BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumah Sakit Rumah sakit adalah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional
yang terorganisir serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan
pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis
serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (Azwar, 1996 ) .
2.2 Pengelompokan Rumah Sakit
Mengelompokan rumah sakit berdasarkan dua sudut pandang yaitu berdasarkan
jenis dan pengelolanya.
Berdasarkan jenisnya yaitu
1. Rumah Sakit Umum
2. Rumah Sakit JiwaRumah
3. Sakit Khusus yang meliputi :
A. Rumah Sakit Kusta
B. Rumah Sakit Tuberkulosis
C. Rumah Sakit Mata
D. Rumah Sakit Ortopaedi dan Protease
E. Rumah Sakit Bersalin
F. Rumah Sakit Khusus Spesialis lainnya.
4. Sedangkan menurut pengelolanya, rumah sakit dibedakan menjadi sebagai
berikut
A. Rumah Sakit Rumah Sakit Vertikal (Depkes RI)
B. Rumah Sakit Propinsi
C. Rumah Sakit Kabupaten/Kota
D. Rumah Sakit Tentara
E. Rumah Sakit Departemen lainnya.
F. Rumah Sakit Swasta (Anonim,1997)
2.3 Penggolongan Rumah Sakit
Penggolongan Rumah Sakit dibagi menjadi dua yaitu;
1. Berdasarkan pelayanannya:
A. Rumah Sakit Umum: RS yang memberikan pelayanan kesehatan semua
bidang dan jenis penyakit.
B. Rumah Sakit Khusus: RS yang memberikan pelayanan utama pada satu
bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya
2. Berdasarkan kepemilikan dan pengelolaannya:
A. Rumah Sakit Publik: RS yang dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan Badan Hukum yang bersifat Nirlaba
B. Rumah Sakit Privat: RS yang dikelola oleh Badan Hukum dengan tujuan
Profit yang berbentuk PT atau persero.
2.4 Tipe Golongan Rumah Sakit
Secara umum penggolongan rumah sakit didasarkan kepada kemampuan
rumah sakit tersebut memberikan pelayanan medis kepada pasien. Berdasarkan
sudut pandang tersebut ada lima tipe golongan rumah sakit di indonesia, yaitu
Rumah sakit tipe A, B, C, D dan E. Berikut penjelasanya;
2.4.1 Rumah Sakit Tipe A
Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan
subspesialis luas oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi (Top
Referral Hospital) atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat
2.4.2 Rumah Sakit Tipe B
Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran
spesialis dan subspesialis terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap Ibukota
propinsi yabg menampung pelayanan rujukan di rumah sakit kabupaten.
2.4.3 Rumah Sakit Tipe C
Adalah rumah sakit yang mapu memberikan pelayanan kedokeran spesialis
terbatas.Rumah sakit ini didirikan disetiap ibukota Kabupaten (Regency hospital)
yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas.
2.4.3 Rumah Sakit Tipe D
Adalah rumah sakit yang bersifat transisi dengan kemampuan hanya
memberikan pelayanan kedokteran umum dan gigi. Rumah sakit ini menampung
rujukan yang berasal dari puskesmas.
2.4.4 Rumah Sakit Tipe E
Adalah rumah sakit khusus (spesial hospital) yang menyalenggarakan hanya
satu macam pelayan kesehatan kedokteran saja. Saat ini banyak rumah sakit kelas
ini ditemukan misal, rumah sakit kusta, paru, jantung, kanker, ibu dan anak (
Anonim,2000).
2.5 Jenis-Jenis Rumah Sakit
2.5.1 Rumah sakit umum
Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di
suatu negara, dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif
ataupun jangka panjang. Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas
bedah, bedah plastik, ruang bersalin, laboratorium, dan sebagainya. Tetapi
kelengkapan
fasilitas
ini
bisa
saja
bervariasi
sesuai
kemampuan
penyelenggaranya.Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center
(pusat kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern.Sebagian besar
rumah sakit di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap
(rawat jalan) bagi masyarakat umum (klinik). Biasanya terdapat beberapa
klinik/poliklinik di dalam suatu rumah sakit.
2.5.2 Rumah sakit terspesialisasi
Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula,
atau rumah sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric
(psychiatric hospital), penyakit pernapasan, dan lain-lain.Rumah sakit bisa terdiri
atas gabungan atau pun hanya satu bangunan.
2.5.3 Rumah sakit penelitian/pendidikan
Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait
dengan kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu
universitas/lembaga pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk
pelatihan dokter-dokter muda, uji coba berbagai macam obat baru atau teknik
pengobatan
baru.
Rumah
sakit
ini
diselenggarakan
oleh
pihak
universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian masyararakat /
Tri Dharma perguruan tinggi.
2.5.4 Rumah sakit lembaga/perusahaan
Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk melayani
pasien-pasien yang merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan perusahaan
tersebut. Alasan pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan dengan kegiatan
lembaga tersebut (misalnya rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan
sosial/pengobatan gratis bagi karyawan, atau karena letak/lokasi perusahaan yang
terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya rumah sakit lembaga/perusahaan
di Indonesia juga menerima pasien umum dan menyediakan ruang gawat darurat
untuk masyarakat umum ( Anonim,2000).
2.6 Profil Rumah Sakit Bunda
2.6.1 Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Bunda
Rumah Sakit Bunda merupakan salah satu rumah sakit swasta yang ada di
Kota Gorontalo. Rumah sakit ini terletak ditempat yang sangat stategis dan mudah
di jangkau oleh masyarakat Gorontalo.Rumah Sakit yang berada di jalan Prof. Dr.
H.B. YassinNo. 269 ini masih tergolong rumah sakit sederhana yang bertipe C,
dimana rumah sakit ini hanya mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan
medis spesialitik dasar.
Rumah Sakit Bunda didirikan pada tanggal 17 Maret 2007 yang diprakarsai oleh
PT. Surya Medis Pratama. Pada awal terbentuknya, Rumah Sakit ini hanya berupa
Rumah Sakit Bersalin.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya di Propinsi
Gorontalo, dr. Librioda Suminar, Sp.M selaku direktur Rumah Sakit atas nama
PT. Surya Medis Pratama bermaksud untuk memperluas pelayanan dengan
menambahkan Fasilitas untuk Bedah Umum dan Sub Spesialistik Bedah lainnya.
Pada tanggal 20 April 2010 penyelenggaraan Rumah Sakit Khusus dengan
nama “Rumah Sakit Bedah Bunda” terlaksana. Sementara izin pengoperasian
Rumah Sakit ini sebagai tempat usaha di tetapkan pada tanggal 13 Juli 20
Adapun visi dan misi dari Rumah Sakit Bunda adalah :
Visi :
“menjadi rumah sakit swasta yang memiliki keunggulan dalam pelayanan pasien”.
Misi :
“memberikan pelayanan keehatan yang bermutu, cepat, tepat, ramah, dan
informatif pada masyaraka”
2.6.2 Struktur Organisasi Rumah Sakit Bunda
Mengatur semua kebijakan yang akan dijalankan di Rumah Sakit. Di
Rumah Sakit Rumah Sakit Bunda pemegang kekuasaan tertinggi pada seorang
direktur.
DirekBunda
terdapat
penanggung
jawab/kepala
ruangan
yang
berkoordinasi langsung dengan wakil direktur.
Direktur
Dr. LibriodaSuminar, Sp.M
KomiteMedik
Kabid. PelayananMedis
Dr. FitriyantoRajak
Kabid. AdministrasidanKeuangan
YuningsihUsula
Kabid. Keperawatan
Novita Arlen Pontoh,
S.Kep, Ns
Gambar 1. Struktur Organisasi Ruah Sakit Bunda
Gambar 2. Struktur Organisasi Rumah Sakit ( Anonim, 2012)
2.1.2
Personalia
Berikut daftar ketenagaan baik medis maupun penunjang medis di Rumah Sakit
Bunda :
Dokter umum
: 10 Orang
1. Dokter Spesialis
: 21 Orang, antara lain(Sp. Penyakit
dalam, Sp. Anak, Sp. Ortopedy, Sp.
Mata, Sp. THT, dan Sp. Jantung, Sp.
Kebidanan dan Kandungan, Sp. Anak)
2. Dokter tetap
: 8 Orang
3. apoteker
: 1 Orang
4. Perawat
: 20 Orang
5. Bidan
: 9 Orang
6. Tenaga Administrasi
: 4 Orang
7. Tenaga farmasi
: 4 Orang
2.1.4 Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit Bunda
Kegiatan kefarmasian di Rumah Sakit Bunda berorientasi kepada kepentingan
pasien yaitu dengan menyelenggarakan sediaan farmasi, pengelolaan obat,
pendistribusian obat, dan pelayanan obat atas resep dokter serta kegiatan lain
seperti pendidikan. Kegiatan kefarmasian di rumah sakit ini mengaju pada
pedoman pengelolaan/manajemen perbekalan farmasi dan alat kesehatan.
Distribusi perbekalan farmasi untuk untuk pasien o, distribusi sistem
paket.Sistem ini biasanya diterapkan di rumah sakit kecil.Sistem ini dijalankan
dengan memberikan kebutuhan obat kepada konsumen/pasien menggunakan
persediaan-persediaan obat yang sudah disiapkan dalam bentuk paket. Perbekalan
farmasi serta alat kesehatan yang termasuk dalam paket operasi. Akan tetapi, tidak
semua obat dan alat kesehatan yang masuk dalam paket harus dibayar pasien.
Pasien hanya akan membayar obat dan alat kesehatan yang digunakannya dalam
paket. Jika masih terdapat sisa paket, maka sisanya akan dikembalikan ke Apotek
dan kembali menjadi stok Apotik.
2.2Antibiotik
2.2.1 Defenisi
Zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi, yang dapat menghambat
pertumbuhan atau membasmi mikroba jenis lain. Antibiotik juga dapar dibuat
secara sintesis. Antimikroba diartikan sebagai obat pembasmi mikroba khususnya
yang merugikan manusia.(Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik dan Resistensi.
Cara kerja antibiotik yaitu Antibiotik memiliki cara kerja sebagai bakterisidal
(membunuh
bakteri
secara
langsung)
atau
bakteriostatik
(menghambat
pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostasis, mekanisme pertahanan tubuh
inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak
mikroorganisme. Ada beberapa cara kerja antibiotik terhadap bakteri sebagai
targetnya, yaitu menghambat sintesis dinding sel, menghambat sintesis protein,
merusak membran plasma, menghambat sintesis asam nukleat, dan menghambat
sintesis metabolit
esensial.
Dinding
sel
bakteri
terdiri
atas
jaringan
makromolekuler yang disebut peptidoglikan. Penisilin dan beberapa antibiotik
lainnya mencegah sintesis peptidoglikan yang utuh sehingga dinding sel akan
melemah dan akibatnya sel bakteri akan mengalami lisis. Riboson merupakan
mesin untuk menyintesis protein. Sel eukariot memiliki ribosom 80S, sedangkan
sel prokariot 70S (terdiri atas unit 50S dan 30S). Perbedaan dalam struktur
ribosom
akan
mempengaruhi
toksisitas
selektif
antibiotik
yang
akan
mempengaruhi sintesis protein. Di antara antibiotik yang mempengaruhi sintesis
protein adalah kloramfenikol, eritromisin, streptomisin, dan tetrasiklin(Tjay dan
Rahardja, 2002).
Kloramfenikol akan bereaksi dengan unit 50S ribosom dan akan
menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang sedang
terbentuk. Kebanyakan antibiotik yang menghambat protein sintesis memiliki
aktivitas spektrum yang luas. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang
membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai
polipeptida yang sedang dibentuk terhambat. Antibiotik aminoglikosida, seperti
streptomisin dan gentamisin, mempengaruhi tahap awal dari sintesis protein
dengan mengubah bentuk unit 30S ribosom yang akan mengakibatkan kode
genetik pada mRNA tidak terbaca dengan baik. Antibiotik tertentu, terutama
antibiotik polipeptida, menyebabkan perubahan permeabilitas membran plasma
yang akan mengakibatkan kehilangan metabolit penting dari sel bakteri. Sebagai
contoh adalah polimiksin B yang menyebabkan kerusakan membran plasma
dengan melekat pada fosfolipid membran. Sejumlah antibiotik mempengaruhi
proses replikasi DNA/RNA dan transkripsi pada bakteri. Contoh dari golongan ini
adalah rifampin dan quinolon. Rifampin menghambat sintesis mRNA, sedangkan
quinolon menghambat sintesis DNA(Tjay dan Rahardja, 2002).
2.2.3 Mekanisme
Resistensi
Pada awalnya, problema resistensi bakteri terhadap antibiotik telah dapat
dipecahkan dengan adanya penemuan golongan baru dari antibiotik, seperti
aminoglikosida, makrolida, dan glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi
dari antibiotik yang sudah ada. Namun, tidak ada jaminan bahwa pengembangan
antibiotik baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk menjadi
resisten. Berdasarkan hasil studi tentang mekanisme dan epidemiologi dari
resistensi antibiotik telah nyata bahwa bakteri memiliki seperangkat cara untuk
beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik. Mekanisme
resistensi pada bakteri meliputi mutasi, penghambatan aktivitas antibiotik secara
enzimatik, perubahan protein yang merupakan target antibiotik, perubahan jalur
metabolik, efluks antibiotik, perubahan pada porin channel, dan perubahan
permeabilitas membran. Mutasi genetik tunggal mungkin menyebabkan terjadinya
resistensi tanpa perubahan patogenitas atau viabilitas dari satu strain bakteri.
Perkembangan resistensi terhadap obat-obat antituberkulos, seperti streptomisin,
merupakan contoh klasik dari perubahan tipe ini. Secara teoretis ada kemungkinan
untuk mengatasi resistensi mutasional dengan administrasi suatu kombinasi
antibiotik dalam dosis yang cukup untuk eradikasi infeksi sehingga mencegah
penyebaran bakteri resisten orang ke orang. Namun, adanya emergensi yang
meluas dari multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis memperlihatkan
bahwa tidak mudah untuk mengatasi resistensi dengan formula kombinasi. Contoh
lain resistensi mutasional yang juga penting adalah perkembangan resistensi
fluoroquinolone pada stafilokokki, Pseudomonas aeruginosa, dan patogen lain
melalui perubahan pada DNA topoisomerase. Kejadian mutasi mungkin juga
mengubah mekanisme resistensi yang ada menjadi lebih efektif atau memberikan
spektrum aktivitas yang lebih luas. Problem yang cukup penting adalah
kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi genetik eksogenus yang
mengantarkan
terjadinya
resistensi.
Spesies
pada
peneumokokki
dan
meningokokki dapat "mengambil" materi DNA di luar sel (eksogenus) dan
mengombinasikannya ke dalam kromosom. Banyak materi genetik yang
bertanggung jawab terhadap resistensi ditemukan pada plasmid yang dapat
ditransfer atau pada transposon yang dapat disebarluaskan di antara berbagai
bakteri dengan proses konjugasi. Transposon merupakan potongan DNA yang
bersifat mobile yang dapat menyisip masuk ke dalam berbagai lokasi pada
kromosom bakteri, plasmid atau DNA bakteriofag. Beberapa transposon atau
plasmid memiliki elemen genetik yang disebut integron yang mampu
"menangkap" gen-gen eksogenus. Sejumlah gen kemungkinan dapat disisipkan ke
dalam integron yang menghasilkan resistensi terhadap beberapa bahan (Tjay dan
Rahardja, 2002).
2.2.4 Jenis-jenis Antibiotik
Ada banyak cara untuk menggolongkan antibiotik, salah satunya
berdasarkan struktur kimianya. Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik
dikelompokkan sebagai berikut: ( Tjay dan Raharja,2002)
1. Golongan aminoglikosida yaitu : amikasin, gentamisin, strepromisin,
kanamisin, tobramisin, netilmisin, neomisin.
2. Golongan beta-laktam yaitu : imipenem, meropenem.
3. Golongan polipeptida yaitu : polimiksin B, dan basitrasin.
4. Golongan kinolon yaitu asam nalidiksilat, siprofloksasin, ofloksasin,
norfloksasin, levofloksasin, fleroksasin.
5. Golongan penisilin yaitu : benzilpenisilin, fenoksimetilpenisilin, kloksasilin,
asam kalvulanat, ampisilin.
6. Golongan glikopeptida yaitu : vankomisin, teikoplanin.
7. Golongan tetrasiklin yaitu : tetrasiklin, dosisiklin.
8. Golongan sulfonamida yaitu : kotrimoksazol, timetoprin.
9. Golongan makrolida yaitu : eritromisin, azitromisin, spiramisin, linkomisin,
klindamisin.
10. Golongan antibiotik lain yaitu : kloramfenikol, dan asam fusidat.
Pemberian antibiotik pada paskah operasi tergantung dari jenis operasi
antibiotika; akan tetapi, sesudah histereknomi total dengan pembukaan vagina,
sebaiknya obat tersebut diberikan ( Wiknjosastro, 1999).
Faktor-faktor yang mempengaruhi antibiotik untuk mencapai efek terapi yaitu :
1. Spektrum kepekaan kuman
2. Dosis, rute, frekuensi, pemberian untuk mencapai konsentrasi terapeutis
3. Farmakokinetik
4. Antibiotika berbeda dalam absorbsi oralnya
5. Kemampuan antibiotika untuk mencapai konsentrasi yang efektif ditempat
infeksi tergantung dari :
1. Kelarutan dalam air/ lemak
2. Aliran darah ke tempat infeksi
3. Kemampuannya untuk melewati sawar darah-otak
1. Efek sinergistik, misalnya asam klavulanat + amocixilin
2. Interaksi obat misalnya :
3. Warfarin dengan rifampisin.
4. Antibiotika yang bakteriostatik bila dikombinasikan dengan antibiotika yang
bakterisidal mungkin efeknya antagonistik.
5. Beberapa antibiotika mempunyai efek samping yang berat dan sebaiknya tidak
diberikan pada keadaan-keadaan tertentu.
1. Bila memperhitungkan biaya, lebih tepat menghitung biaya pengobatan total
daripada unit cost perdosis.
2. Kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Pasien lebih patuh terhadap
pengobatan jangka pendek dan dosis sekali sehari (Aslam dan tani, 2003)
2.2.5 Aturan Penggunaan Antibiotik
Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman
atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar (Tjay dan
Rahardja, 2002).
Indikasi untuk pemberian antibiotik pada seorang pasien haruslah
diperitmbangkan dengan seksama, dan sangat tergantung pada pengalaman
pengamatan klinik dokter yang mengobati pasien (Fakultas Kedokteran, 2007).
2.3 Ceftriaxone
2.3.1 Defenisi
Kelompok obat yang disebut Sefalosporin antibiotik. Ceftriaxone bekerja
dengan cara mematikan bakteri dalam tubuhMerupakan golongan sefalosporin
yang mempunyai spektrum luas dengan waktu paruh eliminasi 8 jam. Efektif
terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxone sangat stabil
terhadap enzim laktamase (Anonim, 2007).
2.3.2
Farmakokinetik
Ceftriaxone diabsorpsi lengkap setelah pemberian IM dengan kadar plasma
maksimum rata-rata antara 2-3 jam setelah pemberian. Dosis multipel IV atau IM
dengan interval waktu 12-24 jam, dengan dosis 0,5-2g menghasilkan akumulasi
sebesar 15-36 % diatas nilai dosis tunggal. Sebanyak 33-67 % ceftriaxone yang
diberikan, akan diekskresikan dalam uring dalam bentuk yang tidak diubah dan
sisanya diekskresikan dalam empedu dan sebagian kecil dalam feses sebagai
bentuk inaktif. Setelah pemberian dosis 1g IV, kadar rata-rata ceftriaxone 1-3 jam
setelah pemberian adalah : 501 mg/ml dalam kandung empedu, 100 mg/ml dalam
saluran empedu, 098 mg dalam duktus sistikus, 78,2 mg/ml dalam dinding
kandung empedu dan 62,1 mg/ml dalam plasma. Setelah pemberian dosis 0,15-3g,
maka waktu paruh eliminasinya berkisar antara 5-8 jam, volume distribusinya
sebesar 5,70-13,5 L, klirens plasma 0,50-1,45 L/jam dan klirens ginjal 0,32-0,73
L/jam.Ikatan protein ceftriaxone bersifat reversibel dan besarnya adalah 85-95 %.
Ceftriaxone menembus selaput otak yang mengalami peradangan pada bayi dan
anak-anak dan kadarnya dalam cairan otak setelah pemberian dosis 50 mg/kg dan
75 mg/kg IV, berkisar antara 1,3-18,5 ug/ml dan 1,3-44 ug/ml. Dibanding pada
orang dewasa sehat, farmakokinetik ceftriaxone hanya sedikit sekali terganggu
pada usia lanjut dan juga pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal/hati, karena
itu tidak diperlukan (Anonim, 2007).
2.3.3
Fakmakodinamik
Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis
dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap betalaktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh
kuman gram-negatif (Anonim, 2007).
2.3.4 Indikasi
Untuk infeksi- infeksi berat dan yang disebabkan oleh kuman-kuman gram
positif maupun gram negatif yang resisten terhadap antibiotika lainnya, misalnya :
1. Infeksi saluran pernafasan
2. Infeksi saluran kemih
3. Infeksi gonoreal
4. Septisemia bakteri
5. Infeksi tulang dan jaringan
6. Infeksi kulit (Anief, 2004).
2.3.5 Dosis
1. 1-2 gr melalui otot (intra muscular) atau melalui pembuluh darah (intra
vascular), lakukan setiap 24 jam, atau dibagi menjadi setiap 12 jam.
2. Dosis maksimum: 4 gr/hari
3. Dewasa dan anak-anak diatas 12 tahun : 1-2 gram sehari secara intra vena
4. Bayi dan ank-anak dibawah 12 tahun :
a. Bayi 14 hari : 20 – 50 mg/kg bb sehari
b. Bayi 15 hari sampai 12 tahun : 20 – 80 mg/kg bb sehari
c. Anak-anak dengan BB 50 kg atau lebih : dosis dewasa melalui infus paling
sedikit 30 menit
5. Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kliren kreatinin tidak lebih dari
10 ml/menit, dosis tidak lebih dari 2 gram perhari (Anonim , 2007).
2.3.6
Efek Samping
Secara umum ceftriaxone dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang
dapat ditemukan adalah Reaksi lokal : Sakit, indurasi atau nyeri tekan pada tempat
suntikan dan phlebitis setelah pemberian intravena.
1. Hipersensitivitas: Ruam kulit dan kadang-kadang pruritus,demam atau
menggigil Hematologik : Eosinofilia, trombositosis, lekopenia dan kadangkadang anemia, anemia hemolitik, netropenia, limfopenia, trombositopenia
dan pemanjangan waktu protrombia. Saluran cerna : Diare dan kadang-kadang
mual, muntah, disgeusia Hati : Peningkatan SGOT atau SGPT dan kadangkadang peningkatan fosfatase alkali dan bilirubin. Ginjal : Peningkatan BUN
dan kadang-kadang peningkatan kreatinin serta ditemukan silinder dalam urin
Susunan saraf pusat : Kadang-kadang timbul sakit kepala atau pusing. Saluran
kemih dan genital : Kadang-kadang dilaporkan monitiasis.Reaksi
hipersensitivitas (urticaria, pruritus, ruam, reaksi parah seperti anaphylaxis
bisa terjadi); Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar); Efek lainnya
(infeksi candidal).
2. Dosis tinggi bisa dihubungkan dengan efek CNS (encephalopathy,
convulsion); Efek hematologis yang jarang; pengaruh terhadap ginjal dan hati
juga terjadi.
Perpanjangan PT (prothrombin time), perpanjangan APTT (activated
partial thromboplastin time), dan atau hypoprothrombinemia (dengan atau tanpa
pendarahan) dikabarkan terjadi, kebanyakan terjadi dengan rangkaian sisi NMTT
yang mengandung sefalosporin (Anonim, 2007)
2.4Typhoid
2.4.1 pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi
salmonell Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman
salmonella. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman salmonella Thypi ( Manjoer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C, sinonim dari penyakit
ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Noer, 1996 ).
2.4.2Etiologi
Typhoid adalah bakteri Gram-negatif, Salmonella typhi sama dengan
Salmonella yang mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen
(K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin.
Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multipel antibiotik (Junowo, 1999).
2.4.3 Patogenesis
Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala tifoid pada manusia.
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus
Salmonella. Kuman berspora, motile, berflagela,berkapsul, tumbuh dengan baik
pada suhu optimal 37ºC (15ºC-41ºC), bersifat fakultatif anaerob, dan hidup subur
pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu
54,4ºC selama satu jam, dan 60ºC selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan
dalam jangka lama. Salmonella memunyai karakteristik fermentasi terhadap
glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa dan sukrosa.
Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1)
proses invasi kuman S.typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan
hidup dalam makrofag dan (3) proses berkembang biaknya kuman dalam
makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk
menahan dan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme
pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik,
dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebalan tubuh humoral dan
selular.
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut
bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman
sampai di lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non-spesifik yang
bersifat kimiawi yaitu adanya suasana asam oleh asam lambung dan enzim yang
dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat
melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2)
kondisi asam lambung.
Untuk menimbulkan infeksi diperlukan S.typhi sebanyak 105-109 yang
tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat
menghambat multiplikasi Salmonella dan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan
terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrotektomi,
hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung.
Pada keadaan tersebut S.typhi lebih mudah melewati pertahanan tubuh.
Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki
mekanisme pertahanan lokal berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh
berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non
spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri
anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan
asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman
berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan
melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk
ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan
difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S.typhi dapat bertahan
hidup dan berkembang biak dalam fagosit karena adanya perlindungan oleh
kapsul kuman (Junowo, 1999).
2.4.4 Pendekatan Diagnosis Demam Tifoid
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang
ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan
saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis
biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti
nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare,
menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada
dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3
hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan
(Junowo,
1999).
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium
yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan
serologis. Dalam kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium
untuk menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu (1)
isolasi kuman penyebab demam tifoid melalui biakan kuman dari spesimen
penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose
spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S.typhi dan
menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan
melacak DNA kuman S.typhi (Manjoer, 1999).
Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih
belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan
menghilangnya eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia
mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita
demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh
destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah (Junowo, 1999).
Diagnosis demam tifoid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik
namun identifikasi kuman S.typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah
seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin dan tinja, positif
setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang dan kelenjar limfe
atau jaringan retikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril.
Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika
interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan memperdebatkan sensitivitas,
spesifitas, serta perkiraan nilai Widal pada laboratorium dan populasi setempat,
maka angka Widal cukup bermakna (Noer, 1999).
Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah,
urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan
patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum
tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan
tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor.
Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume
darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir
efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman
pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan
darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian
antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan
di dalam darah (Junowo, 1999).
Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu
pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya
pada 10% penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan
kuman di dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif
kembali.Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit
dan menghilang pada fase penyembuhan.Pengobatan antibiotik akan mematikan
kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di
dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan
darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik.Walaupun metoda
biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5
hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana
yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap(Noer, 1996).
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan
pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama.
Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum (Noer, 1996).
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin
H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap
S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai
untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan
pengidap S.typhi (Noer. 1996).
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96%. Banyak senter
mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi
(karier). Meskipun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tifoid
telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi
perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan
karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point).
Interpretasi pemeriksaan Widal harus hati-hati karena banyak faktor yang
mempengaruhi antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik
laboratorium, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis
atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang
(Noer, 1996).
Download