ANALISIS SUDUT PANDANG KAMERA (Studi kasus: Film

advertisement
ANALISIS SUDUT PANDANG KAMERA
(Studi kasus: Film Jelangkung dan film The Ring 1)
Listia Natadjaja
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen Petra Surabaya
E-mail: [email protected]
Deddy Setyawan
Dosen Institut Seni Indonesia
dan
Dosen luar biasa Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen Petra Surabaya
Henny Limantara
Alumni Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain
Universitas Kristen Petra Surabaya
ABSTRAK
Film horor merupakan salah satu kekuatan perfilman layar lebar di Indonesia., akan tetapi film horor Indonesia kurang
dapat menyebar di pasaran Internasional. Oleh karena itu, suatu analisis diperlukan untuk mengetahui apakah kekuatankekuatan yang dimiliki oleh film horor negara-negara lain yang banyak digemari masyarakat global terutama dari sudut
pandang kamera yang merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan kesan horor pada suatu film. Film The Ring 1
dipilih sebagai pedoman perbandingan film horor Indonesia, karena film The Ring 1 adalah film horor yang sangat banyak
diminati oleh masyarakat di seluruh dunia, bahkan telah diremake oleh Korea dan USA. Film Horor Indonesia yang dipilih
adalah film Jelangkung yang pertama kali muncul pada film layar lebar dan menjadi cikal bakal munculnya banyak film
layar lebar di Indonesia dengan genre yang sama. Analisa kedua film ini ditinjau dari sudut pandang kamera yang dapat
menampilkan kesan horor.
Kata kunci: film horor, sudut pandang kamera, Indonesia, Jepang.
ABSTRACT
Horror movie is one of the strengths of Indonesian film industry; however it is not so popular in the International
market. Thus, an analysis is needed to determine what the strengths are of another horror movie that has achieved global
recognition. This analysis trie s to examine film angles that could be one of the important factors in audio visual in
creating horror movies. The Ring 1 is chosen as a comparison to Indonesian horror movie. The Ring 1 has the most
world recognition, and it has been re-made by Korean and American horror movie makers. Jelangkung is chosen because it
is the pioneer of horror movies in Indonesia and has inspired other movies in the same genre. Both films are
analyzed from the camera angle aspect which gives the horror effect.
Keywords: horror movie, camera angle, Indonesia, Japan.
PENDAHULUAN
Dewasa ini terdapat berbagai jenis film, meskipun
pendekatannya berbeda-beda semua film dapat
dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu menarik
perhatian orang terhadap muatan masalah-masalah
yang dikandung. Selain itu film tersebut dirancang
untuk melayani keperluan publik terbatas maupun
publik yang luas.
Industri perfilman Indonesia sendiri masih terus
berjuang menuju ke tingkat industri film yang mapan.
Kendala utama yang dihadapi berkaitan dengan
masalah permodalan, dukungan teknologi film (mulai
dari pengadaan peralatan film sampai dengan
penyediaan laboratorium modern tempat pemrosesan
film), masalah kekurangan sumber daya manusia
terampil, hingga ke soal-soal peredaran film yang
bersaing keras dengan produksi film impor. Kendala
lain yang sering muncul, soal kualitas dan iklim
kreativitas dan atau kebebasan berkreasi bagi para
pembuat film. Hal ini karena proses produksi film
berhubungan erat dengan macam-macam faktor.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
152
Natadjaja, Analisis Sudut Pandang Kamera
Keinginan yang menggebu-gebu saja tidak cukup
untuk membuat film yang baik dan sukses di pasaran
(Sumarno, 1996:20-21). Pada akhirnya Industri film
nasional terus berevolusi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber
daya manusia negara kita.
Saat ini, film Indonesia secara nyata mulai
menunjukkan geliat kembali. Sekalipun muncul kesan
kalau film nasional yang laku saat ini hanya ada dua
macam saja, film yang bertema remaja atau horor/
misteri. Dari sekitar 20 judul film yang diproduksi
sepanjang 2003, sebagian besar bertemakan remaja
atau anak muda, dan yang laku atau banyak ditonton
adalah yang mengangkat kisah percintaan ala remaja
masa kini, atau horor/misteri yang sedikit banyak
terpengaruh dengan pola film horor barat (Andyana,
2004).
Film horor dibuat untuk menakut-nakuti penonton. Kebanyakan film horor bermodalkan sosok-sosok
mengerikan untuk membuat penonton menjerit.
Namun, penonton masa kini, utamanya anak-anak
muda tidak mudah ditakut-takuti. Mereka bahkan bisa
tertawa lebar jika melihat sosok pocong meloncatloncat di layar lebar (Din & Ida, 2003). Hal yang
utama, dalam semua film horor, adalah cerita tentang
kematian, fakta yang harus dihadapi setiap manusia.
Fakta inilah yang diimajinasi dan diolah dalam film
horor. Oleh karena itu film horor mengolah kisah
mistis seputar masalah kematian, misalnya manusia
berubah menjadi mahkluk aneh setelah melewati
masa kematian, seperti zombie di Haiti, mumi di
Mesir. Tiap-tiap film telah memiliki bentuknya sendiri
untuk menggambarkan mahkluk-mahkluk yang
membangkitkan perasaan gugup dan dingin yang
mampu membuat penonton menggigil ketakutan.
Teror-teror demikian mulai menjadi tren perfilman
sejak tahun 1920-1930 an (Hutchinson, 1984:56).
Kegilaan hampir selalu menjadi kontroversi
dalam aksi film horor. Film Alfred Hitchcock yang
berjudul Psycho, yang dirilis tahun 1960, memantik
film horor menjadi dua jenis, horor dan thriller. Film
Indonesia yang berjenis horor, tampaknya berpotensi
bersaing dengan film-film sejenis dari berbagai
negara, utamanya Asia. Hal ini sebagai akibat dari
kedekatan masyarakat Indonesia dengan hal-hal yang
berbau mistik dan horor serta hal-hal supranatural
lainnya. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih
percaya pada hal-hal gaib, hal ini dapat dilihat dari
tingginya frekuensi pemunculan jenis-jenis tayangan
tentang mengungkap keberadaan makhluk-makhluk
halus oleh berbagai stasiun televisi. Selain itu, di
Indonesia, masih banyak tempat yang dikeramatkan
dan diangkerkan disamping maraknya praktik
perdukunan yang dirilis oleh berbagai jenis media
massa.
153
Tujuan penulisan artikel ini adalah menganalisa
dua judul film horor yang terkenal yaitu film horor
Indonesia yang sukses beredar di pasaran hingga ke
luar negeri yaitu Jelangkung dibandingkan dengan
Film Jepang yang sukses dan paling diingat
masyarakat hingga saat ini yaitu The Ring 1. Dari
berbagai jenis film yang diproduksi oleh negara kita,
film horror dapat dikatakan mampu bersaing dengan
film horor negara lain. Hal ini terbukti dengan jumlah
penonton yang besar pada pemutaran film-film horor
tersebut. Mempertahankan lebih sulit dibandingkan
meningkatkan, oleh karena itu industri perfilman
Indonesia tidak boleh hanya berhenti sampai di sini
saja. Diharapkan dengan adanya analisa ini, insaninsan perfilman dapat membenahi diri untuk lebih
baik lagi terutama dari sisi elemen audio visual yaitu
sudut pandang kamera.
SUDUT PANDANG KAMERA
Sebuah gambar memuat sebuah cerita, sebuah
cerita memerlukan pemaparan. Gambar-gambar yang
ada dalam film, merupakan gambar yang telah dipilih,
dicari, dan diperhitungkan segala kemungkinan impak
estetik dan ruang seni yang diciptakannya. Singkatnya
shot adalah satu bagian dari rangkaian gambar yang
begitu panjang, yang hanya direkam dengan satu take
saja. Shot yang baik adalah kombinasi berbagai
komposisi gambar ke dalam sambungan gambar yang
utuh dan indah dalam satu kali pengambilan gambar.
Untuk itu penting untuk megetahui makna dari
sebuah shot. Dalam film, gambar tidak bisa diambil
seenaknya sendiri tanpa konsep yang jelas, karena
dapat membingungkan penonton (Naratama, 2004:7172). Tiga faktor yang menentukan sudut pandang
kamera yaitu: besar kecil subyek, sudut subyek,
ketinggian kamera terhadap subyek. Besar kecil
subyek hasil tangkapan kamera merupakan jenis-jenis
shot yang mengambil sosok tubuh manusia sebagai
referensi. Sudut subyek merupakan cara untuk
mendapatkan efek dimensi kedalaman dalam pembuatan film. Pemecahan soal termudah dengan
meletakkan kamera sedemikian rupa terhadap obyek
sehingga efek-efek kedalaman dapat direkam.
Sedangkan ketinggian kamera terhadap obyek yaitu
kemampuan kamera menangkap obyek dengan sudut
pandang normal (eye level).
Proxemics
Proxemics berasal dari kata proximity yang
mengacu pada jarak antara subject dan kamera,
biasanya memiliki tiga posisi dasar yaitu long shot,
medium shoot, close up dan extreme close up. Tetapi
ada posisi alternatif yang tampak dan bisa dilak-
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
154
NIRMANA, VOL.7, NO. 2, JULI 2005: 152-160
sanakan sebagai variasi dari tiga posisi dasar tadi.
Dalam sebuah produksi televisi di studio, pengambilan gambar bisa dideskripsikan pada operator kamera
secara jelas, terutama perintah yang diberikan
sutradara. Perintah ini tidaklah kaku, sutradara yang
berbeda menggunakan bahasa yang berbeda pula
(Mamer, 2003:19).
Akan tetapi biasanya shot ini menampilkan secara
netral keseluruhan pokok subjeknya. Gambar ini
mempresentasikan bagaimana biasanya manusia
berinteraksi dengan orang lain dalam hidupnya,
disesuaikan dengan kebudayaan negaranya. Medium
Shot biasanya mengambil tampilan pada saat dua
orang berbicara, sehingga bisa membuat penonton
merasa berada sejajar dengan orang yang ditampilkan.
Extreme Long Shot (ELS)
Shot ini digunakan apabila gambar yang ingin
diambil adalah gambar yang sangat-sangat jauh,
panjang, luas dan berdimensi lebar. Biasanya digunakan untuk memperkenalkan seluruh lokasi adegan dan
isi cerita. Extreme long shot digunakan untuk komposisi gambar indah pada sebuah panorama (Naratama,
2004:73).
Very Long Shot (VLS)
Very long shot adalah pengambilan gambar yang
panjang, jauh dan luas yang lebih kecil dari extreme
long shot. Biasanya gambar-gambar yang diambil
dengan VLS ini ditampilkan dalam film layar lebar.
Utamanya pada gambar-gambar opening scene atau
bridging scene, untuk menggambarkan adegan
kolosal atau banyak objek misalnya adegan perang di
pegunungan, adegan metropolitan dan sebagainya
(Naratama, 2004:75).
Long Shot (LS)
Sebuah long shot (LS) sama dengan pengambilan
gambar lainnya yang menampakkan keseluruhan
tubuh manusia atau lebih. Pengambilan gambar yang
hanya memasukkan manusia dari kepala hingga kaki,
seringkali disebut sebagi “full body shot atau a full
shot”.
Medium Long Shot (MLS)
Pengambilan gambar medium long shot seringkali dipakai untuk memperkaya keindahan gambar. :
medium long shot menampilkan obyek dalam jarak
yang cukup dekat dengan penonton, akan tetapi tetap
menunjukkan bahasa tubuh subjek secara jelas
(Naratama, 2004:75).
Medium Shot (MS)
Medium shot menampilkan gambar yang lebih
memberikan detail pada manusia, karena gambaran
yang diambil adalah gambaran yang menampilkan
bagian tubuh dari pinggang keatas, hingga bisa
menampakkan detil yang lebih jelas dari pada penampakan gambar yang menampilkan keseluruhan tubuh.
Medium Close Up (MCU)
Medium close up, dapat dikategorikan sebagai
komposisi “Potret setengah badan”, dengan background yang masih dapat dinikmati. Pengambilan
gambar ini memperdalam gambar dengan lebih
menunjukkan profil dari obyek yang direkam.
Tampilan background menjadi hal kedua yang
diperhatikan. Yang terpenting adalah profil, bahasa
tubuh dan emosi tokoh utama dalam bingkai gambar
ini dapat terlihat dengan jelas (Naratama, 2004:76).
Close Up (CU)
Pengambilan gambar close up biasanya merupakan pengambilan gambar utama. (lihat gambar 1).
Penampilan gambar yang lebih dekat dari gambar 1,
dimasukkan dalam kategori pengambilan gambar
extreme close up. Ada juga pengambilan gambar yang
diambil mulai dari pertengahan dada keatas, hal
seperti ini disebut sebagai medium close up, yang
seringkali digunakan.
Pengambilan gambar close up ini, biasanya
menampilkan identifikasi psikologi sebuah karakter
yang memerlukan perkuatan rincian detail berbagai
aksi. Tampilan seperti ini ditayangkan, pada saat
penonton diharuskan untuk menghadapi obyek utama,
dan membuat hubungan tersendiri antara obyek
dengan diri mereka secara psikologis. Identifikasi
dalam bentuk pengambilan gambar close up ini
adakalanya membuat pengambilan gambar menjadi
berefek klaustropobik terhadap penonton. Pengambilan gambar close up ini menekan ruang secara jelas,
dan memberi batasan yang jelas antara penampilan
aktor dan perasaan yang ditimbulkan oleh aktor dari
bahasa tubuhnya. Penonton bisa memperoleh
perasaan tertekan dan terancam karena kedekatannya.
Pengambilan gambar seperti inilah yang membuat
penampilan atau kualitas seorang aktor memainkan
mimiknya menjadi hal yang penting. Pengambilan
gambar secara close up berguna juga untuk
menekankan detil. Hal ini juga sangat penting dalam
hubungannya dengan fungsinya yang terutama untuk
menciptakan ketegangan.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
Natadjaja, Analisis Sudut Pandang Kamera
Sumber: Film The Ring 1
Gambar 1. Pengambilan Close up biasanya menampilkan bagian kepala saja
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tentang pengambilan gambar diatas, bisa diketahui bahwa urutan
pengambilan gambar long shot- medium shot- close
up menampilkan sebuah gambaran secara netral, yang
akan membuat penonton mulai merasa terikat dengan
obyek utama. Urutan pengambilan gambar seperti ini
menampilkan sebuah informasi yang acak dan tidak
bisa dibedakan menjadi sebuah informasi yang lebih
spesifik. Ketiga jenis pengambilan gambar ini pulalah
yang menjadi dasar atas terjadinya sebuah film
(Mamer, 2003:20-21).
Sumber: Film Jelangkung
Gambar 2. Big close up
Extreme Close up (ECU)
Extreme close up banyak digunakan pada
pembuatan video klip, pada pengambilan gambar ini
kekuatan dan ketajaman hanya fokus pada satu obyek
misalnya dapat dilakukan extreme close up pada
hidung, mata, atau alis saja. Pada pengambilan
gambar ini, depth of field akan sangat sulit didapatkan
karena kedekatan jarak objek dengan kamera.
Seringkali apabila kamera diarahkan pada detail
bagian mulut atau hidung, gambar akan menjadi tidak
fokus (Naratama, 2004:78).
Big Close Up (BCU)
Pengambilan gambar ini lebih tajam dari pengambilan gambar close up terutama untuk film horor yang
menggunakan efek cahaya memantul pada sudut mata
obyek. Kedalaman pandangan mata, kebencian raut
wajah, kehinaan emosi hingga keharuan adalah
ungkapan-ungkapan yang terwujud dalam komposisi
gambar ini. Sementara untuk produksi talk show dan
kuis, shot ini digunakan terutama untuk menggambarkan reaksi penonton yang larut dalam pembicaraan
talk show di studio. Tanpa kata-kata, tanpa bahasa
tubuh, tanpa intonasi big close up sudah mewujudkan
semuanya. Pada pengambilan gambar ini, depth of
field akan sulit didapatkan, namun bagi sutradara
televisi, kekurangan ini dianggap sebagai kekuatan,
karena gambar yang tidak fokus akan memiliki nilai
artistik tersendiri (Naratama, 2004:77).
155
Sumber: Film Jelangkung
Gambar 3.Extreme close up
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
156
NIRMANA, VOL.7, NO. 2, JULI 2005: 152-160
Low Angle Shot.
Posisi kamera berada di bawah subjek bila
melakukan pengambilan gambar dengan low angle
shot. Kamera dalam posisi menengadah ke atas pada
saat mengambil gambar. Pengambilan gambar dengan
cara seperti ini cenderung membuat karakter atau
lingkungan tampak mengancam, berkuasa atau
mengintimidasi. Memberikan penampilan yang
menyimpang, mempertontonkan sebuah dunia diluar
keseimbangan. Sudut pandang kamera ini dapat
menciptakan perasaan antara tak memiliki arah dan
tak terarahkan.
Eye Level Shot.
Pengambilan gambar-gambar penting dalam
film-film teater dan film seri kebanyakan dilakukan
dengan eye level shot. Pengambilan gambar pada
perfilman teater dan serial, jarang menggunakan cara
high angle dan low angle shots, karena pengambilan
gambar dengan cara ini bisa disalahartikan secara
dramatis oleh penonton. Posisi kamera yang terlalu
sejajar akan menyebabkan timbulnya konfrontasi
secara langsung dengan penonton.
ANALISIS
Analisis kedua film The Ring dan Jelangkung
dilakukan dengan memperhatikan adegan-adegan
yang berlangsung. Adegan tertentu yang membangun
cerita dan menimbulkan kesan horor akan diperhatikan, dan dari adegan tersebut, dipilih gambar-gambar
yang mampu mewakili keseluruhan adegan. Pengambilan gambar dengan cara printscreen per frame.
Pada setiap cerita secara garis besar, terdapat
bagian pembuka, perumusan masalah, konflik,
klimaks, penyelesaian masalah, penutup. Dalam film
horor hal demikian juga berlaku. Akan tetapi syaratsyarat terjadinya sebuah cerita dalam pembuatan film
tidak berlaku secara mutlak. Oleh karena itu
pemilihan gambar-gambar yang dipilih untuk dianalisa, dilakukan dengan dasar berikut:
1. Memilih gambar yang sesuai jenis sudut pandang
kamera.
2. Mengurutkan gambar berdasarkan jenis sudut
pandang kamera.
3. Menganalisis masing-masing film dan kesan yang
dibangun dari masing-masing sudut pandang
kamera.
4. Membandingkan kesan dari kedua analisis.
5. Menjelaskan sebab-sebab perbedaan kesan yang
timbul, bila sudut pandang kamera sama tetapi
kesan yang diperoleh berbeda.
Pemilihan ini dilakukan sebagai dasar untuk
mempermudah analisa dan memperoleh perbandingan
dan kesimpulan. Pada bagian pertama merupakan
analisa komparasi kedua jenis film ini, digunakan
tabel yang berisi kolom-kolom:
1. Teori: menunjukkan jenis sudut pandang kamera
yang akan dianalisa. Pemilihan teori sudut pandang kamera ini berdasarkan analisa penulis akan
hal-hal yang menimbulkan kesan horor.
2. Analisa: hasil analisa penulis terhadap sudut
pandang kamera dan kesan yang timbul dari tujuan
pengambilan gambar tersebut. Analisa ini seminimal mungkin dikaitkan dengan alur cerita film,
sehingga analisa ini lebih fokus pada sudut
pandang kamera.
3. Kesan: Kesan yang disimpulkan, berdasar atas
analisa penulis. Kesan ini dirangkum berdasarkan
teori tentang 6 kesan yang membangun cerita
horor.
4. Kesan yang membangun film horor ini yaitu:
netral, dingin, gugup, tegang, takut dan shock.
Netral: berdiri sama tengah (tidak membantu/ tidak
mengikut salah satu pihak)
Dingin: Tidak hangat, tidak panas, sejuk. Kedinginan: 1. kena dingin, menderita dingin, kesejukan; 2. Sangat tertarik hatinya, sagat suaka
(akan); 3. Berlagak (kaya, tahu, dsb)
Gugup-menggugupkan: menyebabkan gugup
(bingung). Dalam film horor, berarti menyebabkan
timbulnya perasaan yang mulai memacu jantung.
Reaksi yang timbul karena suatu hal yang
membingungkan atau membuat penasaran.
Tegang: kencang (regang, seperti tali yang ditarik/
direntangkan). Pada kesan yang ditimbulkan pada
saat melihat film horor, berarti merupakan
perasaan yang hampir menuju batas.
Takut: (akan, kepada): merasa tak berani (ngeri,
gentar) melihat dan sebagainya sesuatu yang pada
perasaannya akan mendatangkan bencana bagi
dirinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Shock: goncangan, kekejutan, teramat sangat
mengejutkan. (Echols & Shadily, 1984).
Analisis dibagi dua bagian, pada bagian kedua,
analisis didapat berdasarkan pendapat penonton.yaitu
responden sebanyak 20 orang yang mengerti tentang
audio visual. Penonton tersebut dikondisikan untuk
menonton kedua film dan mengisi kuesioner yang
disediakan. Tabel analisa ini memiliki kolom-kolom
sebagai berikut:
1. Kolom gambar berfungsi untuk sudut pandang
kamera yang dimaksud.
2. Kolom jenis sudut pandang kamera.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
Natadjaja, Analisis Sudut Pandang Kamera
3. Kolom analisa yang berfungsi untuk menyampaikan hasil akhir analisa penonton terhadap sudut
pandang kamera yang dapat menciptakan kesan
menakutkan (horor).
157
ternyata berbeda, hal ini tergantung cerita yang
dibangun.
ANALISIS SUDUT PANDANG KAMERA
Gambar 7. Sudut Pandang Kamera TipeVLS
Film Jelangkung dan The Ring1
Gambar 4. Sudut Pandang kamera Tipe ELS Film
Jelangkung dan The Ring1
Sudut pandang kamera tipe extreme long shot
dalam film Jelangkung dan The Ring 1 mempunyai
tujuan yang sama yaitu menampilkan suatu lokasi
yang luas. Dalam film The Ring 1 shot ini dimanfaatkan untuk menunjukkan lokasi yang menakutkan
secara keseluruhan. Kesan yang ditampilan oleh tipe
shot ini netral.
Gambar 5. Sudut Pandang Kamera Tipe MLS
Film Jelangkung
Gambar 6. Sudut Pandang Kamera Tipe MLS
Film The Ring1
Sudut pandang kamera tipe medium long shot
dalam film Jelangkung dan The Ring 1 mempunyai
tujuan yang berbeda. Dalam film Jelangkung tipe shot
ini digunakan untuk menampilkan gambar artistik
untuk menarik perhatian penonton, sehingga kesan
yang ditampilkan netral. Sedangkan dalam film The
Ring 1 tujuan pengambilan sudut pandang kamera
adalah menampilkan bahasa tubuh obyek yang takut
dan menakutkan, sehingga dapat membuat gugup.
Kesan yang ditampilkan oleh tipe shot yang sama
Sudut pandang kamera tipe very long shot dalam
film Jelangkung dan The Ring 1 mempunyai tujuan
yang sama yaitu menunjukkan keberadaan subyek
dengan lingkungan sekitar yang menakutkan. Ternyata kesan yang didapat oleh penulis berbeda, dalam
film Jelangkung sudut pandang yang ditampilkan
dapat membuat shock, sedangkan dalam film The
Ring 1 membuat tegang. Kesan yang timbul berbeda
tergantung cerita yang dibangun dan faktor pencahayaan.
Gambar 8. Sudut Pandang Kamera Tipe LS Film
Jelangkung dan The Ring1
Sudut pandang kamera tipe long shot dalam film
Jelangkung dan The Ring 1 mempunyai tujuan yang
berbeda. Pada film Jelangkung tipe shot ini seolah
ingin menampilkan gambar yang artistik, sehingga
kesan yang ditampilkan hanya netral. Di film The
Ring 1 tipe shot ini menampilkan posisi obyek dengan
kondisinya yang menakutkan, sehingga berhasil
membangun kesan yang menakutkan. Kesan yang
ditimbulkan kedua film ini sangat berbeda, hal ini
diakibatkan faktor pencahayaan dan fokus gambar.
Gambar 9. Sudut Pandang Kamera Tipe MS Film
Jelangkung dan The Ring1
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
158
NIRMANA, VOL.7, NO. 2, JULI 2005: 152-160
Sudut pandang kamera tipe medium shot dalam
film Jelangkung dan The Ring 1 mempunyai tujuan
yang hampir sama. Pada film Jelangkung tipe shot ini
menggambarkan suatu keadaan yang menakutkan.
Sedangkan pada film The Ring 1 sudut pandang
kamera ini menjelaskan posisi dua obyek yang
berhadapan, suatu posisi yang menakutkan. Keduanya
berhasil menciptakan ketegangan.
Sudut pandang kamera tipe big close up dalam
film Jelangkung dan film The Ring 1 mempunyai
tujuan yang sama yaitu menyorot lebih dekat wajah
tokoh yang terlihat ketakutan, tetapi kesan yang
dihasilkan oleh sudut pandang kamera close up di
Film Jelangkung dan film The Ring 1 berbeda. Pada
film Jelangkung, sudut pandang kamera big close up
dapat menimbulkan rasa takut, tetapi pada film The
Ring 1 penulis dapat merasakan ketegangan.
Perbedaan kesan ini diakibatkan oleh perbedaan alur
cerita dan faktor pencahayaan.
Gambar 10. Sudut Pandang Kamera Tipe MCU
Film Jelangkung dan The Ring1
Sudut pandang kamera tipe medium close up
dalam film Jelangkung dan The Ring 1 mempunyai
tujuan yang sama, yaitu memperlihatkan mimik
ketakutan dan gerak tubuh obyek terhadap ruang
disekitarnya. Kedua sudut kamera ini dapat menciptakan ketegangan.
Gambar 11. Sudut Pandang Kamera Tipe CU
Film Jelangkung dan The Ring1
Sudut pandang kamera tipe close up dalam film
Jelangkung memperlihatkan mimik ketakutan. Pada
film The Ring 1 mimik ketakutan ini diperjelas lagi
dengan mata terbelalak dan mulut terbuka, sehingga
kesan yang dihasilkan tidak hanya membuat tegang,
tetapi sudah dapat menimbulkan perasaan takut.
Kesan yang ditimbulkan sedikit berbeda diakibatkan
oleh alur cerita dan faktor pencahayaan.
Gambar 12. Sudut Pandang Kamera Tipe BCU
Film Jelangkung dan The Ring1
Gambar 13. Sudut Pandang Kamera Tipe ECU
Film Jelangkung dan The Ring1
Sudut pandang kamera tipe extreme close up
dalam film Jelangkung menampilkan detail bagian
dari wajah tokoh yang ketakutan, hal ini dapat
menimbulkan rasa takut. Sedangkan pada The Ring 1
tujuan penggunaan sudut pandang kamera extreme
close up adalah menampilkan detail bagian dari wajah
tokoh yang menakutkan. Sudut pandang kamera ini
dapat menghasilkan efek takut dengan level paling
tinggi yaitu shock. Tujuan penggunaan sudut pandang
kamera yang ditampilkan berbeda sehingga menghasilkan kesan yang juga berbeda.
Gambar 14. Sudut Pandang Kamera Tipe Low
Angle Film Jelangkung dan The
Ring1
Sudut pandang kamera tipe low angle dalam film
Jelangkung digunakan untuk menjelaskan aktivitas
yang sedang berlangsung. Pada film The Ring 1
aktivitas diperlihatkan lebih detail lagi dengan memperlihatkan mimik wajah. Kesan yang dihasilkan oleh
kedua sudut pandang kamera di kedua film tersebut
adalah netral.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
Natadjaja, Analisis Sudut Pandang Kamera
Gambar 15. Sudut Pandang Kamera Tipe Eye
Level Shot Film Jelangkung dan The
Ring1
Sudut pandang kamera tipe eye level shot dalam
film Jelangkung digunakan agar penonton dapat
melihat jelas obyek yang menakutkan, sehingga
memperoleh kesan menakutkan. Tujuan sudut
pandang kamera tipe eye level shot pada film The
Ring 1 sama yaitu agar penonton dapat melihat bagian
wajah yang menakutkan, sehingga dapat membuat
shock. Kesan yang timbul dari kedua film tersebut
dengan sudut pandang yang sama ternyata berbeda,
hal ini dapat disebabkan karena faktor pencahayaan
dan teknik editing yang tidak sama.
Tabel 1. Analisa Sudut Pandang Kamera Film
Jelangkung dan The Ring
Anggle
Extreme
Long shot.
Medium
Long shot.
Very Long
shot.
Long shot.
Medium
shot.
Medium
Close up
Jelangkung
Gambar
Analisa
Menampilkan
suatu lokasi
yang luas.
Kesan: netral
Menampilkan
gambar artistic
untuk menarik
perhatian
penonton.
Kesan: netral
Menunjukkan
keberadaan
obyek dengan
lingkungan
sekitar yang
menakutkan
Kesan: shock
Menampilkan
gambar artisitik.
Kesan: netral.
Menggambarkan suatu
keadaan yang
menakutkan
Kesan: tegang
Memperlihatka
n mimik
ketakutan dan
gerak tubuh
obyek terhadap
ruang
disekitarnya.
Kesan: tegang
The Ring 1
Gambar
Analisa
Menunjukkan
lokasi yang
menakutkan
secara keseluruhan.
Kesan: netral
Menampilkan
bahasa tubuh
subjek yang
takut dan
menakutkan
Kesan: gugup
Menunjukkan
keberadaan
obyek dengan
lingkungan
sekitar yang
menakutkan
Kesan: tegang
Menampilkan
posisi obyek
dan kondisinya
yang
menakutkan
Kesan: takut
Komparasi
Kesan: netral
Kesan berbeda
akibat
tergantungcerita
yang dibangun
Kesan: netral,
gugup
Kesan berbeda
tergantungcerita
yang dibangun
dan factor
pencahayaan.
Kesan: shock,
tegang
Kesan berbeda
akibat faktor
pencahayaan
dan focus
gambar.
Kesan: netral,
takut
Kesan: tegang
Menjelaskan
posisi dua
obyek berhadapan, suatu
posisi yg
menakutkan.
Kesan: tegang
Memperlihat- Kesan: tegang
kan mimik
ketakutan dan
gerak tubuh
obyek terhadap
ruang
disekitarnya.
Kesan tegang
159
Close up.
Memperjelas
mimik
ketakutan
Kesan: tegang
Memperjelas
mimik ketakutan meta
terbelalak dan
mulut terbuka.
Kesan: takut
Kesan berbeda
akibat faktor
pencahayaan
dan alur cerita.
Kesan: tegang,
takut
Big close
up.
Menyorot lebih
dekat wajah
tokoh yang
terlihat takut.
Kesan: takut.
Menampilkan
detail bagian
dari wajah
tokoh yang
ketakutan
Kesan: takut
Menjelaskan
aktivitas.
Kesan: netral
Menyorot lebih
dekat wajah
tokoh yang
terlihat takut.
Kesan: tegang.
Menampilkan
detail bagian
dari wajah
tokoh yang
menakutkan.
Kesan: shock
Memperlihatka
n mimik wajah.
Kesan: netral
Kesan berbeda
akibat faktor
pencahayaan.
Kesan: takut,
tegang.
Kesan berbeda
sesuai alur cerita.
Kesan: takut,
shock
Penonton dapat
melihat jelas
obyek yang
menakutkan.
Kesan: takut
Penonton dapat
melihat jelas
obyek yang
menakutkan.
Kesan: shock
Kesan berbeda
akibat factor
pencahayaan
dan editing.
Kesan: takut,
shock
Extreme
close up
Low angle
shot.
Eye level
shot:
Kesan: netral
Dalam film horor, angle-angle yang digunakan
adalah: extreme long shot, medium long shot, very
long shot, long shot, medium long shot, medium close
up, medium shot, close up, extreme close up, low
angle shot dan eye level shot. Angle-angle yang paling
memberikan kesan horor adalah close up, big close
up, extreme close up dan eye level shot. Sudut
pandang kamera dapat dikatakan memberikan kesan
horor apabila pengamat mamperoleh kesan tegang,
takut dan shock.
Dalam tabel berikut dijelaskan analisa sudut
pandang kamera berdasarkan pendapat 20 penonton,
yang paham tentang sudut pandang kamera. Penonton
terdiri dari praktisi dan mahasiswa mata kuliah audio
visual yang dianggap dapat mewakili khalayak
umum.
Tabel 2. Analisa Sudut Pandang Kamera Menurut
Penonton
Jelangkung
The Ring 1
Angle
Close up
Kesan
J
TR
Kesan
Dingin Takut
Penonton
Big close up Kesan
Penonton
Tegang Tegang
Extreme
close up
Kesan
Penonton
Takut
Shock
Eye level shot Kesan
Penonton
Shock
Shock
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
160
NIRMANA, VOL.7, NO. 2, JULI 2005: 152-160
SIMPULAN
Sudut pandang kamera penting dalam menciptakan kesan horor. Penggunaan angle-angle yang paling
mendukung terciptanya kesan horor dalam film,
adalah angle close up, big close up, extreme close up,
dan eye level shot. Pengambilan-pengambilan gambar
dengan sudut pandang kamera ini mampu memperlihatkan detil mimik wajah obyek secara jelas. Dalam
film horor, mimik-mimik seperti ketakutan, kengerian
dan kekejaman sangat penting peranannya dalam
membangun cerita dan membuat penonton merasa
dingin, gugup, tegang, takut dan shock. Oleh karena
itu sudut pandang kamera dalam film sebaiknya
memikirkan fungsinya sebagai pembangun cerita.
Sebuah film dibangun bukan dengan sekedar menempatkan gambar-gambar indah sebanyak mungkin
dalam film, atau gambar-gambar untuk menakutnakuti saja. Sudut pandang yang sama, belum tentu
dapat menghasilkan kesan yang sama. Melalui analisis
diatas ternyata selain sudut pandang kamera terdapat
faktor lain seperti: alur cerita, teknik editing, pencahayaan dan efek pencahayaan serta kejelasan gambar,
yang juga mempengaruhi kesan yang diperoleh,
belum lagi ditambah dengan efek audio yang
digunakan.
Film Jelangkung menonjolkan kesan video klip
karena kedinamisan penampilannya dan efek cahaya
yang digunakan. Film ini kurang berkesan horor, hal
ini mungkin juga disebabkan karena sutradara film
Jelangkung (Rizal Mantovani) adalah spesialis
pembuat video klip. Informasi-informasi yang diberikan kepada penonton kurang dapat membangun cerita
dan klimaks sebagai film horor. Banyak tampilan
visual film Jelangkung yang memperlihatkan adeganadegan yang sama dengan sosok-sosok horor The
Ring 1, akan tetapi dalam film Jelangkung penampilan-penampilan ini kurang didukung oleh penyajian
yang baik, selain itu durasi pergantian frame tiap
adegan berlangsung singkat; hal ini kurang mendukung kesan horor yang dapat diperoleh penonton.
Echols, John M., & Shadily, Hassan. (1984). Kamus
Inggris-Indonesia. Jakarta: P.T. Gramedia.
Hutchinson, Tom .,& Pickard, Roy. (1984). Horrors.
New Jersey: Chartwell Books, Inc.
Ismail, Umar. Data dari Pusat Perfilman Usmar Ismail.http://www.wacana.net/artikel.php?sid=81
Kamus besar bahasa Indonesia.
Mamer, Bruce. (2003). Film production technique
(3th.ed.). USA.
Mambor, Victor C. Kelola, Solo. http://www.kunci.or.
id/teks/victor1.htm
Naratama. (2004). Menjadi sutradara televisi. Jakarta:
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nugrono, Garin. (2003, May). Film Indonesia, antara
pertumbuhan dan kecemasan Tempo, April 12,
2006.
Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-dasar Apresiasi
Film. Jakarta: PT Grasindo.
DAFTAR PUSTAKA
Andyana. (2004, January). Lewat tema remaja dan
horor, Film Indonesia menggeliat. April 12,
2006. Balipost. http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2004/1/4/g1.html
Din & Ida. (2003).“Tusuk Jelangkung” Sebuah
legenda urban yang tak pernah mati. April 12,
2006. Sinar Harapan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/17/hib01.html
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
Download