach (Inna GBB) as a social system end to have social
conflict, to solve this problem every policy effort and are made to minimize the existing
gaps so that harmoniouse situation in the working system of hotel operational can be
created.
This study aims to know the variations of the background of the emergence of
conflict and how this conflict appears at the Inna GBB, then what measures are taken to
handle the conflict. The data collection was done by means of observational technique, indepth interview, and library research. The technique of informant taking was determined
by having main and key informants with certain procedure. Then the data were analyzed
by means of descriptive qualitative analysis.
The findings show that the conflict variations move towards vertical and horizontal
conflicts. The effort of handling them is started by giving extension in every department
which is then followed up by holding inter-department dialoque, executive meeting of the
committee that gives the direction of the hotel operational’s policy. There is direct
tranparet dialogue among all employees with the general manager (in this case representad
by resident manger, manager, marketing manager), and social – religious movement is also
intensified.
In order for the accommodative situation to be well maintained, the hotel
management has to be smart in responding sensitive phenomena such as giving
appreciation to the achievements of employees, the balance of apreciation between
education and working period of the employees that are also to be related with the system
of promotion and salary. And it is time to strengten the hotel with good and clean
leadership, transparent and open accepting the vertical mobility of leadership structure.
Key words : Conflict variations and efforts of handly it.
1. Pendahuluan
Kegiatan kepariwisataan merupakan sebuah industri, yang pada dasarnya merupakan
rangkuman daripada berbagai macam bidang usaha yang secara bersama-sama
menghasilkan produk atau jasa yang nantinya, baik secara langsung atau tidak akan
dibutuhkan oleh wisatawan selama lawatannya (Yoeti,1988; 133-140).
Salah satu komponen dari kegiatan kepariwisataan adalah akomodasi (hotel). Hotel
bergerak di bidang jasa, yang merupakan rumah tinggal wisatawan selama kunjungannya
di daerah wisata. Oleh karena itu harus dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi
wisatawan yang menginap, sebagai ekspresi dari profesionalitas dari suatu pelayanan.
Pada awalnya faktor stabilitas keamanan dan kenyamanan di lingkungan akomodasi
dalam kegiatan pariwisata bersifat komplementer. Namun saat ini merupakan prioritas
utama yang selalu harus diupayakan.
Inna Grand Bali Beach (Inna GBB) merupakan sebuah akomodasi berbintang lima
dengan kapasitas kamar yang dioperasionalkan berjumlah 523 kamar. Operasional hotel
tersebut didukung oleh 547 karyawan sebagai motor penggerak operasional hotel yang
didistribusikan ke departemen-departemen.
Unsur-unsur sistem sosial terdiri dari peranan-peranan sosial yang berhubungan satu
dengan yang lain. Peranan-peranan sosial tersebut didasarkan pada, semacam pembagian
kerja yang membatasi hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban dirumuskan oleh aturanaturan (Pasaribu, 1986;12).
Berdasarkan pengertian sistem sosial tersebut, sistem kerja operasional hotel
merupakan sistem sosial dari komunitas karyawan hotel di keseluruhan departemen Inna
GBB. Lockwood menyatakan bahwa, setiap situasi sosial senantiasa mengandung
didalamnya dua hal yakni tertib sosial dan substratum yang melahirkan konflik (Nasikun,
1995;14).
Komunitas karyawan Inna GBB sebagai suatu sistem sosial cenderung memiliki
kandungan konflik sosial dan juga senantiasa mengupayakan terciptanya tertib sosial.
Umumnya konflik tersebut terjadi di lingkungan intern departemen dan sistem kerja
operasional hotel secara menyeluruh.
Beberapa hotel berbintang di Bali juga memiliki kondisi seperti halnya Inna GBB.
Hotel-hotel termaksud di antaranya; hotel Putri Bali, hotel Nusa Indah, hotel Kartika Plaza,
hotel Bali Garden, hotel Chedi, dan hotel Four Season. Konflik di lingkungan hotel-hotel
tersebut sampai pada tahap lanjut, yang diekpresikan dalam bentuk demonstrasi. Sebagian
di antaranya sampai pada tahap pemutusan hubungan kerja dengan karyawan. Kondisi
sosial yang memanas di lingkungan hotel, sangat merugikan citra pariwisata Bali, karena
pada dasarnya kepariwisataan terkait erat dengan persoalan image. Di
lingkungan
hotel
yang merupakan rumah wisatawan selama kunjungannya di daerah wisata, idealnya
dilakukan inovasi-inovasi yang mampu membangun stabilitas sosial. Sehingga wisatawan
merasa aman dan nyaman dalam menikmati pengalaman estetis, budaya, dan menikmati
indahnya panorama di tempat tujuan wisata.
Sudah saatnya keamanan dan kenyamanan wisatawan atau personel pemakai jasa
hotel, menjadi fokus perhatian pihak hotel sebagai penjual jasa. Seperti telah dikemukakan
bahwa, sistem sosial mengandung konflik dan tertib sosial. Persoalannya terletak pada
bagaimana cara menangani sehingga tercapai keseimbangan dari binary oppotition
tersebut. Oleh karena itu topik manajemen konflik yang diterapkan di hotel Inna Grand
Bali Beach justru diketengahkan untuk ditelaah. Sampai saat ini staf pimpinan Inna Grand
Bali Beach mampu mengatasi konflik intern hotel dengan baik. Relatif mampu
memberikan rasa aman dan nyaman kepada wisatawan dan pemakai jasa hotel lainnya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka rumusan permasalahan diarahkan pada :
a. Bagaimana bentuk-bentuk konflik di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna
Grand Bali Beach?
b. Bagaimana upaya-upaya penanganan konflik yang diterapkan di lingkungan kerja
operasional hotel Inna Grand Bali Beach?
3. Metode Penelitian
Fokus penelitian diarahkan pada; bentuk
konflik dan upaya-upaya penanganan
konflik di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach. Adapun
teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah: (1) observasi; (2)
wawancara mendalam, langkah ini diupayakan dalam rangka mencoba melihat
permasalahan dari sudut pandang emik (Spradley, l997;
Moleong, 1999); (3) studi
pustaka.
Penentuan informan dimulai dengan memilih seorang informan pangkal, yang
memiliki pemahaman yang luas tentang permasalahan penelitian, sehingga mampu
mengintroduksikan peneliti kepada informan kunci. Informan kunci adalah mereka yang
memiliki kedalaman informasi tentang permasalahan penelitian dan kritis di dalam
menanggapi permasalahan yang di teliti (Guba dalam Moleong, 1999; Koentjaraningrat,
1997). Dalam penelitian ini tidak dipermasalahkan tentang penentuan besar kecilnya
jumlah informan, seperti prosedur penelitian kuantitatif. Namun tetap mempertimbangkan
konteks informasi yang digali ke arah kejenuhan informasi (Palguna, 2001).
Kegiatan analisis data dalam penelitian ini mengarah pada analisis kualitatif. Metode
analisis kualitatif lebih menekankan pada upaya memahami makna (verstehen) dari objek
penelitian (Hardiman,199; Suriasumantri, 1995). Selanjutnya Muhajir (1998), menegaskan
bahwa analisis deskriptif kualitatif dipahami sebagai suatu cara berfikir yang sistematis
dengan
mengilustrasikan
atau
menggambarkan
suatu
fenomena,
kemudian
mengkaitkannya dengan fenomena lain melalui interpretasi untuk dideskripsikan dalam
suatu kualitas yang mendekati kenyataan. Dalam analisis tulisan ini akan dilihat
keterkaitan fenomena bentuk konflik dengan fenomena penanganannya, sehinggga suatu
kesenjangan dapat diminimalkan. Sehingga pada akhirnya dapat terrealisasi suatu
keselarasan (akomodasi) di lingkungan sistem kerja operasional hotel. Adapun langkah
analisis
diawali
dengan
mengadakan
reduksi
data.
Dalam
artian
melakukan
penyederhanaan data dengan jalan membuang data yang tidak perlu, menggolongkan data,
selanjutnya sampai pada tahap penyajian data, menyusun sistematika informasi sehingga
konfigurasi lebih mudah dipahami dan arah simpulannyapun mulai tampak. Tahap akhir
dari analisis berupa penarikan kesimpulan (Miles dkk,1992).
4. Hasil dan Pembahasan
Inna Grand Bali Beach yang memiliki kamar sejumlah 523 kamar, dengan berbagai
fasilitas penunjang yang dimiliki, tentu membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit.
Karyawan hotel Inna GBB dipilah menjadi dua katagori yaitu; pegawai tetap dan pegawai
kontrak. Dalam operasional sehari-hari, sewaktu-waktu masih dibutuhkan tenaga kerja
tambahan yang dikonsepsikan sebagai tenaga DW. Pegawai Inna GBB secara keseluruhan
saat ini, tidak termasuk tenaga DW berjumlah 547 orang. Keseluruhan pegawai tersebut
didistribusikan ke dalam 15 departemen (Keputusan Direksi, 2002).
Seperti telah diketahui bahwa setiap situasi sosial senantiasa mengandung tertib
sosial dan sub stratum yang melahirkan konflik-konflik, selanjutnya Craib (1986)
mengetengahkan bahwa, apabila hendak membicarakan konflik, maka harus diupayakan
mendeskripsikan kondisi-kondisi nyata dari konflik. Oleh karenanya akan dijabarkan
kondisi-kondisi riil dari kesenjangan yang ada
seperti kesenjangan; pandangan, ide,
tanggapan atau pendapat yang ada di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna GBB
sebagai berikut.
Pada awalnya jumlah karyawan hotel relatif mampu memenuhi kebutuhan tenaga
kerja di semua departemen yang ada di hotel Inna GBB. Kemudian pada tahun 2000
sampai dengan 2003 karyawan hotel angkatan 66 menjalani masa pensiun sejumlah 426
orang. Akibat bom Bali kondisi keuangan hotel sangat tidak memungkinkan untuk
merekrut tenaga kerja baru sebagai pengganti pensiun. Dengan demikian terjadi akumulasi
beban kerja pada personel-personel karyawan Inna GBB. Sebagian besar karyawan
menangani pekerjaan rangkap setiap harinya. Sehingga batasan kerja (job deskription)
karyawan sering menjadi kabur. Situasi ini sangat potensial menumbuhkan rasa kesal
sesama karyawan, yang diekpresikan dalam bahasa-bahasa simbol, sebagai suatu bentuk
koreksi terhadap situasi tersebut.
Adanya kesenjangan pendidikan antara karyawan periode angkatan 66-1990
(dikonsepsikan
sebagai
karyawan
lama)
dengan
karyawan
periode
1990-2000
(dikonsepsikan sebagai karyawan baru). Karyawan lama tingkat pendidikannya umumnya
setingkat SLTP dan SLTA, sedangkan karyawan baru minimal D1 pariwisata sampai
dengan S1. Belakangan muncul ketimpangan perlakuan terhadap karyawan lama terkait
dengan masalah kenaikan pangkat dan sistem penggajian. Hal ini memotivasi munculnya
kecemburuan sosial karyawan lama terhadap karyawan baru. Protes sosial dilontarkan
secara oral berupa komentar-komentar pedas terhadap karyawan baru.
Ketidak siapan
pimpinan dalam menghadapi mobilitas vertikal struktur
kepemimpinan, sehingga beberapa kesepakatan (prosedur, aturan) dilanggar. Dengan
demikian disiplin karyawan dapat berorientasi vertikal dan hasrat untuk taat pada aturan
melemah (Koentjaraningrat, 1993).
Selanjutnya tampak muncul pengkotak-kotakan karyawan berdasarkan kepentingan
kelompok-kelompok tertentu, yang berorientasi pada upaya pencapaian grade tertentu
yang lebih tinggi atau lebih bergengsi. Hal ini terjadi pada level department head ke atas.
Seperti diketahui PT. HIN atau Inna group merupakan penggabungan dari PT. HII
dengan PT. Natour. Di lingkungan Inna group, hotel Inna GBB merupakan hotel yang
terbesar. Hotel Inna GBB sejak awal (sebelum bergabung di bawah naungan PT. HIN),
sangat memperhatikan masalah jaminan kesehatan karyawan beserta keluarganya. Hotel
GBB mampu memberikan kepuasan tertentu dalam hal jaminan kesehatan terhadap
keluarga karyawan. Saat ini pihak Natour menuntut pada PT. HIN supaya memperoleh hak
yang sama dengan Inna GBB (PT. HII) dalam hal jaminan kesehatan. Kemudian
dirumuskan dan diterapkan satu kebijakan yang berusaha untuk mewujudkan suatu
keseimbangan dalam jaminan kesehatan. Dalam hal ini ada pihak yang terpuaskan
dan
ada pihak yang dikecewakan. Pihak Natour jaminan kesehatannya menjadi lebih baik,
sedangkan pihak Inna GBB (PT.HII) mengalami pengurangan-pengurangan tertentu dalam
jaminan kesehatan. Pihak Inna GBB merasa adanya kesenjangan antara ekspektasi nilai
dengan kapabilitas nilai, yaitu kesenjangan antara kondisi kehidupan yang diyakini sebagai
haknya dengan kondisi riil yang diperoleh (Santosa, 2002). Konflik dapat terjadi karena
hadirnya suatu perubahan. Pada komunitas yang mengalami suatu kesenjangan dapat
timbul suatu kekecewaan dan keresahan sosial (Warren dalam Abdulsyani, 1994).
Inna GBB merupakan hotel yang relatif tua, oleh karenanya banyak peralatan dapur,
kamar, dan peralatan di enginering department yang sudah rusak. Saat ini belum bisa
mencapai standarisasi peralatan dalam operasional hotel. Hotel Inna GBB diupayakan tetap
operasional dan dapat memuaskan pelanggan, walaupun dengan keterbatasan peralatan
dapur, kamar, enginering dan seterusnya. Kondisi ini merupakan salah satu faktor yang
mampu memunculkan kesenjangan pandangan, pendapat, ide, di lingkungan karyawan di
intern departemen, antar departemen, dan juga dikalangan staf pimpinan hotel dalam
rangka berupaya memuaskan pelanggan. Terutama di FB kitchen, housekeeping dan
enginering department terjadi akumulasi permasalahan dari hari ke hari sebagai akibat
keterbatasan alat.
Merujuk pada rumusan konflik yang dikemukakan Surbekti (1984), bahwa konflik
merupakan perbedaan pendapat, pandangan, ide, persaingan dalam usaha mendapatkan
atau mempertahankan sesuatu. Dengan demikian deskripsi kondisi komunitas karyawan
Inna GBB tersebut di atas menunjukkan adanya kandungan konflik di lingkungan
komunitas karyawan Inna GBB yang mengarah pada konflik yang bersifat vertikal dan
horizontal.
Dangenaar mengemukakan bahwa manajemen merupakan suatu proses bimbingan
terhadap kegiatan kelompok atau komunitas dalam mencapai sesuatu (Sri, 2005). Langkah
awal proses bimbingan dalam rangka berupaya meminimalisasi konflik di lingkungan
sistem kerja Inna GBB dimulai di lingkungan departemen. Setiap hari kerja diawali dengan
morning briefing. Di samping itu secara rutin diadakan tatap muka mengevaluasi hasil
kerja perbulannya. Permasalahan di lingkungan departemen yang tidak terselesaikan
disampaikan pada rapat department head.
Antara departemen yang satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan secara
fungsional. Namun sering antara departemen yang satu dengan yang lainnya sebagai sub
sistem kerja terdapat ketidak selarasan dalam rangka operasional hotel. Untuk mencapai
titik temu antar departemen, maka diadakan rapat department head dimana general
manager berperan sebagai mediator. Rapat department head diadakan setiap minggu
sekali, dengan materi bahasan meliputi: (1) evaluasi operasional kerja hotel dalam
seminggu; (2) membahas sistem kerja dalam operasional hotel (termasuk kesenjangan
antar departemen); (3) menindak lanjuti permasalahan intern departemen yang tidak
terselesaikan; (4) masalah kedesiplinan dan loyalitas karyawan dan seterusnya.
Kendali di tingkat executive dikonsepsikan sebagai rapat escom (executive
committee). Keputusan akhir yang menentukan arah kebijakan hotel merupakan keluaran
rapat escom. Diantaranya: (1) memutuskan sanksi pelanggaran kerja bagi karyawan; (2)
pemutusan hubungan kerja; (3) rotasi karyawan antar departemen; (4) mutasi karyawan
Inna GBB di lingkungan PT. HIN; (5) mengirim karyawan berprestasi tugas belajar dan
seterusnya. Rapat escom diadakan seminggu sekali.
Sebelum kasus karyawan dibahas di rapat escom, Korpri sebagai wakil serikat
pekerja di Inna GBB terlebih dahulu mengadakan rapat, dalam rangka membela hak-hak
karyawan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Hasil rapat dipergunakan sebagai landasan
pembelaan karyawan bermasalah yang diajukan ke rapat escom. Pada prinsipnya Korpri
berperan sebagai mediator antara karyawan dengan manajemen Inna GBB.
Langkah pembinaan dan monitoring selanjutnya adalah, setiap tiga bulan sekali
diadakan tatap muka karyawan yang dipimpin langsung oleh general manager. Dalam
kesempatan ini seluruh karyawan Inna GBB diberikan kesempatan yang sama untuk
menyampaikan ketidakpuasannya, ketidakpahamannya terhadap sesuatu, terkait dengan
sistem kerja di Inna GBB. Lingkup dialog berkisar pada masalah: (1) transparansi
keuangan; (2) kelebihan target penjualan kamar; (3) menghitung besarnya uang service
bersama-sama (karyawan, general manager dan marketing); (4) ketidakpuasan dan
ketidakpahaman karyawan terhadap kenaikan pangkat, penilaian hasil kerja persemester,
jaminan kesehatan, dan seterusnya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa sistem pembinaan yang diterapkan mengarah
pada konsiliasi, dan masing-masing pihak melakukan penyesuaian, mencari pemecahan
secara damai, dalam hal ini kehadiran mediator sering dibutuhkan (Abdulsyani,1994;
Sirtha,1998). Pada akhirnya diharapkan terwujud integrasi, yakni tidak ada prasangka yang
mengganggu kerukunan komunitas (Haryono, 1994).
Di samping upaya pembinaan tersebut, juga ditempuh langkah-langkah lain dalam
mengupayakan tercapainya integrasi sosial dan akomodasi di lingkungan sistem kerja
operasional
hotel.
Langkah-langkah
yang
diambil
di
antaranya;
diupayakan
memperkenalkan, menumbuhkan, dan menguatkan nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai
kekeluargaan , dan nilai-nilai keagamaan di lingkungan karyawan hotel. Seperti apa yang
dikemukakan oleh Sanderson (1995) dan Koentjaraningrat (1977) bahwa; untuk mencapai
interaksi sosial, akomodasi, gerakan sosial keagamaan sangat diperlukan. Parsons
menegaskan bahwa, sistem budaya yang terdiri dari nilai-nilai, norma-norma dapat dipakai
sebagai pedoman yang memberi arah dan memantapkan tindakan individu-individu
(Pasaribu, 1986; Koentjaraningrat,1990).
Penerapan pola penanganan konflik seperti terurai tersebut, relatif mampu meredam
konflik di lingkungan komunitas karyawan hotel Inna GBB. Sehingga operasional hotel
dapat berjalan dengan baik, tanpa diwarnai protes sosial dalam bentuk kekerasan.
5. Simpulan dan Saran
Pada dasarnya variasi konflik mengarah pada konflik yang bersifat vertikal dan
horizontal di lingkungan sistem kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach. Hal ini
dapat dikaji dari deskripsi kesenjangan-kesenjangan yang ada di lingkungan komunitas
karyawan hotel Inna Grand Bali Beach. Seperti kesenjangan pandangan atau ide dalam;
kenaikan pangkat, menyikapi keterbatasan alat, menyikapi keterbatasan karyawan,
menyikapi tingkat pendidikan karyawan, menyikapi mobilitas struktur kepemimpinan dan
adanya gejala pengkotak-kotakan karyawan di lingkungan Inna Grand Bali Beach.
Sedangkan upaya penanganan konflik atau manajemen konflik di lingkungan sistem
kerja operasional hotel Inna Grand Bali Beach mengarah pada proses pembinaan,
bimbingan staf pimpinan terhadap keseluruhan sistem kerja operasional hotel, dalam
rangka meminimalisasi kesenjangan yang ada, sehingga tercipta integrasi, akomodasi
dalam sistem kerja operasional hotel. Langkah awal proses bimbingan dimulai di
lingkungan
departemen.
Kemudian
ditindaklanjuti
dengan
mengadakan
dialog
antardepartemen, rapat executive committee yang keluarannya memberikan arah kebijakan
operasional hotel. Setiap tiga bulan sekali diadakan dialog langsung secara transparan
antara seluruh karyawan dengan general manager yang didampingi oleh resident manager,
manpower nanager, dan marketing manager. Di samping itu gerakan sosial keagamaan
juga diperkuat. Penerapan pola penanganan konflik seperti terurai tersebut
mampu
meredam konflik, sehingga operasional hotel dapat berjalan dengan baik tanpa diwarnai
oleh protes sosial dalam bentuk kekerasan.
Beberapa hal yang disarankan dalam hal ini adalah; staf pimpinan harus cerdas dalam
menyikapi fenomena-fenomena sensitif
seperti: penilaian hasil kerja karyawan per
semester; konsisten pada prosedur kenaikan pangkat; penghargaan terhadap prestasi kerja;
keseimbangan penghargaan terhadap pendidikan karyawan dengan masa kerja karyawan,
terkait dengan sistem kenaikan pangkat dan penggajian karyawan.Tumbuh kembangnya
rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan loyalitas karyawan, yang realisasinya “perlu”
didukung oleh jiwa kepemimpinan yang bersih, transparan, terbuka menyikapi mobilitas
struktur kepemimpinan. Di samping itu pihak pimpinan idealnya terbuka menyikapi
mobilitas struktur kepemimpinan.
Daftar Pustaka
Abdulsyani. 1994. Sosiologi Skematika, Teori dan Terapan. Jakarta:PT. Bumi Aksap.
Craib, Ian. 1986. Teori – Teori Sosial Modern Dari Parsons Sampai Haberman. Jakarta:
CV Rajawali.
Hardiman, F. Budi. 1991. Positivisme V. S. Hermeneusik : Suatu Usaha Untuk
Menyelamatkan “ Subjek “. Basis : Majalah Kebudayaan Umum (XL) 3: 82 – 100.
Hariono, P. 1994. Cultur Cina dan Jawa. Jakarta:Pustaka Sinar.
Koentjaraningrat.1977. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
________, 1997. Metode – Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Umum.
_________, 1993. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Umum.
_________, 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press
Miles, Haberman. B. Dkk., 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Muhajir, H. Noeng. 1998. Metodelogi Penelitian Kuantitatif Edisi III cetakan ke 8. Jakarta:
Rake Sarosin.
Nasikun, 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Grafindo Persada.
Palguna, A.A Ngurah. 2001. “Dinamika Masyarakat Desa Menuju Civil Society: Studi
Kasus Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton di Desa Kukuh Tesis. Denpasar:
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pasaribu, dkk. 1986. Sosiologi Pembangunan. Bandung: Tarsito.
Pelly, Usman. 1994. Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi
PT HIN, 2002. Keputusan Direksi Nomer : 166 / KD / DIRUT / HIN / 11 / 2002, PT.
Hotel Indonesia Natour. Jakarta
Rai, A.A Gede 1987. Job Deskription Hotel Bali Beach. Denpasar: Sanur.
Sanderson, Stephen K. 1995.Sosiologi Makro, Sebuah apendekatan Terhadap Realitas
Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Santosa, Thomas. 2002. Teori-Teori Kekerasan. Surabaya: PT Ghalia Indonesia.
Sirtha, I Nyoman. 1998. Pengendalian Sosial: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Hukum dan
Masyarakat. Denpasar: FH Unud
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Sri, A.A. Putri. 2005. “Wanita Dalam Industri Pariwisata : Studi Kasus Wanita Pengelola
Pondok Wisata di Kelurahan Ubud Gianyar” Tesis. Denpasar: Program Pacasarjana
Universita Udayana.
Surbakti, A Ramlan. 1984. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Surabaya: Airlangga University
Press.
PESTA KESENIAN BALI SEBAGAI WAHANA PARTISIPASI
MASYARAKAT BALI DALAM PARIWISATA BUDAYA
Ni Ketut Arismayanti
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
Balinese culture seems become most dominant fascination in growth of tourism in Bali.
Bali has started to step on tourism world start year 1927 hitherto and have come to tourism
center which increasing from year to year. Dynamics life of culture having the character of
progressive is later; then anticipated positively by realized local government wisdom by
carrying out Pesta Kesenian Bali (PKB) by continue every year since 1979. Culture of Bali
is culture which jells to have Hinduism breath which has one with local cultural custom.
The culture grow and take root at various religion public spirited traditional institute, like
subak, and custom countryside with its. This Traditional institutes represent pillars prop of
continuity of culture of Bali. This means going forward the reassignment of culture of Bali
very depended to this institutes dynamics. Because of culture of Bali depend on traditional
institute, while tourism depends on culture; hence directly mean that tourism depended to
traditional institutes’ existential. Thereby policy of Local Government of Province Bali in
developing Cultural Tourism as type / tourism in Bali area represent very precise action as
according to area potency and tendency of global tourism. Continuity of Balinese culture
very depend on and understanding of appreciated Bali society to its culture which expected
can prevent cultural influence of tourist (culture tourist) to Balinese culture
Keyword: Bali Festival Art, Tourism, Culture, and Cultural Tourism.
1. Pendahuluan
Daya tarik Bali adalah kebudayaannya yang unik dan merakyat. Kehidupan
kebudayaannya adalah menyatu dengan agama, kebudayaan, adat yang harmonis, cipta,
rasa dan karsa sebagai unsur budi daya manusia menonjol mengambil bentuk keagamaan,
estetika dan etika (seni budaya, solidaritas, gotong-royong rasa kebersamaan). Keunikan
budaya dan keindahan alam Bali merupakan potensi yang sangat penting sebagai daya tarik
wisata, sejak awal perkembangan kepariwisataan di daerah ini. Budaya dan keindahan
alam telah menjadi image kepariwisataan daerah Bali. Sehubungan dengan hal itu,
Pemerintah
Daerah
Propinsi
Bali sejak
awal
telah mencanangkan, bahwa jenis
kepariwisataan yang dikembangkan di daerah ini adalah Pariwisata Budaya yang dijiwai
oleh Agama Hindu.
Ketentuan tersebut telah tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3, Tahun
1991, yang pada Bab I, Pasal 1, antara lain menyebutkan, bahwa Pariwisata Budaya adalah
jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan
kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu yang merupakan bagian dari
kebudayaan nasional sebagai potensi dasar yang dominan, yang didalamnya tersirat satu
cita-cita akan adanya hubungan timbal-balik antara Pariwisata dan Kebudayaan, sehingga
keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang. Selanjutnya dijelaskan pula
bahwa obyek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.
Pada Perda Nomor 3 Tahun 1991, Pasal 3 antara lain dinyatakan, bahwa tujuan
penyelengaraan pariwisata budaya adalah untuk memperkenalkan, mendayagunakan,
melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, mempertahankan
norma-norma dan nilai-nilai kebudayaan agama dan kehidupan alam Bali yang
berwawasan lingkungan hidup, mencegah dan meniadakan pengaruh-pengaruh negatif
yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan kepariwisataan.
Sesungguhnya konsep Pariwisata Budaya sudah merupakan konsep yang sangat tepat
untuk diterapkan di Bali. Konsep ini telah digodok sejak tahun 1968 (seminar pariwisata
Januari 1968), kemudian diputuskan pada tahun 1971 / 1972 (SCETO), serta diformalkan
pada tahun 1974, dan direvisi kembali pada tahun 1991 (Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun
1991). Perdebatan untuk sampai pada konsep Pariwisata Budaya ini cukup alot, namun
akhirnya sampai pada kesepakatan untuk menetapkan Pariwisata Budaya sebagai
framework pembangunan pariwisata Bali.
2. Pembahasan
Budaya Bali tampaknya menjadi daya tarik yang paling dominan dalam
perkembangan kepariwisataan di Bali. Bali telah mulai menginjak dunia kepariwisataan
mulai tahun 1927 sampai sekarang dan telah menjadi pusat pariwisata yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 61 % wisatawan
yang berkunjung ke Bali, karena ingin menikmati keunikan budaya, 32 % disebabkan oleh
keindahan alam atau panorama yang mempesona, dan sisanya 5,37 % pada hal-hal lain
(Mantra, 1996).
Pariwisata Budaya yang dikembangkan di Bali tampaknya selaras dengan
kecenderungan pariwisata global. Dikatakan demikian, karena sejak dua dekade terakhir
ini di Eropa khususnya mulai digalakkan kembali Pariwisata Budaya (Cultural Tourism).
Dalam dunia dengan percepatan teknologi semakin maju dan komunikasi semakin luas dan
dunia makin mengecil, maka hubungan antar bangsa akan semakin meningkat, semakin
intensif. Manusia makin mampu dan semakin banyak yang ingin bepergian, mereka
membutuhkan kebudayaan serta memperkaya dirinya dengan pengalaman kebudayaan di
tempat-tempat yang dikunjungi. Kekhasan kehidupan kebudayaan Bali inilah yang menarik
sebagai hasil terintergrasinya kehidupan keagamaan dengan seni budaya adat, dalam
kehidupan masyarakatnya.
Dalam peningkatan pariwisata, beberapa elemen kebudayaan dan peristiwa
kebudayaan telah berperan, antara lain (Mantra, 1996): 1). Sebagai sarana dan media
promosi kepariwisataan, baik yang berlangsung di dalam maupun di luar negeri; 2).
Sebagai atraksi yang mencakup pertunjukkan kesenian, pameran kesenian. Khusus dengan
hal ini pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) telah memberi arti dan nilai yang sangat
mendalam; 3). Sebagai objek wisata dengan aneka ragam corak khas sebagai
kepurbakalaan, objek kesejarahan pura, puri, desa-desa kuno, museum (etnografi, subak,
yadnya, lukisan dan lain-lainnya); dan makanan khas Bali.
Interaksi yang terjadi antar kebudayaan dan pariwisata adalah positif. Landasan
budaya dalam kehidupan masyarakat yang sosial religius di Bali tetap mantap, sehingga
kontak-kontak kebudayaan dan pariwisata saling menunjang dalam peningkatannya
maupun pembinaannya. Demikian juga telah mampu meningkatkan kreativitas serta
memperkaya diri sebagai hasil dari adoptasi dan adaptasi yang selektif dan kreatif.
Keadaan tersebut terutama ditunjang oleh pengembangan pariwisata yang didukung oleh
kebijaksanaan pemerintah dan masyarakat. Di samping berhasil meningkatkan pendapatan
masyarakat, juga meningkatkan kreatifitas dan dorongan munculnya industri-industri
rakyat.
Dengan demikian kebudayaan akan terus berkembang sebagai akibat kemajuankemajuan masyarakat itu sendiri, menuju masyarakat yang modern, tanpa kehilangan
identitas dirinya (berkelanjutan dalam perubahan). Pengembangan kebudayaan memang
dibutuhkan oleh masyarakat, sedangkan pariwisata memberi dukungan terhadap
pengembangan kebudayaan dan mendorong munculnya kreativitas pada masyarakat Bali.
Munculnya kreativitas telah mendorong pengembangan kebudayaan. Pengembangan
kebudayaan melalui penggalian-penggalian kebudayaan itu sendiri menimbulkan
pemahaman dan kesadaran akan kebudayaan menumbuhkan keyakinan akan kemampuan
diri sendiri dan sadar berbudaya.
Dinamika kehidupan kebudayaan yang bersifat progresif, kemudian diantisipasi
secara positif oleh kebijaksanaan pemerintah daerah yang direalisasikan dengan
menyelenggarakan Pesta Kesenian Bali (PKB) secara kontinyu setiap tahun sejak tahun
1979. Dalam pesta kesenian yang tiap tahun berlangsung selama satu bulan itu, berbagai
produk kebudayaan dipamerkan, berbagai aktivitas kebudayaan diperagakan dan berbagai
kreativitas dilombakan. Pesta Kesenian Bali yang diprakarsai oleh Prof. Dr. Ida Bagus
Mantra untuk menghadapi tantangan dari kecemasan memudarnya kesenian tradisional
karena pengaruh pariwisata. Pada kesempatan itu muncullah beberapa jenis kesenian yang
selama ini jarang di pertunjukkan pada umum.
Pelaksanaan
Pesta
Kesenian
Bali
yang berlangsung
ditengah-tengah
arus
meningkatnya pariwisata yang berlangsung selama ini, telah memberikan makna pada
kehidupan kebudayaan sendiri, baik ke luar maupun ke dalam. Tujuan utamanya ialah
menggali semua potensi tradisi seni budaya untuk dikembangkan agar dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat modern dan dapat memelihara stabilitas pada tiap-tiap
perkembangannya. Berbagai kesenian dan tetabuhan (gamelan) yang hanya terdapat di
daerah-daerah tertentu saja, seperti Tek-Tekan (Kerambitan, Tabanan), Tari Guak (Desa
Panji, Buleleng), Bumbung Gebyok (Negara) dan sejumlah lainnya yang ikut meramaikan
pesta kesenian yang bersejarah itu.
Pesta Kesenian Bali tersebut diselenggarakan dengan sifat keterpaduan yang cukup
mengesankan. Berbagai aspek seni budaya ditampilkan seperti bermacam-macam tarian,
tetabuhan (kerawitan), seni rupa, arsitektur serta seni klasik lainnya yang disatukan dengan
pameran pakaian adat, buah-buahan, makanan tradisional dan bunga-bungaan. Pesta
kesenian semacam ini sekaligus dikaitkan dengan kegiatan kepariwisataan, seperti
perhotelan, restoran, souvenir dan perindustrian, khususnya industri kecil, sehingga secara
keseluruhan dapat menampilkan wajah Bali dengan segala potensi budaya yang
dimilikinya. Pesta Kesenian Bali tersebut ternyata dapat menggugah masyarakat untuk
dapat berpartisipasi secara langsung dalam budayanya dan lebih menghargai seni budaya
tradisional yang sudah menjadi warisan nenek moyangnya secara turun-temurun.
Dalam beberapa hal telah mencapai tujuannya, yaitu semua masyarakat telah ikut
berpartisipasi secara langsung dan mengenal kekayaannya sendiri yang tiap tahun
dipamerkan melalui prosesi, pagelaran dan pameran-pameran. Wisatawan dapat
menyaksikan pertunjukan-pertunjukan seni yang bermutu pada waktu pesta seni
berlangsung, yang jarang mereka lihat dalam kesempatan biasa dan juga merupakan media
komunikasi melalui seni yang sangat berharga. Bagi masyarakat mendapat kesempatan
menyaksikan aktifitas seni akan dapat memberikan rasa kebanggaan tersendiri pada
budayanya.
Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang kental bernafaskan Agama Hindu yang
sudah menyatu dengan adat budaya lokal. Kebudayaan tersebut tumbuh dan berakar pada
berbagai lembaga tradisional yang bersifat sosial religius, seperti subak, dan desa adat
dengan banjarnya. Lembaga-lembaga tradisional ini, di samping lembaga-lembaga lainnya,
merupakan pilar-pilar penyangga kelestarian kebudayaan Bali. Ini berarti maju mundurnya
kebudayaan Bali sangat tergantung kepada dinamika lembaga-lembaga ini. Karena
kebudayaan Bali tergantung pada lembaga tradisional, sedangkan pariwisata tergantung
pada kebudayaan, maka hal ini dapat berarti bahwa pariwisata tergantung kepada eksistensi
lembaga-lembaga tradisional tersebut.
Masyarakat Bali hidup dalam lingkungan binaan lembaga-lembaga tradisional
sebagai desa adat, banjar, subak dan sekeha-sekeha lainnya. Hal tersebut telah terbina
dalam disiplin sosial budaya kemasyarakatannya, terwujud menonjol dalam bentuk
keagamaan, estetika, gotong-royong, rasa kebersamaan, solidaritas, terbuka untuk
kemajuan-kemajuan yang menyangkut kepentingan bersama. Menerima unsur-unsur baru
selektif dengan pengembangannya. Unsur-unsur budaya ini adalah sebagai penghayatan
dan pengamalan Pancasila dari puncak-puncak budaya daerah sebagai unsur kebudayaan
nasional. Dengan mengembangkan budaya tradisional dapat meningkatkan kreativitas dan
meningkatkan revitalisasi kebudayaan.
Kehidupan berkesenian masyarakat Bali sepertinya menjadi satu aspek yang sangat
menonjol dalam kehidupan sehari-hari, karena sebagian besar dari wujud hidup keseharian
itu dibarengi dengan penyertaan unsur-unsur benda, aktivitas, dasar filosofis yang bernilai
seni. Terbentuknya kelompok-kelompok kesenian seperti: Seka Gong, Seka Barong, dan
Seka Janger menunjuk pada aspek kesenian yang dapat bernilai dan berorientasi ekonomi.
Seka yang sama ditambah dengan beberapa seka lain seperti: Seka Sangiang, Seka
Angklung, Seka Gambang, Seka Gender, Semar Pagulingan, Seka Arja, Seka Parwa, Seka
Pendet, dan Baris Jago, menunjukkan kelompok kesenian yang bernilai magis dan sering
dihubungkan dengan ketakson atau taksu (kreativitas budaya yang murni dan memberi
kekuatan spriritual pada kelompok untuk mewujudkan keseniannya). Karena itu,
peranannya dalam menunjang kegiatan adat dan agama khususnya upacara menjadi besar.
Dalam rangka menguatkan solidaritas dan interaksi sosial, sejumlah kelompok
kesenian yang berbentuk seka juga dapat disebutkan antara lain: Seka Baleganjur, Seka
Janger, Seka Gong, Seka Layangan, Seka Pencak, Seka Kidung, dan Seka Mekekawin.
Wujud dari seka ini selain untuk kegiatan kesenian juga dapat mengefektifkan anggota
dalam aktivitas latihan, solidaritas dan kekompakan, menunjukkan kreativitas, dan
kerjasama kelompok yang kuat. Karena itu rasa persatuan dan sentimen kelompok pada
seka ini menjadi kuat sebagai perwujudan aktualisasi diri para anggotanya.
Dalam setiap pelaksanaan PKB menampilkan tema yang berbeda-beda setiap
tahunnya. Berbagai pergelaran budaya dipertunjukan dalam berbagai bentuk “kemasan
produk” kesenian, diantaranya gong kebyar, topeng, sendratari, tari kontemporer, drama
gong, barong, wayang kulit, drama tari arja, dan calonarang. Pergelaran tersebut padat
dengan muatan nilai-nilai sastra, dalam bentuk pertunjukan berbagai ragam kerawitan.
Dengan adanya kegiatan tersebut tentunya dapat semakin meningkatkan kreativitas
masyarakat Bali khususnya dalam berkesenian yang disesuaikan dengan tema yang
ditetapkan pada setiap tahunnya.
Dalam proses penciptaan karya-karya seni pada hakekatnya terkandung nilai-nilai
kehidupan, diantaranya rasa personal, rasa solidaritas sosial dan sosialisasi nilai-nilai luhur
kehidupan yang sesungguhnya sudah tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari
masyarakat. PKB yang telah mengalami transformasi peran, semestinya menjadi wahana
yang efektif bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif, baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam mengapresiasikan diri, untuk tetap berperilaku ajeg dan
mengajegkan budaya Bali serta tetap menjunjung nilai-nilai luhur kehidupan dan budaya
Bali yang teraplikasi dalam berkesenian.
3. Simpulan
Pariwisata dapat dikatakan memberikan dampak positif terhadap budaya masyarakat
Bali, seperti
memperkuat organisasi tradisional, seperti: banjar dan desa pekraman,
meningkat dan tumbuh kembangnya kesadaran akan identitas diri orang Bali dan kegiatan
pariwisata telah menambah khasanah seni pertunjukkan di Bali, yaitu dengan munculnya
jenis kesenian yang dipertunjukkan secara khusus untuk wisatawan yang dikenal dengan
istilah art of acculturation atau tourist art.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kebijakan Pemerintah Daerah Propinsi
Bali dalam mengembangkan Pariwisata Budaya sebagai jenis / tipe kepariwisataan di
daerah Bali merupakan tindakan yang sangat tepat sesuai dengan potensi daerah dan
kecenderungan pariwisata global. Keajegan budaya Bali sangat tergantung pada
pemahaman dan apresiasi masyarakat Bali terhadap budayanya yang diharapkan dapat
mencegah pengaruh budaya wisatawan (touristic culture) terhadap budaya Bali. Jangan
sampai kepariwisataan yang dikembangkan justru menyebabkan hilangnya identitas
budaya masyarakat setempat dan menimbulkan keresahan bagi masyarakat.
Berbagai pergelaran budaya dipertunjukan dalam berbagai bentuk “kemasan produk”
kesenian yang padat dengan muatan nilai-nilai sastra dengan tujuan meningkatkan
kreativitas masyarakat Bali khususnya dalam berkesenian. Dalam proses penciptaan karyakarya seni pada hakekatnya terkandung nilai-nilai kehidupan, diantaranya rasa personal,
rasa solidaritas sosial dan sosialisasi nilai-nilai luhur kehidupan yang sesungguhnya sudah
tercermin dalam aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat. PKB diharapkan dapat
menjadi wahana yang efektif bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif, baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam mengapresiasikan diri, untuk tetap berperilaku
ajeg dan mengajegkan budaya Bali serta tetap menjunjung nilai-nilai luhur kehidupan dan
budaya Bali yang teraplikasi dengan berkesenian.
Daftar Pustaka
Anonim. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan.
_________. 1991. Peraturan Pemerintah Daerah Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang
Pariwisata Budaya. Pemerintah Propinsi Bali.
Ardika, I Wayan. 2004. “Pariwisata Bali: Membangun Pariwisata Budaya dan
Mengendalikan Budaya Pariwisata” Dalam I Nyoman Darma Putra (Ed). Bali
Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif. Denpasar: Pustaka Bali Post.
Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra.
Pitana, I Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar: PT. Bali Post.
Pitana, I Gde. 2002. Apresiasi Kritis Terhadap Kepariwisataan Bali. Denpasar: The
Works.
Yoeti, Oka A. 1994. Komersialisasi Seni Budaya Dalam Pariwisata. Bandung: Angkasa.
UNDA-USUK BAHASA JEPANG DALAM PARIWISATA
(LEVEL OF SPEECH IN JAPANESE FOR TOURISM)
I Made Sendra
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
According to the aspect of socio-linguistics, the level of speech in Japanese language
has uniqness in characteristics in lexicon and syntax which are determined by the social
traditional class system. The Japanese society in Tokugawa period (1603-1868) was
devided in four classes i.e. bushi or samurai (soldier), noomin (farmer), shokunin (worker)
and shonin (merchant). This class system has implemented tightly into various ethics and
manner arranging many aspecs of life such as personal and interpersonal relationship,
usage of honorofic language, and the privilage of samurai class to own family name
(myooji), and gird two swords as power symbol.
However, on Meiji period (1868), system of social class was abolished through
movement which was called shimin byoodo claiming abolition of social class system and
equation of status. On the other hand, as the result of the democratization which was the
influence from the West, the social status changed from ascribed status to achieved status.
This fenomenon influenced the speech level on Japanese which is determined by the
following socio-linguistic factors i.e. (a) familiarity; (b) social status; (c) gender; (d) group
membership.
Key words: socio-linguistic, lexicon, syntax, samurai (bushi), noomin, shokunin, shonin,
shimin byoodo, ascribed status, achieved status, honorific language.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Setiap bangsa memiliki sistem nilai, aturan, norma-norma dalam bertingkah laku dan
berkomunikasi yang mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya. Di
dalam setiap bahasa di dunia, terdapat norma-norma berbahasa yang dikenal dengan istilah
unda usuk bahasa yang di dalamnya terdapat ekpektasi budaya dari pendukung dan
pemakai bahasa yang bersangkutan. Kekurangan kemampuan dalam penguasaan terhadap
unda usuk bahasa akan dapat menimbulkan ketidakmampuan untuk memahami ekpektasi
budaya sehingga akan menumbulkan keluhan (complaint) dipihak wisatawan yang
akhirnya dan menimbulkan image yang tidak baik dalam memberikan pelayanan.
Dewasa ini kesalahpahaman ini sering terjadi ketika berkomunikasi dengan bangsabangsa yang berbeda budaya. Problem utamanya adalah seseorang cendrung beranggapan
budayanya sebagai suatu kemestian tanpa mempersoalkannya lagi (taken for granted) dan
mempergunakan sebagai ukuran untuk mengukur budaya bangsa lain. Sikap seperti inilah
yang disebut etnosentris. Menurut Summer yang dikutif oleh Mulyana (2003: viii),
menjelaskan entnocentrism adalah sebuah sikap yang memandang segala sesuatu dari
kelompoknya sendiri sebagai pusat, agar segala sesuatu dan hal lainnya diukur dan dinilai
berdasarkan rujukan kelompoknya.
Pandangan etnosentris ini akan membentuk stereotype yaitu suatu generalisasi
terhadap sekelompok orang, objek, atau peristiwa yang secara luas dianut oleh suatu
bangsa. Masyarakat manapun cenderung mempunyai stereotip tentang masyarakat lainnya.
Misalnya stereotip terhadap wisatawan Jepang suka bepergian berkelompok, suka pada
petualangan sex, bersifat introvert (tertutup), mereka akan sangat respek terhadap orang
yang mengetahui budaya, tradisi dan sopan santun berbahasa Jepang (unda-usuk bahasa).
Dalam hubungan personal, wisatawan Jepang sangat susah berkomunikasi dengan
orang yang baru dikenal, dan cendrung bersikap skeptis terhadap orang yang belum
dikenal. Pelayanan terhadap wisatawan Jepang akan berhasil apabila pelaku pariwisata
mengetahui adat-istiadat, tradisi, dan sopan santun dalam berbahasa. Semakin mengenal
adapt-istiadat, tradisi, dan sopan santun dalam berbahasa, maka akan semakin terampil
memahami ekspektasi budaya sehingga pelayanan akan semakin memuaskan.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam tulisan ini akan menguraikan: (1) Faktor-faktor sosiolinguistik seperti apakah
yang menentukan pemakaian unda usuk (sor singgih) bahasa Jepang? (2) Bagaimanakah
pemakaian unda usuk bahasa Jepang dalam berkomunikasi dengan wisatawan Jepang?
1.3. Kerangka Konsep
Menurut I Gusti Ngurah Bagus (1978:1), menjelaskan unda usuk bahasa (sor singgih
basa) sebagai sistem bahasa yang bertingkat-tingkat, dalam pemakaiannya adalah berupa
bahasa halus dan bahasa kasar. Sistem unda usuk bahasa Jepang dibedakan menjadi: (1)
Bahasa biasa (futsuu-go), (2) Bahasa sopan (teineigo), (3) Bahasa halus (kei-go) yang dapat
dibagi lagi
menjadi (a) Bahasa halus merendah (kenjoogo) dan (b) Bahasa halus
meninggikan status lawan bicara (sonkeigo). Pemakaian unda usuk bahasa Jepang sangat
berkaitan dengan struktur sosial masyarakat Jepang.
Chie Nakane (1967:105), menjelaskan bahwa hubungan personal dalam masyarakat
Jepang dapat dilihat dari dua sisi yaitu: (a) hubungan secara vertikal (tate kankei), seperti
hubungan antara orang tua dengan anak, atau atasan dengan bawahan. (b) hubungan secara
horizontal (yoko kankei) seperti hubungan antara saudara kandung, atau teman sejawat
(sekerja).
Pada zaman feodal akhir (1603-1868) struktur hubungan atasan-bawahan ini menjadi
institusi yang membagi struktur sosial menjadi empat kelas yaitu: (1) Shi (Bushi) yaitu
kelas samurai (satria), (2) Noo (Noomin) kelas petani, (3) Ko (Shokunin) kelas tukang, (4)
Shoo (Shoonin) kelas pedagang. (lihat Ketut Surajaya,1984:39). Dalam struktur ini,
keluarga kaisar (Tenno) dan keluarga samurai menduduki kelas tertinggi dan mempunyai
hak-hak istimewa (privilege) yaitu mereka harus dihormati lewat pemakain kosa kata
hormat (keigo) ketika berbicara dengan mereka.
Pada tahun 1868 (Zaman Meiji) yaitu zaman dimulainya modernisasi di Jepang,
struktur sosial yang berdasarkan keturunan (ascbibed status) dihapuskan lewat gerakan
Shimin Byoodo . Gerakan ini bertujuan untuk menghapuskan hak-hak istimewa kaum
samurai dan menyamakan semua kelas masyarakat. Penentuan status seseorang tidak lagi
ditentukan oleh kelahiran (ascribed status) melainkan karena usaha dan pestasi seseorang
(achieved status).
Dengan dimulainya industrialiasasi bertujuan untuk mewujudkan negara kuat
didukung oleh industri dan militer yang tangguh (fukoku kyoohei), maka didirikan
perusahaan-perusahaan dagang, pabrik-pabrik, penerapan sistem pendidikan modern,
demokratisasi sistem politik dan perekrutan angkatan perang modern, serta birokrasi
pemerintahan meniru model Eropa, maka terjadilah mobilitas kelas sosial, menggantikan
fungsi-fungsi ekonomi, politik, dari klan-klan tradisional. (Boye De Mente,1985:25; lihat
juga Ketut Surajaya, 1990:30).
Realitas sosial seperti ini berpengaruh terhadap penggunaan sistem unda usuk bahasa
Jepang tidak lagi ditentukan oleh struktur sosial berdasarkan kelahiran tetapi oleh faktorfaktor sosiolinguistik sebagai berikut: (1) tingkat keakraban (familiarity), (2) usia (age), (3)
hubungan sosial (social relation), (4) status sosial (social status), (5) jenis kelamin
(gender), (6) keanggotaan dalam suatu kelompok (group membership). (Osamu Mizutani
dan Nobuko Mizutani,1987:3-10).
Keanggotaan dalam suatu kelompok juga menjadi faktor penentu dalam pemakaian
tingkatan bahasa. Orang Jepang memakai tingkatan bahasa yang berbeda-beda tergantung
kepada siapa mereka sedang berbicara, dengan memperhatikan hubungan uchi (in-group)
dan soto (out-group). Uchi adalah kelompok dalam lingkungan sendiri seperti: keluarga
sendiri, kantor atau perusahaan seseorang bekerja. Sedangkan soto (out-group) adalah
lingkungan di luar lingkungan uchi (in-group). Pada waktu pembicara berbicara tentang
uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito (orang luar), maka ia harus memperlakukan
uchi no hito sama seperti dirinya sendiri. Oleh karena itu meskipun kedudukan uchi no hito
lebih tinggi, pembicara tidak menggunakan sonkeigo (halus meninggikan),
tetapi
menggunakan kenjoogo (halus merendah).
2. Aspek-Aspek Unda Usuk Bahasa Jepang
2.1. Pembentukan dari segi Leksikal dan Sintaksis
Pengertian leksikal adalah makna kata yang sama tetapi pilihan kosa kata yang
dipakai memiliki makna sosial yang berbeda, karena nilai rasa dari kosa kata tersebut
sudah mengalami perubahan. Pembentukannya dengan cara menggantikan kata dengan
bentuk kata yang lain sesuai dengan keperluan dalam percakapan. Kata pengganti tersebut
mempunyai arti leksikal yang sama akan tetapi arti sosialnya berlainan, karena nilai rasa
dari kata itu sudah mengalami perubahan.
Pengertian sintaksis adalah perubahan bentuk kalimat yang dipergunakan pada waktu
terjadinya percakapan, yang berpengaruh terhadap nilai rasa dari kalimat tersebut, sesuai
dengan tuntutan kepada siapa ia sedang berbicara. Jika dilihat dari segi leksikal dan
sintaksis bahasa Jepang, maka nilai rasa kalimat dalam bahasa Jepang akan mengalami
perubahan seperti: (1) Kalimat biasa (futsuugo), (2) kalimat sopan (teineigo) dan (3)
kalimat halus (keigo) yang dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu: (a) sonkeigo (halus
meninggikan), dan (b) kenjoogo (halus merendah).
Kalimat bentuk biasa dipakai pada pembicaraan terhadap teman akrab, teman
sekerja, percakapan sehari-hari dalam keluarga, atasan terhadap bawahan, juga dipakai
dalam ragam bahasa tulisan seperti dalam surat kabar, buku, dan skripsi. Pemakain bentuk
ini perlu memperhatikan hubungan dengan lawan berbicara dilihat dari aspek usia,
hubungan atasan-bawahan (jogekankei). Penggunaan bentuk biasa (futsuugo) yang salah,
dapat dianggap kasar dan tidak sopan yang berakibat image yang tidak baik.
Kalimat sopan (teineigo) dipakai dalam penuturan antara bawahan terhadap atasan,
pelayan dengan tamu, terhadap orang yang belum dikenal, dalam surat yang sifatnya
formal, terhadap orang yang lebih tinggi kedudukannya atau lebih tua umurnya, dalam
siaran radio, televisi dan lain-lain. Teineigo dipakai untuk membuat kalimat-kalimat agar
menjadi lebih sopan ketika diucapkan kepada orang lain. (Danasasmita, 1983:81).
Minoru (1986:321) mendefinisikan bahwa keigo adalah bahasa atau kata-kata yang
khusus dipergunakan untuk menunjukkan kerendahan hati pembicara, untuk menyatakan
rasa hormat pembicara terhadap teman bicara atau orang yang dibicarakan. Sonkeigo
adalah bahasa hormat yang dipergunakan untuk menyatakan rasa hormat pembicara
dengan menaikkan derajat orang yang menjadi pokok pembicaraan. (lihat Bunkachoo,
1985:25). Orang yang dihormati oleh pembicara bukan hanya persona kedua dan ketiga
yang secara langsung menjadi pokok pembicaraan, tetapi termasuk juga perkara, keadaan,
perbuatan, serta benda dan keluarga orang itu. Orang yang dihormati adalah orang yang
dianggap lebih tinggi kedudukannya (derajatnya) atau lebih tua umurnya dari pembicara.
Kenjoogo adalah bahasa hormat yang dipergunakan untuk menghormati pesona
kedua atau teman orang yang menjadi pokok pembicaraan dengan cara merendahkan
derajat orang yang menjadi pokok pembicaraan. (Bunkachoo, 1985:27). Teineigo adalah
bahasa hormat yang dipakai untuk menghaluskan kata-kata yang diucapkan kepada orang
lain. (Danasasmita, 1983:81).
Teineigo tidak sama dengan sonkeigo dan kenjoogo, karena teineigo sama sekali
tidak ada hubungannya dengan merendahkan atau menaikkan derajat orang yang menjadi
pokok pembicaraan. Jadi yang menjadi pertimbangan dari teineigo hanyalah teman
berbicara. Teineigo semata-mata dipergunakan untuk menghormati teman berbicara
(pesona kedua). Teineigo dapat dibuat dengan menambahkan awalan o/go di depan kata
benda yang menyatakan orang atau sesuatu yang dimiliki seseorang. Awalan ini dapat
ditambahkan
pada kata sifat ketika menyatakan posisi seseorang yang dibicarakan.
Awalan o biasanya ditambahkan pada kata sifat dan kata benda asli Jepang, sedangkan
awalan go ditambahkan pada kata sifat dan kata benda yang berasal dari bahasa China
(Kango). (Lihat Yoshida Yasuo dan I Ketut Surajaya, 1992:358).
Tabel 1
Bentuk Biasa (Futsuu-kei) dan Bentuk Sopan (Teinei-kei)
Pembentukan Secara Leksikal (Makna Kata)
Bentuk Biasa (Futsuukei)
Bentuk Sopan (Teineikei
Mizu
o-mizu
Mochi
o-mochi
Karada
o-karada
Uchi
o-uchi
Kirei
o-kirei
kanemochi
o-kanemochi
Shinsetsu
go-shinsetsu
Buji
go-buji
Ryooshin
go-ryooshin
Annai
go-annai
Iken
go-iken
Sumber : Osamu Mizutani dan Nobuko Mizutani, 1987:70-73
Makna (Imi)
air
kue
badan/tubuh
rumah
cantik
kaya
ramah
selamat
orang tua
mengantar
pendapat
Tabel 2
Bentuk Biasa (Futsuu-kei) dan Bentuk Sopan (Teinei-kei
Pembentukan Secara Sintaksis
Jenis Kata
Kata Kerja, contoh
Kata Sifat (i), contoh
Kata Sifat (na) & Benda,
contoh
Bentuk-Bentuk Kalimat,
contoh
Bentuk Biasa/Futsuukei
~kamus (+)
iku (pergi)
~nai (-)
ikanai
~ta (lampau +)
itta
~nakatta (lampau-)
ikanakatta
~tanpa desu (+)
oishii (enak)
i menjadi ~kunai (-)
oishikunai
i jadi ~katta (lampau +)
oishikatta
i jadi~ kunakatta /lampau oishikunakatta
~ da (+)
hima da (senggang)
~dewanai (-)
hima dewanai
~datta (lampau + )
hima datta
~dewanakatta/lampau hima dewanakatta
~tai (ingin….)
nomitai (ingin minum)
~te iru (sedang………)
nonde iru (sedang minum)
~te (tolong……….)
kaite (tolong tulis)
~te moo ii (boleh…………)
kaite mo ii (boleh tulis)
~nakutemo ii (tdk usah….)
ikanakutemo ii (tidak usah
pergi)
~nakereba naranai (hrs…)
ikanakereba naranai (harus
pergi)
isshoni~nai ? (tawaran)
isshoni ikanai? (bagaimana
kalau pergi bersama-sama)
Bentuk Sopan/Teineikei
~masu (+)
ikimasu (pergi)
~masen (-)
ikimasen
~mashita (lampau+)
ikimashita
~masen deshita (lampau-)
ikimasen deshita
~desu (+)
oishii desu (enak)
i menjadi~kunai desu (-)
oishikunai desu
i jadi ~ katta desu /lampau+
oishikatta desu
i jadi~ kunakatta desu/lmpoishikunakatta desu
~ desu (+)
hima desu (senggang)
~dewa arimasen (-)
hima dewa arimasen
~deshita (lampau + )
hima deshita
~dewa arimasen deshita
hima dewa arimasen deshita
~tai desu (ingin….)
nomitai desu (ingin minum)
~te imasu (sedang………..)
nonde imasu sedang minum
~te kudasai (tolong……….)
kaite kudasai (tolong tulis)
~te mo ii desu (boleh……..)
kaite mo ii desu :boleh tulis
~nakutemo ii desu:tdk usah
ikanakutemo ii desu (tidak
usah pergi)
~nakereba narimasen (hrs..)
ikanakereba narimasen
(harus pergi)
isshoni~masen ka (tawaran)
isshoni ikimasen ka
(bagaimana kalau pergi
bersama-sama.
Tabel 3
Pembentukan Sonkeigo dan Kenjoogo Secara Leksikal (Makna Kata)
Futsuugo(Biasa)
iru
suru
kuru/iku
iu
au
ataeru/yaru
morau
omou
shiru (shitte iru)
miru
taberu
nomu
tazuneru, hoomon
suru
kiku
kariru
neru
miseru
shiraseru
Pembentukan
Kenjoogo/merendah Sonkeigo/meninggikan
Imi (arti)
oru (orimasu)
irassharu/irasshaimasu ada
oide ni naru
melakukan
itasu (itashimasu)
nasaru (nasaimasu)
datang
mairu
irassharu
(irasshaimasu), oide ni
naru, mieru, omie ni
naru, okoshi ni naru
berkata,bermakna
moosu, mooshiageru ossharu (osshaimasu)
bertemu
ome ni kakaru
awareru/o-ai ni naru
sashiageru/ageru
kudasaru/kudasaimasu memberi
itadaku, choodai
morawareru/o-morai ni menerima, diberi
suru, haiji suru,
naru
azukaru
berpikir,
zonjiru, zonjuru
oboshimesu
berpendapat
kenal/tahu
zonjiru/zonjite oru
gozonji desu
melihat, menonton
haiken suru
goran ni naru, goran
nasaru, goran kudasaru
makan
itadaku
meshiagaru
minum
chodai suru
meshiagaru
ukagau, ukagai suru, tazunerareru/ o-tazune mengunjungi
ojama suru
ni naru
o-kiki suru
kikareru/o-kiki ni naru bertanya
meminjam
haishaku suru
karirareru
tidur, beristirahat
o-yasumi suru
o-yasumi ni naru
memperlihatkan
omeni kakeru, goran o-mise ni naru
ni ireru
memberitahu
o-shirase ni suru
o-mimi ni ireru
Sonkeigo
secara
Sintaksis,
pembentukan
sonkeigo
(halus
meninggikan) secara sintaksis dapat dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah tata
bahasa sebagai berikut :
a. Dengan cara menggunakan verba bantu ~reru atau ~rareru (verba pasif). Verba bantu
~reru dipakai pada godan katsuyoodooshi (verba golongan I), sedangkan verba bantu
~rareru dipakai pada ichidan katsuuyoodoshi (verba golongan II). Misalnya: Kimurasan wa 7 ji koraremasu. (Nona Kimura akan datang pada jam 7). (b) O-sake wo
yameraretan desu ka (Apakah tuan sudah berhenti minum sake?) (c) Kono e wa ano
kata ga kakaremashita (Lukisan ini dilukis oleh orang itu). (d) Ano kata ga kaerareta
no wa itsu goro desu ka (Kapankah kepulangan orang itu?). Bentuk ini tidak bisa
dijadikan bentuk permintaan atau permohonan.
b. Dengan cara menggunakan pola kalimat o + verba renyookei~masu + ni naru.
Diantara o ~ni naru disisipi verba bentuk renyookei (kata kerja modifikasi). Misalnya:
(a) Sensei wa moo o-kaeri ni narimashita (Pak guru sudah pulang). (b) Yamada-san wa
kinoo o-hikkoshi ni narimashita. (Tuan Yamada pindah kemarin). Pola kalimat ini
lebih terkesan hormat dan sopan daripada bentuk ~reru, ~rareru (verba pasif). Namun
kata kerja yang hanya memiliki satu suku kata seperti miru (melihat), neru (tidur) dan
kata kerja kelompok III yaitu kuru (datang) dan suru (mengerjakan) tidak dapat
digunakan dalam pola kalimat ini. Bentuk ini mempunyai bentuk hormat untuk
permintaan atau permohonan yaitu ~ ni natte kudasai. Misalnya: (a) Chotto koko de omachi ni natte kudasai (Tolong tunggu di sini sebentar). (b) Motto o-nomi ni natte
kudasai (Silahkan minum lebih banyak) (c) Motto meshiagatte kudasai (Silahkan
makan lebih banyak) (AOTS, 1994: 80)
c. Sonkeigo: irasshaimasu (irassharu), nasaimasu (nasaru), kudasaimasu (kudasaru),
osshaimasu (ossharu) adalah kata kerja kelompok I . Oleh karena itu konjugasi kata
kerja ini mengikuti aturan kata kerja kelompok I. sehingga menjadi : irassharanai,
nasaranai, kudasaranai, ossharanai.Contoh kalimat: (a) Yamada sensei wa
kenkyuushitsu ni irasshaimasu (Guru Yamada ada di ruang penelitian). (b) A: Yamada
sensei wa tenisu wo nasaimasu ka (Apakah Guru Yamada bermain tenis?) B: Iie,
nasaranai to omoimasu (Tidak, saya kira tidak). Bentuk ini dapat dijadikan permintaan
atau permohonan dengan menambahkan ~te kudasai. Misalnya: Doozo meshiagatte
kudasai (Silahkan makan/minum). (b) Doozo goran ni natte kudasai (Silahkan lihatlihat). (c) Doozo irrashatte kudasai (Silahkan datang).
d. + verba renyookei~ masu + kudasai. Pola kalimat ini digunakan untuk menunjukkan
rasa hormat pada waktu memohon dan mempersilahkan kepada lawan bicara.
Misalnya: Achira kara o-hairi kudasai. (Silahkan masuk dari sebelah sana). (b) Robii
de o-machi kudasai (Harap tunggu di (lobby). (c) Shooshoo o-machi kudasai (Harap
tunggu sebentar). Kata kerja bentuk hormat pada tabel 4.3 tidak dapat dipergunakan
pada pola kalimat ini kecuali: meshiagarimasu menjadi o-meshiagari kudasai, goran ni
narimasu menjadi goran kudasai.
e. Menyisipkan verba renyookei ~masu dari kata kerja diantara o + ~desu. Misalnya: (a)
Doko e o-dekake desu ka. (Mau pergi kemanakah). (b) Itsu Nihon e o-kaeri desu ka
(Kapan akan pulang ke Jepang?). Pola ini bersifat tidak langsung dan menunjukkan
kehati-hatian.
f. Kata benda dan kata sifat bisa juga dijadikan bentuk sonkeigo dengan cara
menambahkan awalan (prefik) atau imbuhan (sufik) yang menjadikan kata hormat
(sonkei no settoogo ya setsubigo). Awalan o atau go ditambahkan di depan kata benda,
kata sifat dan kata keterangan. . Umumnya o digunakan pada kata yang berasal dari
Jepang (wago) sedangkan go untuk kata-kata yang berasal dari bahasa China (kango)
dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4
Kata-Kata Hormat Berawalan Go dan Berawalan O
Jenis kata
Kata benda
Kata-kata yang berawalan o
o-kuni (negara)
o-namae (nama)
o-shigoto (pekerjaan)
Kata-Kata yang berawalan go
go-kazoku (keluarga)
go-iken(pendapat)
go-ryokoo (tamasya)
Kata sifat
o-genki (sehat)
go-nesshin (giat)
o-joozu (pintar)
go-shinsetsu (ramah)
o-hima (senggang)
o-isogashii (sibuk)
o-wakai (muda
Kata Keterangan o-amari (tidak begitu)
go-jiyuu (bebas) dan lain-lain.
Sumber: Osamu Mizutani dan Nobuko Mizutani, 1987: 92-93
Kata hormat untuk arimasu adalah gozaimasu dan desu adalah de gozaimasu.
Misalnya (a) Nanika iken ga gozaimasu ka (Apakah ada pendapat?) (b) Uketsuke
wai achira de gozaimasu (Kantor depan ada di sana). Kata hormat untuk keiyooshi (kata
sifat i) tertentu seperti: arigatai menjadi arigatoo gozaimasu (terimakasih), takai menjadi
takakoo gozaimasu (mahal), yoroshii menjadi yoroshuu gozaimasu (baik, boleh).Juga
menambahkan imbuhan (sufik) ~san, ~sama artinya tuan, nyonya, nona, ~sensei(guru)
~sachoo (direktur), ~buchoo (kepala bagian), ~kyooju (profesor) dan lain-lain pada nama
seseorang. Misalnya: Tanaka-sensei, Harada-san, Sekiyama-sama, dan Yoshida-sachoo.
Biasanya orang Jepang memiliki nama kecil diikuti nama keluarga. Misalnya Haruo
Tanaka (Haruo adalah nama kecil dan Tanaka adalah nama keluarga). Dalam pergaulan
resmi dipanggil nama keluarga ditambahkan sufik ~san, ~sama atau jabatan seperti
~sachoo, ~kyooju
Dengan cara menggunakan nomina (pronomina persona) hormat (sonkei no meishi).
Misalnya: okaasan (ibu), otoosan (ayah), oneesan (kakak perempuan), oniisan (kakak lakilaki), kono kata/kochira (orang ini), sono kata /sochira (orang itu), ano kata/achira (orang
itu), donata/donatasama/dochirasama (siapa), dan nan-mei/nan-meisama (berapa orang).
Pembentukan Kenjogo Secara Sintaksis, pembentukan kenjoogo (halus merendah)
secara sintaksis dapat dilakukan dengan cara mengikuti kaidah-kaidah tata bahasa seperti
di bawah ini :
a. + (verba renyookei ~masu) + shimasu/itashimasu. Misalnya: (a) Omosoo desu ne. Omochi shimashoo ka. (Kelihatannya berat ya. Mari saya bantu bawa). (b) Watashi ga
shachoo ni sukejuuru o o-shiraseshimasu. (Saya memberitahukan jadwal kepada
kepala bagian). (c) Onii ga kuruma de o-okurishimasu. (Kakak laki-laki saya akan
mengantarkan anda dengan mobil). (d) Otooto wa sensei ni tegami o o-kakishimashita.
(Adik laki-laki saya sudah menulis surat kepada gurunya). Dalam contoh kalimatkalimat tadi menunjukkan bahwa pembicara merendahkan prilakunya sendiri, ketika
berhadapan dengan lawan bicara seperti pada contoh kalimat a dan b. Pola kalimat itu
dipakai untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang yang mendapat perlakuan.
Apabila orang yang mendapat perlakuan (orang yang dikenai perbuatan) tidak
ada,maka pola kalimat itu tidak dapat dipakai. Misalnya Watashi wa rainen kuni e okaeri shimasu. (Saya tahun depan pulang ke negara asal). Sedangkan pada contoh
kalimat c dan d menunjukkan bahwa pelakunya bukan pembicara itu sendiri, tetapi
keluarganya sendiri sebagai uchi no hito (orang dalam). Bentuk ini dapat dipakai pada
kata kerja grup I dan II kecuali pada kata kerja seperti mimasu dan imasu, yang hanya
memiliki satu suku kata pada bentuk ~masu dan juga kata kerja grup III.
b. Go + (verba renyookei ~masu) + shimasu/itashimasu. Misalnya: (a) Edo Tookyoo
Hakubutsukan e go-annai shimasu. (Saya akan memandu ke Musium Edo Tokyo). (b)
Kyoo no yotei o go-setsumei shimasu. (Saya akan menjelaskan rencana hari ini). (c)
Sensei ga Bali e irasshattara, watashi ga iro-iro na tokoro o go-annai shimasu. (Kalau
bapak/ibu guru datang ke Bali, saya akan mengantar ke berbagai tempat). Bentuk ini
digunakan pada kata kerja grup III, khususnya kata-kata yang menunjukkan kaitan
dengan lawan bicara seperti: shookai shimasu (memperkenalkan diri), shootai shimasu
(mengundang), soodan shimasu (berkonsultasi), renraku shimasu (menghubungi), yang
menggunakan awalan go, sedangkan yakusoku shimasu (berjanji), denwa shimasu
(menelpun) memakai awalan o.
c. Itashimasu adalah bentuk yang lebih sopan dari shimasu dan mooshiagemasu lebih
sopan dari itashimasu. Misalnya: (a) Watashi ga shachoo no nimotsu o o-mochi
itashimasu. (Saya akan membawakan barang Direktur) (b) Kore kara kono kikai no
tsukai-kata o go-setsumei itashimasu. (Sekarang saya akan menjelaskan cara
pemakaian mesin ini). (c) O-shirase mooshiagemasu (Saya beritahukan). (d) Go-shokai
mooshiagemasu (saya perkenalkan). (d) O-miokuri mooshiagemasu (saya akan antar)
(The Japan Foundation, Nihongo Shoho, 1983:118). Dengan cara menggunakan verba
hormat (kenson no dooshi) khusus seperti dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5
Istilah-Istilah untuk Uchi (Orang Dalam) dan Soto (Orang Luar)
Uchi ( orang dalam )
Soto ( orang luar )
Tanaka (Tanaka)
Tanaka-san/sama (Tuan Tanaka)
Minna (kalian)
Minasan/minasama (saudara sekalian)
Kaisha no mono (orang kantor saya) Kaisha no hito/kata (orang kantor anda)
Akachan (bayi saya)
Akanboo (bayi anda/tuan)
Musume (anak perempuan saya)
Ojoosan/musumesan (putri anda/tuan)
Mago (cucu saya)
Mago-san (cucu anda/tuan)
Danna/shujin (suami saya)
Go-shujin (suami anda)
Kanai/tsuma (istri saya)
Okusan/okusama (istri tuan)
Sumber: Tatsuya Nagashima, 1985:143).
d. Menggunakan bentuk ~sa(sete) itadakimasu yang berkonotasi melakukan sesuatu atas
izin lawan berbicara. Misalnya: (a) Shitsurei sasete itadakimasu (Maaf, saya
permisi).(b) Ashita otaku wo ukagawasete itadakimasu (Besok saya akan mengunjungi
rumah anda). (AOTS,1989:59)
3. Bahasa Hormat (Keigo)
3.1. Uchi (In-group) dan Soto (Out-group)
Bahasa hormat dipakai dengan mempertimbangkan hubungan antara pembicara,
teman berbicara, dan orang yang dibicarakan. Dengan kata lain perlu mempertimbangkan
siapakah teman berbicara atau orang yang dibicarakan. Apakah teman berbicara termasuk
bawahan (orang yang lebih rendah derajat/kedudukannya atau lebih muda umurnya, atasan
(orang yang lebih tinggi derajat/kedudukannya atau lebih tua umurnya), atau sederajat
dengan pembicara. Juga perlu memperhatikan hubungan uchi (in-group) dan soto (outgroup). Uchi adalah kelompok dalam lingkungan sendiri seperti keluarga sendiri dan dapat
diperluas ke lingkungan kantor, perusahaan, lembaga tempat seseorang itu bekerja.
Sedangkan soto adalah lingkungan di luar lingkungan uchi. Pada waktu pembicara
berbicara tentang uchi no hito (orang dalam)
kepada soto no hito, maka ia harus
memperlakukan uchi no hito sama seperti dirinya sendiri. Dengan demikian akan dapat
menentukan jenis bahasa hormat apa yang akan dipakai terhadap lawan berbicara.
Pada satu kalimat sering terjadi kombinasi bahasa hormat berdasarkan pertimbangan
tadi. Maksud kombinasi di sini adalah pemakaian beberapa jenis bahasa hormat pada suatu
kalimat yang masing- masing ditujukan kepada teman berbicara atau orang yang
dibicarakan. Misalnya: Sensei ga ryoko ni irasshaimasu. (Pak guru pergi bertamasya).
Pada kalimat di atas terjadi kombinasi bahasa hormat dengan cara menggunakan sonkeigo
(irassharu) untuk menghormati persona ketiga dengan menggunakan teineigo/bahasa
sopan (~masu) untuk menghormati teman berbicara (persona kedua). Penggunaan dua jenis
bahasa hormat dalam suatu kalimat seperti inilah yang dimaksud kombinasi ragam bahasa
hormat. Pada kalimat di atas baik persona kedua maupun persona ketiga sebagai atasan
persona pertama. Apabila persona ketiga sebagai atasan dan persona kedua sebagai
bawahan, maka persona pertama cukup mengucapkan dengan kalimat Sensei wa ryokoo ni
irassharu. (Pak guru pergi bertamasya).
Pada waktu menggunakan keigo, pilihan kata-kata dalam kalimat juga harus memiliki
tingkat kesopanan yang sejajar. Misalnya: Buchoo no okusama mo go-isshoni gorufu ni
ikaremasu. (Istri Bapak Kepala Bagian juga ikut pergi main golf). Untuk menjaga
kesejajaran level kesopanan maka pilihan kosa kata okusan, isshoni, dan ikimasu diganti
dengan okusama, go-isshoni dan ikaremasu yang mempunyai tingkat kesopanan yang
sama. Di samping itu untuk mensejajarkan tingkat kesopanan, kata kerja bentuk ~te dapat
diganti dengan bentuk renyookei ~masu + mashite. Misalnya: Hansu ga yuube netsu wo
dashimashite, kesa mo mada sagaranai`n desu. (Hans tadi malam demam dan sampai tadi
pagi pun panasnya belum turun) (Suriieenettowaaku, Bunpoo Kaiketsu, 2001:147).
3.2 Bentuk-Bentuk Kombinasi Keigo
Kombinasi bahasa hormat tidak dianggap sebagai pemakaian yang berlebihan, sebab
kombinasi di sini sebagai kombinasi jenis bahasa hormat yang berlainan dan ditujukan
terhadap objek yang berlainan pula. Berikut ini dapat dilihat beberapa pola kombinasi
bahasa hormat tersebut dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6
Kombinasi Bentuk Hormat (Keigo) dalam Bahasa Jepang
Persona kedua
Atasan
Bawahan
Atasan
Persona ketiga
Atasan
Atasan
Bawahan
Kombinasi keigo
Sonkei + Teinekei
Sonkei + O
(a) O + Teineikei
(b) Kenjoo+ Teineikei
Bawahan
Bawahan
(a). O + O
(b). Kenjoo + O
Atasan
Bawahan
Teinei
O
Contoh kalimat
Sachoo ga irasshaimasu
Sachoo ga irassharu
(a) Tanaka ga hookoku shimasu
(b1) Tanaka ga hookoku
itashimasu
(b2) Tanaka ga shachoo
ni go-hookoku moshiagemasu
(a) Tanaka ga Kawamura ni
shiraseru
(b) Tanaka ga shachoo ni
oshirase suru
Otooto no kutsu desu
Otooto no kutsu da
Sumber: Sujianto, 1996:141
Pada pola kalimat 1, oleh karena persona kedua dan persona ketiga sebagai atasan,
maka persona pertama memakai sonkeigo (irassharu) untuk menghormati persona ketiga.
Hal itu dikombinasikan dengan teineigo (~masu) untuk menghormati persona kedua,
sehingga kombinasi kedua jenis bahasa hormat itu menjadi irasshaimasu.
Pada pola kalimat 2, orang yang menjadi atasan hanya persona ketiga, sedangkan
persona kedua sebagai bawahan. Orang yang dihormati pada kalimat itu hanya persona
ketiga dengan cara menggunakan sonkeigo (irassharu) bentuk biasa/bentuk kamus. Oleh
karena persona kedua sebagai bawahan, maka pada kalimat ini tidak memakai teineigo
untuk menghormati persona kedua.
Pola ketiga merupakan kebalikan pola kalimat 2. Pada pola ini persona ketiga adalah
bawahan, sedangkan persona kedua sebagai atasan dari persona pertama. Pada situasi
seperti ini dapat dipergunakan dua pola seperti pada bagan di atas. Pada contoh kalimat 3a.
di atas, persona pertama tidak memakai bahasa hormat untuk persona ketiga, tetapi untuk
menghormati persona kedua memakai teineigo (hookoku shimasu). Pada contoh kalimat 3b
(1), persona pertama memakai kenjoogo (hookuko itasu) yang dikombinasikan dengan
teineigo (itashimasu). Kenjoogo pada kalimat itu dipakai untuk merendahkan persona
ketiga (Tanaka) dan teineigo dipergunakan untuk menghormati pesona kedua. Demikian
juga pada kalimat 3b. (2), pembicara menggunakan kenjoogo (go-hookoku moshiagemasu)
sebagai cara merendahkan persona ketiga untuk menghormati teman persona ketiga
(shachoo), dan memakai teineigo (~masu) untuk menghormati persona kedua.
Pola kalimat 4 merupakan kebalikan pola kalimat 1. Baik persona pertama maupun
persona kedua adalah bawahan dari persona pertama. Seperti terlihat pada kalimat 4 (1)
pembicara tidak memakai bahasa hormat untuk persona kedua dan persona ketiga. Pada
contoh kalimat 4 (2) pembicara memakai kenjoogo (o-shirase suru) bentuk kamus sebagai
cara merendahkan persona ketiga (Tanaka). Kenjoogo itu dipakai untuk menghormati
teman persona ketiga (shachoo), bukan untuk menghormati persona kedua atau ketiga.
Pada pola kalimat 5, persona pertama tidak memakai bahasa hormat untuk persona
ketiga, sebab persona ketiga termasuk anggota keluarganya sendiri. Teineigo (desu) pada
kalimat itu dipakai untuk menghaluskan kalimat untuk menghormati persona kedua.
Pada contoh kalimat 6, persona ketiga termasuk anggota keluarga persona pertama.
Begitu juga persona kedua termasuk bawahan persona pertama. Oleh karena itu bahasa
hormat tidak dipakai pada pola ini. Kata kutsu da merupakan ungkapan biasa (tidak halus)
dari kata kutsu desu.
3.3 Pemakaian Keigo
Sonkeigo dan kenjoogo dipakai dengan memeperhatikan hubungan antara uchi (ingroup) dan soto (out-group). Uchi adalah kelompok dalam lingkungan sendiri seperti
keluarga sendiri dan dapat diperluas ke kelompok tempat diri sendiri berkerja seperti:
kantor, perusahaan, lembaga dan lain-lain, sedangkan soto adalah lingkungan di luar
lingkungan uchi. Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam)
kepada soto no hito (orang luar), maka ia harus memperlakukan uchi no hito seperti
keluarga diri sendiri, meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, pembicara tidak
menggunakan sonkeigo tetapi kenjoogo. Misalnya: A: Okaasan wa irasshaimasu ka
(Apakah ibumu ada di rumah). B: Haha wa chotto dekakete orimasu ga…(Ibu sedang ke
luar sebentar). A sebagai orang luar (soto no hito) menggunakan istilah okaasan (ibumu)
adalah istilah hormat, sedangkan B menjawab dengan haha kosa kata merendah untuk ibu
saya (uchi no hito). Kata kerja irasshaimasu adalah kosa kata hormat untuk imasu (ada),
sedangkan orimasu adalah kosa kata merendah dari imasu. Contoh lain misalnya, A:
Shachoo wa irasshaimasu ka (Apakah Bapak Direktur ada?) B: Sachoo wa kyoo honsha e
itte orimasu ga,…(Direktur hari ini sedang pergi ke kantor pusat). (AOTS, Bunpoo
Kaiketsu, 1994:81). A adalah orang luar (soto no hito) menanyakan bapak direktur dengan
kata irasshaimasu kata hormat dari iru (ada). B orang dalam perusahaan (uchi no hito)
menjawab dengan itte orimasu bentuk merendah dari itte imasu (sedang pergi), untuk
mengungkapkan kebearadaan bapak direktur yang juga sebagai orang dalam perusahaan
(uchi no hito). Tetapi apabila percakapan tersebut berlangsung di antara orang dalam
perusahaan misalnya sekretaris bertanya pada direktur, maka ia harus menggunakan
bentuk sonkeigo. Misalnya: Sekretaris: Dochira osakini o-yomi ni narimasu ka (yang
manakah Bapak akan baca duluan?), Direktur: Aa, kore o sakini yomoo (Saya akan
membaca yang ini duluan). Ungkapan o-yomi ni narimasu adalah bentuk sonkeigo dari
yomimasu (membaca).
Penggunaan sonkeigo dan kenjoogo juga dapat di lihat dalam percakapan antara
pramuniaga dengan customers. Misalnya: A (Pramuniaga):
O-taku made o-todoke
itashimashoo ka (Apakah sebaiknya saya antarkan ke rumah anda?). B (Customer): Hai,
onegaishimasu (Ya, tolong antarkan). O-taku bentuk hormat dari uchi (rumah), dan otodoke itashimasu adalah bentuk merendah dari todokeru (mengantarkan). Percakapan
antara orang yang belum dikenal, misalnya: A: Go-shujin wa kyoo nanji-goro o-kaeri desu
ka. (Suami anda hari ini pulang jam berapa?) B: Saa, nani mo mooshimasen deshita kara,
roku-ji goro kaette mairimasu deshoo. ( Suami saya tidak bilang apa-apa, seharusnya
pulang jam 6). Go-shujin bentuk hormat dari shujin (suami saya), dan o-kaeri bentuk
hormat dari kaeru (pulang). Mooshimasu bentuk merendah dari iu (mengatakan), kaette
mairimasu bentuk meredah dari kaette kimasu (pulang ke rumah). Percakapan antara
mahasiswa dengan dosennya, misalnya A: Sensei, omachi shite orimasu kara, zehi Baritoo ni oide kudasai (Pak guru, silahkan datang ke Bali, saya tunggu) B: Arigatoo
gozaimasu. Zehi ikitai. (Terima kasih saya ingin sekali pergi). O-machi shite orimasu
bentuk merendah dari matte imasu (menunggu), oide kudasai bentuk hormat dari kite
kudasai. Percakapan antara bawahan dengan atasan (joge-kankei) seperti antara guide
dengan wisatawan, misalnya: O-matase itashimashita. Kuruma ga mairi masu node,
wasurenaiyoo, doozo kuruma ni o-nori kudasai. (Maaf saya telah membuat anda
menunggu, karena mobilnya sudah datang, supaya tidak ada barang ketinggalan, silahkan
naik ke mobil). Guide mnggunakan ungkapan merendah seperti o-matase itashimasu dari
kata matasemasu (membuat menunggu), mairimasu dari kata kimasu (datang). O-nori
kudasai bentuk hormat dari notte kudasai (silahkan naik). (PT JTB Indonesia, 2003, 1).
Ungkapan merendah untuk minta izin berbuat sesuatu kepada lawan berbicara
dengan menggunakan ~sa/sete itadaku yang merupakan gabungan dari bentuk kausatif
dengan ~te itadaku, berkonotasi melakukan sesuatu atas izin lawan berbicara. Misalnya:
(a) ashita yasumasete itadakimasu. (saya besok tidak masuk), (b) Hayame ni kaerasete
itadakitai`n desu ga. (saya hari ini akan pulang cepat). (c) Kyoo wa kore de shitsuree
sasete itadakimasu. (saya akan permisi). Bentuk ini juga bisa digantikan dengan ~sa/sete
kudasai atau ~sa/sete kudasaimasen ka untuk mengungkapkan permintaan yang merendah.
Misalnya: Chotto yomasete kudasaimasen ka. (boleh saya baca?).
Ungkapan hormat untuk permintaan adalah ~te itadakemasen ka atau ~te
kudasaimasen ka, lebih halus dari pada ~te kudasai. Ungkapan permintaan ini diucapkan
kepada orang yang status/kedudukannya lebih tinggi. Misalnya: (a) Moo sukoshi
kuwashiku setsumei shite itadakemasen-ka (Dapatkah anda menjelaskan lebih rinci lagi?).
(b) Kore, chotto goran kedasaimasen ka (Dapatkah anda melihat ini sebentar?). Bentuk
permintaan ini dapat dibuat lebih sopan lagi dengan menambahkan ~masen deshoo ka.
Misalnya: (a) Moo sukoshi kuwashiku setsumei shite itadakemasen deshoo ka. (b) Kore,
chotto goran itadakemasen deshoo ka. Sedangkan ungkapan permintaan ~te moraimasen
ka dan ~te kuremasen ka digunakan di antara orang yang status/kedudukannya sederajat
atau diucapkan kepada orang yang lebih muda.
3.4
Pemakaian Keigo (Bahasa Hormat) Dalam Pariwisata ; (Ungkapan (Hyoogen)
dalam Pariwisata)
Pengetahuan tentang unda-usuk bahasa Jepang sangat penting dipelajari oleh orang-
orang yang berkecimpung dalam bisnis jasa kepariwisataan seperti: karyawan hotel,
waitress, weiters, dan pramuniaga. Dalam bisnis pariwisata, wisatawan sebagai clients
dianggap sebagai raja. Oleh karena itu pemilihan terhadap kosa kata yang dipakai dalam
berkomunikasi harus benar-benar diperhitungkan ketika berinteraksi dengan wisatawan
Jepang, seperti pemakaian bahasa sopan (teinei-go), bahasa hormat (keigo).
Tabel 7
Contoh Ungkapan (Hyoogen) Sesuai dengan Tingkat Kesopanannya
Sopan (Teinei)
Irasshai
Doomo arigatoo
Hai, wakarimashita
Oyasuminasai
Shitsurei shimasu
Chooto matte kudasai
Doozo mite kudasai
Matasemasu.
Sumimasen
Mata kite kudasai
Okurete sumimasen
Ii desu ka
Hai, ii desu
Sumimasen ga,………
Tanaka san desu
Hormat (Sonkei)
Irasshaimase
Doomo arigatoo gozaimasu
Hai, kashikomarimashita
Oyasuminasaimase
Shitsurei itashimasu
Shooshoo o-machi kudasai
Doozo goran kudasai
O-matase itashimashita
Moshiwake gozaimasen
Mata okoshi kudasai
Okurete moshiwake gozai-masen
Yoroshii desu ka
Hai, kekko desu
Osore irimasu ga,…………
Tanaka-sama degozaimasu
Arti (Imi)
Selamat Datang
Terima kasih banyak
Ya, saya sudah mengerti
Selamat beristirahat
Maaf/permisi
Tunggu sebentar
Silahkan lihat-lihat
Maaf membuat menunggu
Mohon maaf
Silahkan datang lagi
Mohon maaf saya terlambat
Bolehkah?
Ya, oke!
Maaf ……………………...
Tuan Tanaka
4. Simpulan
Bahasa Jepang, ditinjau dari kaidah-kaidah sosiolinguistik dalam pemakaian unda
usuk (sor singgih) bahasa, ditinjau dari aspek leksikal maupun dari aspek sintaksisnya
mempunyai karakteristik sosiolinguistik yang istimewa. Hal ini dapat dijadikan sebagai
daya tarik bagi peneliti untuk memahami silang budaya (cross-cultural understanding)
antara unda-usuk bahasa Bali dan Jepang, dikaitkan dengan Bali sebagai salah satu objek
wisata yang banyak dikunjungi wisatawan Jepang.
Berdasarkan struktur sosial masyarakat Jepang, membagi masyarakat menjadi empat
kelas yaitu: bushi (prajurit), noomin (petani), shokunin (tukang), dan shonin (pedagang).
Pada zaman Shogun Tokugawa (1603-1868), struktur sosial ini, diberlakukan dengan
sangat ketatnya, dengan berbagai etika sopan santun yang mengatur hubungan personal
dan interpersonal seperti pemakain keigo (bahasa hormat), hak-hak istimewa (previlege)
kelas samurai untuk memiliki nama keluarga (myooji) dan menyandang dua buah pedang
sebagai simbol kekuasaan.
Namun memasuki era modernisasi pada zaman Meiji (1868), sistema kelas tersebut
dihapuskan, melalui gerakan shimin byoodo yang menuntut persamaan status dan
kedudukan kelas masyarakat. Bersamaan ini pula masuk sistem pendidikan modern, paham
demokratisasi, perekrutan birokrasi pemerintahan dan ketentaraan yang meniru model
Eropa, menimbulkan mobilitas sosial, yaitu status dan kedudukan tidak lagi ditentukan
oleh faktor kelahiran (ascribed status) tetapi oleh faktor prestasi dan usaha perorangan
(achieved status). Fenomena sosial seperti ini mempengaruhi pemakaian bentuk hormat
(keigo), tidak lagi ditentukan karena faktor status/kedudukan karena kelahiran, tetapi oleh
kaidah-kaidah sosiolinguistik sebagai berikut: (a) tingkat keakraban (familiarity), (b) usia
(age), (c) status sosial (social status), (d) jenis kelamin (gender), (e) keanggoaan dalam
kelompok (group membership). Akibatnya pemakaian unda-usuk bahasa Jepang semakin
rumit dapat dilihat dari pemakaian kombinasi bentuk hormat.
Daftar Pustaka
AOTS. 1989. Japanese By PhrasesTokyo: 3A Corporation
AOTS. Shin Nihongo No Kiso I: Terjemahan Dalam Bahasa Indonesia Tokyo: 3A
Corporation
AOTS. Shin Nihongo No Kiso I: Keterangan Tata Bahasa Dalam Bahasa Indonesia (Shin
Nihongo No Kiso I Bunpoo Kaiketsusho Indone-sia-gohen). Tokyo: 3A Corporation
AOTS. 1994. Shin Nihongo No Kiso II: Keterangan Tata Bahasa Dalam Bahasa
Indonesia: Nihongo No Kiso II Bunpoo Kaiketsusho Indonesia gohen. Tokyo: 3A
Corporation
Bagus, I Gusti Ngurah (et.al.)1978 Unda Usuk Bahasa Bali Jakarta: Proyek Penelitian
Bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah Bali Pusat Pembinaan Dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bunkachoo Kotoba Shiriizu-Keigo Tokyo: Ookurashoo Insatsukyoku. Tookyoodo Shuppan
Danasasmita, Wawan (et.al) Pengantar Tata Bahasa Jepang Bandung: BSC
De Mente, Boye Bisnis Cara Jepang . Judul asli The Japanese Way of Doing Business.
Diterjemahkan oleh: Chandra Hasan. Jakarta: PT Pantja Simpati
Hata, Hiromi “Keigo Wo Tanoshiku Tsukaikonasu” dalam Nihongo Jaanaru Tokyo: ALC
Press
JTB Indonesia Baritoo Kankoo Annai Tekisuto Nihongo Gaidoyoo: Teks Informasi
Pariwisata Bali Untuk Guide Bahasa JepangJakarta: PT JTB Indonesia
Minoru Nishio Kokugen Jiten (Kamus Ungkapan Bahasa Jepang) Tokyo: Iwanami Shoten
Mizutani, Osamu and Nobuko Mizutani 1987 Nihongo No Keigo (How To Be Polite In
Japanese) Tokyo: The Japan Time LTD
Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat Komunikasi Antar Budaya:Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Nishida, MN 1986 Keigo (Bahasa Hormat) Tokyoodoo Shuppan
Nakane, Chie 1967 Tateshakai No Ningen Kankei (Hubungan Manusia Dalam Masyarakat
Vertikal). Tokyo: Kodanhsa Gendai Shinso
Nakane, Chie 1981 Masyarakat Jepang. Judul asli The Japanese Society, diterjemahkan
oleh Bambang Kusriyanto Jakarta: Sinar Harapan.
Nagashima, Tatsuya 1985Nihongo Bunpoo: A Hanbook of Japanese Grammar Tokyo:
Pana-Lingua Institute of Japanese Language
Surajaya, I Ketut 1984 Pengantar Demokrasi Jepang Jakarta: PT Karya Unipress
Surajaya, I Ketut dan Yoshida Yasuo 1991 Atarashii Nihongo: Bahasa Jepang Modern
Jakarta: Penerbit Airlangga
Surieenettowaaku 2000 Shokyuu I Honyaku Bunpookaiketsu Indoneshiagohen (Minna No
Nihongo): Terjemahan Dan Keterangan Tata Bahasa. Tokyo 3A Corporation
Surieenettowaaku 2000 Shokyuu II Honyaku Bunpoo Kaiketsu Indoneshiagohen: Minna
No Nihongo II: Terjemahan dan Keterangan Tata Bahasa.
Tokyo: 3A Corporation
Sudjianto 1996 Gramatika Bahasa Jepang Modern Jakarta: Kesaint Blanc
The Japan Foundation 1994 Nihongo Shoho (Bahasa Jepang Permulaan)
BEBERAPA VARIABEL YANG BERPENGARUH
TERHADAP PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA
AA Sagung Kartika Dewi
Dosen Program Studi Pariwisata Unud
Abstract
Productivity is one of important aspects which is need to be concerned in company
(organization),especially if it is related to finl goal process. The process to increase
productivity can be done only by human. It can be measured based on education, skill,
dicipline, ethics, motivation, health, environment, Pancasila industrial relationship,
technology, management, compensation.
Key words: Productuvity, and human resources
1. Pendahuluan
Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama yang telah terkenal di dunia, telah
banyak dikunjungi wisatawan dari mancanegara. Banyaknya wisatawan yang datang ke
Bali tersebut, telah memunculkan berbagai peluang bisnis . Salah satu peluang bisnis yang
muncul yaitu industri yang bergerak di bidang pakaian jadi (garmen). Produk garmen yang
dihasilkan oleh industri-industri pakaian jadi di Bali, di samping telah mampu memenuhi
kebutuhan pasar domistik, juga telah mampu menembus pasaran internasional, baik di
Benua Asia, Eropa maupun Amerika. Salah satu penyebab utamanya adalah karena
kualitas produk pakaian jadi yang diproduksi di Bali telah diakui dan dipercaya baik di
pasaran dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kepercayaan pasar akan kualitas
produk pakaian jadi tersebut, maka setiap perusahaan garmen dipacu untuk meningkatkan
kemampuan atau produktivitasnya agar senantiasa dapat menghasilkan produk yang
berkualitas tinggi yang tetap. Bahkan
semakin digemari oleh konsumen, yang pada
akhirnya tujuan perusahaan akan dapat tercapai. Kondisi demikian juga telah menyebabkan
kompetisi di bidang pasar garmen di Bali semakin kompetitif.
Masalah produktivitas merupakan salah satu masalah yang sangat penting di dalam
suatu organisasi (perusahaan), terutama jika dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan.
Proses peningkatan produktivitas kerja hanya mungkin dilakukan oleh manusia.
Sebaliknya sumber daya manusia (SDM) dapat menjadi penyebab terjadinya pemborosan
dan inefisiensi dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian SDM merupakan elemen
yang paling strategik dalam organisasi, sehingga memberikan perhatian kepada unsur
manusia merupakan salah satu tuntutan dalam keseluruhan upaya meningkatkan
produktivitas kerja (Siagian, 2002).
Dalam rangka mengantisipasi semakin ketatnya persaingan diantara perusahaanperusahaan yang memproduksi pakaian jadi, maka setiap perusahaan harus senantiasa
menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang trampil dan profesional, sehingga tetap
mampu menghasilkan produk pakaian jadi yang sesuai dengan mutu standar pasar,
terutama pasar ekspor.
2. Pembahasan
Pengertian Produktivitas Tenaga Kerja
Pengertian mengenai produktivitas ada bermacam-macam, namun pada prinsipnya
adalah sama, yaitu mengacu pada ratio antara output dan input. Hal ini bukan berarti
orientasinya hanya pada output atau input saja, tetapi menyangkut hubungan antara
keduanya. Produktivitas juga diartikan sebagai tingkatan efisiensi dalam memproduksi
barang dan jasa, produktivitas mengutarakan cara pemanfaatan secara baik terhadap
sumber-sumber dalam memproduksi barang.
Dalam Encyclopedia of Profesional Management, (1990) disebutkan bahwa
produktivitas adalah suatu ukuran sejauh mana sumber-sumber daya digabungkan dan
dipergunakan dengan baik dapat mewujudkan hasil-hasil
tertentu yang diinginkan.
Dengan kata lain, produktivitas adalah suatu ukuran mengenai apa yang diperoleh dari apa
yang diberikan.
Hasil yang dicapai
Produktivitas =
Sumber daya yang dipergunakan
Apa yang diperoleh
Produktivitas =
Apa yang diberikan
Dalam rumus tersebut, hasil-hasil yang dicapai mencakup pengertian kuantitatif
maupun kualitatif. Tidak cukup hanya sekedar menghasilkan lebih banyak dari sejumlah
sumber daya yang diberikan. Kualitas dari apapun yang dihasilkan harus memenuhi
standar baku yang telah ditetapkan dan diharapkan oleh konsumen atau klien.
Hasil yang dicapai dihubungkan dengan sumber daya yang berlainan dalam bentuk
berbagai perbandingan produktivitas, yaitu keluaran (output) per jam kerja, keluaran
persatuan bahan/material, keluaran persatuan modal. Setiap perbandingan secara terpisah
diperngaruhi oleh gabungan banyak faktor yang gayut (Atmosoeprapto, 2001). Faktorfaktor tersebut meliputi : 1) kualitas dan tersedianya bahan; 2) skala operasi dan kecepatan
pemakaian; 3) tersedianya dan kapasitas dari peralatan modal; 4) sikap dan tingkat
keterampilan angkatan kerja; dan 5) motivasi dan efektivitas manajemen. Dua faktor
terakhir merupakan aspek sumber daya manusia. Bagaimana caranya faktor-faktor tersebut
saling berhubungan merupakan aspek penting pada produktivitasnya yang dihasilkan
(Atmosoeprapto, 2001).
Bettegnies, (dalam Atmosoeprapto, 2000), menjabarkan produktivitas dalam
persamaan lain yaitu Produktivitas = Efektivitas + Efisiensi. Efektivitas adalah “how far
we achieve the goal” (sejauh mana kita mencapai sasaran, sedangkan efisien
menggambarkan berbagai sumber daya secara benar atau tepat). Efektivitas dapat pula
dikemukakan sebagai “to do the right thing”, sedangkan efisiensi sebagai “to do the thing
right”.
Werther (1996), mengartikan produktivitas adalah ratio antara output (barang-barang
dan jasa) terhadap input (tenaga kerja, modal, material dan energi). Levitan (1984),
merumuskan produktivitas adalah hubungan antara kuantitas barang-barang atau jasa-jasa
yang diproduksi selama periode tertentu dan input tenaga kerja, modal dan sumber alam
yang dipergunakan dalam proses produksi. Sudomo (1988), menyatakan produktivitas
pada dasarnya adalah sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu
kehidupan hari ini lebih baik dari pada hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini.
John Suprihanto (1988), mengartikan bahwa produktivitas sebagai sumber-sumber
ekonomi untuk menghasilkan sesuatu atau diartikan juga perbandingan antara pengorbanan
(input) dengan penghasilan (output). Selanjutnya dijelaskan bahwa semakin kecil
pengorbanan yang dipakai untuk mencapai target penghasilan atau output tertentu, maka
perusahaan tersebut semakin produktif. Sebaliknya semakin tinggi persyaratan yang
diperlukan atau input untuk mencapai penghasilan tertentu dikatakan produktif.
Menurut Muchdarsyah (1995), produktivitas dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu: (a) Rumusan tradisional bagi keseluruhan produktivitas tidak lain adalah ratio dari
pada apa yang dihasilkan (output) terhadap keseluruhan peralatan produksi yang
dipergunakan (input); (b) Produktivitas pada dasarnya adalah suatu sikap mental yang
selalu mempunyai pandangan bahwa hari ini lebih baik daripada hari kemarin dan hari
esok lebih baik dari hari ini; (c) Produktivitas merupakan interaksi terpadu secara serasi
dari tiga faktor esensial yakni, investasi termasuk penggunaan pengetahuan dan teknologi
serta manajemen dan tenaga kerja.
Definisi tersebut antara lain menyatakan bahwa produktivitas adalah interaksi terpadu
antara tiga faktor yang mendasar yaitu : investasi, manajemen, dan tenaga kerja. Investasi
yang dimaksud adalah modal, karena modal merupakan landasan gerak suatu usaha,
dengan modal tidaklah cukup, untuk itu harus ditambah komponen lain yaitu teknologi
yang berkaitan dengan masalah riset. Melalui riset akan dapat dikembangkan
penyempurnaan produk atau bahkan dapat menemukan formula-formula baru untuk
kemajuan suatu usaha. Keterpaduan antara modal, teknologi dan riset akan membawa
perusahaan berkembang, dan dengan perkembangan itu, maka output akan meningkat.
Pengukuran Produktivitas
Setiap manajemen industri semestinya menetapkan secara formal sistem pengukuran
produktivitas perusahaan dan karyawannya, sebelum melangkah lebih jauh ketahap
perencanaan dan evaluasi terhadap produktivitas dari sistem indutri bersangkuan. Untuk
menjamin efektivitas keberhasilan peningkatan produktivitas perusahaan, maka pemilihan
atau penentuan indikator-indikator pengukuran produktivitas harus disesuaikan dengan
situasi dan kondisi dari sistem industri yang ada. Dengan demikian pemilihan indikator
pengukuran produktivitas harus mengacu pada kebutuhan dari perusahaan bersangkutan.
Pengukuran produktivitas dapat dilakukan pada masing-masing departemen atau
bagian, dan pengukuran dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa indikator
yang secara mendasar mengacu pada konsep kualitas, efektivitas dan efisiensi. Pengukuran
produktivitas di bagian produksi dapat mempertimbangkan beberapa indikator
produktivitas yang mengacu pada konsep kualitas, efektivitas dan efisiensi (Gaspersz
2000). Misalnya dapat dilakukan dengan cara membandingkan antara kuantitas
dan
kualitas produksi dengan penggunaan material / energi, antara jam kerja aktual dengan jam
kerja standar, dan antara produksi aktual dengan target produksi.
Menurut Winaya (1989), tidak ada teknik pengukuran produktivitas yang terbaik,
yang terpenting adalah ketaatan (konsistensi) penggunaannya. Namun yang paling sering
digunakan adalah ukuran produktivitas tenaga kerja, karena ada anggapan bahwa unsur
tenaga kerja itu adalah yang paling dominan di dalam melaksanakan berbagai jenis
produksi, di samping unsur tenaga kerja itu memang paling mudah diukur.
Menurut Rusli Syarif (1986) pengukuran produktivitas dapat ditunjukkan sebagai
sebuah model sebagai berikut.
P=
O
I
P = Produktivitas
O = Output
I = Input
Ukuran output dapat dinyatakan dalam bentuk seperti berikut : 1) Jumlah satuan fisik
produk / jasa, 2) Nilai rupiah produk / jasa, 3) Nilai tambah, 4) Jumlah pekerjaan / kerja, 5)
Jumlah laba kotor.
Ukuran input dapat dinyatakan dalam bentuk seperti berikut : 1) Jumlah waktu, 2)
Jumlah tenaga kerja, 3) Jumlah jam orang, 4) Jumlah biaya tenaga kerja, 5) Jumlah jam
mesin, 6) Jumlah biaya penyusutan dan perawatan mesin, 7) Jumlah material, 8) Jumlah
seluruh biaya pengusahaan, 9) Jumlah luas tanah.
Cara-cara Meningkatkan Produktivitas
Pengertian produktivitas, pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha
untuk meningkatkan mutu kehidupan kesadaran hari ini harus lebih baik dari hari kemarin.
Pandangan hidup dan sikap mental demikian akan mendorong manusia untuk tidak cepat
merasa puas akan tetapi harus lebih mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan
kerja secara terus-menerus.
Untuk definisi kerja, produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai
(keluaran) dengan keseluruhan sumber daya (masukan) yang dipergunakan per satuan
waktu. Walaupun secara teori dapat dilakukan akan tetapi dalam prakteknya sukar
dilaksanakan terutama karena sumber daya manusia yang dipergunakan pada umumnya
terdiri dari banyak macam dan dalam proporsi yang berbeda. Maka untuk meningkatkan
produktivitas suatu negara / sektor, mustahil dapat diperoleh jika tidak ada perbaikan
dalam produktivitas pada tingkat perusahaan tersebut. Menurut buku seri produktivitas
VIII, (dalam Sedarmayanti, 2001) Produktivitas dan Pengukuran yang diterbitkan
Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas (SIUP) Jakarta, 1989,dinyatakan ada 4
cara dalam meningkatkan produktivitas antara lain :
a. Meningkatkan keluaran sedangkan masukan dipertahankan atau tetap.
b. Keluaran tetap tetapi masukan diturunkan.
c. Keluaran naik lebih besar, masukan naik lebih kecil.
d. Keluaran turun, masukan turun lebih besar.
Ada sejumlah teknik peningkatan produktivitas lainnya seperti manajemen, metode
perencanaan (analisis masalah kritis, evaluasi program dan teknik pengulasan, analisis
jaringan kerja dan sebagainya), evaluasi laba dan biaya penggunaan komputer, analisa
sistem dan lain-lainnya yang telah diterangkan secara menyeluruh dalam literatur
manajemen. Jadi semua teknik peningkatan produktivitas bagi para pekerja lapangan
maupun tata usaha terutama diarahkan untuk : mempertinggi kemampuan perorangan dan
mengembangkan sikap positif para pegawai atau dengan perkataan lain mengembangkan
kemauan untuk bekerja lebih baik.
Manfaat Pengukuran Produktivitas
Suatu organisasi perusahaan perlu mengetahui pada tingkat produktivitas mana
perusahaan itu beroperasi, agar dapat membandingkannya dengan produktiviatas standar
yang telah ditetapkan manajemen, mengukur tingkat perbaikan produktivitas dari waktu ke
waktu, dan membandingkan dengan produktivitas industri sejenis yang menghasilkan
produk serupa. Hal ini menjadi penting agar perusahaan itu dapat meningkatkan daya saing
dari produk yang dihasilkan di pasar global yang amat kompetitif.
Menurut Garpersz (1998), terdapat beberapa manfaat pengukuran produktivitas
dalam suatu organisasi perusahaan, sebagai berikut :
a. Perusahaan
dapat
menilai
efisiensi
konversi
sumber
dayanya,
agar
dapat
meningkatkan produktivitas melalui efisiensi penggunaan sumber-sumber daya itu.
b. Perencanaan sumber-sumber daya akan menjadi lebih efektif dan efisien melalui
pengukuran produktivitas, baik dalam perencanaan jangka pendek maupun jangka
panjang.
c. Tujuan ekonomis dan nonekonomis dari perusahaan dapat diorganisasi kembali dengan
cara memberikan prioritas tertentu dipandang dari sudut produktivitas.
d. Perencanaan target produktivitas di masa mendatang dapat dimodifikasi kembali
berdasarkan informasi pengukuran tingkat produktivitas sekarang.
e. Strategi untuk meningkatkan produktivitas perusahaan dapat ditetapkan berdasarkan
tingkat kesenjangan produktivitas (productivity gap) yang ada diantara tingkat
produktivitas yang direncanakan (produktivitas ekspektasi) dan tingkat produktivitas
yang diukur (produktivitas aktual). Dalam hal ini pengukuran produktivitas akan
memberikan informasi dalam mengidentifikasi masalah-masalah atau perubahanperubahan yang terjadi, sehingga tindakan korektif dapat diambil.
f. Pengukuran produktivitas perusahaan akan menjadi informasi yang bermanfaat dalam
membandingkan tingkat produktivitas diantara organisasi perusahaaan dalam industri
sejenis serta bermanfaat pula untuk informasi produktivitas industri skala nasional
maupun global.
g. Nilai-nilai produktivitas yang dihasilkan dari suatu pengukuran dapat menjadi
informasi yang berguna untuk merencanakan tingkat keuntungan dari perusahaan itu.
h. Pengukuran produktivitas akan menciptakan tindakan-tindakan kompetitif berupa
upaya-upaya
peningkatan
produktivitas
terus-menerus
(continous
productivity
improvement).
i. Pengukuran produktivitas terus-menerus akan memberikan informasi yang bermanfaat
untuk menentukan dan mengevaluasi kecenderungan perkembangan produktivitas
perusahaan dari waktu ke waktu.
j. Pengukuran produktivitas akan memberikan informasi yang bermanfaat dalam
mengevaluasi perkembangan dan efektivitas dari perbaikan terus menerus yang
dilakukan dalam perusahaan itu.
k. Pengukuran produktivitas akan memberikan motivasi kepada orang-orang untuk secara
terus menerus melakukan perbaikan dan juga akan meningkatkan kepuasan kerja.
Orang-orang akan lebih memberikan perhatian kepada pengukuran produktivitas
apabila dampak dari perbaikan produktivitas itu terlihat jelas dan dirasakan langsung
oleh mereka.
l. Aktivitas perundingan bisnis (kegiatan tawar-menawar) secara kolektif dapat
diselesaikan secara rasional, apabila telah tersedia ukuran-ukuran produktivitas.
Faktor-faktor Yang Berpengaruhi terhadap Produktivitas Tenaga Kerja
Setiap organisasi atau manajeman perusahaan akan selalu berusaha untuk
meningkatkan semangat dan kegairahan kerja karyawan yang mengarah pada peningkatan
efektivitas dan efisiensi penggunaan sumber daya produksi dan SDM. Keberhasilan dari
perusahaan dalam meningkatkan semangat dan kegairahan karyawannya akan banyak
memberikan keuntungan bagi perusahaan, karena pekerjaan akan dapat diselesaikan
dengan lebih cepat, pemborosan waktu, tenaga dan kerusakan dapat dikurangi, yang pada
gilirannya produktivitas perusahaan dan karyawannya dapat ditingkatkan.
Menurut Tohardi (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
sektor
industri adalah mutu sumber daya yang digunakan termasuk sumber daya modal, lahan,
mesin dan peralatan, bahan baku dan manusia (SDM). Dalam hal ini faktor manusia dan
peralatan sebagai faktor yang menentukan.
Faktor-faktor produktivitas di tingkat unit usaha (organisasi perusahaan) adalah : (1)
Rasio penempatan mesin atau modal per tenaga kerja, (2) Keterampilan tenaga kerja, (3)
Kualitas material yang digunakan dalam proses produksi, dan (4) Hubungan yang ada
antar karyawan, dan antar karyawan dengan pihak manajemen.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas di tingkat individu atau
perorangan adalah : (1) faktor pendidikan, (2) pelatihan, keterampilan, (3) disiplin, (4)
sikap dan etika kerja, (5) motivasi, (6) gizi dan kesehatan, (7) tingkat penghasilan, (8)
jaminan sosial, (9) lingkungan dan iklim kerja, (10) hubungan industrial, (11) peralatan
dan teknologi, (12) kesempatan kerja, dan (13) kesempatan berprestasi (Tohardi, 2002).
Siagian, (1986) mengemukakan faktor-faktor penentu produktivitas sebagai berikut :
a. Cara penggunaan waktu yang telah tersedia baginya untuk menghasilkan barang dan
jasa tertentu. Contohnya : adanya jadwal pekerjaan, kapan seseorang mulai bekerja dan
berhenti bekerja setiap hari.
b. Produktivitas manusia adalah menggalakkan produktivitas tidak hanya melibatkan
nilai-nilai teknis dan administrasi, tetapi juga nilai-nilai etis dan moral.
c. Faktor sarana dan prasarana yaitu mengusahakan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi terobosan dalam bentuk apapun. Memelihara sarana dan prasarana yang tersedia
sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai dan masa pakai setinggi dan selama
mungkin.
Sedangkan menurut Winaya (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
tenaga kerja di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Pendidikan, tenaga kerja yang berpendidikan lebih mudah mengerti tentang hal-hal
yang diperintahkan untuk mengerjakannya. Cepat tanggap, cepat menerima pendapat
dan pandangan orang lain atau dari pimpinan.
b. Keterampilan, dapat dibedakan kedalam tiga kategori yaitu teknis, antarpribadi dan
pemecahan masalah. Kebanyakan kegiatan pelatihan berupaya memodifikasi satu atau
lebih dari keterampilan itu. Keterampilan teknis mengarah kepada kemampuan
karyawan dalam mengoperasikan alat produksi. Keterampilan antarpribadi yaitu
kemampuan karyawan berinteraksi dengan karyawan lainnya. Sedangkan keterampilan
dalam memecahkan masalah mencakup kegiatan untuk mempertajam logika,
penalaran, keterampilan mendefinisikan dan menilai masalah, mengembangkan
alternatif, menganalisis alternatif serta memilih alternatif pemecahannya. Makin
trampil tenaga kerja itu, makin cepat ia mengerjakan sesuatu, akibat mereka sudah
sangat terlatih; jadi ia bekerja dengan sangat profesional.
c. Disiplin, adalah sikap kejiwaan dari seseorang atau kelompok orang yang senantiasa
berkehendak untuk mengikuti atau mematuhi segala aturan atau keputusan yang telah
ditetapkan. Pengertian disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan
atau tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa ketaatan terhadap
peraturan-peraturan atau ketentuan yang ditetapkan pemerintah atau organisasi untuk
tujuan tertentu. Dengan demikian tenaga kerja yang bersikap mental disiplin, karena ia
selalu taat kepada segala aturan tertulis maupun tidak tertulis, sangat mudah ditertibkan
dan bekerja dengan sungguh-sungguh atau serius.
d. Sikap mental dan etika kerja, merupakan suatu tanggapan, evaluasi atau deskripsi
pemikiran yang dimiliki seseorang tentang sesuatu yang didasari atas pengetahuan,
pendapat atau keyakinan nyata. Sikap adalah evaluasi perasaan dan kecendrungan
seseorang yang relatif konsisten terhadap sesuatu objek atau gagasan. Etika merupakan
aturan atau sopan santun. Dengan demikian apabila tenaga kerja itu bersikap mental
dan beretika kerja profesional pada umumnya mempunyai rasa tanggung jawab dan
bekerja keras dan bersungguh-sungguh pada setiap tugas yang diberikan atau
dibebankan kepadanya.
e. Motivasi, adalah keadaan jiwa dan sikap mental manusia yang memberikan energi,
mendorong kegiatan atau gerakan yang mengarah, atau menyalurkan perilaku ke arah
mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.
Kubutuhan-kebutuhan tersebut timbul akibat dari hubungan antara manusia dalam
proses produksi atau hubungan industrial. Dengan demikian motivasi dapat diartikan
sebagai bagian integral dari hubungan industrial dalam rangka proses pembinaan,
pengembangan dan pengarahan sumber daya manusia dalam suatu perusahaan.
Motivasi juga dapat diartikan sebagai daya pendorong yang menyebabkan seseorang
berbuat lebih giat dari biasanya untuk mencapai sesuatu tujuan seperti ingin lebih
berprestasi, menambah keahlian, dan meningkatkan jabatan atau karir.
f. Gizi dan kesehatan, sangat dipentingkan untuk kekuatan fisik dan konsentrasi bagi
tenaga kerja, sehingga dirasa segar selalu dalam menunaikan tugasnya. Untuk
mencapai tingkat gizi dan kesehatan yang baik seseorang karyawan harus
memperhatikan kualitas dan kuantitas asupan makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Dengan asupan makanan yang bergizi, sudah jelas akan meningkatkan kesehatan, dan
pada gilirannya mereka dapat bekerja lebih kuat, lebih segar dan lebih berkonsentrasi.
g. Tingkat penghasilan, tenaga kerja bekerja untuk tujuan mendapatkan penghasilan guna
menghidupi dirinya beserta keluarganya secara layak. Jelas dalam hal ini tingkat
penghasilan cukup dominan dapat mempengaruhi tingkat produktivitas. Penghasilan
merupakan tenaga pendorong yang utama bagi seseorang untuk bekerja, sehingga
secara tidak langsung penghasilan inilah yang juga mendorong orang untuk
meningkatkan produktivitas kerjanya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari
Subagyo (1999), pada perawat RSUD “Ngudi Waluyo”, bahwa penghasilan
berpengaruh positif terhadap produktivitas kerja perawat.
h. Jaminan sosial, sama dengan tingkat penghasilan, jaminan sosial merupakan sesuatu
yang dapat menambah pendapatan tenaga kerja sebagai pelengkap pemenuhan
kebutuhan tenaga kerja beserta keluarganya berpengaruh besar terhadap produktivitas.
i. Lingkungan dan iklim kerja, cukup berpengaruh terhadap produktivitas karena dengan
lingkungan dan iklim kerja yang baik dapat menimbulkan rasa tenang dan aman bagi
karyawan dalam bekerja.
j. Hubungan Industrial Pancasila, hubungan kerja yang sangat manusiawi dalam
perlakuan bagi tenaga kerja akan dapat lebih menjamin ketenangan kerja karyawan.
k. Teknologi, makin profesional dan terampilnya tenaga kerja dapat mempercepat proses
kerja tersebut, sehingga memperbaiki rasio produktivitas melalui cara-cara tersebut
meningkatkan produktivitas. Penggunaan teknologi modern dalam proses produksi
berdampak sangat besar terhadap peningkatan produktivitas perusahaan dan karyawan.
l. Manajemen, baik buruknya manajemen dalam suatu organisasi, juga sangat
menentukan betah tidaknya atau tenang tidaknya karyawan itu bekerja. Kepemimpinan
yang kurang terpuji dari seorang pemimpin organisasi, dapat memerosotkan semangat
kerja karyawan, yang pada gilirannya dapat menurunkan produktivitas perusahaan.
m. Sarana produksi, tersedianya sarana produksi secara memadai sangat penting artinya
bagi tenaga kerja untuk dapat bekerja secara lebih sempurna, karena kualitas kerja
tidak akan dapat dicapai hanya dengan kemampuan pengetahuan serta keterampilan,
tanpa didukung oleh sarana-prasarana pendukung secara memadai.
n. Kesempatan berprestasi, diberikannya suatu kesempatan bagi karyawan untuk
berprestasi sangat perlu diusahakan dalam rangka pengembangan karyawan tersebut.
Apabila tidak didapat, jelas dirasa kurang adil dan dapat mengurangi kegairahan kerja.
Berdasarkan teori yang telah diuraikan secara keseluruhan maka diungkapkan bahwa,
produktivitas diukur berdasarkan variabel pendidikan, keterampilan, disiplin, sikap mental
dan etika kerja, motivasi, tingkat penghasilan, jaminan sosial, lingkungan dan iklim kerja,
hubungan industrial pancasila, teknologi, sarana produksi, manajemen, dan kesempatan
berprestasi. Seluruh variabel-variabel tersebut lebih banyak bersifat eksternal atau yang
menyangkut diluar diri manusia itu sendiri, sedangkan variabel internal dari manusia itu
sendiri kurang diperhatikan seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, pelatihan,
jabatan, aktivitas, dan masa kerja.
3. Simpulan
Setiap manajemen suatu organisasi atau perusahaan akan secara terus-menerus
berupaya untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di perusahaan tersebut, karena
peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu variabel penting yang dapat
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan.
Ada faktor yang dapat mempengaruhi tingkat produktivitas tenaga kerja di suatu
perusahaan, dan faktor dominan yang dapat mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di
satu perusahaan, dengan yang lain sering berbeda-beda.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja antara lain : pendidikan,
keterampilan, disiplin, sikap mental dan etika kerja, motivasi, gizi dan kesehatan,
lingkungan dan iklim kerja, hubungan industrial pancasila, teknologi, sarana produksi,
kompensasi, manajemen dan kesempatan berprestasi.
Daftar Pustaka
Atmosoeprapto Kisdarto, 2001, Produktivitas Aktualisasi Budaya Perusahaan, Jakarta :
Kelompok Gramedia.
Gaspersz, Vincent, 2000. Manajemen Produktivitas Total, Strategi Peningkatan
Produktivitas Bisnis Global, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka.
Sedarmayanti, 2001. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja, Bandung : Penerbit
CV. Mandar Maju.
Subagyo, 1999. Produktivitas Kerja Perawat Pada RSUD Ngudi Waluyo, Wlingi, Blitar.
Tesis Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. Tidak diterbitkan.
Tohardi Ahmad, 2002. Pemahaman Praktis Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung :
Penerbit Mandar Maju.
Winaya, Kuna, 1989. Manajemen Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi Universitas
Udayana.
PRODUKTIVITAS KERJA SEORANG PRAMU GRAHA
DALAM MENATA SEBUAH KAMAR
PADA HOTEL BERBINTANG DI BALI
I Gede Sudarta
Dosen Program Studi Perhotelan, Jurusan Pariwisata, Politeknik Negeri Bali
Abstract
The duty of maintaining the guest room will be carried out by a particular staff called
Room Attendant or Room Boy /Maid. It is a must for any room attendant to be able to
make-up room in accordance with the hotel Standard Operating Procedure (SOP). This
each SOP is different from one hotel to another, however they have the same purpose is to
give the satisfaction to every guest who stay at the hotel. In caring out the duty a room
attendant is greatly influenced by some factors both internally or externally.
Within Cluster Sampling and Incidental Sampling against of 100 Room Attendant of
stars hotel at Bali Tourist Resort, shows that factors which influence productivity in makeup guest room. Those factors are included the size of the room, facilities and guest room
supplies, room type, the buildings, the cleaning technique, work equipments, the skill and
knowledge, the burden of work, the supervising, and chemical
Key words : Productivity, room attendant, make-up room
1. Pendahuluan
Industri pariwisata telah berkembang dengan pesatnya dari masa ke masa, terbukti
dari semakin banyaknya orang yang melakukan kegiatan wisata dan juga jumlah uang yang
dibelanjakan untuk kegiatan tersebut, hal ini dimungkinkan oleh karena : (1) Semakin
meningkatnya jumlah penduduk dunia, demikian juga jumlah penduduk dunia yang
mampu melakukan perjalanan dan berwisata ke daerah lain ; (2) Semakin bertambahnya
uang atau dana yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan wisata ; (3) Semakin
tersedianya waktu yang luang serta kesempatan yang bisa digunakan untuk berwisata ; (4)
Semakin mudahnya cara melakukan perjalanan, lebih cepat dan lebih menyenangkan ; (5)
Kecenderungan semakin tingginya biaya hidup, terutama di negara maju yang mendorong
orang melakukan perjalanan wisata ke daerah lain yang biaya hidupnya lebih rendah
Hotel merupakan bagian yang integral dari usaha pariwisata yang menurut Keputusan
Menparpostel disebutkan sebagai suatu usaha akomodasi yang dikomersilkan dengan
menyediakan fasilitas-fasilitas sebagai berikut : (1) Kamar tidur (kamar tamu) ; (2)
Makanan dan minuman ; (3) Pelayanan-pelayanan penunjang lain seperti : tempat-tempat
rekreasi, fasilitas olah raga, fasilitas dobi (laundry) dsb. (Sulastiyono, 1999 : 11).
Di Indonesia, hotel diklasifikasikan dari mulai hotel dengan bintang satu sampai
dengan hotel bintang lima. Klasifikasi hotel berbintang tersebut secara garis besar
didasarkan pada : (1) Besar / kecil atau banyaknya jumlah kamar ; (2) Lokasi hotel ; (3)
Fasilitas-fasilitas yang dimiliki hotel ; (4) Kelengkapan peralatan ; (5) Spesialisasi dan
tingkat pendidikan karyawan ; (6) Kualitas bangunan dan (7) Tata letak ruang
(Sulastiyono, 1999 : 17).
Kegiatan utama dari usaha hotel adalah menyewakan kamar kepada tamu. Untuk bisa
memberikan kepuasan kepada tamu, keadaan kamar yang disewakan harus berada dalam
keadaan bersih, nyaman, menarik dan aman (bebas dari berbagai kemungkinan terjadinya
kecelakaan, pencurian dan penyakit) (Sulastiyono, 1999 : 25).
Jenis-jenis kamar menurut fasilitas yang tersedia adalah berbeda dari satu hotel
dengan hotel yang lain, hal tersebut karena harga kamar selalu dikaitkan dengan
kelengkapan fasilitas kamar. Makin lengkap fasilitas kamarnya, makin mahal pula
harganya. Adapun fasilitas standar yang terdapat pada masing-masing jenis kamar tersebut
adalah sebagai berikut : Kamar mandi private (bath room) ; tempat tidur (jumlah dan
ukurannya sesuai dengan jenisnya) ; ruang tidur ; almari pakaian (cup board) ; telepon ;
radio dan televisi ; meja rias / tulis (dressing table) rak untuk menyimpan koper (luggage
rack) ; asbak, korek api, handuk, alat tulis (stationeries) (Sulastiyono, 1999 : 26).
Bahwa kamar yang bersih, segar dan aman, nyaman, tenang serta menarik adalah
merupakan produk utama yang harus tersedia dan harus dapat diberikan kepada costumer
yang menginap di hotel sebagai pembeli. Kondisi tersebut harus dapat dipenuhi agar tamu
yang menginap merasa puas dan tidak kecewa, serta merasa seperti berada di rumahnya
sendiri. Dalam upaya mewujudkan semua keinginan dan harapan serta persyaratan tersebut
secara totalitas produk suatu hotel harus memperhatikan tiga unsur pokok yaitu : (1)
Fasilitas fisik, berupa bangunan, perlengkapan dan perolehan yang secara teknis
merupakan unsur pokok, jumlah dan kualitas yang diperlukan keberadaannnya untuk dapat
terwujud sebagaimana kriteria/ketentuan yang diisyaratkan ; (2) Operasional dan
manajemen, keadaan berfungsinya semua bangunan, perlengkapan dan peralatan dalam
fungsi beroperasinya suatu hotel. Berfungsinya semua perlengkapan dan peralatan adalah
sebagai hasil manajemen (pengelolaan) ; (3) Pelayanan, berbagai jenis jasa yang tersedia
terutama dihasilkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas serta didukung oleh
peralatan atau teknologi yang memadai bagi status hotel yang telah disandang (Musanef,
1995 : 232).
Hotel adalah jenis usaha penjualan jasa pelayanan atau “service” sehingga peranan
karyawan, dalam hal kepribadiannya, pembawaan serta penampilannya akan berpengaruh
sekali didalam memberikan pelayanan disamping segi keterampilannya (Mangkuwerdoyo,
1999a : 9).
Untuk memberikan kepuasan kepada tamu yang menginap di hotel
memerlukan tingkat keterampilan seseorang dalam menata kamar tersebut. Apalagi
perlengkapan kamar yang sesuai dengan standar yang ditentukan untuk sebuah kamar hotel
sedemikian banyaknya.
Seorang pramu graha dituntut untuk dapat menata kamar dengan baik dan benar
sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yang ditentukan oleh masing-masing
hotel. Dimana SOP masing-masing hotel berbeda antara satu hotel dengan hotel yang
lainnya, namun dengan harapan yang sama yaitu memberikan kepuasan kepada tamu yang
menginap di hotel tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut seorang pramu graha
akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor dari dalam diri sendiri (faktor internal)
maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Dari hal tersebut di atas maka permasalahan
yang akan diteliti adalah :
a. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang Pramu Graha
dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali ?
b. Apakah ada persamaan atau perbedaan persepsi pramu graha antara jenis kelamin dan
masa kerja, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pramu graha
dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali ?
2. Kajian Pustaka
Menurut Payaman Simanjuntak, yang dikutip oleh Taliziduhu Ndraha, dinyatakan
bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : (1) Kualitas dan
kemampuan fisik kayawan ; (2) Sarana pendukung ; (3) Supra sarana (Ndraha, 1999 : 45).
Produktivitas kerja seorang pramu graha adalah cara pemanfaatan waktu yang telah
ditetapkan oleh pihak manajemen kepada pramu graha untuk menyiapkan kamar tamu,
yang meliputi menata tempat tidur, membersihkan kamar mandi, dan melengkapi kamar
tamu dengan perlengkapan yang telah ditentukan (Agusnawar, 2000 : 136).
Pada dasarnya standar produktivitas pramu graha di setiap hotel berbeda. Perbedaan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor , yaitu : ukuran dan luas kamar, fasilitas dan
perlengkapan kamar, tipe kamar, bentuk bangunan hotel, dan teknik pembersihan yang
diterapkan dalam kamar (Agusnawar, 2000 : 56).
Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pramu
graha pada suatu hotel antara lain : peralatan kerja, keterampilan dan pendidikan dari
pramu graha, beban kerja pramu graha, bentuk bangunan hotel, fasilitas kamar hotel,
teknik pembersihan, dan pengawasan (Agusnawar, 2000 : 138).
Menurut pendapat S K Chan, yang dikutip oleh Agusnawar, dinyatakan bahwa
pendidikan sangat menentukan kualitas pelaksanaan kerja pramu graha. Oleh karena itu,
seorang pramu graha harus mempunyai keterampilan, latihan, dan pendidikan supaya dapat
bekerja dengan cepat dan memberikan hasil yang memuaskan (Agusnawar, 2000 : 139).
Tingkat produktivitas pramu graha akan dipengaruhi oleh kemampuannya
(pengetahuan, keterampilan dan prilaku) dalam melaksanakan tugasnya membersihkan
kamar-kamar tamu, dengan menggunakan seluruh peraralatan dan bahan pembersih yang
tersedia (Sulastiyono, 1999 : 126).
Dalam hand out Tata Graha dan Binatu 2 disebutkan bahwa, pada garis besarnya halhal yang dilakukan dalam menata kamar (make up room) adalah sebagai berikut : (1) Clear
up linen dan cleaning ; (2) Making bed ; (3) Dusting secara menyeluruh ; (4) Melengkapi
guest supplies ; (5) Cleaning the bath room dan melengkapi bath room supplies ; (6)
Vacuuming carpet ; (7) Check terakhir kali (Sudarta, 1999 : 25).
Sekarang ini telah dikenal suatu sistem dalam menata kamar, yang dikenal dengan
istilah 20 langkah mempersiapkan kamar tidur tamu hotel (20 steps procedure). Untuk
waktu yang akan datang sejalan dengan perkembangan teknologi, bukan tidak mungkin
ada cara yang lebih praktis dan efisien (Perwani, 1992 : 59). Adapun 20 steps procedure
dimaksud adalah : (1) Entering the room ; (2) Turn on every light ; (3) Take a good look ;
(4) Open the window draperies ; (5) Open the window ; (6) Cleaning up ; (7) Gathering
soiled linen ; (8) Saving steps ; (9) Enter the bath room ; (10) Clean the bath tub ; (11)
Clean toilet bowl ; (12) Clean wash basin counter ; (13) Clean bath room floor ; (14) &
(15) Closet & drawers ; (16) Waste basket ; (17) Making the bed ; (18) Dusting ; (19) The
Floor ; (20) Take a last look.
3. Metode Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 100 orang
pramu graha pada kawasan pariwisata di Bali. Teknik sampling yang dipergunakan adalah
Cluster Sampling dan Incidental Sampling.Sedangkan data dianalisis dengan teknik
kualitatif yaitu analisis deskriptif, juga akan dianalisis dengan teknik analisis kuantitatif.
Teknik analisis kuantitatif yang dipergunakan adalah analisis statistik Spearman Rank 10
peringkat, dengan formula :
ρ=1–
6 Σ bi2
Keterangan :
bi2 = Jumlah kuadrat perbedaan antar ranking
n = Jumlah masing-masing kelompok data
n (n2 – 1)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kesamaan persepsi antara
pramu graha laki-laki dengan perempuan dan pramu graha dengan masa kerja kurang dari
5 tahun dengan lebih dari 5 tahun.
4. Hasil dan Pembahasan
Karakteristik responden yang didapatkan dari tabulasi data kuesioner sejumlah 100 adalah
sebagai berikut : (1).Responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 70 orang ;
(2).Responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 30 orang ; (3).Responden yang telah
bekerja sebagai pramu graha kurang dari 5 tahun sebanyak 75 orang ; (4).Responden yang
telah bekerja sebagai pramu graha lebih dari 5 tahun sebanyak 25 orang
Tabel 1
Skor Seluruh Responden
No Rangking Kode Skor
Keterangan
1
1
B
350 Fasilitas dan perlengkapan kamar
2
2
D
382 Keterampilan dan pendidikan
3
3
A
404 Ukuran dan luas kamar
4
4
C
450 Teknik pembersihan
5
5
E
519 Peralatan kerja
6
6
F
609 Tipe atau jenis kamar
7
7
G
647 Bentuk bangunan hotel
8
8
I
666 Bahan pembersih
9
9
J
726 Pengawasan
10
10
H
747 Beban kerja
Sumber : Diolah dari Hasil Penelitian, 2005.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa rangking dari faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel
berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1). Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (2).
Keterampilan dan pendidikan ; (3). Ukuran dan luas kamar ; (4). Teknik pembersihan ; (5).
Peralatan kerja ; (6). Tipe atau jenis kamar; (7). Bentuk bangunan hotel ; (8). Bahan
pembersih ; (9). Pengawasan ; (10). Beban kerja.
Dengan mengelompokkan responden pramu graha laki-laki dan perempuan untuk
melihat apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap rangking faktor-faktor atau apakah
antara pramu graha laki-laki dan perempuan ada persamaan atau perbedaan faktor-faktor
yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar
pada hotel berbintang di Bali.
Tabel 2
Skor Responden Menurut Jenis Kelamin
Pramu Graha Laki Laki Pramu Graha Perempuan
Rangking Kode Skor Rangking Kode Skor
1
1
B
230
1
A
113
2
2
D
265
2
D
117
3
3
A
291
3
B
120
4
4
C
305
4
C
145
5
5
E
364
5
E
155
6
6
F
428
6
F
181
7
7
G
457
7
G
190
8
8
I
470
8
I
196
9
9
H
519
9
J
205
10
10
J
521
10
H
228
Sumber : Diolah Dari Hasil Penelitian, 2005.
No
Keterangan : A.Ukuran dan luas kamar ; B.Fasilitas dan perlengkapan kamar ;
C.Teknik pembersihan ; D. Keterampilan dan pendidikan ; E. Peralatan kerja ;
F. Tipe atau jenis kamar ; G. Bentuk bangunan hotel ; H. Beban kerja ; I.
Bahan pembersih ; J. Pengawasan
Dari Tabel 2 di atas didapatkan bahwa rangking dari faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha laki- laki dalam menata sebuah
kamar pada hotel berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1). Fasilitas dan
perlengkapan kamar ; (2). Keterampilan dan pendidikan ; (3). Ukuran dan luas kamar ; (4).
Teknik pembersihan ; (5). Peralatan kerja ; (6). Tipe atau jenis kamar ; (7). Bentuk
bangunan hotel ; (8). Bahan pembersih ; (9). Beban kerja ; (10). Pengawasan
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa rangking dari faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha perempuan dalam menata sebuah
kamar pada hotel berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1). Ukuran dan luas kamar ;
(2). Keterampilan dan pendidikan ; (3). Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (4). Teknik
pembersihan ; (5). Peralatan kerja ; (6). Tipe atau jenis kamar ; (7). Bentuk bangunan hotel
; (8). Bahan pembersih ; (9). Pengawasan ; (10). Beban kerja
Jika dilihat data di atas ada sedikit perbedaan rangking antara pramu graha laki-laki
dengan perempuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja
seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali. Namun
untuk lebih memastikan hasil data tersebut akan dianalisis dengan analisis statistik, dengan
menggunakan analisis Korelasi Rank Spearman, didapatkan B12 adalah 10, sehingga ρ
hitung menjadi 0,939
Jika hasil perhitungan tersebut dibandingkan dengan nilai koefisien dalam tabel Rho
dengan n = 10 dan taraf signifikansi 5 % sebesar 0,648 ternyata lebih kecil dari nilai
perhitungan sebesar 0,939. Hal ini berarti bahwa terdapat kesesuaian persepsi secara
signifikan antara kelompok pramu graha laki-laki dengan kelompok pramu graha
perempuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu
graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali.
Analisis lebih lanjut dilaksanakan yaitu melihat apakah ada perbedaan faktor-faktor
yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar
pada hotel berbintang di Bali, dengan melihat masa kerja atau lama kerja sebagai pramu
graha, yaitu antara yang sudah bekerja kurang dari 5 tahun dan lebih dari 5 tahun.
Tabel 3
Skor Responden Menurut Masa Kerja
Kurang dari 5 Tahun
Lebih dari 5 Tahun
Rangking Kode Skor Rangking Kode Skor
1
1
B
259
1
A
91
2
2
D
280
2
B
91
3
3
A
313
3
D
102
4
4
C
331
4
C
119
5
5
E
387
5
E
132
6
6
F
435
6
J
155
7
7
G
476
7
I
156
8
8
I
510
8
G
171
9
9
H
563
9
F
174
10
10
J
571
10
H
184
Sumber : Diolah Dari Hasil Penelitian, 2005
No
Keterangan : A.Ukuran dan luas kamar ; B.Fasilitas dan perlengkapan
kamar ; C.Teknik pembersihan ; D. Keterampilan dan pendidikan ; E.
Peralatan kerja ; F. Tipe atau jenis kamar ; G. Bentuk bangunan hotel ; H.
Beban kerja ; I. Bahan pembersih ; J. Pengawasan
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa rangking faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas kerja seorang pramu graha, dengan masa kerja kurang dari 5 tahun dalam
menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali, adalah sebagai berikut : (1).Fasilitas
dan perlengkapan kamar ; (2).Keterampilan dan pendidikan ; (3).Ukuran dan luas kamar ;
(4).Teknik pembersihan ; (5).Peralatan kerja ; (6).Tipe atau jenis kamar ; (7).Bentuk
bangunan hotel ; (8).Bahan pembersih ; (9).Beban kerja ; (10).Pengawasan
Dari Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa rangking faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas kerja seorang pramu graha dengan masa kerja lebih dari 5 tahun, dalam
menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali adalah sebagai berikut : (1).Ukuran dan
luas kamar ; (2).Fasilitas dan perlengkapan kamar ; (3).Keterampilan dan pendidikan ;
(4).Teknik pembersihan ; (5).Peralatan kerja ; (6).Pengawasan ; (7).Bahan pembersih ;
(8).Bentuk bangunan hotel ; (9).Tipe atau jenis kamar ; (10).Beban kerja
Untuk analisis statistik faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja seorang
pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali, dilihat dari
perbedaan masa kerja (kelompok kurang dari 5 tahun dan kelompok lebih dari 5 tahun),
dengan analisis Korelasi Spearman Rank didapatkan bahwa B12 adalah 34, sehingga ρ
hitung menjadi 0,794
Jika hasil perhitungan tersebut dibandingkan dengan nilai koefisien dalam tabel Rho
dengan n = 10 dan taraf signifikansi 5 % sebesar 0,648 ternyata lebih kecil dari nilai
perhitungan sebesar 0,794.
Hal ini berarti bahwa terdapat kesesuaian persepsi secara signifikan antara kelompok
pramu graha yang bekerja kurang dari 5 tahun dengan kelompok pramu graha yang sudah
bekerja lebih dari 5 tahun tentang faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja
seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali.
5. Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan :
a. Produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar pada hotel
berbintang di Bali dipengaruhi oleh faktor-faktor : fasilitas dan perlengkapan kamar ;
keterampilan dan pendidikan ; ukuran dan luas kamar ; teknik pembersihan ; peralatan
kerja ; tipe atau jenis kamar ; bentuk bangunan hotel ; bahan pembersih ; pengawasan ;
beban kerja.
b. Ada persamaan atau kesesuaian persepsi pramu graha antara jenis kelamin dan masa
kerja, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pramu graha
dalam menata sebuah kamar pada hotel berbintang di Bali.
Dengan kesimpulan tersebut di atas, maka peneliti menyarankan kepada manajemen
hotel untuk mempertimbangkan atau memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas dalam
meningkatkan produktivitas kerja seorang pramu graha dalam menata sebuah kamar hotel
berbintang.
Daftar Pustaka
Agusnawar. 2000 Operasional Tata Graha Hotel. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Anoraga, Panji dan Sri Suyati. 1995. Psikologi Industri dan Sosial. Jakarta : PT Dunia
Pustaka Jaya
Hasibuan, H Malayu SP. 2003. Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan
Produktivitas. Jakarta : PT Bumi Aksara
Kusumayadi dan Endar Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian Dalam Bidang
Kepariwisataan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Mangkuwerdoyo, Sudiarto. 1999a. Pengantar Industri Akomodasi & Restoran Jilid I.
Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Mangkuwerdoyo, Sudiarto. 1999b. Perkembangan Pengelolaan Industri Akomodasi &
Restoran Jilid II. Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia
Musanef. 1995. Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia. Jakarta : PT Toko Gunung
Agung
Marzuki. 2000. Metodologi Riset. Yogyakarta : PT Prasetia Widia Pratama
Ndraha, Taliziduhu. 1999. Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Jakarta : PT Rineka Cipta
Nurgiyantoro, Burhan dkk. 2000. Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Perwani, Yayuk Sri. 1992. Teori dan Petunjuk Praktek Housekeeping Untuk Akademi
Perhotelan, Make up Room. Jakarta Gramedia Pustaka Utama
Sudarta, I Gede. 1999. “Tata Graha dan Binatu 2”. Denpasar : Jurusan Pariwisata
Politeknik Negeri Bali
Sugiarto, Endar. 1999. Psikologi Pelayanan Dalam Industri Jasa. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
Sulastiyono, Agus. 1999. Seri Manajemen Usaha Jasa Sarana Pariwisata dan Akomodasi.
Bandung : CV Alfabeta.
Sihite, Richard. 2000a Hotel Management (Pengelolaan Hotel). Surabaya : SIC
Sihite, Richard. 2000b House Keeping (Tata Graha). Surabaya : SIC.
PEDOMAN PENULISAN BAGI PENGIRIM NASKAH
1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah
dipublikasikan sebelumnya.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa
Inggris). Abstrak tidak lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (key
words). Naskah berupa ketikan asli atau rekaman disket program word (windows)
dengan jumlah maksimal 15 hal ketikan kwarto spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan
kepustakaan.
3. Naskah ditulis dengan batas 4 cm dari kiri dan 3 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang
terlalu panjang harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5. Nama penulis tanpa gelar akademik dan alamat instansi penulis ditulis lengkap.
6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan,
kajian pustaka dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta
kepustakaan.
7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan,
masalah, pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) harus diberi judul serta
keterangan yang jelas. Gambar dicantumkan pada kertas tersendiri (tidak ditempel
pada kertas), di belakangnya ditulis dengan pensil (judul naskah dan penulis).
9. Setiap alenia baru diketik mundur 7 ketukan.
10. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun.
Contoh: Astina (1999); Suwena et al. (2001).
11. Daftar pustaka memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa
nomer urut, dengan krolologis.
a. Untuk buku: nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi,
tempat terbit dan nama penerbit.
Kirkwood, B.R. 1988. Essential of Medical Statistics. Second Edition. Oxford:
Blackwell Science.
b. Karangan dalam buku: nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul
karangan, inisial dan nama editor: judul buku, hal permulaan dan akhir
karangan, tempat terbitan dan nama penerbit.
McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism:
Economic Dualism and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L.
Smith (ed). Host and Guests: The Antropology of Tourism. Philadelphia:
University of Pensylvania Press. Hal. 22-34.
c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul
karangan, singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir.
Pitana, I Gde. 1998. “ Global Proces and Struggle for Identity: A Note on
Cultural Tourism in Bali, Indonesia.” Journal of Island Studies, Vol.I (1):
117-126.
d. Untuk Artikel dalam Format elektronik: Nama pokok dan inisial, tahun, judul,
waktu, alamat situs.
Morse, S.S. 1995. “ Factors in the Emergence of Infectious Disease,” Emer.
Infect. Dis. Iserial online), Jan-mar., {cited 1996 jun.5}. Available from:
URL:http:/www.cdc.gov./ccidodd/EID/eid.htm.
12. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara
penulisan yang baku untuk masing-masing bidang ilmu.
13. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah
dengan menyebutkan secara lengkap: nama, gelar dan penerima ucapan.
Download